Post on 08-Jan-2020
JURNAL
PENGEMBANGAN PENYULUHAN PERTANIAN
Bidang Ilmu-ilmu Peternakan
Volume 8 (16) , Juli 2012 ISSN : 1858- 1625
DAFTAR ISI
Tingkat Penambahan Kecambah Kacang Hijau pada
Itik Pembibitan terhadap Produksi dan Kualitas Telur
Tetas 1 -14 N. Prabewi, Supriyanto, dan G. Adiwinarto
Model Beternak Ayam Broiler di Kelurahan Manulai
Kecamatan Alak Kota Kupang 15 - 21 Nuryanto, Damfrid
Pengaruh Perlakuan Hidrolisis terhadap Kandungan
Protein Kasar, Serat Kasar dan Lemak Kasar pada
Tepung Belalang Kembara (Locusta Sp.) 22 - 28 J. Daryatmo
Studi Kasus Penyakit Kulit pada Kuda dan
Keperawatannya di Tombo Ati Stable Salatiga 29 - 36 D. Partiwi, Yuriadi, B. P. Widiarso
Motivasi Petani dalam Menggunakan Pupuk Organik
di Desa Kenalan Kecamatan Pakis Kabupaten
Magelang 37 - 48 J. Sulardi
Pengaruh Karakteristik Petani dan Adopsi Inovasi
Penggunaan Pupuk Organik Kelompok Tani
Tranggulasi Desa Batur Kecamatan Getasan
Semarang 49 - 56 Sunarsih, S. Rahayu
Prevalensi Toxoplasmosis pada Kambing yang Dijual
di Kota Makassar 57 - 64 Purwanta
Pengantar Redaksi
Puji syukur kita panjatkan kehadlirat Allah SWT, atas terbitnya jurnal Pengembangan
Penyuluhan Pertanian, Bidang Ilmu-ilmu Peternakan, Volume 8(16), Desember 2012, yang
diterbitkan oleh Program Studi Penyuluhan Peternakan, Sekolah Tinggi Penyuluhan
Peternakan. Jurnal ini merupakan publikasi ilmiah dibidang Ilmu Penyuluhan Pertanian,
khususnya Penyuluhan dibidang Peternakan, yang terbit 2 (dua) kali dalam setahun, yaitu pada
bulan Juli dan Desember.
Pada edisi kali ini menampilkan hasil penelitian tentang Tingkat Penambahan
Kecambah Kacang Hijau pada Itik Pembibitan terhadap Produksi dan Kualitas Telur Tetas,
Model Beternak Ayam Broiler di Kelurahan Manulai Kecamatan Alak Kota Kupang, Pengaruh
Perlakuan Hidrolisis terhadap Kandungan Protein Kasar, Serat Kasar dan Lemak Kasar pada
Tepung Belalang Kembara (Locusta Sp.), Studi Kasus Penyakit Kulit pada Kuda dan
Keperawatannya di Tombo Ati Stable Salatiga, Motivasi Petani dalam Menggunakan Pupuk
Organik di Desa Kenalan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang, Pengaruh Karakteristik
Petani dan Adopsi Inovasi Penggunaan Pupuk Organik Kelompok Tani Tranggulasi Desa Batur
Kecamatan Getasan Semarang, Prevalensi Toxoplasmosis pada Kambing yang Dijual di Kota
Makassar.
Kami mengucapkan terima kasih kepada penulis dan semua pihak yang telah membantu
penerbitan jurnal ini dan semoga dapat memberikan motivasi dan dorongan kepada semua
sivitas akademika STPP Magelang pada khususnya dan semua pihak pada umumnya untuk
mempublikasikan hasil penelitian dibidang penyuluhan peternakan, hasil telaah pustaka, atau
pengalaman lain yang dapat bermanfaat bagi kemajuan dibidang ilmu penyuluhan peternakan
pada khususnya dan pembangunan pertanian pada umumnya.
Redaksi.
1 Tingkat Penambahan Kecambah Kacang Hijau pada Itik Pembibitan Terhadap Produksi dan Kualitas
Telur Tetas
TINGKAT PENAMBAHAN KECAMBAH KACANG HIJAU
PADA ITIK PEMBIBITAN TERHADAP PRODUKSI
DAN KUALITAS TELUR TETAS
(The Level of Increasing Green Peanut Sprout to the Duck Breeder on The Production
And Hatching Egg Quality)
N. Prabewi*, Supriyanto
*, dan G. Adiwinarto
*
ABSTRACT
The Research was conducted for to know the storey level of addition green peanut
sprout of the duck breeding requirement as source nutrition to increase productivity and
fertility of duck egg as hatcing egg. The Research Method use the Completely Randomized
design ( CRD). Duck Subdividing four treatments , sixty female duck and drake 12 male duck
divided at random become 4 treatments. Every treatment use 15 females duck and 3 male duck.
Every treatment repeated by as much 3 times so that every treatment become 3 unit, every unit
composed by 5 female duck and 1 male duck, As for the treatment was P1 = without addition of
sprout of bean hijau,P2 = added by green peanut sprout 10 g/day/duck, P3 = added by green
peanut sprout 20 g/day/duck, P4 = added by green peanut sprout 30 g/day/duck. The parameter
perceived by feed testis weight ( g) and testis diameter ( cm). Female Reproduction anatomy
measured by ovary weight ( g). Data analysed by analysis of variance, and if there are
differences continued by Duncan'S Multiple Range Test ( DMRT)
The Conclusion showed that 1). addition green peanut sprout in the feed more efficient
than without the addition.2)The duck breeding present result of more qualified egg quality such
as : high percentage fertility, embryo livability was stronger , structure of egg anatomy organ
was stronger than the control,3).The ovarium more better than without treatment.4). Level
colour of egg yolk yielded from still below/under value egg yolk which not yet as according to
consumer request as egg consume, but if for the hatcing egg more better than the hatching egg
from uncompletely duck housing farm.
Keywords: Green peanut sprout, duck, hatching egg
* Staf Pengajar Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Magelang
PENDAHULUAN
Latar belakang
Itik Jawa adalah itik lokal Indonesia,
khususnya yang selama ini berkembang dan
dipelihara di Pulau Jawa, yang termasuk
dalam kelompok ternak itik ini adalah itik
Tegal, Itik Magelang, Itik Mojosari. Itik
jenis ini menghasilkan telur sekitar 200
butir/tahun sampai 250 butir/tahun, serta
berat telur rata –rata 65 – 70 gram/butir.
Berat standar itik Jawa jantan 1,8 – 2 kg,
dan betina 1,6 – 1,8 kg adalah ukuran yang
cukup potensial untuk dikembangkan
sebagai tipe petelur produktif, (Bambang,
1991).
Produksi telur ditentukan oleh dua
faktor yang penting yaitu faktor genetik dan
faktor lingkungan, faktor genetik ialah
faktor yang dimiliki oleh itik itu sendiri
yang diperoleh dari tetuanya untuk
berproduksi secara optimal, akan tetapi
faktor ini tidak dapat dipisahkan dengan
factor lingkungan, karena faktor lingkungan
juga ikut menentukan derajat tinggi
rendahnya produksi telur, dengan kata lain
faktor lingkungan yang kurang
menguntungkan dapat menurunkan
produksi telur (Robinson,1961 yang disitasi
2 Tingkat Penambahan Kecambah Kacang Hijau pada Itik Pembibitan Terhadap Produksi dan Kualitas
Telur Tetas
oleh Sudibyo, 1989).
Induk pejantan perlu mendapat
tambahan pakan berupa kecambah sebagai
sumber vitamin E, Kecambah yang terbaik
adalah kecambah kacang hijau karena
kandungan vitamin E di dalamnya termasuk
yang tertinggi (Hartono dan Isman, 2010) .
Selanjutnya Windyarti ( 2009) menyatakan
bahwa kekurangan vitamin E, peternak
dapat memberikan minyak nabati, sayuran
hijau, biji-bijian dan kecambah, selain
menyebabkan fertilitas yang rendah karena
kekurangan vitamin E juga dapat
menyebabkan kematian embrio yang tinggi
saat proses penetasan. Sebelumnya Guyton
dan Hall (1996), menyatakan bahwa
kekurangan vitamin E dapat menyebabkan
degenerasi epitel germinalis pada testis oleh
sebab itu dapat menyebabkan sterilitas pada
hewan jantan dan untuk hewan betina dapat
menyebabkan resorbsi janin setelah
konsepsi. Leeson dan Summer (1991)
menyatakan bahwa kebutuhan vitamin E
pada itik 15 IU pada ransum pembibit itik
berat. Sedangkan Scott dan Dean (1991)
menyatakan bahwa pada itik fase grower
dan finisher membutuhkan 20 IU dan untuk
itik pembibit membutuhkan vitamin E 40
IU.
Penelitian dilaksanakan untuk
mengetahui tingkat pemberian kecambah
kacang hijau pada ternak induk itik bibit
yang sesuai kebutuhan sebagai sumber
nutrisi untuk meningkatkan produktivitas
dan fertilitas telur itik sebagai telur tetas
Landasan teori
Pakan itik pada masa produksi
membutuhkan kandungan protein 16 - 18%,
energi 2.700 kkal/kg, kalsium 2,90-3,25%,
dan fosfor 0,47%. Pemberian kalsium dan
fosfor sangat pcnting untuk itik yang
sedang bertelur. Sifat alamiah itik berbeda
dengan ayam. Kebutuhan kalsium dan
fosfor pada itik lebih banyak dibandingkan
pada ayam. Apabila di dalam ransum
kekurangan kedua jenis mineral tersebut itik
akan mengalami kelumpuhan. Selain itu,
kalsium dan fosfor dibutuhkan itik untuk
membuat kulit telur.
Tabel 1. Kebutuhan Nutrisi Itik Petelur
Nutrisi Anak itik
( 0 – 4 Mg )
Dara
( 5 – 20 mg )
Petelur
(21 mg - Tua )
Protein 18 -20 14 - 16 15 - 17
Energi 3000 2800 2900
Serat Kasar (%) 4 -7 6 - 9 6 -9
Lemak (%) 4 - 7 3 - 6 4 - 7
Kalsium ( %) 0.90 0.80 0.80
Fosfor (%) 0.70 0.70 0.50
Asam Amino
* Metionin (%)
* Lisin (%)
* Triptofan (%)
0.40
1.10
0.24
0.35
0.80
0.20
30
0.70
Vitamin
* Vitamin A ( IU/kg)
* Vitamin D3
* Vitamin A (
IU/kg)
* Vitamin A (
IU/kg)
* Vitamin B 2
* Vitamin B 12
8.800
1.100
5.50
2.20
4.40
8.80
6.600
880
2.20
2.20
4.40
4.40
6.600
880
1.10
1.10
3.30
4.40
Sumber: Murtidjo, 1990
3 Tingkat Penambahan Kecambah Kacang Hijau pada Itik Pembibitan Terhadap Produksi dan Kualitas
Telur Tetas
Fertilitas
Kualitas Telur
Telur tetas yang berumur lebih dari
7 hari dari waktu peneluran mempunyai
daya tetas telur yang menurun dibandingkan
dengan telur tetas yang berumur di bawah 7
hari, karena umur telur tetas yang terlalu
lama mengakibatkan komposisi putih telur
menjadi encer sehingga Chalaza mudah
putus, Chalaza ini merupakan bagian dari
putih telur yang mempunyai peran vital
sebagai pengikat kuning telur, padahal
dengan putusnya Chalaza ini maka telur
tidak akan menetas karena fungsi bagian
dari telur telah rusak yaitu sebagai
penghantar panas selama telur ditetaskan
sehingga dapat dikatakan bahwa Chalaza
ini merupakan bagian telur yang berperan
penting dalam proses penetasan, (Hartono
dan Isman, 2010).
Fertilitas dinyatakan sebagai
perbandingan jumlah telur yang fertile
dengan jumlah telur yang ditetaskan dan
dinyatakan dalam persentase, tanpa
memperhatikan apakah telur tersebut
menetas atau tidak menetas (Setiadi
dkk,1992). Telur fertil akan terbentuk jika
terjadi persatuan antara ovum dan
spermatozoa yang disebut fertilisasi pada
organ kelamin betina bagian Infundibullum
, dan spermatozoa dari ternak unggas jantan
mampu bertahan hidup di organ oviduk
yaitu organ kelamin betina sampai 10 hari
lamanya. Sedangkan pejantan –pejantan
yang dipisahkan dari kelompok betina
prosentase telur yang fertile akan turun,
penurunan itu diantara hari ke empat
sampai dengan hari ke lima, kemudian sel –
sel sperma yang baru , mempunyai
kemampuan lebih tinggi dari pada yang
sudah lama dan terjadinya fertilisasi dalam
jangka tiga hari setelah perkawinan (Tri-
Yuwanta 1983).
Taoge merupakan sumber makanan
yang kaya akan protein asam amino,
vitamin ,mineral dan dikenal sebagai
makanan peningkat kesuburan karena
mengandung banyak vitamin E, Khususnya
vitamin E – alfa yang dapat menambah
stamina tubuh, kecambah kacang hijau
mengandung estrogen alami yang berfungsi
sama dengan estrogen sintesis tetapi
estrogen alami ini tidak ada efek samping
selain itupun taoge banyak mengandung
kalium, dalam secangkir taoge dapat
mengandung 125 mg kalium, yang penting
untuk mendapatkan fungsi jaringan organ
dan sel yang sehat. Sebagai elektrolit,
kalium membantu menambah cadangan
energi dan meningkatkan fungsi otot,
kecambah kacang hijau juga banyak
mengandung vitamin C dibandingkan
dengan kacang hijau, dikarenakan adanya
siklus hidup tanaman yang signifikan. Yang
menajubkan pengecambahan
melambungkan jumlah vitamin A sebanyak
300 persen dan vitamin C 500 – 600 persen
yang mana vitamin tersebut mendukung
dalam meningkatkan kesuburan, (dilansir
Livestrong, Senin ( 22/11/2010).
Kerangka Pikir
Peningkatan fertilitas dan periode
fertile ditentukan juga oleh invertensi
vitamin E. Pemberian vitamin E yang cukup
akan memberi pengaruh mencegah
degenerasi epitel germinalis pada testis,
sehingga produksi spermatozoa dan
fertilitasnya dapat dipertahankan.
Penambahan
Kecambah kacang
hijau
Produksi Telur
4 Tingkat Penambahan Kecambah Kacang Hijau pada Itik Pembibitan Terhadap Produksi dan Kualitas
Telur Tetas
Hipotesis
Pemberian kecambah kacang hijau
mulai dari 10 g sampai 30 g dalam pakan
itik petelur dapat berpengaruh terhadap
peningkatan produksi dan fertilitas telur itik
sebagai telur tetas.
MATERI DAN METODE
Materi
1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan di
Laboratorium ternak Unggas Sekolah
Tinggi Penyuluhan Pertanian Magelang
Jurusan Peternakan pada bulan Mei tahun
2011 sampai dengan bulan Agustus 2011
(Adaptasi ternak selama satu bulan). Untuk
analisis proksimat bahan pakan dilakukan di
Laboratorium Teknologi Pertanian
Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
2. Alat dan Bahan Penelitian
Alat dan bahan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah :
1. Itik Magelang dewasa sejumlah 72
ekor berumur 24 minggu yang terdiri
atas 60 ekor itik betina dan 12 ekor itik
jantan.
2. Kandang yang digunakan adalah
kandang battery kelompok terbuat dari
bambu dengan ukuran 150 x 100 x 80
cm dan dilengkapi dengan tempat
pakan dan tempat minum, serta tempat
umbaran.
3. Timbangan kapasitas 100 g kepekaan
1g untuk menimbang berat telur dan
timbangan kapasitas 10 kg untuk
menimbang pakan yang diberikan dan
sisa pakannya.
4. Alat candling telur untuk meneropong
telur guna membedakan telur telur
yang fertile maupun infertil.
5. Untuk pengujian kualitas telur
menggunakan alat : Roche Colour
Index, Dept Micrometer, jangka sorong
dan perlengkapan lainnya.
6. Bahan pakan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah jagung kuning
giling, Bekatul, konsentrat, dan premix.
7. Pakan tambahannya adalah kecambah
kacang hijau.
Tabel 2. Kandungan Bahan Pakan
Nama bahan Konsentrat 1)
Jagung kuning
giling 1)
Dedak halus
1)
BK (%) 88,00 86,00 86,00
Protein Kasar (%) 37,43 7,87 10,64
Energi Metabolis (Kkal/kg) 1.800,00 3.430,00 3.090,00
Serat Kasar (%) 6,00 0,56 11,56
Lemak Kasar (%) 2,00 3,25 9,80
Ca ( %) 12,21 0,02 0,09
P (%) 1,48 0,04 1,42
Bahan (%) 25,00 15,00 60,00
1) Tabel komposisi pakan, Produksi Charoen Pokhand Indonesia Surabaya
2) Laboratorium Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Gadjah Mada.
Metode
Itik betina sejumlah 60 ekor dan itik
jantan 12 ekor dibagi secara acak menjadi 4
perlakuan yaitu memberikan pakan
tambahan kecambah kacang hijau yang
dilakukan pada siang hari. Setiap perlakuan
menggunakan 15 ekor betina dan 3 ekor
jantan, setiap perlakuan diulang sebanyak 3
kali sehingga setiap perlakuak menjadi 3
unit, setiap unit terdiri 5 itik betina dan 1
ekor itik jantan, Adapun perlakuan tersebut
adalah P1 = tanpa tambahan kecambah
kacang hijau, P2 = ditambah kecambah
kacang hijau 10 g/hari/ekor,P3 = ditambah
kecambah kacang hijau 20 g/hari/ekor,P4 =
5 Tingkat Penambahan Kecambah Kacang Hijau pada Itik Pembibitan Terhadap Produksi dan Kualitas
Telur Tetas
ditambah kecambah kacang hijau 30
g/hari/ekor.
Parameter yang diamati : Konsumsi
pakan, Produksi telur, Fertilitas telur,
Kualitas fisik telur, Mengukur kandungan
vitamin E, Anatomi itik yaitu data yang
diperoleh dari anatomi reproduksi dengan
cara melakukan pemotongan ternak pada
akhir penelitian, kemudian diambil alat
reproduksinya dengan mengukur : a.
Anatomi reproduksi jantan yang diukur
adalah berat testis (g) dan diameter testis
(cm). b. Anatomi reproduksi betina yang
diukur adalah berat ovarium (g)
Analisis Data
Data yang didapat dianalisis
menggunakan analisis variansi, dan apabila
ada perbedaan dilanjutkan dengan
Duncan‘s Multiple Range Test (DMRT) ,
(Steel and Torrie, 1991).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsumsi Pakan
Hasil analisis variansi menunjukkan
bahwa perlakuan tingkat penambahan
kecambah kacang hijau dalam ransum
memberikan pengaruh yang sangat nyata
(P < 0,01) terhadap konsumsi pakan tertera
pada Tabel 3 .
Tabel 3. Rerata Konsumsi Pakan (g/ekor/hari) Selama Penelitian.
Perlakuan
Penambahan kecambah kacang
hijau (g/ekor/3x/mgg )
Ulangan
Rata –rata
1 2 3
P0 ( 0 ) 176 174 175 175 d
P1 ( 10 ) 178.85 179 180 179,28 c
P2 ( 20 ) 184 183.47 183 183,49 b
P3 ( 30 ) 185.23 186 185.9 185,71a
a,b, huruf yang berbeda pada kolom rata – rata menunjukkan perbedaan nyata (P < 0,01)
Perbedaan rata-rata konsumsi pakan
dipengaruhi adanya penambahan kecambah
kacang hijau dalam ransum. Pengaruh
tingkat penambahan kecambah kacang hijau
dalam ransum yang semakin meningkat
sampai pada penambahan 30
grm/ekor/3x/mgg menaikkan konsumsi
pakan dan mulai terjadi penurunan
konsumsi pakan pada perlakuan (P2 dan P1
) tingkat penambahan kecambah kacang
hijau 20 gram sampai 10 gram per
ekor/3x/mgg. Hal ini dapat disebabkan
karena penambahan kecambah kacang hijau
dapat memenuhi kebutuhan vitamin E pada
tubuh ternak yang telah terpenuhi pada
perlakuan P3 ( 30 g/ekor/3x/mgg) ,sehingga
dapat meningkatkan konsumsi pakan, lain
halnya kalau ternak mengalami defisiensi
vitamin maka ternak tersebut akan
mengalami penurunan nafsu makan
akhirnya mempengaruhi kondisi fisiologis
ternak dan mempengaruhi kwalitas serta
kwantitas produksi telur. Terpenuhinya
kebutuhan vitamin berpengaruh pada
produksi hormon estrogen yg diperlukan
sebagai pembentukan folikel dan berat
telur. Menurut Irianti (2006) menyatakan
bahwa penambahan vitamin E sebasar 20 –
30 mg/kg pakan mampu menekan konsumsi
pakan tetapi tidak mempengaruhi bobot
badan, sehingga pakan lebih efisien
digunakan untuk produksi, dan pemberian
vitamin E dengan level 20 – 30 mg/kg
pakan mampu berperan dalam mencegah
terjadinya radikal bebas pada proses
peroksidasi asam lemak tidak jenuh pakan
sehingga proses metabolisme pakan
berjalan lancar.
Produksi Telur
Hasil analisis variansi menunjukkan
bahwa perlakuan tingkat penambahan
kecambah kacang hijau dalam ransum
6 Tingkat Penambahan Kecambah Kacang Hijau pada Itik Pembibitan Terhadap Produksi dan Kualitas
Telur Tetas
berpengaruh sangat nyata (P < 0,01)
terhadap produksi telur . Perlakuan P0
(Tanpa kecambah) sampai perlakuan P3 (30
g/ekor/3x/mgg) menghasilkan angka
produksi telur 41.90% sampai 72.38%,
pada perlakuan P2 (20 g/ekor/3x/mgg)
menghasilkan angka produksi telur tertinggi
ini disebabkan karena produksi telur
dipengaruhi oleh konsumsi pakan yaitu
pada perlakuan P2 (20 g/ekor/3x/mgg)
konsumsi pakannya tinggi pula. Perlakuan
P0 (Tanpa kecambah) yaitu kontrol,
konsumsi pakan paling rendah diantara tiga
perlakuan pakan maka produksi telurnya
juga rendah. Hasil penelitian ini sesuai
pendapat BASF ( 2000) yang menyatakan
bahwa produksi telur dari itik yang
mengkonsumsi level vitamin E tinggi
cenderung lebih tinggi produksi telurnya
dibanding produksi telur dari itik yang
mengkonsumsi level vitamin E yang lebih
rendah. Sebelumnya Srigandono
menyatakan bahwa (1997) bahwa sifat
biologis produksi telur yang merupakan
sifat genetis yang hanya dapat diperbaiki
kemampuan maksimalnya melalui breeding
dan seleksi. Lingkungan dan managemen
yang sesuai secara optimal hanya
menghasilkan kemampuan maksimal secara
genetis . Pengaruh perlakuan terhadap
tingkat penambahan kecambah kacang hijau
dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Rerata Produksi Telur Itik pada Perlakuan Tingkat Penambahan Kecambah Kacang
Hijau (Hda%) 1)
Perlakuan
Penambahan kecambah
kacang hijau
(g/ekor/3x/mgg )
Ulangan
Rata –rata
1 2 3
P0 ( 0 ) 42 41.8 41.9 41,90 c
P1 ( 10 ) 58 58.1 58.47 58,19 b
P2 ( 20 ) 72 72.44 72.7 72,38 a
P3 ( 30 ) 71 71.65 72.64 71,43 a
a,b huruf yang berbeda pada kolom rata – rata menunjukkan perbedaan nyata (P < 0,01).
1) Produksi diamati setiap 1 minggu sekali (7 hari) selama penelitian masa produksi.
Fertilitas Telur
Fertilitas telur tertinggi pada
perlakuan P3 (30 g/ekor/3x/mgg) yaitu 100
%. Berdasarkan hasil analisis variansi
menunjukkan bahwa antara perlakuan
(P3)30 g/ekor/3x/mgg dan (P2) 20
g/ekor/3x/mgg berbeda nyata (P<0,05)
kalau dibandingkan dengan perlakuan (P1)
penambahan kecambah kacang hijau 10
g/ekor/3x/mgg dan (P0) kontrol . Hal ini
disebabkan karena vitamin E yang
terkandung dalam pakan perlakuan P3 dan
P2 adanya penambahan kecambah kacang
hijau dapat mencukupi kebutuhan itik
produksi telur tetas sehingga menghasilkan
produksi telur dengan fertilitas telur yang
optimal. Sehingga dapat dikatakan bahwa
penambahan kecambah kacang hijau 20
g/ekor/3x/mgg sampai 30 g/ekor/3x/mgg
dalam ransum dapat meningkatkan fertilitas
telur dari 96.67% sampai 100%.
Mengingat fungsi spesifik vitamin E
dalam tubuh yang dibutuhkan mampu
meningkatkan fertilitas.Hasil penelitian
dengan tingkat penambahan kecambah
kacang hijau dalam ransum pakan induk itik
pembibit pengaruhnya terhadap fertilitas
telur disajikan pada Tabel 5.
7 Tingkat Penambahan Kecambah Kacang Hijau pada Itik Pembibitan Terhadap Produksi dan Kualitas
Telur Tetas
Tabel 5. Rerata Fertilitas Telur (%) Selama Tiga Kali Periode Penetasan.
Perlakuan
Penambahan kecambah
kacang hijau
(g/ekor/3x/mgg )
Ulangan
Rata -rata
1 2 3
P0 ( 0 ) 79 80 81 80 b
P1 ( 10 ) 85 92 93 90 ab
P2 ( 20 ) 95.2 96.93 97.9 96.67 a
P3 ( 30 ) 100 100 100 100 a
a,b huruf yang berbeda pada kolom rata – rata menunjukkan perbedaan nyata (P < 0,05).
Pernyataan hasil penelitian tersebut
didukung oleh pendapat Hartono dan Isman
(2010), bahwa ternak pejantan perlu
mendapat tambahan pakan berupa
kecambah sebagai sumber vitamin E,
Kecambah yang terbaik adalah kecambah
kacang hijau. Karena kandungan vitamin E
didalamnya termasuk yang tertinggi. Sesuai
pendapat Surai dkk.(1999) menyatakan
bahwa vitamin E sebagai antioksidan juga
digunakan untuk meningkatkan fertilitas
dan daya tetas. Asam lemak tidak jenuh
ganda mudah menjadi peroksida-peroksida
oleh adanya molekul oksigen. Peroksida-
peroksida tersebut dapat dihindari dengan
adanya vitamin E. Vitamin E dan
karotenoid merupakan sumber antioksidan
yang berasal dari pakan induknya melalui
kuning telur. Komposisi pakan induk
merupakan penentu utama pembentukan
sistem antioksidan pada anak ayam selama
embriogenesis dan pertumbuhan awal
setelah menetas.
Berat Telur
Hasil penelitian dengan tingkat
penambahan kecambah kacang hijau dalam
ransum pakan induk itik pembibit
pengaruhnya terhadap berat telur disajikan
pada Tabel 6.
Tabel 6. Rerata Berat Telur Selama Penelitian (g/butir).
Perlakuan
Penambahan kecambah
kacang hijau
(g/ekor/3x/mgg )
Ulangan
Rata –rata
ns
1 2 3
P0 ( 0 ) 67 67.47 67.7 67.39
P1 ( 10 ) 68 68.59 68.4 68.33
P2 ( 20 ) 67 67.89 67.7 67.53
P3 ( 30 ) 68 68.01 68.02 68.01
ns = non signicant.
Hasil analisis variansi menunjukkan
bahwa perlakuan tingkat penambahan
kecambah kacang hijau dalam ransum
tidak berpengaruh nyata terhadap berat
telur . Hal tersebut dapat dikarenakan
bahwa perlakuan tingkat penambahan
kecambah kacang hijau dalam ransum
sampai pada penambahan 30 grm/ekor/
3x/mgg kecambah kacang hijau tidak
menghasilkan perbedaan yang nyata pada
berat telur dikarenakan berat telur sangat
dipengaruhi oleh kandungan protein dalam
pakan yang diberikan pada ternak unggas
bukan dipengaruhi oleh kandungan vitamin
dalam pakan . Selanjutnya bahwa dalam
penelitian ini menggunakan kadar protein
yang sama kandungannya yaitu 15.86 %.
Sesuai pendapat Anggorodi (1985)
menyatakan bahwa berat telur dipengaruhi
oleh kandungan protein yaitu asam linoleat
yang cukup. Begitu juga dengan pendapat
Wahyu (1997) bahwa berat telur
dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk
aktor genetik, tahap kedewasaan,umur, obat
8 Tingkat Penambahan Kecambah Kacang Hijau pada Itik Pembibitan Terhadap Produksi dan Kualitas
Telur Tetas
dan zat makanan dalam pakan terutama
asam amino dan asam linoleat, dan
kandungan asam lemak linoleat dan
metionin (Leeson dan Summer,1991). Van
Elswyk (1997) yang disitasi oleh Irianti
(2006) menyatakan bahwa asam lemak
linolenat (omega-3) dalam minyak ikan
dapat menurunkan sirkulasi estradiol yang
diperlukan untuk lipogenesis di hati serta
pembentukan telur sehingga mengakibatkan
turunnya bobot dan berat telur. Omega-3
yang tinggi dalam pakan berpengaruh pada
percepatan pematangan folikel dan sekresi
VLDL ke folikel menurun dengan
terhambatnya kerja estradiol
(Sulistiawati,1998).
Warna Kuning Telur
Hasil analisis variansi menunjukkan
bahwa perlakuan tingkat penambahan
kacang hijau dalam pakan itik pembibit
berpengaruh tidak nyata terhadap warna
kuning telur yang dihasilkan. Hal ini
disebabkan karena warna kuning telur
dipengaruhi oleh kandungan xanthophyll
dalam pakan yang berasal dari bahan pakan
jagung kuning yang diberikan pada pakan
itik jumlahnya relative sama. Sesuai
pendapat Soeparno dkk,(2001), menyatakan
bahwa warna kuning telur sangat
dipengaruhi oleh kandungan xanthophylls
dalam pakan. Sedangkan Kanoni, (1991)
berpendapat bahwa warna kuning telur juga
dipengaruhi oleh pigmen karoten dari
jagung kuning yang mengandung
kriptoxantin. Menurut Sell dkk.(1987)
menyatakan bahwa kualitas kuning telur
selain dipengaruhi oleh faktor genetik, asal
sumber xanthophyll, dan kadar lemak
pakan. Hasil penelitian dengan tingkat
penambahan kecambah kacang hijau dalam
ransum pakan induk itik pembibit
pengaruhnya terhadap warna kuning telur
disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Rerata Warna Kuning Telur 3 Kali Pengambilan Sampel.
Perlakuan
Penambahan kecambah kacang hijau
(g/ekor/3x/mgg )
Ulangan
Rata –rata ns
1 2 3
P0 ( 0 ) 9 9 9 9
P1 ( 10 ) 9 9.13 9.2 9,11
P2 ( 20 ) 9.61 9.65 9.75 9,67
P3 ( 30 ) 9.58 9.68 9.75 9,67
ns = non signicant
Kandungan Vitamin E dalam Kuning Telur
Hasil penelitian dengan tingkat penambahan kecambah kacang hijau dalam ransum
pakan induk itik pembibit pengaruhnya terhadap kandungan vitamin E dalam kuning telur
disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Rerata Kandungan Vitamin E Dalam Kuning Telur (%).
Perlakuan
Penambahan kecambah
kacang hijau
(g/ekor/3x/mgg )
Ulangan
Rata -rata
1 2 3
P0 ( 0 ) 0.9325 0.9936 0.9986 0,9749 d
P1 ( 10 ) 0.9742 0.9941 0.9942 0,9875 c
P2 ( 20 ) 1.0041 1.0042 1.0049 1.0044b
P3 ( 30 ) 1.0452 1.0454 1.0459 1.0455a
a,b huruf yang berbeda pada kolom rata-rata menunjukkan perbedaan sangat nyata (P < 0,01).
9 Tingkat Penambahan Kecambah Kacang Hijau pada Itik Pembibitan Terhadap Produksi dan Kualitas
Telur Tetas
Hasil analisis variansi menunjukkan
bahwa perlakuan tingkat penambahan
kacang hijau dalam pakan itik pembibit
berpengaruh sangat nyata (P < 0,01).
terhadap kandungan vitamin E dalam
kuning telur yang dihasilkan. Kandungan
vitamin E dalam kuning telur yang berasal
dari Itik pembibit pada perlakuan P3
(30g/ekor/3x/mgg) nilai prosentase angka
tertinggi diantara perlakuan lainnya yaitu
1.0455% ,kemudian pada perlakuan P2
(20g/ekor/3x/mgg) diperoleh prosentase
angka lebih rendah 1.0044% dan prosentase
angka yang terendah pada perlakuan P1
(10g/ekor/3x/mgg) dan perlakuan P0
(kontrol) yaitu masing masing 0.9875 %
dan 0.9749 %. Terlihat pada hasil penelitian
ini bahwa itik perlakuan P3 menunjukkan
prosentase kandungan vitamin E yang
paling banyak terdapat dalam kuning telur.
Karena vitamin yang ada dalam pakan
kemudian dimakan oleh ternak itik akan
melalui proses metabolisme, setelah
tersimpan dalam hati kemudian tersimpan
dalam kuning telur lebih banyak
dibandingkan didalam putih telur sebagai
cadangan kehidupan embryo selanjutnya.
Sesuai pendapat Chen dkk. (1998) dan
Naber (1993) bahwa vitamin yang
dikonsumsi ayam akan ditranster ke dalam
telur, semakin tinggi level vitamin dalam
pakan, semakin tinggi pula vitamin yang
ada pada telur.Penambahan vitamin E
dalam pakan menyebabkan pakan
berkualitas baik karena terhindar dari proses
ransiditas. Selanjutnya menurut Surai
dkk.(1999) bahwa peningkatan
suplementasi vitamin E pada pakan induk
secara substansial akan meningkatkan
konsentrasi vitamin E dalam pembentukan
jaringan pada anak ayam dan secara nyata
mengurangi kerentanannya terhadap
peroksidase lipid. Selama 2 minggu setelah
menetas, kandungan vitamin E dalam hati
ayam menurun 10 kali (Surai dan Ionov,
1994 ), antioksidan alami dalam hati selama
embriogenesis dapat dikatakan merupakan
suatu mekanisme adaptif untuk melindungi
diri dari peroksidasi lipid selama masa
menetas hingga perkembangan awal anak
ayam.
Anatomi Itik
Anatomi Itik Jantan
a. Berat Testis
Hasil penelitian dengan tingkat
penambahan kecambah kacang hijau dalam
ransum pakan induk itik pembibit
pengaruhnya terhadap berat testis disajikan
pada Tabel 9.
Tabel 9. Rerata Berat Testis (g).
Perlakuan
Penambahan kecambah
kacang hijau
(g/ekor/3x/mgg )
Ulangan
Rata -rata
1 2 3
P0 ( 0 ) 42 42.5 43 42,50 b
P1 ( 10 ) 53 54 55 54,00 ab
P2 ( 20 ) 67.8 68.7 69 68,50 a
P3 ( 30 ) 68.8 70.9 71.8 70,50 a
a,b huruf yang berbeda pada kolom rata – rata menunjukkan perbedaan nyata (P < 0,05).
Perlakuan tingkat penambahan
kecambah kacang hijau dalam ransum
pakan untuk itik pembibit berdasarkan hasil
analisis variansinya berpengaruh nyata (P
< 0,05) terhadap berat testis. Hal ini
disebabkan karena kecambah kacang hijau
kaya akan vitamin E yang berguna untuk
perkembangan jaringan sel organ
reproduksi diantaranya adalah testis. Sesuai
penelitian Djawadun,(2001) bahwa
penambahan vitamin E berpengaruh
terhadap meningkatnya organ reproduksi
terutama ukuran dan berat testis , jumlah
tubulus seminierus dan jumlah sel
germinalis dan jumlah ukuran sel Leydig.
Menurut Lestariana dan Madian (1988)
10 Tingkat Penambahan Kecambah Kacang Hijau pada Itik Pembibitan Terhadap Produksi dan Kualitas
Telur Tetas
menyatakan bahwa Defisiensi vitamin E
menyebabkan perubahan ratio DNA/RNA,
Atropi jaringan spermatogenik dan sterilitas
yang permanen pada ternak pejantan.
Selanjutnya menurut Wuryastuti,(1993)
menyatakan bahwa defisiensi vitamin E
mengakibatkan proses spermatogenesis
terganggu, meskipun produksi hormon
seksualnya belum terganggu, hal ini
terbukti adanya aktivitas tiroid berkurang
pada ternak yang defisiensi vitamin E.
Sedangkan menurut Linder (1985)
menyatakan juga bahwa defisiensi vitanin E
dapat meningkatkan kerapuhan eritrosit /sel
darah merah, dan memperlihatkan tanda
tanda perubahan morfologi yang
disebabkan oleh ikatan silang protein
membran
b. Diameter Testis
Hasil penelitian dengan tingkat
penambahan kecambah kacang hijau dalam
ransum pakan induk itik pembibit
pengaruhnya terhadap diameter testis
disajikan pada Tabel 10
Tabel 10. Rerata Diameter Testis (cm).
Perlakuan
Penambahan kecambah
kacang hijau
(g/ekor/3x/mgg )
Ulangan
Rata -rata
1 2 3
P0 ( 0 ) 2 2.2 2 2.07 d
P1 ( 10 ) 3.93 3.97 3.95 3.95 c
P2 ( 20 ) 4.28 4.375 4.32 4.325 b
P3 ( 30 ) 4.725 4.9 5 4.875 a
a,b huruf yang berbeda pada kolom rata – rata menunjukkan perbedaan sangat nyata (P < ,01).
Menurut Etches (1996) menyatakan
bahwa testis berbentuk seperti buah kacang
merah berwarna krem terbungkus oleh dua
lapisan tipis transparan, lunak dan
berpigmen. Testis terletak dirongga badan
melekat pada ligament, dekat pada tulang
belakang atau bagian depan dari ginjal.
Data yang diperoleh dari itik yang
mendapatkan perlakuan pada penelitian ini
diameter testis kanan dan kiri adalah 5 cm
dan 4.5 cm, sedangkan itik kontrol 2 cm
dan 2.1 cm. Total berat kedua testis pada
itik perlakuan adalah 70,1 gr sedangkan itik
kontrol berat testis keduanya hanya
mencapai berat 42.5 gr. Dari data tersebut
ternyata ukuran testis sebelah kanan dan
kiri dari itik yang mendapatkan perlakuan
mempunyai ukuran yang lebih serasi
dibandingkan ukuran testis itik control.
Pada itik perlakuan mempunyai panjang
dan lingkar testis yang lebih tinggi ( 10/10,5
cm) dibanding itik kontrol ( 4 / 4.2 cm) ,
dan hasil pengukuran berat pada testis yang
berasal dari itik perlakuan mempunyai berat
lebih tinggi (70.1 gr) disbanding testis yang
berasal dari itik control (42.5gr) dengan
demikian pada itik yang mendapatkan
perlakuan penambahan kecambah kacang
hijau mendapatkan berat dan ukuran yang
lebih tinggi dibandingkan terstis yang
berasal dari itik kontrol.
Anatomi Itik Betina
a. Berat Hati Itik Betina
Perlakuan tingkat penambahan
kecambah kacang hijau dalam ransum
induk itik pembibit berdasarkan hasil
analisis variansinya berpengaruh tidak
nyata terhadap berat hati. Hasil penelitian
dengan tingkat penambahan kecambah
kacang hijau dalam ransum pakan induk itik
pembibit pengaruhnya terhadap berat hati
itik betina disajikan pada Tabel 11.
11 Tingkat Penambahan Kecambah Kacang Hijau pada Itik Pembibitan Terhadap Produksi dan Kualitas
Telur Tetas
Tabel 11. Rerata Berat Hati Itik Betina (g).
Perlakuan
Penambahan kecambah
kacang hijau
(g/ekor/3x/mgg )
Ulangan
Rata –rata ns
1 2 3
P0 ( 0 ) 41.6 42.9 43 42.50
P1 ( 10 ) 53 54 55 54.00
P2 ( 20 ) 67.9 68.8 68.8 68.50
P3 ( 30 ) 69 70.8 71.7 70.50
ns = non signicant
Hal tersebut disebabkan karena yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan dan
perkembangan sel sel tubuh, bukan karena
pengaruh penambahan kecambah kacang
hijau yang kaya akan vitamin E nya dalam
ransum pakan. tetapi bobot badan ternak
sangat dipengaruhi oleh kandungan protein
dalam ransum, sedangkan kandungan
ransum pakan yang diberikan pada
pelaksanaan penelitian ini kandungan
proteinnya sama yaitu 15,86%. Menurut
Tri-Yuanta (1999) menyatakan bahwa berat
hati adalah 3 % dari bobot badan ternak.
Dari hasil penelitian ini bobot badan ternak
itik pembibit diperoleh bobot yang hampir
sama antara kontrol sama perlakuan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa berat hati
3 % dari masing masing itik pembibit
perlakuan maupun kontrolpun setelah
dianalisis variansi hasilnya berbeda tidak
nyata.Ditinjau dari hasil analisis tersebut
yang perlakuan P3 (30gr/ekor/3kl/mgg)
menunjukkan angka tertinggi dan perlakuan
P0 (tanpa kecambah) adalah angka berat
testis yang paling rendah. Hal ini
disebabkan karena kecambah kacang hijau
diberikan dalam campuran pakan ternak itik
pembibit befrungsi sebagai makanan
peningkat kesuburan karena mengandung
banyak vitamin E, Khususnya vitamin E –
alfa yang dapat menambah stamina tubuh,
kecambah kacang hijau mengandung
estrogen alami yang berfungsi sama dengan
estrogen sintesis tetapi estrogen alami ini
tidak ada efek samping selain itupun taoge
banyak mengandung kalium penting untuk
mendapatkan fungsi jaringan organ dan sel
yang sehat. Sebagai elektrolit, kalium
membantu menambah cadangan energi dan
meningkatkan fungsi otot juga banyak
mengandung vitamin C dibandingkan
dengan kacang hijau yang belum
berkecambah., dikarenakan adanya siklus
hidup tanaman yang signifikan. Yang
menajubkanpengecambahan melambungkan
jumlah vitamin A sebanyak 300 persen dan
vitamin C 500-600 persen yang mana
vitamin tersebut mendukung dalam
meningkatkan kesuburan, (dilansir
Livestrong, Senin ( 22/11/2010).
b. Berat Ovarium
Hasil penelitian dengan tingkat
penambahan kecambah kacang hijau dalam
ransum pakan induk itik pembibit
pengaruhnya terhadap berat ovarium
disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12. Rerata Berat Ovarium Itik Betina (G).
Perlakuan
Penambahan kecambah
kacang hijau
(g/ekor/3x/mgg )
Ulangan
Rata –rata
1 2 3
P0 ( 0 ) 36 36.5 37 36.50 d
P1 ( 10 ) 53 53.7 53.8 53.50 c
P2 ( 20 ) 55 55.1 57 55.70 b
P3 ( 30 ) 67.17 67.88 68.5 67.85 a
a,b huruf yang berbeda pada kolom rata – rata menunjukkan perbedaan nyata (P < 0,01).
12 Tingkat Penambahan Kecambah Kacang Hijau pada Itik Pembibitan Terhadap Produksi dan Kualitas
Telur Tetas
Berat ovarium tertinggi pada
perlakuan P3 (30 g/ekor/3x/mgg) yaitu
67.85 gr. Berdasarkan hasil analisis variansi
menunjukkan bahwa berat ovarium pada ,
P3(30 g/ekor/3x/mgg) dengan berat
tertinggi 67.85 g dan P2 (20 g/ekor/3x/mgg)
dengan berat lebih rendah 55.70 g dan
berbeda sangat nyata (P<0,01) dibanding
dengan penambahan kecambah kacang
hijau 10 g/ekor/3x/mgg mempunyai berat
ovarium 53.50 g dan kontrol yaitu 36.50 g
merupakan hasil angka berat ovarium
terendah. Hal ini disebabkan karena nutrisi
yang terkandung dalam Kecambah kacang
hijau dapat mencukupi kebutuhan nutrisi
itik pembibit dan menghasilkan berat
ovarium yang normal. Sehingga dapat
dikatakan bahwa penambahan kecambah
kacang hijau 20 g/ekor/3x/mgg sampai 30
g/ekor/3x/mgg dalam ransum dapat
memperbaiki kondisi organ reproduksi
ternak betina karena vitamin yang
terkandung dalam kecambah kacang hijau
terutama vitamin E dapat mempengaruhi
jumlah hormon LH. Sesuai pendapat Card
(1979) bahwa berat ovarium ditentukan
oleh kedewasaan kelamin dan hormon;
ditentukan oleh hormon estrogen, FSH , LH
atau oleh Ovarium itu sendiri
(Strukie,1976). Selanjutnya penelitian
Irianti (2006), bahwa pemberian vitamin E
sebesar 20 – 30 mg/kg pakan dapat
meningkatkan hormon LH dan diikuti
dengan tingginya jumlah folikel hirarki.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Ternak induk itik pembibit perlakuan
penambahan kecambah kacang hijau
tingkat konsumsi pakannya tinggi
dibandingkan yang kontrol sejalan
dengan produksi telur yang
dihasilkannya tinggi pula, sehingga
dengan data tersebut kalau kita analisa
maka dapat dikatakan bahwa itik
perlakuan lebih efisien dibandingkan
itik tanpa perlakuan.
2. Ternak induk itik pembibit perlakuan
dapat menampilkan hasil kwalitas telur
yang lebih berkwalitas mis : prosentase
fertilitas tinggi, daya tahan embrio
dalam perkembangan telur lebih kuat,
Struktur organ penyusun telurnya lebih
kuat dibandingkan telur yang berasal
dari induk itik kontrol.
3. Ternak induk itik jantan pembibit
maupun induk itik betina pembibit dari
perlakuan menghasilkan organ
reproduksi yang lebih optimal
perkembangannya dibandingkan organ
reproduksi dari itik tanpa perlakuan.
4. Nilai warna kuning telur yang
dihasilkan dari penelitian ini baik
perlakuan maupun kontrol kalau kita
nilai dengan alat Roche Colour Index
nilai warnanya dibawah standar sampai
normal , sehingga masih dibawah nilai
warna kuning telur yang belum sesuai
dengan permintaan konsumen sebagai
telur konsumsi, tetapi kalau untuk telur
tetas kwalitas kandungan nutrisi dan
sebagai media perkembangan embrio
itik, telur penelitian inilah dijamin
lebih tinggi kwalitasnya dibandingkan
dengan telur dari itik pangonan
warnanya sesuai selera konsumen.
Saran
Dari hasil penelitian ini baru
dihasilkan kwalitas telur tetas yang
berkwalitas juga kondisi ternak itik sebagai
itik pembibit yang berkwalitas pula, tetapi
belum bisa memenuhi kwalitas kuning telur
yang sesuai dengan permintaan konsumen ,
untuk itu akan kita lanjutkan penelitian lagi
dengan memanipulasi bahan pakan agar
mendapatkan telur yang kualitas kuning
telurnya sesuai dengan selera konsumen
yaitu formula bahan pakan itik sebagai
penyusun telur.
DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi.R.,1995. Nutrisi Aneka Ternak
Unggas. PT.Gramedia Pustaka
Utama,Jakarta.
BASF. 2000. The effect of vitamin E
dietary supplementation on the
antioksidant composition of eggs.
Card,L.E.1979. Poultry Production. Lea
13 Tingkat Penambahan Kecambah Kacang Hijau pada Itik Pembibitan Terhadap Produksi dan Kualitas
Telur Tetas
and Febriger.Philadelphia.
Chen, Y.H., J.C. Hsu and B.Yu.1998. Effect
of dietary fiber levels on growth
performance, intestinal fermentation
and cellulose activity of goslings.
J.Chin.soc.Anim.Sci.21 :15 – 28.
Djawadun. 2001. Pengaruh Sex Ratio Dan
Lama Pencampuran Dengan Level
Vitamin E Dalam Ransum Terhadap
Produksi Dan Reproduksi Itik Turi.
Tesis. Program Pasca Sarjana
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.
Guyton, A. C., dan J. E. Hall, 1996.
Fisiologi Kedokteran, Edisi 9 (
Terjemahan) W.B. Saunder Co.,
Philadelphia, Pennsylvania.
Hartono,T. dan Isman, 2010, Kiat Sukses
Menetaskan Telur, Cetakan kedua,
Agro Media Pustaka, Jakarta.
Kanoni,S.1991. Kimia dan Teknologi
pengolahan ikan. PAU Pangan dan
Gizi, UGM, Yogyakarta.
Leeson, S. and J.D. Summers, 1991,
Commercial Poultry Nutrition,
Departement of Animal and Poultry
Science, University of Geelph,
Ontario, Canada.
Setiadi,P.A., Lasmini,A.R. Setiyoko dan
P.Sinurat 1992, Pengujian Metode
Penetasan Telur Itik Tegal di
Pedesaan, Proseding Pengolahan
dan Komunikasi Hasil – hasil
Penelitian Unggas dan Aneka
Ternak, Balai Penelitian Ternak
Ciawi, Bogor.
Scott,M. L. and W.F. Dean, 1991, Nutrition
and Management of Ducks, M.L.
Scott of Ithaca,Ithaca.
Sidadolog, J.H.P.2001. Manajemen Ternak
Unggas, Fakultas Peternakan,
Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Sompie, N.F. 1995. Pengaruh Pemberian
Vitamin E, Mineral Se dan
Kombinasinya dalam Ransum yang
Mengandung Minyak Tengik
Terhadap Kualitas Karkas Ayam
broiler.Tesis Program Pasca Sarjana
UGM, Yogyakarta.
Srigandono, 1997. Produksi Unggas Air ,
Cetakan ke - 3,Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Steel,R.G. and J.H. Torrie, 1991. Prinsip
dan Prosedur Statistika. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Strukie, P.D. 1976. Avian
Physiology.Springer.Verlag, New
York.
Sudibya, 1989. Pengaruh Penambahan
Vitamin A dalam Ransum Itik
Periode Layer terhadap Produksi
Telur dan Daya Tetas, Tesis,
Fakultas Pasca Sarjana UGM,
Yogyakarta.
Suharno B dan K. Amri, 2009. Beternak
Itik secara Intensif , Cetakan XIX ,
Penebar Swadaya, Jakarta
Sulistiawati,D. 1998. Pengaruh Penggunaan
Minyak Ikan Lemuru dan Minyak
Kelapa Sawit dalam Ransum
Terhadap Kinerja Ayam dan
Kandungan Asam Lemak Omega-3
dalam Telur.Tesis. Program
Pascasarjana, UGM, Yogyakarta.
Suparno,Rihastuti,Indratiningsih dan
Suharjono Triatmojo.2001. Dasar
Tekhnologi Hasil Ternak. Jurusan
THT. Fakultas Peternakan.
UGM.Yogyakarta.
Surai,P.F. and I.lonov 1994. Vitamin E in
the Liver in Developing Avian
embryo. Journal Poult.Sci.41 : 235 -
243.
Tri-Yuwanta, 1983. Beberapa Metode
Praktis Penetasan Telur, Fakultas
Peternakan, Universitas Gadjah
Mada ,Yogyakarta.
14 Tingkat Penambahan Kecambah Kacang Hijau pada Itik Pembibitan Terhadap Produksi dan Kualitas
Telur Tetas
…………………, 1999. Dasar Ternak
Unggas. Fakultas Peternakan
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.
Wahyu, J. 1997. Ilmu Nutrisi
Unggas.Gadjah Mada University
Press.Yogyakarta.
Wuryastuti, H. 1993. Mikro Nutrien :
Vitamin dan Mineral. PAU Pangan
dan Gizi, UGM, Yogyakarta.
Windhyarti, S.S. 2009, Beternak Itik tanpa
Air, Cetakan XXXI, Penebar
Swadaya, Jakarta.
15 Model Beternak Ayam Broiler Di Kelurahan Manulai Kecamatan Alak Kota Kupang
MODEL BETERNAK AYAM BROILER DI KELURAHAN MANULAI KECAMATAN
ALAK KOTA KUPANG
(Broiler Farm Model in Manulai Village Alak District Kupang Residence)
Nuryanto*, Damfrid
**
ABSTRACT
This research was conducted at the Regional Village Manulai, District Alak, Kupang
City in April 2011. Of 155 broiler farmers, purposively selected respondents based on the
scale, the scale 1000-3000 chickens as many as 16 people, the scale 3100 - 5000 chickens as
many as 10 people and scale of more than 5000 chickens respondents as many as 4 people.
Using questionnaires, direct interviews with respondents. Primary data, compiled tabulated
and then descriptively analized. Secondary data, the data obtained from the Village, the core,
the Himalaya Poultry Shop and Waris Poultry Shop and local agencies.
Stable made a modest, high edge of the Stable wall just 1.25 m. gable shape. The floor is
made convex, each 30 – 35 m2 placed 1000 chickens. The amount depends on the amount of
chicken, Stable wide standards, Harvesting an average of 23 days, weight 1.2 kg each chicken,
FCR average of 1.7 and a mortality of 3 - 7%. Chickens are not harvested weighed every 10
chickens tied her legs to get farmers in wages calculated at Rp 1,000 each chicken. The results
showed that, all farmers consider broilers raising as a new jobs, hopes to be one of the family
income.
Keywords: Core Plasma, broiler chickens
* Staf Pengajar Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Magelang
** Pegawai Dinas Peternakan Kota Kupang
PENDAHULUAN
Wilayah Kelurahan Manulai,
Kecamatan Alak, Kota Kupang termasuk
daerah kering dan panas (suhu udara 32-35 o C) ketinggian tempat 30 – 40 m dpl, luas
wilayahnya 3.560 ha, dihuni oleh 1.657
jiwa, yang sebagian besar penduduknya
(1.190 jiwa) atau 71,82 % sebagai petani,
namun luas lahan pertanian hanya 34 ha
(tadah hujan), tegalan 158 ha dan hutan
rakyat 150 ha, selebihnya lahan kritis
berbatu (batu karang) yang biasa
dimanfaatkan peternak untuk menggembala
sapi. Sebagaian besar penduduknya tidak
atau belum lulus Sekolah Dasar, bahkan
hanya 36,93 % yang tingkat pendidikanya
SD keatas.
Secara administrasi, wilayah
Kelurahan Manulai, Kecamatan Alak
termasuk wilayah Kota Kupang. Namun
secara geografis serta tatalaksana kehidupan
masyarakatnya, sebagian besar belum
menggambarkan suasana perkotaan
layaknya perkotaan di Pulau Jawa.
Adanya Program Reformasi
Pembangunan Daerah Tertinggal,
masyarakat Kelurahan Manulai, Kecamatan
Alak, Kota Kupang mulai mengenal
memelihara ayam broiler yang sarana
produksinya didatangkan dari Surabaya.
Baru pada Tahun 2004 didirikan Poultry
shop Himalaya, namun belum ada
pembelinya. Diajaklah beberapa orang
untuk membuat kandang ayam broiler di
pekarangan rumah masing-masing dengan
bahan bangunan yang seadanya. Semua
sarana produksi dikirim oleh Poultry Shop
Himalaya, peternak mendapat upah
berdasar jumlah ayam yang dipanen.
16 Model Beternak Ayam Broiler Di Kelurahan Manulai Kecamatan Alak Kota Kupang
MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada
bulan April 2011 di Kelurahan Manulai,
Kecamatan Alak, Kota Kupang. Dari 155
orang peternak penggaduh ayam broiler
yang tercatat di Poultry Shop Himalaya dan
Poultry Shop Waris, dipilih responden
secara purposif berdasar skala usaha, seperti
terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Skala Usaha, Jumlah Peternak Penggaduh Ayam Broiler, Jumlah Responden di
Wilayah Kelurahan Manulai, Kecamatan Alak, Kota Kupang.
No Skala Usaha Jml Peternak Jumlah Responden
(ekor/pet/siklus) (orang) (orang)
1 1.000 – 3.000 81 16
2. 3.100 – 5.000 52 10
3. Lebih 5.000 22 4
Jumlah 155 30
Sumber: Poultry Shop Himalaya dan Poultry Shop Waris Kelurahan Manulai, Kecamatan
Alak, Kota Kupang, Tahun 2010.
Menggunakan kuestioner yang telah
dipersiapkan, dilakukan wawancara
langsung kepada responden. Data primer
yang diperoleh dari para peternak
responden, disusun ditabulasikan dan
kemudian dianalis secara diskriptif yakni
metode analisis yang menggambarkan dan
menjelaskan data hasil kajian. Data
sekunder, diperoleh dari data Kelurahan,
Poultry Shop Himalaya dan Poultry Shop
Waris, BPP dan instansi terkait.
Karakteristik Responden
Responden termasuk tenaga kerja
produktif, yakni 16 orang berumur 32 - 40
tahun dan 14 orang berumur 41 – 47 tahun.
Ditinjau dari tingkat pendidikannya, 8
orang tidak tamat SD, 15 orang tamat SD, 5
orang tamat SLTP dan 2 orang tamat
SLTA. Dalam hal pengalaman menggaduh
ayam broiler, satu orang telah
berpengalaman 5 tahun, 17 orang
berpengalaman 3 tahun dan 12 orang
sisanya baru berpengalaman 2 tahun.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pola Kemitraan Ayam Broiler
Di Kota Kupang terdapat dua inti
usaha ayam broiler yakni Poultry Shop
Himalaya yang mendistribusikan bibit
ayam broiler strain CP 707 produksi PT
Charoen Pochphand dan Poultry Shop
Waris yang mendistribusikan bibit ayam
strain Cobb produksi oleh PT Wonokoyo
Jaya Farm. Dengan dua Poultry Shop
sebagai inti dan 155 orang penggaduh ayam
broiler sebagai plasmanya, sejak Tahun
2008 sudah tidak lagi mendatangkan daging
atau ayam broiler dari Surabaya.
Pola kemitraan ayam broiler yang
ada di Kelurahan Manulai, Kecamatan
Alak, Kota Kupang, mungkin lebih tepat
disebut pola penggaduhan sistem upah. Hal
ini kerena semua sarana produksi (bibit,
pakan, obat-obatan, brooder, bahan bakar,
litter, tempat pakan, tempat minum dan
sarana kerja yang lainya) dipenuhi oleh Inti,
peternak hanyalah tenaga kerja yang
bermodalkan kandang dan diupah
berdasarkan jumlah ayam yang berhasil
dipanen. Mempertimbangkan sumberdaya
manusia dan kemampuan permodalan yang
dipunyai para peternak, sistem inti plasma
budidaya ayam broiler pola PIR mungkin
belum dapat menjadi acuan. Oleh
karenanya, sistem penggaduhan upahan
merupakan pola kemitraan yang saat ini
dianggap cocok diterapkan. Santosa (2009)
menyatakan bahwa, pola kemitraan ayam
broiler merupakan persahabatan dalam
budidaya ayam broiler yang terdiri dari
peternak yang melaksanakan budiidaya dan
17 Model Beternak Ayam Broiler Di Kelurahan Manulai Kecamatan Alak Kota Kupang
fihak perusahaan yang bergerak dalam
usaha pengadaan input, pemasaran atau
pengolahan hasil.
2. Penggaduh
Kegiatan pemeliharaan ayam broiler
pola gaduhan bagi masyarakat Kelurahan
Manulai, Kecamatan Alak, Kota Kupang
dapat memberikan lapangan kerja baru bagi
ibu-ibu rumah tangga, bahkan pada
pemeliharaan ayam broiler lebih dari 5.000
ekor dapat menjadi mata pencaharian
keluarga. Bermodalkan kandang sederhana
ukuran 30 – 35 m2, dapat memelihara ayam
1.000 ekor. Namun demikian, walaupun
persyaratan relatif ringan, tidak berarti
setiap orang atau setiap keluarga
berkeinginan memelihara ayam broiler
sebagai penggaduh. Hal ini diperkirakan
karena etos kerja, budaya pasrah dan
“nrimo” dari masyarakatnya disamping
adanya seleksi karakter yang ketat oleh Inti.
Ditinjau dari aspek sosial ekonomi,
pada skala penggaduhan 1.000 – 3.000 ekor
penggaduh terkesan miskin, rumah hunian
tradisionil kecil, beratapkan daun lontar
yang sama dengan bangunan kandang.
Sedangkan pada peternak yang menggaduh
lebih dari 5.000 ekor, rumah hunian sudah
lebih luas, berdinding tembok batu bata,
beratapkan genting, sudah ada TV, Vidio
dan banyak juga yang telah memiliki
kendaraan roda dua. Berkembangnya
budidaya ayam broiler pola penggaduhan,
juga berdampak positif pada kegiatan usaha
pertanian, karena pupuk kandang (litter)
telah dimanfaatkan peternak untuk
memupuk tanaman jagung. Sementara ayam
broiler memerlukan 60 % dari total pakan
yang dibutuhkan sebagai sumber energi.
Oleh karenanya, adanya Program Reformasi
Pembangunan Daerah Tertinggal,
masyarakat Kelurahan Manulai, Kecamatan
Alak, Kota Kupang telah dapat merasakan
adanya peningkatan kehidupan sosial
ekonominya. Mengingat wilayah Nusa
Tenggara Timur merupakan daerah yang
kering, panas dan tandus, adanya pola
penggaduhan ayam broiler akan dapat
memperkaya unsur hara tanaman yang
berasal dari pupuk kandang.
Dinformasikan oleh inti bahwa,
menanam modal usaha penggaduhan ayam
broiler lebih banyak berazazkan sosial.
Namun demikian seleksi calon penggaduh
tentang karakter, kejujuran dan kemauan
kerja juga menjadi faktor penentu. Hal ini
bertujuan agar usaha dapat berjalan
3. Administrasi
Tidak semua peternak penggaduh di
wilayah Kelurahan Manulai, Kecamatan
Alak, Kota Kupang buta huruf, namun
dalam hal kerjasama penggaduhan ayam
broiler tidak ada perjanjian secara tertulis.
Catatan yang diberikan peternak hanyalah
nota penerimaan saprodi dan catatan
kunjungan petugas perusahaan. Seharusnya,
suatu kerja sama dibidang ekonomi
diperlukan aturan main tertulis dalam
bentuk perjanjian yang berisi tentang tugas,
kewajiban dan sanksi yang difahami,
disepakati dan ditandatangani oleh
keduabelah fihak, ada saksi dari aparat yang
berwenang dan dilengkapi dengan materai.
Namun karena belum adanya
penyimpangan dan masing-masing masih
merasa diuntungkan, maka perjanjian secara
tertulis belum mendesak diadakan,
disamping itu karena kuatnya adat yang
masih dipercaya masyarakat
4. Budidaya
a. Kandang
Wilayah Kelurahan Manulai,
Kecamatan Alak secara administrasi
termasuk wilayah Kota Kupang. Namun
hanya sebagian kecil wilayahnya yang
menggambarkan suasana kota, selebihnya
lahan pertanian, perkebunan dan lahan kritis
berbatu ditumbuhi ilalang yang biasa
digunakan peternak untuk menggembala
sapi. Oleh karenanya, sebagai inti yang
membimbing teknis pembuatan kandang
sangat leluasa untuk menentukan tataletak
kandang, arah membujur kandang serta
bahan bangunan yang digunakan. Petunjuk
inti, berapapun jumlah ayam yang
dipelihara, setiap bangunan kandang
(stable) standar luas kandangnya adalah 30
– 35 m2 (lebar 5 m dan panjang 7 m) untuk
memelihara 1.000 ekor ayam. Jarak antar
bangunan kandang atau dengan rumah
hunian peternak minimal 10 langkah. Arah
18 Model Beternak Ayam Broiler Di Kelurahan Manulai Kecamatan Alak Kota Kupang
membujur kandang adalah Selatan – Utara
mengikuti arah angin meniup. Tiang
kandang pinggir, sebagian besar peternak
memanfaatkan cabang pohon kayu sono
keling atau cabang kayu asam keranji yang
berdiameter 10 cm (masih berkulit segar
dengan maksud bisa bersemi) ditanam
setinggi 1 – 1,25 m. Untuk tiang tengah
kandang sekaligus sebagai ander, digunakan
cabang kayu yang berdiameter 15 cm
ditanam setinggi 280 cm. Untuk Balg,
blandar, molo, kaso dan reng digunakan
ranting kayu yang diikat dengan tali ijuk
sebagai penyangga atap. Model atap
kandangnya pelana, yang terbuat dari daun
lontar yang dianyam dan ditumpuk bergeser
satu jengkal dimulai dari bagian pinggir
kandang yang bertemu ditengah. Untuk
kerpus, digunakan daun lontar yang diikat
melintang. Dinding pinggir kandang terbuat
dari pelepah lontar yang ditata diikat bentuk
jeruji selebar 2 cm dengan maksud agar
ayam tidak lepas atau mencegah masuknya
ayam buras mencari pakan serta mencegah
predator (kucing, anjing maupun musang).
Pendeknya tiang pinggir kandang, semata
hanya dimaksudkan untuk lebih kuat
berdirinya kandang. Ventilasi yang
dimaksudkan untuk kelancaran pertukaran
udara dari dalam dan luar kandang,
memang kurang memenuhi syarat. Rasyaf
(2003) menyatakan bahwa, pada kandang
lantai rapat (litter) hendaknya dinding
pinggir kandang dibuat jeruji minimal
setinggi 2,25 m dengan maksud menjamin
sirkulasi udara sehingga dapat menurunkan
suhu kandang.
Lantai kandang berupa floor tipis
yang dibuat cembung (campuran semen dan
pasir) agar mudah dalam sanitasi kandang.
Adapun bentuk kandang tampak luar dan
dalam dapat dilihat pada gambar 1 dan 2.
Gambar 1. Kandang Ayam Broiler
Tampak Luar
Gambar 2. Kandang Ayam Broiler
Tampak Dalam
b. Sarana Produksi
Sarana produksi yang berupa
desinfektan, sekam, bahan bakar, peralatan
kandang, bibit ayam, pakan, obat-obatan
dan vaksin baik macam maupun jumlahnya
disediakan inti, diantarkan sampai kandang
atau rumah peternak.
Kedatangan sarana produksi,
sepenuhnya ditentukan inti. Maksimal
seminggu sebelum DOC didatangkan,
pakan dan bahan bakar dikirim terlebih
dahulu guna memberi kabar atau
mempercepat kesiapan kandang. Sehari
sebelum DOC datang, inti melakukan
kontrol kesiapan kandang. Kandang yang
belum siap huni, pengiriman DOC
dialihkan pada peternak lain yang sudah
siap.
Ayam diserahkan peternak telah
mendapatkan vaksin dan tak ada vaksin
19 Model Beternak Ayam Broiler Di Kelurahan Manulai Kecamatan Alak Kota Kupang
ulang. Untuk menghindari stress, biasanya
DOC didatangkan pada sore hari. Sesuai
petunjuk inti, tempat minum dicuci setiap
hari dan secara terjadual pada air minum
ditambahkan vitamin dan mineral.
Pada kasus pakan habis sebelum
ayam dipanen, antar peternak bisa
meminjam pakan dari tetangga penggaduh
terdekat dan melaporkan kepada inti. Pada
saat panen, sisa pakan diambil inti. Oleh
karena itu, peran Tecknical Servise (TS)
dari inti lebih dominan dibanding peran
Petugas Penyuluh Lapangan.
c. Tatalaksana Pemeliharaan
Pulau Flores Nusa Tenggara Timur
(Kupang) termasuk wilayah panas dan
kering. Karenanya dalam membuat kandang
hendaknya memperhatikan ventilasi.
Namun, kenyataannya tinggi tiang pinggir
kandang hanya setinggi 1,25 m dan
kepadatan kandang 30 – 35 ekor per m2.
Maka, penulis menduga bahwa konversi
pakan dan mortalitas akan tinggi. North
(1985) menyatakan bahwa, untuk menjamin
pertukaran udara yang baik, kandang ayam
broiler lantai rapat hendaknya dibuat sistem
kandang terbuka berjeruji selebar 2 cm.
Rasyaf (2003) menyatakan bahwa, untuk
dataran rendah atau pantai, pada satu meter
persegi luasan kandang dapat ditempatkan 8
-9 ekor ayam broiler, sedangkan untuk
dataran tinggi, dapat ditempatkan 11 – 12
ekor. Campbell and Lasley (1977)
menyatakan bahwa, litter yang basah dan
lembab dapat disebakan karena air minum
tumpah diterjang ayam yang sudah besar
disamping pada ayam yang besar juga telah
menghasilkan feses dan urine yang banyak.
Hasil kajian ternyata rata-rata konversi
pakan ayam broiler di peternak penggaduh
ayam broiler di wilayah Kelurahan
Manulai, Kecamatan Alak, Kota Kupang
adalah 1,7 dan mortalitasnya 3 - 7 %.
Kondisi seperti ini tidak jauh berbeda
dengan yang diutarakan oleh Santosa
(2009) yang menyatakan bahwa, pada umur
penjualan 42 hari, ayam broiler dapat
mencapai bobot badan 2,3 kg, konversi
pakannya 1,8 dan mortalitasnya 5 %.
Rendahnya konversi pakan maupun
mortalitas yang dihasilkan para peternak
penggaduh ayam broiler di Kelurahan
Manulai, Kecamatan Alak, Kota Kupang
dapat disebabkan karena ayam dipanen rata-
rata pada umur 23 hari dengan bobot badan
1,2 kg per ekor. Pada umur tersebut ayam
masih relatif kecil, feses yang dihasilkan
belum banyak, CO2 dan amoniak juga
belum banyak dihasilkan. Keringnya litter
diduga disebabkan karena tiupan angin
yang kencang, panas dan kering. Jull (1985)
menyatakan bahwa, kematian tertinggi pada
pemeliharaan ayam broiler biasanya terjadi
pada masa finisher karena ayam sudah
cukup besar, litter lembab akibat
tumpahnya air minum, feses sudah banyak
menimbun, banyak dihasilkan gas CO2 dan
Amoniak.
Pemanenan bobot badan 1,2 kg per
ekor dirasa pemborosan bibit, bila ayam
tersebut dipelihara sampai umur 28 – 35
hari bobot badan dapat mencapai 1,7 kg per
ekor sehingga nyata dapat menghemat bibit.
Namun demikian, karena permintaan pasar
menginginkan bobot badan 1,2 per ekor,
maka sebagai inti berusaha untuk
memenuhi permintaan konsumen sebatas
masih mendatangkan keuntungan. Pada
permintaan bobot badan ayam broiler 1,2
kg/ekor ternyata juga mendatangkan
keuntungan bagi inti maupun penggaduh.
Keuntungan bagi inti adalah konversi pakan
masih rendah (pertumbuhan masih efisien)
dan mortalitasnya rendah. Bagi penggaduh,
panen pada umur 23 hari lebih juga
mendatangkan keuntungan karena waktu
yang diperlukan relatif pendek, mortalitas
masih rendah, sehingga jumlah uang yang
didapat tidak berkurang akibat kematian.
d. Pemasaran
Dibanding dengan usaha ekonomi
yang lain, para pengusaha dibidang ayam
broiler bagaikan raksasa ekonomi.
Pembibit, pengusaha pakan serta peternak
skala besar masing-masing telah bergabung
membentuk suatu organisasi (assosiasi)
untuk mendapatkan keuntungan sebesar-
besarnya, bahkan untuk menjaga stabilitas
usaha telah ada kuota bibit maupun pakan
yang dihasilkan. Hal ini karena permintaan
ayam broiler setiap waktu setiap tahun telah
dapat diprediksi. Oleh sebab itu, rasanya
20 Model Beternak Ayam Broiler Di Kelurahan Manulai Kecamatan Alak Kota Kupang
telah tidak ada tempat lagi bagi peternak
bermodal kecil untuk berusaha budidaya
ayam broiler secara mandiri. Hanya dengan
model kemitraanlah budidaya ayam broiler
di Pulau Jawa dapat bertahan. Terlebih
peternak ayam broiler di Wilayah
Kelurahan Manulai, Kecamatan Alak, Kota
Kupang yang terbatas sumberdaya
manusianya, tidak ada jalan lain sebagai
peternak ayam broiler kecuali sebagai
penggaduh. Sebagai penggaduh ayam
broiler, peternak hanyalah bergerak
dibidang tatakelola pemeliharaan. Telah
barang tentu penggaduh tidak tahu seberapa
besar untung rugi memelihara ayam broiler.
Penggaduh selalu berusaha agar ayam yang
dipelihara dapat hidup dan tumbuh sampai
dengan umur panen agar mendapatkan upah
untuk setiap ekor ayam hidup. Ayam
dipanen tidak ditimbang, tiap 10 ekor ayam
diikat kakinya untuk menghitung jumlah
ayam (Gambar 3). Menggunakan armada
roda empat, ayam masih pada posisi terikat
kakinya diangkut ke inti dan didistribusikan
ke pasar, rumah makan atau warung tenda
menggunakan sepeda motor (Gambar 4).
Oleh karenanya, pemasaran sepenuhnya
ditangani inti.
Gambar 3. Setiap 10 Ekor Ayam Diikat
untuk Menghitung Jumlah Ayam
Gambar 4. Ayam Diikat, Diangkut untuk
Didistribusikan ke Konsumen
e. Pendapatan penggaduh
Pemeliharaan ayam dengan
kepadatan 30 – 35 ekor/m2 ternyata juga
dipicu oleh harapan penggaduh untuk
mendapatkan upah dari luasan kandang
yang dimilikinya. Harapan untuk
mendapatkan upah lebih banyak,
penggaduh mesti siap dengan tenaga kerja
pemelihara dan kandang yang ukurannya
30-35 m2 per flock.
Sebagai penggaduh ayam broiler,
ternyata dapat memberikan harapan yang
berarti. Selama 23 hari memelihara ayam,
upah yang didapat Rp 1.000 per ekor.
Namun karena kandang perlu dibersihkan,
diistirahatkan dan perlu persiapan
pemeliharaan berikutnya, rata-rata setahun
peternak dapat memeilihara 6 sampai 8 kali.
Hal ini disebabkan karena segala bentuk
keputusan ditentukan inti.
Kesimpulan
1. Model penggaduhan budidaya ayam
broiler di Wilayah Kelurahan Manulai,
Kecamatan Alak, Kota Kupang yang
diupah Rp 1.000 per ekor, pada skala
usaha 1.000 – 3.000 ekor dapat menjadi
peluang kerja, menambah pendapatan,
bahkan pada skala usaha lebih dari
5.000 ekor dapat menjadi tumpuan
pendapatan keluarga.
2. Permintaan konsumen untuk ayam
bobot 1,2 kg/ekor (umur 23 hari)
berakibat pada borosnya bibit.
Konversi pakan masih efisien (1,7) dan
mortalitasnya 5 % walaupun dipelihara
21 Model Beternak Ayam Broiler Di Kelurahan Manulai Kecamatan Alak Kota Kupang
pada kandang yang tingginya hanya
1,25 m, kepadatan ayam 30 – 35 ekor /
m2. Hal ini disebabkan karena di
Wilayah Kelurahan Manulai,
Kecamatan Alak, Kota Kupang selalu
ditiup udara yang kencang, panas dan
kering sehingga litter tidak mudah
lembab dan basah.
DAFTAR PUSTAKA
Acker, D. (1983). Animal Science and
Industry. Prentice-Hall, Inc,
Englewood Clifts, New Jersey.
Banerjee. 1980. Animal Husbandry, Oxford
& IBH Publishing Co. New Delhi,
India
Campbell J.R. and J.F. Lasley (1977) The
Science of Animal That Serve
Mankind, Second Edition, Tata
McGrow-Hill Publishing Company
Limited, New Delhi, India
Nasroedin. (1987). Produksi Ternak
Unggas. Fakultas Peternakan,
Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
North, M.O., (1978). Commercial Chicken
Production Manual. Second Edition,
Avi Publishing Company, Inc,
Westpoert, Connecticut, USA
Santosa,K.A. (2009). Kemitraan Ayam
Broiler,http://ternakonline.wordpres
s.com/2009/08/16, diakses pada
tanggal 17 September 2012.
22 Pengaruh Perlakuan Hidrolisis terhadap Kandungan Protein Kasar, Serat Kasar dan Lemak Kasar
pada Tepung Belalang Kembara (Locusta Sp.),
PENGARUH PERLAKUAN HIDROLISIS TERHADAP KANDUNGAN PROTEIN
KASAR, SERAT KASAR DAN LEMAK KASAR PADA TEPUNG BELALANG
KEMBARA (LOCUSTA SP.)
(The Effect Of Hydrolysis On Crude Protein, Crude Fiber and Ether Extract Of
Locust (Locusta sp.) Meal)
J. Daryatmo*
ABSTRACT
A 2X3 factorial experiment was conducted to evaluate the chemical composition of
dried locust meal affected by hydrolysis time and NaOH concentration. The treatment factor
applied were hydrolysis time, that were 24 hours and 48 hours, as first factor, the second factor
was NaOH concentration, 0%, 3% and 6%, therefore 6 treatments combination were made with
3 replication of each combination. The variance analysis showed that 0% NaOH compared to
3% and 6% NaOH significantly affect to crude protein, and crude fiber content. Between 0%,
3% and 6%, NaOH were significantly affect to ether extract. Hydrolysis time also significantly
affect to crude protein, crude fiber, ether extract. Interaction between two factors was
significantly affect all variables measured. The conclusion was, 3% and 6% NaOH
concentration and 48 hours time of hydrolysis were decrease crude protein, crude fiber and
ether extract. Interaction between factors was found. It was significantly affect to all variables
measured therefore choosing the best combination of two factors for optimum result was
important.
Key words: Hydrolysis, Crude protein, Crude fiber, Ether extract, Locust meal
* Staf Pengajar Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Magelang
PENDAHULUAN
Belalang perusak tanaman (Locust)
telah banyak berkembang di Indonesia yang
pindah dari satu pulau ke pulau yang lain,
sehingga disebut migratory locusts.
Menurut Pusat Studi Bencana Alam UGM,
diketahui bahwa belalang ini 1971
menyerang Halmahera, 1990 di
Kalimantan, Mei 1998 di Lampung dan
terakhir pada awai 1999 di Kupang dan di
pertengahan 1999 di Sumba.
Menurut Nasroedin (1998),
kandungan protein kasar belalang mencapai
76% tetapi penggunaannya terbatas untuk
ayam. Tepung belalang mempunyai
komposisi protein kasar yang mengandung
nitrogen dalam bentuk senyawa khitin.
Khitin tersebut terdapat pada bagian
exoskeleton dan sulit dicerna oleh ayam.
Hal ini disebabkan karena khitin
mengandung N-acetylated-glucosamine
polysacharide yang mengandung 7%
nitrogen atau ekivalen dengan 43,7%
protein kasar (+55% dari total protein
kasar). Hal inilah yang menyebabkan nilai
cerna protein kasar oleh ayam hanya
mencapai 62% (Nasroedin, 1998).
Lebih lanjut dinyatakan pula bahwa
burung pemakan insekta dapat mencerna
khitin dengan baik karena memiliki enzim
khitinase. Profil asam amino dari tepung
belalang sedikit di bawah tepung ikan;
kandungan arginin, sistin, isoleusin, leusin,
lisin, metionin, fenilalanin, treonin,
tryptofan, tirosin dan valin masing-masing
adalah 4,8; 0,4; 3,6; 5,7; 5,9; 2,6; 4,6; 3,5;
5,6 dan 3,9 g/100 g protein (Nasroedin,
1998).
Menurut Hemsted (1947) dalam Bo
Gohl (1975), locusts disukai oleh banyak
suku di Afrika dan juga digunakan sebagai
pakan untuk ternak. Locust yang telah mati
sesekali waktu tersedia dalam jumlah besar.
Locusta yang dibunuh dengan di-nitroortho-
cresol dapat digunakan sebagai pakan
23 Pengaruh Perlakuan Hidrolisis terhadap Kandungan Protein Kasar, Serat Kasar dan Lemak Kasar
pada Tepung Belalang Kembara (Locusta Sp.),
ternak, sedangkan yang dibasmi dengan
arsenikum tidak dapat digunakan sebagai
pakan karena belalang terkontaminasi oleh
arsenikum.
Di Wonosari, Kabupaten Gunung
Kidul, DIY, belalang digunakan sebagai
pangan manusia dan merupakan salah satu
bahan pangan yang disukai. Dissosteira
carolina atau yang umum dinamakan
dengan belalang serangga herbivora dari
subordo Caelifera dalam ordo Orthoptera.
Hewan ini jika dalam pertanian dapat
menjadi hama tanaman. Dia dapat
memakan tanaman yang diharapkan untuk
tumbuh, bahkan dapat mengancam petani
karena dapat menyebabkan gagal panen.
Hama ini ternyata dapat ditekan
pertumbuhannya, dengan bahan pembasmi
hama yang bersifat kimiawi, namun
perlakuan tersebut tidak begitu perpengaruh
baik pada tanamannya sendiri, atau dapat
juga dibasmi dengan langsung ditangkap
oleh masyarakat untuk dimanfaatkan
sebagai bahan pangan (Praditya, 2012).
Masyarakat sekitar sering berburu
belalang ini dengan cara mem-pulut. Mem-
pulut berarti menggunakan piranti tangkai
panjang yang di ujungnya ada bagian yang
sangat lengket, merupakan getah alamiah
yang sifatnya lengket. Beberapa ahli
menyatakan bahwa belalang mempunyai
kadar protein antara 40-60%. Ahli yang lain
menyatakan kandungan protein belalang
mencapai 62,2% tiap 100 gramnya. Angka
ini cukup tinggi dibandingkan dengan
angka protein pada udang segar 21%,
daging sapi 18,8%, daging ayam 18,2%,
telur ayam 12,8%, dan susu sapi segar
3,2%, sehingga sebagai sumber protein
tidak kalah dengan sumber protein yang
lain (Praditya, 2012)
Belalang kayu di Wonosari, Gunung
Kidul, DI Yogyakarta, ditangkap lalu dijual
untuk makanan. Harga belalang goreng,
sekitar Rp 500,00-Rp 800,00 per belalang
saat Lebaran. Pada hari-hari biasa, harganya
hanya Rp 10.000,00 hingga Rp 20.000,00
per renteng yang terdiri atas 56 ekor
belalang. Dalam sehari penjual belalang
bisa menjual sekitar 10 ikat (Kompas,
2012). Belalang hidup dibeli seharga Rp
25.000,00/ kg. Setelah diolah menjadi
belalang goreng harga per porsinya berkisar
antara Rp 6.000,00 hingga Rp 10.000,00
(Meir, 2012).
Namun, pemanfaatan tepung
belalang kembara sebagai pangan manusia
menemui kendala, karena menimbulkan
reaksi allergis bagi yang tidak tahan,
umumnya berupa gatal-gatal di kulit
(Sosromarsono, 1999). Cara pemberantasan
yang umum dilakukan adalah dengan
pengendalian massal oleh manusia secara
bersama-sama dengan melibatkan banyak
orang terjun langsung ke lahan pertanian
yang diserang kemudian secara mekanis
belalang ditangkap atau dibunuh secara
manual denganmenggunakan jaring atau
dengan insektisida. Namun penyemprotan
dalam areal yang luas secara ekonomi tidak
menguntungkan. Sebetulnya tanaman sudah
rusak dan secara ekologis tidak dapat
dipertanggungjawabkan karena dapat
menimbulkan pencemaran lingkungan dan
terbunuhnya musuh alami serta organisme
bukan sasaran lainnya (Sosromarsono,
1999).
Tepung belalang diketahui
mengandung komponen-komponen yang
tidak menunjang ketercernaannya antara
lain khitin yang terdapat pada bagian
eksoskeleton yang sulit dicerna dan
kandungan serat kasarnya (Nasroedin,
1998). Hal inilah yang menyebabkan
kecernaannya perlu ditingkatkan dengan
perlakuan tertentu, atau pradigesti secara
kimia. Dalam hal ini tepung belalang
dihidrolisis menggunakan bahan kimia
NaOH dengan konsentrasi tertentu.
Perlakuan alkali (NaOH) ini diharapkan
mampu meningkatkan kecernaan bahan
pakan dan tepung belalang.
Winarti (1992) menyatakan,
perlakuan alkali yakni NaOH mampu
menghidrolisis gugus asetil pada khitin.
Khitin akan mengalami deasetilasi,
sehingga khitin berubah menjadi khitosan
yang menyebabkan kadar khitin berkurang.
Potensi belalang kembara yang cukup
tinggi, terutama pada daerah yang
mengalami ledakan populasi belalang,
menyebabkan belalang dapat digunakan
sebagai pakan ternak.
24 Pengaruh Perlakuan Hidrolisis terhadap Kandungan Protein Kasar, Serat Kasar dan Lemak Kasar
pada Tepung Belalang Kembara (Locusta Sp.),
MATERI DAN METODE
Materi
Materi penelitian berupa :Sampel
belalang dari perkebunan tebu Gunung
Madu Plantation, Lampung Tengah,
Sumatera
Metode
Metode penelitian ini menggunakan
rancangan percobaan Rancangan Acak
Lengkap pola Faktorial 2X3. Faktor
pertama yaitu waktu hidrolisis: 24 jam dan
48 jam. Faktor kedua yaitu konsentrasi
NaOH: 0%, 3% dan 6%, sehingga
semuanya membentuk 6 kombinasi
perlakuan. Replikasi penelitian sebanyak 3
kali. Sampel tepung belalang didapat
dengan cara mengeringkan belalang dengan
oven 50°C. Demikian pula setelah
dikenakan perlakuan. Perlakuan dilakukan
pada suhu kamar. Analisis proksimat
dilakukan menurut AOAC (1975) dan nilai
TDN untuk temak sapi ditentukan dengan
persamaan regresi menurut Harris et al.
(1972) dalam Hartadi et al. (1997).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Protein kasar (PK)
Pada Tabel 1 dapat dilihat rerata
kadar protein kasar pada tepung belalang
kembara pada konsentrasi NaOH 0% lebih
tinggi dan berbeda nyata (P<0,01)
dibanding rerata kadar protein kasar pada
3% dan 6% tetapi rerata kadar protein kasar
antara 3% dan 6% tidak berbeda nyata.
Pada konsentrasi 6%, kandungan PK paling
rendah.
Tabel 1. Rerata Kandungan Protein Kasar Tepung Belalang Kembara dengan Waktu Hidrolisis
dan Konsentrasi NaOH yang Berbeda (%)
Waktu Konsentrasi
0% 3% 6% Rerata
24 jam 59,79 56,72 54,58 57,03a
48 jam 61,68 52,96 50,69 55,11b
Rerata 60,73a 54,84
b 52,64
b
a,b Superskrip yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan perbedaan yang
sangat nyata (P<0,01)
Hal ini sesuai dengan pendapat
Suhardi et al. (1992) dalam Supranto
(1997), yang menyatakan bahwa NaOH
memiliki sifat dapat menurunkan kadar
protein kasar. Bough (1975), Johnson dan
Peniston (1982) dan Knorr (1984) dalam
Muzi (1990) juga melaporkan bahwa secara
umum larutan NaOH 2-3% dan waktu
reaksi 1-2 jam dapat mengurangi kadar
protein dalam kulit krustasea secara efektif.
Ibbotson et al. (1981),
melaporkan bahwa whole crop oat dan
whole crop barley yang diperlakukan
dengan NaOH dengan konsentrasi 0%, 4%
dan 8% mengalami penurunan kadar protein
kasar. Pada whole crop oat (dalam % DM)
berturut-turut 5,9%; 5,5% dan 5,2%, sedang
pada whole crop barley berturut-turut 7,9;
7,5 dan 7,2.
Rerata terendah protein kasar
didapat pada waktu hidrolisis 48 jam pada
konsentrasi NaOH 6%, dan perbedaan
antara kedua waktu hidrolisis sangat nyata
(P<0,01). Waktu hidrolisis 48 jam proses
deproteinisasi lebih lama sehingga kadar
protein kasar berkurang lebih banyak.
Perendaman dengan konsentrasi 6%
memberikan rerata terendah pada
kandungan protein walaupun secara statistik
menunjukkan perbedaan yang tidak nyata
dengan rerata pada konsentrasi 3%. Hal ini
disebabkan pada konsentrasi 6%, NaOH
tidak lagi menurunkan prosentase protein
kasar.
Interaksi antara waktu hidrolisis dan
konsentrasi NaOH menunjukkan pengaruh
yang sangat nyata (P<0,01) terhadap
kandungan protein. Hal ini menunjukkan
25 Pengaruh Perlakuan Hidrolisis terhadap Kandungan Protein Kasar, Serat Kasar dan Lemak Kasar
pada Tepung Belalang Kembara (Locusta Sp.),
pada waktu hidrolisis dan konsentrasi
NaOH yang tinggi kandungan protein kasar
menjadi semakin turun.
Serat kasar (SK)
Tabel 2 memperlihatkan bahwa
rerata serat kasar pada konsentrasi 0%
sangat nyata lebih tinggi dibanding pada
konsentrasi 3% dan 6%, meskipun
demikian, serat kasar pada 3% dan 6% tidak
berbeda nyata antara keduanya Tampak
bahwa penggunaan NaOH yang tinggi lebih
mampu menurunkan serat kasar. Demikian
juga pada waktu hidrolisis 48 jam serat
kasar yang didapat nyata lebih rendah
(P<0,01). Hal ini menunjukkan bahwa
perlakuan NaOH dengan waktu hidrolisis
yang lebih tinggi waktu mampu
menurunkan kandungan serat kasar lebih
banyak.
Tabel 2. Rerata Kandungan Serat Kasar Tepung Belalang Kembara dengan Waktu Hidrolisis
dan Konsentrasi Naoh yang Berbeda (%)
Waktu Konsentrasi
0% 3% 6% Rerata
24 jam 15,13 13,76 11,66 13,52a
48 jam 15,34 11,56 10,56 12,49b
Rerata 15,24a 12,66
b 11,11
b
a,b Superskrip yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan perbedaan yang
sangat nyata (P<0,01)
Ada interaksi yang sangat nyata
(P<0,01) antara kedua faktor sehingga dapat
disimpulkan bahwa makin tinggi waktu
hidrolisis dan konsentrasi NaOH yang
dipakai, kandungan serat kasar cenderung
turun.
Hal ini sesuai dengan pendapat
Mudgal et al. (1979) bahwa perlakuan
NaOH akan menurunkan komponen-
komponen penyusun serat kasar antara lain
kadar NDF, ADF, hemiselulosa, selulosa,
lignin dan silika. Komar (1984) melaporkan
perlakuan dengan NaOH sedikit
pengaruhnya terhadap komposisi kimia dari
bahan pakan, antara lain jerami padi, namun
reaksi penyabunannya membuat
hemiselulosa, lignin dan silika larut.
Pengaruhnya tampak pada menurunnya
protein kasar dari 3,9% menjadi 3,8%.
Lemak Kasar (LK)
Pada Tabel 3 memperlihatkan
bahwa rerata kandungan lemak kasar
dipengaruhi secara sangat nyata (P<0,01)
oleh konsentrasi NaOH yang digunakan,
sehingga bisa dinyatakan bahwa kandungan
lemak kasar terendah pada konsentrasi 6%.
Waktu hidrolisis juga berpengaruh sangat
nyata (P<0,01) terhadap kandungan lemak
kasar, sehingga lemak kasar lebih rendah
pada waktu hidrolisis 48 jam dibanding 24
jam
Tabel 3. Rerata Kandungan Lemak Kasar Tepung Belalang Kembara dengan Waktu Hidrolisis
dan Konsentrasi Naoh yang Berbeda (%)
Waktu Konsentrasi
0% 3% 6% Rerata
24 jam 4,82 3,13 1,88 1,67a
48 jam 4,23 3,11 1,81 1,64b
Rerata 4,53a 3,12
b 1,85
c
a,b,c Superskrip yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan perbedaan yang
sangat nyata (P<0,01)
26 Pengaruh Perlakuan Hidrolisis terhadap Kandungan Protein Kasar, Serat Kasar dan Lemak Kasar
pada Tepung Belalang Kembara (Locusta Sp.),
Pengaruh kedua faktor sangat nyata,
juga terdapat interaksi antara kedua faktor,
sehingga dapat disimpulkan bahwa makin
larna waktu hidrolisis dan tinggi konsentrasi
NaOH yang dipakai, maka kadar lemak
kasar akan semakin rendah. Hal ini
disebabkan karena terjadinya reaksi
penyabunan pada perlakuan alkali, sesuai
pendapat Respati (1980) bahwa lemak
tersusun atas asam lemak jenuh dan mudah
mengalami hidrolisis (pemindahan gugus
fungsional ke air) dengan larutan NaOH
menjadi gliserin dan garam Na dari asam
lemak.
Kesimpulan
Peningkatan waktu hidrolisis NaOH
sampai 48 jam akan menurunkan
kandungan protein kasar, serat kasar dan
lemak kasar. Peningkatan konsentrasi
NaOH sampai 6% menyebabkan penurunan
kandungan protein kasar, serat kasar dan
lemak kasar. Ada interaksi antara waktu
hidrolisis dan konsentrasi NaOH terhadap
data yang dicatat. Kombinasi antara
konsentrasi NaOH dan waktu hidrolisis
yang tinggi akan menurunkan protein kasar
dan lemak kasar.
DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 1975. Official Method of Analysis.
12th edn. Association of Official
Analytical Chemists. Benjamin
Franklin Publ. Washington DC.
Bo Gohl. 1975. Tropical Feeds. Feeds
Information Summaries and
Nutritive Values. Food and
Agriculture Organization of the
United Nations, Rome.
Gomez, K. A. and A. A. Gomez. 1984.
Statistical Procedures for
Agricultural Research. Second Ed.
An International Rice Research
Institute Book. A Wiley-
Interscience Publication. John Wiley
and Sons. New York, Chicester,
Brisbane, Toronto, Singapore.
Hanafiah, K. A. 1994. Rancangan
Percobaan: Teori danAplikasi. Ed.
2.Cet. Ke 3. PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo, Tillman,
A.D. 1997. Tabel Komposisi Pakan
untuk Indonesia. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta
Ibbotson, C.F., G. Hutchison dan M.
Delaney. 1981. The alkali treatment
of whole crop cereals, Part I-
Preliminary trials. Expl. Husb.
37:110-116.
Komar, A. 1984. Teknologi Pengolahan
Jerami sebagai Makanan Temak.
Yayasan Dian Grahita. Bandung.
Kompas. 2012. Penjualan belalang goreng
mulai meningkat.
http://regional.kompas.com/read/20
12/08/12/15100475/Penjualan.Belal
ang.Goreng.Mulai.Meningkat.
Diakses 12 Agustus 2012.
Kustantinah, Z. Bachruddin dan H. Hartadi.
1993. Evaluasi Pakan Berserat pada
Ruminansia. Forum Komunikasi
Hasil Pendidikan Bidang Peternakan
Direktorat Pembinaan, Penelitian
dan Pengabdian pada Masyarakat.
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Yogyakarta.
Lebdosukojo, S. dan H. Hartadi. 1982.
Struktur mikroskopik jaringan
jerami padi yang diperlakukan
dengan alkali dan diikuti pencernaan
in vitro. Proceedings Seminar
Penelitian Peternakan. Pusat
Penelitian dan Pengembangan
Peternakan Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian
Departemen Pertanian, Bogor.
Meir, Arisca. 2012. Belalang goreng Sri
Sutarti.
http://www.kotajogja.com/kuliner/in
dex/Belalang-Goreng-Sri-Sutarti.
Diakses tanggal 01 Oktober 2012.
27 Pengaruh Perlakuan Hidrolisis terhadap Kandungan Protein Kasar, Serat Kasar dan Lemak Kasar
pada Tepung Belalang Kembara (Locusta Sp.),
Mudgal, V.D., K.K. Dhanalaksmi, Nawab
Singh and K.K. Singhal. 1980.
Effect of silica on in vitro
digestibility of forages. Indian J.
Dairy Sei. 33: 168. Dlm: Suharto, B.
1984. Pengaruh perlakuan 1,5%
NaOH dan pengukusan terhadap
nilai gizi bahan pakan berserat kasar
tinggi. Karya Ilmiah. Fakultas
Peternakan UGM. Yogyakarta.
Muzi, A. 1990. Isolasi kimiawi dan
karakterisasi khitin kulit udang
windu (Penaeus monodori). Skripsi.
Jurusan PHP Fakultas Teknologi
Pertanian UGM Yogyakarta.
Nasroedin. 1998. Sumber Protein Alternatif
untuk Ayam. Kuliah Perdana
Program Studi Ilmu Peternakan
Jurusan Ilmu-ilmu Pertanian
Program Pascasarjana Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Praditya. 2012. Walang goreng dan bacem.
http://www.new8wonders.info/2012
/07/walang-goreng-dan-bacem.html.
Diakses tanggal 26 Juli 2012.
Respati, 1980. Pengantar Kimia Organik II.
Cet. II. Aksara Baru. Jakarta.
Soejono, M., R. Utomo dan S. P. S. Budhi.
1985. Pengaruh perlakuan alkali
terhadap kecernaan in vitro bagasse.
Proceedings Seminar Pemanfaatan
Limbah Tebu untuk Pakan Ternak.
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian
Departemen Pertanian, Bogor. Hal.
144-147.
Soejono, M., R. Utomo dan Widyantoro.
1988. Peningkatan nilai nutrisi
jerami padi dengan berbagai
perlakuan. Dlm.:Limbah pertanian
sebagai pakan dan manfaat lainnya.
Editor: M. Soejono, A. Musofie, R.
Utomo, N.K. Wardhani, J.B. Shiere.
Proceeding Bioconvertion Project
Second Workshop on Crop Residues
for Feed and Other Purposes.
Grati.Hal. 36-58
Sosromarsono, S. 1999. Belalang kembara,
saat berkelompok jadi ganas.
Kompas, 01Mei 1999: 4
Sudibyakto dan B.A. Suripto. 1999.
Dampak perubahan tataguna lahan
dan kebakaran hutan terhadap
ledakan belalang kembara (Locusta
migratoria) dengan menggunakan
data inderaja dan SIG: kasus di
propinsi lampung dan pulau sumba,
nusa tenggara timur.Makalah.
Kongres IVPERHIMPI dan
SimposiumInternasional I. Bogor.
Hal. 1-15.
Suharto, B. 1984. Pengaruh perlakuan 1,5%
NaOH dan pengukusan terhadap
nilai gizi bahan pakan berserat kasar
tinggi. Karya Ilmiah. Fakultas
Peternakan Universitas Gadjah
Mada,Yogyakarta.
Supranto, 1997. Design of the flow process
diagram of the crawfish shell waste
conversion to chitin. Manusia dan
Lingkungan 12 (IV): 3-13.
Tillman, A. D., H. Hartadi, S.
Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo
dan S. Lebdosoekojo. 1991. Ilmu
Makanan Temak Dasar. Gadjah
Mada University Press. Fakultas
Peternakan UGM. Yogyakarta.
Utomo, R., M. Soejono dan B. Soehartanto.
1985. Pengaruh sodium hidroksida,
kalsium hidroksida dan karbamida
terhadap nilai hayati bagasse.
Proceedings Seminar Pemanfaatan
Limbah Tebu untuk Pakan Ternak.
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian
Departemen Pertanian. Bogor. Hal.
97-101.
Widyobroto, B.P. , S. Padmowijoto, R.
Utomo, dan K. Adiwimarta. 1997.
Pendugaan kualitas protein bahan
pakan untuk ternak ruminansia.
28 Pengaruh Perlakuan Hidrolisis terhadap Kandungan Protein Kasar, Serat Kasar dan Lemak Kasar
pada Tepung Belalang Kembara (Locusta Sp.),
Laporan Penelitian. Fakultas
Peternakan Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
Winarti, R. 1992. Pengaruh Konsentrasi
NaOH dan Waktu Deasetilasi Khitin
terhadap Pembentukan Khitosan.
Skripsi S1. Fakultas Teknologi
Pertanian Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Winugroho, M., B. Bakrie, T. Panggabean,
dan N.G. Yates. 1983. Pengaruh
panjang potongan dan perlakuan
kimia terhadap jumlah konsumsi
dan daya cerna jerami padi.
Proceedings Pertemuan Ilmiah
Ruminansia Besar. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Peternakan
Badan Penelitian dan
Pengembangan pertanian
Departemen Pertanian, Bogor.
29 Studi Kasus Penyakit Kulitppada KudadDan Keperawatannya Di Tombo Ati Stable Salatiga
STUDI KASUS PENYAKIT KULIT PADA KUDA DAN KEPERAWATANNYA DI
TOMBO ATI STABLE SALATIGA
(Case study of Skin Diseases on The Horse and Nursing
in Tombo Ati Stable Salatiga)
D. Partiwi*, Yuriadi
**, B.P.Widiarso
**
ABSTRACT
This Article study was obtained from perception result conducted Tombo Ati Stable own
by Ir. H. Muhammad Munawir which have location in Orchard Butuh, Tengaran Subdistrict,
Salatiga Residence, pandemic Regency Semarang of husk horse skin disease and its treatment.
Data obtained to be taken directly with the field observation with worker of Tombo Ati Stable,
interview with the worker of Tombo Ati Stable, data recording about horse health owned by
Tombo Ati Stable and search the book study.
In the Tombo Ati Stable skin disease found by ringworm. Percentage of Occurence
ringworm in of Tombo Ati Stable is 16,7%. Grooming action done cover to bath the horse,
incise the horse skin, and comb the hair and horse skin.
See the management of horse treatment in Tombo Ati Stable specially horse skin have
been executed better and according to standard which is a lot of weared by the stable exist in
Indonesia. Tombo Ati Stable seen that horse treatment own the role of vital importance in
maximizing appearance and horse performance.
Handling, medication, treatment and prevention skin disease have been treated good
enoughly. To degrade the disease occurence require to be done by management improve of
animal health cover the make-up of cage hygiene, healthy feed , discipline, quarantine of
unhealthy horse, and grooming
Keywords: Skin disease, horse
* Staf pengajar Fakultas Kedokteran Hewan UGM Yogyakarta
** Staf Pengajar Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Magelang
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kuda adalah salah satu hewan yang
memiliki peranan penting dalam kehidupan
dan perkembangan bangsa Indonesia
dimulai sejak abad ke-7 masehi yaitu zaman
berdirinya kerajaan Hindu dan Budha,
kemudian memasuki zaman penjajahan
bangsa Eropa pada abad ke-13 hingga
zaman modern sekarang. Kuda sebagai
hewan untuk bahan makanan, kendaraan
atau transportasi ke segala penjuru dari
ibukota kerajaan sampai daerah-daerah
pedalaman. Kuda sebagai hewan untuk
membajak, alat tarik, olah raga, dan hewan
kesayangan (Wartomo dan Astuti, 1993).
Populasi kuda di Indonesia tahun
1970 sebanyak 692.000 ekor, tahun 1989
turun menjadi 683.000 ekor. Pada tahun
2003: 412.682 ekor, tahun 2005: 386.708
ekor, tahun 2009: 398.226 ekor, tahun 2010
: 457.084 ekor. Pada kurun waktu dua belas
tahun terakhir, populasi kuda mengalami
penurunan hingga mencapai 12,26% atau
1,23% per tahun. Populasi kuda pada lima
tahun terakhir di Daerah Istimewa
Yogyakarta mengalami peningkatan yaitu
pada tahun 2005 sebesar 784 ekor, tahun
2006 sebanyak 929 ekor, pada tahun 2007
sebanyak 1305 ekor, tahun 2008 sebanyak
1354 ekor dan pada tahun 2009 sebanyak
1370 ekor secara nasional (Anonimus,
2010).
30 Studi Kasus Penyakit Kulitppada KudadDan Keperawatannya Di Tombo Ati Stable Salatiga
Penurunan populasi kuda tersebut
merupakan akibat dari penyakit kuda, serta
meningkatnya teknologi mekanik, karena
fungsi kuda digantikan oleh kendaraan
bermesin, biaya peternakan kuda yang
mahal dan penyempitan lahan peternakan.
Kejadian penyakit yang dilaporkan dan
ditangani oleh Klinik Hewan Keliling
Pordasi DIY selama satu tahun (2010)
antara lain abses 14 ekor (5,02 %), artritis
28 ekor (10,06 %), azutoria lima ekor (1,79
%), bursal lesion tiga ekor (1,07 %), choke
satu ekor (0,36 %), conjunctivitis sembilan
ekor (3,22 %), dermatomikosis/fikomikosis
15 ekor (5,37 %), diarhea kuda tujuh ekor
(2,51 %), diarhea belo 18 ekor (6,45 %),
distokia satu ekor (0,35 %), enteritis belo
delapan ekor (2,87 %), external parasit
(scabies) tujuh ekor (2,51 %), foot rot dua
ekor (0,72 %), infeksius nasopharyng dua
ekor (0,72 %), insufisiensi cordis tiga ekor
(1,07 %), kolik 20 ekor (7,17 %), laminitis
18 ekor (6,45 %), lesi traumatic 17 ekor
(6,09 %), mastitis satu ekor (0,36 %),
metritis enam ekor (2,15 %), oftalmia
periodika empat ekor (1,43%), osteo
destropia fibrosa (ODF) sembilan ekor
(3,22 %), pneumonia 12 ekor (4,30 %),
retensio placenta tiga ekor (1,07 %),
rhenitis 15 ekor (5,38 %), salmonelosis belo
tiga ekor (1,07 %), selo karang 11 ekor
(3.94 %), sistemik mikosis satu ekor (0,36
%), shock satu ekor (0,36 %), strangless
(droes) lima ekor (1,79 %), strongylosis 24
ekor (8,60 %), tenden lesion sembilan ekor
(3,22 %), tetanus tujuh ekor (2,51 %).
Kondisi geografis Indonesia yang
merupakan daerah tropis dengan suhu dan
kelembaban yang tinggi dapat memudahkan
tumbuhnya agen infeksi penyakit kulit
seperti yang disebabkan oleh agen jamur,
bakteri, virus, ektoparasit dan alergi
khususnya pada kuda di Indonesia banyak
ditemukan. Hal ini juga didukung oleh data
National Animal Disease Information
Servive (NADIS) yang menunjukan bahwa
musim dingin terutama dalam keadaan
basah dapat meningkatkan kejadian
penyakit kulit pada kuda. Semakin majunya
teknologi dan ilmu pengetahuan menjadi
acuan untuk terus mencari solusi dan jalan
keluar untuk memecahkan masalah tersebut,
karena penyakit kulit merupakan salah satu
masalah yang sangat nyata dan mendasar
dalam dunia hewan pada umumnya dan
kuda khususnya (Laven, 2004).
Beberapa kasus penyakit kulit yang
sering dijumpai di lapangan yang meliputi
ringworm, seborrhea, scabies. Ringworm
atau dermatomikosis atau infeksi oleh jamur
pada bagian superficial atau bagian dari
jaringan lain yang mengandung keratin
(bulu, kuku, rambut), seborrhea merupakan
infeksi yang disebabkan oleh produksi
sebum yang berlebihan oleh kelenjar
sebaceous, scabies merupakan infeksi
ektoparasit dan rainrot yang merupakan
infeksi bakteri (Stannard,1972; Vicker,
2012).
Dari data diatas penulis tertarik
untuk mengobservasi tentang penyakit kulit
yang menyerang kuda di Tombo Ati Stable
di Jawa Tengah beserta penanganannya.
Tujuan
Tujuan dari studi kasus ini adalah
untuk mengetahui seberapa jauh tentang
kejadian, penanganan, keperawatan dan
pencegahan penyakit kulit pada kuda di
peternakan kuda Tombo Ati Stable.
MATERI DAN METODE
Materi
Data yang diperoleh dari Tombo Ati
Stable milik Ir. H. Muhammad Munawir
yang berlokasi di Dusun Butuh, Kecamatan
Tengaran, Kabupaten Semarang yang
diperoleh selama praktek kerja lapangan
tentang penyakit kulit pada kuda dan
keperawatannya. Data-data yang diambi
ltentang Penyakit kulit yang ditemukan
penulis dalam praktek kerja lapangan di
Tombo Ati Stable adalah ringworm. Sarana
dan prasarana perawatan yang digunakan
untuk menjaga kesehatan kulit kuda di
Tombo Ati stable seperti grooming secara
teratur.
31 Studi Kasus Penyakit Kulitppada KudadDan Keperawatannya Di Tombo Ati Stable Salatiga
Metode
Metode yang digunakan dalam
pengambilan data di Tombo Ati stable
adalah secara observasi langsung, yaitu ikut
langsung di lapangan seperti kerja sesuai
jadwal kegiatan staf kandang dan
wawancara kepada petugas kandang Tombo
Ati Stable. Pengambilan data dari buku
recording kesehatan kuda yang dimiliki
oleh Tombo Ati Stable serta melakukan
studi pustaka di laboratorium Teknologi
Informasi dan Komunikasi Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Gadjah
Mada.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan di peternakan
kuda Tombo Ati Stable di Jawa Tengah
diperoleh data populasi kuda, ketersediaan
obat-obatan, dan kejadian penyakit kulit,
secara berturut-turut disajikan pada Tabel 1,
Tabel 2, Tabel 3 dan Tabel 4.
Tabel 1. Populasi Kuda di Tombo Ati Stable
No. Status Jumlah
1. Kuda pacu 6
2. Pejantan pemacek 2
3. Pejantan + pacu 1
4. Kuda Betina indukan 20
5. Kuda remaja 11
6. Kuda belo 3
7. Kuda poni 1
Jumlah 44
Tabel 2. Ketersediaan Obat-Obatan yang Dimiliki oleh Tombo Ati Stablel
No NAMA OBAT FUNGSI JUMLAH
1. Alkohol 70% Antiseptik 2 botol
2. Iodine Antiseptik 1 botol
3. Betadine Antiseptik 1 tube
4. Hufanoxil Antibiotik 3 botol
5. Ciprofloxacin Antibiotik 5 botol
6. Diclovenac Anti Inflamasi 3 strip
7. Panachur Antihelmintik 4 strip
8. Malone Analgesik 2 botol
9. Papaferine Analgesik 3 botol
10. Novaldon Analgesik 3 botol
11. Ancyclovir Antiviral 1 tube
12. Infuse Ringer Laktat Fluit terapi 2 tube
13. Paracetamol Antipiretik 2 strip
32 Studi Kasus Penyakit Kulitppada KudadDan Keperawatannya Di Tombo Ati Stable Salatiga
Tabel 3. Presentase Kejadian Penyakit Kuda di Peternakan Tombo Ati Stable
No. Penyakit Bulan
Jumlah Presentase Okt Nov Des Jan Feb Mar
1. Distokia 1 - - - - - 1 5,6%
2. Diare - - - - 2 3 5 27,8%
3. Penyakit
kaki - - - - 1 2 3 16,7%
4. Penyakit
kulit - - - - - 3 3 16,7%
5. Gejala
Kolik - - 2 - - - 4 11,2%
6. Rhinitis - - - - 2 2 4 22,2%
Jumlah 18 100%
Dari tabel 3 diatas, dapat diketahui presentase kejadian penyakit kulit pada kuda di
peternakan Tombo Ati Stable dari bulan Oktober sampai dengan Maret mencapai 16,7%.
Tabel 4. Kejadian Penyakit Kulit di Peternakan Tombo Ati Stable dari Bulan Oktober-Maret
2012.
No. Nama kuda
sakit kaki Kejadian
Bulan Jumlah
Okt Nov Des Jan Feb Mar
1. Tulus iklas Ringworm - - - - - 1 1
2. Barokah Ringworm - - - - - 1 1
3. Belo Ringworm - - - - - 1 1
Total
3
Pengobatan Penyakit Kulit di Tombo Ati
Stable
Pengobatan penyakit kulit di Tombo
Ati Stable dilakukan dengan memberikan
obat-obatan yang dibuat secara tradisional
dari bahan-bahan yang dapat diperoleh dari
alam dan pengobatan secara topikal
menggunakan salep Yodium Tincture2%
atau salep penicillin 2% dan Griseofulfin
2%.
Perawatan Kulit Kuda Yang Menderita
Penyakit Kulit
Kulit kuda yang terinfeksi ringworm
diolesi dengan ramuan daun randu yang
telah dicampur dengan air panas kemudian
didiamkan atau tidak dimandikan selama
dua hingga tiga hari, setelah itu dimandikan
kemudian kerak dikerok. Setelah dikerok
dibersihkan dengan alkohol dan iodine
kemudian diolesi salep secara merata dan
berulang kali hingga infeksi teratasi.
Pada bagian kulit kuda yang tidak
terinfeksi ringworm dilakukan perawatan
kulit sama seperti perawatan kulit kuda
yang sehat, meliputi pengerokan kulit,
penyikatan kulit dan rambut, pembersihan
dan pelumasan kuku/tracak kuda.
Perawatan kulit kuda di Tombo Ati Stable
dilakukan secara rutin dua kali sehari,
masing-masing sebelum dan sesudah
exercise pada waktu pagi dan sore dan
dilakukan oleh petugas kandang yang telah
paham dan mengetahui tentang karakter
kuda.
Penyebaran penyakit dalam suatu
populasi menjadi salah satu faktor penting
yang harus diperhatikan dalam sebuah
peternakan. Untuk itu manajemen
perawatan hewan yang sakit haruslah
menjadi perhatian bagi petugas kandang
atau pemilik. Pada pemeliharaan kuda di
Tombo Ati Stable, populasi kuda sebanyak
44 ekor kuda yang meliputi kuda belo (tiga
33 Studi Kasus Penyakit Kulitppada KudadDan Keperawatannya Di Tombo Ati Stable Salatiga
ekor), umur remaja 11 ekor, indukan 20
ekor, pejantan pemacek (dua ekor),
pejantan + pacu (satu ekor), kuda pacu
(enam ekor) dan kuda poni (satu ekor).
Dalam populasi kuda yang berjumlah 44
ekor kuda tersebut terdapat dua ekor kuda
indukan, dan satu ekor belo terserang
ringworm.
Gambar 1. Kuda Tulus Iklhas yang terkena
ringworm
Gambar 2. Kuda belo yang terkena
ringworm
Menurut Sismani (2011) kontrol
populasi terhadap kasuspenyakit kulit
(Equin dermatitis) pada berbagai tingkatan
umur dalam satu kelompok kandang sangat
diperlukan tindakan kontrol yang terus
menerus untuk mencegah infeksi hewan
sakit terhadap hewan sehat atau sebaliknya
pada agent penyakit kulit yang baru.
Kontrol kesehatan pada seluruh populasi
dilakukan dengan melakukan langkah-
langkah yang meliputi pemisahan hewan
terinfeksi seperti equin dermatitis dari
populasi, penempatan kuda dalam kandang
karantina, kontrol kondisi secara berkala
dan melakukan recording, serta melakukan
pengobatan secara intensif. Peternakan
kuda di Tombo Ati Stable belum memiliki
karantina hewan sakit atau hospital barn,
kuda yang sakit hanya ditempatkan pada
kelompok kandang yang dibatasi dengan
dinding tertutup. Pada peternakan Tombo
Ati Stable sudah melakukan pengobatan
dan perawatan kulit secara intensif dan
telah memiliki tenaga medis dan para
medis.
Penyakit Kulit pada Kuda dan
Penanganannya
Penyakit yang ditemui pada
peternakan kuda Tombo Ati Stable adalah
ringworm. Penyakit ringworm ini
disebabkan karena kuda kehujanan atau
kuda yang berkeringat setelah exercise
tidak dibersihkan serta tidak dikeringkan
dan langsung dimasukkan dalam kandang.
Kuda yang masih basah oleh keringat
terlihat tetap dimasukkan ke dalam kandang
sehingga tidak mendapatkan sinar matahari
yang cukup akibatnya kulit kuda menjadi
lembab dan menyebabkan jamur dapat
tumbuh dan terjadi secara kronis.
Hasil anamnesa pada saat
pemeriksaan umum tidak menunjukkan
adanya perubahan seperti temperatur tubuh,
pernafasan dan pulsus dalam batas normal
akan tetapi pada pemeriksaan umum terjadi
gejala klinis di kulit berupa lingkaran atau
cincin dengan batas jelas dan umumnya
dijumpai di daerah yang mudah berkeringat
seperti leher, muka terutama sekitar mulut,
pada kaki dan perut bagian bawah,
selanjutnya terjadi keropeng, lepuh dan
kerak, dan dibagian keropeng biasanya
bagian tengahnya kurang aktif, sedangkan
pertumbuhan aktif terdapat pada bulu
berupa kekusutan, rapuh dan akhirnya patah
(Ahmad, 2009).
34 Studi Kasus Penyakit Kulitppada KudadDan Keperawatannya Di Tombo Ati Stable Salatiga
Gambar 3. Kuda Barokah yang Terkena
Ringworm
Pencegahan dan penanganan yang
dapat dilakukan terhadap penyakit
ringworm adalah sanitasi kandang dan
lingkungan maupun hewannya. Pengobatan
dapat dilakukan secara sistemik dan topikal
sesuai dengan dosis dan jadwal pemberian.
Secara sistemik dengan preparat
Griseofulvin, Natamycin, dan Azole secara
peroral maupun intravena secara teratur.
Secara topikal diberikan obat fungisida
topikal dengan berulang kali, setelah itu
kulit hewan penderita dilakukan perawatan
dengan menggerok dan menyikat keraknya
sampai bersih, setelah itu dioles ataudengan
obat tradisional seperti daun ketepeng
(Cassia alata), Euphorbia prostate dan E.
Thyophylia atau menggunakan obat
medisinal seperti salep Yodium Tincture
2% atau salep Penicillin 2% dan
Griseofulfin 2% (Ahmad, 2009).
Untuk usaha pengobatan yang
dilakukan di Tombo Ati Stable meliputi
pengobatan dengan obat tradisional yang
dibuat dengan bahan-bahan alami yang
didapat dari alam dan pengobatan secara
topikal. Pengobatan secara tradisional
dilakukan dengan membuat ramuan daun
kapas randu yang ditumbuk dan
dicampurkan dengan air panas. Untuk cara
pemakaiannya daun kapas yang telah
ditumbuk dan ditambah air panas dalam
jumlah relatif sedikit lalu dioleskan pada
daerah yang sakit kemudian didiamkan atau
tidak dimandikan selama dua sampai tiga
hari, setelah itu dimandikan kemudian
dikerok. Daun kapas tersebut digunakan
hanya untuk mempermudah menghilangkan
kerak karena daun kapas tersebut
mengandung minyak yang dapat
meluruhkan kerak, kemudian diberikan
pengobatan secara topikal. Untuk
pengobatan secara topikal Tombo Ati
Stable menggunakan salep yang terdiri dari
campuran bahan-bahan meliputi Vaselin;
Levertran (minyak ikan) yang mengandung
vitamin A dan E yang membantu regenerasi
kulit. Lidokain, Antalgin yang berfungsi
mengurangi rasa sakit sehingga kuda tidak
menggesek-gesekkan kulit pada dinding
kandang yang akan memperparah kejadian
penyakit kulit dan akan menyebabkan
penularan penyakit jamur secara tidak
langsung pada kuda lain ataupun perawat.
Pemberian Penicillin Streptomycin di
dalam salep dapat sebagai anti bakteri yang
berfungsi untuk membunuh bakteri dan
dapat terjadi kesembuhan (gambar 5).
Pengobatan topikal dapat dilakukan
dengan sebelumnya melakukan pengerokan
pada kulit yang berjamur lalu dibersihkan
dengan alkohol dan iodine kemudian
diolesi dengan saleb anti jamur secara
merata sampai infeksi teratasi. Penggunaan
alkohol dan iodine sebagai desinfektan
dikarenakan alkohol melarutkan lemak dan
mendenaturasi protein terutama pada
dinding sel bakteri sedangkan iodine
digunakan karena aktif terhadap fungi,
bersifat tidak larut air dan aktivitas
antibakterialnya besar.
Perawatan Kuda
Pada peternakan kuda Tombo Ati
Stable tindakan perawatan kulit kuda yang
terinfeksi ringworm yaitu dilakukan
pengerokkan kulit hingga keraknya bersih
kemudian diolesi salep hingga infeksi
35 Studi Kasus Penyakit Kulitppada KudadDan Keperawatannya Di Tombo Ati Stable Salatiga
teratasi dan bagian tubuh kuda yang tidak
terinfeksi ringworm tetap dilakukan
grooming, sama seperti perawatan kulit
kuda yang sehat. Grooming dilaksanakan
pada saat sebelum dan sesudah dilakukan
exercise yaitu pada waktu pagi dan sore
hari dan pada beberapa kuda grooming
dilakukan oleh perawat yang benar-benar
mengetahui karakteristik kuda. Peralatan
yang digunakan untuk meng-grooming di
Tombo Ati Stable hanya terdiri dari dandy
brush (sikat kepala), body brush (sikat
badan) (gambar 6), pembersih kuku/teracak
sederhana yang terbuat dari tangkai sendok
dan minyak kuku. Grooming pada pagi hari
dilakukan pada saat sebelum dan sesudah
exercise pagi yaitu sekitar pukul 06.00.
Exercise kuda dilakukan setelah kuda
diberikan pakan konsentrat. Setelah kuda
keluar dari kandang lalu kuda digrooming
dengan melakukan berbagai tindakan yang
meliputi pengerokan kulit (gambar 7),
penyikatan rambut kuda yang disikat searah
mulai dari kepala sampai kekaki (gambar 8)
yang bertujuan agar kuda bersih, terbebas
dari penyakit kulit dan membersihkan
kuku/tracak kuda yang selanjutnya dilumasi
dengan pelumas, pembersihan teracak
berfungsi juga untuk menghindarkan jamur
yang bisa tumbuh di bagian crop yang akan
menyebabkan selakarang (gambar 9).
Tindakan grooming dilakukan dengan
lembut agar tidak menyebabkan luka pada
kuda. Setelah selesai dilakukan exercise
sebelum dimasukkan kedalam kandang
dilakukan grooming kembali pada kuda.
Pada kuda pacu tindakan grooming
ditambah dengan melakukan pengompresan
dengan air hangat keseluruh tubuh kuda.
Didalam air hangat yang digunakan untuk
pengompresan dilarutkan garam (mineral).
Hal ini bertujuan untuk relaksasi atau
menghilangkan rasa lelah pada kuda setelah
melakukan exercise. Pada kuda pacu
tindakan grooming dilakukan lebih intensif
karena tingkat exercise kuda pacu yang
lebih berat dibandingkan dengan indukan,
pejantan ataupun kuda junior. Selain
bertujuan menghilangkan rasa lelah air
hangat yang digunakan untuk mengompres
kuda ini juga berfungsi untuk
menghilangkan keringat kuda sehingga
kuda terhindar dari berbagai masalah yang
ditimbulkan oleh kulit (gambar 10).
Keperawatan kulit kuda di Tombo
Ati Stable sangat diperhatikan oleh petugas
kandang. Sehingga jarang terjadi penyakit
kulit dalam populasi di kandang atau stable.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasar hasil dan pembahasan
dapat disimpulkan bahwa kejadian penyakit
kulit di peternakan kuda Tombo Ati Stable
cukup rendah dan hanya satu macam kasus
penyakit yaitu ringworm. Penyakit kulit ini
dapat diatasi dengan pengobatan secara
tadisional dan pengobatan secara medisinal
yaitu secara topikal dengan salep Yodium
Tincture 2% atau salep Penicillin 2% dan
Griseofulfin 2% dan keperawatan penyakit
kulit telah dilaksanakan dengan baik.
Saran
Pencegahan penyakit kulit pada
kuda dapat dilakukan dengan cara
perbaikan gizi dan tatalaksana
pemeliharaan (memandikan secara teratur,
mengusahakan kuda tidak kehujanan
sehingga ketika hujan tidak dilakukan
exercise diluar kandang, pemberian
makanan yang sehat dan bergizi serta
vaksinasi). Pencegahan penyakit kulit dapat
memakai minyak nabati yang dicampur
pada pakan seperti omega 3, asam lemak,
biotin, selenium, vitamin A, D dan E.
Melakukan grooming pada ambing kuda
betina dan preputium pada kuda jantan
secara teratur.
DAFTAR PUSTAKA
A.Riza Zainuddin. 2009. Permasalahan dan
Penanggulangan Ringworm Pada
Hewan. Jurnal Penelitian. Balai
Penelitian Veteriner Bogor:
Anonimus. 2008. Perawatan Kuda
Atlit.http://duniakuda.blogspot.com/
(15 Mei 2012)
36 Studi Kasus Penyakit Kulitppada KudadDan Keperawatannya Di Tombo Ati Stable Salatiga
Belschner,H.G. 1982. Horse Diseases.
Sydney: Angus and Robertson
Publisher
Blakely, James. 1992. Ilmu Peternakan
Edisi Keempat. Fakultas Peternakan
Universitas Dipenegoro. Gadjah
Mada University Press
Bone,J.F, et all. 1963. Equine Medicine &
Surgery First Edition. United States
Of America: American Veterinary
Publications, Inc.
Catcott, E.J. 1970. Progress In Equine
Practice Vol. II. United States Of
America :America Veterinary
Publications, Inc.
Catcott, E.J, et all. 1972. Equine Medicine
& Surgery Second Edition. United
States Of America: American
Veterinary Publication, Inc.
Higgins, A.J, et all. 1995. The Equine
Manual. W.B Saunders Company
Ltd : London, Philadelphia, Sydney,
Tokyo, Toronto.
http://sismami-ayu.blogspot.com/2011/10/
penyakit-kulit-akibat-alergi-dan.
html (15 Mei 2012)
http://id.shvoong.com/how-
to/health/2169982-obat-scabies-
gudiken/#ixzz1wdJpQvlc (15 Mei
2012)
http://yusufsila-
binatang.blogspot.com/2011/09/pera
watan-kuda-atlit-bagian-2.html (4
juli 2012)
Jacoeb, Teuku Nusyirwan. 2003. Budidaya
Ternak Kuda. Yogyakarta: Kanisius
Soeharso. 2002. Zoonosis Penyakit Menular
dari Hewan ke Manusia.
Yogyakarta: Kanisius
Tim Karya Tani Mandiri. 2010. Pedoman
Beternak Kuda. Bandung: Nuansa
Aulia
Triakoso, N. 2009. Aspek Klinik dan
Penularan pada Pengendalian
Penyakit Ternak. Surabaya: Media
Kedokteran Hewan. Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas
Airlangga
Vicker. Mc. Dee. 2012. Common Equine
Skin Diseases.
http://www.equisearch.com/horses_
care/ (15 Mei 2012)
37 Motivasi Petani dalam Menggunakan Pupuk Organik Di Desa Kenalan Kecamatan Pakiskabupaten
Magelang
MOTIVASI PETANI DALAM MENGGUNAKAN PUPUK ORGANIK DI DESA
KENALAN KECAMATAN PAKIS
KABUPATEN MAGELANG
(Farmer Motivation in Using Organic fertilizer at Kenalan Countryside District of Pakis
Magelang Residence)
J. Sulardi*
ABSTRACT
This research is executed at Ferny Countryside Kenalan District of Magelang from
August 2011 to January 2012. Target of research are 1) To know and factors mendeskripsikan
any kind of related to farmer motivation in using organic manure. Amount of sampel counted
32 people and use survey method. Data-Processing use tabulation analysis and correlation
analysis.
Farmer motivation in using organic manure show motivation is high until, counted
53.13 % its medium motivation and counted 46.87 % its high motivation . Motivation of
economic motif 38% and 62% medium motif. Affiliation motif low ( 9%), medium (75%) and is
high ( 16%). Motif learning highly ( 16%), medium 62 % and lower ( 22%).
Relation between internal factor and eksternal show very hand in glove relation ( R=
944) . Relation between Age and motivation show negative ( rs= - 0,221) and also don,t
signifikan ( Sig 2 tailed = 0,225 P>0,05. Relation between level education and motivation
show positive relation direction (rs=0,840*) and very significan ( Sig 2 tailed = 0,0P<0,05.
Relation between experience of farmer in organic manure show positive relation ( rs= 0,010)
and don,t signifikan ( Sig 2 tailed = 0,955P>0,05). Relation between Usage of[is source of
information show weak and positive relation ( rs= 0,391*) but this relation [of] signifikan ( Sig
2 tailed= 0,027P,0,05).
Relation between Performance extension agent and motivation show very weak relation
( rs= - 0,097) and don,t signifikan ( Sig- 2 tailed= 0,598 P.>0,05). Progressively sliver
relation between internal factor and and eksternal with motivation will influence farmer
motivation in using organic manure and is finally expected by earnings of excelsior farmer
Keywords: farmer, organic fertilizer and motivation
* Staf pengajar Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Magelang
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan pertanian dewasa ini
tidak terlepas dari pekembangan ilmu dan
teknologi yang sedang berkembang saat ini.
Pengeksploitasian alam yang terus menerus
akan mengakibatkan produktivitas alam
akan semakin menurun dan akibatnya alam
sendiri menjadi tidak bersahabat dengan
manusia, terutama dalam menyediakan
bahan pangan bagi mahluk yang hidup
didalamnya. Agar alam tetap dapat
menyumbangkan bahan pangan bagi
manusia maka dalam pembangunan
pertanian harus memperhatikan kelestarian
alam itu sendiri terutama menjaga agar
kandungan hara dalam tanah tetap
terpelihara. Dalam pembangunan pertanian
harus dapat mencukupi kebutuhan pangan
bagi manusia saat ini dan juga demi masa
mendatang.
Produksi sayuran oleh berbagai
aspek dipengaruhi oleh beberapa faktor
yang sangat menentukan diantaranya faktor
sosial budaya, ekonomi dan faktor teknis.
Faktor teknis yang sangat berpengaruh
38 Motivasi Petani dalam Menggunakan Pupuk Organik Di Desa Kenalan Kecamatan Pakiskabupaten Magelang
adalah pengolahan tanah, bibit, obat-obatan,
musim dan pupuk. Pupuk sangat penting
dalam usaha tanaman sayuran terutama
pupuk organik yang memiliki keunggulan
dibandingkan dengan penggunaan pupuk
anorganik terutama ditinjau dari kesehatan
manusia.
Salah satu indikator keberhasilan
penggunaan pupuk organik dalam budidaya
pertanian adalah meningkatkan pendapatan
dan pemenuhan kebutuhan keluarga.
Dengan meningkatnya kesadaran
masyarakat akan kesehatan serta didorong
meningkatnya pengetahuan akan berakibat
meningkatnaya masyarakat yang
mengkonsumsi bahan makanan organik.
Sebagai gambaran, tahun 2007, produksi
sayuran sudah menembus 9,94 juta ton.
Jumlah ini naik dibandingkan tahun
sebelumnya, yaitu 9,53 juta ton. Walaupun
produksi terus meningkat, Indonesia juga
masih mengimpor beberapa jenis sayuran
yang jumlahnya lebih dari 0,5 juta ton/tahun
(Ditjen Hortikultura, 2008). Konsumsi
sayuran tahun 2007 baru 36,63
kg/kapita/tahun. Padahal menurut standar
lembaga pangan dan pertanian dunia (FAO)
mestinya 65,75 kg.
Hingga saat ini tingkat pengggunaan
pupuk anorganik di Indonesia dari tahun
ketahun semakin meningkat namun hingga
kini penggunaan pupuk organik belum
mendapatkan tempat sepenuhnya di hati
para petani. Hal ini dikarenakan hasil
produksi pertanian yang menggunakan
pupuk organik hasilnya belum setinggi bila
menggunakan pupuk anorganik (Wijayanto
dan Sumarsono. 2005).
Desa Kenalan merupakan daerah
pegunungan yang cocok untuk pertanian
dan sangat cocok ditanami tanaman sayuran
karena didukung iklimnya yang dingin,
tetapi tingkat kesuburan tanahnya sangat
rendah. Tanah yang tidak subur dan
tanaman sayuran sangat responsif dengan
penggunaan pupuk organik.
Agar peteni mau menggunakan
pupuk organik dalam usahataninya perlu
adanya motivasi baik yang datang dari luar
maupun dari dalam diri petani itu sendiri.
Tinggi rendahnya motivasi seseorang
dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik
faktor internal maupun ekternal. Semakin
tinggi motivasi petani menggunakan pupuk
organik akan mendorong kinerja petani
yang lebih baik. Oleh karena itu perlu dikaji
motivasi petani dalam menggunakan pupuk
organik dalam pertaniannya sehingga dapat
menentukan strategi pengembangan
penggunaan pupuk organic
B. Perumusan Masalah.
1. Bagaimana faktor sosial ekonomi
membentuk motivasi dalam
menggunakan pupuk organik di Desa
Kenalan Magelang.
2. Apakah foktor-faktor intrinsik dan
ektrinsik pembentuk motivasi petani di
Desa Kenalan dalam penggunaan
pupuk organik.
3. Sejauhmana hubungan antara variabel
satu dengan variabel yang lain.
4. Apa yang perlu di kembangkan untuk
meningkatkan motivasi petani dalam
menggunakan pupuk organik.
C. Tujuan Penelitian
1) Untuk mengetahui apa yang menjadi
motivasi petani menggunakan pupuk
organik di Desa Kenalan Magelang.
2) Untuk mengetahui sejauh mana faktor
sosial ekonomi membentuk motivasi
dalam menggunakan pupuk organik di
Desa Kenalan Magelang.
3) Untuk mengetahui sejauh mana foktor-
faktor intrinsik dan ektrinsik
pembentuk motivasi petani di Desa
Kenalan dalam penggunaan pupuk
organik.
4) Untuk mengetahui seberapa jauh
tingkat motivasi petani dalam
penggunaan pupuk organik di Desa
Kenalan Magelang
D. Kerangka Berpikir
Banyak faktor yang mempengaruhi
petani dalam menggunakan pupuk organik,
salah satu dari factor-faktor tersebut adalah
motivasi, dengan demikian motivasi
memiliki pengaruh yang sangat besar
39 Motivasi Petani dalam Menggunakan Pupuk Organik Di Desa Kenalan Kecamatan Pakiskabupaten
Magelang
terhadap produktivitas dan hasil usaha.
Berdasarkan uraian di atas, maka kerangka
pemikiran dari penelitian dapat
digambarkan sebagai berikut.
Gambar 1. Kerangka Pikir
E. Hipotesis
Hipotesis :
a. Terdapat hubungan yang signifikan
antara faktor internal dan eksternal
dengan motivasi petani dalam
menggunakan pupuk organik.
b. Terdapat hubungan yang signifikan
antara pendapatan, menggunakan
pupuk organik, pendidikan petani,
pengalaman petani. pengetahuan
petani. penggunaan
sumber informasi pertanian, jumlah
kepemilikan lahan kemampuan petani
membeli pupuk organik,kinerja
penyuluh dan harga produk pertanian
dengan motivasi petani menggunakan
pupuk organik.
METODE PENELITIAN
Penentuan lokasi penelitian
dilakukan secara sengaja (purposive) yaitu
pada petani Desa Kenalan Kecamatan
Pakis Kabupaten Magelang. .
Metode dasar penelitian yang
digunakan adalah diskriptif kuantitatif,
yaitu metoda yang digunakan untuk
mengetahui, mencari, menjelaskan atau
mendiskripsikan terhadap suatu gejala
ataupun obyek yang diteliti. Penelitian ini
merupakan riset deskriptif yang
menjelaskan atau mendiskripsi dari petani
yang menggunakan pupuk organik dan
juga menelaah hubungan antar variabel
yang diteliti. Menurut Mardikanto ( 2006 )
Populasi dan Contoh
Jumlah populasi dari penelitian ini
sebanyak 456 orang petani yang berasal
dari 4 Dusun yakni dusun Kenalan (102
KK}, dusun Kemiran (105 KK), dusun
Pesingan ( 144 KK) dan dusun Kedagan
(112 KK) masing-masing dusun diambil
sebanyak 12 responden. Teknik
Karakteristik
Intrinksik Petani 1.Umur ( x1 )
2.Tingkat pendidikan (x 2)
3. Pengalaman bertani ( X 3 )
4.Penggunaan sumber informasi pertanian ( X 4 )
5. Penguasaan luas lahan ( x 5 )
6. Pengetahuan peteni tentang pupuk organik ( X6)
7. Jumlah keluarga ( ( X 7 )
8. Tingkat kemampuan petani
membeli pupuk organik ( X 8 )
Tingkat Motivasi
Menggunakan pupuk
Organik
( Y )
1. Motif ekonomi
2. Motif afiliasi
3. Motif belajar
4. Motif prestasi
Karakteristik Ekstrinksik 1. Kinerja penyuluhan ( X 9 )
2 Tingkat insentif harga
produk produk ( x 10)
3. Ketersediaan pupuk ( X 11 )
4. Perlakuan pupuk ( X 12)
40 Motivasi Petani dalam Menggunakan Pupuk Organik Di Desa Kenalan Kecamatan Pakiskabupaten Magelang
pengambilan sampel digunakan"acak
kelompok banyak tahap" atau multi stage
cluster random sampling. Pertama-tama
dikelompokkan menurut wilayah, kemudian
menurut jenis pupuk organik yang
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Keadaan Umum Lokasi
Penelitian.
Desa Kenalan terletak disebelah
timur kota Magelang dengan jarak 15 km
dari pusat kota. Desa ini terletak pada
1100.23
!.80
” sampai 110
026
!10
” dan antara
7025
!40
” sampai 7
026
148
”. Desa Kenalan
ini berbatasan dengan:
Sebelah Utara: desa Genikan,
Sebelah Barat: desa Kaponan Sebelah
selatan dengan desa Ketundan. Barat Laut :
desa Gondang Sari dan Barat Daya :
desa Kragilan Sebelah Timur dengan
hutan negara pada lereng gunung Merbabu.
Desa Kenalan berada pada
ketinggian 900 – 1000 m dpl dengan suhu
antara 15- 18 derajat Celsius sehingga
daerah ini cocok untuk tanaman sayur-
sayuran dan palawija yang diusahakan oleh
penduduk hanya tanaman jagung.. Curah
hujan didaerah ini sekitar 2.888 mm
dengan jumlah hari hujan 105 hari . Bulan
basah mulai November, Desember, Januari,
Februari, Maret dan April dan Mei. Luas
wilayah desa Kenalan 257,645 Ha yang
terdiri dari: a Pekarangan seluas 4,125 Ha
b. tegalan seluas 134,85 Ha c. Sisanya
sungai dan jurang yang tidak dikelola serta
dan hutan negara seluas 18000 ha.
Keadaan topografi desa Kenalan
merupakan lereng gunung Merbabu yang
memiliki kemiringan tanah lebih dari 30 %.
Ketinggian dari permukaan laut 1 537 m
sampai dengan 1 712 m dpl, dengan tingkat
kemiringan antara 30 sampai 70 %.
Curah hujan didaerah ini sekitar 2.888 mm
dengan jumlah hari hujan 105 hari . Bulan
basah mulai November, Desember, Januari,
Februari, Maret dan april dan Mei.
Desa Kenalan merupakan salah satu
daerah penghasil sayuran di jawa Tengah.
isamping sayuran juga menghasilkan
komoditas lain yang terdiri dari :Kubis,
WortelDaun bawang, buncis, kentang,
tembakau dan sedikit jagung.
B. Deskripsi Responden
Jumlah sampel dalam penelitian ini
sebanyak 32 orang yang berkedudukan
sebagai kepala rumah tangga. Umur petani
responden yang ada di Desa Kenalan pada
umumnya masuk kategori produktif yaitu
umur kurang dari 50 tahun sebanyak 65,6 %
dan 34,6 % diatas 50 tahun. Pendidikan
responden sebagian besar berpendidikan
rendah yaitu tamat SD (59%), tamat SMP
sebanyak 28 % dan tamat SLA sebanyak
12%. Jumlah anggota keluarga antara 2
hingga 6 orang. Jumlah anggota keluarga
rendah sebanyak 6,2 %, sedang 77,6 % dan
tinggi 6,2%. Petani mendapatkan sumber
informasi tentang pertanian sangat sedikit,
sebagian besar (81,4 %) petani tidak
mendapatkan informasi dari media yang
ada. Hal ini petani lebih tertarik menonton
TV yang siarannya didominasi dengan
siaran sinetron dan lawakan. Para petani
sudah sangat jarang mendengarkan radio
bahkan hampir semua responden sudah
lama tidak mendengarkan radio. Ada sedikit
petani yang membaca koran sebanyak 3
orang (9,3 %) yang berisi berita tentang
pertanian dan ada orang (9,3%) petani yang
mendengarkan radio dan membaca koran.
Pengetahuan petani tentang pupuk
organik yang masuk kategori redah sebesar
43,7 % , sedang 40,6 % dan yang tinggi
hanya 15,7 %. Hal ini menunjukkan bahwa
pengetahuan petani terhadap pupuk organik
masih rendah sehingga petani belum
menguasai bagai mana pennganan terhadap
pupuk organik agar efisien dalam
penggunaan dan juga menghemat tenaga
kerja,
Kepemilikan lahan rata-rata sangat
sempit. Petani yang memiliki lahan antara
0.2 -0.43 Ha sebesar 59,3 %, 0.44-0.67 Ha
sebesar 34,3 % dan 0.68-0.9 Ha sebesar 6,2
%.
Pengetahuan petani tentang pupuk
organik yang masuk kategori redah sebesar
43,7 % , sedang 40,6 % dan yang tinggi
hanya 15,7 %. Hal ini menunjukkan bahwa
pengetahuan petani terhadap pupuk organik
41 Motivasi Petani dalam Menggunakan Pupuk Organik Di Desa Kenalan Kecamatan Pakiskabupaten
Magelang
masih rendah sehingga petani belum
menguasai bagai mana pengganan terhadap
pupuk organik agar efisien dalam
penggunaan dan juga menghemat tenaga
kerja,
Kinerja penyuluh yang
dilaksanakan di Desa Kenalan berdasarkan
penilaian petani sebanyak 75 % dinilai
mempunyai kinerja sedang dan 12,5%
dinilai sudah baik, 12,5 % responden
menilai kinerja penyuluh rendah (tabel 9)
Ketersediaan Pupuk di daerah ini
berdasarkan hasil wawancara dengan petani
sebagian petani menyatakan bahwa pupuk
mudah diperoleh baik dengan memiliki
ternak sendiri maupun dengan cara
membeli. Petani di desa Kenalan
Kecamatan Pakis sebagian besar penduduk
membeli dari pedagang pupuk. Produksi
pupuk sangat di tentukan oleh jumlah
ternak yang dipelihara oleh petani. Jumlah
ternak di daerah ini terdiri dari Babi 323
ekor, Sapi 134 ekor dan Kambing 248 ekor
belum mampu memenuhi kebutuhan petani
sehingga petani harus membeli pada musim
tanam tiba
Kemampuan Petani membeli Pupuk
berdasarkan data yang diperoleh petani di
desa Kenalan 4 orang (12,5%) mengatakan
sangat mampu membeli pupuk dan 87,5 %
menyatakan sanggup membeli pupuk
organik.
C. Motivasi Petani
Keadaan motivasi petani dalam
menggunakan pupuk organik di Desa
Kenalan Kecamatan Pakis Magelang seperti
tertera pada tabel 1
Tabel 1. Motivasi Petani Desa Kenalan dalam Menggunakan Pupuk Organik.
Motivasi Kelas Frek Prosentase
Tinggi 45,1-60 17 53.13
sedang 35,1-45 15 46.87
rendah 15-35 0 0
Jumlah 32 100
Hasil pengamatan dari masing-
masing responden dari petani di Desa
Kenalan dengan total responden sebanyak
orang diperoleh skor tertinggi 66 dan skor
terendah 39, Berdasarkan tabel 10 motivasi
petani desa Kenalan dalam penggunaan
pupuk organi menunjukkan kategori sedang
sampai tinggi. Sebanyak 53,13 % petani
bermotivasi tinggi dan 46,87 % motivasinya
sedang.
Bila dilihat lebih lanjut berdasarkan
motif motif yang membentuk motivasi yang
terdiri dari motif ekonomi, motif afiliasi,
motif belajar, motif prestasi dan motif
Imitasi hasilnya sebagai berikut.
a. Motif ekonomi.
Pengukuran motif ekonomi
dilakukan dengan 3 indikator yaitu
keinginan untuk meningkatkan produksi,
keinginan untuk memenuhi kebutuhan dan
apakah menggunakan pupuk organik karena
ikut-ikutan. Tingkat motif ekonomi dalam
penggunaan pupuk organik hasilnya sebagai
berikut.
Tabel 2. Tingkat Motif Ekonomi.
Motif Ekonomi Klas frek Prosentase %
Tinggi 11,1-15 12 38.00
Sedang 7,1-11 20 62.00
Rendah 3,0-7,0 0 0
Jumlah 32 100
42 Motivasi Petani dalam Menggunakan Pupuk Organik Di Desa Kenalan Kecamatan Pakiskabupaten Magelang
Berdasarkan tabel 2 terlihat bahwa
motif ekonomi petani bergerak dari sedang
sampai tinggi. 38% petani motifnya tinggi
dan 62 % matifnya sedang artinya bahwa
petani dengan harapan yang tinggi dapat
memenuhi kebutuhan ekonominya. Dengan
menggunakan pupuk organik. Petani
berharap dengan menggunakan pupuk
organic harga produk dapat meningkat
tetapi kenyataannya harga produk tidak
berbeda dengan produk yang menggunakan
pupuk anorganik. Hal ini diakibatkan petani
belum mendapatkan akses pasar untuk
produk organic
b. Motif afiliasi.
Dalam penelitian ini pengertian
afiliasi adalah hubungan kekerabatan antara
petani satu dengan petani lainnya. Hasil
pengamatan dari motif afiliasi adalah
sebagai tertera pada tabel 3.
Tabel 3. Motif Afiliasi
Motif Afiliasi Kelas Frek Prosentase (%)
Tinggi 11,1 - 15 5 16
Sedang 7,1 - 11 24 75
Rendah 3,0 - 7,0 3 9
Jumlah 32 100
Berdasarkan Tabel 3 motif afiliasi
bergerak mulai dari rendah sampai tinggi.
Dengan menggunakan pupuk organik akan
meningkatkan hubungan kekerabatan antar
petani. Hal ini mereka bisa saling ketemu
antar petani dengan saling bertukar
informasi harga pupuk, asal pupuk dan juga
dengan pertemuan ini akan meningkatkan
tali persaudaraan antar petani. Disamping
tali persaudaraan, kerja sama antar petani
juga semakin meningkat bersamaan
pertemua-pertemuan yang
Sering dilakukan sehingga satu sama
lain bisa saling membantu kebutuhan
kebutuhan yang di hadapi oleh petani.
Bantuan tersebut bisa dari tetangga atau
dari sesama petani pengguna pupuk
organik, atau dengan ikut kelompok tani
bisa mendapatkan bantuan kredit dan pupuk
dari pemerintah. Anggota yang terdaftar
dalam kelompok tani akan tertulis dalam
pengajuan kredit atau pupuk. Anggota akan
mendapatkan bantuan itu setelah proposal
disetujui dan bantuan telah cair. Banyak
keuntungan yang didapat dari adanya
kelompok tani. Masalah yang ada bisa
dipecahkan secara bersama-sama ketika ada
pertemuan kelompok.
c. Motif belajar
Belajar adalah suatu proses usaha
yang dilakukan seseorang untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku
yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil
pengalamannya sendiri dalam interaksi
dengan lingkungannya. Pada motif belajar
dalam menggunakan pupuk organik pada
kegiatan usaha tani untuk mengetahui cara-
cara yang tepat dalam menggunakan pupuk
dan berusaha mengembangkan potensi diri
serta berusaha menggali ide-ide baru untuk
mendapatkan hasil yang lebih baik. Selain
itu petani dapat menerapkan pengetahuan
tentang penggunaan pupuk organik.
Motif belajar dari petani di Desa
Kenalan berdasarkan pengamatan
menunjukkan hasil sebagai tertera pada
tabel 4.
Tabel 4. Motif Belajar
Motif belajar Kelas Frek Prosentase (%)
Tinggi 11,1-15 5 16
sedang 7,1-11 20 62
rendah 3,0-7,0 7 22
Jumlah 32 100
43 Motivasi Petani dalam Menggunakan Pupuk Organik Di Desa Kenalan Kecamatan Pakiskabupaten
Magelang
Berdasarkan tabel 4 motif belajar
petani terhadap penggunaan pupuk organik
hasilnya menunjukkan kategari sedang
(62%), motif rendah 22% dan motif tinggi
hanya 16 %. Dengan demikian petani dalam
menggunakan pupuk organic tidak semata
mata mempelajari bagaimana dia
memperoleh manfaat dan mengetahui
kekurangan-kekurangan yang dilakukan
selama ini melainkan petani menggunakan
pupuk hanya didorong oleh keinginan untuk
memperoleh hasil yang tinggi tetapi juga
kebiasaan yang sudah turun temurun
menggunakan pupuk organik.
d. Motif prestasi
Motif prestasi petani dalam
menggunakan pupuk organik hasilnya
tersaji pada tabel 5.
Tabel 5. Motif Prestasi.
Motif prestasi Kelas Frek Prosentase (%)
Tinggi 11,1-15 4 12,5
sedang 7,1-11 12 37,5
rendah 3,0-7,0 16 50
Jumlah 32 100
Berdasarkan tabel 5 terlihat bahwa
motif prestasi petani dalam menggunakan
pupuk organik motifnya secara umum
rendah sampai sedang yaitu sebesar 87,5 %,
yang terdiri motif rendah sebanyak 50 % ,
sedang 37,5% dan motif tinggi hanya
12,5% saja. Hal ini petani secara umum
dalam menggunakan pupuk organik tidak
mencari prestasi.
Hal ini sesuai dengan pendapat
Uman (2010) menyatakan bahwa kebutuhan
akan prestise/ penghargaan diri (Esteem or
Status needs) hal ini berhubungan dengan
status. Semakin tinggi kedudukan seseorang
dalam masyarakat atau posisi seseorang
dalam suatu perusahaan maka semakin
tinggi pula status prestisenya. Prestise dan
status dimanifestasikan dalam banyak hal
yang digunakan dalam simbol status,
misalnya: kamar kerja sendiri lengkap
dengan perabot ruang kerja, kursi
berlengan, meja besar, memakai dasi untuk
membedakan seorang pimpinan dengan
anak buahnya, kendaraan/ mobil dinas dan
lain sebagainya namun petani tidak
mengharapkan hal-hal tersebut.
e. Motif Imitasi
Imitasi adalah proses sosial atau
tindakan seseorang untuk meniru orang lain
melalui sikap, penampilan atau gaya hidup,
bahkan apa saja yang di miliki atau orang
lain. Imitasi petani dalam penggunaan
pupuk organik hasilnya tersaji pada tabel 6.
Tabel 6. Imitasi Petani.
Tingkat imitasi Kelas Frek Prosentase (%)
Tinggi 11,1-15 3 9.4
sedang 7,1-11 29 90.6
rendah 3,0-7,0 0 0
Jumlah 32 100
D. Hubungan antara faktor internal
dan eksternal dengan Motivasi
Hubungan antra faktor internal dan
eksternal petani dengan motivasi
menunjukkan hubungan yang sangat erat
dengan dimana nilai R Square = 0,892
dan R = 0, 944a
yang artinya hubungan
antara faktor internal dan eksternal terhadap
motivasi menunjukkan hubungan yang
signifikan.
Secara parsial hubungan antara
faktor internal dan eksternal dengan
motivasi hasilnya seperti tabel 7 berikut.
44 Motivasi Petani dalam Menggunakan Pupuk Organik Di Desa Kenalan Kecamatan Pakiskabupaten Magelang
Tabel 7. Korelasi Antara Faktor Internal dan Eksternal dengan Motivasi
Moti-
vasi umur pendkk pengal infor lahan pengeta anggta
kem
amp
kiner
ja
keter
gan
Spearman's
rho
motivasi Corre-
lation
Coeffi-
cient
1.000 -.221 .840** .010 .391* .345 .292 -.047 .041 -.097 .135
Sig.(2-
tailed)
. .225 .000 .955 .027 .053 .104 .797 .824 .598 .460
N 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32
E. Hubungan umur dan motivasi
Berdasarkan tabel 7 hubungan
antara umur dan motivasi menunjukkan
arah hubungan negatip yang artinya ada
kecenderungan semakin tinggi umur petani
motivasi semakin menurun, namun
demikian hubungan antara umur petani
dengan motivasi menunjukkan hubungan
yang lemah yang ditunjukkan oleh koefisien
korelasi (rs= - 0,221) dan dilihat dari Sig
(2- tailed) = 0,225.P > 0,05 yang
menunjukkan bahwa hubungan antara umur
dan motivasi tidak signifikan. Dengan
demikian umur petani tidak berpengaruh
terhadap motivasi petani dalam
menggunakan pupuk organik. Menurut
Mardikanto (1993) bahwa umur semakin
tua (diatas 50 tahun), biasanya semakin
lamban dalam mengadopsi inovasi, dan
cenderung hanya melaksanakan kegiatan-
kegiatan yang sudah biasa diterapkan oleh
warga masyarakat setempat. Usia produktif
adalah saat dimana orang tersebut mampu
melakukan kegiatan produktif secara efisien
sehingga mampu atau memiliki andil yang
besar dalam peningkatan pendapatan rumah
tangganya, sedangkan usia tidak produktif
adalah saat dimana orang tersebut belum
mampu melakukan kegiatan produktif
secara efisien atau orang yang sudah tidak
mampu melakukan kegiatan produkftif.
Umur produktif merupakan modal sumber
daya manusia yang sangat baik untuk
mengembangkan usaha agribisnis.
Berdasarkan hasil pengamatan umur petani
di desa kenalan 70% berusia produktif dan
30 persen berusia tidak produktif.
F. Hubungan antara Tingkat
Pendidikan dan Motivasi
Hubungan antara tingkat pendidikan
dan motivasi menunjukkan arah hubungan
positif yang artinya ada kecenderungan
semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang tingkat motivasinya semakin
tinggi. Berdasarkan tabel 7 hubungan
antara tingkat pendidikan dan motivasi
menunjukkan hubungan yang sangat erat (
rs= 0,840aa
) dan sangat signifikan dimana
Sig (2- tailed) = 0,00 P<0,01 yang artinya
tingkat pendidikan mempunyai hubungan
yang sangat erat dengan tingkat motivasi.
Pendidikan tidak hubungan yang sangat
nyata dengan tingkat motivasi petani.
Tingkat pendidikan juga mempengaruhi
seseorang dalam pengambilan keputusan
yang terkait dengan usaha yang dilakukan.
Tingkat pendidikan yang tinggi
menyebabkan daya analisis seseorang akan
semakin baik dan cermat, demikian juga
pendapat Mosher (1986), tingkat
pendidikan mempunyai peranan penting
terhadap produktivitas usaha pertanian,
selain itu tingkat pendidikan dapat
meningkatkan mutu dan hasil kerja
pertanian termasuk tenaga kerja itu sendiri,
sehingga pendidikan yang tinggi dapat
menghasilkan petani yang lebih produktif.
G. Hubungan Pengalaman dan
motivasi
Berdasarkan tabel 7hubungan antara
pengalaman dan motivasi menunjukkan
arah hubungan positif namun demikian bila
45 Motivasi Petani dalam Menggunakan Pupuk Organik Di Desa Kenalan Kecamatan Pakiskabupaten
Magelang
dilihat dari koefisien korelasi hubungan
antara pengalaman dengan motivasi
menunjukkan hubungan yang sangat lemah
rs= 0,01 dan tidak signifikan dimana Sig (2-
tailed) = 0,95 P> 0,05.
Hal ini diduga karena penggunaan
pupuk organik ini sudah dilakukan secara
turun temurun sehingga petani tidak merasa
bahwa penggunaan pupuk merupakan suatu
inovasi yang baru. Hal ini tidak sesuai
dengan pendapat Mosher (1986)
menyatakan pengalaman dapat diambil
manfaatnya sehingga dapat membantu
petani dalam mengembangkan
usahataninya, sebab makin lama dalam
usaha, berarti makin berpengalaman.
H. Hubungan antara Penggunaan
Sumber Informasi dengan
Motivasi
Hubungan antara penggunaan
sumber informasi menunjukkan arah
hubungan positif walaupun hubungan ini
menunjukkan hungan yang lemah rs=
0,397*
namun demikian hubungan ini
menunjukkan hubungan yang signifikan
Sig (2- tailed) = 0,027 P< 0,05.
Penggunaan sumber informasi sangat
penting bagi petani. Dengan adanya
informasi yang sampai kepada petani
diharapkan petani akan lebih mudah untuk
mendapatkan informasi tentang
perkembangan inovasi-inovasi yang dapat
merubah perilaku petani kearah yang lebih
baik.
I. Hubungan antara Luas
Kepemilikan Lahan dan Motivasi
Hubungan antara luas kepemilikan
lahan dan motivasi menunjukkan arah
hubungan positif yang artinya ada
kecenderungan bahwa semakin luas
kepemilikan lahan dari petani semakin
tinggi tingkat motivasi dari petani. Tingkat
hubungan antara luas kepemilikan lahan
dan motivasi menunjukkan hubungan yang
lemah rs= 0,345 dan tidak signifikan
dimana Sig (2- tailed) = 0,053 P<0,05 (tabel
7) Hubungan yang tidak signifikan ini
terjadi karena baik petani yang memiliki
lahan sempit atau luas dapat menggunakan
pupuk organik. Berapapun luas lahan yang
dimiliki oleh petani tidak akan
mempengaruhi motivasi petani dalam
menggunakan pupuk organik. Hal tersebut
karena pada lahan yang sempit atau luas,
petani akan tetap menggunakan pupuk
organik.
J. Hubungan antara Pengetahuan
Petani tentang Pupuk Organik
dengan Motivasi
Hubungan antara pengetahuan
petani tentang pupuk organik dengan
motivasi menunjukkan arah hubungan
positif yang artinya bahwa setiap
pengetahuan petani terhadap pupuk organik
ada kecenderungan motivasi petani juga
meningkat dalam menggunakan pupuk
organi. Tingkat hubungan antara
pengetahuan petani dan motivasi
menunjukkan hubungan yang lemah
(rs=0,292) dan hubungan ini tidak
signifikan dimana Sig (2- tailed) = 0,104
P>0,05 (tabel 7). Hal ini menunjukkan
bahwa baik petani yang berpengetahuan
rendah maupun berpengetahuan tinggi tetap
menggunakan pupuk organik dalam
bercocok tanam. Demikian halnya baik
yang berpengetahuan rendah maupun
berpengetahuan tinggi sama-sama tidak
mempengaruhi motivasi petani dalam
menggunakan pupuk organik.
K. Hubungan antara Jumlah
Anggota Keluarga dengan
Motivasi
Hubungan antara jumlah anggota
keluarga dengan motivasi menunjukkan
arah hubungan negative yang artinya
semakin tinggi jumlah anggota keluarga
akan menurunkan tingkat motivasi petani.
Tingkat hubungan antara jumlah anggota
keluarga dengan motivasi hubungannya
sangat lemah (rs= - 0,047) dan hubungan ini
tidak menunjukkan yang signifikan dimana
Sig (2- tailed) = 0,797 P>0,05 (tabel 7) .
Hal ini menunjukkan bahwa baik petani
yang memiliki keluarga kecil maupu besar
tidak berpengaruh terhadap penggunaan
46 Motivasi Petani dalam Menggunakan Pupuk Organik Di Desa Kenalan Kecamatan Pakiskabupaten Magelang
pupuk organik. Kecenderungan negative
mungkin saja terjadi, hal ini dikarenakan
adanya kecenderungan anak-anak petani
sekarang ini banyak yang tidak suka ke
ladang membantu orang tuanya. Anak-anak
petani sekarang lebih senang bermain atau
nonton TV daripada membantu orang tua di
ladang.
L. Hubungan antara Kemampuan
Petani Membeli pupuk dengan
Motivasi
Hubungan antara Kemampuan
Petani Membeli pupuk dengan Motivasi
menggunakan pupuk organik menunjukkan
hubungan positif hal ini menunjukkan
bahwa setiap peningkatan penggunaan
pupuk organik akan diiringi peningkatan
motivasi petani dalam menggunakan pupuk
organik. Tingkat hubungan antara
kemampuan membeli pupuk menunjukkan
hubungan sangat lemah (rs = 0,041) dan
juga tidak signifikan dimana Sig (2- tailed)
= 0,824P> 0,05 (tabel 7).
Dalam hal ini kemampuan petani
dalam membeli pupuk organik tidak
mempengaruhi tingkat motivasi petani
dalam menggunakan pupuk organik. Baik
yang motivasi rendah maupun yang
motifasi tinggi sama-sama mampu dalam
membeli pupuk organik.
M. Hubungan antara Kinerja
Penyuluh dengan Motivasi Petani.
Hubungan antara kinerja penyuluh
dengan motivasi petani berdasarkan tabel
14 menunjukkan arah hubungan negative
artinya semakin baik kinerja penyuluh
seharusnya motivasi petani semakin tinggi,
hal ini tidak sesuai harapan yang
seharusnya semakin baik kinerja penyuluh
motivasi semakin tinggi. Hal ini dapat
diduga bahwa kinerja penyuluh kurang baik
menurut pandangan petani. Namun
demikian hubungan antara kinerja penyuluh
dan motivasi petani sangat lemah (rs =
0,097) dan tidak signifikan dimana Sig (2-
tailed) = 0,598 P>0,05 (tabel 7).
N. Hubungan Perlakuan Petani
Terhadap Pupuk Dengan
Motivasi Petani
Hubungan Perlakuan petani
terhadap pupuk dengan motivasi petani
berdasarkan tabel 7 menunjukkan arah
hubungan positif artinya ada kecenderungan
semakin tinggi petani melakukan perlakuan
terhadap pupuk maka motivasi petani
menggunakan pupuk organic semakin
tinggi. Keeratan hubungan antara perlakuan
terhadap pupuk menunjukkan tingkat
hubungan yang sangat lemah (rs=0,135)
dan tidak signifikan dimana Sig (2- tailed)
= 0,46 P>0,05. Baik petani yang
meperlakukan pupuk maupun yang tidak
memperlakukan pupuk organik sebelum
dipergunakan tidak berpengaruh terhadap
motivasi petani dalam menggunakan pupuk
organik.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Berdasarkan data yang terkumpul dari
responden tingkat motivasi petani
dalam menggunakan pupuk organik di
Desa Kenalan dari sedang sampai
tinggi. Petani yang motivasinya tinggi
sebanyak 53,13% dan yang sedang
sebanyak 46,87 %.
2. Tingkat motivasi menggunakan pupuk
organik berhubungan secara signifikan
dengan faktor intrinksik dan ekstrinsik
petani. Hasil analisis menunjukan
hubungannya sangat erat ( R= 0, 944a
)Motivasi petani sangat dipengaruhi
oleh motif ekonomi dan motif
asimilasi sedangkan motif afiliasi,
motif prestasi dan motif belajar
pengaruhnya lebih kecil.Berdasarkan
hasil analisis korelasi antara faktor
internal dan eksternal petani terhadap
motivasi faktor tingkat pendidikan,
pengalaman, sumber informasi, luas
kepemilikan lahan, pengetahuan petani
tentang pupuk organi, kemampuan
membeli pupuk dan perlakuan petani
terhadap pupuk organik menunjukkan
arah hubungan positif sedangkan umur
47 Motivasi Petani dalam Menggunakan Pupuk Organik Di Desa Kenalan Kecamatan Pakiskabupaten
Magelang
petani, kinerja penyuluh arah
hubungannya negatif.
3. Tingkat pendidikan petani
menunjukkan hubungan yang sangat
signifikan ( Sig-2 tailed) sebesar 0,00
P< 0,05 dan sumber informasi
berhubungan secara signifikan (Sig-2
tailed) sebesar 0,027 P<0,05 terhadap
motivasi petani.
Saran
1. Untuk Meningkatkan motivasi petani
perlu adanya bantuan dari pemerintah
untuk dapat memfasilitasi pemasaran
produk organik dari petani agar petani
dapat menikmati keuntungan yang
layak.
2. Peran penyuluh sangat diharapkan oleh
petani dalam rangka memberi
bimbingan kepada petani sesuai tugas
dari petani yaitu sebagai fasilitator,
dinamisator, informator dan sebagai
motivator
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, A. 1991. Psikologi Sosial, PT.
Rineka Cipta, Jakarta.
Anonim, 1989. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.
Agung Prawoto. 2006. Pertanian Organik.
Pilihan Strategi Pembangunan
Pertanian . website BIO Cert
Gerungan. 2002. Psikologi Sosial, Edisi
Kedua, Cetakan Kelimabelas, PT.
Refika Aditama, Bandung.
Gibson, James L;John M Ivansevich, James
H Donnely. 1997. Organisasi
Perilaku Struktur dan Proses.
Erlangga Jakarta.
Ginting, E., dan Kusumahadi. 1989.
Beberapa Faktor Sosial Ekonomi
yang Mempengaruhi Tingkat
Adopsi Panca Usaha Peternakan
Sapi Perah. Proseding Seminar
Penyuluhan Pertanian, APP Malang,
Malang.
Handoko, M. 1997. Motivasi Daya
Penggerak Tingkah Laku. Kanisius
IKAPI Yagyakarta.
Harmanto.F, 1984. Ilmu Usaha Tani.
Ganesha. Bandung.
Ibrahim, J, T, Arman, S dan Harpowo.
2003. Komunikasi dan Penyuluhan
Pertanian. Banyu media Publising.
Malang.
Kartono, Kartini. (1997). Tinjauan Politik
Mengenai Sistem Pendidikan
Nsional: Beberapa Kritik Dan
Sugesti. Jakarta: Pradnya Paramitra.
Malo, M., Sulastiawan, R., Djajadi, M.I.,
dan Hadi, O.H. 2000. Metode
Penelitian Sosial, Pusat Penerbitan
Universitas Terbuka, Departemen
Pendidikan Nasional, Jakarta.
Malayu Hasibuan, Drs. H., 1995.
Manajemen Dasar, Pengertian dan
Masalah.Cetakan ke-10, PT. Gunung
Agung, Jakarta,
Mardikanto, T. dan Sri Sutarni. 1982.
Pengantar Penyuluhan Pertanian
Dalam Teori dan Praktek. Surakarta:
Hapsara.
Mardikanto. 1993. Penyuluhan
Pembangunan Pertanian. Sebelas
Maret University Press. Surakarta.
.................., 2006. Prosedur Penelitian
Untuk Kegiatan Penyuluhan
Pembangunan dan Pemberdayaan
Masyarakat. Prima Theresiana
Pressindo. Surakarta.
Maslow, A. H. 1994. Motivasi dan
Kepribadian : Teori Motivasi
Dengan Pendekatan Hierarki
Kebutuhan Manusia. Jakarta. PT.
Pustaka Binaman Pressindo.
Mosher, A. T. 1986. Menggerakkan dan
membangun Pertanian. CV.
Yasaguna. Jakarta.
Moekijat, A. II . 1981. Motivasi dan
48 Motivasi Petani dalam Menggunakan Pupuk Organik Di Desa Kenalan Kecamatan Pakiskabupaten Magelang
Pengembangan Manajemen.
Bandung: Penerbit Alumni.
Nawawi, H. Mimi Martini. 1996. Penelitian
Terapan. Yogyakarta: Gajahmada.
University Press.
Padmowiharjo, S. 1999. Metode
Penyuluhan Pertanian. Universitas
Terbuka. Jakarta..
Saleh, S. 1996. Statistik Nonparametrik.
Edisi Kedua Cetakan Pertama,
BPFE, Yogyakarta.
Siagian, P.S. 1995. Teori Motivasi dan
Aplikasinya, PT. Rineka Cipta,
Jakarta.
Soedijanto Padmowihardjo, 1999. Metode
Penyuluhan Pertanian. Universitas
Terbuka Jakarta.
Subiyatko, H. 1980. Laporan tentang Pola
Pendidikan Anggota KUD di
Propinsi Jawa Tengah dan
Yogyakarta. Departemen Pertanian.
Wijayanto dan Sumarsono. 2005. Pertanian
Organik. Badan Penerbit
Universitas Dipinegoro. Semarang.
Wiriaatmadja, S. 1973. Pokok-pokok
Penyuluhan Pertanian . Jakarta.
Penerbit PT Yasaguna.
49 Pengaruh Karakteristik Petani dan Adopsi Inovasi Penggunaan Pupuk Organik Kelompok Tani
Tranggulasi Desa Batur Kecamatan Getasan Semarang
PENGARUH KARAKTERISTIK PETANI DAN ADOPSI INOVASI PENGGUNAAN
PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI TRANGGULASI DESA BATUR
KECAMATAN GETASAN SEMARANG
(Influence Of Characteristics Of Farmers And Innovation Adoption Of Organic Fertilizer Use
In The Farmers Tranggulasi Batur Village District District Getasan Semarang)
Sunarsih*, S. Rahayu
*
ABSTRACT
The study was conducted at the Tranggulasi Farmers group, Batur village, Getasan
district, Semarang regency for 6 months, starting from March until August 2011. The purpose
of this study was: to analyze the adoption rate of organic fertilizer, analyze the characteristics
of farmers and the characteristics of innovations that influence adoption of organic fertilizer in
Tranggulasi Farmers Group, Batur village, Getasan district, Semarang regency. Location
determined by purposive sampling, whereby the farmer groups Tranggulasi been exporting
organic vegetables abroad, respondents were drawn at random from members of farmer
groups. To determine the effect of farmer characteristics and the characteristics of innovation
to adoption of the use of organic fertilizers, multiple linear regression testwas used. The
adoption rate of farmers on the use of organic fertilizer in vegetable crop management most
(98.33%) including high category. Characteristics that influence farmers' adoption of organic
fertilizer in vegetable crop management were age (P <0.01) and vegetable farming experience
(P <0.05).
Being no innovation characteristics that influence the adoption of organic fertilizer in
vegetable crop management.
Keywords: farmer characteristics, the characteristics of innovation, organic fertilizer,
adoption.
* Staf Pengajar Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Magelang
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kalau kita perhatikan, pada saat ini
hasil panen akan menurun jika tidak disertai
dengan peningkatan konsumsi pupuk kimia.
Dengan peningkatan konsumsi pupuk
kimia, kontur tanah juga cenderung seperti
pasir, sehingga daya ikat air menurun. Dua
hal tadi terjadi oleh akumulasi penggunaan
bahan-bahan kimia antara lain yang
terkandung dalam pupuk kimia. Jika
kebiasaan buruk ini tidak segera diluruskan,
maka semua hasil pertanian yang dinikmati
mengandung bahan kimia yang tinggi,
karena nutrisi tanah yang digunakan untuk
menunjang kesuburan tanahnya berasal dari
bahan kimia. Satu hal yang harus kita
lakukan adalah mengembalikan kesuburan
tanah dan membuat tanah sehat kembali.
Inovasi yang bisa mengembalikan
kesuburan tanah salah satunya adalah
penggunaan pupuk organik. Pupuk organik
juga sebagai alternatif pemecahan masalah
bagi petani apabila harga pupuk kimia
tinggi, karena usaha dibidang pertanian baik
itu dalam bidang tanaman pangan,
hortikultura maupun sayuran selalu
memerlukan pupuk.
Banyak inovasi yang ditawarkan
kepada petani, namun tidak semua inovasi
tersebut dapat diterima. Hal itu karena
banyak faktor yang mempengaruhinya.
Penerimaan atau penolakan suatu inovasi
adalah keputusan yang dibuat seseorang,
jika ia menerima (mengadopsi) inovasi, ia
mulai menggunakan ide baru, praktek baru
atau barang baru dan menghentikan ide-ide
lama, namun tidak semua petani cepat
dalam mengadopsi inovasi tersebut. Petani
tidak mau mengadopsi suatu inovasi juga
50 Pengaruh Karakteristik Petani dan Adopsi Inovasi Penggunaan Pupuk Organik Kelompok Tani
Tranggulasi Desa Batur Kecamatan Getasan Semarang
bisa karena inovasi yang diperkenalkan
tidak sesuai dengan kondisi setempat.
Mardikanto (2009) menyatakan,
beberapa faktor yang mempengaruhi
kecepatan seseorang untuk mengadopsi
inovasi antara lain : luas usahatani, tingkat
pendapatan dan umur peternak. Semakin
luas usahataninya, biasanya peternak
semakin cepat mengadopsi inovasi, karena
memiliki kemampuan ekonomi yang lebih
baik. Semakin tinggi tingkat pendapatanya,
biasanya akan semakin cepat mengadopsi
inovasi, sedangkan menurut Hanafi (1987),
disamping sifat inovasi, kecepatan adopsi
dipengaruhi oleh : 1) tipe keputusan
inovasi, 2)sifat saluran komunikasi yang
dipergunakan untuk menyebarkan inovasi
dalam proses keputusan inovasi, 3) ciri-ciri
sistem sosial dan 4) gencarnya usaha agen
pembaharu dalam mempromosikan inovasi.
Semakin banyak orang yang terlibat dalam
proses pembuatan keputusan inovasi,
semakin lambat tempo adopsinya. Begitu
juga dengan saluran komunikasi, jika
disuatu daerah belum ada media masa,
maka kecepatan adopsi akan berjalan
lambat.
Begitu juga dengan inovasi pupuk
organik yang telah disuluhkan di kelompok
tani Tranggulasi yang ada di dusun
Selongisor, Desa Batur, Kecamatan Getasan
Kabupaten Semarang yang mempunyai
spesialisasi kegiatan agribisnis komoditas
sayuran organik. Kelompok tani
Tranggulasi berdiri sejak Tanggal 10
Desember 2001. Dusun Selongisor berada
diketinggian ± 1400 m dpl dengan jumlah
penduduk 85 KK dan mempunyai luas
lahan tegalan 20 Ha. Kelompok tani
Tranggulasi memilih kegiatan sayuran
organik, itu awalnya karena keterbatasan
kemampuan para anggota untuk membeli
saprodi berupa pupuk dan pestisida. Untuk
itulah kelompoktani mencoba membuat
sendiri pupuk organik berupa fermentasi
urine sapi, urine kelinci dan pupuk bokashi.
Kelompok tani tersebut pada Bulan Juli
Tahun 2010 malah sudah mengekspor
sayuran keluar negeri ( Anonim, 2011).
Dari latar belakang diatas, maka ada
beberapa masalah yang dapat diangkat
sebagai bahan penelitian ini.
B. Perumusan Masalah
1. Seberapa besar tingkat adopsi
penggunaan pupuk organik oleh petani
dalam pengelolaan tanaman sayuran?
2. Faktor-faktor karakteristik individu
petani apa sajakah yang mempengaruhi
tingkat adopsi penggunaan pupuk
organik dalam pengelolaan tanaman
sayuranya?
3. Faktor-faktor karakteristik inovasi apa
sajakah yang mempengaruhi tingkat
adopsi penggunaan pupuk organik
dalam pengelolaan tanaman sayuranya?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk : (1)
Menganalisis tingkat adopsi penggunaan
pupuk organik dalam pengelolaan tanaman
sayuranya , (2) menganalisis faktor-faktor
karakteristik petani yang mempengaruhi
adopsi penggunaan pupuk organik dalam
pengelolaan tanaman sayuranya dan (3)
menganalisis faktor-faktor karakteristik
inovasi yang mempengaruhi adopsi
penggunaan pupuk organik dalam
pengelolaan tanaman sayuranya.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat
dijadikan masukan bagi : penyuluh
setempat untuk memberikan penyuluhan
dengan metode yang sesuai , sehingga
petani sayuran setempat akan betul-betul
mau menggunakan pupuk organik dalam
usaha tanaman sayuranya.
KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS
A. Kerangka Pikir
Sebagian besar usaha pertanian di
Indonesia masih diusahakan oleh petani
yang mempunyai lahan sempit dan
teknologi yang digunakan masih teknologi
sederhana. Petani mendapat penyuluhan
berbagai materi, namun belum tentu semua
materi dapat diterima oleh petani.
Bertambahnya umur dalam masa
produktif, maka biasanya mempunyai
51 Pengaruh Karakteristik Petani dan Adopsi Inovasi Penggunaan Pupuk Organik Kelompok Tani
Tranggulasi Desa Batur Kecamatan Getasan Semarang
semangat untuk ingin tahu apa yang belum
mereka ketahui, sehingga mereka berusaha
untuk belajar memahami inovasi yang
mereka peroleh. Hal itu karena kapasitas
belajar seseorang umumnya berkembang
cepat sampai dengan umur 20 tahun, dan
semakin berkurang hingga pada puncaknya
sampai dengan umur sekitar 50 tahun,
kemudian setelah itu menurun lebih cepat
lagi. Dengan pendidikan yang lebih tinggi,
seseorang akan lebih mudah memahami
segala sesuatu yang mereka pelajari, yang
akhirnya akan dapat mempercepat proses
penerimaan inovasi yang mereka pelajari.
Semakin luas lahan usahatani
mengindikasikan kemampuan ekonomi
lebih baik, sehingga dalam menanggung
resiko tingkat inovasi semakin baik.
Produksi sayuran semakin meningkat,
menunjukkan pola pemeliharaan tanaman
sayuran semakin baik, termasuk didalam
meningkatkan tehnologi penggunaan pupuk
organik. Semakin lama pengalaman
berusaha tani sayuran, maka petani sayuran
lebih dapat menganalisis segala sesuatu
yang menjadi kebutuhan yang mereka
rasakan, terutama dalam penerapan
tehnologi untuk menjalankan usaha
pertaniannya. Semakin sering mengikuti
penyuluhan, maka akan semakin banyak
informasi yang diperoleh, sehingga akan
semakin jelas terhadap suatu inovasi, yang
akhirnya akan lebih cepat mengadopsi
inovasi. Jumlah tanggungan keluarga yang
semakin besar, akan membuat lebih giat
dalam berusaha dibidang pertaniannya,
termasuk dalam penerapan inovasi yang
dapat menguntungkan usaha pertaniannya.
Suatu inovasi yang memberikan
keuntungan relatif yang lebih besar akan
semakin cepat diadopsi, dengan catatan
inovasi tersebut juga harus kompatibel (
dengan nilai yang ada, pengalaman masa
lalu dan kebutuhan penerima), mudah
dicoba (triabilitas) dan hasilnya dapat
dilihat oleh orang lain (observabilitas) serta
tidak rumit ( kompleksitas).
Kerangka berpikir dalam penelitian
ini dapat digambarkan pada gambar.1
berikut:
Gambar.1 Kerangka pikir Penelitian
B. Hipotesis
Diduga karakteristik petani yang
meliputi umur, jumlah anggota keluarga,
luas lahan tegalan, pengalaman bertani
sayuran, frekuensi mengikuti penyuluhan
pupuk organik, pendidikan dan karakteristik
inovasi yang meliputi keuntungan relatif,
kompatibilitas, triabilitas dan observabilitas
berpengaruh positif terhadap adopsi
Karakteristik Petani: a. Umur
b. Luas lahan Tegalan
c. Pengalaman Bertani Sayuran
d. Jumlah Anggota Keluarga
e. Frekuensi Mengikuti
Penyuluhan Pupuk Organik
f. Pendidikan
Karakteristik Inovasi:
a. Keuntungan relative b. Kompleksitas
c. Kompatibilitas
d. Trialbilitas
e. Observabilitas
Adopsi Pupuk Organik:
a. Tinggi
b. Rendah
52 Pengaruh Karakteristik Petani dan Adopsi Inovasi Penggunaan Pupuk Organik Kelompok Tani
Tranggulasi Desa Batur Kecamatan Getasan Semarang
penggunaan pupuk organik pengelolaan
tanaman sayuran, sedang untuk
kompleksitas berpengaruh negatif terhadap
adopsi penggunaan pupuk organik
pengelolaan tanaman sayuran.
METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Penetapan Responden
Lokasi penelitian adalah Dusun
Selongisor, Desa Batur, Kecamatan Getasan
Kabupaten Semarang. Penentuan Lokasi
tersebut secara purposive sampling , yaitu
lokasi dimana kelompok tani Tranggulasi
berada, dimana kelompok tani tersebut
pada Tahun 2010 pernah mengekspor
sayuran keluar negeri. Pengambilan
responden dilakukan secara random dari
anggota kelompok tani tersebut diambil
secara random sebanyak 60 orang.
B. Macam Data
Data yang digunakan adalah data
primer dan data sekunder. Data primer
adalah data yang menyangkut identitas
responden,luas lahan tegalan yang dimiliki,
produksi sayuran setiap hari, dan frekwensi
penyuluhan serta adopsi pupuk organik
pengelolaan sayuran yang diperoleh
dengan mewawancarai responden dengan
panduan pertanyaan yang ada dalam
kuesioner, sedangkan data sekunder adalah
data yang menyangkut jumlah penduduk,
populasi ternak serta luas lahan yang ada di
Kecamatan Getasan maupun yang ada di
Desa Batur serta Dusun Selongisor.
C. Analisis Data
Untuk mengetahui karakteristik
petani dan karakteristik iniovasi yang
mempengaruhi adopsi penggunaan pupuk
organik dalam pengelolaan tanaman
sayuran digunakan regresi linier berganda ,
dengan bantuan soft ware SPSS 13.
Y = bo + b1X1 + … + b11X11 e
Keterangan :
Y : Tingkat Adopsi ( Skor)
bo : Intersep
b1…11 : Koefisien regresi
e : error term (pengganggu)
X1 : umur petani (tahun)
X2 : Luas lahan tegalan (M²)
X3 : Pengalaman bertani sayuran
(tahun)
X4 : Jumlah anggota keluarga
(orang)
X5 : Frekwensi mengikuti
penyuluhan tentang pupuk
organik ( frekwensi)
X6 : Pendidikan (tahun)
X7 : Keuntungan relatif (skor)
X8 : Kompleksitas (skor)
X9 : Kompatibilitas (skor)
X10 : Triabilitas (skor)
X11 : Observabilitas (skor)
D. Definisi Operasional
1. Pupuk organik yang dimaksud adalah
pupuk yang berasal dari urine sapi,
urine kelinci dan pupuk bokashi.
2. Adopsi pupuk organik pengelolaan
tanaman sayuran oleh petani yang
dimaksud disini adalah tingkat
penerapan pupuk organik yang
dilakukan petani sampai dengan saat
penelitian berlangsung (skor).
3. Umur petani adalah usia responden saat
penelitian (tahun).
4. Luas lahan adalah lahan yang dimiliki
untuk bertanam sayuran (m² )
5. Pengalaman bertani adalah pengalaman
petani dalam bertani sayuran (tahun)
6. frekwensi mengikuti penyuluhan
tentang pupuk organik adalah
banyaknya petani mengikuti
penyuluhan tentang pupuk organik
sampai saat penelitian.
7. Jumlah tanggungan anggota keluarga,
adalah banyaknya anggota keluarga
yang menjadi tanggungan petani
tersebut (orang).
8. Pendidikan adalah lamanya pendidikan
formal yang ditempuh (tahun)
9. Persepsi terhadap keuntungan relatif
adalah pandangan seseorang terhadap
kelebihan-kelebihan suatu inovasi, baik
53 Pengaruh Karakteristik Petani dan Adopsi Inovasi Penggunaan Pupuk Organik Kelompok Tani
Tranggulasi Desa Batur Kecamatan Getasan Semarang
itu kelebihan ekonomi maupun
kelebihan non ekonomi (skor).
10. Persepsi terhadap kompatibilitas adalah
pandangan seseorang terhadap
kesesuain inovasi dengan tata nilai,
adat istiadat yang sudah ada,
pengalaman masa lalu dan kebutuhan
penerima (skor).
11. Persepsi terhadap kompleksitas adalah
pandangan seseorang terhadap tingkat
kesulitan suatu inovasi (skor).
12. Persepsi terhadap triabilitas adalah
pandangan seseorang mengenai mudah
atau tidak suatu inovasi dicoba dalam
skala kecil (skor).
13. Persepsi terhadap observabilitas adalah
pandangan seseorang mengenai mudah
atau tidak suatu inovasi daoat diamati
baik proses maupun hasilnya oleh
orang lain (skor).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkat Adopsi Penggunaan Pupuk
Organik Pada Pengelolaan Tanaman
Sayuran
Untuk tingkat adopsi penggunaan
pupuk organik pada pengelolaan tanaman
sayuran, dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Distribusi Tingkat Adopsi Penggunaan Pupuk Organik pada Pengelolaan Tanaman
Sayuran (%)
Parameter adopsi Tingkat Adopsi (%)
Tinggi Rendah
1.Kesesuaian anjuran 100,00 0,00
2.Waktu menerapkan 83,33 16,67
3.Luas lahan
4.Keseluruhan sayuran
Keseluruhan parameter
98,33
100,00
98,33
1,67
0,00
1,67
Sebagian besar petani (98,33%)
mengadopsi penggunaan pupuk organik
pada pengelolaan tanaman sayuran pada
tingkat tinggi. Parameter yang dipakai
untuk mengukur adopsi adalah : kesesuaian
anjuran, waktu penerapan, luas lahan dan
keseluruhan sayuran, dimana keseluruhan
anjuran dan keseluruhan sayuran petani 100
% pada tingkat tinggi, untuk jelasnya dapat
dilihat pada Tabel 1.
Karakteristik petani dan Inovasi Yang
Berpengaruh Pada adopsi Penggunaan
Pupuk Organik Pada Pengelolaan
Tanaman Sayuran
Karakteristik responden meliputi
umur, pendidikan, jumlah anggota keluarga,
luas lahan tegalan, pengalaman bertani dan
intensitas mengikuti penyuluhan dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Karakteristik Responden
Karakteristik Responden Nilai
Rata-rata umur (tahun) 40,32
Rata-rata jumlah anggota keluarga (orang)
Rata-rata pengalaman beternak (tahun)
4,97
16,08
Rata-rata luas lahan (m²) 3.466,67
Rata-rata frekwensi penyuluhan (kali) 4,35
Pendidikan (%)
Lebih rendah SMP 70,00
Lebih tinggi atau sama dengan SMP 30,00
54 Pengaruh Karakteristik Petani dan Adopsi Inovasi Penggunaan Pupuk Organik Kelompok Tani
Tranggulasi Desa Batur Kecamatan Getasan Semarang
Rata-rata umur responden adalah
40,32 tahun, dengan kisaran umur terendah
20 tahun dan yang paling tinggi adalah 69
tahun. Apabila dilihat dari rata-rata umur
petani, petani masih berumur dibawah 50
tahun, jadi untuk mengadopsi inovasi tidak
lamban. Hal itu karena petani masih
dianggap pada usia produktif ( Mardikanto,
1996).
Jumlah anggota keluarga yang
menjadi tanggungan petani itu, berkisar
antara dua sampai dengan sembilan orang,
dengan rata-rata 4,97 orang per keluarga.
Rata-rata lahan yang dimiliki adalah
3.466,67 m² . Dengan semakin luas lahan
yang dimiliki, mempunyai kemampuan
ekonomi yang lebih baik dan waktu yang
diperlukan untuk mengelola lahan tersebut
juga semakin banyak
Responden mempunyai tingkat
pendidikan tidak tamat SMP sebanyak
70,00 %, sedangkan yang berpendidikan
SMP keatas sebanyak 30,00 %. Menurut
Simamora et al. (1984) yang disitasi Chandi
(2003), mayoritas dari penduduk pedesaan
tergolong ekonomi lemah dengan tingkat
pendidikan rendah.
Untuk mengetahui karakteristik
petani dan inovasi yang berpengaruh
terhadap adopsi penggunaan pupuk organik
pada pengelolaan tanaman sayuran dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Adopsi Penggunaan Pupuk
Organik pada Pengelolaan Tanaman Sayuran.
Macam Variabel Koefisien regresi Significansi
Umur (X1) -0,070** 0,000
Lahan (X2) -0,005 0,533
Pengalaman bertani(X3) 0,047* 0,040
Jumlah anggota keluarga(X4) 0,086 0,403
Frekwensi penyuluhan(X5) 0,023 0,704
Pendidikan (X6) 0,032 0,682
Keuntungan relatif ( X7) 0,086 0,395
Kompleksitas (X8) -0,104 0,344
Kompatibilitas ( X9) -0,003 0,981
Triabilitas (X10) -0,275 0,110
Observabilitas (X11) 0,178 0,345
R² 0,321
F hitung 2,062 0,042
** P < 0,01 * P < 0,05
Adopsi penggunaan pupuk organik
pada pengelolaan tanaman sayuran diduga
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
karakteristik peternak yang meliputi : umur
(X1), luas lahan (X2), pengalaman bertani
(X3), jumlah anggota keluarga(X4),
frekwensi penyuluhan (X5) dan pendidikan
(X6), juga karakteristik inovasi yang
meliputi : keuntungan relatif (X7),
kompleksitas (X8), kompatibilitas (X9),
Triabilitas (X10) dan observabilitas (X11).
Guna mengetahui seberapa besar pengaruh
faktor-faktor tersebut terhadap adopsi
penggunaan pupuk organik pada
pengelolaan tanaman sayuran dipilih model
regresi linier berganda.
Hasil analisis menunjukkan bahwa
nilai R Square sebesar 0,321 yang berarti
adopsi penggunaan pupuk organik pada
pengelolaan tanaman sayuran dapat
diterangkan secara bersama-sama oleh
karakteristik petani yang meliputi variabel
umur, jumlah anggota keluarga, luas lahan
,pengalaman bertani, frekwensi penyuluhan,
pendidikan, keuntungan relatif,
kompleksitas, kompatibilitas, triabilitas dan
observabilitas sebesar 32,1 %, sedangkan
sisanya sebesar 67,9 % dijelaskan oleh
variabel lain diluar variabel yang diteliti
antara lain kemudahan mendapatkan modal
55 Pengaruh Karakteristik Petani dan Adopsi Inovasi Penggunaan Pupuk Organik Kelompok Tani
Tranggulasi Desa Batur Kecamatan Getasan Semarang
dan kemudahan pemasaran hasil. Menurut
Kushartanti (2009) faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap tingkat adopsi
teknologi padi gogo adalah kemudahan
mendapatkan modal, pemasaran hasil, sifat
kompatibilitas, keuntungan relatif dan
triabilitas inovasi.
Secara parsial variabel independen
yang mempengaruhi adopsi penggunaan
pupuk organik pada pengelolaan tanaman
sayuran, yaitu : umur (P<0,01) dan
pengalaman bertani (P<0,05) . Dari Tabel 3
terlihat koefisien regresi dari variabel
pengalaman bertani bertanda positif dan
berbeda sangat nyata, hal ini menunjukkan
semakin lama pengalaman petani dalam
menanam sayur maka adopsi penggunaan
pupuk organik pada pengelolaan tanaman
sayuran semakin tinggi.
Variabel yang lain, walaupun tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata, namun
kalau diperhatikan untuk karakteristik
petani yang meliputi jumlah anggota
keluarga, pendidikan dan frekwensi
penyuluhan juga bertanda positif. Hal ini
berarti bahwa jumlah anggota keluarga
semakin banyak, pendidikan semakin tinggi
dan semakin sering mengikuti penyuluhan
pupuk organik maka adopsi penggunaan
pupuk organik pada pengelolaan tanaman
sayuran akan semakin tinggi. Hal ini karena
semakin tinggi pendidikan, maka petani
akan lebih cepat paham apa yang
disuluhkan dan diharapkan akan lebih cepat
mengadopsi. Begitu juga seringnya
mengikuti penyuluhan tentang pupuk
organik, maka semakin menambah
pemahaman terhadap manfaat penggunaan
pupuk organik pada pengelolaan tanaman
sayuran. Dengan meningkatnya pemahaman
manfaat penggunaan pupuk organik pada
pengelolaan tanaman sayuran, maka petani
akan lebih mudah mengadopsinya. Namun
sayangnya tingkat pendidikan petani
sayuran di kelompok tani Tranggulasi, Desa
Batur, Kecamatan Getasan pada umumnya
rendah (70,0 % tidak tamat SMP), sehingga
kurang mempunyai pengetahuan untuk
mengembangkan pengelolaan usaha
sayuranya.
Karakteristik petani yang untuk:
umur koefisien regresinya bertanda negatif
dan sangat nyata . Hal itu dapat dijelaskan
bahwa semakin tinggi umur petani maka
adopsi penggunaan pupuk organik pada
pengelolaan tanaman sayuran akan sangat
semakin menurun. Hal itu karena untuk
umur, apabila umur petani diatas 50 tahun,
maka untuk adopsi penggunaan pupuk
organik pada pengelolaan tanaman sayuran
semakin rendah, karena pada umur itu
petani akan cenderung melakukan
pekerjaan yang biasa dilakukan. Luas Luas
lahan juga koefisien regresinya juga
bertanda negatif, walau tidak berbeda nyata
hal ini menunjukkan semakin luas lahan
yang dimiliki adopsi penggunaan pupuk
organik pada pengelolaan tanaman sayuran
akan semakin rendah, hal itu karena petani
mempunyai kemampuan tenaga yang
terbatas untuk mengelola lahannya.
Karakteristik inovasi secara parsial
tidak ada yang berpengaruh secara nyata
pada adopsi penggunaan pupuk organik
pada pengelolaan tanaman sayuranya.
Untuk keuntungan relatif dan observabilitas
koefisien regresinya bertanda positif. Hal
itu menunjukkan bahwa semakin besar
keuntungan relatifnya, maka adopsi
penggunaan pupuk organik pada
pengelolaan tanaman sayuran juga akan
semakin tinggi. Pupuk organik juga
merupakan inovasi yang mudah diamati,
sehingga akan mudah diadopsi disamping
dapat diterima dimasyarakat. Untuk
karakteristik inovasi triabilitas dan
observabilitas, koefisien regresinya
bertanda negatif.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan sebagai berikut, bahwa :
1. Sebagian besar petani mengadopsi
penggunaan pupuk organik pada
pengelolaan tanaman sayuran pada
tingkat tinggi, hanya satu orang yang
adopsinya rendah.
2. Faktor karakteristik petani yang
berpengaruh pada adopsi penggunaan
pupuk organik pada pengelolaan
tanaman sayuran adalah umur petani
56 Pengaruh Karakteristik Petani dan Adopsi Inovasi Penggunaan Pupuk Organik Kelompok Tani
Tranggulasi Desa Batur Kecamatan Getasan Semarang
dan pengalaman bertani sayuran ,
sedang karakteristik inovasi tidak ada
yang berpengaruh pada adopsi
penggunaan pupuk organik pada
pengelolaan tanaman sayuran
Saran
Petani perlu lebih sering diberi
penyuluhan tentang penggunaan pupuk
organik pada pengelolaan tanaman sayuran
untuk meyakinkan akan manfaat
penggunaan pupuk organik pada
pengelolaan tanaman sayuran jangka
panjang, sehingga dengan mengetahui
manfaatnya, petani akan tertarik untuk
melakukan penggunaan pupuk organik pada
pengelolaan tanaman sayuran. Disamping
itu juga perlu terus diadakan penyuluhan
tentang bagaimana meningkatkan produksi
tanaman sayuranya.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, S. 2004. Sikap Manusia Teori dan
Pengukurannya. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta.
Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten
Semarang.2011. Profil Kelompok
Tani Tranggulasi.Dusun Selongisor
Desa Batur Kecamatan Getasan
Kabupaten Semarang. Tahun 2011.
Hanafi, D. 1987. Memasyarakatkan Ide-
Ide Baru. Usaha Nasional.
Surabaya.
Hardjosubroto , W. 1994. Aplikasi
Pemuliabiakan Ternak di Lapangan.
PT. Grasindo. Jakarta.
Ibrahim, JT. A. Sudiyono dan Harpowo.
2003. Komunikasi Penyuluhan
Pertanian. Bayu Media Publishing.
Malang.
Indriyani, S. 2002. Tingkat Adopsi Petani
terhadap Pupuk Majemuk (Studi
Kasus di Desa Bintoyo, Kecamatan
Padas, Kabupaten Ngawi). Skripsi.
Fakultas Pertanian.Universitas
Sebelas Maret Surakarta
Kusno,S. 1990. Pencegahan Pencemaran
Pupuk dan Pestisida. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Mardikanto, T. 2009. Sistem Penyuluhan
Pertanian. Lembaga Pengembangan
Pendidikan (LPP) UNS dan UPT
Penerbitan dan Percetakan UNS
(UNS Press). Surakarta.
_______. 1996. Penyuluhan Pembangunan
Kehutanan. Kerjasama Pusluh
Kehutanan Dengan Universitas
Sebelas Maret Surakarta. Jakarta.
Marsono; Paulus Sigit. 2002. Pupuk Akar,
Jenis dan Aplikasinya. PT.Penebar
Swadaya. Jakarta.
Marzuki, S. 1999. Dasar-dasar Penyuluhan
Pertanian. Universitas Terbuka.
Jakarta.
Sugiyanto. 2011. Jaminan Harga Beras
Dorong Petani Adopsi Pupuk
Organik. Suara Merdeka. (Kamis, 3
Maret Halaman 3). Semarang.
Suprapto,T. Dan Fahrianoor. 2004.
Komunikasi Penyuluhan Dalam
Teori dan Praktek. Arti Bumi
Intaran. Yogyakarta.
Surya Brata, S. 2000. Pengembangan Alat
Ukur Psikologis. Andi. Yogyakarta.
Sutanto dan Rachman. 2002. Penerapan
Pertanian Organik Pemasyarakatan
dan Pengembanganya. Kanisius.
Yogyakarta.
_____________________. 2002. Pertanian
Organik Menuju Pertanian
Alternatif dan Berkelanjutan.
Kanisius. Yogyakarta.
Van Den Ban dan Hawking. 1999.
Penyuluhan Pertanian. Kanisius.
Yogyakarta.
Yayasan Pengembangan Sinar Tani. 2001.
Penyuluhan Pertanian. Yayasan
Pengembangan Sinar Tani. Jakarta.
57 Prevalensi Toxoplasmosis pada Kambing yang Dijual Di Kota Makassar
PREVALENSI TOXOPLASMOSIS PADA KAMBING YANG DIJUAL DI KOTA
MAKASSAR
(Toxoplasmosis Prevalence of the Goat Sold in Makassar City)
Purwanta*
ABSTRACT
The research was conducted to learn the level of toxoplasmosis prevalence of the goat
sold in Makassar city. The research used cross sectional method. The forty sample of blood
taken from the six goats seller. The blood serum analyzed by indirect ELISA
The research showed that thirty five goats (87,5 %) from forty sample have positive
toxoplasma. The highly prevalence of toxoplasma caused by indirect ELISA that have abiliity to
scan IgM from acute infection or cronic infection , poor sanitation, crowded human population
in Makassar, and the cat as a definitive hospes.
Keywords: Prevalence, Toxoplasmosis, Goat
* Staf pengajar Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Gowa
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara
beriklim lembab, parasit sampai saat ini
masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang cukup serius. Salah satu
diantaranya adalah infeksi protozoa yang
ditularkan melalui tubuh kucing. Infeksi
penyakit yang ditularkan oleh kucing ini
mempunyai prevalensi yang cukup tinggi,
terutama pada masyarakat yang mempunyai
kebiasaan makan daging mentah atau
kurang matang. Faktor pendukung lainnya
di Indonesia adalah keadaan sanitasi
lingkungan dan banyaknya sumber
penularan ( Sasmita et al., 1988).
Toksoplasmosis disebabkan oleh
Toksoplasma gondii, merupakan penyakit
pada hewan dan manusia. Infeksi tersebar
diseluruh dunia, baik pada hewan berdarah
panas dan mamalia lainnya termasuk
manusia . Sebagai hospes perantara adalah
kucing dan berbagai jenis felidae lainnya
sebagai hospes definitive. Infeksi
Toksoplasma berlangsung asimtomatis.
Toksoplasma bukan merupakan penyakit
yang diutamakan pemberantasannya oleh
pemerintah, tetapi beberapa penelitian telah
dilakukan untuk mengetahui prevalensi dan
derajad distribusi. Negara kita dengan iklim
tropik merupakan tempat yang sesuai untuk
perkembangan parasit ini (Levine, 1990).
Toksoplasmosis yang menyerang
ternak kambing dan domba, dapat
menyebabkan turunnya tingkat produksi
dan produktivitas ternak (Dubey, 1981).
Infeksi T.gondii pada kambing dan domba
bunting bersifat patogenik menyebabkan
abortus dan kematian setelah lahir, akan
tetapi infeksi T.gondii yang kurang
patogenik akan terjadi mumifikasi,
endometritis dan menyebabkan infertilitas
(Dubey, 1990, Resendes et al., 2002).
Diagnosa terhadap hewan terserang
T.gondii sangat sulit karena tidak
memberikan gejala klinis yang jelas atau
gejala klinis tidak kelihatan secara visual.
Diagnosis dini dapat dilakukan dengan uji
serologi untuk mendeteksi adanya antibodi
(IgM datau IgG) baik secara inhibition
haemoglutination assay (IHA), inhibition
fluorescent assay (IFA), fluorescent assay
(FA), dye test (sabin-fieldmen dye test),
complement fixation test (CFT), modified
agglutination test (MAT), card
agglutination test (CAT), direct
agglutination test (DAT), latex
agglutination test (LAT) dan enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA) (Tizard,
2000). Metode terbaru berdasarkan metode
polymerase chain reaction (PCR)
(Remington et al. 2004, Vidae et al., 2004)
58 Prevalensi Toxoplasmosis pada Kambing yang Dijual Di Kota Makassar
Penelitian toksoplasmosis di
Indonesia dimulai pada tahun 1972 baik
pada manusia maupun hewan ( Sasmita,
1989). Prevalensi zat anti T.gondii berbeda
di berbagai daerah geografik, seperti pada
ketinggian yang berbeda di daerah rendah
prevalensi zat anti lebih tinggi
dibandingkan dengan daerah yang tinggi.
Prevalensi zat anti ini juga lebih tinggi
didaerah tropik. Pada umumnya prevalensi
zat anti T. gondii yang positif meningkat
sesuai dengan umur, tidak ada perbedaan
antara pria dan wanita. Selanjutnya Konishi
(1986) , mengatakan di Jepang terdapat
prevalensi zat anti T. gondii pada babi
0,33%, dan sapi 1,33%. Penelitian di
Panama City didapatkan bahwa anjing
sebagai sumber infeksi mendapatkan infeksi
dari makan tinja kucing atau bergulingan
pada tanah yang mengandung tinja kucing,
yang merupakan instrumen penyebaran
secara mekanis dari infeksi T. gondii. Lalat
dan kecoa secara praktis juga penting dalam
penyebarannya.
Prevalensi zat anti T. gondii pada
hewan di Indonesia adalah sebagai berikut :
kucing 35-75%, babi 11-36%, kambing 11-
61%, anjing 75% dan pada ternak lain
kurang dari 10% (Gandahusada, 1995).
Prevalensi toksoplasmosis pada hewan
diberbagai wilayah Indonesia bervariasi.
Sri-Hartati dan Wieklati (1992) melaporkan
prevalensi toksoplasmosis pada domba,
kambing, sapid an babi di Yogyakarta
berturut-turut adalah 50%, 18%, 2 % dan
44%, sedangkan di Rumah pemotongan
Hewan (RPH) Surakarta adalah domba
23%, kambing 21%, sapi 1% dan babi 25%.
Toksoplasmosis pada ternak babi dan
kambing yang dipotong di RPH Surabaya
menunjukkan prevalensi cukup tinggi 40% (
Sasmita et al., 1998). Pemeriksaan serologis
pada sampel darah kambing dan domba
yang berasal dari daerah Indramayu dan
Karawang menunjukkan hasil yang positif
masing-masing 70% dan 84%
(Khadjadatun, 2004). Sedangkan Hanafiah
et al. (2006) melaporkan angka prevalensi
toksoplasmosis pada masyarakat di Banda
aceh sebesar 3,15%, sedangkan pada ternak
bervariasi anatara lain kambing 40%, ayam
25 %, sapi 23%, itik 20%, kucing 16%,
kerbau 15% dan domba 10%.
Bertitik tolak dari masalah yang
diuraikan dimuka, peneliti ingin mengukur
prevalensi serologi toksoplasmosis pada
kambing yang dijual di Kota Makassar.
Pada penelitian ini akan dilakukan
pengujian ELISA toksoplasmosis pada
kambing yang dijual di Kota Makassar
untuk mengetahui tingkat prevalensinya.
MATERI DAN METODE
Materi
Materi penelitian meliputi alat dan
bahan yang digunakan dalam penelitian
seperti serum kambing, dan Elisa Kit.
Alat-alat yang digunakan dalam
penelitian antara lain vacumtainer,
waterbath, rak dan tabung eppendorf,
sentrifus, Eliza reader, botol serum,
ependorf, pH meter dan kamera digital.
Metode
Rancangan penelitian
Rancangan penelitian ini
mengunakan metode kajian lintas seksional,
dengan alasan bertujuan menghitung
prevalensi dan menyidik penyebab
penyakit. Alasan lainnya adalah kajian
lintas seksional cepat, berguna untuk
kejadian penyakit yang lambat (kronis) ,
baik digunakan untuk faktor penyebab yang
tidak berubah karena jenis kelamin, bangsa,
dan jenis darah. Keuntungan kajian lintas
seksional adalah efisien dan murah.
Sampel penelitian
Besaran sampel menggunakan
rumus menurut Budiharta (2002) sebagai
berikut :
n =4PQ/L2
tingkat kepercayaan 95%
P = perkiraan aras penyakit
Q = 1-P
L = Galat yang diinginkan
Bila n > 10% populasi penghitungan
besaran sampel dilanjutkan dengan rumus
sebagai berikut :
59 Prevalensi Toxoplasmosis pada Kambing yang Dijual Di Kota Makassar
1
N2 = --------------------
1/n1 + 1/N
Berdasarkan data yang dikumpulkan
terdapat 6 pedagang dengan total populasi
196 ekor.
Besarnya sampel dengan perkiraan
aras penyakit 15%, tingkat kepercayaan
95% adalah
n = 4PQ/L2
n = 4(0,15)(0,85)/0,12
n = 51 ekor -- > 10% populasi,
besaran sampel ditentukan dengan
rumus lanjutan
1
N2 = ----------------------
1/n1 + 1/N
1
N2 = -------------------- = 40,4 40 ekor
1/51 + 1/190
Tabel 1. Daftar Pedagang dan Jumlah Kambing yang Dilakukan Pemeriksaan Serologis.
No Nama Pedagang Populasi
(ekor)
Jumlah
sampel
(ekor)
Jenis kelamin Umur
Jantan Betina < 1
tahun
>2
tahun
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Jamaluddin
Yahya Dg Sekke
H. Natsir Dg Tabba
Abdul Malik
Kamaruddin Dg Nyampa
Saruddin
40
32
40
30
34
20
8
7
8
6
7
4
4
4
4
3
3
2
4
4
4
3
3
2
4
3
4
2
3
2
5
4
5
3
3
2
Jumlah 196 40 20 20 18 22
Koleksi sampel serum
Tahap koleksi sampel serum dalam
penelitian ini dilakukan pada bulan Mei
sampai Juni 2012. Tahap koleksi ini
dilaksanakan oleh tim peneliti STPP Gowa.
Serum contoh yang dikoleksi diambil secara
purposif berdasarkan besaran yang telah
ditentukan dan diizinkan oleh pemilik.
Pembuatan serum dilakukan dengan
cara mengambil darah kambing melalui
vena jugularis menggunakan spuit 5 mL.
Darah yang telah diambil selanjutnya
diinkubasi dalam suhu ruangan selama 1
jam dengan posisi mendatar. Darah
kemudian diinkubasikan kembali selama 24
jam dalam suhu 40C. Serum yang terbentuk
selanjutnya dipanen dengan meletakkan
dalam tabungmikro berukuran 1,5 mL.
Penyimpanan serum dilakukan dalam suhu -
180 C sebelum selanjutnya dikirim dalam
keadaan dingin ke Balai Besar Penelitian
Veteriner Bogor untuk diuji dengan metode
indirect Elisa.
Langkah kerja metode indirect elisa
Metode indirect Elisa terdiri dari 8
tahap yaitu pre-treatment serum, coaling
sumuran cawan, blocking, peletakan serum
contoh (sampel), pemberian antibodi
pendeteksi, konjugat, substrat, stop solution,
dan pembacaan nilai absorbansi.
a. Penyiapan contoh serum
Contoh serum/plasma dapat
disimpan pada suhu 2-5°C sampai
24 jam atau disimpan dalam
keadaan beku -18°C untuk waktu
lama.
b. Prosedur uji
1) Siapkan pereaksi dan contoh serum,
contoh dicatat sesuai layout.
2) Coating antigen (Toxoplasma)
dengan 100 µl/well antigen SA
(satuan eppendorf untuk satu
mikroplate g m dan
diinkubasikan pada 4°C o.n. atau
37°C – 2 jam.
3) Cuci Mikroplate dengan PBS 3 – 5 x
dengan volume 200 µl / well.
4) Blocking dengan 200 µl Blocking
60 Prevalensi Toxoplasmosis pada Kambing yang Dijual Di Kota Makassar
Buffer dan inkubasikan 37°C – 1
jam.
5) Cuci mikroplate dengan PBS Triton
– X 100 (0,05%) 3 – 4 X dengan
volume 200 µl / well (bermanfaat
untuk menghilangkan gelembung
udara dalam mikroplate).
6) Tambahkan 100 µl / well serum
yang telah diencerkan dalam
inkubation buffer dan diinkubasi
pada 37 °C – 1 jam.
7) Cuci mikroplate dengan PBS dan
PBS Trition-X (0,05%) seperti
langkah No. 5.
8) Tambahkan 100 µl/well Alkaline
Phosphatase Conjugated anti sheep
dalam incubation Buffer (1:3000)
dan diinkubasi pada 37°C – 1 jam.
9) Cuci mikroplate dengan PBS dan
PBS Triton-X 100 (0,05%) seperti
langkah No.5.
10) Tambahkan 150 µl/well pNPP
dalam Substrat Buffer dan
inkubasikan pada 37°C selama 30
menit.
11) Tambahkan 150 µl/well Stop
Reaction Solution 2 N NaOH.
12) Baca mikroplate pada ELISA
Reader dengan filter panjang
gelombang 405 nm.
13) Hitung hasilnya dengan ketentuan
sebagai berikut :
- CO = (OD kontrol negatif) +
(2xSD kontrol negatif)
- SD = Simpangan Baku
- Sampel dinyatakan + jika OD
sampel ≥ OD CO
- Sampel dinyatakan - jika OD
sampel < OD CO
Analisis Data
Data yang didapatkan ditabulasikan
dan dihitung angka kejadian toksoplasmosis
menggunakan rumus prevalensi dan
ditampilkan secara deskripsi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan uji Elisa terhadap 40
sampel serum darah kambing, didapatkan
hasil sebagaimana pada tabel berikut:
Tabel 2. Hasil Rekapitulasi Pengujian Elisa Sampel Serum Darah Kambing.
Kode sampel Jenis Kelamin Umur (Tahun) Hasil Elisa
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
>2
>2
>2
>2
>2
>2
>2
>2
>2
<1
<1
<1
<1
>2
>2
>2
>2
<1
<1
<1
<1
<1
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
+
+
+
+
+
+
-
+
+
+
61 Prevalensi Toxoplasmosis pada Kambing yang Dijual Di Kota Makassar
Kode sampel Jenis Kelamin Umur (Tahun) Hasil Elisa
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Jantan
<1
<1
<1
<1
<1
>2
>2
>2
>2
>2
>2
>2
<1
<1
<1
<1
>2
>2
+
+
+
+
+
+
+
-
-
+
+
-
+
+
+
+
+
+
Tabel 2 menunjukkan berdasarkan
uji Elisa, serum darah kambing yang
menunjukkan hasil positif toksoplasmosis
sebanyak 35 ekor (87,5%), sedangkan
serum darah kambing yang menunjukkan
hasil negatif toksoplasmosis adalah 5 ekor
(12,5%).
Hasil pengujian Elisa berdasarkan
jenis kelamin sebagai berikut pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Pengujian Elisa Berdasarkan Jenis Kelamin.
Jenis Kelamin Hasil uji
+ (%) - (%)
Betina
Jantan
18 (90%)
17 (85%)
2 (10%)
3 (15%)
Jumlah sampel 35 (87,5%) 5 (12,5%)
Berdasarkan Tabel 3 diatas
persentase prevalensi toksoplasmosis pada
kambing betina lebih tinggi dibandingkan
pada kambing jantan.
Hasil pengujian Elisa berdasarkan
umur sebagai berikut pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil Pengujian Elisa Berdasarkan Umur.
Umur (tahun) Hasil uji
+ (%) - (%)
<1
>2
16 (88,89%)
19 (86,36%)
2 (11,11%)
3 (13,64%)
Jumlah sampel 35 5
T. gondii dapat menginfeksi semua
bangsa kambing dan domba baik jantan
maupun betina. Infeksi parasit T. gondii
pada kambing dan domba secara klinis
sukar diketahui, dan hanya dapat dideteksi
secara serologik. Teknologi Elisa
merupakan teknologi diagnosis secara
serologis paling utama digunakan dewasa
62 Prevalensi Toxoplasmosis pada Kambing yang Dijual Di Kota Makassar
ini. Hal ini disebabkan tidak hanya
sensivisitas dan spesifisitasnya yang lebih
tinggi dibanding teknik- teknik lainnya,
tetapi juga karena keluwesan dan keluasan
aplikasi untuk berbagai tujuan cukup
memadai (Subekti, D.T., Wayan T. Artama
dan Tolibin Iskandar, 2007).
Tes Elisa dapat digunakan untuk
mendeteksi antibodi maupun antigen.
Pemeriksaan Elisa dapat digunakan untuk
mendeteksi antibodi dalam tubuh manusia
maupun hewan. Dalam mendeteksi
antibodi, tes Elisa dapat digunakan untuk
mendeteksi antibodi IgM, dan kadang-
kadang juga digunakan untuk mendeteksi
IgG. Adanya IgM merupakan tanda adanya
infeksi baru, atau infeksi yang terjadi
beberapa hari atau beberapa minggu yang
telah lewat (Setiawan, I.M., 2007).
Berdasarkan hasil pemeriksaan
klinis pada 40 ekor kambing yang diambil
sampel darah, tidak memperlihatkan gejala
klinis yang menunjukkan gejala sakit.
Sedangkan hasil pemeriksaan serologis
dengan metode Elisa, 35 ekor (87,5%)
kambing positif toksoplasmosis, 5 ekor
(12,5%) kambing negatif toksoplasmosis.
Hal tersebut menunjukkan bahwa kasus
toksoplasmosis pada kambing dan domba di
Kota Makassar sudah sangat tinggi dan
perlu perhatian yang serius. Keadaan ini
kemungkinan ada kaitannya dengan
keberadaan inang definitif. Peran hewan
definitif, kucing, ayam, tikus dan inang
perantara yang lain di lingkungan
peternakan tidak diketahui dan masih perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut. Kebiasaan
kambing makan rumput saat digembalakan
atau diberi makan seperti daun-daunan dan
tanaman perdu akan mempermudah
kambing untuk terinfeksi toksoplasma.
Faktor lain, kambing yang ada didaerah
pemukiman penduduk dengan ditunjang
keberadaan kucing, kemungkinana tercemar
ookista menjadi lebih besar. Ini sejalan
dengan pengamatan dilapangan, pedagang
kambing di Kota Makassar, umumnya ada
didaerah pemukiman padat penduduk.
Tingginya prevalensi
toksoplasmosis sampai 87,5% tanpa
menunjukkan gejala klinis disebabkan uji
Elisa mendeteksi adanya IgM. Keberadaan
IgM dalam serum darah merupakan tanda
adanya infeksi baru, atau infeksi
toksoplasmosis yang terjadi beberapa hari
atau beberapa minggu yang telah lewat.
Toksoplasmosis menurut Chandra (2001)
dan Cossart et al. (2001) dibedakan menjadi
2 jenis, yaitu toksoplasmosis dapatan
(acquired toxoplasmosis) dan
toksoplasmosis bawaan. Pada
toksoplasmosis dapatan, infeksi terjadi
setelah kelahiran, gejala klinik tidak
nampak, akan tetapi timbul reaksi
imunologi (ditandai dengan keberadaan
antibodi terhadap toksoplasmosis dalam
darah atau serum). Toksoplasmosis bawaan
merupakan kasus toksoplasmosis yang
terjadi secara vertikal (toxoplasmosis
congenital). Hal ini terjadi bila hewan yang
bunting terinfeksi T. gondii. Manifestasi
klinik, bila terjadi pada trisemester pertama
kebuntingan, menyebabkan abortus
terutama pada kambing dan domba.
Berdasarkan jenis kelamin,
prevalensi kambing jantan yang terinfeksi
toksoplasmosis adalah 17 ekor (85%),
sedangkan betina 18 ekor (90%). Secara
umum infeksi toksoplasmosis dapat
menyerang baik pada hewan jantan maupun
betina (Subekti, D.T., Wayan T. Artama
dan Tolibin Iskandar, 2007).
Hasil pemeriksaan berdasarkan
umur kambing, prevalensi pada kambing
berumur dibawah 1 tahun 16 ekor (88,89%)
dan umur diatas 2 tahun 19 ekor (86,36%).
Sebagai pembanding pada kucing di Kansas
Amerika Serikat, seroprevalensi
toksoplasmosis pada kucing dewasa 37,5%
sedangkan kucing muda (11-26 minggu)
16,2%. Menurut Nissapatorn et al. (2003),
prevalensi toksoplasmosis bervariasi dan
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
kepekaan spesies, perbedaan jumlah
sampel, distribusi geografis, metode
diagnosis dan faktor resiko (adanya oosista
dan kucing terinfeksi).
63 Prevalensi Toxoplasmosis pada Kambing yang Dijual Di Kota Makassar
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan,
dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Prevalensi toksoplasmosis pada
kambing yang dijual di Kota Makassar
adalah 87,5%.
2. Faktor pendukung tingginya prevalensi
tersebut diantaranya iklim, sanitasi
lingkungan buruk, adanya hospes
definitif kucing maupun hospes
perantara tikus.
Saran
1. Hasil penelitian yang didapatkan
sebaiknya dilakukan penelitian lebih
lanjut dengan jumlah sampel yang lebih
banyak dan lokasi yang berbeda untuk
menentukan secara epidemiologi
penyebaran toksoplasmosis di Kota
Makassar.
2. Penyuluhan kepada pedagang dan
masyarakat tentang tatacara beternak
yang baik, serta penanggulangan dan
pencegahan penyakit toksoplasmosis.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih penulis
sampaikan pada Unit Penelitian dan
Pengabdian pada Masyarakat (UPPM)
STPP Gowa yang telah memberikan dana
untuk penelitian ini (2012).
DAFTAR PUSTAKA
Budiharta, S. 2002. Kapita Selekta
Epidemiologi Veteriner. Bagian
Kesehatan Masyarakat Veteriner
Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas gadjah Mada
Yogyakarta.
Chandra, G. 2001. Toxoplasma gondii:
Aspek biologi, diagnosis dan
penatalaksanaannya. Medika 6: 302
–306.Universitas Hasanudin.
Makasar
Cossart, P., Bonquet, P. Normark, S. and R.
Rappaouli. 2001. Cellular
Microbiology. ASM Press,
Washington DC. 217 p.
Dubey, J.P. 1990. Status of toxoplasmosis
in sheep and goat in The United
States. J. Am. Vet. Med. Assoc.
51:1895 – 1899.
Gandahusada, S. 1995 : Penanggulangan
Toksoplasmosis dalam
Meningkatkan Kualitas Sumber
Daya Manusia. Majalah Kedokteran
Indonesia edisi 6 hal: 365-370.
Khadjadatun. 2004. Seroprevalensi
toksoplasma pada domba dan
kambing. Bull. Lab. Veteriner. hlm.
1 – 4.
Levine, ND. 1990 : Protozoologi Veteriner.
Penerbit Gadjah Mada University
Press Yogyakarta.
Hanafiah, M., Wisnu Nurcahyo, Mufti
Kamaruddin dan Fadrial Karmil ,
2009. Produksi dan Isolasi Protein
Membran Stadium Bradizoit
Toxoplasma gondii : Suatu Usaha untuk
Mendapatkan Material Diagnostik
dalam Mendiagnosa
Toksoplasmosis. Jurnal Veteriner
September 2009 Vol. 10 No. 3 :
156-164
Nissapatorn, V., Lee, C.K.C, Khairul, A.A,
2003 . Seroprevalence
Toxoplasmosis among AIDS
Patients in Hospital Kuala Lumpur.
Singapore Med J. 44(4): 194-196.
Remington, J.S., P. Thulliez dan J.G.
Montoya. 2004. Minireview: Recent
Developments for Diagnosis
Toxoplasmosis. J. Clin. Microbiol.
42 (3): 941 – 945.
Resendes, A.R., J.B. Dubey, S. Pont and M.
Domingo. 2002. Disseminated
toxoplasmosis in a mediterranean
pregnant Risso’dolphin (Grampus
griseus) with tranplasental fetal
64 Prevalensi Toxoplasmosis pada Kambing yang Dijual Di Kota Makassar
infection. J. Parasitology. 88: 1029
– 1032.
Sasmita, R. 1986. Toxoplasmosis sebagai
penyakit anthropozoonosa. Media
Kedokteran Hewan 2: 162 –168.
Sasmita, R. 1991. Infeksi Buatan
Toxoplasma gondii Isolat Surabaya:
Beberapa Aspek Serologis,
Gambaran Darah dan
Histopatologis Mencit (Mus
musculus).Disertasi. Universitas
Arlangga, Surabaya. 131 hlm.
Sasmita, R., Ernawati dan M. Samsuddin.
1998. Insiden toksoplasmosis pada
babi dan kambing di RPH Surabaya.
The Indonesian J. of Parasitology
the Indonesian Parasite Control
Ass. 5: 71 – 75.
Setiawan, I.M. 2007. Pemeriksaan Enzime-
linked Imunosorbent Assay (Elisa)
untuk Diagnosis Leptospirosis.
Jurnal Eber Papyrus Volume 13
No. 3 bulan September. Hal. 125-
136.
Sri-Hartati dan Wieklati. 1992: Prevalensi
Toksoplasmosis secara Serologis
pada Domba, Kambing, Sapi dan
Babi serta Pekerja Rumah Potong
Hewan Kodya Surakarta. Laporan
Penelitian. Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.
Subekti, D.T, Wayan T Artama dan Tolibin
Iskandar. 2007. Perkembangan
kasus dan Teknologi Diagnosis
Toksoplasmosis. Lokakarya
Penyakit Zoonosis Nasional.
Tizard, I.R. 2000. Veterinary Immunology.
6th edition. W.B.Saunders Co.
Pennsylvania. 579 p.
Vidal, J.E., F.A. Colombo, A.C.P.De
Oliveira, R. Focaccia and V.L.
Pereira-Chioccola. 2004. PCR
Assay using Cerebrospinal Fluid for
Diagnosis of Cerebral
Toxoplasmosis in Brazilian AIDS
Patients. J. Clin. Microbiol. 42 (10) :
4765 – 4768.