Jurnal Karet Dan Rotan

Post on 20-Jul-2015

292 views 0 download

Transcript of Jurnal Karet Dan Rotan

Center for (CSF) Forestry - CSF Media Informasi, Komunikasi dan Promosi UPT. Perhutanan Sosial SocialUniversitas Mulawarman

Volume 6,No.4 ISSN :14115409

Dedicated to the People and Forests of Kalimantan

OktoberDesember 2005

ara Pembaca yang budiman, tanpa terasa tahun 2005 telah berakhir dan tahun baru 2006 segera menjelang. Dengan semakin matangnya usia CSF Unmul terus berupaya untuk berbenah diri meningkatkan mutu kegiatan penelitian, pelatihan, konsultansi dan pengembangan jaringan dalam lingkup Perhutanan Sosial. Laporan, catatan ataupun pemikiran ringkas dari kegiatan yang tertuang dalam Media CSF inipun diharapkan dapat terus pula disempurnakan di masa-masa mendatang. Saran dan masukan positif dari para pembaca akan sangat membantu CSF dan oleh karenanya sangat dinantikan. Terima kasih.

Daftar Isi

Halaman1 2 5 7

Dari Redaksi ...................................................................................... Artikel Singkat Masyarakat Dayak Meratus dan Karetnya .................................................. Titik Impas Produksi Meranti Merah (Shorea Leprosula Miq) ............................. Faktor-faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Pemanfaatan dan Pemasaran Rotan (Kasus Desa Kerang Kabupaten Pasir) ....................................................... Implication of Forest Utilization, Conversion Policy, and Tenure Dynamics on Resource Management and Poverty Reduction. Case Study of Pasir District, East Kalimantan (Indonesia) ............................... Lain-Lain Ucapan Lebaran, Natal dan Tahun Baru ................................................... Kegiatan Staf CSF Oktober Desember 2005 ............................................ Penanggung Jawab : Direktur UPT. Perhutanan Sosial (CSF); Redaksi : Drs. G. Simon Devung, M.Pd., M.Si (Pimpinan), Prof. Dr. Ir. Mustofa Agung Sardjono, Dr. Ketut Gunawan, M.A, Ir. Ndan Imang, MP; Desain dan Tata Letak : Ir. Setiawati,MP, Dedi Erdian; Administrasi : Liliek Budiarti, S.Hut., Fitri A. Susilaningsih Redaksi mengundang Anggota Utama,Anggota Sejawat,dan Mitra untuk menuliskan berbagai aktifitas berkaitan dengan CSF untuk dikomunikasikan ke masyarakat luas. Redaksi dapat menyingkat dan memperbaiki tulisan yang akan dimuat, tanpa mengubah makna dan isinya.

10

4 11

Media CSF Vol. 6 No. 4, Oktober Desember 2005

1

Center for Social Forestry - CSF

Oleh :

Fadjar Pambudhi

eberapa waktu yang lalu, CSF diminta untuk memfasilitasi masyarakat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan dalam hal pengelolaan karet hasil tanaman mereka di level desa dan kecamatan. Tulisan berikut berisi catatan ringkas tentang mereka dan kegiatan usahanya yang mungkin bermanfaat bagi kita untuk mengenal masyarakat adat ini. A. Kondisi Lokasi Kegiatan yang difasilitasi oleh LSM Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPMA) Borneo Selatan dan CSF ini dilakukan di Desa Batu Kambar, Kecamatan Batang Alai Timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan. Posisi Desa Batu Kambar terletak pada bagian atas dari Pegunungan Meratus, karena itu berhawa dingin. Selepas Kota Barabai, perjalanan terus menanjak sampai ke desa tersebut. Jalan yang bisa dilalui mobil berhenti di desa ini, selanjutnya yang ada hanya jalan setapak. Curah hujan sangat tinggi dan jumlah bulan basah mencapai 8 bulan dan akibatnya kelembaban udara sangat tinggi, bisa mencapai 95%. Di bagian atas Pegunungan Meratus topografinya bergelombang. Masyarakat yang mendiami kawasan ini didominasi oleh suku Dayak Meratus. Sebagian besar beragama Kaharingan, juga ada yang memeluk agama Islam dan Kristen. Walaupun mengaku sebagai masyarakat adat, nampaknya kegiatan dalam keseharian dan ritual-ritual yang bersangkut paut dengan adat telah banyak berkurang. Hal ini mungkin disebabkan oleh interaksi dengan masyarakat luar terutama Banjar yang terjalin sudah sejak ratusan tahun lalu.

Sebagaimana telah kita ketahui, interaksi sosial yang intens dengan masyarakat luar dan budayanya akan memberi dampak positif dan juga dampak negatif bagi masyarakat adat. Sebagai contoh salah satu dampak positif yang besar adalah Dayak Meratus telah lama mengenal budidaya karet dan menjadi sumber pendapatan utama. Dampak negatif yang nampak adalah pergeseran nilai-nilai budaya yang mengikuti pola masyarakat yang dianggap lebih maju. Sebagai contoh tidak nampak lagi di desa ini ukiran, ornamen atau kesenian yang mencerminkan ciri khas Dayak Meratus. Hal yang sangat memprihatinkan adalah hilangnya bahasa Dayak Meratus. Dalam percakapan sehari-hari semua masyarakat suku ini hanya menggunakan bahasa Banjar atau bahasa Indonesia. Generasi muda sudah tidak lagi mengerti bahasa aslinya. Walaupun generasi tua masih memahami bahasa Dayak Meratus, tetapi mereka juga tidak lagi menggunakannya. Tingkat kesejahteraan di daerah ini masih rendah, tetapi dari fisik perumahan terlihat adanya gejala peningkatan (Lihat Gambar 1). Akses terhadap informasi juga baik, beberapa rumah bahkan sudah mempunyai parabola. Setelah Otonomi Daerah upaya Pemerintah membangun lebih banyak sekolah dasar dan Puskesmas telah terlihat.

Gambar 1. Kondisi rumah-rumah, Desa Batu Kambar, 2005. 2 Media CSF Vol. 6 No. 4 Oktober Desember 2005

Center for Social Forestry - CSFTransportasi ke dan dari desa ini lancar, juga pada musim hujan, karena ada jalan beraspal walaupun sebagiannya berlubanglubang. Desa ini dapat dicapai dari Banjarmasin dengan mobil dalam waktu 6 - 7 jam. Walaupun demikian, jika ke sana dengan kendaraan umum, sebaiknya mencari mobil di Kota Barabai karena lebih mudah. Keberadaan jalan ini membuka lapangan kerja baru, sebagian masyarakat mengojek dengan sepeda motor. Keberadaan ojek dalam sektor transportasi menjadi penting mengingat, walaupun ada jalan kendaraan umum yang sampai ke desa tersebut ratarata hanya sekali dalam sehari. B. Pola Tani dan Karet Pola bertani masyarakat Dayak Meratus ini sudah mengarah ke pola komersial, walaupun masih melakukan perladangan gilir balik. Jenis padi yang ditanam di perladangan dinamai Padi Buyung, digemari masyarakat Kalsel dan berharga mahal. Karakter nasi dari padi buyung berbeda dengan padi sawah. Kalau dimasak, butiran nasi dari padi ini tidak merekat satu sama lain. Di desa harga beras buyung Rp 3.000,-/kg dan di kota Kecamatan/ Kabupaten harganya bisa mencapai Rp 6.000,-/kg, itupun kalau tersedia. Ladang yang dibuat umumnya bercampur dengan tanaman untuk dijual, seperti pisang atau sayur-sayuran dan karet. Pisang biasanya dikumpulkan untuk kemudian diangkut ke pulau Jawa. Setelah panen umumnya masyarakat memelihara karet, karena itu di wilayah Meratus ini karet merupakan hasil utama. Peran karet sebagai cash crop bagi petani sangat penting. Pada tahun 2000, di desa harga karet Rp 3.500,-/kg sedang harga beras biasa hanya Rp 1.250,-/kg. Harga karet sekarang mencapai Rp 4.000,-/kg sedang harga beras berkisar dari Rp 2.250 Rp 3.000/kg tergantung kualitasnya. Dengan demikian tidak mengherankan jika sebagian masyarakat tidak lagi membuat ladang, hanya mengolah kebun karetnya. Dengan pola karet-setelah ladang, masyarakat Dayak Meratus umumnya mempunyai banyak kebun karet. Mereka yang sudah dewasa mempunyai kebun karet yang jumlahnya bisa lebih dari lima buah, dengan luas sebesar 1,5 sampai 3 ha per kebun. Pola ini mirip dengan masyarakat Dayak Benuaq di kawasan Kedang Pahu (Kaltim) dengan bentuk rotan-setelah ladang nya. Berapa banyak sesungguhnya kebun karet yang dimiliki masyarakat sukar didapat informasinya, karena mereka enggan untuk menyebutkannya. Keengganan ini disebabkan ketakutan akan pajak yang bisa dibebankan ke mereka. Kondisi ini menyebabkan kesukaran Pemerintah Daerah setempat untuk mengetahui berapa luas kebun karet masyarakat yang ada di wilayahnya dan juga mengakibatkan dugaan produksi karet yang terlalu rendah. Penanaman telah dilakukan sudah sejak puluhan tahun lalu. Jenis yang ditanam adalah jenis lokal bukan jenis karet unggul sebagaimana yang dilakukan di proyekproyek penanaman karet. Dari informasi mereka, jenis karet ini masih terus menghasilkan, dan hasilnya cenderung meningkat, walaupun telah berumur 65 tahun. Kebun-kebun karet yang tua ditanam dengan pola tanam yang kurang teratur, kebun-kebun muda sudah ditanam dengan pola tanam mendekati 4m x 4m atau 4m x 5 m.

Gambar 2. Ladang padi dicampur pisang, Batu Kambar, 2005.

Media CSF Vol. 6 No. 4, Oktober Deseember 2005

3

Center for Social Forestry - CSFPada bulan-bulan basah selama 8 bulan, jumlah hari dimana masyarakat dapat menoreh (menderes) karet rata-rata hanya sehari dalam seminggu. Di bulan kering, mereka menoreh hanya dua - tiga hari dalam seminggu. Hasil tersebut dikumpulkan dan dijual ke pengumpul di desa atau ke pembeli yang datang dari kota ke desa tersebut. Hasil karet dijual dalam bentuk lembaranlembaran tebal (slab), tidak heran kalau kadang-kadang ada upaya mencampur karet itu dengan bahan lain agar menjadi lebih berat. Penjualan karet dalam bentuk lembaranlembaran tebal merupakan strategi bisnis dari pemilik pabrik karet di Banjarmasin agar mendapat lebih banyak untung dari perbedaan kualitas. Pada masa-masa sebelumnya petani telah mampu menjual karet dengan kualita yang lebih tinggi berupa slab dengan lembaran tipis. Harga slab tipis ini kemudian ditekan oleh pabrik sehingga hampir sama dengan slab tebal. Akhirnya masyarakat enggan untuk menjual dalam bentuk lembar tipis. Teknik dagang agar petani menjual karet berkualitas rendah ini serupa dengan yang dialami para petani karet di Kutai Barat hingga sekarang. Sekarang di beberapa desa sekitar Batu Kambar telah ada fasilitasi dari Lembaga Swadaya Masyarakat untuk meningkatkan pendapatan petani melalui kemurnian lembar karet yang dijual. Selain itu ada pula pembangunan koperasi yang menjual sendiri hasil karetnya langsung ke pabrik. Usaha-usaha pelatihan pendugaan hasil karet di level desa dan peneraan kualitas juga telah dilakukan oleh LPMA.

Gambar 3. Pelatihan Kambar, 2005.

masyarakat,

Batu

Sisi lain dari luasnya kebun karet adalah sedikitnya kebun-kebun buah. Buah-buahan ditanam hanya di pekarangan atau di ladang dalam jumlah yang kecil. Pada umumnya masyarakat mengatakan bahwa kebutuhan mereka akan buah-buahan sudah terpenuhi dengan kebun yang ada, selain itu mereka juga masih dapat mengambil buah dari hutan. Keberadaan hutan-hutan karet ini juga membantu menjaga kondisi hidrologi kawasan di sekitarnya. (FP)

UPDATE

4 Media CSF Vol. 6 No. 4 Oktober Desember 2005

Center for Social Forestry - CSF

Oleh :

RujehanA. Latar Belakang

amili Dipterocarpaceae yang tumbuh dominan di hutan Kalimantan seharusnya menjadi salah satu prioritas dalam kegiatan rehabilitasi hutan karena famili ini merupakan habitat asli yang tumbuh di kawasan hutan tersebut. Salah satu jenis dari Famili Dipterocarpaceae yang cukup bermutu serta memiliki nilai ekonomis tinggi yaitu Meranti Merah (Shorea leprosula Miq). Meranti Merah termasuk dalam kelas awet II V, kayunya baik dan mudah dikerjakan serta biasanya jenis ini digunakan untuk bangunan rumah, perabot rumah tangga, dan perahu. Sedangkan kulitnya dapat dipakai untuk dinding rumah dan pondok, damarnya dipakai untuk menambal perahu dan lampu atau penerangan (Anonim, 1969). Peranan jenis-jenis dari famili Dipterocarpaceae pada hutan alam di Indonesia selama ini cukup besar. Namun demikian upaya penanaman jenis-jenis ini di masa lalu masih dihadapkan pada berbagai kendala, mengingat sumber bibitnya masih mengandalkan hanya dari biji saja. Masalah ketersediaan biji ini menjadi kendala pokok karena sifat jenis-jenis dari famili Dipterocarpaceae hanya berbuah sekali dalam 4 tahun bahkan ada yang sampai 13 tahun. Sebagai salah satu alternatif untuk mengatasi masalah pengadaan bibit yaitu dengan sistem stek. Sistem ini memiliki beberapa keunggulan yaitu bibit bisa diproduksi dalam jumlah sesuai yang diinginkan dan disisi lain apabila bahan stek diambil dari pohon-pohon yang unggul maka bibit yang akan dihasilkan juga bersifat unggul (Smits dan Yasman, 1988).

Mengingat kegiatan produksi bibit tanaman kehutanan khususnya bibit Meranti saat ini merupakan suatu kegiatan yang dapat memberikan keuntungan, maka dalam usaha ini sangat perlu untuk mengetahui berapa jumlah produksi bibit minimal yang baik untuk dikembangkan agar diperoleh hasil dan keuntungan sesuai yang diharapkan. Oleh karena itu disini akan dicoba membandingkan perbedaan nilai titik impas antara usaha produksi bibit yang berasal dari biji dan stek sebagai dasar pertimbangan usaha secara ekonomis. B. Titik Impas (Break Even Point - BEP) Dalam menghitung titik impas baik berdasar pada unit (BEP(q)) maupun berdasar pada nilai penjualan (BEP(Rp)), maka terlebih dahulu perlu diketahui diantaranya : volume produksi (Q), biaya tetap (FC), biaya variabel (VC), harga jual per unit (P), dan total penjualan (S). Dengan demikian rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :

BEP (q) =

FC ; BEP (Rp) = P VC / Q

FC VC 1 S

Berdasarkan kondisi biaya dan volume produksi, harga jual per unit serta total penjualan (seperti Tabel 1 dan Tabel 2 berikut) untuk masing-masing cara pembibitannya (dari biji dan stek), maka dapat dihitung nilai titik impas (BEP) kedua cara tersebut. (Contoh kasus PT. ITCI Kartika Utama, Kenangan 2004). Media CSF Vol. 6 No. 4, Oktober Deseember 2005 5

Center for Social Forestry - CSFTabel 1. Penjualan, biaya produksi dan titik impas produksi bibit Meranti Merah yang berasal dari biji dengan volume produksi (Q) 116.000 unit atau satu kali periode produksi. No Jenis Jumlah (Rp.) 14.452.533,65 42.440.994,20 56.893.527,86 1.500 174.000.000 BEP Unit 12.743 (Rp.) 19.114.927,48

1 Biaya tetap ( FC ) 2 Biaya variabel ( VC ) 3 Biaya produksi ( TC ) 4 Harga jual per unit ( P ) 5 Total penjualan ( S )

Tabel 2.

Penjualan, biaya produksi dan titik impas produksi bibit Meranti Merah yang berasal dari stek dengan volume produksi (Q) 116.000 unit atau satu kali periode produksi. Jenis Jumlah (Rp.) 14.515.209,49 141.839.797,26 156.355.006,76 2.250 261.000.000 sedangkan untuk bibit Meranti yang berasal dari stek adalah sebanyak 14.130 batang atau dengan hasil penjualan sebesar Rp. 31.793.078,48 dalam jangka waktu satu periode produksi. (RUJ) BEP Unit 14.130 (Rp.) 31.793.078,48

No

1 Biaya tetap ( FC ) 2 Biaya variabel ( VC ) 3 Biaya produksi ( TC ) 4 Harga jual per unit ( P ) 5 Total penjualan ( S )

Dari Tabel 1 dan Tabel 2 dapat dilihat bahwa akan mengalami suatu keadaan impas (BEP) jika memproduksi bibit Meranti yang berasal dari biji sebanyak 12.743 batang atau dengan hasil penjualan sebesar Rp. 19.114.927,48 ,

Gambar 1. Kebun pangkas sebagai sumber bahan stek.Pustaka Rujukan : (1) Anonim, 1969. Pengenalan Jenis-jenis Pohon Ekspor. Lembaga Penelitian Hutan, Bogor; (2) Smits, W.T.M. dan I. Yasman, 1988. Metoda Pembuatan Stek Dipterocarpaceae. Balai Penelitian Kehutanan, Samarinda.

Gambar 2. Sejumlah stek Meranti merah di bak perakaran.

6 Media CSF Vol. 6 No. 4 Oktober Desember 2005

Center for Social Forestry - CSF

( Kasus Desa Kerang Kabupaten Pasir ) Oleh :

Rujehan

saha pemanfaatan dan pemasaran rotan yang dilakukan oleh masyarakat lokal biasanya sejalan dengan membaiknya tingkat kemampuan masyarakat baik dari sisi keuangan rumah tangga maupun pengetahuan mereka tentang kondisi yang berkembang disekitarnya, seperti masuknya berbagai jenis barang pengganti dan perkembangan harga rotan di pasaran. Situasi seperti ini tentunya berlaku bagi desa-desa yang masih memiliki lahan rotan (rotan alam dan tanaman), baik diusahakan untuk dimanfaatkan sendiri (subsisten) maupun untuk dijual (dikomersilkan) sebagai kontribusi pendapatan rumah tangga. Salah satu desa yang dimaksud adalah Desa Kerang Kecamatan Tanjung Aru Kabupaten Pasir. Meskipun berdasarkan hasil penelitian terhadap desa tersebut bahwa kontribusi rotan hanya 7,66 % dari pendapatan total rumah tangga, namun dari sisi sosial budaya masyarakat setempat menunjukkan bahwa perhatian pemanfaatan dan usaha rotan masih sangat melekat pada setiap rumah tangga. Apalagi sebagian masyarakat lokal (masyarakat asli) mengemukakan bahwa usaha dan pemanfaatan produk rotan merupakan warisan nenek moyang mereka yang patut dilestarikan. Beberapa faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi kegiatan pemungutan dan pemanfaatan rotan masyarakat diantaranya : 1. Keadaan Ekonomi Rumah Tangga Rumah tangga yang berpenghasilan rendah cenderung menjadi pemanfaat utama / pemungut rotan sebagai sumber pendapatan.

Sebagai contoh bahwa rumah tangga yang berpenghasilan di bawah Rp. 4.500.000,00 per tahun menunjukkan sekitar 60% masyarakatnya memanfaatkan / memungut rotan sebagai tambahan pendapatan untuk menutupi kekurangan pendapatan rumah tangga, sedangkan sisanya (40%) tidak memanfaatkan/memungut.

Gambar 1. Kondisi rumah tangga petani rotan. 2. Ketersediaan Barang-Barang Pengganti Ketersediaan barang-barang pengganti rotan merupakan faktor penting yang memotivasi masyarakat beralih dari hasil rotan ke barang-barang pengganti (substitusi) lainnya. Hal tersebut dikarenakan oleh biaya yang diperlukan untuk memperoleh barangbarang pengganti yang dimaksud adalah lebih murah dan lebih mudah untuk mendapatkannya. Beberapa contoh pergeseran fungsi rotan untuk keperluan rumah tangga adalah penggantian pemakaian tikar rotan/lampit yang terbuat dari rotan sega dengan tikar plastik. Harga lampit anyaman rotan dengan Media CSF Vol. 6 No. 4, Oktober Deseember 2005 7

Center for Social Forestry - CSFukuran 12 m2 berkisar Rp. 250.000,00 sampai Rp. 350.000,00, sedangkan harga tikar plastik dengan ukuran yang sama hanya Rp. 60.000,00. Contoh lainnya adalah pergeseran pemakaian keranjang rotan / lanjung yang terbuat dari rotan sega seharga Rp. 60.000,00 dengan keranjang plastik yang harganya hanya Rp. 10.000,00. 3. Harga Pasar Faktor harga pasar juga merupakan salah satu faktor yang menentukan kegiatan pemungutan rotan. Pada saat harga rotan rendah menyebabkan frekuensi kegiatan pemungutan menjadi berkurang. Hal ini sesuai dengan prinsip keuntungan dalam teori ekonomi bahwa volume penawaran akan diperbesar jika kondisi harga tinggi dan sebaliknya jika kondisi harga rendah. Harga rotan di Desa Kerang Kabupaten Pasir dalam kurun waktu 5 tahun (1999 2003) tidak mengalami perubahan atau relatif konstan yaitu seharga Rp. 4.000,00 per tampik (1 tampik = 100 belahan batang dengan kisaran panjang 2 3 meter). Karena kondisi harga seperti ini maka masyarakat cenderung memanfaatkan rotan hanya sekedar untuk menambah pendapatan (bukan motivasi keuntungan). Sebagai berikut ini perbandingan di beberapa desa lainnya dalam kawasan Kabupaten Pasir yaitu desa-desa seperti Modang, Kasungai dan Rantau Layung berkenaan dengan respon petani/pemungut rotan terhadap perubahan harga. Naik turunnya harga rotan ternyata sangat direspon oleh petani/pemungut terhadap besaran volume pemanenannya. Di bawah ini disajikan tabel respon petani/pemungut rotan terhadap perkembangan harga pasar di ketiga desa tersebut. (RUJ)

Tabel : Respon petani/pemungut rotan terhadap perkembangan harga pasar di desa-desa Modang, Kasungai, dan Rantau Layung. ResponRata-rata 4.050,-

Tingkat harga berdasarkan lokasi desa (Rp./tampik) Modang Kasungai Rantau LayungMinimal 4.000,Maksimal 4.500,Rata-rata 3.900,Minimal 3.000,Maksimal 5.000,Rata-rata 3.100,2.650,2.200,Minimal 3.000,2.500,2.000,Maksimal 3.500,3.000,2.500,-

Memanen secara normal 3.400,3.000,4.000,3.325 2.750,4.500,Mengurangi memanen 2.700,2.000,3.500,2.800,2.500,3.500,Berhenti memanen 1.600,1.500,2.000,1.000,1.000,1.000,Mengkonversi kebun rotan Sumber : Hasil penelitian kerjasama antara CSF dan CIFOR tahun 2000.

Gambar 2. Kegiatan mensortir rotan yang dihasilkan oleh petani. 8 Media CSF Vol. 6 No. 4 Oktober Desember 2005

Gambar 3. Tumpukan rotan diangkut untuk dipasarkan.

yang

siap

Center for Social Forestry - CSF

By Mustofa Agung Sardjono and Dr.Dicky Simorangkir Director/Programme Team Leader of TBI Indonesia (Balikpapan, Indonesia)

ndonesia as one of the worlds most forest rich countries has struggled hardly to solve problems of deforestation and poverty, especially during the last decade. Forestry sector that in the previous time contributed almost 10% of the total Gross Domestic Product of the country, has shrunk in annual rate of at least of 2.3 million hectares. Although official figures mentioned there were only 56.0 million hectares or approx. 40.0- 47.0% of the total forests have been degraded, the low land forests of big outer islands e.g. in Sumatra and in Kalimantan will vanish in this decade. On the other side the benefits of the forest exploitation to the local communities welfares are still questionable, since according to the countrys regulation the resource is under absolute control of the state c.q. government and access of the local communities to the resource for daily life in the reality has to compete with larger commercial interests of larger-scale forest or estate activities. Therefore, political changes in the beginning of 1998 and then followed by implementation of regional autonomy in 2001 have created optimistic expectations towards better resource management and indeed communities well-being. The objectives of the study are to get better understanding about the forestry and land tenure policies in Indonesia and based on it to analyze

implications of forest utilization and conversion on local resource and poverty. In order to have more detailed data and real information, besides describing the general forest resource and socio-economic impacts of the development policies at national as well as provincial levels, the case study was taken from Pasir, one of thirteen autonomous districts in East Kalimantan. Therefore, in addition to exploring secondary sources, i.e. statistical reports, research documents, and other literatures, the primary data were collected from different district officials. Visits to villages were conducted during the study to observe the grass-root condition and to absorb communities responses. The study resulted in some important points that are still open for further discussions. First, the powerful and centralized management of forest resources during New Order regime (1967-1998), although it significantly increased the countrys income, led to resource destruction and gave very limited trickle down effects to surrounding communities. The data, compiled from East Kalimantan as the second rich forest province in Indonesia, underlined those phenomena. The situation was, however, surprisingly getting worse since the implementation of regional autonomy. In the beginning of this century (2003), 50% of the total forest was destroyed and Media CSF Vol. 6 No. 4, Oktober Deseember 2005 9

Center for Social Forestry - CSF12.03% of the total population (2.5 million people) lived in poverty. Moreover, reformation euphoria, resource scarcity, increasing population following better access, and egocentrism of community groups have influenced wider social conflict escalations. Considering that socio-economic aspects become the best answer of those above problems, establishment of commercial tree crops plantations tends to increase in almost all regions after the regional autonomy. The number of poor families were even higher in the villages (and also subdistricts), where the Oil Palm plantations developed and/or were followed by more people. The plantation development has even led to horizontal conflicts between two or among more villages/users, since communal lands will be converted into individual ownership and/or village boundaries will determine a certain scale of the plantation which will be possible to be developed. From the study, it can be concluded that without revisions of natural resource and agrarian policies--cumlegislations in Indonesia, ecological and socio-economic problems will come up in the field or grassroot level. However, since those revisions under Indonesian juridical schema will take time, and time is a limiting factors for conservation efforts. It is, therefore, suggested to use available opportunities especially in the frame of regional autonomy. There are three proposals for the way forward : adapting policies and legislation on resource management, handing over resource management to local communities, and empowering forest stakeholders in an integrated collaborative resource management. The first focuses on the possibility to decentralize most of the authorities on resource management to the local governments, especially in reformulating solutions for land-conflicts. The second underlines necessity to followup different community-based forest resource management schemes, both in concepts and their implementations. And last but not least, securing of local communitys position in the collaborative action, while facilitating other stakeholders in increasing social management capacity and their social sensitivity. (MAS) *) Executive Summary of Study Report Submitted to FAO, Rome.

Second, the Pasir district has initiated to

develop commercial Oil Palm plantations since the last two decades in parallel to timber exploitation. The program of Oil Palm plantation has extended incredibly and they are found in all sub-districts of Pasir, in contrary with the decreasing timber companies (HPH) activities following declining allowable cut commercial stands in the forests. The forest industrialization has invited hundreds of spontaneous migrants. Many of them were work seekers and they finally entered the forests for exploiting non-timber forest products, that have actually been the source of local communities living for ages. As blessing in disguise, Oil Palm (and other commercial crops estate) plantation was even able to supply more timber than forest concessionaires, through the Timber Utilization Permit (IPK) scheme during land clearing at preparation stage. Beside that, illegal timbers, especially from logged over forests of HPHs, has given significant contributions. Forest resources are really under pressure nowadays and leave only the conservation areas, although they are already standing on a risky zone of encroachments and illicit felling. showed however that there is no significant contribution of large plantation and the relatively high Oil Palm participants incomes to the poverty reduction.

Third, the study from the village level

10 Media CSF Vol. 6 No. 4 Oktober Desember 2005

Center for Social Forestry - CSF

No1.

Tanggal1 Oktober 6 Desember 2005 2 4 Oktober 2005

Agenda KegiatanDoctor Dissertation Ujian Terbuka Doktor atas nama Agus Justianto Seminar dan Lokakarya Pengelolaan SDA Diskusi Pengelolaan Hutan Lindung Bontang

PenyelenggaraJSPS, RONPAKU Program

Tempat AcaraUTYO, Tokyo

CSF staff/fungsiNdan Imang/ Mahasiswa Mustofa Agung Sardjono/ Penguji Martinus Nanang/ Peserta Fadjar Pambudhi/ Konsultan Mustofa Agung Sardjono/ Fasilitator G. Simon Devung/ Konsultan

2.

IPB Bogor

Bogor

3.

5 8 Oktober 2005

Pontianak

4.

10 12 Oktober 2005

Dinas Lingkungan Hidup Kota Bontang

Bontang

5.

11 12 Oktober 2005

Heart of Borneo Konsultansi FORD dengan Dishut Kubar dan Kuliah perdana di Poltek Sendawar a. Penyiapan bahan ke Walikota Bontang b. Presentasi Hasil Diskusi Pengelolaan Hutan Lindung Bontang ke DPRD Bontang dan DPR RI Semiloka Hutan Lindung Gunung Beratus

WWF Dinas Kehutanan kabupaten Kutai Barat

Bapedalda Kaltim Kutai Barat

6.

17 21 Oktober 2005

7.

17 20 Oktober 2005

Dinas Lingkungan Hidup Kota Bontang

Bontang

Fadjar Pambudhi/ Konsultan

8.

19 20 Oktober 2005

BOS-Wanariset

Kutai Barat

G. Simon Devung/ Peserta

9.

21 Oktober 2005

Pembahasan Konsep Revitalisasi AMDAL Propinsi Kaltim

Bappeda Prop. Kaltim

Samarinda

MAS/Peserta

10.

7 November 21 Desember 2005

Workshop Green Governance, Community Resource Management and Conflict Resolution Konsultasi Publik Penyempurnaan PP 18/1994 ; PP 68/1998 ; 43/2002 Diskusi Sehari Dampak Kebijakan Pengelolaan SDA di Kaltim Sociology and Anthropology in Borneo : Present Trends and Future Prospects Heart of Borneo national Workshop Lokakarya Pengetahuan dan Pengelolaan Hutan yang Berkelanjutan Pertemuan Rencana Tindak Lanjut Kelompok Kerja Penyiapan Hutan Lindung Gunung Beratus

The Luce Foundation Project on Green Governance and KARSA Dephut, Sekjen Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional III Perkumpulan Bina Benua Putijaji Universiti Brunei Darussalam Dephut

Berkeley, USA

Mustofa Agung Sardjono/ Peneliti

11.

14 16 November 2005 30 November 2005

Balikpapan

Fadjar Pambudhi/ Peserta Fadjar Pambudhi/ Peserta G. Simon Devung/ Presenter Facilitator Fadjar Pambudhi/ Peserta Rujehan/ Pembicara Rujehan/ Peserta

12.

Samarinda Brunei Darussalam Jakarta

13.

2 5 Desember 2005

14.

5 8 Desember 2005

15.

7 8 Desember 2005 14 15 Desember 2005

Tropenbos Bappeda Pemkab Kubar dan BOS-Wanariset

Balikpapan

16.

Samarinda

Media CSF Vol. 6 No. 4, Oktober Deseember 2005

11

Center for Social Forestry - CSF

Nama/Name Organisasi/Organization Jabatan/Occupation Alamat/Address

No. Telp/Phone No.

No. Faks/Fax No.

Terima Kasih atas kesediaan Anda mengisi kuesioner ini. Kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan respon yang memuaskan bagi anda, seluruh pembaca Media bulanan kami. Mohon komentar & masukan Anda, khususnya pada penerbitan ini.Thank you for taking the time to fill in this questionnaire. We will do our best to respond to all your queries. Please attach your comments and ideas, especially for this edition

ISI/CONTENTS Apakah Media in telah memberikan informasi yang anda butuhkan? Has this newsletter provided you with the type of information you need? Saran /suggestions:

YA/YES

TIDAK /NO

BAHASA & TATALETAK/LANGUAGE & LAYOUT Apakah penggunaan bahasa sudah baik dan tata letaknya sesuai dengan topik yang ingin disampaikan? Are the language used and the general layout appropriate for the topics presented ? Saran/ suggestions:

YA/YES

TIDAK /NO

Adakah pihak lain yang ingin Anda rekomendasikan untuk menerima Media ini? Jika YA, mohon isi formulir di bawah. Are there any other individuals or organizations you would recommend to receive this monthly newsletter? (mohon diperbanyak jika diperlukan/please make photo-copies if needed)

Nama/Name Organisasi/Organization Jabatan/Occupation Alamat/Address

No. Telp/Phone No.

No. Faks/Fax No.

Apakah ada informasi lebih lanjut yang Anda butuhkan dari Media CSF Vol. 6 No. 4 ini? Is there any additional information you require about the issues discussed in the current 6th no. 1 edition of our newsletter? (mohon lingkari nomor di bawah ini, dan jelaskan/please circle the numbers below and specify)1. 2. 3. FROM THE FIELD : AND THE DATA SAY: NEWS IN BRIEF FOCUS ON : :

4.

12 Media CSF Vol. 6 No. 4 Oktober Desember 2005