Post on 01-Dec-2014
description
Indepth Report
Belajar dari Kasus Lapindo
Oleh: Firdaus Cahyadi Yayasan SatuDunia
Kasus Lapindo setelah Enam Tahun
April 2011, adalah bulan yang
mungkin tidak bisa dilupakan oleh
keluarga Khoirul Adib. Bulan itu bayi
perempuannya, Aulia Nadira Putri,
meninggal dunia. Bayi mungil usia 3,5
bulan itu harus meninggal dunia karena
diduga terlalu banyak menghirup gas
metan dari lumpur Lapindo.
Kematian Aulia Nadira Putri jelas merupakan takdir. Namun, menghirup udara
beracun dari semburan lumpur Lapindo jelas karena kerusakan lingkungan hidup. Dan
kerusakan lingkungan hidup bukanlah takdir.
Lumpur Lapindo terus saja menyisakan duka. Sebelumnya 4 September 2008
silam. Tangisan Pak Hari Suwandi memecah kesunyian kantor LSM Komite untuk
Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Jakarta. Pak Suwandi, begitu ia akrab
dipanggil, tak mampu menahan perihnya perasaan saat menceritakan penderitaannya
selama dua tahun menjadi korban Lapindo.
Sebelum lumpur Lapindo menenggelamkan kampungnya, Pak Suwandi adalah
seorang pengrajin kulit. Hidupnya cukup makmur dengan industri rumah tangganya itu.
Namun, tiba-tiba lumpur Lapindo menenggelamkan rumahnya. Alat-alat produksinya
pun ikut terendam lumpur.
Belajar dari Kasus Lapindo
Pertanyaan berikutnya tentu saja
adalah pelajaran apa yang dapat
dipetik dari kejadian tersebut di
atas? Setidaknya ada empat hal
yang dapat dijadikan pelajaran bagi
kita atas kejadian-kejadian pilu yang
menimpa korban lumpur Lapindo itu.
Pertama, hilangnya hak atas informasi warga sejak dalam proses eksplorasi
migas di Sidoarjo. “Dalam kasus Lapindo, hak publik yang pertama kali hilang adalah
hak atas informasi,” ujar Anggota Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi
Manusia (HAM) Syafruddin Ngulma Simeulue dalam diskusi offline di kantor SatuDunia
pada tahun 2009 silam,”Harusnya sebelum pengeboran, masyarakat diiformasikan
mengenai kemungkinan resiko terjadinya kecelakaan pengeboran,”
Bahkan, lanjut Syafruddin Ngulma Simeulue,
sampai kini di dalam dokumen tata ruang Sidoarjo itu
tidak dikenal Blok Brantas.
“Tragisnya Imam Utomo Gubernur Jawa Timur
saat itu pernah menyatakan tidak perlu merubah tata
ruang untuk memberikan ijin pengeboran di blok
Brantas,” katanya, “Padahal dalam setiap pengeboran
itu memiliki resiko tinggi terhadap terjadinya
kecelakaan dan resiko itu tidak diinformasikan ke masyarakat,”
Jika sejak awal warga Porong
diberikan informasi yang benar
besar kemungkinan tidak
pernah muncul semburan
lumpur Lapindo karena
masyarakat di sekitar sumur
Banjar Panji-1 dapat menolak
pengeboran jika berpotensi
membahayakan kehidupan mereka. “Dalam temuan Tim Investigasi Komnas HAM pun
dengan jelas menyebutkan adanya indikasi kuat dugaan pelanggaran hak atas
informasi public dalam kasus Lapindo,” jelasnya.
Tidak adanya informasi yang akurat mengenai resiko terjadinya kecelakaan
industri pengeboran dalam kasus Lapindo ini juga diperkuat oleh laporan audit Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam laporan auditnya, BPK menyebutkan bahwa
berdasarkan hasil penelahaan dokumen usulan dan evaluasi pemboran diketahui
bahwa PT. Lapindo Brantas maupun evaluasi BP Migas tidak memasukkan aspek risiko
kemungkinan terjadinya mud volcano di wilayah Jawa Timur atau di daerah Sidoarjo.
Setelah terjadinya semburan lumpur panas, Lapindo baru memetakan detail
sesar di permukaan Banjar Panji (BJP)-1 pada bulan Agustus 2006. Interpretasi
pemetakan sesar tersebut menunjukkan adanya pola penyebaran daerah bencana
yang sirkuler mengelilingi titik semburan.
Adanya potensi risiko pemboran akan menembus gunung lumpur dan adanya
sesar/patahan ternyata tidak dimasukkan dalam prognosa pemboran maupun evaluasi
pemboran. Berdasarkan dokumen yang ada, prognosa maupun evaluasi pemboran
hanya memasukkan aspek risiko pemboran dalam bentuk loss, kick, maupun blowout.
Singkat kata, tidak ada
informasi yang mencukupi
mengenai kondisi geologi
yang beresiko menimbulkan
bencana ekologi jika dilakukan
pengeboran di wilayah
Porong. Kondisi geologi
mengenai adanya potensi
bencana justru baru dipetakan
dan kemudian diinformasikan setalah muncul semburan lumpur.
Kedua, ketika terjadi sebuah kecelakaan industri seperti pada kasus lumpur
Lapindo, persoalan ganti rugi terhadap korban tidak bisa direduksi menjadi sekedar
persoalan jual beli asset. Terlebih bila asset korban itu dibatasi hanya sekedar rumah
dan tanah.
Hilangnya pekerjaan dan meningkatnya resiko keselamatan jiwa akibat
lingkungan hidup yang sudah hancur wajib diperhitungkan dalam skema ganti rugi.
Ketika skema ganti rugi telah direduksi menjadi sekedar jual beli asset, maka tidak ada
yang merasa bertangungjawab atas hilangnya sumber-sumber kehidupan dan
meningkatnya biaya kesehatan korban.
Ketiga, perlunya semua pihak untuk mematuhi ketentuan mengenai tata ruang
wilayah yang telah menjadi sebuah keputusan bersama antara pemerintah dan wakil
rakyat. Semua kisah pilu korban Lapindo di atas tidak akan pernah ada jika dari awal
tidak ada pelanggaran terhadap tata ruang.
Peraturan Daerah (Perda) mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Kabupaten Sidoarjo tahun 2003-2013 dengan jelas menyatakan bahwa kawasan
Porong, khususnya wilayah Siring, Renokenongo dan Tanggulangin adalah wilayah
pemukiman dan budidaya pertanian.
Namun dengan berbagai argumentasi yang seakan-akan ilmiah dan masuk akal
dari para konsultan perusahaan tambang, RTRW Kabupaten Sidoarjo itu pun dilanggar.
Ijin untuk melakukan eksplorasi pertambangan di kawasan padat penduduk pun
dikeluarkan.
Akibatnya, bukan gas yang keluar namun justru semburan lumpur panas yang
muncul. Kini semburan lumpur itu selain telah menenggelamkan sebagian Sidoarjo juga
telah menimbulkan pencemaran air sumur dan polusi udara dengan jangkauan yang
makin meluas.
Keempat, perlunya
pengawasan yang ketat terhadap
industri-industri yang beresiko tinggi
seperti industri pertambangan. Awal
dari semua cerita semburan lumpur
Lapindo adalah lemahnya
pengawasan pemerintah terhadap industri tambang.
Pelanggaran tata ruang wilayah dan juga pengeboran pada kedalaman tertentu
tanpa selubung pengaman harusnya tidak terjadi jika pemerintah benar-benar
melakukan pengawasan terhadap industri tambang secara benar dan ketat sejak dalam
tahap perencanaan hingga operasional di lapangan.
Godaan untuk dapat mencapai target angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi
rupanya telah memperdaya pemerintah. Akibatnya, tugas pengawasan terhadap
industri tambang tidak menjadi hal yang penting bagi pemerintah.
Bahkan tidak jarang aturan-aturan terkait dengan persoalan lingkungan sengaja
diperlemah agar industri-industri pertambangan bisa leluasa mengeksploitasi sumber
daya alam yang ada di perut bumi kita.
Dari sisi kebijakan publik, kasus semburan lumpur Lapindo adalah cermin dari
buruknya pengelolaan sumber daya alam di negeri ini. Jika hal itu terus dipelihara maka
bukan tidak mungkin akan segera muncul kecelakaan-kecelakaan industri tambang
lainnya yang lebih mematikan daripada kecelakaan industri tambang Lapindo di
Sidoarjo. Semoga kita semua mau belajar!