Post on 21-Oct-2020
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Brucellosis adalah penyakit zoonosis, yang menular dari hewan ke
manusia melalui kontak langsung dari hewan terinfeksi, minum susu dari hewan
terinfeksi dan menghirup udara yang tercemar oleh bakteri gram negatif penyebab
Brucellosis yaitu Brucella sp.1
Brucellosis memiliki dampak ekonomi sangat tinggi berkaitan dengan
rendahnya produktivitas hewan penderita dan pada manusia karena tingginya
biaya pengobatan akibat durasi pengobatan yang lama serta dapat mengurangi
produktivitas penderita. Brucellosis memiliki dampak terhadap kesehatan
masyarakat di hampir seluruh negara dunia.1
Food and Agriculture Organization (FAO), World Health Organization
(WHO) dan Office de Internationale Epizootika (OIE) atau organisasi kesehatan
hewan se-dunia telah menetapkan bahwa Brucellosis adalah salah satu zoonosis
yang menular secara cepat dan luas pada hewan ternak dan manusia.2
Di Indonesia, kasus Brucelosis pada hewan ditemukan pertama kali tahun
1915 pada sapi di Jawa. Hingga tahun 2014 daerah yang bebas kasus Brucellosis
pada hewan adalah Riau, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu,
Bangka Belitung, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan seluruh
pulau Kalimantan. Pulau Jawa diupayakan akan bebas Brucellosis pada tahun
2025.3,4
Mengingat sebagian besar wilayah di Indonesia masih belum bebas
Brucellosis pada hewan, maka besar kemungkinan risiko penularannya ke
manusia. Namun kasus Brucellosis manusia di Indonesia masih sulit terdeteksi,
kasus terakhir yang dilaporkan dari hasil penelitian Sudibyo (1995) terdapat
antibodi terhadap Brucellosis pada 13,6% serum pekerja kandang sapi perah,
22.6% pekerja rumah potong babi dan 3% pekerja rumah potong babi.5
Untuk menuju Indonesia bebas Brucellosis harus memperhatikan konsep
one health yang membutuhkan kerja sama antara Kementerian Kesehatan dan
Kementerian Pertanian sehingga penyakit zoonosis seperti Brucellosis dapat
mudah dikendalikan. Namun belum ada data mengenai pekerja Tempat
2
Pemerahan Susu (TPS) yang mengalami demam yang dikorelasikan dengan
kejadian Brucellosis pada hewan serta belum ada data titer antibodi pekerja TPS
terhadap Brucellosis. Hal tersebut memerlukan penelitian untuk mengetahui
prevalensi antibodi Brucella pada pekerja TPS dan dapat diketahui keberadaan
agen penyebab Brucellosis serta dapat dilakukan tindakan pemberantasan dengan
segera di induk semang Brucellosis, baik pada hewan dan manusia.
Selain itu, data berupa prevalensi Brucellosis di manusia, yaitu pekerja
tempat pemerahan susu dapat berguna sebagai data dasar bagi bagian pelaksana
program sebagai masukan dalam pembuatan penetapan kebijakan terkait dengan
Brucellosis, sehingga status kesehatan masyarakat, terutama masyarakat para
peternakan sapi perah akan lebih optimal.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
apakah pekerja TPS di sentra sapi perah DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah
dan Jawa Timur memiliki antibodi (Ig G dan Ig M) terhadap Brucella dan apakah
demam yang terjadi pada pekerja TPS disebabkan karena Brucellosis.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Brucellosis menjadi salah satu penyakit zoonosis yang mendapat perhatian
utama dalam upaya pemberantasannya oleh Kementerian Pertanian RI karena
dampak yang sangat luas dan menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup tinggi
pada hewan ternak serta hingga saat ini seluruh wilayah Indonesia belum bebas
dari Brucellosis. Ditambah dengan sistem pemeliharaan hewan ternak yang
dilakukan oleh masyarakat masih secara konvensional dan belum memperhatikan
aspek kebersihan.2,3
Brucellosis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Brucella sp yang
dapat menyerang hewan seperti sapi, kambing, domba, babi dan manusia. Hasil
penelitian terakhir menyebutkan bahwa Brucella dapat menyerang hewan air
seperti siput. Terdapat 6 spesies Brucella, namun ada 4 spesies yang dapat
menyerang manusia, yaitu Brucella mellitensis yang terdapat pada kambing dan
3
domba, B. abortus yang terdapat pada sapi, kerbau dan unta, B. suis terdapat pada
babi dan tikus, B. canis yang terdapat pada anjing.6
Brucella memiliki potensi sebagai agen bioterorisme karena
kemampuannya untuk menular melalui udara dan menyebabkan penyakit yang
kronis sehingga membutuhkan kombinasi antibiotika dan waktu pengobatan yang
lama.6
Prevalensi Brucellosis manusia cukup tinggi diakibatkan kontak yang
dekat antara hewan dan manusia dan budaya konsumsi minum susu sapi atau
kambing yang masih mentah. Brucellosis pada manusia juga dikaitkan sebagai
occupational diseases atau penyakit akibat kerja. Hal ini disebabkan karena
Brucellosis juga menginfeksi pekerja peternakan seperti peternak, pemerah susu,
dokter hewan dan mantri hewan yang berhubungan langsung dengan ternak.5
Seroprevalensi Brucellosis terbanyak pada laki-laki umur 20-45 tahun
Beberapa studi seroprevalensi Brucellosis di manusia telah dilakukan di beberapa
negara termasuk di Ethiopia. Kasus Brucellosis menjadi salah satu penyakit yang
paling banyak berdampak pada kesehatan masyarakat di Afrika. Brucellosis di
manusia masih endemik di beberapa bagian dunia, seperti di India, Pakistan, Cina
Tiongkok dan Srilanka. Di Malaysia, pertama kali terdeteksi kasus Brucellosis
tahun 2010 pada seorang anak umur 6 tahun akibat minum susu kambing
mentah.6-8
Brucellosis di manusia terutama terjadi pada 2 jalan, yaitu : 1) makanan,
mengkonsumsi makanan dan susu non pasterurisasi yang tercemar bakteri
Brucella, 2) pekerjaan, Brucellosis termasuk salah satu penyakit yang berkaitan
dengan pekerjaan, kasus penyakit banyak terjadi di dokter hewan, peternak,
pekerja Rumah Potong Hewan (RPH), pekerja Tempat Pemerahan Susu (TPS),
para pemotong hewan dan pekerja laboratorium.7-8
Semakin tinggi kasus Brucellosis di hewan, mengakibatkan semakin tinggi
kasus Brucellosis di manusia. Adanya kasus Brucellosis pada manusia yang
memiliki kedekatan dengan hewan ternak mengindikasikan program sanitasi yang
diterapkan dalam kandang masih kurang baik.4,9-10
4
Gejala klinis Brucellosis di manusia umumnya tidak spesifik seperti
demam undulan yaitu demam yang mengalami naik turun, berkeringat, kelemahan
badan secara umum, sakit kepala, nyeri sendi, dan kadang-kadang penderita
sering didiagnosa malaria atau influenza.4,5
Diagnosis a Brucella dapat dilakukan melalui pemeriksaan serum sebagai
uji penapisan awal. Pemeriksaan serum dilakukan untuk memeriksa adanya
aglutinasi di dalam serum, jika serum tersebut terdapat antibodi terhadap Brucella.
Namun sensitivitas pemeriksaan serum belum mencapai 100% karena menurut
penelitian yang telah dilakukan oleh Sanodze (2015), ditemukan kultur bakteri
Brucella pada responden yang tidak memiliki gejala klinis terhadap Brucella dan
hasil pemeriksaan serum negatif terhadap Brucella. Pemeriksaan serum seperti
aglutinasi tidak sensitif terhadap penderita yang masih terinfeksi tahap awal
Brucellosis atau bakteremia.11
III. TUJUAN PENELITIAN
3.1 TUJUAN UMUM
Mengetahui prevalensi Brucellosis di manusia pada pekerja TPS sentra
sapi perah di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur
3.2 TUJUAN KHUSUS
1. Untuk Mengetahui tingkat antibodi (Ig G dan Ig M) Brucella pada pekerja
TPS
2. Untuk Mengetahui keberadaan agen penyebab Brucellosis pada sapi dan
lingkungan kandang
3. Untuk Mengetahui gejala klinis Brucellosis pada pekerja TPS
4. Untuk Mengetahui pengetahuan, sikap dan perilaku pekerja TPS terhadap
kasus Brucellosis
I. MANFAAT PENELITIAN
1. Memberikan data dasar untuk bagian program dalam hal pembuatan
Standard Operational Procedure (SOP), kebijakan dan peraturan terkait
dengan kesehatan masyarakat di tempat pemerahan susu
5
2. Memberikan promosi kesehatan lebih lanjut pada pekerja TPS dalam upaya
meningkatkan kualitas hidup
3. Dapat ber Terwujudnya koordinasi dengan Kementerian Pertanian dalam hal
pemberantasan Brucellosis di induk semang penyakit, yaitu di hewan dan
manusia
4. Menambah ilmu pengetahuan bagi khasanah ilmiah dalam hal penelitian
zoonosis, terutama Brucellosis
5. Dapat dijadikan Sebagai dasar penelitian pendahuluan untuk menjadi
penelitian lanjut
V. METODE
5.1 Kerangka Teori
Segitiga penyakit terjadinya Brucellosis seperti berikut12
:
Kerangka teori di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:, terjadinya
Brucellosis baik pada hewan dan manusia disebabkan adanya peranan segitiga
penyakit yaitu ketidakseimbangan antara faktor host (sapi, babi dan kambing),
agen penyakit (Brucella sp) dan lingkungan kandang yang buruk sehingga dapat
menjadi tempat yang ideal untuk Brucella sp berkembang biak dan hidup, seperti
tingkat sanitasi buruk, kepadatan hewan dalam kandang, praktek kebersihan yang
dijalankan oleh operator kandang rendah. Adanya ketidakseimbangan faktor itu
Induk semang utama
Brucellosis
Manusia Sanitasi kandang
buruk
Manajemen
pemeliharaan jelek
Kebersihan pekerja
kandang rendah
Agen penyakit
Bakteri Brucella sp
6
menyebabkan terjadinya Brucellosis pada hewan yang dapat menular ke
manusia.12
5.2 Kerangka Konsep
Kerangka konsep di atas menjelaskan hubungan antara variabel bebas
dengan variabel terikat. Ada tidaknya titer antibodi Brucella di pekerja TPS
sebagai variabel terikat tergantung dari variabel bebas yaitu jumlah kasus
Brucellosis di hewan, lama kontak dengan hewan, frekuensi minum susu tanpa
pasteurisasi, kondisi lingkungan kandang, kelengkapan pemakaian pakaian dan
peralatan selama bekerja di dalam TPS dan frekuensi kontak dengan limbah asal
hewan.
5.3 Desain dan Jenis Penelitian
Desain penelitian cross sectional
5.4 Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di Tempat Pemerahan Susu Sapi Perah (TPS) yang
berada di Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah dan
Pekerja TPS :
Ada gejala
klinis
Tanpa gejala
klinis
Kasus Brucellosis
di hewan
Titer
antibodi
Kasus
Brucellosis
di manusia
Penularan secara :
per oral (minum susu tidak
terpasteurisasi)
kontak langsung dengan
hewan penderita Brucellosis
inhalasi
Diagnosa
pasti
7
Provinsi Jawa Timur. Penelitian akan dilakukan pada bulan April – Desember
2016.
5.5 Populasi dan Sampel
Populasi adalah semua orang yang bekerja TPS di Provinsi DKI Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur
Sampel adalah pemerah susu, dokter hewan dan pembersih kandang pada TPS di
Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur
5.6 Besar Sampel, Cara Pemilihan dan Penarikan Sampel
Sampel:
Prevalensi kasus Brucellosis pada manusia yang diambil sebagai acuan pada
penelitian ini adalah sebesar 14,.9% yaitu kasus prevalensi brucellosis pada
manusia di Malaysia, berdasarkan literatur terbaru tahun 2014.7
Rumus besar sampel didasarkan pada uji estimasi proporsi adalah :
[ Z2
1-α/2 p (1-p)
n =
Keterangan :
p = proporsi kasus Brucellosis pada pekerja TPS (0,14)4
d = simpangan mutlak (5%)
Z2
1-α/2 = nilai deviat baku Z pada derajat kesenjangan tertentu
Deff = 2
Berdasarkan rumus di atas, maka didapatkan nilai n yaitu 9,.8, dilakukan
pembulatan sehingga nilai n adalah 10, ditambah dengan 10% derajat kesalahan
maka jumlah sampel adalah 11 responden di tiap-tiap TPS.
Tehnik sampling :
Dari 46 TPS yang akan diteliti, jumlah total responden yang dibutuhkan di dalam
penelitian ini sebanyak 506 responden.13
d2
X Deff
8
Cara Pengambilan Sampel :
Cara pengambilan sampel dilakukan secara stratified sampling, yang
dilakukan pemilihan mulai dari tingkat provinsi, lalu ke kabupaten kemudian
turun ke TPS, sebagai berikut ini :
Pemilihan Provinsi
Penelitian dilakukan pada 4 provinsi terpilih yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat,
Jawa Tengah dan Jawa Timur karena sapi perah di Indonesia sebagian besar
terdapat di pulau Jawa.
Pemilihan Kabupaten
Masing-masing provinsi dipilih beberapa kabupaten terpilih berdasarkan jumlah
populasi sapi perah terbanyak; , dimana pada provinsi Jawa Barat terpilih Garut
dan Lembang, provinsi Jawa Tengah di kabupaten Boyolali dan provinsi Jawa
Timur terpilih kabupaten Pasuruan dan Batu. Setelah mendapatkan diperoleh
kabupaten terpilih maka dicari jumlah TPS yang ada di tiap-tiap kabupaten.
Pemilihan TPS
Terdapat 3 TPS yang terdapat di daerah Pondok Ranggon, Jakarta Timur dan
Mampang, Jakarta Selatan Provinsi DKI Jakarta, 13 TPS di daerah Lembang dan
Garut Provinsi Jawa Barat, 10 TPS di daerah Boyolali Provinsi Jawa Tengah dan
20 TPS di daerah Pasuruan, Malang dan Batu Provinsi Jawa Timur.9 Sehingga
total sebanyak 46 TPS. TPS yang digunakan sebagai lokasi penelitian adalah TPS
milik rakyat yang dikelola secara tradisional.
Pemilihan Sampel
Responden yang terpilih sebagai sampel di tiap-tiap TPS dilakukan melalui
systematic random sampling untuk pekerja TPS sedangkan sampel berupa dokter
hewan diambil seluruhnya per TPS.
5.7 Kriteria inklusi dan eksklusi
Kriteria inklusi: pekerja TPS yang memiliki kasus Brucellosis di hewan, memiliki
riwayat demam undulan, berumur 20-60 tahun, kontak dengan sapi perah atau
meminum susu sapi atau kontak dengan ekskreta sapi perah dalam kurun waktu 1-
2 bulan terakhir
9
Kriteria eksklusi: pekerja TPS yang memiliki kelainan darah, pekerja TPS yang
minum obat pengencer darah.5.8 Variabel
Variabel bebas: kasus Brucellosis di hewan, lama kontak dengan hewan, frekuensi
minum susu tanpa pasteurisasi, kondisi lingkungan kandang, kelengkapan
pemakaian pakaian dan peralatan selama bekerja di dalam TPS, frekuensi kontak
dengan limbah asal hewan, pengetahuan, sikap dan perilaku pekerja TPS terhadap
brucellosis sebagai penyakit zoonosis.
Variabel terikat: titer antibodi Brucellosis di pekerja TPS, titer antigen Brucella di
pekerja TPS
5.9 Definisi Operasional
Tabel 1. Definisi Operasional Penelitian
Variabel Definisi
Operasional
Metode
Penentuan
Acuan Nilai
positif
Skala
Pengukuran
Variabel Bebas
Kasus
Brucellosis di
hewan, lama
kontak
Jumlah kasus
Brucellosis
pada hewan
yang tecatat
dalam buku
kesehatan
hewan
Pengamatan
fisik, data
sekunder
P.H Bamaiyi,
(2014)7
Persentase Ordinal
Demam undulan
di pekerja
Demam yang
memiliki
grafik naik
turun yang
disertai
dengan gejala
nyeri sendi
dan
kelemahan
tubuh
Wawancara
dan pengisian
kuesioner
Arvas,et al.
(2013)14
Nominal
Lingkungan Lingkungan
kandang yang
memiliki
tingkat
sanitasi rendah
Pengamatan
fisik
P.H Bamaiyi,
(2014)7
Ordinal
Variabel Terikat
Pengetahuan
mengenai
Brucellosis
Pengetahuan
adalah tingkat
sejauh mana
seseorang
mengetahui
tentang
Pengisian
kuesioner
Notoatmojo,
(1997)15
Nominal
10
Sikap
Brucellosis
Persepsi
seseorang
tentang
sesuatu yang
diyakini
Pengisian
kuesioner
Notoatmojo,
(1997)15
Nominal
Perilaku
meminum susu
sapi mentah
Perilaku
meminum
susu sapi
tanpa
dilakukan
tindakan
pasteurisasi
terlebih
dahulu seperti
direbus
Pengisian
kuesioner
Rahman,
(2014)9
Nominal
Perilaku
memerah susu
Perilaku
pekerja TPS
yang sesuai
dengan SOP
pemerahan
susu yang
higienis
Pengisian
kuesioner
Rahman,
(2014)9
Nominal
Perilaku kontak
dengan sapi
perah
Perilaku
pekerja TPS
yang tidak
memakai
pelindung diri
dan tidak
menjaga
kebersihan
hewan dan
kandang
Pengisian
kuesioner
Rahman,
(2014)9
Nominal
5.10 Instrumen dan Cara Pengambilan Data
Total serum yang dibutuhkan untuk uji RBT dan ELISA sebanyak 130 µ.
Sehingga pekerja TPS diambil darah sebanyak 3 ml, kelebihan serum akan
disimpan sebagai Bahan Biologi Tersimpan (BBT). Sampel darah diletakkan di
dalam tabung, dibiarkan beberapa jam agar membentuk bekuan darah, serum yang
terbentuk disimpan dalam suhu -200C dan akan melalui dua tahapan uji yaitu RBT
dan ELISA. Pengisian kuesioner akan dilakukan oleh tenaga terlatih dari Pusat
Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan (PBTDK).
Pengujian yang akan dilakukan antara lain :
1. Uji Rose Bengal (RBT test)
Uji RBT akan positif pada kasus Brucellosis yang akut. Uji dilakukan oleh
tenaga laboran dari laboratorium Bakteriologi PBTDK Balitbang Kemenkes.
Prosedur uji RBT adalah sebagai berikut ini : 30 µl serum yang sudah dikoleksi
11
diteteskan pada plate kemudian dicampur dengan antigen Brucella dengan jumlah
yang sama, sehingga percampurannya membentuk diameter sebesar 2 cm. Serum
dan antigen dicampur menggunakan pengaduk, kemudian plate digoyang-
goyangkan dengan tangan selama 4 menit, selanjutnya akan terlihat proses
aglutinasi jika serum mengandung antibodi Brucella. Tingkat aglutinasi akan
disesuaikan dengan kriteria sebagai berikut : 0 = tidak terdapat aglutinasi, + =
aglutinasi hanya sedikit, ++ aglutinasi terlihat sebagian, +++ = aglutinasi terlihat
sangat jelas.
Sampel yang memiliki tingkat aglutinasi sebesar + dikatakan positif Brucella.
Setelah dilakukan uji RBT, dilanjutkan dengan uji ELISA untuk konfirmasi
2. Uji ELISA
Uji ELISA digunakan untuk mengetahui kasus Brucellosis kronis dan
adanya komplikasi penyakit yang menyertai. Uji ELISA ini memakai Brucellosis
Ig G dan Ig M komersial kit dari PANBIO (Windsar, Brisbane, Australia).5
Nilai
index yang didapatkan akan dikelompokkan menjadi negatif jika 11. Secara keseluruhan uji ELISA memakan waktu selama 2,5 jam.
Serum yang dibutuhkan per sampel sebanyak 100 µ.
5.11 Bahan dan Prosedur Kerja
Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah Reagen RBT,
Brucellosis Ig G dan Ig M komersial ELISA kit dari IDEXX, serum darah
responden dan alkohol.
1. Skema Prosedur kerja
Lokasi TPS yang ditentukan : total 46 TPS
Urus Proses ijin etik
penelitian
Urus Proses ijin penelitian : Kemendagri pusat, provinsi dan kabupaten : Jakarta Timurs,
Lembang, Bandung, Garut, Boyolali, Semarangdan Malang
12
Gambar 1. Prosedur kerja
Keterangan :
Penelitian dimulai jika sudah mendapat ijin etik dari Komisi Etik Balitbangkes
dan ijin penelitian di masing-masing daerah dari Kesbangpol setempat yang
berawal dari ijin Kementerian Dalam Negeri Pusat. Pengurusan ijin penelitian
dibantu oleh anggota tim dari daerah. Pelaksanaan penelitian di daerah juga
dibantu oleh anggota tim dari daerah yang meliputi petugas puskesmas dalam hal
pengambilan sampel darah dan penanganan serum. Penanganan serum dilakukan
di masing-masing lokasi dengan alat sentrifus oleh anggota tim pusat. Penunjukan
anggota tim dari puskesmas yang terlibat dalam penelitian dilakukan oleh petugas
dinas kesehatan kabupaten setempat. Anggota tim daerah lainnya berasal dari
Dinas Peternakan setempat yang bertugas dalam hal memastikan kelancaran
pelaksanaan penelitian dan berkoordinasi dengan Koperasi Peternakan Sapi Perah
Pekerja TPS yang memenuhi kriteria inklusi
1. Menulis kuesioner terstruktur
2. Diambil darah sebanyak 3 ml
Serum yang terbentuk
ELISA
Pembacaan hasil uji RBT dan ELISA
Penulisan laporan penelitian
RBT
Kultur bakteri
Hanya dilakukan pada
responden yang demam
Pembacaan dan analisis hasil
Data karakteristik responden,
pengetahuan, sikap dan perilaku
kuesioner
13
setempat.Anggota tim dari pusat bertugas dalam hal mewawancarai pemerah susu
dan dokter hewan setempat dalam hal pengisian kuesioner dan memastikan serum
yang terbentuk sesuai dengan sampel yang diinginkan, pengujian laboratorium
hingga tahap penulisan laporan penelitian.
Pekerja TPS yang masuk dalam kriteria inklusi diberikan kuesioner
terstruktur untuk diisi, setelah itu darah diambil sebanyak 3 ml. Darah akan
diperlakukan untuk mendapatkan serum yang akan digunakan untuk uji RBT dan
ELISA. Uji kultur bakteri hanya dilakukan pada responden yang sedang
mengalami demam pada saat pengambilan darah. Uji kultur bakteri dilakukan
pada sampel berupa plasma darah. Hasil tes akan dibaca dan dianalisis
dibandingkan dengan hasil kuesioner, dilanjutkan dengan penulisan laporan
penelitian.
5.12 Manajemen dan Analisis Data
Data hasil berupa titer antibodi Brucella akan dianalisis menggunakan
statistik epidemiologi untuk menentukan tingkat prevalensi Brucellosis pada
pekerja TPS.
Data berupa kuesioner diolah melalui SPSS versi 11,5. Karakteristik
responden dianalisis melalui analisis univariat. Variabel pengetahuan, sikap dan
perilaku dilakukan skoring. Soal pengetahuan terdiri dari 7 pertanyaan, nilai skor
tertinggi 8 skor terendah adalah 0. Sehingga total jawaban tertinggi adalah 23 dan
terendah adalah 0. Soal sikap terdiri dari 7 pertanyaan, nilai skor tertinggi 1 skor
terendah adalah 0. Sehingga total jawaban tertinggi adalah 7 dan terendah adalah
0. Soal perilaku terdiri dari 16 pertanyaan, nilai skor tertinggi 4 skor terendah
adalah 0. Sehingga total jawaban tertinggi adalah 64 dan terendah adalah 0. Data
kemudian dimasukkan ke SPSS dan diolah, tingkat pengetahuan, sikap dan
perilaku responden dikelompokkan menjadi 3 kategori yaitu : baik, sedang dan
kurang.
VI. HASIL PENELITIAN
Sebelum dilakukan pengumpulan data, terlebih dahulu dilakukan pre
survei yang bertujuan untuk mengurus ijin penelitian di tiap-tiap daerah di dalam
14
hal ini dilakukan di Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (BakesbangPol), Dinas
Kesehatan dan Dinas Peternakan, membicarakan tentang maksud dan tujuan
penelitian, menyusun tim anggota dari daerah, mengetahui kasus Brucella di
hewan, populasi sapi perah, jumlah tempat pemerahan susu dan jumlah peternak
sapi perah di tiap-tiap daerah.
Pre-survei telah dilaksanakan di 7 lokasi penelitian sebagaimana tertera di
dalam Tabel 2 berikut ini :
Tabel 2. Hasil Pre-survei di Tiap-Tiap Lokasi Penelitian
Kab/Kota Ijin Penelitian Rakor untuk
menentukan
pelaksanaan
penelitian
Kasus Brucella
di hewan
Jumlah
sapi
perah
(ekor)
Jml
Peternak
(orang) Kesbang
pol
Dinkes Disnak
Jakarta
Timur
V V Masih
tertu-
tup
Sudah
dilaksanakan,
namun pihak
Disnak masih
tertutup sehingga
membutuhkan
pendekatan yang
berkali-kali
Prevalensi
Brucella sangat
besar yaitu
>10%
3800 24 orang
di
Pondok
Ranggon
Bandung
Barat
V V V Sudah
dilaksanakan,
semua pihak
sangat kooperatif
terhadap rencana
penelitian.
Penelitian akan
dilaksanakan di
peternak anggota
KPSBU
Lembang
Ada, namun
sudah 2-3 tahun
lalu
>100.000 3000-
7000
Bandung
Ja
V V V Sudah
dilaksanakan.
Sangat
kooperatif.
Penelitian
direncanakan di
peternak anggota
KPBS
Pengalengan
Ada sapi positif
CFT pada tahun
2016 di
Pengalengan
>50.000 2500-
6500
Garut V V V Sudah
dilaksanakan.
Rencana
penelitian di
peternak kecil
daerah Cilawu
karena dekat
dengan
puskesmas
Cilawu
Ada kasus
Brucella di
tahun 2016,
sebanyak 9 ekor
sapi positif CFT
di Cilawu
15
Semarang V V V Sudah
dilaksanakan.
Rencana
penelitian akan
dilakukan di
peternak anggota
KUD Getasan
Ada namun
sudah lama
terjadi, di atas 5
tahun yang lalu
20000 50-100
Boyolali V V V Sudah
dilaksanakan.
Rencana
penelitian akan
dilakukan di
peternak daerah
Mojosongo dan
Cepogoh yang
merupakan
sentra sapi perah
dan pembuatan
olahan susu
Data dari 2015
tidak ditemukan
Brucella
>100.000 100-200
Malang V V V Sudah
dilaksanakan.
Penelitian akan
dilakukan di
Pujon yang
merupakan area
kerja Puskesmas
Pujon.
Puskesmas Pujon
sangat antusias
terhadap
penelitian ini
Ada sudah
terjadi 15 tahun
yang lalu
>
100.000
60.600
Hasil dari pre-survei di atas, semua daerah lokasi penelitian pada
prinsipnya tidak berkeberatan dengan penelitian ini, terutama dinas kesehatan
yang mayoritas belum mengetahui adanya penyakit Brucella yang bersifat
zoonosis. Hal tersebut bertolak belakang dengan dinas peternakan yang sudah
mengetahui Brucella bersifat zoonosis karena Brucella merupakan salah satu
penyakit zoonosis yang prioritas untuk dimusnahkan di hewan oleh Kementerian
Pertanian.
Berdasarkan hal tersebut dinas peternakan di semua lokasi sangat
menyambut baik adanya penelitian ini, terbukti anggota tim dari daerah adalah
dinas peternakan yang bertugas membantu memilih calon responden yang
merupakan peternak binaan dan menjembatani komunikasi antara peneliti dengan
peternak. Penentuan lokasi penelitian juga dibantu oleh dinas peternakan,
16
sehingga beban pekerjaan yang paling besar di dalam pre survei terletak pada
dinas peternakan.
Dinas kesehatan membantu pada saat pengumpulan data dimana
membutuhkan tenaga pengambilan darah dan mengolah darah responden menjadi
serum yang merupakan tugas dan tanggung jawab dinas kesehatan. Pada
pelaksanaan penelitian ini, tugas tersebut dilaksanakan oleh tenaga laboran dari
puskesmas setempat.
Berdasarkan dari hasil presurvei, didapatkan frame sampling yang berupa
jumlah TPS yang berbeda di tiap-tiap daerah. Jumlah responden di tiap daerah
sebanyak n x jumlah TPS yang ada, sesuai dengan tabel berikut ini dimana n
adalah 11.
Tabel 3. Frame Sampling Penelitian
Kabupaten Jumlah TPS Jumlah responden (n x jml TPS)
DKI Jakarta 3 33
Bandung 7 77
Bandung Barat 8 88
Garut 5 55
Semarang 5 55
Boyolali 8 88
Malang 10 110
Jumlah Total 46 506
Sehubungan dengan adanya kebijakan Pemerintah terkait efisiensi
anggaran belanja negara yang diberlakukan sejak September 2016, maka
pengumpulan data baru sempat dilakukan di dua lokasi penelitian, yaitu di
kabupaten Boyolali dan kabupaten Garut. Responden yang sesuai dengan kriteria
inklusi di kabupaten Boyolali dan kabupaten Garut masing-masing sebanyak 92
orang dan 57 orang, sehingga total responden adalah 149 orang. Tahapan
pemeriksaan yang dilakukan di laboratorium tidak lengkap, yaitu hanya tahap
pemeriksaaan anti antibodi dan komplemen, sedangkan tahap pemeriksaan
selanjutnya yaitu titer antibodi Brucella dan kultur bakteri Brucella tidak
dilakukan, terkait adanya efisiensi dana penelitian yang menimpa penelitian ini.
17
VI.1 Hasil Uji RBT dan CFT
Hasil uji RBT pada kabupaten Boyolali, dari 92 responden ditemukan 3
responden positif 3 (+++) yang ditandai dengan aglutinasi pasir secara cepat
terbentuk pada saat serum diteteskan reagen RBT. Hasil uji RBT pada kabupaten
Garut, dari 56 responden ditemukan 4 responden positif 3 (+++) yang ditandai
dengan aglutinasi pasir secara cepat terbentuk pada saat serum diteteskan reagen
RBT. Hasil uji RBT dikonfirmasi dengan uji CFT untuk peneguhan diagnosa
terhadap Brucella. Bentuk aglutinasi yang terjadi pada uji RBT dan CFT dapat
dilihat pada gambar berikut ini :
Gambar 2. Hasil Pemeriksaan RBT. Aglutinasi terlihat pada lubang kedua (panah)
Gambar 3. Hasil Pemeriksaan CFT. Titik aglutinasi terlihat jelas di dasar lubang
sumuran (panah)
Hasil pemeriksaan RBT dan CFT responden Boyolali dan Garut
dirangkum secara jelas pada Tabel 4 berikut ini.
18
Tabel 4. Hasil Uji RBT dan CFT
Jumlah responden RBT CFT
+ (orang) - (orang) + (orang) - (orang)
92 (Boyolali) 3 (3,3%) 89 (96,7%) 0 (0%) 92 (100%)
57 (Garut) 4 (7,01%) 53 (92,9%) 3 (5,3%) 54 (94,7%)
Jumlah responden di Boyolali pada pemeriksaan RBT didapatkan hasil
3,3% positif Brucella, dan menurun menjadi 0% pada pemeriksaan CFT. Jumlah
responden Garut semula pemeriksaan RBT menunjukkan hasil 7,01% positif
Brucella, kemudian dikonfirmasi dengan pemeriksaan CFT untuk peneguhan
diagnosisa terhadap Brucella, didapatkan hasil sebanyak 5,3% positif terinfeksi
Brucella. Jika dikorelasikan dengan kuesioner yang ada, mayoritas responden
yang positif CFT itu pada saat dilakukan penelitian tidak terdapat ditemukan
gejala klinis Brucella.
VI.2 Karakteristik Responden
Pada penelitian ini diketahui karakteristik responden berdasarkan jenis
kelamin, usia, pekerjaan, lama bekerja di kandang, kepemilikan sapi, tingkat
pendidikan dan penghasilan. Karakteristik responden dibagi 2 berdasarkan lokasi
penelitian yaitu di Boyolali dan Garut, terlihat pada tabel berikut ini
Tabel 5. Distribusi Menurut Karakteristik Responden di Boyolali
No Karakteristik Responden Jumlah (n) Persentase (%)
1 Jenis Kelamin
1. Laki-laki 66 71.7 2. Perempuan 26 28.3 2 Umur
1. < 30 tahun 7 7.6 2. 30-39 tahun 17 18.5 3. 40-49 tahun 26 28.3 4. > 50 tahun 42 45.7 3 Pekerjaan Utama
1. Dokter Hewan 6 6.6 2. Pemerah susu 38 41.8 3. Pembersih kandang 7 7.7 4. Paramedik 7 7.7 5. Pengolah susu 6 6.6
19
6. Lainnya 27 29.7 4 Pendidikan responden
1. Tidak sekolah 1 1.1 2. Tidak tamat SD 4 4.3 3. Tamat SD 31 33.7 4. Tamat SLTP 14 15.2 5. Tamat SLTA 27 29.3 6. Tamat Perguruan Tinggi 13 14.1 7. Lainnya 2 2.2 5 Status kepemilikan sapi
1. Milik sendiri 64 72.7 2. Milik orang lain 22 25.0 3. Tidak punya sapi 6 2.3
6 Lama bekerja di kandang
1. < 1 tahun 2 2.6 2. 1-5 tahun 12 15.6 3. 6-10 19 24.7 4. >10 tahun 44 57.1 7 Pendapatan per bulan
1. < Rp. 1.000.000 20 21.8
2. Rp.1.000.000 – Rp. 2000.000 29 31.5 3. Rp. 2000.000 – Rp.3000.000 28 30.4 4. > Rp. 3.000.000 15 16.3 8 Apakah di dalam keluarga ada
riwayat abortus atau lahir
prematur?
1. Ya 15 16.3 2. Tidak 77 83.7 9 Pernah mengalami demam yang
naik turun dalam 3 bulan
terakhir ?
1. Ya 10 11.0 2. Tidak 68 74.7 3. Kadang-kadang 13 14.3
Terlihat dari Tabel 6, mayoritas responden di Boyolali berjenis kelamin
laki-laki, berumur di atas 50 tahun, memiliki pekerjaan utama sebagai pemerah
susu, berpendidikan tamat SD dan lama bekerja di atas 10 tahun.
Tabel 6. Tabel Distribusi Menurut Karakteristik Responden di Garut
No Karakteristik Responden Jumlah (n) Persentase (%)
1 Jenis Kelamin
1. Laki-laki 28 50 2. Perempuan 28 50 2 Umur
1. < 30 tahun 11 19.6 2. 30-39 tahun 11 19.6 3. 40-49 tahun 21 37.5 4. > 50 tahun 13 23.2 3 Pekerjaan Utama
1. Dokter Hewan 0 0
20
2. Pemerah susu 43 76.8 3. Pembersih kandang 5 8.9 4. Paramedik 2 3.6 5. Pengolah susu 3 5.4 6. Lainnya 3 5.4 4 Pendidikan responden
1. Tidak tamat SD 12 21.4 2. Tamat SD 33 58.9 3. Tamat SLTP 8 14.3 4. Tamat SLTA 2 3.6 5. Tamat Perguruan Tinggi 1 1.8 5 Status kepemilikan sapi
1. Milik sendiri 44 78.6 2. Milik orang lain 12 21.4 6 Lama bekerja di kandang
1. < 5 tahun 6 10.9 2. 5-10 tahun 17 30.9 3. >10 tahun 32 58.2 7 Pendapatan per bulan
1. < Rp. 1.000.000 10 17.9
2. Rp.1.000.000– Rp. 2.000.000 31 55.4 3. Rp. 2000.000 – Rp.3000.000 9 16.1 4. > Rp. 3.000.000 6 10.7 8 Apakah di dalam keluarga ada
riwayat abortus atau lahir
prematur?
1. Ya 4 7.1 2. Tidak 52 92.9 9 Pernah mengalami demam yang
naik turun dalam 3 bulan
terakhir ?
1. Ya 4 7.1 2. Tidak 52 92.9 3. Kadang-kadang 0 0
Secara garis besar karakteristik responden di Boyolali dan Garut terdapat
kesamaan, yaitu mayoritas berjenis kelamin laki-laki, berusia 40-49 tahun,
berpendidikan tamat SD, pekerjaan utama sebagai pemerah susu, memiliki sapi
perah, lama bekerja di atas 10 tahun, berpendapatan sebesar Rp 1.000.000 – Rp
2.000.000, tidak memiliki riwayat abortus di dalam keluarga dan tidak pernah
mengalami demam yang naik turun dalam 3 bulan terakhir.
Selain karakteristik responden, diketahui juga karakteristik sapi seperti
terlihat di dalam Tabel 7 berikut ini :
Tabel 7. Karakteristik Sapi Perah di Boyolali
No Karakteristik Sapi Perah Jumlah (n) Persentase (%)
1 Riwayat abortus
1. Ya 4 5.2 2. Tidak 73 94.8
21
2 Divaksinasi Brucella
1. Ya 52 67.5 2. Tidak 25 32.5 3 Lama Dipelihara
1. < 3 bulan 3 3.8 2. 3-6 bulan 10 12.7 3. > 6 bulan 65 82.3 4 Sumber sapi
1. Pasar lokal 67 88.2 2. Warisan 7 9.2 3. Pemerintah 2 2.6 5 Jumlah sapi yang dimiliki
1. < 5 36 42.4 2. 5-10 38 44.7 3. >10 11 12.9 6 Rerata umur sapi
1. < 1 tahun 61 79.2 2. 1-5 tahun 15 19.5 3. >5 tahun 1 1.3 7 Produksi susu (per hari)
1. 1-5 liter 15 22.4
2. 6-10 liter 26 38.8 3. > 10 liter 26 38.8
Mayoritas sapi perah di Boyolali, tidak memiliki riwayat abortus, sudah
divaksinasi Brucella, lama dipelihara di atas 6 bulan, berasal dari pasar lokal
Boyolali, berusia di bawah 1 tahun dan memiliki produksi susu di atas 10 liter.
Tabel 8. Karakteristik Sapi Perah di Garut
No Karakteristik Sapi Perah Jumlah (n) Persentase (%)
1 Riwayat abortus
1. Ya 8 14.8 2. Tidak 46 85.2 2 Divaksinasi Brucella
1. Ya 6 11.1 2. Tidak 48 88.9 3 Lama Dipelihara
1. < 3 bulan 0 0 2. 3-6 bulan 1 1.9 3. > 6 bulan 53 98.1 4 Sumber sapi
1. Pasar lokal 34 63.0 2. Luar daerah 1 provinsi 13 24.1 3. Beda provinsi 4 7.4 4. Warisan 1 1.9 5. Pemerintah 2 3.7 5 Jumlah sapi yang dimiliki
1. < 5 26 48.1 2. 5-10 25 46.3 3. >10 3 5.6 6 Rerata umur sapi
1. < 1 tahun 1 1.9 2. 1-5 tahun 39 72.2
22
3. >5 tahun 14 25.9 7 Produksi susu
1. 1-5 liter 1 1.9
2. 6-10 liter 1 1.9 3. > 10 liter 52 96.3
Secara umum terdapat kesamaan karakteristik sapi perah di Boyolali dan
Garut, yaitu sebagian besar tidak memiliki riwayat abortus dan lama sapi
dipelihara di atas 6 bulan. Perbedaan yang tampak jelas bahwa sapi di Garut
sebagian besar tidak divaksin Brucella dan sedang dalam usia produksi susu yaitu
umur 1-5 tahun
VI.3 Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Responden
Pengetahuan, sikap dan perilaku responden terhadap Brucellosis pada
manusia diukur memakai kuesioner. Kuesioner terbagi atas 3 blok pertanyaan
yang masing-masing untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku
responden. Pertanyaan yang diajukan dan rerata skor tertinggi responden terhadap
tiap-tiap pertanyaan terlihat di dalam tTabel 9 berikut ini :
Tabel 9. Daftar Pertanyaan Untuk Mengetahui Tingkat Pengetahuan Responden
Terhadap Brucellosis pada Manusia
No Pertanyaan Rerata nilai responden Nilai tiap
pertanyaan Boyolali Garut
1 Apakah Saudara pernah mendengar tentang
penyakit brucellosis/keguguran/keluron/demam
undulan?
0.68
0.43
1
2 Darimana Saudara mendapat informasi tentang
penyakit brucellosis?
1.24
0.7
8
3 Menurut Saudara, apakah penyakit Brucellosis
dapat menular ke manusia ?
0.75
0.8
2
4 Menurut Saudara apakah yang menyebabkan
seseorang tertular oleh Brucellosis?
0.82
1.21
3
5 Sebutkan tanda-tanda orang yang terjangkit
penyakit Brucellosis
1.24
1.14
5
6 Menurut Saudara apakah Brucellosis pada
manusia dapat diobati dengan… (pilihan)
0.66
0.75
1
7 Menurut Saudara apa upaya pencegahan untuk
terhindar dari Brucellosis?
2.33
2.59
3
Tabel 9 di atas menunjukkan bahwa mayoritas responden di Boyolali
memiliki nilai terendah pada pertanyaan nomor 6 mengenai pengobatan Brucella.
23
Nilai tertinggi terletak pada pertanyaan nomor 7 mengenai upaya pencegahan
terhadap Brucellosis. Mayoritas responden di Garut memiliki nilai terendah pada
pertanyaan nomor 1 mengenai tingkat pengetahuan terhadap Brucellosis pada
manusia. Nilai tertinggi pada pertanyaan nomor 7 mengenai upaya pencegahan
terhadap Brucellosis.
Tabel 10. Daftar Pertanyaan Untuk Mengetahui Sikap Responden Terhadap
Brucellosis pada Manusia
No Pertanyaan Rerata nilai responden Nilai tiap
pertanyaan Boyolali Garut
1 Menjaga kebersihan kandang tidak penting
karena tidak mempengaruhi kesehatan sapi dan
manusia
0.87
0.68
1
2 Minum susu sapi mentah dapat terhindar dari
Brucellosis
0.63
0.57
1
3 Mencuci tangan dengan sabun sehabis
menyentuh sapi sangat penting
0.97
1
1
4 Tidak perlu membersihkan puting susu sapi
dengan desinfektan setelah memerah sapi
0.64
0.64
1
5 Meminum susu sapi sangat penting untuk
menjaga kesehatan tubuh, terutama untuk anak-
anak
0.98
0.95
1
6 Limbah kotoran sapi tidak harus diolah menjadi
pupuk
0.36
0.52
1
Tabel 10 di atas menunjukkan bahwa mayoritas responden di Boyolali
memiliki nilai terendah pada pertanyaan nomor 6 mengenai penanganan limbah
kotoran sapi. Nilai tertinggi terletak pada pertanyaan nomor 5 mengenai sikap
yang setuju bahwa meminum susu sapi penting untuk kesehatan. Mayoritas
responden di Garut juga memiliki nilai terendah pada pertanyaan nomor 6. Nilai
tertinggi pada pertanyaan nomor 3 mengenai sikap cuci tangan setelah kontak
dengan sapi.
Tabel 11. Daftar Pertanyaan Untuk Mengetahui Perilaku Responden Terhadap
Brucellosis pada Manusia
24
No Pertanyaan Rerata nilai responden Nilai tiap
pertanyaan Boyolali Garut
1 Sapi dikandangkan setiap hari? 3.46
3.68
4
2 Sapi tidak selalu dimandikan setiap hari? 2.27
1.27
4
3 Kandang selalu dibersihkan setiap hari? 3.41 3.48 4 4 Peralatan kandang dipakai untuk membersihkan
kandang?
3.42
3.34
4
5 Menggunakan desinfektan setiap membersihkan
kandang?
0.85
1.11
4
6 Tidak perlu menggunakan desinfektan pada
putting susu setelah memerah sapi?
2.47
2.88
4
7 Sebelum memerah susu, seluruh peralatan
sudah bersih?
3.37
3.5
4
8 Sapi sudah dimandikan sebelum memerah susu? 0.76 2.48 4
9 Tidak perlu cuci tangan sehabis kontak dengan
sapi?
2.08
1.93
4
10 Selalu memakai masker saat berada di dalam
kandang sapi?
1.05
0.07
4
11 Sapi yang abortus dipisahkan dari teman
sekandang
1.37
0.86
4
12 Limbah berupa kotoran sapi dan urine tidak
diolah untuk menjadi pupuk?
1.848
3.321
4
13 Limbah berupa kotoran sapi dan urine langsung
dibuang keluar kandang?
2.761
2.411
4
14 Kotoran sapi dan urine ditampung? 2.609 1.464 4
15 Sumber air di kandang selalu dijaga
kebersihannya?
3.37
3.375
4
16 Segera berobat ke puskesmas terdekat atau
tenaga medis jika mengalami demam yang naik
turun
3.239
2.857
4
Tabel 11 di atas menunjukkan bahwa mayoritas responden di Boyolali
memiliki nilai terendah pada pertanyaan nomor 8 mengenai perilaku responden
apakah memandikan sapi terlebih dahulu sebelum diperah susu. Nilai tertinggi
terletak pada pertanyaan nomor 1 mengenai perilaku mengandangkan sapi setiap
hari. Mayoritas responden di Garut juga memiliki nilai terendah pada pertanyaan
nomor 10 mengenai perilaku memakai masker di dalam kandang sapi. Nilai
tertinggi juga pada pertanyaan nomor 1 mengenai perilaku mengandangkan sapi
setiap hari.
25
Perbedaan yang mendasar perilaku responden di Boyolali dan Garut
adalah pada poin sapi dimandikan tiap hari. Di Boyolali secara geografis memiliki
keterbatasan sumber air sehingga sapi hanya dimandikan maksimal sebanyak dua
kali dalam satu bulan.
Mayoritas peternak belum mengolah limbah feses dan urin menjadi pupuk
karena keterbatasan sarana infrastruktur. Limbah feses hanya didiamkan di dalam
kandang untuk kemudian dalam periode tertentu diambil dan langsung dijual ke
petani. Peternak juga belum memakai Alat Perlengkapan Diri (APD) yang cukup
memadai selama bekerja di dalam kandang, seperti tidak memakai masker. Sapi
abortus juga tetap diletakkan di dalam satu kandang bersama sapi lainnya, dimana
perilaku ini paling banyak ditemukan di Garut. Mayoritas responden juga tidak
segera berobat ke puskesmas jika sakit, terutama di Garut.
Pengetahuan, sikap dan perilaku responden dilakukan skoring terlebih
dahulu yaitu baik, sedang dan buruk. Rerata nilai pengetahuan, sikap dan perilaku
responden di Boyolali dan Garut terlihat pada tabel 12 berikut ini :
Tabel 12. Rerata Tingkat Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Responden Terhadap
Brucellosis Pada Manusia
Data kemudian diuji normalitas data untuk mengetahui apakah data
tersebut berdistribusi normal atau tidak. Setelah diuji, terlihat nilai p
26
responden diuji melalui uji statistik Chi Square, seperti terlihat pada tabel berikut
ini :
Tabel 13. Nilai p Variabel Pengetahuan, Sikap dan Perilaku
Variabel Nilai p
Boyolali Garut
Pengetahuan VS Sikap 0,516 0,901
Pengetahuan VS Perilaku 0,1 0,320
Sikap VS Perilaku 0,757 0,724
Terlihat nilai p semua variabel lebih dari 0,05 yang berarti tidak ada
hubungan antara pengetahuan dengan sikap, pengetahuan dengan perilaku dan
sikap dengan perilaku responden terhadap Brucellosis di manusia.
VII. PEMBAHASAN
Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Rahman, dkk faktor
risiko Brucellosis pada manusia adalah jenis kelamin, umur dan tipe pekerjaan.
Penderita brucellosis lebih banyak pada laki-laki, berusia antara 39-50 tahun dan
bekerja di peternakan.9 Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini dimana
yaitu responden yang positif pada uji CFT berjenis kelamin laki-laki, berusia 40-
49 tahun dan bekerja sebagai pemerah susu.
Penularan Brucella dari hewan ke manusia dapat melalui per oral yaitu
mengkonsumsi susu mentah yang tidak dimasak terlebih dahulu, kontak langsung
dengan hewan penderita melalui luka pada kulit dan membrane mukosa serta
melalui jalur pernafasan.16
Pada penelitian ini, kemungkinan responden tertular
Brucellosis melalui kontak langsung dengan hewan penderita dan per inhalasi
mengingat rerata lama bekerja di peternakan sebanyak lebih dari 10 tahun dan
sapi belum divaksinasi Brucella.
Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Njeru, et
al bahwa dosis infektif Brucellosis ke manusia adalah dosis rendah, sehingga
seseorang baru dapat terinfeksi Brucella jika terpapar dalam jangka waktu yang
lama, sehingga gejala klinis yang terlihat pada seseorang yang memiliki uji CFT
positif terhadap Brucella adalah asimptomatik.17
Dimana Pada penelitian ini,
yang telah kami lakukan, mayoritas responden yang terinfeksi memiliki lama
waktu bekerja di dalam kandang di atas 10 tahun. Sehingga dapat dikatakan
27
bahwa ambang batas maksimal seseorang agar terhindar dari infeksi Brucella
adalah di bawah 10 tahun. Gejala klinis yang asimptomatik juga terdapat di dalam
penelitian ini; , dimana mayoritas responden yang positif CFT tidak memiliki
gejala klinis yang khas terhadap Brucella. Hanya kadang-kadang saja responden
mengaku menderita demam yang naik turun, dan data riwayat abortus maupun
kematian prematur di dalam keluarga juga tidak ada.
Pekerjaan yang berisiko tinggi tertular Brucellosis adalah dokter hewan,
mantri hewan, peternak, pemerah susu, pembersih kandang, pengolah susu dan
pekerja Rumah Potong Hewan (RPH). Anggota keluarga penderita Brucellosis
juga berisiko tinggi dapat tertular jika hewan dipelihara dekat dengan tempat
tinggal.18
Terbukti pada hasil penelitian ini, pekerjaan yang berisiko tinggi tertular
adalah pemerah susu karena 3 responden yang terinfeksi Brucella bekerja sebagai
pemerah susu. Dimana sSecara tidak langsung, anggota keluarga dari penderita
tersebut memiliki risiko tinggi tertular Brucellosis karena sapi dipelihara dekat
dengan tempat tinggal. Hal ini sebaiknya mendapat perhatian utama dari
pemegang kebijakan karena dampak yang ditimbulkan oleh Brucella ini sangat
luas, tidak hanya orang yang terinfeksi saja yang dapat diperhatikan namun
anggota keluarganya juga memiliki risiko tinggi untuk terinfeksi Brucella.
Sebagian besar sapi dipelihara di dekat tempat tinggal, hal ini terlihat di
lokasi penelitian, baik di Boyolali maupun Garut. Jarak antara kandang dan rumah
kurang dari 12 meter seperti yang disarankan oleh Pemerintah melalui
Kementerian Pertanian. Jarak yang dekat ini kemungkinan karena sapi yang
dipelihara berjumlah di bawah 10 ekor sehingga membutuhkan luas kandang yang
tidak terlalu besar dan dapat diletakkan di area kosong sekitar rumah. Pada
pengamatan yang telah dilakukan, banyak sapi diletakkan di dekat dapur, halaman
depan dan halaman belakang rumah.2-4
Sumber air untuk kandang sapi juga dipakai untuk kebutuhan hidup
pemilik rumah. Hal inilah yang membuat sapi jarang dimandikan, maksimal dua
kali dalam 1 bulan di Boyolali, karena kesulitan air yang terdapat di daerah
tersebut yang mengakibatkan air diprioritaskan untuk kebutuhan manusia saja.
Begitupula halnya di Garut, namun sapi dimandikan setidaknya tiap 3 hari,
28
walaupun tidak tiap hari sesuai dengan petunjuk pemeliharaan sapi perah yang
baik dan benar.
Pendidikan merupakan salah satu faktor risiko untuk terserang Brucellosis.
Responden yang berpendidikan di atas Sekolah Menengah Atas memiliki risiko
yang lebih rendah untuk tertular Brucellosis.18
Hal tersebut sesuai dengan hasil
penelitian ini, rerata pendidikan pada responden di Garut adalah Sekolah Dasar
sehingga rentan untuk tertular Brucellosis. Pendidikan akan membuat
pengetahuan seseorang meningkat. Pendidikan rendah menyebabkan tingkat
pengetahuan rendah dan susah untuk diberikan penyuluhan kesehatan.
Diagnosis terhadap Brucellosis di pada manusia merupakan tantangan
tersendiri bagi praktisi kesehatan mengingat gejala Brucellosis sangat luas seperti
sakit sendi, pusing, berkeringat di malam hari, demam yang berkepanjangan dan
alat diagnosa Brucella yang tidak ada, sehingga sering dikelirukan dengan
penyakit lain seperti Malaria dan TBC yang berakibat pemberian terapi yang salah
dan berkepanjangan.16
Hal ini ditemukan pada saat presurvei penelitian ini, yaitu
mayoritas tenaga kesehatan di Dinas Kesehatan dan Puskesmas tidak memiliki
catatan data kasus mengenai Brucellosis pada manusia meskipun terdapat banyak
kasus abortus pada masyarakat namun para tenaga kesehatan tersebut tidak ada
yang memasukkan Brucellosis sebagai diagnosa banding di dalam kasus abortus.
Menurut literatur yang ada, disamping kesulitan diagnosa Brucellosis,
kasus Brucellosis yang baru diperkirakan muncul sebanyak 500.000 kasus tiap
tahun di dunia. Di negara berkembang, Brucellosis pada manusia bukan
merupakan penyakit yang diprioritaskan untuk dibasmi pada sistem kesehatan,
termasuk di Indonesia. Hal inilah yang membuat World Health Organization
(WHO) memasukkan Brucellosis sebagai penyakit zoonosis yang terabaikan di
tingkat pertama.19-20
Data mengenai prevalensi Brucellosis pada manusia, faktor risiko, induk
semang dan perantara Brucellosis yang potensial, penting untuk diketahui agar
dapat ditemukan upaya pencegahan dan strategi untuk mengkontrol Brucellosis.20
Pada hasil penelitian, responden yang positif CFT memiliki kesamaan yaitu sapi
tidak divaksinasi Brucella, berjenis kelamin lelaki, bekerja di kandang sapi perah
lebih dari 10 tahun dan tedapat kasus Brucellosis di hewan yang ditandai dengan
29
hasil uji CFT positif. Adanya data kasus Brucella di hewan melalui hasil uji CFT
yang positif sebaiknya dijadikan sinyal terhadap kasus Brucella di manusia,
mengingat sifat Brucella yang zoonosis. Terbukti dengan hasil penelitian ini
bahwa kasus CFT positif di sapi berkorelasi dengan kasus CFT positif di manusia.
Salah satu upaya pencegahan Brucella pada hewan selain pemotongan
hewan yang positif terhadap Brucella adalah vaksinasi.20
Vaksinasi Brucella
sebagai upaya pencegahan penting dilakukan karena Indonesia masih endemik
Brucellosis pada hewan. Di Garut, jumlah sapi perah yang tidak divaksin Brucella
lebih tinggi dibandingkan di Boyolali, hal ini yang dapat menyebabkan peternak
di Garut memiliki risiko lebih tinggi.
Brucellosis merupakan penyakit zoonosis, sehingga tinggi rendahnya
kasus di manusia sangat tergantung pada hewan sebagai induk semang. Jika kasus
Brucella rendah di hewan, maka kasus di manusia akan rendah begitu pula
sebaliknya. Indonesia masih belum bebas Brucellosis pada hewan, sehingga
kelompok manusia yang bekerja di peternakan memiliki risiko tinggi untuk
tertular mengingat Brucellosis merupakan penyakit zoonosis yang terabaikan
sehingga eksistensi Brucellosis di manusia sering diabaikan.2-4
Upaya pengendalian Brucellosis di hewan harus dilakukan secara optimal
untuk mencegah penularan ke manusia. Upaya yang dapat dilakukan antara lain
vaksinasi Brucella ke hewan yang merupakan induk semang Brucellosis seperti
sapi perah, sapi potong, babi, kambing dan domba, pemotongan hewan yang
positif Brucella dan kontrol transportasi hewan ternak antar daerah untuk
mencegah penyebaran Brucella antar wilayah.20
Pada penelitian ini, ketiga upaya tersebut belum dilakukan secara optimal.
Vaksinasi Brucella belum dilakukan pada semua hewan, yang dapat dilihat pada
hasil penelitian. Transportasi hewan cukup tinggi pada Garut dimana karena
sumber hewan didapatkan tidak hanya di pasar hewan lokal sebagaimana di
Boyolali, namun juga berasal dari pasar hewan beda kota dan beda provinsi. Hal
ini merupakan titik kritis yang harus diwaspadai terhadap penyebaran Brucellosis,
ditambah ditemukan kasus Brucellosis pada manusia. Kontrol transportasi hewan
terutama sapi perah dari dan ke Garut harus dilakukan secara ketat.
30
VIII. KETERBATASAN PENELITIAN
Metodologi yang dipengaruhi oleh adanya efisiensi anggaran. Sehingga
jumlah sampel berkurang. Lokasi penelitian hanya di 2 lokasi dari 7 lokasi
penelitian yang ditentukan. Pemeriksaan serologis hanya dilakukan uji RBT dan
CFT, tidak ELISA sehingga jumlah responden yang memiliki antibodi terhadap
Brucellosis tidak diketahui secara pasti.
IX. KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
1. Tingkat antibodi (IgG dan IgM) Brucella pada pekerja TPS belum
diketahui karena adanya efisiensi penelitian sehingga uji antibodi (IgG dan
IgM) memakai ELISA tidak dilakukan. Pemeriksaan titer antibodi
terhadap Brucella dilakukan melalui uji CFT. Responden di Kabupaten
Garut yang memiliki antibodi terhadap Brucellosis pada manusia menurut
hasil uji CFT sebesar 5,5%
2. Terdapat bakteri Brucella di lingkungan kandang sapi perah di sapi dan
lingkungan kandang di daerah Garut
3. Mayoritas gejala klinis Brucellosis pada pekerja TPS adalah demam yang
naik turun (demam undulan) dan tidak terdapat gejala klinis (asimtomatik)
4. Pengetahuan, sikap dan perilaku pekerja TPS terhadap Brucelosis di
manusia masih kurang
SARAN
1. Perlu adanya screening test secara periodik misalnya uji RBT dan promosi
kesehatan mengenai hidup bersih dan sehat di kandang sapi dan upaya
pencegahan terhadap Brucellosis di manusia dikorelasikan dengan data
hasil uji CFT positif pada hewan ternak
2. Upaya pengendalian Brucellosis di hewan seperti vaksinasi Brucella,
kontrol lalu lintas hewan dan pelaksanaan pemotongan pada ternak yang
terdiagnosa positif Brucella harus dilakukan secara optimal mengingat
peluang menular ke manusia sangat tinggi
31
3. Perlu dilakukan upaya promosi kesehatan yang intensif kepada para
peternak sapi perah terkait dengan Brucellosis oleh Puskesmas
Kesimpulan nomor 3 dan 4 belum tampak dalam saran. Karena
kedua faktor ini berhubungan, maka saran saya, sarannya: 3.
Perlu dilakukannya upaya promosi kesehatan yang intensif
kepada para peternak terkait dengan Brucellosis.
X. DAFTAR PUSTAKA
1. Jama’ayah M.Z, Heu JY, Norazah A. Seroprevalence Brucellosis among
suspected cases in Malaysia. Malaysian J Pathol. 2011;33(1):31-34.
2. Corbel MJ. Brucellosis in Humans and Animals. World Health
Organization, Food and Agriculture Organization of the United Nations,
World Organization for Animal Health. 2006. Geneva, Switzerland
3. Noor Susan M. Brucellosis : penyakit zoonosis yang belum banyak
dikenal di Indonesia. Wartazoa. 2006. 16:1
4. Muflinah Hanah, dkk. Brucellosis seroprevalence in Balicattle with
reproductive failure in South Sulawesi and Brucella abortus biovar 1
genotypes in the eastern Indonesia archipelago. BMC Veterinary research.
2013, 9: 233.
5. Sudibyo, A. Studi epidemiologi Brucellosis dan dampaknya terhadap
reproduksi sapi perah di DKI Jakarta. JITV. 1995. 1:31-36
6. Ossoro, EM., et al. Strong Association between Human and Animal
Brucella Seropositivity in a Linked Study in Kenya, 2012–2013. Am. J.
Trop. Med. Hyg. 2015.93(2);224–231.
7. P.H Bamaiyi, Hassan L, Khairani Bejo S. and Zainal Abidin M. Updates
on Brucellosis in Malaysia and Southeast Asia. Malaysian Journal of
Veterinary Research. 2014,5(1); 71-82.
8. Godfroeuid Jacob, et el.,2013. A “ one health” surveillance and control of
Brucellosis in developing countries : moving away from improvisation.
Comparative immunology, microbiology and infectious disease. 36
(2013): 241-248.
32
9. Rahman A.K.M. Anisur. Epidemiology of Brucellosis in Human and
Domestic Animals in Bangladesh. Thesis. Fakulty of Veterinary Medicine.
University of Liege. Belgium. 2014.
10. Samkhan. Analisis ekonomi penyakit Brucellosis dalam menyongsong
penanggulangan, pemberantasan, dan pembebasan Brucellosis di
Indonesia Tahun 2025. Buletin Laboratorium Veteriner. 2014. 14 (1).
11. Sanodze L., et al. Expansion of brucellosis detection in the country of
Georgia by screening household members of cases and neighboring
community members. BMC Public Health. 2015:15(459);1-6
12. Dennis L.K., Eugene B.Anthony S.F, Stephen L.H, Dan L.L., and Jame..
on J.L.: Harrision’s principle of internal medicine. 6th edition USA: Mc
Graw-Hill Companies, Inc. 2005: 116.
13. Creswell John W. Planning a mixed methods study. Department of
Educational Psychology, University of Nebraska-Lincoln. Journal of
Mixed Methods Research. 2008
14. Arvas Gulhan, Yasemin Akkoyunlu, Mustafa Bektas, Bulent Kaya and
Turan Aslan. The Prevalence of Brucellosis in Adults in Northeastern
Region of Turkey. Jundhisapur Journal of Microbiology. 2013.6(3); 263-
264.
15. Notoatmojo S. Promosi kesehatan dan ilmu perilaku. Rineka Cipta. 2007:
139-146.
16. Araj George F., et al., Evaluation of the PANBIO Brucella
Immunoglobulin G (IgG) and Immunoglobulin (IgM) Enzyme Linked
Immunosorbent Assays for Diagnosis of Human Brucellosis, Clinical and
Diagnostic Laboratory Immunology, 2005, 12 (11); 1334-1335
17. Njeru J., et al., Systematic review of brucellosis in Kenya: disease
frequency in humans and animals and risk factors for human infection.
BMC Public Health. 2016.16:853.
18. Jang Yangho, et al., Epidemiological Aspects of Human Brucellosis and
Leptospirosis Outbreaks in Korea, J Clin Med Res, 2011, 3(4); 199-202
19. WHO. Seven neglected endemic zoonoses-some basic facts. Geneva:
World Health Organization; 2011. http://www.who.int/zoonoses/
http://www.who.int/zoonoses/
33
20. Dean AS, Crump L, Greter H, Schelling E, Zinsstag J. Global Burden of
Human Brucellosis: A Systematic Review of Disease Frequency. PLOS
Neglect Trop D. 2012;6(10), e1865
XI. UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih disampaikan kepada Kepala Pusat Penelitian dan
Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat atas kesempatan dan
kerjasama yang diberikan sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan
lancar. Terimakasih pula diucapkan atas kepercayaan melaksanakan
penelitian ini melalui dana DIPA Puslitbang Upaya Kesehatan
Masyarakat.
Kami juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
para pejabat di daerah, rekan-rekan sesama anggota penelitian di daerah
dan masyarakat peternakan di daerah atas kepercayaan dan kerjasamanya
sehingga kami diterima dengan sangat baik di daerah.
XII. JADWAL KEGIATAN PENELITIAN
Uraian
kegiatan
Tolok ukur Pencapaian tolok ukur per Triwulan (target kumulatif)
Jumlah Satuan Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV
Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %
I Persiapan 1 100
II Pelaksanaan 1 50 1 50
III Pengolahan
dan
Analisis
1 50 1 50
IV Penyusunan
laporan
1 100
34
XIII. BIODATA KETUA PELAKSANA
1. NAMA PENGUSUL
Risqa Novita, drh., M.KM
2. A L A M A T
Gedung ex Namru Jl. Percetakan Negara No.23
Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan
Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI
Email: risqa@litbang.depkes.go.id
rn_smile01@yahoo.com
3. PENDIDIKAN PROFESIONAL - Dokter Hewan - Magister Kesehatan Masyarakat
4. RIWAYAT PEKERJAAN
- 2014 : Peneliti Litbangkes
5. PUBLIKASI
1. Novita Risqa. Implementasi Kebijakan Pengandangan Unggas Terkait
dengan Pengetahuan, Sikap dan Praktik Masyarakat di Kabupaten 2014
Tahun 2012. Thesis. 2012. Universitas Padjadjaran.
2. Novita Risqa, Perencanaan surveilans Brucellosis pada manusia
menggunakan metode Geographical Information System (GIS). Jurnal
Biotek Medisiana Indonesia. 2014.Vol.3 (1): 1-10.
3. Novita Risqa, Pemilihan Hewan Coba pada Penelitian Pengembangan
Vaksin Tuberkulosis. Jurnal Biotek Medisiana Indonesia. 2015.Vol.4
(1): 15-23.
4. Novita Risqa, Pengendalian Rabies: Peran Pemerintah dan Masyarakat.
Buletin Zoonosis. 2015. Ed 17: 8-9.
mailto:risqa@litbang.depkes.go.id
35
36
37
38
39
40
XIV. LAMPIRAN
Tabel Chi Square Pengetahuan VS Sikap Responden Boyolali
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 3.255a 4 .516
Likelihood Ratio 4.540 4 .338
Linear-by-Linear Association .755 1 .385
N of Valid Cases 92
a. 5 cells (55.6%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is .65.
Chi Square Pengetahuan VS Perilaku Responden Boyolali
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 1.883a 4 .757
Likelihood Ratio 1.673 4 .796
Linear-by-Linear Association .022 1 .881
N of Valid Cases 92
a. 5 cells (55.6%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is .07.
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square .208a 2 .901
Likelihood Ratio .208 2 .901
Linear-by-Linear Association .073 1 .788
N of Valid Cases 56
a. 3 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is 1.61.
41
Tabel. Pengetahuan VS Sikap Responden di Garut
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 2.277a 2 .320
Likelihood Ratio 2.390 2 .303
Linear-by-Linear Association 1.720 1 .190
N of Valid Cases 55
a. 3 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is .27.
Tabel. Sikap VS Perilaku Responden Garut
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .125a 1 .724
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .233 1 .629
Fisher's Exact Test 1.000 .891
Linear-by-Linear Association .122 1 .726
N of Valid Casesb 55
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .11.
b. Computed only for a 2x2 table
42
Gambar Pelaksanaan Penelitian di Boyolali
1. Peternak dengan sapi peliharaannya 2. Pengambilan darah responden
4. Suasana pengumpulan data, mulai dari wawancara hingga pengambilan
darah
43
Gambar Pelaksanaan Penelitian di Garut
1. Kandang Sapi di Garut 2. Pengambilan darah responden
3. Wawancara responden 4. Pengolahan serum
44