Post on 29-Nov-2014
description
Indepth Report
Klik Aktivisme; Melambungkan Prita, Menenggelamkan Mbok Jumik
oleh :
Firdaus Cahyadi
Yayasan Satudunia
Klik aktivisme, Apaan tuh?
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) begitu pesat di dunia, tak
terkecuali di Indonesia. Pesatnya perkembangan TIK ini menimbulkan perubahan cara
sesorang berekspresi dan berkomunikasi. Solidaritas sosial yang terkait dengan kasus
tertentu pun begitu mudah digalang di dunia maya.
Sekali klik, kita dapat menjadi bagian dari orang-orang yang mendukung sebuah petisi
atau tergabung dalam sebuah group terkait kasus tertentu. Hal itu memunculkan istilah baru
berupa klik aktivisme. Mobilisasi dukungan yang begitu besar di dunia maya dalam kasus
Prita Mulyasari dapat dijadikan contoh dalam hal ini.
Kasus Prita Mulyasari
Prita Mulyasari adalah seorang ibu
rumah tangga. Pada suatu 7 Agustus 2008,
ia menjadi pasien dari Rumah Sakit OMNI
Internasional. Seperti ditulis di portal
TVOne, Prita Mulyasari mengeluhkan
pelayanan rumah sakit tersebut melalui
pesan terbatas di email kepada teman-
temannya, namun kemudian email tersebut
tersebar.
Pihak rumah sakit, seperti dilansir Antara, tidak menerima sikap Prita dan kemudian
mengajukan gugatan pencemaran nama baik ke kepolisian.
Kepolisian mengenakan Pasal 310 dan Pasal 311 dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) tentang pencemaran nama baik kepada Prita namun saat kasusnya
dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten, dakwaannya ditambahkan dengan Pasal 27
Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman hukuman
enam tahun penjara. Dengan dasar itulah, Prita yang memiliki dua anak berusia di
bawah lima tahun kemudian ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Perempuan
Tangerang.
Namun justru dari situlah sebuah perlawanan dimualai. Para pengguna internet
menggalang solidaritas di dunia maya. Dukungan terhadap Prita Mulyasari di sebuah cause
di facebook meningkat tajam. Hingga kini tidak kurang 389 ribu facebooker menjadi
pendukung Prita Mulyasari.
Dukungan tidak berhenti di situ. Saat Prita Mulyasari diancam denda dalam kasus
melawan RS OMNI Internasional itu, para blogger kembali membangun solidaritas
masyarakat untuk mengumpulkan koin keadilan untuk Prita. Gerakan mendukung Prita
Mulyasari pun diperbesar dengan pemberitaan berbagai media mainsteram.
Seperti ditulis oleh kompas.com, Bank Indonesia dan Bank Mandiri kini mengumumkan
hasil jumlah koin sebesar Rp 615.562.043 pada Rabu (30/12/2009), di Bank Indonesia,
Jakarta. Hasil ini merupakan gabungan dari koin yang bernilai Rp 589.073.143 dan uang
kertas sejumlah Rp 26.488.900, yang dimuat dalam 21 kontainer.
"Ini merupakan peristiwa unik, karena koin dikumpulkan dari seluruh pelosok negeri. Ini
membuktikan bahwa masyarakat masih menghargai koin," ujar Deputi BI Budi Rochadi.
Inilah adalah sebuah gerakan sosial baru yang diawali dengan gerakan di dunia maya.
Tak heran Prita Mulyasari kemudian menjadi sebuah icon gerakan sosial digital (click
activism) di Indonesia. Setelah kasus Prita itu, berbagai gerakan sosial digital mencoba
mengikuti jejaknya. Membangun solidaritas sosial di dunia maya.
Kasus Mbok Jumik
Jauh sebelum kasus Mbak
Prita Mulyasari meledak,
sebenarnya ada kasus lain yang
agak serupa, yaitu kasus Mbok
Jumik. Siapa itu Mbok Jumik?
Mengapa pula ia dibandingkan
dengan Mbak Prita Mulyasari?
Mbok Jumik adalah
perempuan yang tinggal di
Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Ia
salah satu perempuan yang menjadi korban lumpur Lapindo. Usianya tidak lagi muda seperti
Mbak Prita Mulyasari. Ia berusia 52 tahun. Lumpur Lapindo telah menghancurkan rumah
Mbok Jumik di Desa Renokenongo. Air yang telah menggenangi rumahnya sejak hari
pertama munculnya semburan lumpur memaksa keluarga Mbok Jumik menjadi pengungsi.
Bulan Juni 2008 Mbok Jumik mulai merasakan sakit luar biasa di perutnya. Pada saat
itu keluarga Mbok Jumik pun segera membawanya ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
Sidoarjo. Sekitar dua minggu Mbok Jumik dirawat di rumah sakit. Namun, karena tak mampu
membiayai ongkos rumah sakit, keluarga Mbok Jumik membawanya pulang ke tempat
pengungsian korban Lapindo di Pasar Baru Porong. Keluarganya pun pasrah. Selanjutnya,
Mbok Jumik dirawat dengan menggunakan pengobatan tradisional.
Para relawan Posko Korban Lapindo di Porong pun segera menulis surat terbuka
permohonan bantuan biaya perawatan bagi Mbok Jumik via internet (email, milis, forum dan
sebagainya). Bahkan mereka juga menulis surat khusus permohonan bantuan untuk Mbok
Jumik kepada lembaga bantuan sosial yang ada di Indonesia via email.
Berbeda dengan kasus yang menimpa Mbak Prita Mulyasari melawan RS Omni
Internasional yang mampu menciptakan solidaritas sosial di kalangan pengguna internet.
Dalam kasus Mbok Jumik ini solidaritas itu tidak muncul. Bahkan hingga Mbok Jumik
menghembuskan nafas terakhir pun, tidak ada bantuan yang datang.
Jika dalam kasus Mbak Prita Mulyasari melawan RS Omni Internasional terkait dengan
hak konsumen yang tidak dipenuhi oleh sebuah industri jasa rumah sakit, maka dalam kasus
Mbok Jumik ini terkait dengan tidak dipenuhinya hak warga negara atas kesehatan. Meskipun
begitu kasus Mbok Jumik tidak cukup menarik simpati para pengguna internet di Indonesia
untuk melakukan solidaritas sosial seperti dalam kasus Mbak Prita Mulyasari.
Klik aktivisme, Bias Kelas Sosial?
Melihat kedua kasus itu, maka timbul sebuah pertanyaan, mengapa click activism
gagal membangun solidaritas sosial dalam kasus Mbok Jumik, tidak seperti dalam kasus
Mbak Prita Mulyasari?
Melambungnya Mbak Prita dan sebaliknya tenggelamnya Mbok Jumik dalam gelegar
gerakan sosial digital ini bisa disebabkan karena para pengguna internet di Indonesia terlalu
didominasi oleh kelas menengah atas. Akibatnya, para pengguna internet tidak merasa
berkepentingan dalam kasus Mbok Jumik, dan sebaliknya merasa dekat serta
berkepentingan dengan kasus Mbak Prita. Karena kelas menengah-atas itu mungkin sama
seperti Mbak Prita, menjadi konsumen RS internasional atau paling tidak calon konsumen
rumah sakit internasional.
Namun pernyataan yang mengaitkan kasus Prita dan Mbok Jumik itu dengan
argumentasi kelas sosial dibantah. Bisa jadi para aktivis yang mengorganisir dukungan dalam
kasus Mbok Jumik tidak seprofesional dalam kasus Prita Mulyasari. Jadi klaim mana yang
benar?
Untuk melihat apakah gerakan sosial digital itu bias kelas atau tidak, kita perlu melihat
dukungan publik di dalam kasus-kasus lainnya. Dalam kasus dukungan kepada Nenek Minah
di facebook ternyata juga tidak sebesar dukungan terhadap kasus Prita. Di facebook, group
dukungan Nenek Minah hanya mampu mengumpulkan 3000-an anggota.
Siapa Nenek Minah? Nenek Minah alias Ny
Sanrudi adalah seorang perempuan, warga Desa
Darmakradenan RT 4 RW 5 Kecamatan Ajibarang,
Banyumas. Di Banyumas, ia harus merasakan
pahitnya menjadi tahanan hanya karena didakwa
mengambil tiga biji kakao seharga Rp 2.100.
Dukungan yang agak lebih besar pada kasus
yang menyangkut isu kelas bawah muncul di cause
facebook, 'Dukung Korban Lapindo Mendapatkan Keadilan'. Cause itu mampu menggalang
dukungan sebanyak 17 ribuan facebooker. Namun tetap kalah dengan cause dalam kasus
Prita Mulyasari VS RS OMNI Internasional.
Pertanyaan berikutnya tentu saja adalah adakah data kuantitatif yang menunjukan
bahwa pengguna internat di Indonesia didominasi kelas menenga-atas, sehingga
menenggelamkan isu kelas menengah bawah dalam gerakan sosial digital?
Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pada akhir 2004
menunjukan, terdapat sekitar 1.087.428 pelanggan dan sekitar 11.226.143 pengguna
internet. Dengan populasi 257,76 juta, berarti sekitar 4,6% masyarakat adalah pengguna
internet dan 0,4% pelanggan internet. APJII juga mencatat bahwa sebanyak 75% pelanggan
dan pengguna internet berlokasi di Jakarta, 15% di Surabaya, 5% di daerah lain di pulau
Jawa dan 5% sisanya di propinsi lainnya.
Sementara bila ditinjau dari jenjang pendidikan, menurut indikator telematika yang
ditulis iptek.net menyebutkan, tingkat sarjana adalah pengguna terbanyak (43%) selanjutnya
tingkat SLTA (41%). Berdasarkan profesi menunjukkan bahwa mahasiswa yang paling
banyak menggunakan internet (39%).
Kota adalah tempat kelas menengah-atas berada. Sementara jenjang pendidikan juga
dapat menggambarkan kelas sosial yang ada di masyarkaat. Semakin tinggi pendidikan
semakin tinggi pula kelas sosialnya di masyarakat. Dari data di atas menjadi salah satu
pendukung bahwa pengguna internet di Indonesia memang didominasi oleh kelas menengah-
atas. Konten informasi dan pengetahuan yang tersebar di internet pun didominasi oleh kelas
menengah-atas. Begitu pula gerakan sosial yang coba diorganisir melalui internet.
Di sinilah letak kontroversinya, jika klik aktivisme di Indonesia ini menjadi bias kelas
menengah-atas. Padahal kelas menengah-bawah lah yang seringkali rentan ditinggalkan
dalam proses pembangunan dan juga menjadi korban penindasan. Pertanyaannya adalah
mungkinkah gerakan sosial mampu memicu sebuah peruabahan sosial yang lebih baik bagi
kelas menengah-bawah?
Bahan Bacaan.
1. Gerakan Rakyat Dukung Pembebasan Nenek Minah.
http://www.facebook.com/home.php?sk=2361831622#!/group.php?gid=180415896573
2. Dukung Korban Lapindo Mendapatkan Keadilan,
http://www.causes.com/causes/333125
3. DUKUNGAN BAGI IBU PRITA MULYASARI, PENULIS SURAT KELUHAN MELALUI
INTERNET YANG DITAHAN, http://www.causes.com/causes/290597
4. Koin Prita Selesai Dihitung,
http://megapolitan.kompas.com/read/2009/12/30/2338022/koin.prita.selesai.dihitung
5. Kronologi Kasus Prita Mulyasari,
http://hukum.tvone.co.id/berita/view/15586/2009/06/08/kronologi_kasus_prita_mulyasa
ri/
6. Hak Asasi Manusia Pilar Utama Kebijakan Konten di Indonesia , Kertas Posisi
Yayasan Satudunia tentang Kebijakan Konten Yayasan Satudunia, Satudunia, 2010
7. Di Tengah Kegelapan, Kami Nyalakan Lentera, Kertas Posisi Yayasan Satudunia
tentang ICT di Indonesia, Satudunia, 2010
8. http://web.bisnis.com/sektor-riil/telematika/1id179371.html
9. http://www.iptek.net.id/ind/?mnu=5&ch=inti
10. http://www.satuportal.net/content/internet-pornogafi-dan-gerakan-sosial