Post on 02-Feb-2022
0
Membangun Ketahanan Pangan
Indonesia di tengah Pandemi COVID-
19 Komisi Pangan PPI Dunia, PPI Brief No. 13 / 2020
Penulis: Bayu Rizky Pratama
1
RINGKASAN EKSEKUTIF
• Pandemi COVID-19, efeknya akan sangat bervariasi terhadap berbagai sektor
perekonomian. Hasil kajian dari beberapa lembaga menyatakan bahwa sektor pertanian
akan terkena dampak dari adanya pandemi COVID-19. Hal ini terjadi karena adanya
pembatasan sosial sehingga terdapat resiko disrupsi rantai penawaran dan terpuruknya
permintaan.
• Sektor pertanian merupakan sektor penopang ketahanan pangan dan kebutuhan nutrisi
yang sangat krusial di saat krisis ekonomi global ketika terjadi pandemi. Namun, krisis
saat pandemi ini juga merupakan kesempatan untuk merevitalisasi sektor pertanian
secara keseluruhan.
• Pemerintah perlu menyiapkan langkah taktis yang fundamental, seperti memberikan
dukungan penuh terhadap industri pertanian dan pangan, memantau dan mengatur
harga serta distribusi hasil pertanian, membangun jaringan dengan lembaga terkait,
internasional agensi (NGO), dan komunitas lokal pertanian.
Pendahuluan
Sejak kemunculannya pertama kali di Wuhan pada tanggal 31 Desember 2019, pandemi
COVID-19 kini sudah menjadi masalah global yang mempengaruhi kehidupan manusia dan
semua komponennya. Dari kejadian pandemi di masa lalu telah menunjukkan bahwa wabah
virus dapat berdampak pada aktivitas manusia dan pertumbuhan ekonomi. Efek dari pandemi
tersebut juga berdampak pada sektor pertanian, dimana ketika terjadi wabah menular seperti
pandemi COVID-19 terjadi peningkatan kelaparan dan kekurangan gizi. Situasi ini semakin
memburuk akibat adanya pembatasan sosial, kekurangan tenaga kerja pada sektor pertanian
dan sulitnya petani menjual hasil mereka ke pasar.
Pertanian adalah salah satu sektor terpenting dalam pembangunan manusia dan terkait dengan
ketahanan pangan dan kebutuhan nutrisi. Organisasi pangan dan pertanian dunia (WHO)
menyatakan bahwa pandemi COVID-19 mempengaruhi sektor pertanian dalam dua aspek
penting, yaitu rantai pasokan dan permintaan pangan. Kedua aspek ini terkait langsung dengan
ketahanan pangan dan kebutuhan nutrisi masyarakat, sehingga pandemi COVID-19 secara
langsung berdampak terhadap ketahanan pangan.
2
Produksi dan Konsumsi di Sektor Pangan
Peran petani pada masa pandemi COVID-19 saat ini sangatlah penting. Petani merupakan
produsen utama dalam rantai pasok makanan yang harus mendapatkan perhatian. Pada masa
pandemi COVID-19 seluruh negara di dunia berusaha memenuhi kebutuhan pangan
domestiknya sendiri karena jalur perdagangan internasional terganggu semenjak wabah
COVID-19 menyebar luas. Produksi dalam negeri dapat menjadi tumpuan utama dalam
menghadapi wabah COVID-19, termasuk Indonesia. Kebutuhan produksi pertanian seperti alat
mesin, suplai benih dan pupuk, serta faktor pendukung produksi lainnya perlu mendapatkan
perhatian khusus dari pemerintah.
Diperlukan perencanaan yang signifikan untuk membuat kebijakan yang mendukung
terjadinya peningkatan produksi pertanian. Perlu kita ingat bahwa mayoritas petani di
Indonesia adalah petani kecil dengan kepemilikan lahan dibawah 1 hektar. Perhatian dan
bantuan dari pemerintah diperlukan untuk meningkatkan kapasitas kinerja produksi para petani
sehingga ketersediaan pangan dapat tercukupi. Selain itu juga diperlukan kebijakan yang
mengatur protokol produksi pertanian yang dapat melindungi petani dari wabah COVID-19
sehingga kualitas dan keamanan pangan terbebas dari COVID-19.
Perlu adanya pengawasan yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian dan lembaga terkait
untuk memastikan proses produksi berjalan dengan baik menggunakan protokol produksi yang
menjaga kualitas dan keamanan pangan.
Tingkat Kerawanan Ketahanan Pangan Indonesia
Kebutuhan konsumsi pangan dunia tentu dengan mengalami guncangan setelah adanya
pandemi yang menghantam sangat cepat. Tentu perlu respon cepat dalam menanggapi
perubahan drastis akibat pandemi COVID-19 ini, terlebih dengan adanya resiko kerawanan
pangan dunia, termasuk yang juga berimbas ke Indonesia.
Dengan adanya pandemi, struktur distribusi pangan secara otomatis akan banyak mengalami
perubahan, dengan kebutuhan konsumsi yang diprediksi akan tetap sama. Penyaluran produksi
pangan tidak akan berjalan dengan normal, terlebih dengan banyaknya pembatasan sosial
berskala besar (PSBB) yang dilakukan dari beberapa daerah di Indonesia. Pemerintah, baik
pusat maupun daerah perlu memperhatikan dampak dari adanya banyak pembatasan sosial
(PSBB) seperti ini, karena secara langsung akan berdampak pada tingkat distribusi arus produk
3
pertanian, sedangkan dalam jangka waktu menengah dan panjang, akan menimbulkan krisis
pangan apabila tidak ditangani secara cepat dan tepat.
Salah satu komoditas pangan utama yang mengalami dampak hebat di awal pandemi adalah
daging ayam dengan adanya penurunan harga yang sangat jauh di bawah harga pokok produksi
(HPP) ternak ayam. Sejak awal pandemi, April 2020, peternak ayam mulai mengalami tingkat
kejatuhan harga ayam hingga level 4000-5000 rupiah/ kg daging ayam, padahal HPP produksi
adalah sekitar 17.000 rupiah (cnnindonesia.com, 2020). Padahal harga di tingkat konsumen
masih pada kisaran 30.000 rupiah. Kg (kompas.com, 2020). Hal ini bisa terjadi akibat dari tidak
lancarnya jalur distribusi produk pertanian Indonesia, yang menuntut masyarakat untuk tidak
dapat mengakses sentra-sentra penjualan produk pertanian, seperti pasar, mall, dan tempat
perbelanjaan produk pertanian. Oleh karena itu, secara otomatis pengusaha pasar akan
mengurangi stok ayam secara drastis, sedangkan di sisi lain, produksi peternak ayam nasional
dalam jumlah yang tetap, sehingga menimbulkan cut-off supply besar-besaran dari peternak
ayam.
Hal ini tentu akan menimbulkan guncangan bahan pangan utama masyarakat dalam jangka
pendek, yang diakibatkan karena arus modal peternak yang tidak akan cukup untuk memulai
kembali putaran budidaya selanjutnya. Finance detik (2020) mencatat apabila kondisi ini terus
berlanjut, maka akan terdapat 12 juta karyawan peternak akan mengalami PHK secara besar-
besaran akibat dari bangkrutnya peternak ayam rakyat di Indonesia.
Dari satu komoditas pangan utama ayam ini, seharusnya pemerintah dapat mengantisipasi lebih
jauh mengenai cara penyaluran bahan pangan nasional, di sisi lain pemerintah juga harus
waspada jumlah stok pangan utama konsumsi masyarakat, terutama berkaitan dengan
komoditas utama lainnya yang jauh lebih dibutuhkan sebagai bahan pokok konsumsi
Indonesia.
Beberapa komoditas lainnya yang juga dikhawatirkan mengalami kerawanan adalah komoditas
beras nasional. Kekhawatiran ini timbul karena komoditas beras nasional Indonesia memiliki
kebutuhan pasar yang begitu besar, sedangkan dari sisi produksi Indonesia masih memiliki
kecenderungan import beras. Berbeda dengan komoditas ayam yang memiliki kecenderungan
produksi stabil, dengan dukungan peternak rakyat dan peternak perusahaan besar hasil dari
foreign direct invesment (FDI), sehigga tingkat produksi masih bisa memenuhi kebutuhan
konsumsi domestik.
4
Data BPS menyebutkan bahwa sebelum memasuki pandemi COVID-19, Indonesia sudah
mengalami penurunan produksi padi nasional, dari 2018 ke 2019, produksi padi telah
mengalami penurunan cukup signifikan. Berikut disajikan data nasional produksi padi
nasional.
Gambar 1 Produksi beras nasional
Sumber: BPS (2020)
Gambar 1 (Continued)
Sumber: BPS (2020)
5
Berdasarkan data tersebut, penurunan lebih disebabkan karena adanya (1) degradasi lahan
produksi pertanian dan (2) berkurangnya produktivitas per produksi padi nasional. Hal tersebut
memberikan alarm bagi pemerintah bahkan sebelum terjadinya pandemi COVID-19, terlebih
dari data tersebut, beberepa daerah produsen utama padi nasional yakni (1) Jawa Tengah
dengan total produksi 9, 655 juta ton padi, (2) Jawa Timur dengan 9,580 juta ton, (3) Jawa
Barat dengan produksi 9,084 juta ton, dan (4) Sulawesi Selatan dengan total produksi padi
mencapai 5,054 juta ton. Daerah-daerah sentra produksi padi nasional ini merupakan daerah
yang termasuk tingkat penyebaran COVID-19 tertinggi di Indonesia, yang mana banyak sekali
diberlakukan PSBB secara berulang, belum lagi resiko petani-petani pangan utama di daerah
tersebut yang terserang COVID-19 akibat dari interkasi intens petani dengan multi aktor
pertanian seperti, supplier pupuk, tengkulak, dan penyedia saprotan pertanian. Terlebih lagi
adanya fakta bahwa kebanyakan petani Indonesia adalah petani yang sudah memasuki usia
non-produktif / tua, yang tentu sangat rawan sekali untuk terjangkit COVID-19.
Waspada Kemacetan Saluran Distribusi Produksi dan Input Factor
Pertanian
Dengn adanya data yang telah disebutkan, menjadikan pertanian Indonesia di ambang alarm
kerawanan yang perlu benar-benar diawasi secara intensif oleh pemerintah, baik pusat maupun
daerah. Saluran distribusi mulai dari input pertanian hingga output hasil produksi menjadi
faktor yang perlu difasilitasi oleh pemerintah. Satu saja input yang tersendat akibat dari PSBB
atau pembatasan lainnya, akan menimbulkan guncangan produksi secara masif.
Sebagai catatan, petani saat ini sangat bergantung kepada input pertanian seperti pupuk dan
pestisida dalam menjalankan produksi pertanian. Sehingga, apabila input pertanian ini tidak
dapat tersedia dengan baik, mulai dari kuantitas ataupun kecepatan penyaluran, otomatis akan
sangat menghambat produksi pertanian, terutama tanaman pangan utama termasuk padi.
Saat ini, dalam mencukupi kebutuhan pupuk nasional, pertanian Indonesia bergantung pada
produksi pupuk dari PT Pupuk Indonesia yang merupakan holding company dari produsen
pupuk nasional. Selain itu, ketersediaan pupuk nasional juga di supply dari skema impor,
berikut data impor pupuk Indonesia selama beberapa tahun (BPS, 2020).
6
Gambar 2 Impor pupuk menurut negara asal
Sumber: BPS (2020)
Berdasarkan data tersebut, supplier pupuk nasional masih bergantung kepada China sebagai
importir terbesar pupuk yang masuk ke dalam negeri. Hal ini patut menjadi kewaspadaan
pemerintah, bagaiamana skema pemenuhan kebutuhan pupuk nasional, terlebih dengan adanya
pembatasan arus barang masuk ke dalam negeri terutama yang berasal dari China. Di sisi lain,
China pun telah memberlakukan skema lockdown ketat guna mengurangi kasus COVID-19
yang terjadi, yang tentunya memiliki konsekuensi adanya shift work atau bahkan factory
lockdown, sehingga total produksi pupuk tentu akan sangat berpengaruh.
Politik Perdagangan Komoditas Jadi Ancaman Krisis Pangan Indonesia
Adanya kasus COVID-19 yang menjangkit hampir seluruh negara di dunia mengakibatkan
banyak negara telah melakukan lockdown sangat ketat sebagai proteksi kesehatan dalam negeri
masing-masing negara. Dengan mengutamakan kebutuhan dalam negeri masing-masing
negara, tentu otomatis akan membangkitkan alarm masing-masing negara untuk
memprioritaskan kebutuhan domestik, mulai dari proteksi kesehatan, keamanan pangan,
hingga safety net sosial dan ekonomi.
Dengan kondisi seperti ini, maka akan berimbas pada perubahan drastis politik dagang masing-
masing negara. Keyakinan untuk mengamankan kebutuhan domestik akan membuat negara
7
tidak lagi memprioritaskan pemulihan hasil ekspor, melainkan bagaimana melindungi stock
dan kebutuhan dasar masing-masing negara, termasuk diantaranya adalah keamanan pangan.
Oleh karena itu, hal inilah yang dikhawatirkan oleh sejumlah negara di dunia, terutama negara
yang bergantung pada import komoditas pangan.
Untuk kawasan dunia, Rusia, Kazakhstan, dan Ukraina telah mengumumkan pembatasan
ekspor gandum (indopremier.com), padahal negara-negara ini adalah sebagai pengekspor
utama gandum untuk kawasan eropa. Sedangkan untuk wilayan Asia, kekhawatiran timbul
dengan adanya penangguhan kebijakan ekspor dari Vietnam selaku salah satu penyuplai beras
terbesar dunia, utamanya untuk kawasan Asia, dengan alasan untuk melindungi pasokan dalam
negeri di tengah kekeringan yang mengancam produksi domestik. Sementara produsen beras
terbesar dunia, yakni China dan India, sedang mengalami masalah besar kasus COVID-19 yang
merebak sangat massive sehingga otomatis akan sangat mempengaruhi jumlah produksi beras.
Terlebih China dengan kebutuhan konsumsi untuk 1.4 milyar warga negaranya, maka China
telah merilis komitmen untuk tidak akan banyak melakukan impor ataupun ekspor, tetapi ingin
memastikan akan dapat menjaga cadangan berasnya, hingga dapat kembali memulihkan
kondisi ekonomi domestiknya setelah ganguan COVID-19.
Disisi lain, ada hal yang perlu diwaspadai dari perubahan politik dagang komoditas pangan ini.
Dengan adanya kenaikan permintaan kebutuhan pangan dunia, tentu akan membentuk harga
pangan dunia menjadi naik. Apabila tidak dikontrol dengan waspada maka hal ini akan kembali
menjadikan harga pangan – dalam hal ini beras—akan menjadi sangat tidak stabil sama seperti
krisis 2008 ketika harga per ton beras mencapai USD1000/ton. Untuk saat ini, harga beras
mencapai USD510 per ton yang diukur dari harga jual beras putih Thailand sebagai patokan
ekspor Asia. Harga ini merupakan harga tertinggi sejak 2013, yang mencerminkan bahwa
pangan mulai menjadi urgensi masing-masing negara, sehingga meningkatkan harga secara
perlahan akibat dari peningkatan demand yang mulai mendesak. Hal itu belum lagi berbicara
mengenai politik dagang khusus yang bisa saja dilakukan negara-negara peng-import utama
pangan, beras, seperti Philipina telah mengalokasikan lebih dari USD600 juta untuk
mengamankan kebutuhan domestiknya dengan membeli 300.000 ton beras dari negara-negara
produsen utama.
FAO menyebut bahwa negara-negara akan menjual kelimpahan stok berasnya dengan sangat
berhati-hati. Semua negara hanya ingin memastikan bahwa mereka memiliki cukup persediaan
pangan untuk diri mereka sendiri, demi keamanan pangan domestik (indopremier.com, 2020).
8
Dengan berbagai hal tersebut, politik dagang Indonesia harus segera merespon dengan cepat,
apakah ketersediaan dalam negeri akan mampu memenuhi kebutuhan nasional, tidak hanya
dalam jangka pendek 3-6 bulan, melainkan stok kecukupan beras untuk kurun waktu jangka
menengah 1-2 tahun. Hal ini perlu dilakukan, mengingat kasus COVID-19 yang terjadi di
Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda perlambatan dan bahkan masih stabil di angka
ratusan per harinya. Sehingga masih akan menghambat produksi dan distribusi komoditas-
komoditas penting nasional.
Stok Beras Nasional, Kerawanan Musim Kering Panjang, dan Panic
Buying
Keterjaminan stok beras nasional menjadi urgensi utama dalam isu kerawanan pangan dunia.
Oleh sebab itu, pemerintah melakukan berbagai langkah pencegahan agar dapat mengantisipasi
kekurangan pangan domestik. Saat ini, stok beras nasional dikatakan aman, dengan jumlah
cadangan beras pemerintah (CBP) berada dikisaran 1-1.5 juta ton (indonesia.go.id, 2020).
Dısisi lain, BULOG juga mengklaim bahwa mereka telah memiliki cadangan beras sebesar 1.6
juta ton, yang menjamin kemaman beras nasional selama masa penanganan COVID-19
(pasardana.id, 2020).
Namun, yang jadi persoalan adalah memasuki musim kering, tentu akan banyak kendala yang
dapat menghambat produksi beras nasional, sedangkan disisi lain permintaan beras akan
semakin meningkat, belum lagi apabila terjadi panic buying akibat adanya Gelombang II
COVID-19 dengan kasus meninggal yang melonjak drastis. Tentu hal ini sangat tidak
diharapkan, namun, merujuk dari banyak kasus di negara dunia, seperti China dan kawasan
lainnya, maka gelombang II COVID-19 ini harus benar-benar menjadi perhatian serius bagi
pemerintah Indonesia, terlebih dengan lamanya penanganan COVID-19 saat ini.
Panic buying disini tidak bisa dikesampingkan dan hanya menjadi variable minor, karena
justru inilah yang menjadi tanda bahwa keamanan socio-economy dalam keadaan stabil atau
tidak. Kejadian rush money 1998, dan pembelian masker secara massive pada awal terjadinya
pandemi COVID-19 ini menjadi salah satu contohnya, bagaimana panic buying menjadikan
stok langka dan harga meningkat secara luar biasa. Maka dari itu, antisipasi awal dari
pemerintah mengenai penyediaan stok beras nasional sebagai bagian dari keterjaminan
keamanan pangan menjadi prioritas untuk mengantisipasi terjadinya panic buying jilid II yang
tentunya akan benar-benar mengancam ketahanan pangan nasional dengan ketersediaan dan
penyaluran yang tidak dapat dijamin.
9
Pemerintah juga harus benar-benar mengantisipasi ancaman musim kemarau panjang yang
akan mulai berlangsung setelah bulan Juli 2020. Berdasarkan prediksi dari BMKG, 30%
wilayah-wilayah yang masuk zona musim ke depan akan mengalami kemarau yang lebih
kering dari biasanya. Oleh sebab itu, antisipasi, mitigasi harus betul-betul disiapkan sehingga
ketersediaan dan stabilitas harga bahan pangan tidak terganggu (finance.detik.com, 2020). The
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyebutkan bahwa
kekeringan akan sangat mengancam musim panen kedua di tahun 2020 ini. Apabila kekeringan
mulai terjadi, maka defisit beras nasional tidak hanya akan terjadi pada Oktober, November,
dan Desember, bahkan akan terjadi pula mulai Agustus, September yang menyebabkan
produksi bisa minus (finance.detik.com, 2020). INDEF menanmbahkan bahwa negara-negara
pengekspor beras dunia, seperti Vietnam, Thailand, dan India telah mendeklarasikan bahwa
mereka tidak akan mengekspor berasnya selama musim pandemi ini. Lebih jauh, apabila
produksi nasional hanya 1.6 juta ton, dengan konsumsi nasional mencapai 2.5 juta ton, maka
ada gap yang besar sekitar 700 ribu ton per bulan.
Dari fakta tersebut, produksi beras nasional benar-benar harus menjadi isu penting, menginat
Indonesia saat ini tidak dapat menggantungkan diri pada skema impor beras internasional.
Sehingga, mau tidak mau, pemerintah harus menyiapkan skenario penting dalam menjaga
keterjaminan stok pangan nasional, terutama selama masa pandemi di Indonesia yang masih
akan terus berlangsung, sebelum ditemukannya vaksin khusus COVID-19.
Solusi Jangka Pendek Keamanan Pangan Nasional: Keterjaminan Input
dan Mitigasi Musim Kemarau
Musim kering adalah kendala utama pangan nasional, mengingat produksi akan benar-benar
terbatas, terutama memasuki bulan Agustus dimana musim tanah sudah akan beralih ke
komoditas selain beras yang biasanya ditanam pada musim tanam I selama Januari hingga Mei,
musim hujan. Dengan ketidakpastian sampai berapa lama masa pandemi COVID-19 ini akan
berakhir, ditambah dengan respon negara-negara produsen beras dunia yang menutup keran
ekspor mereka, maka Indonesia harus melakukan pembenahan internal guna menjamin
ketahanan pangan nasional.
FAO menyebut bahwa keamanan pangan adalah tanggung jawab semua orang, sehingga
diperlukan partisipasi semua pihak untuk melakukan koordinasi lebih baik, mulai dari pihak
industri, petani, pelaku rantai pasok pangan, serta lembaga swadaya masyarakat dalam
menjamin ketersediaan dan penyaluran makanan (antaranews.com, 2020).
10
Ketahanan pangan sangat bergantung pada seberapa besar kapasitas petani untuk dapat
memproduksi tanaman pangan, utamanya beras sebagai pangan utama masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, fokus utama pemerintah juga harus menitikberatkan pada pemulihan ekonomi
petani, selain dari UMKM, yang terdampak COVID-19. Oleh karena itu, perlu adanya jaminan
bahwa petani akan mendapatkan input factor pertanian yang memadahi, dari segi kuantitas dan
kualitas, serta harga yang telah tersubsidi dengan cepat. Mulai dari benih, pupuk, pestisida,
hingga alutsista pertanian perlu di-support oleh pemerintah. Sehingga, kecepatan waktu tanam,
serta proses pemanenan akan dapat dikontrol dengan baik dan sistematis.
Selain itu, sarana seperti penyediaan waduk dan juga sumur-sumur disekitar wilayah tanam,
akan sangat membantu petani untuk dapat terus menanam padi, mengingat padi membutuhkan
air dengan intensitas banyak, sehingga hanya cocok dilakukan pada musim hujan. Namun,
dengan adanya sumber air yang bisa dimanipulasi dengan pembangunan waduk dan sumur-
sumur serapan air, maka proses penanaman padi dapat terus dilakukan dalam jangka pendek
selama musim pandemi COVID-19, dengan sokongan pupuk nitrogen yang diberikan kepada
petani.
DAFTAR PUSTAKA
Harga Ayam Jatuh, Berdikari Usul Ayam Potong Masuk Bansos. In cnnindonesia (online).
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200421101928-92-495543/harga-ayam-
jatuh-berdikari-usul-ayam-potong-masuk-bansos. April, 2020.
Wabah Corona dan Ancaman Kebangkrutan Peternak Ayam di Indonesia. In kompas.com
(online). https://regional.kompas.com/read/2020/04/17/12320021/wabah-corona-dan-
ancaman-kebangkrutan-peternak-ayam-di-indonesia. April 17, 2020.
12 Juta Pegawai Peternakan Ayam Terancam PHK. In detik.com (online).
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4967082/12-juta-pegawai-
peternakan-ayam-terancam-phk. April 6, 2020.
BULOG Pastikan Stok Beras Aman Selama Penanganan COVID-19. In pasardana.id (online).
https://pasardana.id/news/2020/3/17/bulog-pastikan-stok-beras-aman-selama-
penanganan-COVID-19/. Maret 17, 2020.
11
Kekhawatiran Keamanan Pangan Mulai Mengancam Ekspor Beras di Asia. In
indopremier.com (online).
https://www.indopremier.com/ipotnews/newsDetail.php?jdl=Kekhawatiran_Keamana
n_Pangan_Mulai_Mengancam_Ekspor_Beras_di_Asia&news_id=117709&group_ne
ws=IPOTNEWS&taging_subtype=PG002&name=&search=y_general&q=,&halaman
=1. April 1, 2020.
Begini Dampak Musim Kemarau di Tengah Corona. In Detik.com (online).
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5006638/begini-dampak-musim-
kemarau-di-tengah-corona. Mei 8, 2020.
FAO serukan penjaminan keamanan pangan di tengah wabah COVID-19. In antaranews.com
(online). https://www.antaranews.com/berita/1539408/fao-serukan-penjaminan-
keamanan-pangan-di-tengah-wabah-COVID-19. Juni 7, 2020.
Tentang Penulis
Bayu Rizky Pratama merupakan Lulusan Program Magister
Agricultural and Resource Economics di Kasetsart University,
Thailand dan aktif sebagai Divisi Kajian Komisi Pangan PPI
Dunia 2019/2020.