Post on 02-Mar-2019
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Gambaran umum wilayah Kabupaten Magelang
Kabupaten Magelang merupakan salah satu kabupaten yang berada di provinsi
Jawa Tengah yang berbatasan dengan beberapa kota dan kabupaten seperti
Kabupaten Temanggung, Kabupaten Semarang, Kota Magelang dan lain
sebagainya. Memiliki koordinat antara 110o 26’ 51” dan 110o 26’ 58” Bujur
Timur dan 7o 19’13” dan 7o 42’ 16” Lintang Selatan.
Gambar 1: Peta Wilayah Kabupaten Magelang, Jawa Tengah
Adapun batas-batas secara lengkap Kabupaten Magelang adalah : - Utara :
Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Semarang - Timur : Kabupaten Semarang
dan Kabupaten Boyolali - Selatan : Kabupaten Purworejo dan Daerah Istimewa
Yogyakarta - Barat : Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Wonosobo - Tengah
: Kota Magelang.
Kabupaten Magelang memiliki luas wilayah sekitar 108.573 Ha dan
34,05% masih berupa sawah, 38,61% merupakan lahan kering sedangkan sisanya
yang sekitar 27,34% bukan merupakan lahan pertanian. Kabupaten Magelang
terdiri dari 21 kecamatan dan 372 kelurahan. Setiap kecamatannya memiliki
daerah atau wilayah dengan luas yang berbeda-beda.
Kondisi Geografis Desa Sumberejo
Desa Sumberejo termasuk dalam wilayah kecamatan Ngablak, kabupaten
Magelang. Kecamatan Ngablak merupakan kecamatan paling ujung yang
berbatasan dengan wilayah kabupaten Semarang. Batas wilayah desa Sumberejo
sebelah utara dan timur adalah desa Ngablak, batas desa sebelah selatan adalah
desa Bandungrejo, sedangkan batas desa sebelah barat adalah desa Girirejo.
Desa Sumberejo terletak di lereng gunung Merbabu. Udara di desa ini sejuk
cenderung dingin. Suhu rata-rata harian di desa ini berkisar pada suhu 20°C.
Tinggi desa Sumberejo dari permukaan laut adalah 1100-1180 dpl.
Iklim desa Sumberejo sangat cocok untuk menanam tanaman sayur mayur.
Model pertanian mereka adalah ladang atau tegalan. Ladang-ladang mereka
sebagian besar ada di daerah desa mereka sendiri. Luas tanah ladang di desa ini
adalah 146,30 ha sedangkan luas tanah pemukiman dan pekarangan hanya 10,45
ha dan 52,25 ha. Pada tahun 2012, ladang di desa Sumberejo yang ditanami
Jagung seluas 3 ha, Cabai 6 ha, Tomat 4 ha, Kentang 8 ha, Kubis 112 ha, Brokolo
5 ha, Wortel 12 ha. Biasanya warga desa Sumberejo langsung menjual hasil tanah
mereka ke pasar terdekat atau mereka jual melalui pengecer.
Kondisi Geografis Kecamatan Grabag
Topografi wilayah kecamatan grabag bervariasi dengan gambaran 53%,
daerah bergelombang 38% dan daerah berbukit 9%. Sedangkan kondisi
kecamatan grabag sebagian besar terletak didataran medium dengan ketinggian
berkisar 500- 1100m dpl, suhu berkisar 18-23 derajat celcius. Wilayah kecamatan
grabag berada di bagian utara kabupaten Magelang yang terdiri dari 28 desa
dengan batas wilayah sebagai berikut: sebelah utara Kabupaten Semarang, sebelah
timur kecamatan ngablak, sebelah selatan kecamatan Tegalrejo dan sebelah barat
kecamatan secang, sedangkan luas wilayah kecamatan Grabag adalah 7.683,6 ha.
Sayuran merupakan salah satu kelompok tanaman hortikultura yang
banyakdibudidayakan di Indonesia. Menurut BPS dan Direktorat Jenderal
Hortikultura(2012), terdapat 25 jenis sayuran yang dibudidayakan di Indonesia.
Sistem budidaya tanaman di Indonesia, termasuk sayuran, sebenarnya diatur
dalam Undang-Undang nomor 12 tahun 1992. Penyelenggaraan budidaya
tanaman menekankan aspek keamanan lingkungan, khususnya pada pengolahan
lahan, pembuatan media tumbuh, dan pemeliharaan tanaman. Pemeliharaan
tanaman yang tertulis pada Undang-Undang tersebut tepatnya pasal 28 ayat 2,
menyatakan bahwa dalam pemeliharaan tanaman, setiap orang atau badan hukum
dilarang menggunakan sarana dan atau cara yang mengganggu kesehatan dan atau
mengganggu kesehatan manusia, menimbulkan gangguan dan kerusakan
sumberdaya alam dan atau lingkungan hidup. Salah satu cara pemeliharaan
tanaman yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan dan lingkungan adalah
dengan melakukan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT)
menggunakan pestisida sintetik secara tidak bijaksana.
B. Pengertian pestisida nabati
Pestisida nabati diartikan sebagai pestisida yang bahan dasarnya berasal
dari tumbuhan, karena terbuat dari bahan-bahan alami maka jenis pestisida ini
mudah terurai di alam sehingga residunya mudah hilang, maka relatif aman bagi
manusia (Samsudin, 2008). Pestisida nabati memiliki beberapa fungsi, antara lain:
repelant, yaitu menolak kehadiran serangga, misaknya dengan bau yang
menyengat, antifidant: mencegah serangga makan tanaman yang disemprot,
merusakperkembangan telur, larva, pupa, menghambat reproduksi serangga
betina, racun syaraf, mengacaukan sistem syaraf di dalam tubuh serangga.
Atraktan, yaitu pemikat serangga, yang dapat dipakai sebagai perangkap serangga,
mengendalian jamur atau bakteri (Gapoktan, 2009).
Pestisida dapat diartikan sebagai suatu zat yang dapat bersifat racun,
menghambat pertumbuhan/ perkembangan, tingkah laku, perkembangbiakan,
kesehatan, mempengaruhi hormon, penghambat makan, membuat mandul, sebagai
pemikat, penolak, dan aktivitas lainnya yang mempengaruhi OPT (Kardinan
2003). Djojosumarto (2008) dalam buku “Pestisida dan Aplikasinya” menjelaskan
bahwa secara harfiah, pestisida berarti pembunuh hama (pest: hama dan cide:
membunuh). Pestisida pertanian adalah semua zat kimia, campuran zat kimia, atau
bahan-bahan lain (ekstrak tumbuhan, mikroorganisme, dan hasil fermentasi) yang
digunakan untuk keperluan berikut (Djojosumarto 2008):
1. Mengendalikan atau membunuh organisme pengganggu tanaman (OPT).
sebagai contoh insektisida, akarisida, fungisida, nematisida, moluskisida, dan
herbisida.
2. Mengatur pertumbuhan tanaman, dalam arti merangsang atau menghambat
pertumbuhan dan mengeringkan tanaman, seperti zat pengatur tumbuh, defoliant
(senyawa kimia untuk merontokkan daun), dan dessicant (senyawa untuk
mengeringkan daun).
Pestisida nabati memiliki keunggulan dan kelemahan jika dibandingkan
dengan pestisida kimia. Sudarmo (2005) menyebutkan keunggulan pestisida
nabati adalah: murah dan mudah dibuat oleh petani, relatif aman terhadap
lingkungan, tidak menyebabkan keracunan pada tanaman, sulit menimbulkan
kekebalan terhadap hama, kompatibel digabung dengan cara pengendalian yang
lain, dan menghasilkan produk pertanian yang sehat karena bebas residu pestisida
kimia.
Pestisida menurut PP No. 7 tahun 1973 adalah zat kimia dan bahan lain
serta jasad renik dan virus yang dapat dipergunakan untuk memberantas atau
mencegah hama dan penyakit yang merusak tanaman, bagian tanaman atau hasil
pertanian. Selain memberantas hama dan penyakit, pestisida dapat digunakan
untuk memberantas rerumputan, mengatur dan merangsang pertumbuhan yang
tidak diinginkan ( Sudarmo, 1992). Menurut Kardinan (1999), pestisida adalah
suatu zat yang dapat bersifat racun, menghambat pertumbuhan/perkembangan,
tingkah laku, perkembangbiakan, kesehatan, mempengaruhi hormone,
penghambat makan, membuat mandul, sebagai pemikat, penolak dan aktivitas
lainnya yang mempengaruhi organisme pengganggu tanaman.
Kardinan (1999) menyatakan pestisida nabati bersifat “pukul dan lari” ( hit
and run ). Yaitu apabila diaplikasikan akan membunih hama pada waktu itu
setelah hamanya terbunuh maka residunya akan cepat menghilang di alam.
Dengan demikian, tanaman akan terbebas dari residu pestisida dan aman untuk
dikomsumsi. Penggunaan pestisida nabati dapat meminimalkan penggunaan
pestisida sintetik sehingga kerusakan lingkungan yang diakibatkannya pun
diharapkan dapat dikurangi.
Usaha penggunaan bahan nabati dapat dimulai dari bahan tumbuh-
tumbuhan yang dikenal dengan baik, misalnya bahan-bahan ramuan tumbuh-
tumbuhan obat (tanaman jamu tradisional atau empon-empon), bahan yang
diketahui mengandung bahan beracun (gadung, ubi kayu tahun, pocung, jenu, dan
lain-lain), bahan tumbuhan berkembang spesifik ( missal: mengandung rasa gatal,
pahit, bau spesifik, tidak disukai oleh hewan/ serangga seperti awar-awar, rawe,
santhe, dan lain-lain) atau berdasarkan pengetahuan diketahui mempunyai
kemampuan khusus terhadap hama/ penyakit missal: biji srikaya, biji sirsak, biji
mindi, daun nimba dan lain-lain (Anonim, 1998).
Utomo (1992) menyatakan bahwa pestisida alami berasal dari tubuhan
yang dapat diperoleh dari biji, buah, daun, kulit kayu dan akar tanaman dengan
cara diekstraksi.
Bertahun – tahun para petani tergantung pada pestisida kimia. Pestisida
kimiawi selain pengaruhnya langsung pada tanaman (cepat terlihat) juga
dikarenakan subsidi obat-obatan dari pemerintah sehingga harga dari pestisida
kimiawi terjangkau oleh para petani, tetapi keadaan tersebut berubah setelah
Indonesia mengalami krisis ekonomi. Harga pupuk, bibit, obat-obatan melambung
tinggi karena subsidi pemerintah dihapuskan. Mahalnya pestisida kimiawi
membuat para petani berusaha untuk mencari alternatif lain dalam memberantas
hama dan penyakit. Pestisida alternative ini diharapkan dapat memberantas hama
dan penyakit, harganya murah serta ramah terhadap lingkunagn ( Martono, et al,
1999).
Menurut Aslimaliah et al., (2010) Mengatakan bahwah pestisida nabati
dimasukkan ke dalam kelompok pestisida biokimia karena mengandung
biotoksin. Pestisida biokimia adalah bahan yang terjadi secara alami dapat
mengendalikan hama dengan mekanismen non toksik.
C. Penggunaan pestisida di Kabupaten Magelang
Dalam bidang pertanian, pestisida merupakan sarana untuk membunuh
jasad pengganggu tanaman. Menurut FAO pestisida adalah setiap zat atau
campuran yang diharapkan sebagai pencegahan, menghancurkan atau pengawasan
setiap hama termasuk vektor terhadap manusia dan penyakit pada binatang,
tanaman yang tidak disukai dalam proses produksi. Penggunaan pestisida
pertanian Indonesia maju pesat dan juga petani menjadi senang dengan melihat
hasil tanam yang bagus serta tidak rusak diganggu dengan hama dan gulma.
Pada tahun 1984 Indonesia menguasai 20% dari pangsa pasar pestisida dunia,
dalam periode 1982 – 1987 terjadi peningkatan pemakaian pestisida sebesar 36%
dibanding periode sebelumnya, sedangkan untuk herbisida peningkatan mencapai
70% dan total pemakaian insektisida pada tahun 1986 mencapai 1723 ton, yang
berarti setiap hektar lahan pertanian menggunakan 1,69 kilogram insektisida.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak dampak negatif dari
penggunaan pestisida, dampak negatif tersebut diantaranya kasus keracunan pada
manusia, ternak, polusi lingkungan dan resistensi hama.
Tingkat pencemaran pestisida di kabupaten Magelang sudah
mengkhawatirkan, dilihat dari banyaknya petani di sentra hortikultura yang
tercemar pestisida dalam kandungan darahnya. Berdasarkan pemeriksaan sampel
cholinesterase atau uji petik darah tahun 2006, dari 550 sampel darah petani yang
selama ini menggarap ladang sayuran 99,8% di antaranya telah tercemar zat kimia
pembasmi hama. Dari 99,8% petani yang telah keracunan pestisida tersebut,
18,2% termasuk dalam kategori keracunan berat, 72,73% kategori sedang, 8,9%
kategori ringan, dan hanya 0,1% kategori normal.
Penggunaan pestisida akan semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya
kebutuhan produk pertanian. Untuk menghasilkan produk pertanian yang
mencukupi maka setiap gangguan hama dan penyakit (OPT) harus dilakukan
secara bijaksana, apalagi pada era pertanian yang sehat (back to nature) yang lebih
mementingkan produk berkualitas dan bebas dari cemaran, baik hayati maupun
kimia. Produk pertanian yang sehat dan ramah lingkungan sudah merupakan
tuntunan pasar global (AFTA, APEC, dan WTO), dengan label ramah lingkungan
(eco-labeling attributes), bernutrisi tinggi (nutritional attributes), dan aman
dikonsumsi (food safety attributes).
D. Masalah Hama dan Penyakit
Serangan OPT yang melampaui ambang ekonomi dapat menimbulkan
kerugian besar pada petani sehingga diperlukan tindakan pengendalian. Salah satu
tindakan pengendalian yang sering dilakukan adalah dengan menggunakan
pestisida sintetis karena aplikasinya mudah dan praktis serta mampu 2
mengendalikan hama dan penyakit dalam waktu singkat. Intensitas pemakaian
pestisida tersebut meningkat terutama di musim hujan. Penggunaan pestisida yang
berlebihan, selain mahal juga dapat menimbulkan banyak dampak negatif seperti
timbulnya resistensi hama, resurjensi, hama sekunder, dan bahaya residu pada
bahan pangan. Petani tidak peduli terhadap efek samping negatif yang
ditimbulkan oleh aplikasi bahan kimia dari pestisida tersebut.
Menurut Sulistiyono (2012), penggunaan pestisida harus didasarkan pada nilai
ambang ekonomi (AE), namun kenyataan di lapangan penggunaan pestisida masih
menjadi prioritas utama. Penggunaan pestisida untuk mengendalikan OPT sayuran
sudah umum dilakukan oleh petani sayuran di Indonesia. Hasil penelitian Gusfi
(2002) menyatakan bahwa 86.0% petani sayuran di Cipanas melakukan
penyemprotan secara terjadwal dan 92.7% segera melakukan penyemprotan
sebelum gejala serangan hama atau penyakit muncul. Petani sayuran di Cianjur
mengaplikasikan pestisida sintetik secara terjadwal yang dimulai seawal mungkin
saat hama menyerang (Irfan 2008). Sebanyak lebih dari 63% petani kentang di
Pengalengan, Bandung melakukan pengendalian OPT menggunakan pestisida
(kimiawi) (Eslita 2010). Di Desa Sumber Rejo, Kecamatan Ngablak, Magelang,
Jawa Tengah, lebih dari sebagian petani sayuran melakukan pencampuran 2–5
jenis pestisida dalam satu kali aplikasi, dengan alasan agar tanaman terhindar dari
hama dan menghemat biaya (Yuantari 2009), sedangkan di Jawa Timur,
Sulistiyono (2012) menyatakan bahwa penggunan pestisida merupakan teknik
pengendalian hama dan penyakit tanaman sayuran yang paling banyak dilakukan
oleh petani sayuran di Jawa Timur. Penggunaan pestisida secara berlebihan dapat
memberikan dampak yang merugikan bagi tanaman, manusia, dan lingkungan.
Dampak tersebut diantaranya adalah resistensi, resurjensi, ledakan hama sekunder,
terbunuhnya organisme bukan sasaran, keracunan pada manusia, dan pencemaran
lingkungan. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menekan penggunaan
pestisida sintetik adalah dengan menerapkan teknik pengendalian hama terpadu
(PHT).
Konsep pertanian ramah lingkungan adalah konsep pertanian yang
mengedepankan keamanan seluruh komponen yang ada pada lingkungan
ekosistem dimana pertanian ramah lingkungan mengutamakan tanaman maupun
lingkungan serta dapat dilaksanakan dengan menggunakan bahan yang relatif
murah dan peralatan yang relatif sederhana tanpa meninggalkan dampak yang
negatif bagi lingkungan.
Hama
Hama adalah hewan perusak tanaman yang dibudidayakan dan menyebabkan
kerugian secara ekonomi. Sedangkan penyakit adalah gangguan fisiologis
tanaman yang disebabkan oleh patogen penyakit (misalnya bakteri, cendawan,
virus), atau disebabkan oleh faktor abiotik seperti kekurangan unsur hara dan
akibat faktor iklim. Sementara itu, tindakan yang dilakukan agar tanaman
terlindung dari serangan hama dan penyakit disebut proteksi tanaman (Pracaya,
2009).
Ulat Grayak ( Spodoptera litura F.)
Serangga dewasa ( ngengat) berwarna abu-abu, ngengat betina berukuran 1,4
cm dan ngengat jantan 1,7 cm. seekor ngengat betina dewasa bertelur antara 4-8
kelompok berjumlah kurang lebih 2.000 butir yang diletakkan dipermukaan
bawah daun. Telur berwarna putih mutiara dan berbentuk bulat dengan diameter
0,5 mm, telur akan menetas setelah 3 hari. Larva berukuran 4-4,5 cm, berwarna
coklat dengan strip terang dan aktif pada malam hari. Larva yang masih kecil
hidup berkelompok, tetapi setelah dewasa akan berpencar hidup sendiri-sendiri.
Pembentukan pupa terjadi di atas permukaan tanah. Siklus hidup hama ini
berlangsung selama 30-61 hari. Stadium hama yang membahayakan tanaman
adalah larva atau ulat. Ulat merusak seluruh bagian tanaman, terutama kedelai,
tertama daun dan polong. Daun yang terserang berlubang-lubang tidak menentu
ukurannya, bahkan pada tingkat serangan berat dapat mengakibatkan tanaman
menjadi gundul ( Anonim, 1997; Rukmana dan Yuniarsih, 2003).
Ulat Grayak (Spodoptera litura) adalah salah satu penyebab kerusakan
tanaman ( Duriat et.al., 1996). Menurut adisarwanto dan widianto (1999) cit. laoh
et.al. (2003) kerusakan yang ditimbulkan serangan Spodoptera litura sebesar 12,5
% pada beberapa tanaman meliputi kedelai, kacang tanah, kubis, ubi jalar, kentang
dan lain-lain, dan lebih dari 20% setelah berumur lebih dari 20 hari setelah tanam.
Masalah kerusakan akibat serangan hama merupakan bagian dari budidaya
pertanian sejak dahulu. Hama merupakan jasad pengganggu yang berupa binatang
dan bersifat merugikan karena memakan bagian tanaman yang diusahakan,
sehingga keberadaannya sangat merugikan dan tidak diinginkan ( Untung, 2001).
Pengendalian ulat grayak pada tingkat petani pada umumnya masih
menggunakan insektisida kimia sintesis, dan biasanya mempunyai dampak negatif
baik pada tanaman, organisme bermanfaat bagi lingkungan, sehingga untuk
menghadapi hal tersebut salah satunya adalah pemanfaatan agens hayati (Laoh et.
al., 2003).
Pengendalian hayati merupakan teknik pengendalian memanfaatkan agens
hayati. Pada dasarnya pemanfaatan agens hayati adalah untuk mengendalikan
populasi seperti Spodoptera litura sebagai perusak tanaman. Pengendalian hayati
merupakan taktik pengelolaan hama yang dilakukan secara sengaja dengan
memanfaatkan dan memanipulasi musuh alami tersebut (Untung, 2001).
Trip
Trip (ordo Thysanoptera) merupakan serangga kecil dengan panjang 0,5–5
mm, namun beberapa jenis di daerah tropika panjangnya dapat mencapai 14 mm
(Borror et al. 1996; Antonelli 2003).
Keberadaan trips anggota suku Thripidae di wilayah Jawa Barat yang
merupakan sentra produksi tanaman hortikultura terbesar di Indonesia hingga kini
masih menjadi permasalahan yang cukup serius, terutama pada tanaman-tanaman
yang termasuk ke dalam suku Fabaceae, Rosaceae, dan Solanaceae (Sartiami
2008; Sartiami & Mound 2013).
Hama Ulat
C. pavonana merupakan salah satu hama penting pada tanaman sayuran
Brassicaceae seperti kubis, brokoli, kol bunga, sawi dan lobak (Kalshoven, 1981).
Pada kubis, hama ini memakan daun yang masih muda sampai habis kemudian
bergerak menuju ke bagian titik tumbuh, dan apabila diserang penyakit maka
tanaman akan mati karena bagian dalamnya menjadi busuk (Lubis, 1982).
Dilaporkan oleh Uhan (1993), serangan hama ini dapat mengakibatkan kehilangan
hasil kubis sebesar 65,80%.
Kutu Daun
Hama-hama yang berasosiasi pada tanaman stroberi di Kelurahan Rurukan
Kota Tomohon yaitu (Kaligis dan Sumual) yaitu dari Ordo Homoptera :
Aphididae (Aphids sp), dari Ordo Orthoptera : Acrididae (Patanga sp) dan Ordo :
Diptera : Drosophilidae (Kaligis dan Sumual, 2013).
Berdasarkan laporan dari petani stroberi di Kecamatan Rurukan, bahwa
terdapat gangguan hama stroberi, khususnya hama kutu daun. Kutu daun ini
menyebabkan kerugian bagi petani setempat. Untuk itu penelitian mengenai
intensitas serangan hama kutu daun (Chaetosiphon sp) yang sering menyerang
tanaman stroberi di areal pertanaman stroberi di Kelurahan Rurukan Kecamatan
Tomohon Timur perlu dilakukan. Penelitian ini sangat penting, sebagai upaya
untuk menentukan cara pengendalian yang efektif dan efisien terhadap hama kutu
daun stroberi.
Wereng
Wereng cokelat (Nilaparvata lugens) adalah salah satu hama utama tanaman
padi di Indonesia. Berdasarkan catatan yang ada wereng cokelat diketahui sudah
menyerang tanaman padi sejak tahun 1931 pada lahan sawah di daerah Dramaga
Bogor (Baehaki, 2012). Oleh karena itu, untuk menjaga kestabilan produksi padi
di Indonesia maka perlu dilakukan pengendalian hama wereng cokelat yang
menyerang tanaman padi.
Pengendalian hama wereng cokelat dapat dilakukan dengan menggunakan
minyak atsiri. Minyak atsiri atau yang disebut juga dengan „essential oils‟ adalah
salah satu bahan alam dari jenis tumbuhan yang berasal dari daun, bunga, kayu,
bijibijian bahkan putik bunga (Gunawan, 2009). Salah satu contoh minyak atsiri
sangat menjanjikan yaitu minyak serai wangi dan minyak daun cengkeh sebagai
insektisida nabati.
Penyakit
Akar Gada
Akar gada disebabkan oleh Plasmodiophora brassicae Wor. Adalah
merupakan salah satu penyakit penting yang banyak menyerang tanaman
kubiskubisanbaik yang dibudidayakan maupun yang liar (Karling 1968). Penyakit
ini dapat menjadi salah satu kendala utama produksi tanaman kubis di berbagai
negara, karena tanaman yang terinfeksi akan terhambat pertumbuhannya dan
padatanaman kubis menyebabkan tanaman tidak dapat menghasilkan krop (Agrios
2005). Kerugian hasil yang diakibatkan oleh penyakit ini berkisar antara 35
sampai 100 persen (Suryaningsih 1981).
Di Indonesia pertama kali diketahui pada tahun 1950 di Sukabumi, Jawa
Barat. Selanjutnya penyakit akar gada telah menyerang seluruh daerah
pertanaman kubis di daerah Jawa Barat, diantaranya Cipanas, Pacet, Cisarua,
Lembang, Pangalengan dan Kuningan (Suryaningsih 1981).
Sampai saat ini penyakit akar gada masih sulit diatasi karena tingginya daya
tahan spora rehat P. brassicae didalam tanah. Spora-spora rehat yang terlepas dari
serpihan-serpihan akar yang terinfeksi menyebabkan peningkatan inokulum pada
areal yang ditanami secara berulang-ulang dengan kelompok Brassica spp. P.
brassicae dapat menyebar melalui aliran air permukaan (Stakman dan Harrar
1957), tanah, air, angin, bibit dan benih (Agrios 2005), alat pertanian dan butiran
tanah yang terbawa hasil panen (Walker 1975), serta diduga 18 dapat terbawa
melalui pupuk kandang karena P. brassicae pada sisa-sisa tanaman kubis yang
dimakan oleh ternak dapat bertahan didalam pencernaan ternak (Suryaningsih
1981). P. brassicae merupakan endoparasit obligat dan hanya dapat berkembang
pada inang yang terbatas. Jika tanah telah terinfestasi P. brassicae maka patogen
tersebut akan terus menjadi faktor pembatas dalam budidaya tanaman famili
Brassicaceae, karena daya tahannya yang tinggi terhadap perubahan lingkungan
dan pestisida dalam tanah. Sifatnya yang endoparasit obligat ini sering
menimbulkan kesulitan dalam mempelajari aspek-aspek ekologi patogen sehingga
beberapa informasi tentang patogen ini belum terpecahkan (Alexopoulos et al.
1996).
Penyebab penyakit akar gada adalah plasmodiophora brssicae Wor. Dalam
klasifikasi Alexopoulos et.al. (1996) pathogen ini termasuk Sub Divisi
Masigomycota, klas Plasmodiophora brassicae. Cendawan tersebut merupakan
parasit obligat pada jaringan tanaman. Pathogen ini mempunyai daur hidup yang
cukup rumit, dengan membentuk spora rehat, membentuk spora rehat, berbentuk
bulat, berwarna hialin, dan membentuk diameter 4 μm . spora rehat ini
berkecambah pada medium yang sesuai, membengkak sehingga ukurannya
beberapa kali lebih besar dari ukuran semula dan biasanya menjadi satu spora
kembara (zoospora). Zoospora yang dihasilkan memiliki dua flagella yang tidak
sama panjangnya. Spora kembara ini telanjang (tidak berdinding sel), merupakan
protoplas berinti satu bergerak aktif, selama beberapa menit bergerak dengan
kejutan-kejutan yang tidak teratur seperti ameba (Agrios 1997).
Faktor-faktor yang mempengaruhi Penyakit
Faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan P. brassicae antara
lain kelembaban tanah, suhu, intensitas cahaya, dan kemasaman tanah.
Kelembaban tanah yang tinggi sangat mendukung perkembangan spora rehat
terhadap tanaman inang. Pada kandunan air tanah 45% infeksi berjalan sangat
lambat, sedangkan pada kandungan air 50% atau lebih dan gejala berkembang
lebih cepat (Mattusch 1997 dalam Semangun 2004). Selain faktor lingkungan,
juga dapat dipengaruhi oleh pathogen itu sendiri, viabilitas spora rehat, kerapatan
inoculum, dan ras pathogen. Kondisi inang juga mempengaruhi perkembangan
pathogen ini, seperti kisaran inang yang rentan, dan morfologi dari system
perakaran (Mattusch 1997 dalam Semangun 2004). Faktor lain yang
mempengaruhi kemampuan infesi pathogen adalah mikroorganisme yang terdapat
dalam ekosistem tersebut, seperti bakteri, virus, dan nematode. Mikroorganisme
ini ada yang bersifat antagonistic (berlawanan), sinergis (saling mendukung) atau
sama sekali tidak mempengaruhi aktivitas pathogen (Rao 1994).
Gejala Penyakit
Tanaman kubis yang terinfeksi P. barssicae akar membengkak, daun
berwarna hijau pucat. Layu pada siang hari, kadang0kadang segar kembali pada
malam hari. Serangan pada tanaman kubis yang masih muda akan menyebabkan
kematian, sedangkan pada tanaman yang sudah tua, tanaman akan tetap bertahan
hidup, hal ini menyebabkan produksi tanaman menurun. Akar yang terinfeksi P.
brassicae akan mengadakan reaksi pembelahan yang tidak teratur. Bintil akar
bersatu, sehingga menjadi bengkak dan memanjang mirip batang (gada).
Rusaknya jaringan akar menyebabkan rusaknya jaringan pengangkutan,
sehingga translokasi air dan unsur hara terganggu. Tanaman tampak merana, lebih
cepat layu daripada daun biasa. Dalam lingkungan yang basah, serangan akar gada
akan meningkat, sehingga seluruh system perakaran busuk sama sekali
(Semangun 2004).
Pengendalian Penyakit
Tanah yang terinfeksi P. brassicae sukar dibebaskan kembali dari pathogen.
Apabila tanah sudah terinfeksi, dapat dianjurkan melakukan tindakan seperti
pembibitan di lokasi yang bebas dari pathogen, meningkatkan pH tanah dengan
cara pengapuran, pemberian fungisida pada tanah, dan pemberian pupuk urea,
TSP dan KCL. Pembibitan di lokasi bebas pathogen dan pengapuran pada tanah
bertujuan mempersempit luas daerah serangan, dan meningkatkan pertumbuhan
tanaman kubis-kubisan. Sedangkan pemberian boron akan meningkatkan serangan
penyakit akar gada (Djatnika 1984).
Antraknosa
Colletotrichum sp. merupakan penyebab penyakit antraknosa, selain juga
dilaporkan sebagai busuk merah tebu, penyakit buah kopi, busuk mahkota pada
stroberi dan pisang, serta bercak coklat kacang tunggak (Waller et al. 2002).
Penyakit antraknosa disebabkan oleh cendawan Colletotrichum sp., dengan gejala
yang diawali oleh bercak coklat kehitaman pada permukaan buah, yang
selanjutnya meluas menjadi gejala busuk lunak. Pada gejala ini akan muncul
kumpulan titik-titik hitam yang merupakan tubuh buah cendawan tersebut.
Upaya pengendalian antraknosa (Colletotrichum spp.) perlu dilakukan untuk
mengoptimalkan produktivitas cabai, menekan kehilangan hasil, dan penurunan 5
kualitas buah akibat pemanenan tersebut. Beberapa penelitian telah dilakukan
untuk mengendalikan penyakit antraknosa, diantaranya melalui upaya perakitan
varietas tahan (Wusani 2004), bioteknologi dalam rekayasa genetik tanaman
(Mahasuk et al. 2008), modifikasi lingkungan, pemanfaatan ekstrak tanaman
(Rahman et al. 2011), serta pemanfaatan agens hayati (Istikorini 2008; Wilia
2010).
Penyakit antraknosa termasuk ke dalam kelas Deuteromycetes ordo
Melanconiales. Cendawan ini mempunyai hifa berseptat, konidia berbentuk
tabung dengan ujung-ujung yang tumpul, kadang-kadang berbentuk jorong
dengan ujung membulat dan dasar sempit terpancung, hialin, tidak bersekat, bersel
satu, berukuran 9-24 x 3-6 µm, terbentuk pada konidiofor yang tidak bersekat,
bersel satu, hialin atau cokelat pucat. Cendawan yang termasuk ke dalam kelas
Deuteromycetes ini memiliki miselium yang berkembang sempurna dan
bercabang. Reproduksi struktur seksual jarang terjadi, bila diketahui dapat
bereproduksi seksual maka dimasukkaan kedalam kelas Ascomycetes atau
Basidiomycetes (Semangun 2000).
Penyakit antraknosa merupakan penyakit biogenik. Kata antraknosa adalah
suatu peralihan dari kata Inggris anthracnose. Kata ini awalnya berasal dari dua
kata Yunani : anthrax yang berarti radang dan di bawah kulit atau bisul, dan nosos
yang artinya penyakit (Kalie, 1992). Penyakit busuk buah ini akan menimbulkan
kerugian besar terutama dengan kehadiran lalat buah (William et al., 1993).
Penyakit antraknosa ini menyerang berbagai jenis tanaman diantaranya kelapa,
kapas, serealia, pepaya, pisang, mangga, buncis, strawbery, mentimun bawang
merah, tomat dan cabai.
Penyebab penyakit antraknosa ini disebabkan oleh cendawan Colletotrichum
sp. cendawan ini termasuk dalam sub divisi Deuteromycotyna, kelas
Coelomycetes, ordo Melanconiales, famili Melaconiaceae dan genus
Colletotrichum (Agrios, 1988). Ordo Melanconiales yang mempunyai tubuh buah
berbentuk aservulus, menyebabkan penyakit penting yaitu antraknosa. Genus
yang menyebabkan penyakit antraknosa ini adalah Gloeosporium, Colletotrichum,
Stigmina, Marssonina, dan Sphaceloma (Semangun, 2006). Genus yang menjadi
penyebab utama penyakit antraknosa adalah Gloeosporium dan Colletotrichum.
Terdapat perbedaan antara Gloeosporium dengan Colletotrichum, pada
Colletotrichum mempunyai seta (rambut-rambut) berwarna gelap pada
aservulusnya, sedangkan pada Gloeosporium tidak terdapat seta (Agrios, 1988).
Kalie (1992) menyatakan penyakit antraknosa ini disebabkan oleh sejenis
kapang yang disebut cendawan Colletotrichum, termasuk famili Melanconiaceae,
sub kelas cendawan imperfecti. Kapang ini memiliki tubuh oval sampai
memanjang, agak melengkung dan dalam jumlah banyak berwarna kemerahan.
Kapang ini sesungguhnya tidak hanya menyerang buah saja tetapi juga menyerang
daun bunga, ranting dan tanaman semai.
Virus Gemini
Virus gemini termasuk dalarn kelompok virus tanaman dengan genom
berukuran 2,6-2,8 kb berupa utas tunggal DNA yang melingkar, dan terselubung
dalam virion ikosahedra kembar (geminate) (Harrison 1985; Lazarowitz 1987).
Replikasi virus terjadi dalam bagian nukleus tanaman melalui pembentukan utas
ganda DNA (double stranded DNA replicative form). Kelompok virus gemini
dibedakan &lam tiga subgrup, subgrup pertama memiliki genom yang monopartit,
menginfeksi tanaman-tanaman monokotiledon dan ditularkan oleh vektor wereng
dam (leafhopper); subgrup kedua juga ditularkan oleh vektor wereng daun, dan
memiliki genom monopartit, tetapi menginfeksi tanaman-tanaman dikotiledon;
subgrup ketiga memiliki anggota yang paling banyak dan beragam, dengan genom
bipartit, menginfeksi tanaman-tanaman dikotiledon dan ditularkan oleh serangga
vektor kutu kebul (Bemicia tabaci Genn.) (Gilbertson et al. 1991).
Busuk Batang Brokoli (Busuk Hitam)
Penyakit penting yang sering menyerang tanaman brokoli adalah penyakit
busuk hitam yang disebabkan oleh bakteri Xanthomonas campestris Dows
(Rukmana, 1994), yang berakibat pada penurunan produksi brokoli dan gagal
panen. Infeksi tanaman oleh bakteri ini menyebabkan batang atau massa bunga
yang terserang menjadi busuk berwarna hitam atau coklat sehingga tanaman tidak
dapat dipanen.
Gejala khas di daun pada penyakit busuk hitam yang dapat membedakannya
dengan penyakit lain adalah bercak kuning berbentuk V. Bercak ini kemudian
dapat menyebar ke seluruh daun dan tanaman. Bakteri dapat pula menyebabkan
pembuluh menghitam, pengangkutan nutrisi terhambat, dan krop hitam. Menurut
Pracaya (2001), gejala awal penyakit busuk hitam berupa bercak mirip huruf V
berwarna kuning di bagian tepi ujung daun yang meluas menuju tulang daun
bagian tengah kemudian, pada massa bunga brokoli terdapat busuk berwarna
hitam.
Layu Daun
Dalam budidaya tomat terdapat kendala di lapangan yaitu gangguan hama
dan penyebab penyakit tanaman baik bakteri, jamur, virus maupun
mikroorganisme lain. Salah satu penyakit yang mengganggu tanaman tomat yaitu
penyakit layu yang disebabkan oleh jamur Fusarium oxysporum f.sp lycopersici
yang merupakan salah satu penyakit utama pada tanaman tomat. Penyakit ini
pernah dilaporkan menimbulkan kerugian yang besar di Jawa Timur dengan
tingkat serangan mencapai 23% (Bustaman, 1997). Sedangkan di Kalimantan
Tengah serangan patogen ini mencapai 25%-50% berdasarkan data Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (1997). Adanya serangan F. oxysporum menjadi
salah satu pembatas yang menyebabkan terjadinya penurunan produksi tomat
(Freeman et al., 2002). Patogen ini dapat ditemukan pada daerah beriklim sedang
dan tropis serta pada lingkungan yang beragam, seperti daerah kutub utara dan
daerah padang pasir (Nelson, 1981).
Busuk Buah Cabai
Penyakit busuk buah Phytophthora pada tanaman cabai sebenarnya
memiliki posisi yang setara dengan penyakit layu Fusarium, layu bakteri, ataupun
antraknosa. Hanya saja, lantaran sering luput dari perhatian, akhirnya
keberadaannya sering tidak terkontrol, hingga menimbulkan dampak yang fatal 13
bagi para petani sendiri.Phytophthora capsici telah dikenal sebagai salah satu
jamur patogen yang mampu menimbulkan kerusakan parah pada hampir semua
bagian tanaman cabai(Semangun, 2007).
Pengertian Pendapatan
Pendapatan merupakan suatu hasil yang diterima oleh seseorang atau rumah
tangga dari berusaha atau bekerja. Jenis masyarakat bermacam ragam, seperti
bertani, nelayan, beternak, buruh, serta berdagang dan juga bekerja pada sektor
pemerintah dan swasta (Nazir, 2010: 17) .
Faktor –faktor yang Mempengaruhi Pendapatan
Pada hakikatnya pendapatan yang diterima oleh seseorang maupun badan
usaha tentunya dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti tingkat pendidikan dan
pengalaman seorang, semakin tinggi tingkat pendidikan dan pengalaman maka
makin tinggi pula tingkat pendapatanya, kemudian juga tingkat pendapatan sangat
dipengaruhi oleh modal kerja, jam kerja, akses kredit, jumlah tenaga kerja,
tanggungan keluarga, jenis barang dagangan (produk) dan faktor lainya. Pada
umumnya masyarakat selalu mencari tingkat pendapatan tinggi untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangganya, akan tetapi dibatasi oleh beberapa faktor tersebut
(Nazir, 2010).
E. Hipotesis
Ada faktor penentu pemakaian pestisida nabati dalam budidaya tanaman
sayuran oleh petani serta karakteristik yang mempengaruhinya di Kabupaten
Magelang, Jawa Tengah.