Post on 21-Jun-2015
BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG MASALAH
Keselamatan dan kesehatan kerja ( k3 ) merupakan faktor
yang sangat penting bagi setiap Tenaga kerja, K3 merupakan
bentuk perlindungan kerja dari resiko kecelakaan kerja dan
penyakit akibat kerja. K3 merupakan serangkaian instrumen
yang berdaya guna untuk melindungi tenaga kerja, perusahaan,
lingkungan hidup, dan masyarakat sekitar dari bahaya yang
ditimbulkan dari bahaya akibat kecelakaan kerja.
Setiap perusahaan diwajibkan untuk menerapkan Sistem
Manajemen K3 yang terintegrasi dengan manajemen
perusahaan. Akan tetapi dalam kenyataannya, pelaksanaannya
masih belum optimal.
K3 berfungsi untuk melindungi tenaga kerja, juga
merupakan hak bagi tenaga kerja atas keselamatan dan
kesehatan kerja, disamping itu juga menjamin keselamatan
setiap orang lain yang sedang berada ditempat kerja, serta
memelihara sumber produksi agar dapat digunakan secara aman
dan efisien dalam meminimalkan resiko kecelakaan kerja ( zero
accident ).
1
Dengan mengurangi resiko kecelakaan kerja, maka dapat
menghemat banyak biaya ( cost ) pengeluaran perusahaan.
Program K3 dapat dianggap sebagai bentuk investasi jangka
panjang yang memberikan keuntungan berlimpah pada
perusahaan dimasa yang akan datang.
Eksistensi K3 mulai muncul bersamaan dengan revolusi
industri di benua eropa, terutama inggris, dengan ditandai
pergeseran penggunaan tenaga manusia dengan mesin-mesin
produksi, penggunaan mesin produksi menjadi lebih efisien
dibandingkan dengan tenaga kerja manusia, karena dapat
menghasilkan jumlah yang berlipat ganda dalam waktu yang
relatif lebih singkat.
Pada awal revolusi industri, K3 belum dianggap sebagai
bagian yang penting dalam perusahaan, karena kecelakaan kerja
merupakan hal biasa sebagai sebuah resiko kerja ( personal
risk ) dan bukan menjadi tanggungjawab perusahaan. Pendapat
ini diperkuat dengan konsep common law defence (CLD) yang
terdiri atas contributing negligence ( kontribusi kelalaian ),
fellow servan rule ( ketentuan kepegawaian ), dan risk
assumption ( asumsi resiko ). 1 Kemudian pendapat ini
berkembang menjadi employers liability yaitu K3 yang menjadi
tanggung jawab bersama.
1 Tono, Muhammad : 2002
2
Keberadaan K3 di Indonesia belum menjadi bagian dari
masalah kemanusiaan dan keadilan pada awal masa
kemerdekaan, hal tersebut dapat dimaklumi mengingat
Pemerintah Indonesia masih berada dalam proses transisi
penataan kembali kehidupan politik dan keamanan nasionalnya.
Baru diawal tahun 70-an dengan semakin ramainya investasi
modal dan pengadopsian teknologi industri nasional
( manufaktur ), K3 menjadi perhatian utama dan mendorong
Pemerintah dalam melakukan regulasi dibidang
ketenagakerjaan. 2
Kondisi keselamatan dan kesehatan kerja ( k3 ) pada
perusahaan di Indonesia umumnya masih dinggap rendah
dibandingkan dengan negara asia tenggara lainnya, seperti
Singapore dan malaysia. Keadan tersebut mengambarkan bahwa
daya saing perusahaan Indonesia di dunia internasional masih
terbilang rendah. Hal ini akan menyulitkan Indonesia dalam
menghadapi persaingan pasar global, karena banyak perusahaan
multinasional hanya mau berinvestasi di suatu negara yang
memiliki tingkat kepedulian tinggi terhadap lingkungan kerja
didalam meningkatkan produktivitas perusahaan yang optimal.
Sistem pelaksanaan K3 di Indonesia pada mulanya ditandai
dengan terbitnya Veiligheids Reglement Staatsblad No. 406
Tahun 1910 yang terwujud ditahun 1908 atas desakan parlemen 2 Danggur Konradus, Keselamatan dan Kesehatan Kerja
3
Belanda terhadap Pemerintah Belanda untuk memberlakukan K3
di Hindia Belanda. Kemudian Pemerintah Indonesia
menerbitankan UU. Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja. Pengaturan mengenai
K3 tertuang dalam pasal 9 yang berbunyi ” Setiap Tenaga Kerja
berhak mendapat perlindungan Kesehatan dan Keselamatan
Kerja ”.
Kemudian ditahun 1970, diterbitkanlah UU No. 1 Tahun
1970 yang mengatur tentang Keselamatan kerja, pada pasal 2
ayat (1) dijelaskan bahwa “ Yang diatur oleh Undang-Undang ini
ialah keselamatan kerja dalam segala tempat kerja, baik di
darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air maupun di
udara, yang berada di dalam wilayah kekuasaan Republik
Indonesia ”.
Disusul kemudian dengan terbitnya Keputusan Mentri dan
Peraturan Mentri yang berkaitan dengan Undang-Undang diatas ,
yaitu seperti ; Kepmen No.2 Tahun 1970 ( P2k3), Permen No.2
Tahun 1980 tentang Pemeriksaan kesehatan Tenaga Kerja,
Permen No.1 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor penyakit kerja,
Permen No.3 Tahun 1982 tentang pelayanan kesehatan, Permen
No. 5 Tahun 1996 tentang sistem Manajemen K3.
Pengaturan mengenai K3 juga diatur dalam UU No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada pasal 86 dan 87.
4
Beberapa ketentuan mengenai perlindungan terhadap
pekerja tercantum pada pasal 86 ayat (1), yang berbunyi
bahwa ;
Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh
perlindungan atas :
a. Keselamatan dan kesehatan kerja;
b. Moral dan kesusilaan, dan
c. Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat
manusia serta nilai-nilai agama
Pasal 86 ( 2 ) ; untuk melindungi keselamatan
pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang
optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan
kerja.
Pasal 86 (3 ) ; perlindungan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undang yang berlaku
Dalam pasal ini jelaslah bahwa setiap buruh mempunyai
hak yang sama dalam segala perlindungan yang berkaitan
dengan Kesehatan, dan keselamatan kerja. Mereka juga dapat
menuntut keadilan jika tidak sesuai dengan ketentuan sebagai
mana yang diatur didalam Undang-Undang.
Pada kenyataannya hal tersebut malah bertolak belakang
dengan fakta yang ada, Karena banyak dari tenaga kerja yang
5
tidak menyadari betapa pentingnya Keselamatan dan kesehatan
kerja untuk diri mereka sendiri, jika ditanyakan tentang berbagai
masalah mengenai K3, jawaban umum yang seringkali diberikan
oleh mereka adalah tidak begitu memahami masalah tersebut
meskipun pernah sesekali mendengarnya, berarti persoalan K3
bagi buruh dianggap tidak penting dibandingkan dengan
masalah upah minimun dan hak-hak buruh lainnya.
Pelaksanaan K3 bukan merupakan tanggungjawab
pemerintah dan pengusaha saja, tetapi juga merupakan suatu
kewajiban bersama antara pemerintah, pengusaha, perkerja dan
masyarakat.
International labour Organization ( ILO ) memperkirakan di
seluruh dunia ada 6000 pekerja kehilangan nyawa setiap harinya
yang diakibatkan karena kecelakaan dan penyakit akibat resiko
kerja. Selain itu setiap tahun, 270 juta pekerja menderita luka
parah dan 160 juta lainnya mengalami penyakit jangka panjang
ataupun pendek yang sangat terkait dengan resiko pekerjaan
mereka. 3
Banyak perusahaan tidak menyediakan alat keselamatan
dan pengaman untuk para pekerjanya. dan banyak pengusaha
juga mengabaikan K3 karena enggan untuk mengeluarkan biaya
tambahan. Padahal Hukum sudah sangat ketat mengaturnya
3 Danggur Konradus, Keselamatan dan Kesehatan Kerja
6
hanya saja implementasi di lapangan tidak dilakukan secara
maksimal.
Ada banyak masalah yang menyangkut dengan
penegakkan K3 ini. Buruh sebagai subyek dari persoalan
seharusnya juga menyadari sepenuhnya persoalan ini dan tidak
hanya sekedar menunggu saja.
Karena bagaimanapun juga perlindungan terhadap tenaga
kerja/buruh menjadi suatu prioritas yang harus didahulukan,
karena buruh adalah faktor penting yang menjadi barometer
maju atau mundurnya suatu perusahaan.
II. Perumusan Masalah
1. Mengapa K3 dianggap tidak penting bagi Perusahaan dan
tenaga kerja?
2. Bagaimana pihak perusahaan dapat meminimalisasi
kecelakaan dalam melakukan pekerjaan?
3. Apakah kecelakaan kerja dapat diprediksikan sebelumnya?
4. Bagaimana K3 dimata hukum?
5. Bagaimana Sistem Pelaksanaan K3 dalam Jamsostek ?
7
BAB II
PEMBAHASAN
I. Mengapa K3 dianggap tidak penting bagi
Perusahaan, dan tenaga kerja?
Keselamatan dan Kesehatan kerja ( k3 ) menjadi perhatian
penting bagi pemerintah dan pengusaha, karena factor
keselamatan kerja menjadi urgent karena terkait dengan
produktivitas maju atau mundurnya suatu perusahaan, dengan
semakin tersedianya fasilitas K3 maka akan mampu untuk
meminimalisasikan terjadinya kecelakaan kerja. Namun pada
saat ini kondisi perusahaan di Indonesia lebih mengedepankan
factor keuntungan ( benefit ) yang masih menganggap bahwa
yang paling utama adalah bagaimana caranya mengambil
keuntungan yang sebesar-besarnya sesuai dengan prinsip
ekonomi yaitu “ Dengan modal sekecil-kecilnya namun dapat
menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya ”, akibatnya
maka factor penyedia sarana dan prasarana dianggap tidak
terlalu penting.
Padahal didalam terjadinya kecelakaan kerja, perusahaan
bertanggungjawab untuk mengcover segala biaya atas
terjadinya kecelakaan kerja tersebut, namun dalam
pelaksanaannya hal ini tidak dapat tercapai secara maksimal.
8
Dikarenakan perusahaan masih enggan untuk mengeluarkan
biaya tambahan dalam memfasilitasi progam K3 tersebut.
Padahal berdasarkan pasal 87 Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi
(1) Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem
manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang
terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.
(2)Ketentuan Ketentuan mengenai penerapan sistem
manajemen keselamaatan dan kesehatan kerja
sebagaimana dimaksaud dalam ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Meskipun Sistem Manajemen Kesehatan dan Kecelakaan kerja
sudah terintegrasi didalam manajemen perusahaan, namun
tetap saja pelaksanaannya tidak terlaksana secara maxsimal,
sehingga kecelakaan yang diakibatkan dari resiko pekerjaan,
tetap saja dapat terjadi.
Untuk itu diperlukan peran serta berbagai pihak untuk
meminimalisasi terjadinya kecelakaan, dukungan dari pihak-
pihak terkait akan sangat menunjang terlaksananya progam K3
tersebut.
Pada dasarnya sasaran dari K3 adalah untuk mencegah/
mengurangi agar tidak terjadi kecelakaan.
9
Maka dari itu perusahaan sebagai pihak penanggungjawab atas
terjadinya kecelakaan kerja wajib mensosialisasikan sistem K3 ini
secara optimal, sehingga dapat berjalan secara lancar.
Untuk terlaksananya SMK3 tidak hanya perusahaan saja
yang berperan, namun buruh sebagai obyek dari permasalahan
juga harus tanggap dan peduli terhadap keselamatan untuk
dirinya sendiri dan mau berkerjasama agar tujuan dari
pelaksanaan SMK3 dapat terwujud secara maxsimal. Peran serta
buruh tersebut juga ditunjang dengan adanya hak atas
keselamatan dan kesehatan kerja yang berdasarkan Pasal 12
Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan kerja,
yang berbunyi ;
Dengan peraturan perundangan diatur kewajiban dan atau
hak tenaga kerja untuk:
a. Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai
pengawas dan atau keselamatan kerja;
b. Memakai alat perlindungan diri yang diwajibkan;
c. Memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat keselamatan
dan kesehatan kerja yang diwajibkan;
d. Meminta pada Pengurus agar dilaksanakan semua syarat
keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan;
e. Menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan dimana syarat
kesehatan dan keselamatan kerja serta alat-alat perlindungan
10
diri yang diwajibkan diragukan olehnya kecuali dalam hal-hal
khususditentukan lain oleh pegawai pengawas dalam batas-
batas yang masih dapat dipertanggung jawabkan.
Dengan adanya kerjasama yang baik dan juga buruh mau
peduli terhadap progaram SMK3 tersebut dengan cara menjaga
kesehatan jasmani dan rohani sebagai faktor dalam menunjang
peningkatan produktivitas kinerja mereka. Kesegaran jasmani
dan rohani tidak saja sebagai pencerminan dari kesehatan fisik
dan mental, tetapi juga sebagai gambaran adanya keserasian
antara seseorang dengan pekerjaanya. Buruh, beban kerja serta
faktor-faktor dalam lingkungan kerja merupakan sebagai satu
kesatuan yang utuh yang tidak terpisahkan satu sama lainnya.
Kesatuan seperti ini dinamakan sebagai roda keseimbangan
dinamis, apabila keseimbangan tersebut tidak berjalan
beriringan maka akan terjadi satu ketimpangan, yang akan
dapat menyebabkan ganguan kesehatan, dan keadaan yang labil
pada kondisi psikis buruh, bahkan dapat juga menyebabkan
penyakit, Cacat fisik dan kematian.
Dengan adanya program sosialisasi dan penyuluhan
sebelum bekerja serta menaati peraturan dan lebih berhati-hati
dalam bekerja, maka diharapkan dapat meminimalisasi
kecelakaan akibat kerja dan membuat lingkungan kerja menjadi
lebih safety dan menjadi zero accident.
11
II. Bagaimana Pihak perusahaan dapat
meminimalisasi kecelakaan dalam melakukan
pekerjaan?
Perusahaan sebagai pihak penanggungjawab atas
terjadinya kecelakaan kerja mempunyai peranan penting untuk
mengurangi terjadinya kecelakaan, walaupun K3 bukan menjadi
tanggungjawab perusahaan saja, namun juga menjadi
tanggungjawab bersama.
Saat ini di Indonesia K3 baru sekedar iklim belum menjadi
suatu budaya, sehingga K3 hanya sebatas aturan tapi belum
menyentuh setiap pekerja agar menjadikan K3 sebagai sebuah
kebutuhan. Agar program Sistem Manajemen Kesehatan dan
Kecelakaan Kerja ( SMK3 ) dapat berjalan secara optimal, maka
seharusnya K3 merupakan bagian dari budaya perusahaan,
dimana K3 merupakan suatu wujud menghargai nyawa manusia,
kenyamanan tempat kerja, produktivitas kerja, minimalisasi
resiko kecelakaan. Untuk mewujudkan terbentuknya budaya ini
harus dimulai dari keseriusan manajemen perusahaan, yang
dilihat pada sejauh mana mereka mampu untuk
bertanggungjawab atas keselamatan kerja karyawannya. Untuk
itu perlu diketahui tentang syarat-syarat keselamatan kerja yang
12
seperti apa yang harus dipahami oleh perusahaan, sehingga
dapat dijadikan sebagai patokan dalam menentukan langkah
selanjutnya. ketentuan mengenai syarat-syarat keselamatan
kerja,
13
Diatur didalam Pasal 3 Undang-Undang No. 1 Tahun 1970,
mengenai syarat-syarat keselamatan kerja, yang berbunyi ;
1. Dengan peraturan perundangan ditetapkan syarat-
sayart keselamatan kerja untuk :
a. mencegah dan mengurangi kecelakaan;
b. mencegah, mengurangi dan memadamkan
c. mencegah dan mengurangi bahaya peledakan;
d. memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan
diri pada waktu kebakaran atau kejadian-kejadian
lain yang berbahaya;
e. memberi pertolongan pada kecelakaan;
f. memberi alat-alat perlindungan diri pada para
pekerja
g. mencegah dan mengendalikan timbul atau
menyebar luasnya suhu kelembaban, debu,
kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca,
sinar radiasi, suara dan getaran;
h. mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit
akibat kerja baik physik maupun psychis,
peracunan, infeksi dan penularan.
i. memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai;
j. menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang
baik;
14
k. menyelenggarakan penyegaran udara yang
cukup;
l. memelihara kebersihan, kesehatan dan
ketertiban;
m. memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat
kerja, lingkungan, cara dan proses kerjanya;
n. mengamankan dan memperlancar pengangkutan
orang, binatang, tanaman atau barang;
o. mengamankan dan memelihara segala jenis
bangunan;
p. mengamankan dan memperlancar pekerjaan
bongkar muat, perlakuan dan penyipanan barang;
q. mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya;
r. menyesuaikan dan menyempurnakan
pengamanan pada pekerjaan yang bahaya
kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.
2. Dengan peraturan perundangan dapat dirubah perincian
seperti tersebut dalam ayat (1) sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, teknik dan teknologi
serta pendapatan-pendapatan baru di kemudian hari.
Dengan adanya syarat-syarat tersebut perusahaan
diharapkan dapat mengurangi resiko kecelakaan kerja dan
15
menentukan batas-batas dalam rangka memproteksi
keselamatan bersama.
Walaupun syarat-syarat keselamatan kerja sudah
terpenuhi, namun akan munculah sebuah pertanyaan. Mengapa
masih saja kecelakaan itu dapat terjadi dan faktor apakah yang
menyebabkan kecelakaan itu terjadi?
Kecelakaan kerja merupakan kejadian yang tidak terduga
dan tidak diharapkan, dikatakan tidak terduga karena dibelakang
peristiwa tersebut tidak ada unsur kesengajaan dan selalu diikuti
oleh kerugian material serta tidak diharapkan. Kecelakaan
akibat kerja terjadi dalam hubungan kerja yang mencangkup,
yaitu ;
1. Kecelakaan akibat langsung dari pekerjaan, sering disebut
sebagai penyakit akibat kerja.
2. Kecelakaan yang terjadi pada saat pekerjaan sedang
berlangsung, ( kecelakaan dalam arti fisik )
3. Kecelakaan yang terjadi dari rumah ke tempat kerja/
sebaliknya melalui jalan yang wajar.
Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan
kerja adalah karena ;
1. Perbuatan manusia yang tidak aman ( unsafe human act )
2. Kondisi yang tidak aman ( unsafe conditon )
16
Penyebab kecelakaan terbesar adalah karena perbuatan
manusia yang terjadi karena kelalaian/ kesalahan. Maka oleh
sebab itu fokus dari kaidah K3 diarahkan kepada manusia
sebagai Human eror .
Manusia sebagai subjek dari K3 menjadi faktor penting
yang harus diperhatikan dengan baik, untuk diperlukan upaya
yang terus-menerus dalam menjalankan SMK3 ini, salah satu
caranya adalah dengan pemeriksaan tenaga kerja pada tingkat
awal atau pada saat baru pertama kali masuk kerja dan
pemeriksaan tenaga kerja secara berkala, ketentuan diatas
berdasarkan padaa Peraturan Mentri Tenaga Kerja No.2 Tahun
1980 tentang pemeriksaan kesehatan tenaga kerja, yang intinya
memuat ketentuan bahwa pada dasarnya perusahaan tidak mau
menerima orang yang tidak sehat karena mereka akan
kehilangan jam kerja dan juga harus membayar biaya kesehatan.
Pemeriksaan secara berkala diperlukan untuk memonitor
derajat kesehatan rutin tenaga kerja, dan mendeteksi tentang
kemungkinan timbulnya penyakit baru yang berasal dari
pekerjaan/ penyakit-penyakit lainnya, seperti penyakit umum,
khusus ( muncul ditengah pekerjaan ), dan penyakit akibat kerja.
Pemeriksaan khusus juga dilakukan kepada pekerja
golongan tingkat tertentu :
17
1. Tenaga kerja yang telah mengalami kecelakaan atau
penyakit yang memerlukan perawatan lebih dari dua
( 2 ) minggu.
2. Tenaga kerja yang berusia lebih dari 40 tahun atau
tenaga kerja wanita.
3. Tenaga kerja yang melakukan keluhan-keluhan atas
penyakitnya.
Selain melakukan pemeriksaan kesehatan, pengusaha juga
mempunyai kewajiban dalam hal pembinaan tentang K3 yang
berdasarkan pada pasal 9 Undang-Undang No. 1 Tahun 1970
tentang Keselamatan kerja, yang berbunyi ;
1. Pengurus diwajibkan menunjukkan dan menjelaskan
pada tiap tenaga kerja baru
tentang :
a. Kondisi-kondisi dan bahaya-bahaya serta yang dapat
timbul dalam tempat kerja;
b. Semua pengamanan dan alat-alat perlindungan yang
diharuskan dalam tempat kerja;
c. Alat-alat perlindungan diri bagi tenaga kerja yang
bersangkutan;
d. Cara-cara dan sikap yang aman dalam melaksanakan
pekerjaannya.
18
2. Pengurus hanya dapat mempekerjakan tenaga kerja
yang bersangkutan setelah ia yakin bahwa tenaga
kerja tersebut telah memahami syarat-syarat tersebut
di atas.
3. Pengurus diwajibkan menyelenggarakan pembinaan
bagi semua tenaga kerja yang berada di bawah
pimpinannya, dalam pencegahan kecelakaan dan
pemberantasan kebakaran serta peningkatan
keselamatan dan kesehatan kerja, pula dalam
pemberian pertolongan pertama pada kecelakaan.
Dengan adanya pembinaan tersebut maka diperlukanlah
adanya seorang panitia pembinaan keselamatan dan kesehatan
kerja, yang didasarkan pada pasal 10 Undang-Undang No. 1
Tahun 1970 tentang Keselamatan kerja, yang berbunyi :
1. Menteri Tenaga Kerja berwenang membertuk Panitia
Pembina Keselamatan Kerja guna memperkembangkan
kerja sama, saling pengertian dan partisipasi efektif dari
pengusaha atau pengurus dan tenaga kerja dalam
tempat-tempat kerja untuk melaksanakan tugas dan
kewajiban bersama di bidang keselamatan dan
kesehatan kerja, dalam rangka melancarkan usaha
berproduksi.
19
2. Susunan Panitia Pembina dan Keselamatan dan
Kesehatan Kerja, tugas dan lain-lainnya ditetapkan oleh
Menteri Tenaga Kerja.
Sehingga pelaksanaan pembinaan dapat berjalan secara
optimal, pengurus pembinaan juga memiliki kewajiban yang
tertuang pada pasal 14 Undang-Undang No. 1 Tahun 1970
tentang Keselamatan kerja, yaitu :
Pengurus diwajibkan :
a. secara tertulis menempatkan dalam tempat kerja yang
dipimpinnya, semua syarat keselamatan kerja yang
diwajibkan, sehelai Undang-undang ini dan semua
peraturan pelaksanaannya yang berlaku bagi tempat
kerja yang bersangkutan, pada tempat-tempat yang
mudah dilihat dan menurut petunjuk pegawai pengawas
atau ahli keselamatan kerja;
b. Memasang dalam tempat kerja yang dipimpinnya,
semua gambar keselamatan kerja yang diwajibkan dan
semua bahan pembinaan lainnya, pada tempat-tempat
yang mudah dilihat dan terbaca menurut petunjuk
pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja.
c. Menyediakan secara cuma-cuma, semua alat
perlindungan diri yang diwajibkan pada tenaga kerja
berada di bawah pimpinannya dan menyediakan bagi
20
setiap orang lain yang memasuki tempat kerja tersebut,
disertai dengan petunjuk-petunjuk yang diperlukan
menurut petunjuk-petunjuk yang diperlukan menurut
petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan
kerja.
Disamping dengan adanya pengurus pembinaan, Program SMK3
juga didukung oleh adanya Organisasi K3 yang mana berfungsi
sebagai wadah/tempat dalam melaksanakan pembinaan,
pengawasan dan penyempurnaan norma-norma keselamatan
kerja disemua bidang. Selain itu untuk membuktikan benar atau
tidaknya penerapan SMK3 ini, maka disetiap perusahaan
dilakukan proses pengauditan yang mana dilakukan oleh
lembaga Audit yang ditunjuk oleh Mentri Tenaga Kerja. Proses
pengauditan SMK3 dilaksanakan satu kali dalam tiga ( tiga )
tahun, Setelah proses pengauditan tersebut selesai, perusahaan
yang pelaksanaan SMK3-nya telah memenuhi standar yang
disyaratkan oleh SMk3 maka akan diberikan sebuah sertifikat,
namun sebaliknya jika tidak memenuhi standar yang telah
ditentukan maka akan diambil tindakan oleh pengawas.
Berdasarkan pasal 1 ayat ( 5 ) Undang-Undang No. 1 Tahun 1970
tentang Keselamatan kerja yang dimaksud dengan pegawai
pengawas ialah ” pegawai teknis berkeahlian khusus dari
21
Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Mentri Tenaga
Kerja ”.
Agar semua elemen dalam k3 dapat berjalan sebagaimana
yang diamanatkan oleh Undang-Undang maka diperlukan sebuah
pengawasan yang ketentuannya diatur dalam Pasal 5 Undang-
Undang yang sama, yang berbunyi ;
1. Direktur melakukan pelaksanaan umum terhadap
Undang-undang ini sedangkan para pegawai pengawas
dan ahli keselamatan kerja ditugaskan menjalankan
pengawasan langsung terhadap ditaatinya Undang-
undang ini dan membantu pelaksanaannya.
2. Wewenang dan kewajiban direktur, pegawai pengawas
dan ahli keselamatan kerja dalam melaksanakan
Undang-undang ini diatur dengan peraturan
perundangan.
Setelah kesemua bagian tersebut dapat menjalankan
perannya masing-masing secara optimal, maka diharapkan
kecelakaan kerja dapat dikurangi bahkan bukan tidak mungkin
bila akan menjadi zero accident. Walaupun sudah banyak
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang K3 ini,
namun tetap saja pelaksanaannya masih memiliki banyak
kekurangan dan kelemahan, karena faktor terbatasnya
pengawas, serta fasilitas K3 itu sendiri, maka untuk itu masih
22
diperlukan adanya sebuah upaya untuk memberdayakan
lembaga-lembaga K3 yang ada di masyarakat, meningkatkan
sosialisasi dan kerjasama dengan mitra sosial guna membantu
pelaksanaan pengawasan norma K3 agar terjalan dengan baik.
23
III. Apakah kecelakaan kerja dapat diprekdisikan
sebelumnya?
Kecelakaan kerja merupakan hal yang tidak terduga dan tidak
dapat diprekdisikan sebelumnya, namun ada pendapat yang
mengatakan, kecelakaan kerja itu sebenarnya dapat diduga
sebelumnya, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk
mengantisipasinya, yaitu ;
1. Perlu adanya kewajiban untuk berbuat selamat
2. Perlu mengatur agar kondisi peralatan kerja sesuai
dengan standar Undang-Undang
Faktor terbesar atas terjadinya kecelakaan kerja bersumber dari
manusia sebagai human eror, manusia seringkali melakukan
kesalahan yang dapat membahayakan keselamatan dirinya
sendiri. lalu bagaimana perbuatan tidak selamat tersebut dapat
menimpa manusia? hal tersebut terjadi karena kurangnya
pengetahuan, kurang terampil, dan tidak serius, adanya faktor
keletihan dan kebosanan, kerja manusia yang tidak sepadan
dengan ergonomic
( ilmu yang mengatur tentang kenyamanan peralatan kerja )
serta ganguan kejiwaan/ psikologis.
24
IV. Bagaimana K3 dimata hukum ?
Ada tiga aspek utama hukum K3 yaitu norma keselamatan,
kesehatan kerja, dan kerja nyata. Norma keselamatan kerja
merupakan sarana/alat dalam mencegah terjadinya kecelakaan
kerja yang tidak diduga dan disebabkan oleh kelalaian kerja
serta lingkungan kerja yang tidak kondusif. Konsep ini
diharapkan mampu menihilkan kecelakaan kerja sehingga
mencegah terjadinya cacat atau kematian terhadap pekerja, dan
juga mencegah terjadinya kerusakan tempat dan peralatan kerja
serta mampu mencegah pencemaran lingkungan hidup dan
masyarakat sekitar- nya. Norma kesehatan kerja diharapkan
menjadi instrumen yang mampu menciptakan dan memelihara
derajat kesehatan kerja. K3 dapat melakukan pencegahan dan
pemberantasan penyakit akibat kerja, seperti kebisingan,
pencahayaan (sinar yang dapat menyebabkan kerusakan pada
alat pendengaran, kebutaan, dan lain-lain. Norma kerja berkaitan
dengan manajemen perusahaan. K3 dalam konteks ini berkaitan
dengan masalah shift, kerja wanita, pengaturan jam lembur,
analisis dan pengelolaan lingkungan hidup, dan lain-lain. Hal-hal
tersebut mempunyai korelasi yang erat terhadap peristiwa
kecelakaan kerja. 4
4 Sinar Harapan 2004
25
V. Bagaimana sistem pelaksanaan K3 dalam
Jamsostek ?
Sebagai upaya dalam mewujudkan program K3 yang diharapkan
dapat menjadi perlindungan yang khusus bagi tenaga kerja,
maka dibuatlah Sistem Jaminan Sosial ( Jamsostek ), menurut
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang
Jaminan Sosial Tenaga Kerja, yang dimaksud dengan Jamsostek
adalah ” Suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk
santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari
penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai
akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja
berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan
meninggal dunia.”
Namun jauh sebelum Undang-Undang tersebut dibuat, Pemerintah
terlebih dahulu mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 33
Tahun 1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja. Program-
program yang menjadi ruang lingkup
aturan ini meliputi :
a. Jaminan Kecelakaan Kerja ( JKK );
b. Tabungan Hari Tua; dan
c. Jaminan Kematian ( JK).
26
program tersebut dilaksanakan dengan mekanisme asuransi
yang dikelola oleh sebuah badan penyelenggara, yaitu PT
Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek). Undang-Undang No. 33
Tahun 1947, yang juga merupakan salah satu dasar hukum
pembentukan Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1977 tentang
Asuransi Sosial Tenaga Kerja, menyebutkan dalam Pasal 36
bahwa perusahaan yang diwajibkan membayar tunjangan
diwajibkan pula membayar iuran guna mendirikan suatu dana.
Artinya, undang-undang tersebut menentukan bahwa kewajiban
membayar ganti kerugian bagi buruh yang tertimpa kecelakaan
kerja harus dilaksanakan sendiri oleh pihak majikan yang
bersangkutan. Munculnya Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun
1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja mengalihkan
kewajiban pembayaran ganti rugi tersebut dari pihak pengusaha
atau pemberi majikan kepada badan penyelenggara, yaitu PT
Astek. Iuran untuk pembayaran jaminan kecelakaan kerja ini
seluruhnya ditanggung oleh perusahaan yang mengikutsertakan
diri dalam program tersebut. Namun pelaksanaan Astek tidak
tercapai secara maxsimal, karena tidak ada daya paksa/ sanksi
jika tidak ikut, sehingga pelaksanaan Astek tidak berjalan secara
optimal. Latar belakang dikeluarkan Undang-Undang No. 3 Tahun
1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah karena pasal
15 Undang-Undang No.14 Tahun 1996 tentang Ketentuan Pokok
27
Tenaga Kerja, Aspek dikeluarkan Undang-Undang ini adalah
karena ;
1. merupakan perlindungan dasar untuk memenuhi
kebutuhan hidup, minimal tenaga kerja dan keluargnya.
2. Merupakan penghargaan/reward bagi Tenaga
kerja yang telah berprestasi didalam perusahaan.
Setelah dikeluarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang
Jaminan Sosial Tenaga Kerja, maka kedua peraturan perundang-
undangan di atas kemudian dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku lagi. Pengaturan tentang Jaminan kecelakaan kerja
diatur didalam Pasal 9 Undang No. 3 Tahun 1992 tentang
Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang berbunyi ;
Kecelakaan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1) meliputi:
a. biaya pengangkutan;
b. biaya pemeriksaan, pengobatan, dan/atau perawatan;
c. biaya rehabilitasi;
d. santunan berupa uang yang meliputi:
1. santunan sementara tidak mampu bekerja;
2. santunan cacad sebagian untuk selama-lamanya;
3. santunan cacad total untuk selama-lamanya baik
fisik maupun mental.
4. santunan kematian.
28
Selain mendapat Jaminan kecelakaan kerja, buruh juga
berhak untuk mendapat Jaminan pemeliharaan kesehatan yang
ditentukan berdasarkan pasal 16 Undang-Undang yang sama,
yang berbunyi ;
1. Tenaga kerja, suami atau isteri, dan anak berhak
memperoleh Jaminan Pemeliharaan Kesehatan.
2. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan meliputi:
a. rawat jalan tingkat pertama;
b. rawat jalan tingkat lanjutan;
c. rawat inap;
d. pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan;
e. penunjang diagnostik;
f. pelayanan khusus;
g. pelayanan gawat darurat.
Semua pengelolaan tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
dilaksanakan dengan mekanisme sebuah badan penyelanggara
yaitu PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) yang didirikan
berdasarkan atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1995.5
5 Indonesia Bussines ( Ibid )
29
BAB III
PENUTUP
I. Kesimpulan
Sebagai suatu system yang dibuat dalam upaya untuk
mengurangi resiko kecelakaan kerja, maka diharapkan K3 dapat
menjadi upaya preventif terhadap timbulnya kecelakaan kerja
dan penyakit akibat hubungan kerja didalam lingkungan kerja. K3
bertujuan melindungi Tenaga Kerja atas hak keselamatan dan
kesehatan kerja didalam melakukan pekerjaan, dan juga
menjamin keselamatan setiap orang lainnya yang sedang berada
dilingkungan kerja. Pelaksanaan K3 diawali dengan sosialisasi
pentinganya K3 bagi tenaga kerja serta mengenali hal-hal yang
berpotensi menimbulkan kecelakaan kerja dan penyakit akibat
hubungan kerja lebih dini , serta segera mengambil tindakan
antisipatif bila terjadi hal yang dapat menjadi factor yang
menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja. SMK3 yang dapat
berjalan secara optimal dapat mengurangi biaya perusahaan
apabila timbul kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan
kerja. Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) merupakan
program yang ditujukan untuk mendukung pelaksanaan sistem
K3 dalam setiap perusahaan. Program-program yang meliputi
ruang lingkup aturan ini adalah:
30
a. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK);
b. Tabungan Hari Tua; dan
c. Jaminan Kematian (JK).
Namun pada pelaksanaannya, program Jamsostek belum dapat
berjalan secara optimal, hal ini dapat dilihat dari banyaknya
tuntutan dan protes yang datang dari berbagai kalangan
masyarakat umumnya, dan para buruh pada khususnya, apalagi
ditengah permasalahan krisis ekonomi global dunia pada saat
ini.
II. Saran
Untuk mewujudkan pelaksanaan K3 yang optimal maka
diperlukan kerjasama dari berbagai pihak dalam mendukung
kinerja K3 tersebut, kerjasama yang baik akan menghasilkan
SMK3 yang sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang-
Undang. SMK3 yang diterapkan pada system manajemen
disetiap perusahaan serta dengan adanya penyediaan fasilitas
K3 yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, maka
diharapkan resiko kecelakaan kerja dapat dikurangi, dan jika
mungkin malah menjadi zero accident. Dengan pemberian
perlindungan yang maxsimal kepada para tenaga kerja, maka
31
akan dapat meningkatkan tingkat produktivitas perusahaan
menjadi lebih optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Catatan Kaki:
1. Tono Muhammad, 2002
2. Danggur Konradus, Keselamatan dan Kesehatan Kerja
3. Sinar Harapan 2004
4. Ibid
5. UU. No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
6. UU. No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja
7. UU. No. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek
8. Permen, Kepmen Undang-Undang terkait
9. Catatan mata Kuliah Perlindungan kerja oleh, Djokopitojo, S.H.
32