Post on 09-Feb-2020
37
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pengaruh Perlakuan Terhadap Sifat Fisik Kornet Daging Sapi
4.1.1. Pengaruh Perlakuan Terhadap Daya Ikat Air Kornet Daging Sapi
Daya ikat air oleh protein daging atau water-holding capacity atau water
binding capacity (WHC atau WBC) adalah kemampuan daging untuk mengikat
airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya
pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan (Soeparno, 2009).
Hasil penelitian terhadap daya ikat air kornet daging sapi dapat dilihat pada Tabel
8.
Tabel 8. Pengaruh Perlakuan Terhadap Daya Ikat Air Kornet Daging Sapi
Ulangan Perlakuan
P0 P1 P2 P3 P4
----------------------------------------%----------------------------------------
1 45,31 60,78 48,66 48,68 49,86
2 45,01 60,73 48,69 48,53 50,63
3 45,51 60,98 49,07 49,20 50,29
4 45,37 61,52 48,39 48,31 50,33
Rata-Rata 45,30 61,00 48,70 48,68 50,28
Keterangan:
P0 = Kornet daging sapi dengan natrium nitrit 1,25%
P1 = Kornet daging sapi dengan bubuk angkak 1%
P2 = Kornet daging sapi dengan bubuk angkak 1,5%
P3 = Kornet daging sapi dengan bubuk angkak 2%
P4 = Kornet daging sapi dengan bubuk angkak 2,5%
Berdasarkan data pada Tabel 8 rata-rata daya ikat air pada kornet daging
sapi berkisar antara 45,30 - 61,00%, dengan rata-rata tertinggi berasal dari
penambahan bubuk angkak sebanyak 1% (P1) yaitu 61,00% dan rata-rata terendah
38
berasal dari penambahan natrium nitrit 1,25% (P0) yaitu 45,30%. Hasil analisis
sidik ragam pengaruh berbagai konsentrasi angkak terhadap daya ikat air kornet
daging sapi dapat dilihat pada Lampiran 2.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian berbagai
konsentrasi angkak terhadap daya ikat air kornet daging sapi berbeda nyata
(P<0,05). Hasil uji lanjut jarak berganda Duncan dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan Perlakuan Terhadap Daya Ikat
Air Kornet Daging Sapi
Perlakuan Rata-Rata (%) Signifikansi (0,05%)
P0 45,30 a
P3 48,68 b
P2 48,70 b
P4 50,28 c
P1 61,00 d
Keterangan: Huruf kecil yang berbeda ke arah vertikal pada kolom signifikansi
menunjukkan berbeda nyata.
Data pada Tabel 9 menunjukkan bahwa rata-rata daya ikat air pada kornet
daging sapi tertinggi (61,00%) yaitu pada perlakuan konsentrasi bubuk angkak 1%
(P1) berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Perlakuan P1,
P2, P3 dan P4 menghasilkan nilai daya ikat air kornet daging sapi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan perlakuan dengan natrium nitrit 1,25% (P0). Hal ini
disebabkan daya ikat air dipengaruhi oleh protein serta kandungan air, dimana
angkak memiliki protein sebesar 15 - 16% dan kandungan air sebesar 7 - 10%,
Sesuai dengan pendapat Kramlich, dkk. (1973) faktor yang menyebabkan tinggi
nilai daya ikat air adalah kandungan air, protein dan penggunaan garam.
Penambahan konsentrasi bubuk angkak yang lebih dari 1% tidak diikuti
dengan peningkatan daya ikat air kornet daging sapi yang nyata. Hal ini dapat
disebabkan karena faktor pH yang terdapat pada angkak. Menurut Wismer (1971)
daya ikat air daging dipengaruhi salah satunya oleh faktor pH. Menurut penelitian
39
(Dyah, dkk., 2012) angkak memiliki pH 5,2. Angkak memiliki pH yang asam,
dimana suasana asam tersebut akan mempengaruhi nilai daya ikat air kornet daging
sapi yang diberi angkak, hal ini sesuai dengan pendapat Buckle, dkk., (1985) bahwa
daya ikat air daging cenderung menurun karena protein sarkoplasma otot sangat
mudah rusak dalam suasana asam.
Perlakuan P2 dan P3 nyata lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan
perlakuan P0. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan perlakuan antara P0
(hanya menggunakan natrium nitrit, tanpa penambahan bubuk angkak) dengan P2
dan P3 (dengan bubuk angkak 1,5% dan 2%). Menurut penelitian Linn (2008) daya
ikat air kornet daging sapi semakin meningkat disebabkan oleh penambahan jumlah
ekstrak angkak (Monascus purpureus) berpengaruh terhadap muatan positif yang
keluar semakin banyak dan jumlah muatan negatif di dalam kornet daging sapi
semakin tinggi. Kelebihan muatan negatif akan memperbesar penolakan dari
miofilament dan jumlah ruang kosong bagi molekul air juga semakin besar sehingga
menyebabkan meningkatnya daya ikat air kornet daging sapi.
Polinomial orthogonal digunakan untuk mengetahui hubungan fungsional
antara respon dan taraf perlakuan kuantitatif. Berdasarkan ilustrasi 5, dapat dilihat
bahwa pengaruh tertinggi dihasilkan dari penambahan bubuk angkak sebanyak 1%
(P1) dan pengaruh terendah dihasilkan dari penambahan natrium nitrit 1,25% (P0).
40
Ilustrasi 5. Grafik Analisis Pengaruh Konsentrasi Angkak Terhadap Daya Ikat Air
(%)
Uji Polinomial Orthogonal menunjukkan bahwa pengaruh konsentrasi
angkak terhadap daya ikat air kornet daging sapi mengikuti persamaan regresi kubik
y = 11,399X3 – 47,725X2 + 50,253X + 45,46 dengan koefisien determinasi R² = 0,863
(Ilustrasi 5) yang menunjukkan bahwa ragam dari berbagai konsentrasi angkak 86,3%
mempengaruhi nilai daya ikat air pada kornet daging sapi, sisanya dipengaruhi oleh faktor
lain. Menurut Sugiyono (2014) analisis koefisien determinasi (R2) digunakan untuk
mengetahui seberapa besar persentase hubungan variabel independen secara
bersamaan terhadap variabel dependen. Nilai R2 dikatakan baik jika diatas 0,5
karena nilai R2 berkisar antara 0 sampai 1. Semakin tinggi daya ikat air suatu
produk, menandakan bahwa produk tersebut semakin baik kualitasnya karena
jumlah cairan yang keluar semakin kecil. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Soeparno (1998), yaitu semakin tinggi cairan yang keluar dari daging menunjukkan
bahwa nilai daya ikat air oleh protein daging tersebut semakin rendah. Muhammad,
dkk. (2017) menambahkan bahwa, kehilangan nutrisi selama pengolahan akan
semakin menurun apabila daya ikat air semakin meningkat.
y = 11,399x3 - 47,725x2 + 50,253x + 45,46
R² = 0,863
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3
Day
a Ik
at A
ir (
%)
Konsentrasi Angkak (%)
41
4.1.2. Pengaruh Perlakuan Terhadap Susut Masak Kornet Daging Sapi
Susut masak adalah perhitungan berat yang hilang selama pemasakan atau
pemanasan pada daging. Pada umumnya, makin lama waktu pemasakan makin
besar kadar cairan daging hingga mencapai tingkat yang konstan. Susut masak
merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar jus
daging yaitu banyaknya air yang terikat dalam dan diantara serabut otot. Jus daging
merupakan komponen dari daging yang ikut menetukan keempukan daging
(Soeparno, 1992). Hasil penelitian terhadap susut masak kornet daging sapi dapat
dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Pengaruh Perlakuan Terhadap Susut Masak Kornet Daging Sapi
Ulangan Perlakuan
P0 P1 P2 P3 P4
----------------------------------------%----------------------------------------
1 4,65 9,95 9,70 19,65 14,55
2 19,75 14,50 14,65 9,95 9,85
3 9,75 14,40 19,90 9,85 9,90
4 9,80 9,75 14,65 14,60 14,75
Rata-Rata 10,99 12,15 14,73 13,51 12,26
Berdasarkan data pada Tabel 10 rata-rata susut masak kornet daging sapi
berkisar antara 10,99 - 14,73%, dengan rata-rata tertinggi berasal dari penambahan
bubuk angkak sebanyak 1,5% (P2) dan rata-rata terendah berasal dari penambahan
natrium nitrit 1,25% (P0). Hasil analisis sidik ragam pengaruh berbagai konsentrasi
angkak terhadap susut masak kornet daging sapi dapat dilihat pada Lampiran 3.
Hasilnya menunjukkan bahwa pemberian berbagai konsentrasi angkak terhadap
susut masak kornet daging sapi tidak berbeda nyata (P>0,05) pada setiap perlakuan,
hal ini disebabkan angkak terbuat dari beras mengandung pati, sesuai dengan
42
pendapat Yoni (2015) angkak yang terbuat dari beras mengandung pati yang cukup
tinggi dan mempunyai sifat mengikat air. Angkak yang memiliki sifat mengikat air
menyebabkan kandungan air yang susut didalam kornet daging sapi tidak
signifikan. Faktor lain yang menyebabkan nilai susut masak tidak berbeda nyata
adalah penambahan tepung tapioka pada pembuatan kornet daging sapi, hal ini
sesuai dengan pendapat Sudjatinah dan Hari (2017) bahwa dengan adanya bahan
seperti tepung tapioka selama proses pengolahan maka sifat mengikat air tersebut
sudah dilakukan oleh tepung tapioka, oleh karena itu dengan adanya kandungan
pati angkak dan tepung tapioka pada produk menyebabkan air yang terserap sulit
untuk susut.
Besarnya susut masak dapat dipergunakan untuk mengestimasikan jumlah
jus dalam daging masak, daging dengan susut masak yang lebih rendah mempunyai
kualitas yang relatif lebih baik dibandingkan daging dengan susut masak yang lebih
besar karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit (Soeparno,
2009).
4.1.3. Pengaruh Perlakuan Terhadap Intensitas Warna Kornet Daging Sapi
Pengujian intensitas warna dilakukan untuk mengukur kepekatan warna
pada produk sehingga menghasilkan warna yang paling diinginkan oleh konsumen
(Hutching, 1999). Hasil penelitian terhadap intensitas warna kornet daging sapi
dapat dilihat pada Tabel 11.
43
Tabel 11. Pengaruh Perlakuan Terhadap Intensitas Warna Kornet Daging
Sapi
Ulangan Perlakuan
P0 P1 P2 P3 P4
----------------------------------------%----------------------------------------
1 3,68 20,53 20,79 20,32 20,85
2 3,98 25,67 21,23 20,01 22,94
3 4,00 22,15 21,57 21,81 20,36
4 3,92 22,16 20,51 21,62 21,20
Rata-Rata 3,89 22,62 21,02 20,94 21,33
Berdasarkan data pada Tabel 11 rata-rata intensitas warna pada kornet
daging sapi berkisar antara 3,89% -22,62%, dengan rata-rata tertinggi berasal dari
penambahan bubuk angkak sebanyak 1% (P1) dan rata-rata terendah berasal dari
penambahan natrium nitrit (P0). Hasil analisis sidik ragam pengaruh berbagai
konsentrasi angkak terhadap daya ikat air kornet daging sapi dapat dilihat pada
Lampiran 4.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian berbagai
konsentrasi angkak terhadap intensitas warna kornet daging sapi berbeda nyata
(P<0,05). Uji lanjut melalui uji jarak berganda Duncan dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan Perlakuan Terhadap Intensitas
Warna Kornet Daging Sapi
Perlakuan Rata-Rata (%) Signifikansi (0,05%)
P0 3,89 a
P3 20,94 b
P2 21,02 b
P4 21,33 b
P1 22,62 b
Keterangan: Huruf kecil yang berbeda ke arah vertikal pada kolom signifikansi
menunjukkan berbeda nyata.
44
Berdasarkan data pada Tabel 12 menunjukkan bahwa rata-rata intensitas
warna pada kornet daging sapi tertinggi (22,62%) yaitu pada perlakuan P1 berbeda
nyata (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan P0, namun tidak berbeda nyata
dibandingkan dengan perlakuan P4, P2, dan dengan perlakuan P3. Hal ini
menandakan bahwa angkak berpengaruh terhadap meningkatnya nilai intensitas
warna kornet daging sapi, karena angkak memiliki pigmen alami yang dapat
memberi warna pada suatu produk. Hal ini sesuai dengan pendapat Chulyoung, dkk.
(2006) bahwa, pigmen warna yang terdiri atas monaskin (C21H26O5) dan ankaflavin
(C23H30O5) sebagai pemberi pigmen kuning, monaskorubrin (C23H30O5) dan
rubropunctatin (C21H22O5) sebagai pemberi pigmen jingga, serta
monaskorubramin (C23H27NO4) dan rubropunctamin (C21H23NO4) sebagai pemberi
pigmen merah, yang merupakan senyawa-senyawa poliketida.
Penambahan konsentrasi bubuk angkak yang lebih dari 1% tidak diikuti
dengan peningkatan intensitas warna kornet daging sapi yang nyata. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor seperti suhu pemasakan yang tidak stabil di 100oC,
sesuai dengan pendapat Mitrajanty (1994) bahwa, kestabilan zat warna angkak
dapat dipengaruhi oleh suhu, lama pemanasan, cahaya matahari, pH, reduktor, dan
oksidator. Menurut Sutrisno (1987) stabilitas pigmen angkak dipengaruhi oleh
beberapa faktor, seperti sinar matahari, sinar ultraviolet, pH, suhu, dan oksidator.
Pengaruh suhu akan mengakibatkan zat warna mengalami dekomposisi dan
berubah strukturnya sehingga dapat terjadi pemucatan.
Polinomial orthogonal digunakan untuk mengetahui hubungan fungsional
antara respon dan taraf perlakuan kuantitatif. Berdasarkan ilustrasi 6, dapat dilihat
bahwa pengaruh tertinggi dihasilkan dari penambahan bubuk angkak sebanyak 1%
(P1) dan pengaruh terendah dihasilkan dari penambahan natrium nitrit 1,25% (P0).
45
Ilustrasi 6. Grafik Analisis Konsentrasi Angkak Terhadap Intensitas Warna (%)
Uji Polinomial Orthogonal menunjukkan bahwa pengaruh konsentrasi
angkak terhadap intensitas warna kornet daging sapi mengikuti persamaan regresi
kuartik y = -4,084X4 + 27,208X3 – 63,246X2 + 58,854X + 3,895 dengan koefisien
determinasi R² = 0,9793 (Ilustrasi 6) yang menunjukkan bahwa ragam dari berbagai
konsentrasi angkak 97,93% mempengaruhi nilai intensitas warna pada kornet daging sapi,
sisanya dipengaruhi oleh faktor lain. Menurut Sugiyono (2014) analisis koefisien
determinasi (R2) digunakan untuk mengetahui seberapa besar persentase hubungan
variabel independen secara bersamaan terhadap variabel dependen. Nilai R2
dikatakan baik jika diatas 0,5 karena nilai R2 berkisar antara 0 sampai 1. Pigmen
angkak memiliki warna yang konsisten dan stabil, dapat bercampur dengan pigmen
alami lainnya dan dengan bahan makanan, tidak mengandung racun dan tidak
karsinogen (Tisnadjaja, 2006).
y = -4,084x4 + 27,208x3 - 63,246x2 + 58,854x + 3,895
R² = 0,9793
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3
Inte
nsi
tas
War
na
(%)
Konsentrasi Angkak (%)
46
4.2. Pengaruh Perlakuan Terhadap Organoleptik Kornet Daging Sapi
4.2.1. Pengaruh Perlakuan Terhadap Warna Kornet Daging Sapi
Hasil penelitian terhadap warna kornet daging sapi dapat dilihat pada Tabel
13.
Tabel 13. Pengaruh Perlakuan Terhadap Warna Kornet Daging Sapi
Perlakuan Skala Numerik Skala Hedonik Signifikansi
(0,05%)
P0 3,65 Biasa Saja a
P2 2,75 Agak Suka b
P3 2,05 Agak Suka c
P1 1,60 Suka d
P4 1,60 Suka d
Keterangan: Huruf kecil yang berbeda ke arah vertikal pada kolom signifikansi
menunjukkan berbeda nyata.
Hasil uji Kruskal Wallis (Lampiran 5) menunjukkan bahwa perlakuan
memberikan pengaruh terhadap warna kornet. Uji lanjut melalui uji Mann-Whitney
(Tabel 13) menunjukkan perlakuan P4 (2,5%) berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan
dengan perlakuan P3, P2 dan P0 terhadap warna kornet daging sapi, namun tidak
berbeda nyata apabila dibandingkan dengan perlakuan P1. Hal ini menunjukkan
bahwa pengaruh konsentrasi angkak terhadap warna kornet daging sapi yang paling
disukai oleh panelis adalah kornet daging sapi dengan bubuk angkak 2,5% (P4). Hal
ini disebabkan karena semakin tinggi konsentrasi bubuk angkak yang diberikan
maka semakin tinggi tingkat warna merah yang dihasilkan, hal ini sesuai dengan
pendapat Yoni (2015) yaitu, semakin banyak konsentrasi angkak yang digunakan,
maka semakin bertambah pula jumlah kromofor dan ausokrom yang ada sehingga
warna merah yang terbentuk semakin besar nilainya.
Menurut Dianingtyas (2001) pigmen angkak mempunyai kromofor dan
ausokrom, yaitu =C=O sebagai kromofor dan -NH2 sebagai ausokrom yang dimiliki
47
rubropunctatin dan monaskorubramin, asam amino dalam daging akan bereaksi
dengan kromofor membentuk bahan pewarna, dengan adanya ausokrom maka
bahan pewarna alami tersebut akan menempel pada produk Menurut Sutrisno
(1987) stabilitas pigmen angkak dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti sinar
matahari, sinar ultraviolet, pH, suhu, dan oksidator. Pengaruh suhu akan
mengakibatkan zat warna mengalami dekomposisi dan berubah strukturnya
sehingga dapat terjadi pemucatan.
Perlakuan P4 yang tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan perlakuan P1
disebabkan karena panelis rata-rata lebih menyukai warna merah yang dihasilkan
menyerupai dengan warna merah pada produk kornet daging sapi yang sudah umum
dijual pasaran yaitu merah tua keunguan. Hal ini sependapat dengan pernyataan
dari Wahyuni dan Setiyono (2012) yaitu, pemberian warna pada umumnya
diselaraskan dengan warna alami bahan makanan, pada kornet daging sapi warna
yang dihasilkan hendaknya sesuai dengan warna daging sapi yaitu merah keunguan.
Hasil warna kornet daging sapi dengan berbagai konsentrasi angkak dapat dilihat
pada Ilustrasi 7.
Ilustrasi 7. Warna Kornet Daging Sapi dengan Berbagai
Konsentrasi Angkak
P1
P2
P0
P3
P4
48
Diantara sifat-sifat produk pangan yang paling menarik perhatian pada
konsumen dan paling cepat pula memberi kesan disukai atau tidak adalah warna
(Soekarto, 1985). Suatu produk makanan yang dinilai bergizi, enak dan tekstur yang
sangat baik tidak akan dimakan apabila memiliki warna yang tidak sedap dipandang
mata atau memberikan kesan yang menyimpang dari warna yang seharusnya
(Winarno, 2004).
4.2.2. Pengaruh Perlakuan Terhadap Rasa Kornet Daging Sapi
Hasil penelitian terhadap rasa kornet daging sapi dapat dilihat pada Tabel
14.
Tabel 14. Pengaruh Perlakuan Terhadap Rasa Kornet Daging Sapi
Perlakuan Skala Numerik Skala Hedonik Signifikansi
(0,05%)
P0 2,50 Agak Suka a
P2 2,20 Agak Suka a
P3 1,95 Suka ab
P4 1,70 Suka b
P1 1,50 Suka b
Keterangan: Huruf kecil yang berbeda ke arah vertikal pada kolom signifikansi
menunjukkan berbeda nyata
Hasil uji Kruskal Wallis (Lampiran 6) menunjukkan bahwa perlakuan
memberikan pengaruh terhadap rasa kornet. Uji lanjut melalui uji Mann-Whitney
(Tabel 14) menunjukkan perlakuan P1 (1%) berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan
dengan perlakuan P0 dan P2, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan P4 dan
P3. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh konsentrasi angkak terhadap rasa kornet
daging sapi yang yang paling disukai oleh panelis adalah kornet daging sapi dengan
bubuk angkak 1% (P1). Hal ini disebabkan karena dengan pemberian bubuk angkak
menghasilkan cita rasa yang khas pada kornet daging sapi, sesuai dengan percobaan
49
yang dilakukan di German Meat Research Institute dengan sejumlah panelis
penguji rasa (taster panel) mengungkapkan bahwa daging yang mengandung
angkak terasa lebih enak dibandingkan yang diolah tanpa penambahan angkak,
kemampuan angkak dalam meningkatkan cita rasa makanan terkait dengan
kandungan oligopeptidanya (Yoni, 2015).
Hasil penelitian Wahyuni dan Setiyono (2012), bahwa penambahan angkak
berpengaruh sangat nyata terhadap sosis sapi, skor rasa meningkat seiring
meningkatnya level angkak yang ditambahkan kedalam sosis sapi, skor rasa
terendah diperoleh pada sosis tanpa penambahan angkak sebagai kontrol. Rasa
angkak yang pahit tidak mempengaruhi rasa asli dari kornet daging sapi, karena
menurut Soeparno (2005) rasa daging masak banyak ditentukan oleh prekursor-
prekursor yang larut dalam air dan lemak, selain itu proses pengolahan dan lama
penyimpanan serta lama dan temperatur masakan. Perlakuan P0 atau perlakuan
dengan penggunaan natrium nitrit 1,25% tidak memberikan pengaruh terhadap rasa
kornet daging sapi. Hal ini sesuai dengan hasil uji coba yang dilakukan oleh
Pangesthi, dkk. (2012) yaitu, penggunaan natrium nitrat dan natrium nitrit secara
terpisah baru akan merubah warna, aroma dan rasa daging khas kornet pada jumlah
diatas 250 ppm.
4.2.3. Pengaruh Perlakuan Terhadap Aroma Kornet Daging Sapi
Hasil penelitian terhadap aroma kornet daging sapi dapat dilihat pada Tabel
15.
50
Tabel 15. Pengaruh Perlakuan Terhadap Aroma Kornet Daging Sapi
Perlakuan Skala Numerik Skala Hedonik Signifikansi
(0,05%)
P0 2,35 Suka a
P2 2,10 Suka a
P4 2,00 Suka a
P3 2,00 Suka a
P1 1,70 Suka a
Keterangan: Huruf kecil yang berbeda ke arah vertikal pada kolom signifikansi
menunjukkan berbeda nyata
Hasil uji Kruskal Wallis (Lampiran 7) menunjukkan bahwa perlakuan tidak
memberikan pengaruh terhadap aroma kornet. Uji lanjut melalui uji Mann-Whitney
(Tabel 15) menunjukkan perlakuan P1 tidak berbeda nyata (P>0,05) dibandingkan
dengan perlakuan P0, P2, P3 dan P4 terhadap aroma kornet daging sapi. Menurut
hasil uji coba yang dilakukan oleh Pangesthi, dkk. (2012) yaitu, penggunaan
natrium nitrat dan natrium nitrit secara terpisah baru akan merubah warna, aroma
dan rasa daging khas kornet pada jumlah diatas 250 ppm. Skala hedonik aroma pada
perlakuan P1, P3, P4 dan P2 lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan P0, menurut
Indrawati, dkk. (2010) hal tersebut disebabkan karena penambahan angkak dapat
meningkatkan aroma dari agak sedap mendekati sedap, karena angkak memiliki
aroma seperti karamel sehingga dapat meningkatkan aroma produk makanan.
4.2.4. Pengaruh Perlakuan Terhadap Tekstur Kornet Daging Sapi
Hasil penelitian terhadap tekstur kornet daging sapi dapat dilihat pada Tabel
16.
51
Tabel 16. Pengaruh Perlakuan Terhadap Tekstur Kornet Daging Sapi
Perlakuan Skala Numerik Skala Hedonik Signifikansi
(0,05%)
P0 2,80 Agak Suka a
P2 2,25 Agak Suka ab
P3 1,90 Suka bc
P4 1,85 Suka bc
P1 1,55 Suka c
Keterangan: Huruf kecil yang berbeda ke arah vertikal pada kolom signifikansi
menunjukkan berbeda nyata.
Hasil uji Kruskal Wallis (Lampiran 8) menunjukkan bahwa perlakuan
memberikan pengaruh terhadap tekstur kornet. Uji lanjut melalui uji Mann-
Whitney (Tabel 16) menunjukkan tekstur kornet yang paling disukai panelis pada
perlakuan angkak P1 (1%) nyata berbeda (P<0,5) dibandingkan dengan perlakuan
lainnya, kecuali dengan perlakuan angkak P3 (2%) dan P4 (2,5%). Skala hedonik
pada perlakuan P1, P4, P3 dan P2 lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan P0, hal
ini disebabkan nilai daya ikat air kornet daging sapi yang tinggi menyebabkan
jumlah air yang hilang sedikit. Menurut Yoni (2015) angkak yang terbuat dari beras
mengandung pati yang cukup tinggi dan mempunyai sifat mengikat air. Menurut
Rompis (1998), daya mengikat air yang tinggi menyebabkan sedikit saja air yang
hilang selama pemasakan sehingga menyebabkan tekstur menjadi lebih kenyal.
Menurut Sudjatinah dan Hari (2017) dengan adanya bahan seperti tepung tapioka
selama proses pengolahan maka sifat mengikat air tersebut sudah dilakukan oleh
tepung tapioka, oleh karena itu kandungan pati angkak yang cukup tinggi atau
melebihi batas karena pencampuran dari tepung tapioka dan angkak menyebabkan
air yang terserap melebihi kapasitas sehingga teksturnya dapat menjadi lebih
empuk.
52
Kesan keempukan secara keseluruhan meliputi tekstur dan melibatkan tiga
aspek, (1) kemudahan awal penetrasi gigi ke dalam daging, (2) mudahnya daging
dikunyah menjadi fragmen atau potongan-potongan yang lebih kecil, dan (3)
jumlah residu yang tertinggal setelah pengunyahan (Bratzler, 1971). Faktor yang
mempengaruhi keempukan daging digolongkan menjadi faktor antemortem (seperti
genetik termasuk bangsa, spesies dan fisiologi, faktor umur, manajemen,, jenis
kelamin, dan stres) dan faktor postmortem (meliputi metode chilling, refrigerasi,
pelayuan dan pembekuan), termasuk faktor lama dan temperatur penyimpanan, dan
metode pengolahan, termasuk metode pemasakan dan penambahan bahan
pengempuk (Soeparno, 2005).
4.2.5. Pengaruh Perlakuan Terhadap Total Penerimaan Kornet Daging Sapi
Hasil penelitian terhadap total penerimaan kornet daging sapi dapat dilihat
pada Tabel 17.
Tabel 17. Pengaruh Perlakuan Terhadap Total Penerimaan Kornet
Daging Sapi
Perlakuan Skala Numerik Skala Hedonik Signifikansi
(0,05%)
P0 2,85 Agak Suka a
P2 2,30 Agak Suka ab
P3 1,95 Suka bc
P4 1,65 Suka cd
P1 1,45 Suka d
Keterangan: Huruf kecil yang berbeda ke arah vertikal pada kolom signifikansi
menunjukkan berbeda nyata.
Hasil uji Kruskal Wallis (Lampiran 9) menunjukkan bahwa perlakuan
memberikan pengaruh terhadap total penerimaan kornet. Uji lanjut melalui uji
Mann-Whitney (Tabel 17) menunjukkan kornet yang paling disukai panelis pada
perlakuan angkak P1 (1%) nyata berbeda (P<0,5) dibandingkan perlakuan lainnya,
53
kecuali dengan perlakuan angkak P4 (2,5%). Perlakuan yang berbeda nyata diduga
karena perbedaan yang tidak nyata hanya pada uji aroma. Hal ini menunjukkan
bahwa pengaruh konsentrasi angkak terhadap total penerimaan kornet daging sapi
yang yang paling disukai oleh panelis adalah kornet daging sapi dengan bubuk
angkak 1% (P1). Hal ini disebabkan karena pada pengujian organoleptik paling
disukai pada pemberian konsentrasi bubuk angkak 1% terhadap rasa (1,50%), pada
pemberian konsentrasi bubuk angkak 1% terhadap aroma (1,70%), dan pada
pemberian konsentrasi angkak 1% terhadap tekstur (1,55%) kornet daging sapi.
Menurut Soewarno (1985) total penerimaan merupakan pertimbangan terakhir
konsumen dalam menerima suatu produk baru, tanggapan senang atau suka bersifat
pribadi.