Post on 21-Oct-2014
description
Indepth Report
Konsumtivisme dan Tergusurnya Ruang Publik
di Internet
Copyleft 2011 by Yayasan Satudunia
oleh:
Firdaus Cahyadi,
Segala produksi ada disini Menggoda kita 'tuk memiliki Hari-hari kita berisi hasutan
Hingga kita tak tau diri sendiri (Iwan Fals, Mimpi yang Terbeli)
I. Konsumtivisme Digital, Uang Mengalir Sampai Jauh....
Sebuah berita di detik.com1 pada 25 November 2011. Dalam portal berita itu berjudul, “90
Orang Jadi Korban Antrean Blackberry 'Murah', 3 Patah Tulang”. Fenomena ini seakan
membanarkan sinyalemen makin kuatnya sikap konsumtif masyarakat seiring dengan
berkembangnya teknologi telematika (Telekomunikasi dan Informatika).
Kita semua tentu paham bahwa Blackberry bukanlah kebutuhan dasar, sehingga
seharusnya tidak perlu diperebutkan dalam memperolehnya. Blackberry tidak terkait dengan
hidup dan mati kita sebagai manusia. Namun, mengapa kita rela berdesak-desakan bahkan
mengorbankan diri kita demi sebuah Blackbarry?
Memang benar Blackbarry tidak ada kaitannya dengan hidup dan mati. Namun
kepemilikan Blackbarry terkait dengan gengsi. Karena desakan gengsi itu pulalah, maka tidak
memiliki Blackbarry seakan menjadi hidup ini tidak berarti.
Sebelumnya seperti ditulis oleh harianberita.com2, seorang siswi Sekolah Menengah
Umum (SMU) di Bogor, Jawa Barat, terjun ke bisnis prostitusi untuk membiayai gaya hidupnya
yang suka jalan-jalan ke mall dan berganti-ganti handphone. Di era digital ini, akses terhadap
produk-produk telematika seperti internet, handphone dan perangkat teknologi informasi lainnya
seakan menjadi gaya hidup. Munculnya gaya hidup online itu telah menjadikan sebagian dari
kita menjadi sangat konsumtif.
Sebuah survei yang dilakukan oleh aktivis FAKTA (Forum Warga Kota) Jakarta, sebuah
LSM yang mendampingi warga miskin kota Jakarta pada tahun 2010 lalu menarik disimak.
Menurut FAKTA, masyarkat miskin dampingannya mengeluarkan uang rata-rata Rp
30.000/bulan/KK untuk mengakses internet di warnet dan sebesar Rp 160.000/bulan/KK untuk
membeli voucher handphone. Jika ditotal maka sekitar Rp. 190 ribu/bulan/KK pengeluaran
warga miskin kota untuk belanja produk telematika.
Pengeluaran warga miskin kota untuk produk ICT itu ternyata hampir sama dengan
pengeluaran per KK warga miskin untuk kebutuhan minimum makanan per kapita per bulan
atau menurut Badan Pusat Statistics (BPS) dikenal dengan Garis Kemiskinan Makanan (GKM).
1 http://us.detiknews.com/read/2011/11/25/140451/1775592/10/90-orang-jadi-korban-antrean-blackberry-murah-3-
patah-tulang?n990102mainnews 2 http://www.harianberita.com/siswi-smu-bogor-pasang-tarif-rp-300-ribu.html
Pada tahun 2010 GKM di Jakarta mencapai Rp 213.487. Bahkan pengeluaran untuk belanja
produk telematika warga miskin itu telah melebihi pengeluaran kebutuhan minimum untuk
perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan atau Garis Kemiskinan Non-Makanan
(GKNM). Pada tahun 2010 GKNM di Jakarta sebesar Rp 117.682.
Sebegitu pentingkah handphone bagi kehidupan mereka hingga mereka rela berjejalan
untuk antre mendapatkan handphone murah? Benarkah kepemilikan akan handphone
merupakan kebutuhan atau sekedar gaya hidup yang telah disihir oleh korporasi di bidang
telematika sebagai kebutuhan?
Fenomena di atas mungkin menandai bahwa kita sedang memasuki era konsumtivisme
digital. Konsumtivisme adalah paham untuk hidup secara konsumtif, sehingga orang yang
konsumtif dapat dikatakan tidak lagi mempertimbangkan fungsi atau kegunaan ketika membeli
barang melainkan mempertimbangkan prestise yang melekat pada barang tersebut3.
Pertanyaan berikutnya tentu saja adalah kemana uang dari masyarkat kita yang telah
menjadi konsumen loyak produk telematika itu? Seperti tersebut di atas bahwa jumlah
pengguna ponsel meningkat pesat dan juga mayoritas pengakses internet di Indonesia juga
menggunakan ponsel dalam mengaksesnya. Sekarang mari kita lihat jumlah impor ponsel di
Indonesia dari tahun ke tahun.
Menurut data dari Asosiasi Importir Selullar Indonesia, seperti ditulis salah satu media
massa di Jakarta, menyebutkan bahwa pada tahun 2009, Indonesia mengimpor ponsel buatan
China sebanyak 6,3 juta unit, sementara dari negara lain sebanyak 4,2 juta unit. Pada tahun
2010, impor ponsel dari China sebanyak 9,6 juta unit dan dari negara lain menurun menjadi 2,4
juta unit.
Nah, bagaimana dengan bisnis operator selular di Indonesia? Menurut data dari
Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, menyebutkan bahwa hingga kuartal I tahun 2010,
pelanggan telkomsel sebanyak 88.950.000. Sementara pelanggan Indosat sebesar 39.100.000,
XL Axiata 32.924.000, Hutchinson 7.311.000 dan Natrindo 4.105.156.
Untuk melihat ada atau tidaknya potensi uang mengalir ke luar negeri, tentu kita harus
melihat komposisi dari pemegang saham lima besar operator selullar di Indonesia tersebut.
Menurut data dari Litbang KOMPAS menyebutkan bahwa kepemilikan asing dalam Telkomsel
mencapai 35 persen, Hutchinson 60 persen, Indosat 70,14 persen, XL Axiata 80 persen dan
Natrindo 95 persen.
3 http://www.indowarta.com/index.php?view=article&catid=102%3Aopini&id=310%3Abudaya-
konsumerisme&option=com_content&Itemid=333
Hal yang sama juga terjadi pada produk laptop. Dari tahun ke tahun impor laptop di
Indonesia semakin meningkat. Seperti ditulis oleh Kompas.com, sampai November 2009, nilai
impor komputer jinjing telah menembus 461 juta dollar AS. Angka ini melonjak 30,4 persen
dibandingkan impor laptop seluruh tahun 2008 yang hanya 353,4 juta dollar AS. Dari nilai impor
itu, laptop China menguasai 90,4 persen atau 416,7 juta dollar.
Coretan di dinding membuat resah Resah hati pencoret mungkin ingin tampil
Tepi lebih resah pembaca coretannya Sebab coretan di dinding adalah pemberontakan
Kucing hitam yang terpojok di tiap tempat sampah Di tiap kota . . . . . . . .
(Coretan di Dinding, Iwan Fals)
II. Apa itu Ruang Publik?
Melintas di jalan raya Sudirman, Jakarta. Melihat kanan-kiri jalan penuh dengan iklan-
iklan perusahaan. Dari iklan makanan hingga produk finansial (keuangan). Sepertinya kita
dirayu untuk membelanjakan seluruh uang kita, bukan sekedar untuk membeli produk barang
dan jasa namun juga untuk membeli produk investasi.
Melaju terus di jalan raya Jakarta. Hingga suatu saat mata kita tertuju pada sebuah
coretan-coretan tangan di dinding. Orang menyebutnya ini sebagai mural. Mural adalah lukisan
atau tulisan di dinding atau bidang datar lainnya. Tulisan itu berbunyi, “Demi Flyover, Pohon
Geme Over,”
Sumber gambar Jalan Layang Jakarta4
Tulisan mural itu sebagai wujud protes dari proyek pembangunan flyover sepanjang
Antasari-Blok M. Pembangunan jalan layang non-tol itu dinilai telah mengorbankan pohon-
pohon di kawasan itu. Mural itu seperti hendak merebut perhatian masyarakat di tengah
4 http://jalanlayangjakarta.blogspot.com/2011/02/demi-fly-over-pohon-game-over.html
berjejalnya iklan-iklan produk di sepanjang jalan Jakarta. Namun mural itu seperti minoritas di
tengah mayoritas iklan-iklan produk di sepanjang jalan Jakarta.
Fenomena di atas menunjukan pertarungan dalam memperebutkan ruang publik.
Menurut Jurgen Habermas5 bahwa ruang publik merupakan media untuk mengomunikasikan
informasi dan juga pandangan6.
Pinggir jalan raya adalah bagian fasilitas yang dibangun untuk kepentingan publik.
Pinggir jalan raya yang tersisa kini telah jadi ajang perebutan berbagai pihak untuk
mengomunikasikan informasi dan pandangannya. Pihak yang berorentasi profit, korporasi,
merebut ruang publik melalui iklan-iklannya, untuk menginformasikan produknya. Sementara,
masyarakat merebut ruang publik melalui mural, untuk tujuan sosial. Dari sekedar
mengekspresikan diri hingga bentuk protes dari berbagai kebijakan publik.
Jika pinggir jalan raya disebut ruang publik maka, ruang publik itu hanya
mengomunikasikan informasi dan pandangan dari satu pihak, atau searah. Ruang publik
lainnya, ada yang justru memfasilitasi perdebatan antar berbagai pihak tentang sebuah isu.
Ruang publik itu adalah media massa.
Namun seiring dengan berubahnya waktu, penguasaan kepemilikan media massa oleh
segelintir orang, atau lebih sering disebut sebagai konglomerasi media, mulai mengancam
ruang publik. Kenapa demikian? Karena kontrol kepemilikan media pada segelintir konglomerat
itu menyebabkan konten (isi) yang ditampilkan tidak lagi beragam. Bahkan dalam kasus tertentu
bias terhadap kepentingan pemilik media.
Amerika Serikat adalah negara yang dapat dijadikan contoh dari konglomerasi media.
Pada era tahun 1980-an hinggga pertengahan tahun 1990-an, perusahaan media massa di
Amerika Serkat terus mengalami penurunan. Tahun 1996, perusahaan media di negeri itu
hanya menyisakan lima media, yaitu Time-Warner, Viacom, News Corp., Bertelsmann Inc., dan
Disney7. Hal yang sama nampaknya juga terjadi di Indonesia, namun dengan skala yang
berbeda.
Dalam sebuah wawancara melalui Skype dengan SatuDunia8 Ketua Yayasan Pantau9
Andreas Harsono mengungkapkan sekelumit sejarah konglomerasi media massa di Indonesia.
“Konglomerasi media, dalam arti cross section10, di Indonesia muncul sejak jaman Soeharto
5 Jurgen Habermas adalah filsuf dan sosiolog Jerman dalam tradisi teori kritis dan pragmatisme Amerika. Ia mungkin
paling dikenal berkat karyanya tentang konsep ranah publik, topik dan judul dari buku pertamanya. http://sulfikar.com/teori-ruang-publik-1-ruang-publik-habermas.html 6 http://sulfikar.com/teori-ruang-publik-1-ruang-publik-habermas.html
7 https://fordiletante.wordpress.com/2008/01/29/konglomerasi-media-dalam-grup-mnc-media-nusantara-citra/
8 Wawancara via skype dilakukan 23 Juni 2011
9 Yayasan Pantau adalah sebuah lembaga yang bertujuan memperbarui jurnalisme di Indonesia
10 Media cetak, radio, televisi dan internet
dan semua terpusat di Jakarta,” ujar Andreas Harsono, “Di era Hindia Belanda dan Soekarno
memang ada media besar, tapi tidak cross section, pada waktu itu hanya koran saja,”
“Adapun aktornya, kebanyakan sama sejak Orde Baru,” katanya, “Namun ada aktor baru
dalam konglomerasi media ini setelah Orde Baru tumbang, yaitu Trans Corps”
III. Internet dan Ruang Publik yang Timpang...
Di tengah ancaman konglomerasi media terhadap ruang publik, muncul alternatif media
lain sebagai wahana untuk mengekspresikan diri, gagasan, dan pandangan. Media itu adalah
internet. Di internet sesorang bisa dengan mengungkapkan informasi dan pandangannya
melalui teks (tulisan) dan audio visual (video).
Pertumbuhan pengguna internet pun kian besar di Indonesia. Pada tahun 2011,
penetrasi pengguna internet di Indonesia telah mencapai 40-45 persen. Padahal di tahun 2010
lalu rata-rata penetrasi penggunaan Internet di kota urban Indonesia masih 30-35 persen11.
Sumber gambar: Kompas.com
Medan adalah kota dengan penetrasi pengguna internet terbesar. Namun jika
dibandingkan antara Jawa dan luar Jawa maka, penetrasi internet terbesar masih berada di
wilayah Jawa (Jakarta, Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi/Bodetabek, Bandung, Semarang dan
Surabaya). Sementara penetrasi pengguna internet di Makasar (Indonesia Timur) justru
mengalami penurunan.
Dominasi penetrasi pengguna internet di kawasan Jawa dan Sumatera sebenarnya
menjadi sebuah kewajaran, karena Jawa dan Sumatera adalah pasar potensial bagi produk-
produk telematika (telekomunikasi dan informatika). Akibatnya, infrastruktur telematika pun
terpusat di Jawa dan Sumatera.
11
http://tekno.kompas.com/read/2011/10/28/16534635/Naik.13.Juta..Pengguna.Internet.Indonesia.55.Juta.Orang
Sumber: Sumber: Muhammad Salahuddien, ID-Sirti
Ketimpangan penetrasi pengguna internet di Indonesia yang dipicu oleh ketimpangan
infrastruktur telematika itu juga berimbas pada pengguna facebook dan produksi tweet di
Indonesia. Seperti ditulis di Snapshot of Indonesia Social Media Users - Saling Silang Report
Feb 201112, menyebutkan bahwa pengguna facebook terbesar di Indonesia didominasi oleh
warga Jakarta (50,33%). Pada urutan selanjutnya Bandung (5,2%), Bogor (3,23%), Yogyakarta
(3,09%), Medan (3,04%), Makasar (2,23%) dan Surabaya (2,18%). Bandingkan dengan
pengguna Facebook di Jayapura (0,12%) dan Ternate (0,03%).
Begitu pula produksi tweet di Twitter. Tweet yang diproduksi dari Jakarta mendominasi
seluruh tweet dari Indonesia. Tweet yang diproduksi dari Jakarta sebesar 16,33%, dari
Bandung 13,79%, dari Yogyakarta 11,05%, dari Semarang 8,29% dan dari Surabaya 8,21%.
Bandingkan tweet yang diproduksi dari Palu hanya 0,71%, Ambon 0,35% dan Jayapura 0,23%.
Ketimpangan akses telematika itu menyebabkan ruang publik di internet menjadi
timpang, bias kota – kota di Jawa dan Indonesia Barat. Dengan kata lain warga di Indonesia
yang ada di luar Jawa dan Indonesia barat sulit bahkan tidak bisa mengakses ruang publik di
internet.
12
http://www.slideshare.net/salingsilang/snapshot-of-indonesia-social-media-users-saling-silang-report-feb-2011
...... Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan
Tidak mengandung perdebatan Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan
(Aku Tulis Pamflet Ini, WS. Rendra)
IV. Konvergensi Telematika=Konglomerasi Media Baru?
13 Agustus 2011, adalah tanggal yang mungkin tidak bisa dilupakan oleh pemerhati
media di negeri ini. Sejak tanggal itulah secara resmi detikcom berada di bawah Trans Corp
Company13. Detik.com adalah media online popular di Indonesia. Sementara Trans Corp adalah
korporasi media di pertelevisian.
Pada Rabu, 10 Agustus 2011, diadakan acara buka bersama yang sekaligus menjadi
pertemuan pertama manajemen baru dengan para karyawan detikcom. Dalam sambutan CEO
Trans Corps Chairul Tanjung mengatakan bahwa dua hal penting dari sebuah industri media,
adalah membangun bisnis yang kuat dan membangun idealisme. "Jadi, dari sisi bisnis,
detikcom harus kuat. Kalau bisnisnya tidak kuat, maka media akan melacurkan dirinya untuk
bisa hidup," kata Chairul seperti ditulis oleh detik.com.
13
http://suratbuncit.detik.com/read/2011/08/12/113903/1702247/238/detikcom-dan-manajemen-baru
Benarkah bisnis media yang kuat dengan serta
merta juga akan memperkuat idealisme jurnalis? Dalam
sebuah live chat di komunitas jurnalistik.net via skype14,
wartawan senior Farid Gaban menanggapi pernyataan
itu. “Chairul benar sebagian, bahwa bisnis media harus
sehat agar terjaga independensinya,” tulisnya,
Tapi, menurut Farid Gaban, independensi
jurnalistik dan kesehatan bisnis media seringkali tidak
ada korelasinya. “Justru, makin besar bisnis media,
seringkali makin hati-hati mengkritik,” jelasnya “Bisnis
tanggungjawab pemimpin perusahaan (CEO), sementara
jurnalistik tanggungjawab pemimpin redaksi (chief
editor),”
Pesatnya teknologi telematika yang makin
konvergen15, ternyata diiringi dengan makin kuatnya
kecenderungan konglomerasi media. Sebelum detik.com
diakusisi oleh Para Groups, Group Bakrie Telecom juga berencana menyatukan media-media
yang ada di bawah Group Bakrie.
Seperti ditulis di salah satu portal berita16, Presiden Direktur PT Bakrie Telecom Tbk
(BTEL) Anindya Novyan Bakrie saat memaparkan Bakrie Telecom, Media and Technology
(BakrieTMT2015) yang akan menyinergikan lini bisnis telekomunikasi (BTEL), media (VIVA
Group) dan teknologi (BConn dan BNET) sampai dengan tahun 2015.
Konvergensi telematika pun digunakan oleh pemilik modal untuk memperkuat
konglomerasi medianya. “Konglomerasi media di era konvergensi telematika adalah sesuatu
yang sulit dihindarkan,” ujar Don Bosco Salamun, dari Berita Satu Media Holdings17, saat
menjadi pembicara di konferensi media baru yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis
Independen (AJI)18.
14
Selasa, 8 November 2011 15
16
http://www.investor.co.id/bedahemiten/era-konvergensi-di-mata-bakrie-telecom/8867 17
Berita Satu Media Holdings is an Indonesian media holding company that operates the Berita Satu TV, BeritaSatu.com, Jakarta Globe, Globe Asia, The Peak, Campus Asia, Investor Daily, Majalah Investor and Suara Pembaruan. Berita Satu Media Holdings are a multiplatform media company, focusing in broadcast, print, digital, online, social media, mobile, and events. http://www.linkedin.com/company/berita-satu-media-holdings. 18
Konferensi “Media Baru: Menjadi Tuan di Negeri Sendiri”, Hotel Nikko Jakarta, 7 Juli 2011
”Karena dengan penyatuan kepemilikan media itu dapat menjadikan operasional industri
media lebih efisien,” katanya, “Seorang wartawan misalnya, dapat membuat satu berita bukan
hanya untuk satu kanal namun juga beberapa kanal sekaligus”
Makin menguatnya konglomerasi media di era konvergensi telematika itu juga
dibenarkan oleh Ketua Yayasan Pantau Andreas Harsono. Menurutnya, konvergensi telematika
akan semakin memperkuat konglomerasi media di Indonesia. “Akan makin parah,” ungkapnya.
Menurut aktivis AJI Margiyono, proses konvergensi telematika itu adalah istilah
teknologi. “Sementara istilah bisnisnya ya konglomerasi,” ujarnya19, “Dimana industri-industri
media besar cenderung membeli/mencaplok media-media lain,”,
Di tempat terpisah, Direktur LSPP Ignatius Haryanto dalam sebuah wawancara dengan
SatuDunia menyatakan bahwa yang paling pertama diuntungkan dengan era konvergensi
telematika ini adalah pengusaha media.
“Karena itu membuka peluang baru untuk menyebarkan konten-konten media melalui
outlet-outlet yang beragam,” ujarnya, “Kuntungan dari konvergensi telematika ini paling cepat
dimanfaatkan oleh pengusaha-pengusaha media. Nah, pertanyaannya kemudian adalah publik
akan mendapatkan apa dengan konvergensi telematika ini?”
Artinya, persoalan di internet tidak jauh berbeda dengan di media konvensional, yaitu
kecenderungan konglomerasi media.
No Media
Group
Newspaper Magazine Radio
Station
Television
Station
Cyber Media Other Bussines
1 Kompas-
Gramedia
Group
Kompas,
The Jakarta
Post, Warta
Kota dan 11
surat kabar
lokal
37 Majalah dan
Tabloid, 5 book
publisher
Sonora
Radio dan
Otomotion
Radio
Kompas
TV20
Kompas.com,
Kompasiana.com21
Hotel,Printing,
House,
Promotion,
Agencies,
University
2 MNC
(Media
Nusantara
Citra)
Seputar
Indonesia
Genie,
Mom&Kiddy,
Realita,
Majalah Trust
Trijaya
FM,Radio
Dangdut
TPI, ARH
Global,
Women
Radio
RCTI, Global
TV, TPI
(MNC TV),
Indovision
(Televisi
Cable)
Okezone.com IT Bussines
19
Diskusi Lingkar Belajar Telematika (1), Yayasan SatuDunia, 18 Agustus 2011. http://www.satudunia.net/content/notulensi-diskusi-lingkar-belajar-telematika-1 20
Saat tulisan ini dibuat Group Kompas sedang mempersiapkan kompasTV 21
Kompasiana adalah sebuah Media Warga (Citizen Media)
3 Jawa Pos Jawa Pos,
Fajar, Riau
Pos, Rakyat
Merdeka,
dan 90
surat kabar
lokal di
berbagai
daerah
23 majalah
mingguan
Fajar FM di
Makassar
JTV di
Surabaya
dan 3
stasiun TV
lokal22
Travel Bureau,
Power House
4 Mugi Reka
Aditama
(MRA)
Cosmopolitan,
Harper’s
Bazaar,Esquire,
FHM, Good
House Keeping
dan 10 majalah
lainnya
(kebanyakan
franchise)
Hard Rock
FM23
, MTV
Sky24
O’Channel25
Holder of Saveral
International
Boutique
5 Bali Post Bali post,
Suluh
Indonesia
dan 2 koran
lainnya
Tabloid Tokoh Bali TV dan
8 TV lokal
lainnya
Balipost, bisnis bali
6 Mahaka
Media
Harian
Republika
Golf Digest,
Arena, Parents
Indonesia, A+
Radio Jak
FM
JakTV, TV
One26
Entertaiment.
Outdoor
Advertisment
7 Femina
Group
Femina, Gadis,
Ayah Bunda,
Dewi dan 10
majalah lainnya
Radio U
FM
Production House
8 Bakrie
Group
AnTV, TV
One
Vivanews.com Property,
minning, palm oil
dan
telekomunikasi
9 Lippo Jakarta Majalah Beritasatu.com Property,hospital,
22
Batam, Pekanbaru, Makassar 23
Bandung, Jakarta, Bali dan Surabaya 24
Jakarta dan Bandung 25
Has been taken over SCTV 26
Bekerjasama dengan Group Bakrie
Group27
Globe,
Investor
Daily, Suara
Pembaruan
Investor, Globe
Asia, Campus
Asia
Education,
insurance,
internet service
provider
10 Trans Corp TransTV,
Trans7
Detik.com28
11 Media
Group29
Media
Indonesia,
Lampung
Post,
Borneo
News
MetroTv mediaindonesia.com
Sumber: diolah dari tabel konglomerasi media Ignatius Haryanto30
27
Berita Satu Media Holdings 28
Saat tulisan ini dibuat, masih dalam proses akusisi 29
http://id.wikipedia.org/wiki/Media_Group 30
10 tahun Yayasan Tifa,”Semangat Masyarakat Terbuka”
V. Kebijakan Telematika dan ‘Penggusuran’ Ruang Publik
a. UU ITE dan Pelemahan Perlawanan Publik
Prita Mulyasari. Sebuah nama yang tidak bisa dipisahkan dari sebuah gerakan sosial di
internet. Prita Mulyasari adalah seorang perempuan yang menuliskan ketidakpuasannya
terhadap pelayanan sebuah rumah sakit Omni Internasional melalui email pribadinya ke rekan-
rekannya.
Akhirnya email pribadi tersebut sampai ke RS Omni Internasional. RS Omni Internasional
kemudian melakukan gugatan perdata dan melaporkan Prita Mulyasari secara pidana. Dalam
hukum pidana Prita Mulyasari dinilai telah melakukan pencemaran nama baik seperti yang
tertuang dalam Pasal 27 ayat 3 Undang Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Kasus itu kemudian mendorong para pengguna internet, blogger dan facebooker
menggalang dukungan untuk Prita Mulyasari melawan RS Omni Internasional. Gerakan
dukungan online itu kemudian berlanjut ke aktifitas offline. Hal itu terlihat dari berbagai
demonstrasi di persidangan Prita Mulyasari dan yang paling besar tentu saja adalah gerakan
koin keadilan untuk Prita.
Gencarnya dukungan di dunia maya terhadap Prita Mulyasari ini akhirnya mencuri
perhatian media massa mainstream untuk memberitakannya. Gerakan dukungan terhadap
Prita Mulyasari pun semakin besar sejak beritanya muncul di media massa mainstream
konvensional31. Menggemannya dukungan terhadap Prita Mulyasari pun membuat para
kandidat calon Presiden pada tahun 2009 memanfaatkan kasus ini sebagai salah satu isu dalam
kampanye mereka.
Besarnya dukungan terhadap gerakan di internet dalam kasus Prita Mulyasari ini
akhirnya dicoba diulangi dalam kasus-kasus lainnya. Meskipun tidak semuanya bisa mengulang
lagi keberhasilan gerakan itu. Gerakan di internet yang cukup berhasil dalam mengulang
gerakan dalam kasus Prita adalah dukungan terhadap Bibit-Candra dalam kasus Cicak Vs Buaya
(KPK)32.
31
Televisi, koran, tabloid, majalah, radio 32
Saat itu ada anggota KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang dinilai telah dikriminalkan oleh kepolisian. Pihak polis i diberi label buaya, sementara pihak KPK diberi label cicak
Gerakan Sosial di Facebook Jumlah Pendukung Keterangan
Page Dukung:
Bebasmurnikan Prita dr
Tuntutan Bui33
19.339 (per 8 Juni 2011)
Causes; “Dukungan Bagi Ibu
Prita Mulyasari, Penulis
Surat Kelahuhan Melalui
Internet yang ditahan”34.
389.639
(per 8 Juni 2011)
Gerakan 1.000.000
Facebookers Dukung
Chandra Hamzah & Bibit
Samad Riyanto35
378,453 (per 19 Juli 2011)
Cause;Dukung Korban
Lapindo Mendapatkan
Keadilan 36
17,238 ( Per Juni 2011)
Group Gerakan Rakyat
Dukung Pembebasan Nenek
Minah37
3669 (per 7 Juni 2011)
Selain gerakan sosial di facebook, muncul pula gerakan jurnlisme warga melalui website
UGC (User Generate Content)38. Hal itu misalnya dilakukan Akhmad Rovahan39. Pengajar di
sebuah madrasah di Buntet, Cirebon, itu menulis karut-marut pengucuran dana pendidikan
untuk tujuh sekolah di Kecamatan Astanajapura. Karyanya itu kemudian diunggah di Suara
33
(http://www.facebook.com/pages/Dukung-Bebasmurnikan-Prita-dr-Tuntutan-Bui/179105094476?ref=ts) 34
http://www.causes.com/causes/290597-dukungan-bagi-ibu-prita-mulyasari-penulis-surat-keluhan-melalui-internet-yang-
ditahan
35 http://www.facebook.com/pages/Gerakan-1000000-Facebookers-Dukung-Chandra-Hamzah-Bibit-Samad-
Riyanto/192945806132?ref=ts&sk=info 36
http://www.causes.com/causes/333125?m=faf1a932 37
http://www.facebook.com/group.php?gid=180415896573 38
User Generte Conten (UGC) adalah website yang memungkinkan pengguna internet menulis dan mengupload sendiri connten di web tersebut 39
Majalah TEMPO, Edisi 2 Mei 2011. http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2011/05/02/MD/mbm.20110502.MD136575.id.html
Komunitas (www.suarakomunitas.net), salah satu portal tempat para pewarta warga berbagi
informasi, akhir tahun 2010.
Tulisannya mengalir sampai ke Jakarta. Petugas Badan Pemeriksa Keuangan mengecek
langsung, juga tim pemantau dari beberapa kampus. Kasus itu menjadi pembicaraan di tingkat
provinsi. "Orang pemerintah daerah sampai minta tulisannya dicabut," kata Akhmad.
Kejadian itu bukan satu-satunya. Seorang warga mengunggah tulisan tentang sekolah
yang siswanya belajar secara lesehan. "Dua hari kemudian, datang meja-kursi dari pemerintah,"
kata Akhmad. Ada juga cerita pengusutan kasus meninggalnya tenaga kerja asal Cirebon di Jawa
Tengah oleh pemerintah setelah beredarnya tulisan dari kerabat korban di situs media
komunitas.
Suara Komunitas (www.suarakomunitas.net) sendiri adalah website yang dikelola oleh
media-media komunitas yang tersebar di seluruh Indonesia. Pengelolaannya difasilitasi oleh
sebuah NGOs Yogyakarta, COMBINE Resource Institution40.
Namun, nampaknya gerakan sosial di dunia maya kembali akan menemui kendala.
Kendala pertama adalah terkait dengan ancaman pencemaran nama baik di UU ITE. Dalam
kasus pidana41, Prita dikalahkan melalui putusan kasasi Mahkamah Agung. Dikalahkannya Prita
Mulyasari dalam kasus pidana melawan RS Omni menjadi preseden buruk bagi gerakan sosial
di dunia maya.
Selain dalam kasus Prita Mulyasari, pasal karet pencemaran nama baik dan perbuatan
tidak menyenangkan42, telah mengancam beberapa warga yang mencoba melakukan kritik
sosial terhadap tokoh-tokoh yang kebetulan memiliki kekuasaan, baik secara politik maupun
ekonomi. Bambang Kisminarso misalnya, polisi sempat menahannya berserta anaknya M.
Naziri atas tuduhan telah menghina anak presiden dalam pelanggaran ketentuan pencemaran
nama baik melalui UU ITE.
40
http://combine.or.id/suara-komunitas/ 41
http://www.mediaindonesia.com/citizen_read/2026 42
Pasal 27 ayat 3 UU ITE tentang pencemaran nama baik, pasal 28 UU ITE tentang perbuatan tidak menyenangkan.
Bambang mengajukan pengaduan kepada komisi pengawasan pemilu daerah bahwa
para pendukung putra presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah membagi-
bagikan uang kepada para calon pemilih43.
Selain itu ada Yudi Latif, seorang intelektual publik yang pernah terancam terjerat pasal
karet UU ITE ini. Pada akhir tahun 2010 lalu, Yudi latif, dilaporkan ke polisi oleh para kader
Partai Golkar dengan tuduhan mencemarkan nama baik pimpinan partainya, Aburizal Bakrie.
Dalam laporan polisi bernomor TBL/498/XII/2010/Bareskrim itu, Yudi dilaporkan atas dugaan
pelanggaran Pasal 310 dan atau Pasal 311 KUHP dan atau Pasal 45 ayat (2) jo Pasal 28 ayat (1)
dan (2) UU ITE44.
Sebelumnya pasal pencemaran nama baik selalu digunakan menjadi alat untuk
membungkam gerakan masyarkat sipil45.
1. Fifi Tanang, seorang penulis surat pembaca di sebuah surat kabar. Dituduh
mencemarkan nama baik PT Duta Pertiwi melalui tulisannya di kolom surat pembaca.
2. Alex Jhoni Polii, warga Minahasa, yang memperjuangkan kepemilikan tanahnya
melawan PT. Newmont Minahasa Raya (NMR). Dituduh melakukan tindak pidana
pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan.
3. Dr. Rignolda Djamaluddin, ia dinilai telah mencemarkan nama baik perusahaan
tambang emas PT. Newmont Minahasa Raya (NMR) karena pernyataannya tentang
gejala penyakit Minamata yang ditemukan pada beberapa warga Buyat Pante.
4. Yani Sagaroa dan Salamuddin, kedua orang itu dituding telah mencemarkan
nama baik perusahaan karena pernyataanya bahwa PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT)
harus bertanggung jawab atas penurunan kualitas kesehatan yang dialami masyarakat
Tongo Sejorong sejak perusahaan tersebut membuang limbah tailingnya ke Teluk
Senunu.
5. Usman Hamid (Koordiantor Kontras). Tuduhan: pencemaran nama baik.
6. Emerson Yuntho (Koordinator ICW). Tuduhan: pencemaran nama baik.
7. Illian Deta Arta Sari (aktivis ICW). Tuduhan: pencemaran nama baik.
43
Kritik Menuai Pidana, Human Right Watch, 2010. http://satuportal.net/system/files/indonesia0510indosumandrecs.pdf 44
http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=11870 45
http://www.satudunia.net/lawan-kebangkitan-orde-baru-di-dunia-maya
8. Gatot (aktivis KSN). Tuduhan: pencemaran nama baik.
9. Suryani (aktivis LSM Glasnot Ponorogo). Tuduhan: pencemaran nama baik.
10. Dadang Iskandar (aktivis Gunung Kidul Corruption Watch). Tuduhan:
pencemaran nama baik.
11. Itce Julinar (Ketua SP Angkasapura). Tuduhan: pencemaran nama baik.
Kasus Prita Mulyasari yang akhirnya dikalahkan dalam putusan kasasi MA (UU ITE) dan
juga penggunaan pasal karet pencemaran nama baik dalam KUHAP untuk menjerat aktivis
menjadi preseden buruk bagi gerakan sosial digital ke depannya. Warga masyarakat yang akan
melakukan kontrol sosialnya melalui internet akan selalu dibayangi pasal pencemaran nama
baik UU ITE.
b. RUU Konvergensi Telematika dan Pelemahan Perlawanan Publik
Saat laporan ini46 dibuat pemerintah sedang membahas Rancangan Undang Undang
(RUU) Konvergensi Telematika. RUU itu nantinya akan menggantikan UU 36/1999 tentang
telekomunikasi. Terkait dengan hal itulah RUU Konvergensi Telematika ini menjadi penting
untuk mendapatkan pengawalan dari masyarakat.
Dalam konteks liberalisasi telekomunikasi, RUU Konvergensi Telematika ini tidak jauh
beda dengan UU 36/1999. Dalam penjelasan draft RUU itu disebutkan bahwa Dalam penjelasan
RUU Konvergensi Telematika secara gamblang disebutkan, bahwa salah satu hal yang
melatarbelakangi munculnya RUU Konvergensi Telematika adalah “Tekanan atau dorongan
untuk mewujudkan perubahan paradigma telematika dari vital dan strategis dan menguasai
hajat hidup orang banyak menjadi komoditas yang dapat diperdagangkan semakin besar
melalui forum-forum regional dan internasional dalam bentuk tekanan untuk pembukaan pasar
(open market)”.47
Pertanyaannya kemudian adalah, dari sisi masyarkat, apakah RUU ini akan mampu
memberikan payung hukum baru yang masyarakat untuk memperkuat perlawanan terhadap
dominasi wacana dari konglomerasi media yang telah terkonvergensi itu?
46
Juli 2011 47
http://www.satudunia.net/content/indepth-report-membaca-inisiatif-e-asean
b.1. Pembagian Penyelenggara Telematika
Kendala pertama dari RUU ini muncul terkait dengan pembagian penyelenggara
telematika. "Persoalan pembagian penyelenggara telematika di RUU Konvergensi ini juga
menimbulkan pertanyaan," ujar Donny BU dalam wawancaranya dengan SatuDunia, di kantor
ICT Watch Jakarta48. Persoalan terkait dengan hal itu menurut Donny berasal dari Pasal 8 ayat 1
draft RUU Konvergensi Telematika.
Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa penyelenggaraan Telematika terdiri atas.
Penyelenggaraan Telematika yang bersifat komersial dan Penyelenggaraan Telematika yang
bersifat non-komersial. Semua penyelenggaraan telematika menurut RUU Konvergensi
Telematika dianggap komersial, kecuali pertahanan dan keamanan nasional, kewajiban
pelayanan universal, dinas khusus dan perseorangan.
Sedangkan menurut penjelasan pasal 8 RUU Konvergensi Telematika menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan “Penyelenggaraan Telematika yang bersifat komersial” adalah
penyelenggaraan telematika yang disediakan untuk publik dengan dipungut biaya guna
memperoleh keuntungan (profit oriented). Dan yang dimaksud dengan “Penyelenggaraan
Telematika yang bersifat non-komersial” adalah penyelenggaraan telematika yang disediakan
untuk keperluan sendiri atau keperluan publik tanpa dipungut biaya (non-profit oriented).
Pasal 13 RUU Konvergensi Telematika menyebutkan bahwa penyelenggaraan
Telematika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) wajib mendapat izin dari Menteri
berupa perizinan individu atau perizinan kelas.
Selain itu dalam pasal 12 juga disebutkan bahwa setiap penyelenggara telematika wajib
membayar biaya hak penyelenggaraan telematika yang diambil dari persentase pendapatan
kotor (gross revenue).
Sementara itu menurut RUU Konvergensi Telematika penyelenggaraan Layanan Aplikasi
Telematika adalah kegiatan penyediaan layanan aplikasi telematika yang terdiri dari aplikasi
pendukung kegiatan bisnis dan aplikasi penyebaran konten dan informasi.
48
Wawancara dengan Donny BU, ICT Watch, 1 April 2011
"Nah pertanyaannya adalah bagaimana dengan Media Online, Situs jejaring komunitas
seperti suarakomunitas.net, penyelenggara radio streaming (IP-Based), penyedia forum diskusi
yang user generated content atau layanan darurat (emergency) seperti AirPutih/ JalinMerapi?"
tanya Donny BU.
Soal penyelenggaraan telematika ini juga pernah diutaran oleh aktivis koalisi Masyarakat
Informasi (Maksi) dan juga Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Margi Margiyono49. "Jadi yang bisa
membuat aplikasi itu hanya komersial," ujar Margiyono, "Lantas, kalau NGO membuat aplikasi
bagaimana? Bukankah web termasuk juga aplikasi,"
Dalam RUU Konvergensi Telematika itu disebutkan bahwa baik penyelenggara non
komersial dan komersial harus izin ke menteri. "Jadi kalau kita bikin portal/website harus izin ke
menteri dan bayar BHP /Biaya Hak Penggunaan," lanjutnya.
RUU Konvergensi Telematika ini, lanjut Margiyono, jelas berpotensi menghambat
gerakan sosial digital atau klik activism dan juga jurnalisme warga. "Bagaimana tidak, untuk
menjadi citizen jurnalis dan aktivis sosial digital harus mendapat izin, membayar BHP dan
melakukan USO," tambahnya, "UU Pers saja menyatakan bahwa pers tidak perlu ijin, lha kok
Citizen Jurnalist harus izin”
49
Diskusi di SatuDunia, “Revisi UU ITE dan RUU Konvergensi Telematika, Bagaimana Sikap Masyarakat Sipil”, 25 Oktober 2010
“Begitu pula pers, kecuali penyiaran, tak bayar BHP,” tambah Margiyono “Lha kok
Citizen jurnalist harus bayar BHP?”
Dampak buruk RUU Konvergensi Telematika bagi organisasi non pemerintah mulai
dikeluhkan oleh aktivis Combine Resource Institute. "Organisasi kami menggunakan alat dan
perangkat telematika untuk pemberdayaan masyarakat (kebutuhan non komersial)," ujar
Ranggoaini Jahja, aktivis Combine Resource Institute kepada SatuDunia50, "Sehingga jika
penerapan RUU ini akan membatasi ruang kami untuk melakukan kerja pemberdayaan,
sementara operator swasta memperlakukan jenis layanan kepada masyarkat secara sama
maka organisasi kami menolak RUU ini,"
b.2. Ketimpangan Akses Telematika
Ketimpangan akses telematika yang menjadi fakta di Indonesia menjadi persoalan serius
dalam konteks perlawanan warga terhadap wacana dominan konvergensi media konglomerasi.
Warga yang ada di luar Jawa, utamanya di sebagian kawasan Indonesia tengah dan Timur akan
kesulitan mengimbangi atau melawan dominasi wacana media konglomerasi melalui blog,
jurnalisme warga jika mereka tidak memiliki akses terhadap telematika.
Akibatnya, tentu saja apa yang dipublikasikan oleh media konglomerasi yang teleh
konvergen itu mendominasi wacana publik dan dianggap sebagai sebuah kebenaran tunggal.
Perlawanan warga di kawasan Indonesia tengah dan timur terhadap wacana dominan media
konglomerasi menjadi penting, utamanya menyangkut persoalan pengelolaan sumberdaya
alam. Mengingat kawasan itu sangat kaya dengan sumberdaya alam. Sementara di sisi lain,
sebagian konglemerat media selain memiliki bisnis media juga memiliki bisnis yang terkait
dengan sumber daya alam semisal, perkebunan sawit dan tambang.
“Jika konsep besarnya adalah hak warga negara (masyarakat luas), mengapa yang diatur
dalam RUU Konvergensi Telematika ini lebih kental soal hak konsumen/pengguna?” ujar Donny
BU, “Sementara hak warga negara, utamanya yang belum mendapat akses telematika, belum
atau tidak diatur,”
Terkait dengan hak warga itu pula, Donny BU mengaku sepakat dengan catatan yang
pernah dibuat oleh Yayasan SatuDunia terkait hak warga negara dalam RUU Konvergensi
Telematika ini. Dalam Brief Paper SatuDunia51 tentang RUU Konvergensi Telematika
menyebutkan telah terjadi pereduksian hak warga negara menjadi sekedar hak konsumen.
50
Wawancara dengan RANGGOAINI JAHJA (via email), COMBIMBINE Resource Institution, 4 April 2011
51
http://www.satudunia.net/content/brief-paper-ruu-konvergensi-telematika
Menurut Brief Paper SatuDunia, meskipun berkali-kali disebutkan kata masyarakat
dalam RUU Konvergensi Telematika, namun di batang tubuh RUU ini justru tidak ada satu pasal
pun yang mengatur hak warga negara. Dalam salah satu pasal di RUU ini mengatur
perlindungan konsumen tapi bukan warga negara.
Antara konsumen dan warga negara jelas sesuatu yang berbeda. Hak konsumen muncul
didasarkan atas hubungan transaksional dengan korporasi. Sementara hak warga negara
muncul didasarkan atas kontrak sosial yang dibuat antara negara dan warganya.
Dalam kontrak sosial itu, negara diberikan mandat untuk menghormati, melindungi dan
memenuhi hak warganya. Termasuk hak warga atas pembangunan dalam hal ini termasuk
pembangunan telematika. Dalam pasal 38 RUU Konvergensi Telematika memang disebutkan
bahwa pelaksanaan kewajiban pelayanan universal telematika52 menjadi tanggung jawab
pemerintah.
Sayangnya di RUU Konvergensi Telematika itu tidak disebutkan mengenai hak warga
negara jika layanan universal gagal dipenuhi pemerintah. Apakah warga negara berhak
komplain atau bahkan mengajukan gugatan jika layanan universal telematika itu gagal
disediakan pemerintah? Tidak jelas, karena hak warga negara untuk komplain dan menggugat
itu tidak disebutkan dalam RUU.
Di sisi lain dalam RUU Konvergensi Telematika ini hanya mengatur perlindungan
mengenai hak konsumen atau pengguna telematika. Artinya, dalam RUU ini hak warga negara
telah direduksi menjadi hak konsumen. Hak warga negara untuk komplain bahkan menggugat
tidak ada payung hukumnya selama kita belum menjadi konsumen produk telematika. Hak
warga negara pelosok Indonesia untuk komplain dan menggugat akibat kegagalan pemerintah
menyediakan layanan universal telematika tidak mendapat perlindungan sama sekali dalam
RUU ini. Ini sangat sesuai dengan penjelasan umum RUU ini, bahwa “….paradigma telematika
dari vital dan strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak menjadi komoditas yang
dapat diperdagangkan….”
52
Kewajiban pelayanan universal telematika adalah kewajiban penyediaan layanan telematika agar masyarakat, terutama di daerah terpencil atau belum berkembang, mendapatkan akses layanan telematika.