Post on 02-Jan-2016
description
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Jumlah anak yang mengalami gizi buruk terus dilaporkan dibeberapa daerah di
Indonesia. Secara nasional, jumlah anak mengalami gizi buruk di Indonesia 8,80 %,
dibeberapa daerah ditemukan lebih tinggi bahkan lebih 10%, Sulawesi Selatan angka
kejadian gizi buruk mencapai 8,6 %, dan gizi kurang 21,5 % (Susenas, 2005). Data dari
Dinas Kesehatan Propinsi Sulsel (2006) menyebutkan bahwa kabupaten dengan
prevalensi kurang gizi tinggi (diatas 30%) antara lain Kabupaten Maros, Takalar,
Pangkep, Jeneponto, Luwu dan Selayar. Sejalan dengan data tersebut survei gizi dan
kesehatan di Kabupaten Maros tahun 2005 diperoleh angka kurang gizi 34,3% (9,6% gizi
buruk dan 24,7% gizi kurang).
Secara spesifik kekurangan gizi pada anak balita mengakibatkan gangguan
pertumbuhan, seperti kenaikan berat badan yang tidak normal, pertambahan tinggi badan
yang kurang dan perkembangan massa tubuh lainnya, dimana gangguan pertumbuhan
merupakan cermin dari kekurangan zat-zat gizi secara kompleks (Ninik, 1999). Selain
kekurangan asupan zat gizi makro, balita juga mengalami kurang zat gizi mikro. Akibat
defisiensi gizi mikro terbanyak salah satunya adalah anemia defisiensi besi.
Anemia defisiensi besi merupakan penyebab terbesar anemia di Indonesia dan
negara sedang berkembang lainnya. Konsekuensi anemia berdampak luas dan
berpengaruh pada sumber daya manusia. Dampak anemia pada bayi dapat menyebabkan
terlambatnya perkembangan psycho-motor dan berpengaruh terhadap proses belajar
(Ernawati, 2003). Khusus pada anak balita, keadaan anemia gizi secara perlahan – lahan
akan menghambat pertumbuhan dan perkambangan kecerdasan, anak – anak akan lebih
mudah terserang penyakit karena penurunan daya tahan tubuh, dan hal ini tentu akan
melemahkan keadaan anak sebagai generasi penerus (wijayanti, T.1989). Penyebab
utama anemia gizi adalah konsumsi zat besi yang tidak cukup dan absorbsi zat besi yang
rendah dan pola makan yang sebagian besar terdiri dari nasi dan menu yang kurang
beraneka ragam. Selain itu infestasi cacing tambang memperberat keadaan anemia yang
diderita pada daerah–daerah tertentu terutama daerah pedesaan (Husaini, 1989).
Soemantri (1983), menyatakan bahwa anemia gizi juga dipengaruhi oleh faktor–faktor
lain seperti sosial ekonomi, pendidikan, status gizi dan pola makan, fasilitas kesehatan,
pertumbuhan, daya tahan tubuh dan infeksi. Faktor- faktor tersebut saling berkaitan.
Selama ini upaya penanggulangan anemia gizi masih difokuskan pada sasaran ibu hamil,
sedangkan kelompok lainnya seperti bayi, anak balita, anak sekolah dan buruh
berpenghasilan rendah belum ditangani. Padahal dampak negatif yang ditumbuhkan
anemia gizi pada anak balita sangatlah serius, karena mereka sedang dalam tumbuh
kembang yang cepat, yang nantinya akan berpengaruh terhadap perkembangan
kecerdasannya. Mengingat mereka adalah penentu dari tinggi rendahnya kualitas pemuda
dan bangsa kelak. Penanganan sedini mungkin sangatlah berarti bagi kelangsungan
pembangunan.
Data SKIA-Surkesnas 2001 memperlihatkan 60% anak umur ≤ 23 bulan
menderita anemia dan 45% pada umur 24 – 59 bulan, dan 67,6% dari mereka tinggal di
pedasaan, serta 60,8% memiliki pendidikan ibu rendah (Ernawati, 2003). Anemia gizi
besi yang disebabkan defisiensi besi di Indonesia masih tinggi yaitu 61,3% pada anak <6
bulan dan 64,8% pada anak 6-11 bulan (SKRT. 2001). Anemia gizi besi pada bayi dan
2
anak usia dibawah dua tahun (baduta) juga masih tinggi yang ditunjukkan pada beberapa
studi. Studi Wijaya. M, (2001) menemukan 61% bayi di Indonesia anemia. Studi
Dijkhuizen et al, (2001) mengungkap prevalensi anemia pada bayi 57%, Riyadi. H
(2002) mengungkap prevalensi anemia pada anak baduta di Jawa Barat 49%, dan Lind et
al, (2003) ) mengungkap prevalensi anemia pada bayi 6-12 bulan 41%. Tingginya
prevalensi anemia ataupun defisiensi zink pada bayi dan balita ini harus ditindak lanjuti
berdasarkan kajian yang dilakukan WHO (2002) yang mengemukakan bahwa 54%
penyebab kematian bayi dan balita dipengaruhi oleh faktor gizi.
Sebagai salah satu faktor penyebab yang memperberat keadaan anemia pada
balita adalah investasi cacing. kecacingan yang banyak diderita anak-anak adalah cacing
gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichuria) dan cacing tambang
(Ancylostoma duodenale & Necator americanus). Pada infeksi cacing gelang yang berat,
terutama pada anak dapat terjadi malabsorpsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi,
efek yang serius terjadi obstruksi usus (ileus, intussuspection), dan diperkirakan 100.000
anak-anak (balita) tiap tahun meninggal karena komplikasi tersebut (Abadi, 1996).
Cacing cambuk dan cacing tambang menghisap darah penderita sehingga dapat
menimbulkan anemia (Markell, 1990).
Penelitian Hidayat (2001) di pemukiman kumuh Surabaya memdapatkan 60,6%
balita berusia 12-24 bulan terinfeksi oleh cacing gelang. Penelitian Lubis (2001) di 2
kabupaten masing-masing di Jawa Tengah dan Jawa Barat setelah mendapatkan program
lantainisasi mendapatkan bahwa 16% anak belita terinfeksi cacing gelang. Penelitian
Putyastri (2005) di Kelurahan Maricaya menunjukkan prevalensi kejadian anemia pada
balita yang sangat tinggi (82,5%) yang dapat saja terjadi akibat infestasi cacing.
3
Faktor-faktor utama terjadinya infestasi cacing antara lain kebiasaan buang hajat
di sekitar pekarangan rumah, keadaan lingkungan sekitar rumah (tempat bermain anak),
hygiene alat dan cara makan, dan pola asuh anak. Pada survei gizi dan kesehatan Jurusan
Gizi FKM Unhas tahun 2005 di Kelurahan Maccini Baji diperoleh data 36,7% tempat
buang air besar di pekarangan, rawa, dan parit. Hal tersebut diperparah lagi dengan
kurangnya saluran pembuangan air limbah (umumnya tidak mempunyai SPAL yang
memenuhi syarat) (Jurusan Gizi, 2005).
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan hasil survei gizi dan kesehatan (2005) ditemukan prevalensi balita
kurang gizi (34,3%) termasuk kategori tinggi dan angka morbiditas mencapai 87,1%
dapat saja salah satunya merupakan akibat dari kecacingan. Survei tersebut
memperlihatkan kejadian kurang gizi meningkat sejalan dengan bertambahnya umur
anak. Hal ini patut dicermati oleh karena bertambahnya usia anak frekuensi interaksi
dengan lingkungan sekitar rumah semakin tinggi. Kebiasaan buang air besar di
pekarangan rumah yang didukung oleh rendahnya pendidikan ibu balita (63,4% tamat SD
ke bawah) dan 29% merupakan keluarga miskin merupakan faktor pemicu infestasi
cacing. Menurut Tjitra (1991) infestasi cacing erat hubungannya dengan keadaan sosial
ekonomi kebersihan diri dan lingkungan, dan gejala klinis yang ditimbulkannya terutama
sakit perut, diare, anemia, dan gizi kurang. Prevalensi anemia pada anak umur 24 – 59
bulan di Indonesia terbilang tinggi (45%) dan terbesar terdapat di daerah pedesaan. Selain
infestasi cacing, anemia juga dapat disebabkan (secara tidak langsung) oleh faktor sosial
ekonomi keluarga, salah satunya adalah status pendidikan ibu yang rendah (60,8%).
4
Untuk menjawab keterkaitan sosial-ekonomi dan kejadian infestasi cacing dan
pengaruh terhadap keadaan status gizi (anemia gizi dan Antropometri) maka penelitian
ini perlu dilakukan dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah terdapat hubungan antara sosial-ekonomi terhadap status anemia gizi
pada anak umur 24-59 bulan?
2. Apakah terdapat hubungan antara infestasi cacing dengan status anemia gizi anak
umur 24-59 bulan?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
a. Tujuan umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
sosial ekonomi dan infestasi cacing dengan status gizi anak umur 24-59 bulan di
Kelurahan Maccini Baji Kecamatan Lau Kabupaten Maros.
b. Tujuan khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui pengaruh status sosial ekonomi keluarga anak terhadap status gizi
antropometri pada anak umur 24-59 bulan di Kelurahan Maccini Baji.
2. Mengetahui pengaruh status ekonomi ekonomi keluarga anak terhadap status
anemia pada anak umur 24-59 bulan di Kelurahan Maccini Baji
3. Mengetahui hubungan infestasi cacing terhadap status gizi antropometri pada
anak umur 24-59 bulan di Kelurahan Maccini Baji.
4. Mengetahui hubungan infestasi cacing terhadap status anemia pada anak umur
24-59 bulan di Kelurahan Maccini Baji
5
1.3.2. Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian ini menjadi bahan masukan bagi pihak pemerintah setempat dan
masyarakat sekitarnya.
2. Data yang diperoleh diharapkan dapat menjadi masukan bagi instansi yang terkait
guna lebih memberi dorongan dan bantuan demi meningkatkan status sosial
ekonomi keluarga.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Umum Status Gizi
Status gizi adalah keadaan kesehatan individu atau kelompok yang ditentukan
oleh derajat kebutuhan fisik akan energi dan zat-zat gizi lainnya yang diperoleh dari
pangan dan makanan yang dampak fisiknya diukur secara antropometri dan biokimia
(Supariasa, 2001). Untuk memperkirakan status gizi seseorang, suatu kelompok ataupun
suatu masyarakat maka perlu dilaksanakan pengukuran-pengukuran untuk menilai
berbagai tindakan gizi. Ada beberapa cara untuk menilai status gizi salah satu
diantaranya adalah pengukuran antropometri dan biokimia.
2.1.1. Penentuan status gizi berdasarkan antropometri.
Berat badan merupakan ukuran antropometri untuk melihat laju
pertumbuhan fisik maupun status gizi. Berat bada merupakan pilihan utama karena
berbagai pertimbangan antara lain karena mudah terlihat perubahan dalam waktu
singkat karena perubahan konsumsi makanan ataupun infeksi penyakit.
Berat badan menurut umur (BB/U) merupakan salah satu indikator
antropometri yang memberikan gambaran massa tubuh (otot & lemak). Salah satu
standar pengukuran yang digunakan di Indonesia untuk mengetahui status gizi
adalah standar baku WHO-NCHS yang telah disempurnakan menjadi standar baku
WHO tahun 2005 dan kriterianya telah ditetapkan melalui SK Mentri Kesehatan
Nomor 920 Tahun 2002 dengan kriteria: gizi lebih apabila > +2 SD Z-Score, gizi
7
baik apabila nilai SD Z-Score -2 SD sampai +2 SD, gizi kurang -3 SD sampai <-
2SD, dan gizi buruk < -3 SD Z-Score.
2.1.2. Status anemia gizi
Anemia gizi adalah kekurangan kadar hemoglobin (Hb) dalam darah yang
disebabkan karena kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk pembentukan Hb
tersebut. Di Indonesia sebagian besar anemia ini disebabkan kerena kekurangan zat
besi (Fe) hingga disebut anemia kekurangan zat besi atau anemia gizi besi.
Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin dalam darah kurang
dari normal yang berbeda untuk setiap kelompok umur dan jenis kelamin
(Depkes RI, 1995).
Dari beberapa hasil penelitian di Indonesia terhadap kejadian anemia
menunjukkan 90 % adalah akibat anemia gizi besi, sedangkan anemia akibat
kekurangan asam folat dan vitamin B12 sangat jarang dan biasanya menyertai anemia
gizi dan kondisinya berat. Dikatakan pula bahwa anemia bukan karena hanya terjadi
akibat kekurangan zat-zat pembentuk sel darah merah (besi, asam Folat, dan itamin
B12), tetapi juga akibat kekurangan zat gizi lainnya seperti protein, vitamin C,
pyridoxine, dan cupper turut menentukan keberadaaanya (Mahdin, 1993).
a. Zat besi dalam tubuh
Zat besi merupakan unsur kelumit (trace element) terpenting bagi manusia.
Besi dengan konsentrasi tinggi terdapat dalam sel darah merah, yaitu sebagai bagian
dari molekul hemoglobin yang menyangkut oksigen dari paru–paru. Hemoglobin
akan mengangkut oksigen ke sel–sel yang membutuhkannya untuk metabolisme
glukosa, lemak dan protein menjadi energi (ATP). Besi juga merupakan bagian dari
8
sistem enzim dan mioglobin, yaitu molekul yang mirip Hemoglobin yang terdapat di
dalam sel–sel otot. Mioglobin akan berkaitan dengan oksigen dan mengangkutnya
melalui darah ke sel–sel otot. Mioglobin yang berkaitan dengan oksigen inilah
menyebabkan daging dan otot–otot menjadi berwarna merah. Di samping sebagai
komponen hemoglobin dan mioglobin, besi juga merupakan komponen dari enzim
oksidase pemindah energi, yaitu : sitokrom paksidase, xanthine oksidase, suksinat dan
dehidrogenase, katalase dan peroksidase.
Zat besi dalam tubuh terdiri dari dua bagin, yaitu yang fungsional dan yang
reserve (simpanan). Zat besi yang fungsional sebagian besar dalam bentuk
hemoglobin (Hb), sebagian kecil dalam bentuk myoglobin, dan jumlah yang sangat
kecil tetapi vital adalah hem enzim dan non hem enzim. Zat besi yang ada dalam
bentuk reserve tidak mempunyai fungsi fisiologi selain daripada sebagai buffer yaitu
menyediakan zat besi kalau dibutuhkan untuk kompartmen fungsional. Apabila zat
besi cukup dalam bentuk simpanan, maka kebutuhan akan eritropoiesis (pembentukan
sel darah merah) dalam sumsum tulang akan selalu terpenuhi. Dalam keadaan normal,
jumlah zat besi dalam bentuk reserve ini adalah kurang lebih seperempat dari total zat
besi yang ada dalam tubuh. Zat besi yang disimpan sebagai reserve ini, berbentuk
feritin dan hemosiderin, terdapat dalam hati, limpa, dan sumsum tulang.
Pada keadaan tubuh memerlukan zat besi dalam jumlah banyak, misalnya
pada anak yang sedang tumbuh (balita), wanita menstruasi dan wanita hamil, jumlah
reserve biasanya rendah. Pada bayi, anak dan remaja yang mengalami masa
pertumbuhan, maka kebutuhan zat besi untuk pertumbuhan perlu ditambahkan kepada
jumlah zat besi yang dikeluarkan lewat basal.
9
Skema proses metabolisme zat besi untuk mempertahankan keseimbangan zat besi di dalam tubuh (Davidson dkk,199)
b. Kebutuhan zat besi pada balita
Dalam memenuhi kebutuhan akan zat gizi, dikenal dua istilah kecukupan
(allowance) dan kebutuhan gizi (requirement). Kecukupan menunjukkan kecukupan
rata – rata zat gizi setiap hari bagi hampir semua orang menurut golongan umur, jenis
kelamin, ukuran tubuh dan aktifitas untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal.
Sedangkan kebutuhan gizi menunjukkan banyaknya zat gizi minimal yang diperlukan
masing – masing individu untuk hidup sehat (Muhilal et al, 1993).
Pada balita yang mengalami masa pertumbuhan perlu ditambahkan kepada
jumlah zat besi yang dikeluarkan lewat basal. Kebutuhan zat besi relatif lebih tinggi
pada balita apabila dihitung berdasarkan per kg berat badan. Bayi yang berumur
dibawah 1 tahun, dan anak berumur 6 – 16 tahun membutuhkan jumlah zat besi sama
10
banyaknya dengan laki –laki dewasa. Tetapi berat badannya dan kebutuhan energi
lebih rendah daripada laki – laki dewasa. Untuk dapat memenuhi jumlah zat besi yang
dibutuhkan ini, maka balita harus dapat mengabsorbsi zat besi yang lebih banyak per
1000 kkal yang dikonsumsi. Kebutuhan zat besi pada anak balita berdasarkan AKG
2004 dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Kelompok Umur Kebutuhan zat besi (mg)
0 – 6 bulan
7 – 11 bulan
1 – 3 tahun
4 – 6 tahun
0,5
7
8
9
c. Penyebab anemia gizi pada balita
Penelitian di negara berkembang mengemukakan bahwa bayi lahir dari ibu
yang menderita anemia kemungkinan akan menderita anemia gizi, mempunyai berat
badan lahir rendah, prematur dan meningkatnya mortalitas (Academi of Sciences,
1990). Penyebab anemia gizi pada bayi dan anak (Soemantri, 1982):
a. Pengadaan zat besi yang tidak cukup
1) Cadangan zat besi pada waktu lahir tidak cukup.
- Berat lahir rendah, lahir kurang bulan, lahir kembar
- Ibu waktu mengandung menderita anemia kekurangan zat besi yang berat
- Pada masa fetus kehilangan darah pada saat atau sebelum persalinan seperti
adanya sirkulasi fetus ibu dan perdarahan retroplasesta
2) Asupan zat besi kurang cukup
b. Absorbsi kurang
1) Diare menahun
11
2) Sindrom malabsorbsi
3) Kelainan saluran pencernaan
c. Kebutuhan akan zat besi meningkat untuk pertumbuhan, terutama pada lahir
kurang bulan dan pada saat akil balik.
d. Kehilangan darah
1) Perdarahan yang bersifat akut maupun menahun, misalnya pada poliposis
rektum, divertkel Meckel
2) Infestasi parasit, misalnya cacing tambang.
Menurut Husaini (1989) penyebab digambarkan sebagai berikut
2.2. Tinjauan Umum Infestasi cacing
12
Penyakit cacingan adalah suatu penyakit dimana seseorang mempunyai cacing
dalam ususnya. Pada tingkat tertentu, penderita dapat merasa mual, lesu, nafsu makan
berkurang pada anak berbadan kurus tapi perut buncit, pucat pada selaput mata, muka
agak berat, merasa gatal-gatal setelah berjalan di tanah tanpa alas kaki, merasa gatal di
sekitar perianal, sakit perut atau diare dan mengeluarkan cacing waktu buang air besar
atau muntah (Satoto dan Indriyani, 1992)
Soil transmitted helminthes atau cacing usus yang dikeluarkan melalui tanah
adalah cacing usus yang dalam daur hidupnya memerlukan tanah yang sesuai untuk
berkembang menjadi bentuk infektif pada manusia. Meskipun penyakit cacing yang
ditularkan melalui tanah pada umumnya tak mengakibatkan mortalitas secara langsung
pada penderitanya, namun morbiditasnya yang kompleks dan menahun, dan dampak
ekonominya tak dapat diabaikan begitu saja. Penyakit kecacingan dapat menimbulkan
keadaan gizi kurang (Protein Calory Malnutrition). Umumnya cacing ini dapat
mengakibatkan gangguan konsumsi, absorbsi dan metabolisme zat-zat gizi, sehingga
pada anak-anak dapat mempengaruhi pertumbuhan fisik dan mental, pada orang dewasa
dapat mempengaruhi produktifitas kerjanya (Stephenson, 1990)
Termasuk dalam golongan Soil transmitted helminthes ini adalah Ascaris
lumbricoides, Trichuris trichiura, Necator americanus, dan Ancylostoma duodenale.
Penyakit yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides disebut askariasis, infeksi askariasis
atau infeksi cacing gelang. Penyakit yang disebabkan oleh Tricuris trichiura disebut
trikuriasis atau infeksi cacing cambuk. Ancylostoma duodenale dan necator americanus
merupakan dua spesies cacing tambang yang parasitik untuk manusia, penyakit yang
disebabkan cacing ini disebut ankilostomasis atau infeksi cacing tambang.
13
2.2.1. Bentuk Cacing dan Daur Hidupnya Dalam Tubuh Manusia
Manusia mendapat infeksi Ascaris Lumbricoides dengan menelan telur
infektif yang terkontaminir makanan, minuman, dan alat-alat makan. Di dalam
lambung dinding telur dilunakkan oleh asam lambung dan enzim pencernaan
sehingga larva menetas keluar. Larva cacing yang telah bebas menembus mukosa
usus mencapai pembuluh darah sampai ke pembuluh mesentrika atau terbawa aliran
vena porta hati, jantung kanan sampai ke perederan darah paru-paru. Di jaringan
paru-paru larva cacing tinggal sementara waktu dan mengalami penggantian kulit
lalu menembus dinding kapiler memasuki alveoli ke bronchioli, bronchus dan
trachea, mencapai epiglotis kemudian tertelan lagi ke dalam lambung, mencapai ke
usus halus dan tumbuh menjadi dewasa betina (panjang 20-35 cm) dan jantan (12-
31 cm). Setelah mengadakan kopulasi, cacing betina mulai mengeluarkan telur rata-
rata 200.000 butir per hari, yang akan keluar bersama tinja penderita. Bila telur itu
jatuh di tanah yang sesuai untuk pertumbuhannya, akan menjadi infektif dalam
waktu tiga minggu. Waktu yang diperlukan sejak masuknya telur infektif sampai
menjadi cacing dewasa dan memproduksi telur diperlukan waktu 60-75 hari. Cacing
Ascaris dapat hidup sampai 18 bulan (Zaman, 1982, Markell, 1986, Abadi, 1996).
Daur hidup cacing tambang hampir sama dengan Ascaris, hanya bentuk
infektifnya adalah larva filariform yang menumbus kulit akan mengikuti sirkulasi
sampai ke paru-paru dan menjadi dewasa di usus halus. Cacing dewasa betina
berukuran lebih kurang 1 cm, cacing jantan berukuran lebih kurang 0,8 cm. Cacing
dewasanya dapat hidup sampai 7 tahun.Mulainya telur keluar bersama feces, dalam
waktu 1-2 hari telur akan berubah menjadi Rhabditiform larva (menetas ditanah
14
yang basah) Temperatur optimal untuk tumbuhnya telur adalah 23-30oC.
Rhabditiform larva makan zat organisme dalam tanah dan dalam waktu 5-8 hari
membesar sampai 2 kali lipat menjadi filariform larva. Filariform larva dapat tahan
hingga 2 minggu, jika dalam waktu 2 minggu larva tidak mendapatkan host
(manusia), maka larva akan mati. Filariform larva masuk melalui kulit di antara
jari-jari tangan atau kaki, kemudian melalui pembuluh darah balik atau pembuluh
darah lymphe, maka larva akan sampai ke jantung kanan. Dari jantung kanan
menuju ke paru-paru, alveoli, bronchus, trachea esopagus dan akhirnya sampai ke
usus halus bagian proximal. Dalam waktu 5-6 minggu cacing matur/matang untuk
kopulasi dan mengeluarkan telur. Dari kulit sampai ke paru-paru larva pasif, dan
kemudian aktif sampai ke dalam usus (Depkes, 1989).
Telur infektiknya pecah dalam lambung dan larva menuju ke usus besar
dan menjadi dewasa tanpa melalui paru-paru. Cacing dewasa berbentuk seperti
cambuk, cacing betina lebih kurang 5 cm dan cacing jantan lebih kurang 4 cm.
Bagian anterior langsung seperti cambuk (lebih kurang 3/5 dari panjang seluruh
tubuh). Bagian posterior lebih gemuk, cacing dewasa ini hidup di kolon ascendens
dan caecum dengan bagian anteriornya masuk ke dalam mukosa usus. Seekor
cacing betina mengeluarkan telur 3.000 – 10.000 butir tiap hari.
2.2.2. Patologi dan Klinik
Gejala atau keluhan kecacingan timbul bila jumlah cacing dalam usus
banyak, penyakit sudah lama diderita, penderita lemah atau penyakit lain, dan gizi
penderita kurang. Gejala kecacingan bermacam-macam dan dapat berbeda-beda
dari satu orang ke orang lain. Gejala yang timbul pada penderita yang disebabkan
15
oleh larva ascaris lumbricoides adalah pada saat larva berada di paru berupa
pendarahan kecil pada dinding alveoli dan timbul gangguan pada paru-paru yang
disertai dengan batuk, sesak napas (tanda asma), demam dan eosinofilia (pada orang
yang rentan). Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan seperti
mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi. Apabila jumlah cacingnya
banyak dapat memberi gangguan pencernaan, diare, gelisah dan tidak dapat tidur.
Pada infeksi yang berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorpsi sehingga
memperberat keadaan malnutrisi. Diperkirakan 100.000 anak-anak (balita) tiap
tahun meninggal karena komplikasi tersebut.
Cacing tambang dapat menimbulkan ground itch bila banyak larva
filariform menembus kulit. Perubahan pada paru biasanya ringan. Gejala yang
timbul dari cacing dewasanya tergantung pada spesies dan jumlah cacing, serta
keadaan gizi penderita. Necator americanus mengisap darah sebanyak 0,005-0,1 cc
sehari, sedangkan Ancylostoma duodenale 0.08 – 0.34 cc per hari. Biasanya terjadi
anemia hypochorommicrositer. Anemia yang agak berat memberi gejala malas,
berat-bedan berkurang, pertumbuhan kurang dan bila anemia sangat berat timbul
palpitasi jantung, dispnea, sakit kepala, apatis mental, kelemahan fisik dan depresi
berat. Adakalanya banayak penduduk menderita dengan daya tahan berkurang, dan
prestasi kerja berkurang (Latham, 1989). Biasanya pada bayi dan 1-2 tahun dapat
timbul enteritis, juga diare dan dalam tinja terlihat banyak darah dan lendir yang
jumlahnya 6 kali lebih banyak daripada golongan dewasa (Depkes, 1989).
Trichiuris trichiura dapat menimbulkan efek traumatik dan toksik pada
penderita. Kerusakan timbul tempat melekatnya cacing pada mukosa caecum dan
16
colon ascendes. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak cacing ini tersebar di
seluruh colon dan rectum. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa
usus. Pada tempat perikatannya dapat terjadi perdarahan. Selain itu nampaknya
cacing ini mengisap darah hospes, sehingga dapat menimbulkan anemia. Bila
infeksinya ringan gejala tak kelihatan khas berupa tidak dapat tidur, hilangnya nafsu
makan, gugup, refleks meningkat dan eosinofilia. Penderita (terutama anak) dengan
Trichiuris trichiura yang berat dan menahun dapat mengalami diare berdarah yang
sering diselingi dengan sindrom disentri, anemia berat, berat badan menurun,
tenesmus, emasisi dengan kulit yang kering. Diare umumnya berat sedangkan Hb
bisa turun 30% dari normal.
2.3. Kecacingan Dan Dampaknya Pada Status Gizi.
Dampak akibat penyakit cacing usus yang ditularkan melalui tanah selain gejala
klinik disertai dengan komplikasi yang mungkin timbul maka kekurangan gizi dapat
memberi gangguan fisik dan mental pada anak serta daya tahan kurang pada orang
dewasa.
Cacing A. lumbricoides, hidup dalam rongga usus rakyat Indonesia, dimana
cacing ini mengambil makanan dari dalam usus dan jumlah makanan yang hilang cukup
besar ditinjau dari segi ekonomi dan merugikan negara. Diperkirakan 60% penduduk
Indonesia terinfeksi dan tiap penduduk mempunyai rata-rata 5 ekor cacing, dan setiap
cacing dapat menghisap 0,14 gram karbohidrat dan 0,035 gram protein per hari.
2.4. Pengaruh Sosial Ekonomi Terhadap Status Gizi
17
Status sosial ekonomi keluarga memberi pengaruh tidak langsung terhadap status
gizi balita. Status sosial yang paling berpengaruh antara lain pendidikan orang tua, dan
besar keluarga, serta kedudukan pengasuhan (ibu/pengasuh). Status gizi balita erat
kaitannya dengan pengasuh atau peran ibu itu sendiri.
Pendidikan suami dan istri meneruskan pola ajar yang khususnya diterima dari
orang tuanya berupa nilai, norma, cita-cita dan harapan merupakan pendidikan internal
yang telah diterima sejak berada dalam kandungan. Pendidikan eksternal merupakan
pendidikan formal yang diterima di bangku sekolah yang jika digabungkan dengan
pendidikan internal memberikan suatu pola berpikir yang dapat memberikan keputusan-
keputusan yang penting selama perjalanan hidup mereka. Latar belakang pendidikan ibu
berperan penting terhadap pola asuh anak dan dalam hal penyediaan makanan keluarga.
Rumah tangga, keluarga luas atau sekunder adalah keluarga yang bukan saja
terdiri dari suami, istri dan anak, tetapi ada juga orang lain yang tinggal di dalamnya
(misalnya mertua, ipar, sepupu, dsb) (Bulkis, 2004). Sebagai akibat dari perkawinan,
terjadi suatu kesatuan sosial yang sebut rumah tangga (house hold). Kesatuan ini
mengurus ekonomi rumah tangga sebagai kesatuan. Suatu rumah tangga biasa terdiri
satu keluarga inti saja, tetapi juga bisa terdiri atas lebih dari satu, misal dua sampai tiga
keluarga. Pada banyak suku bangsa istilah untuk rumah tangga adalah dapur
(Koentjaraningrat,1981). Besarnya jumlah pemenuhan pangan keluarga sangat
berbanding lurus dengan besarnya anggota rumah tangga. Artinya, semakin besar
anggota rumah tangga maka semakin besar pula jumlah pangan yang disediakan oleh
keluarga tersebut (Darmawati, 2000)
18
Rumah tangga dengan anggota keluarga yang banyak akan mempengaruhi jumlah
asupan makanan tiap anggotanaya. Pada keluarga yang berpendapatan rendah, semakin
besar jumlah anggota keluarga, maka akan menyebabkan jumlah makanan yang dimakan
semakin sedikit.
Berbagai faktor seperti pendapatan, kebiasaan makan dan status sosial yang
berubah karena adanya intervensi berbagai program pada gilirannya akan mempengaruhi
komsumsi pangan. Kemampuan rumah tangga menjangkau pangan di pasar tergantung
dari daya beli atau pendapatannya. Keanekaragaman pangan yang diproduksi dan yang
tersedia di pasar merupakan kondisi bagi rumah tangga untuk mengkomsumsi pangan
yang beragam apabila didukung oleh kebiasaan makan dan pengetahuan gizi yang baik,
serta kemampuan ekonomi yang cukup. Perlu diketahui bahwa kemampuan ekonomi
rumah tangga pada umumnya saling berkaitan dengan status sosial (Aritonang, 2000).
2.5. Kerangka Pikir
2.5.1. Dasar pemikiran
Penyebab langsung timbulnya kurang gizi yaitu makanan balita dan keadaan
kesehatan atau penyakit infeksi yang mungkin diderita bayi. Anak yang mendapat
makanan cukup baik tetapi sering diserang diare, demam, akhirnya dapat menderita
kurang gizi. Demikian juga pada bayi yang makan tidak cukup baik, maka daya tahan
tubuhnya (imunitas) dapat melemah.
Dalam keadaan demikian mudah diserang infeksi yang dapat mengurangi
nafsu makan, dan akhirnya menderita kurang gizi. Dalam kenyataannya keduanya
19
(makanan dan penyakit) secara bersama-sama merupakan penyebab gizi kurang. Gizi
kurang berarti pertumbuhan juga mengalami hambatan dan gagal tumbuh.
Gambar Penyebab Kurang Gizi (Disesuaikan dari bagan UNICEF, 1998). The state of the World Children 1998. Oxford Univ. Press
Penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola
pengasuhan anak serta pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan. Pengasuhan
anak, sanitasi dan penyediaan air bersih yang tidak memadai merupakan faktor utama
penyebab mata rantai penularan cacing tidak terputus. Sosial ekonomi yang rendah
memperparah tidak terputusnya rantai penularan cacing.
20
Status Gizi
- Hb- Antro
BB/u
2.5.2. Kerangka Konsep
Keterangan
: Variabel yang diteliti: Variabel yang tidak diteliti
2.5.3. Definisi Operasional
1. Variabel Dependen : Status Gizi Balita
a. Status gizi secara antropometri (BB/u)
Status gizi adalah keadaan gizi yang diukur berdasarkan standar baku WHO-
NCHS . Klasifikasi status gizi digunakan dengan z-score (standar deviasi = SD)
sebagai batas ambang dengan menggunakan indeks berat badan menurut umur
(BB/U).
Kriteria objektive :
Gizi buruk < -3 SD Z-Score
Gizi kurang ≥ -3 SD s/d < -2 SD Z-Score
Gizi baik ≥ -2 SD s/d ≤ 2 SD Z-Score
21
Konsumsi Makanan
Infestasi Cacing
Sosial Ekonomi keluarga- pendidikan ibu- jumlah anggota keluarga- Gakin
Higiene perorangan
Sanitasi Lingkungan
b. Status anemia gizi
Status anemia gizi adalah keadaan gizi yang ditentukan berdasarkan status
anemia dengan megukur kadar hemoglobin (Hb) anak.
Kriteria objektive : - Anemia jika kadar Hb <11 mg/dL
- Normal jika kadar Hb ≥ 11 mg/dL
2. Variabel Independen : Infestasi Cacing dan sosial ekonomi
a. Infestasi cacing (kecacingan)
Kecacingan adalah adanya cacing dalam tubuh. Cacing di dalam tubuh selain di
dalam rongga usus, ada juga di daerah limfa, otot, jaringan ikat, hepar, paru-paru,
pangkreas, otak dan lain sebagainya. Tetapi yang paling sering dijumpai adalah
cacing di dalam rongga usus. Adanya cacing di dalam rongga usus dapat diketahui
dengan pemeriksaan feces. Dalam feces dapat dijumpai bentuk cacing, telur dan
larvanya (WHO, 1996)
Data kecacingan merupakan data sekunder yang diperoleh dari penelitian lain.
Kriteria objektif
- Positif jika terdapat telur cacing di dalam feces yang diperiksa
- Negatif jika tidak terdapat telur cacing di dalam feces yang diperiksa
b. sosial ekonomi
- Pendidikan ibu. Ibu berperan dalam pengasuhan anak dan merupakan orang yang
paling lama berinteraksi dengan anak. Latar belakang pendidikan ibu dapat
mencerminkan pengasuhan terhadap anak-anaknya walaupun peran ayah tidak
kalah pentingnya.
22
Kriteria objektif : - rendah jika pendidikan orang tua ≤ tamat SD
- sedang-tinggi jika pendidikan orang tua ≥ tamat SLTP
- Status Gakin ditentukan berdasarkan penerimaan bantuan langsung tunai (BLT),
penerimaan program beras miskin (Raskin), dan asuransi kesehatan untuk keluarga
miskin (Askeskin).
Kriteria Objektif
Gakin jika menerima (salah satu atau ketiganya) program BLT,
Raskin, dan Askeskin.
Non Gakin jika tidak menerima program BLT dan Raskin.
- Jumlah anggota keluarga adalah banyaknya orang yang menetap di rumah
tersebut dalam satu bulan terakhir.
Kriteria Objektif
- Kecil jika jumlah anggota keluarga ≤ 5 orang
- Besar jika jumlah anggota keluarga ≥ 6 orang
2.5.4. Hipotesis
Hipotesis nol (Ho)
1. Tidak ada pengaruh sosial ekonomi keluarga terhadap status gizi anak umur 24-
59 bulan.
2. Tidak ada hubungan infestasi cacing terhadap status gizi anak umur 24-59 bulan.
Hipotesis alternatif (Ha)
1. Tidak ada pengaruh sosial ekonomi keluarga terhadap status gizi anak umur 24-59
bulan.
2. Tidak ada hubungan infestasi cacing terhadap status gizi anak umur 24-59 bulan.
23
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian
Jenis penelitian adalah penelitian survey dengan rancangan cross sectional (data
variabel dependen dan independen dikumpulkan pada waktu yang sama). Pada rancangan
penelitian ini dilakukan identifikasi semua variabel sesuai tujuan penelitian, sedangkan
metode yang digunakan untuk memperoleh data tersebut adalah dengan teknik
wawancara. Selain itu dilakukan pengukuran status gizi melalui pemerikasaan
hemoglobin (Hb) pada anak dengan mempergunakan metode cyanmethemoglobin dan
pengukuran antropometri BB/u.
3.2. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Maccini Baji Kecamatan Lau Kabupaten
Maros yang terbagi atas 7 lingkungan yaitu : Lingkungan Maccini Ayo, Lingkungan
Bonto Cabu, Lingkungan Lemo-lemo, Lingkungan Bonto Kadatto, Lingkungan Bonto
Rea, Lingkungan Belang-belang, dan Lingkungan Pute. Luas wilayah 9,48 km2,
menurut penggunaannya luas lahan pemukiman dan bangunan 1063,26 Ha, areal
persawahan 656,26 Ha, dan ladang/tegalan seluas 94,09 Ha.
Jumlah penduduk 6006 jiwa dengan 1286 KK terdiri dari 2924 laki-laki dan 3082
jiwa perempuan dengan kepadatan penduduk 634/km2, sebagian besar berprofesi sebagai
petani.. Jumlah balita (0-59 bulan) di Kelurahan Maccini Baji 446 anak, tersebar di tujuh
lingkungan. Fasilitas pelayanan kesehatan cukup memadai, dengan adanya Puskesmas
Barandasi, dan posyandu di masing-masing lingkungan, serta satu orang bidan desa yang
24
bertugas khusus di wilayah kelurahan Maccini Baji. Akses transportasi ke Kelurahan
Maccini Baji terutama di tujuh lingkungannya mudah terjangkau. Selain padi, beberapa
penduduk juga berprofesi sebagai peternak itik petelur yang hasilnya dijual setiap minggu
pada pengumpul.
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak balita umur 24-59 bulan di
Kelurahan Maccini Baji yang terdaftar hingga 31 Agustus 2008 yang menjadi subyek
penelitian.
3.3.2. Sampel
Sampel penelitian ini adalah semua anak umur 24 – 59 bulan dengan kriteria:
- tidak sedang menderita malaria atau gejala malaria (menggigil, panas tinggi)
- tidak menderita gizi buruk yang disertai odema dan gejala klinis
- tidak sedang dalam keadaan diare berat
- mendapat persetujuan dari orang tua
- berada di lokasi penelitian saat dilakukan penelitian.
Pemilihan sampel dilakukan menggunakan metode purposive sampling, dengan
melihat kriteria tersebut di atas. Cara pengambilan sampel dalam peneitian ini adalah
Accidental Sampling dimana sampel diambil dari responden yang bersedia dan
berada dilokasi pada saat penelitian dilaksanakan
25
3.4. Lokasi dan Waktu Penelitian
Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada hasil survei gizi dan
kesehatan yang dilakukan oleh Jurusan Gizi FKM Unhas di Kelurahan Maccini Baji
Kecamatan Lau Kabupaten Maros tahun 2005. Tingginya prevalensi kurang gizi dan
keadaan sanitasi lingkungan yang kurang memenuhi syarat (baik kebiasaan
masyarakat maupun sarana) menjadi alasan mengapa penelitian ini perlu dilakukan.
Penelitian ini dilakukan selama empat bulan dengan 3 tahap yakni tahap
persiapan, tahap penelitian, dan tahap penyusunan laporan. Tahap persiapan
dilakukan pada bulan Oktober 2008 sampai Januari 2009. Kegiatan pengumpulan
data dilaksanakan pada bulan November 2008. Proses penyuntingan, tabulasi, analisis
data dan penulisan laporan penelitian diselesaikan sampai dengan bulan Januari 2009.
3.5. Cara Pengumpulan Data
a. Data Primer
- Untuk mengetahui keadaan sosial ekonomi dikumpulkan melalui wawancara
langsung dengan ibu balita. Wawancara dilakukan oleh anggota peneliti
dengan menggunakan kuesioner.
- Status Gizi Balita
Indikator untuk menentukan status gizi balita diukur secara antropometrik
menurut indeks berat badan menurut umur (BB/U) berdasarkan standar
Baku WHO 2005 yang meliputi pengukuran berat badan anak mengikuti
prosedur standar (Gibson, 2005).
Berat badan anak diukur dengan menggunakan balance scale dengan ukuran
terkecil 0,1 kg.
26
Prosedur pengukuran berat badan balita adalah sebagai berikut :
1). Memeriksa timbangan supaya berada dalam keadaan standar, kemudian
timbangan ditekan untuk menyalakan hingga display menunjukkan
angka 0,0 kg.
2). Anak menggunakan pakaian biasa, tidak menggunakan alas kaki, baik
sandal maupun sepatu.
3). Anak ditimbang dalam keadaan tenang dan selanjutnya pengukur
mencatat angka yang tertera pada display timbangan.
4). Penentuan umur anak ditentukan dalam satuan bulan dengan
memperhatikan tanggal lahir dan tanggal pengukuran.
- Status anemia gizi
Status anemia gizi ditentukan dengan pemeriksaan hemoglobin dengan
menggunakan metode cyanmethemoglobin. Alat yang digunakan adalah
HemoCue photometer. Cara pemeriksaan kadar Hb dalam darah dengan alat
ini adalah sebagai berikut:
1). Jari manis tangan kiri anak dibersihkan menggunakan alkohol 70%
dengan bantuan kapas. Anak ditenangkan sambil mengurut lembut jari.
2). Lancet dipasang pada Softclick, pengaturan kedalaman jarum diatur
pada posisi angka 3. Microcuvet, kapas kering dan plester disiapkan,
HemoCue photometer diaktifkan (On)
4). Jari yang telah dibersihkan, ditusuk dengan cepat menggunakan
softclick, darah yang keluar pertama diseka.
5). Darah yang keluar berikutnya (±1cc) dihisapkan ke microcuvet lalu
27
dimasukkan dalam photometer sementara proses pembacaan, jari
dibersihkan dengan kapas kering kemudian diplester
6). Hasil pengukuran photometer dicatat pada lembaran yang tersedia.
b. Data Sekunder
Data kecacingan diperoleh dari hasil penelitian Nurhaedar Jafar dkk tahun
2008, dan jurnal-jurnal penelitian sebagai bahan pembanding. Data dari
kelurahan, puskesmas dan posyandu yang terkait dengan penelitian ini, meliputi
keadaan umum demografi wilayah kelurahan, kondisi sosial ekonomi dan data
balita.
3.6. Pengolahan, Penyajian dan Analisis Data
3.6.1. Pengolahan data
Pengolahan data dilakukan menggunakan komputer melalui program Antro
WHO 2007 untuk analisis data status gizi. Data sosial ekonomi, kecacingan dan status
gizi di analisis dengan menggunakan program SPSS versi 11.5.
3.6.2. Penyajian Data
Penyajian data dilakukan dalam bentuk tabel, grafik dan narasi berupa
distribusi frekuensi dan persentase variabel baik variabel independen maupun
variabel dependen. Selain itu juga dilakukan tabulasi silang antara variabel
independen dan variabel dependen.
3.6.3. Analisis Data
Uji univariat dilakukan untuk melihat frekuensi, persentase, dan rata-rata
seluruh variabel, baik variabel independen maupun dependen.
28
Uji statistik bivariat untuk menilai hubungan sosial ekonomi dan infestasi
cacing terhadap status gizi adalah chi-square pada derajat kemaknaan p < 0,05.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Maccini Baji Kecamatan Lau Kabupaten
Maros di tujuh lingkungan. Pengumpulan data dilakukan pada bulan September 2008,
yang bertepatan dengan musim panen padi.
Responden keseluruhan berjumlah 111 orang, masing-masing responden
diwawancarai menggunakan kuesioner dan anak diperiksa kadar hemaglobinnya (Hb)
menggunakan alat Hemocue.
4.1.1. Sosial Ekonomi Keluarga
Karakteristik sosial ekonomi keluarga anak, terdiri dari umur, latar belakang
pendidikan dan pekerjaan orang tua, jumlah anggota keluarga, pendapat, status
ekonomi keluarga miskin (gakin) keluarga yang disajikan sebagai berikut:
Tabel 1
Distribusi Sosial Ekonomi Keluarga Anak Menurut Kelompok Umur Orang Tua di Kelurahan Maccini Baji Kec. Lau Kab Maros Tahun 2008.
Kelompok umurAyah Ibu
n % n %
18 - 25 tahun
26 - 35 tahun
36 - 45 tahun
5
67
39
4,5
60,4
35,1
31
65
15
27,9
58,6
13,5
Total 111 100,0 111 100,0Sumber: Data primer
29
Tabel 1 mendistribusikan kelompok umur orang tua anak, pada umumnya
berumur 26-35 tahun masing-masing 60,4% ayah dan 58,6% ibu. Rata-rata ayah
berusia 33 tahun dan ibu berusia 30 tahun.
Tabel 2
Distribusi Sosial Ekonomi Keluarga Anak Menurut Tingkat Pendidikan Orang Tua di Kelurahan Maccini Baji Kec. Lau Kab Maros Tahun 2008.
Tingkat PendidikanAyah Ibu
n % n %
Tidak pernah sekolah/tidak tamat SD
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
Diploma/Sarjana
2
56
15
31
7
1,8
50,5
13,5
27,9
6,3
1
51
28
27
4
0,9
45,9
25,2
24,3
3,6
Total 111 100,0 111 100,0
Sumber: Data primer
Tabel 2 memperlihatkan bahwa sebagian besar pendidikan orang tua masih
rendah, yaitu hanya tamat SD. 50,5% ayah berpendidikan hanya tamat SD, sedangkan
ibu mencapai 45,9%.
Pekerjaan utama orang tua ditunjukkan pada Tabel 3. Sebagian besar ayah
bekerja sebagai petani (44,1%) dan wiraswasta (36,9%), sedangkan ibu hampir
seluruhnya tidak bekerja secara formal hanya sebagai ibu rumah tangga (92,8%). Ibu
30
yang bekerja hanya delapan orang (7,2%), lima orang (4,5%) bekerja sebagai pegawai
negeri sipil (PNS), dan sisanya bekerja wiraswasta (berdagang) (2,7%).
Tabel 3
Distribusi Sosial Ekonomi Keluarga Anak Menurut Pekerjaan Orang Tua di Kelurahan Maccini Baji Kec. Lau Kab Maros Tahun 2008.
Pekerjaan n %
Ayah- Pegawai Negeri/Swasta- Wiraswasta- Sopir mobil- Petani- Lainnya
Ibu- Pegawai Negeri/Swasta- Wiraswasta- Ibu rumah tangga
16413492
53
103
14,236,92,744,11,8
4,52,792,8
Sumber: Data primer
Tabel 4 mendistribusikan frekuensi jumlah anggota keluarga yang tinggal
bersama, pada umumnya mereka tinggal serumah dengan 5 orang ke bawah (58,6%).
Tabel 4
Distribusi Sosial Ekonomi Keluarga Anak Menurut Jumlah Anggota Keluarga di Kelurahan Maccini Baji Kec. Lau Kab Maros Tahun 2008.
31
Jumlah anggota keluarga n %
≤ 5 orang
≥ 6 orang
65
46
58,6
41,4
Total 111 100,0
Sumber: Data primer
Penghasilan orang tua rata-rata per bulan adalah Rp 1.024.300. Tingkat
pendapatan rendah, sedang dan tinggi ditentukan menggunakan quintil (Q) dengan
kriteria Q1 = 40 untuk tingkat pendapatan rendah, Q2 = 80 untuk tingkat pendapatan
sedang, dan Q3 = 80-100 untuk tingkat pendapatan tinggi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pada umumnya orang tua anak berpendapatan sedang (78,4%)
seperti yang diperlihatkan pada Tabel 5.
Tabel 5
Distribusi Sosial Ekonomi Keluarga Anak Menurut Tingkat Pendapatan Keluarga di Kelurahan Maccini Baji Kec. Lau Kab Maros Tahun 2008.
Tingkat pendapatan n %
Rendah
Sedang
Tinggi
3
87
21
2,7
78,4
18,9
Sumber: Data primer
Tabel 6
Distribusi Sosial Ekonomi Keluarga Anak Menurut Penerima Program Bantuan Pemerintah di Kelurahan Maccini Baji Kec. Lau Kab Maros Tahun 2008.
32
Program bantuan pemerintahYa Tidak
n % n %
Raskin
BLT-BBM
Askeskin
36
42
11
32,4
37,8
9,9
75
69
100
67,6
62,2
90,1
Sumber: Data primer
Status ekonomi, selain dapat ditentukan dengan tingkat pendapatan dan
pengeluaran, juga dapat ditentukan dengan keterlibatan orang tua atau rumah tangga
atas bantuan pemerintah pada keluarga miskin (gakin). Program pemerintah yang
sedang berjalan meliputi pengadaan beras untuk gakin (Raskin), bantuan langsung
tunai (BLT) akibat kenaikan BBM, dan asuransi kesehatan bagi keluarga miskin
(Askeskin). Dari Tabel 6 di atas memperlihatkan bahwa 32,4% keluarga memperoleh
program Raskin, 37,8% menerima BLT-BBM, dan 9,9% memperoleh Askeskin.
4.1.2 Status kecacingan
Dari hasil pemeriksaan feces anak pada penelitian Jafar dkk, diperoleh hasil
bahwa 90,1% anak tidak menderita kecacingan, dan hanya 9,9% anak menderita
kecacingan (Tabel 7). Anak yang menderita kecacingan sebagian besar karena
askariasis tingkat ringan (telur < 7.000 epg), empat anak lainnya karena trikuriasis
tingkat ringan, dan satu anak lainnya karena investasi cacing kremi.
Tabel 7
Distribusi Status Kecacingan Anak Umur 24-59 Bulan di Kelurahan Maccini Baji Kec. Lau Kab Maros Tahun 2008.
Status kecacingan n %
33
Status kecacingan n %
Positif
Negatif
11
100
9,9
90,1
Total 111 100,0Sumber: Data sekunder (Jafar dkk, 2008)
4.1.3. Status gizi
Status gizi anak secara antropometri ditentukan selain oleh berat badan dan
tinggi badan, juga ditentukan oleh umur dan jenis kelamin. Komposisi jenis kelamin
anak pada penelitian ini hampir sama, 54,1% anak laki-laki dan 45,9% anak
perempuan (Tabel 8)
Tabel 8
Distribusi Jenis Kelamin Anak Umur 24-59 Bulan di Kelurahan Maccini Baji Kec. Lau Kab Maros Tahun 2008.
Jenis Kelamin n %
Laki-laki
Perempuan
60
51
54,1
45,9
Total 111 100,0Sumber: Data primer
Komposisi berdasarkan kelompok umur pada penelitian ini, hampir merata.
Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 9, 42,3% berumur 12-35 bulan, 29,8% berumur
36-47 bulan, dan 27,9% anak berumur 48-59 bulan.
Tabel 9
Distribusi Kelompok Umur Anak 24-59 Bulan di Kelurahan Maccini Baji Kec. Lau Kab Maros Tahun 2008.
34
Kelompok Umur n %
12 – 35 bulan
36 – 47 bulan
48 -59 bulan
47
33
31
42,3
29,8
27,9
Total 111 100,0Sumber: Data primer
Tabel 10 menunjukkan bahwa terdapat tujuh anak (6,3%) menderita gizi
buruk, 33 anak (29,7%) menderita gizi kurang, dan 71 anak (64,0%) berstatus gizi
baik.
Tabel 10
Distribusi Status Gizi Anak Umur 24 – 59 Bulan di Kelurahan Maccini Baji Kec. Lau Kab Maros Tahun 2008.
Status Gizi n %
Gizi buruk
Gizi kurang
Gizi baik
7
33
71
6,3
29,7
64,0
Total 111 100,0Sumber: Data primer
Rata-rata kadar Hb anak 11,05 mg/dL dengan sebaran mulai dari 8 mg/dL
hingga 14 mg/dL, atau secara rata-rata sampel status Hb anak adalah normal.
Prevalensi anak yang menderita anemia 45% atau 50 anak lebih sedikit dibandingkan
dengan anak yang kadar hemoglobin (Hb) normal (≥ 11 mg/dL) seperti yang terlihat
pada Tabel 11.
35
Tabel 11
Distribusi Status Hemoglobin Anak Umur 24-59 Bulan di Kelurahan Maccini Baji Kec. Lau Kab Maros Tahun 2008.
Status kecacingan n %
Anemia
Normal
50
61
45
55
Total 111 100,0Sumber: Data primer
48
5957.1
54.553.5
52
4142.9
45.5
33
0
10
20
30
40
50
60
70
Anemia Normal Buruk Kurang Baik
Status Hb Status Gizi Bbu
Laki-laki
Perempuan
Gambar 1. Distribusi Status Gizi Untuk Indikator Hb dan BBu menurut Jenis Kelamin Anak Umur 24-59 Bulan di Kelurahan Maccini Baji Kec. Lau Kab Maros Tahun 2008
36
40
44.3
28.6
54.5
3838
23
42.9
18.2
33.8
22
32.8
28.627.3
28.2
0
10
20
30
40
50
60
Anemia Normal Buruk Kurang Baik
Status Hb Status Gizi Bbu
24-35 bln
36-47 bln
48-59 bln
Gambar 2. Distribusi Status Gizi Untuk Indikator Hb dan BBu menurut Kelompok Umur Anak Umur 24-59 Bulan di Kelurahan Maccini Baji Kec. Lau Kab Maros Tahun 2008
4.1.4. Hubungan sosial ekonomi dengan status gizi
Tingkat pendidikan ibu hampir setengahnya rendah (sampai dengan tamat SD)
46,8% dan 32,7% tingkat pendidikan ibu yang rendah memiliki anak kurang gizi (Z-
Score < -2 SD), seperti yang ditunjukkan pada Tabel 12. Berdasarkan uji statistik chi-
square diperoleh nilai p = 0,491, berarti tingkat pendidikan ibu memiliki hubungan
yang tidak bermakna (p > 0,05) dengan status gizi (BB/u) anak di Kelurahan Maccini
Baji Kecamatan Lau Kabupaten Maros.
Tabel 12
Distribusi Status Gizi Anak Umur 24-59 Bulan Berdasarkan Tingkat Pendidikan Ibu Di Kel. Maccini Baji Kec Lau Kab. Maros
Tingkat PendidikanStatus Gizi
TotalKurang Baik
n % n % n %
37
Rendah 17 32,7 35 67,3 52 46,8
Sedang-tinggi 23 39,0 36 61,0 59 53,2
Total 40 36,0 71 64,0 111 100,0
Sumber: Data primer
Status sosial ekonomi keluarga berdasarkan status keluarga miskin sebesar
40,5% dan 42,2% diantaranya memiliki anak kurang gizi, seperti yang ditunjukkan
pada Tabel 13. Berdasarkan uji statistik chi-square diperoleh nilai p = 0,262, berarti
status keluarga miskin memiliki hubungan yang tidak bermakna (p > 0,05) dengan
status gizi anak di Kelurahan Maccini Baji Kecamatan Lau Kabupaten Maros.
Tabel 13
Distribusi Status Gizi Anak Umur 24-59 Bulan Berdasarkan Status Keluarga Miskin (Gakin) Di Kel. Maccini Baji Kec Lau Kab. Maros
Status Sosial Ekonomi Keluarga
Status GiziTotal
Kurang Baikn % n % n %
Gakin 19 42,2 26 57,8 45 40,5
Non Gakin 21 31,8 45 68,2 66 59,5
Total 40 36,0 71 64,0 111 100,0
Sumber: Data primer
Status sosial ekonomi keluarga berdasarkan besar jumlah anggota keluarga
yang besar sebanyak 46 rumah tangga (41,4%) dan 37% diantaranya memiliki anak
38
kurang gizi, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 14. Berdasarkan uji statistik chi-
square diperoleh nilai p = 0,865, berarti besar jumlah anggota keluarga memiliki
hubungan yang tidak bermakna (p > 0,05) dengan status gizi anak di Kelurahan
Maccini Baji Kecamatan Lau Kabupaten Maros.
Tabel 14
Distribusi Status Gizi Anak Umur 24-59 Bulan Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga Di Kel. Maccini Baji Kec Lau Kab. Maros
Jumlah Anggota KeluargaStatus Gizi
TotalKurang Baik
n % n % n %
Besar 17 37,0 29 63,0 46 41,4
Kecil 23 35,4 42 64,6 65 58,6
Total 40 36,0 71 64,0 111 100,0
Sumber: Data primerTingkat pendidikan ibu hampir setengahnya rendah (sampai dengan tamat SD)
46,8% dan 40,4% diantaranya memiliki anak menderita anemia, seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 15. Berdasarkan uji statistik chi-square diperoleh nilai p =
0,354, berarti tingkat pendidikan ibu memiliki hubungan yang tidak bermakna (p >
0,05) dengan status gizi (Hb) anak di Kelurahan Maccini Baji Kecamatan Lau
Kabupaten Maros.
Tabel 15
Distribusi Status Gizi (Hb) Anak Umur 24-59 Bulan Berdasarkan Tingkat Pendidikan Ibu Di Kel. Maccini Baji Kec Lau Kab. Maros
Tingkat PendidikanStatus Hemoglobin (Hb)
TotalAnemia Normal
n % n % n %
Rendah 21 40,4 31 59,6 52 46,8
39
Sedang-tinggi 29 49.2 30 50,8 59 53,2
Total 50 45,0 61 55,0 111 100,0
Sumber: Data primer
Status sosial ekonomi keluarga berdasarkan status keluarga miskin sebesar
40,5% dan 44,4% diantaranya memiliki anak menderita anemia, seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 16. Berdasarkan uji statistik chi-square diperoleh nilai p =
0,916, berarti status keluarga miskin memiliki hubungan yang tidak bermakna (p >
0,05) dengan status gizi (Hb) anak di Kelurahan Maccini Baji Kecamatan Lau
Kabupaten Maros.
Tabel 16
Distribusi Status Gizi (Hb) Anak Umur 24-59 Bulan Berdasarkan Status Keluarga Miskin (Gakin) Di Kel. Maccini Baji Kec Lau Kab. Maros
Status Sosial Ekonomi Keluarga
Status Hemoglobin (Hb)Total
Anemia Normaln % n % n %
Gakin 20 44,4 26 55,6 45 40,5
Non Gakin 30 45,5 45 54,5 66 59,5
Total 50 45,0 61 55,0 111 100,0
Sumber: Data primer
Status sosial ekonomi keluarga berdasarkan besar jumlah anggota keluarga
yang besar sebanyak 46 rumah tangga (41,4%) dan setengahnya menderita anemia,
40
seperti yang ditunjukkan pada Tabel 17. Berdasarkan uji statistik chi-square
diperoleh nilai p = 0,377, berarti besar jumlah anggota keluarga memiliki hubungan
yang tidak bermakna (p > 0,05) dengan status gizi (Hb) anak di Kelurahan Maccini
Baji Kecamatan Lau Kabupaten Maros.
Tabel 17
Distribusi Status Gizi Anak Umur 24-59 Bulan Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga Di Kel. Maccini Baji Kec Lau Kab. Maros
Jumlah Anggota KeluargaStatus Hemoglobin (Hb)
TotalAnemia Normal
n % n % n %
Besar 23 50,0 23 50,0 46 41,4
Kecil 27 41,5 38 58,5 65 58,6
Total 50 45,0 61 55,0 111 100,0
Sumber: Data primer4.1.5. Hubungan infestasi cacing dengan status gizi
Status infestasi cacing anak umur 24-59 bulan yang positif kecacingan hanya
sebesar 9,9% (11 anak) dan 3 anak diantaranya memiliki status kurang gizi (Z-Score
< -2 SD), lebih kecil dibanding dengan anak yang tidak menderita kecacingan (37
anak) seperti yang ditunjukkan pada Tabel 18. Berdasarkan uji statistik chi-square
diperoleh nilai p = 0,743 (Fisher’s Exact Test karena terdapat satu sel dengan nilai
expected < 5%), berarti status infestasi cacing memiliki hubungan yang tidak
bermakna (p > 0,05) dengan status gizi (BB/u) anak di Kelurahan Maccini Baji
Kecamatan Lau Kabupaten Maros.
Tabel 18
Distribusi Status Gizi Anak Umur 24-59 Bulan Berdasarkan Status Infestasi Cacing Di Kel. Maccini Baji Kec Lau Kab. Maros
41
Status KecacinganStatus Gizi
TotalKurang Baik
n % n % n %
Positif 3 32,7 8 67,3 11 9,9
Negatif 37 37,0 63 63,0 100 90,1
Total 40 36,0 71 64,0 111 100,0
Sumber: Data
Status infestasi cacing anak umur 24-59 bulan yang positif kecacingan hanya
sebesar 9,9% (11 anak) dan 5 anak diantaranya menderita anemia, lebih kecil
dibanding dengan anak yang tidak menderita kecacingan (45 anak) seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 19. Berdasarkan uji statistik chi-square diperoleh nilai p =
1,000 (Fisher’s Exact Test karena terdapat satu sel dengan nilai expected < 5%),
berarti status infestasi cacing memiliki hubungan yang tidak bermakna (p > 0,05)
dengan status gizi (Hb) anak di Kelurahan Maccini Baji Kecamatan Lau Kabupaten
Maros.
Tabel 19
Distribusi Status Gizi (Hb) Anak Umur 24-59 Bulan Berdasarkan Status Infestasi Cacing Di Kel. Maccini Baji Kec Lau Kab. Maros
Status KecacinganStatus Hemoglobin (Hb)
TotalAnemia Normal
n % n % n %
Positif 5 45,5 6 54,5 11 9,9
Negatif 45 45,0 55 55,0 100 90,1
Total 50 45,0 61 55,0 111 100,0
Sumber: Data
42
4.2. Pembahasan
Dari 111 anak umur 24-59 bulan dalam penelitian ini, diperoleh 45% atau 50 anak
menderita anemia dengan 48% diantaranya adalah anak laki-laki. Prevalensi anemia gizi
pada penelitian ini sudah tergolong masalah berat yaitu melebihi 40% sesuai kriteria
WHO (2000). Angka ini lebih sedikit lebih tinggi dibanding prevalensi anemia anak
balita nasional sebesar 40% (SKRT 2001) pada kelompok umur yang sama. Tetapi jika
dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Marhaeni dkk (2001) di Yogyakarta pada
anak umur 0-59 bulan diperoleh prevalensi anemia yang lebih kecil yakni 35,3%.
Berdasar data Riskesdas 2007, prevalensi anemia di Sulawesi Selatan untuk anak umur 1-
4 tahun 27,7%. Penelitian Purba (2006) pada anak balita Suku Dayak Kanayan di Desa
Saham Kabupaten Landak Kalimantan Barat menemukan 48,5% menderita anemia. Jika
melihat penelitian Sidhu dkk (2002) pada anak umur 1- 5 tahun di Punjab India diperoleh
prevalensi yang lebih besar yakni 81,66%. Kejadian anemia gizi pada balita disebabkan
oleh berbagai faktor diantaranya pengadaan zat besi yang tidak cukup seperti cadangan
besi yang tidak cukup, selain itu absorbsi yang kurang karena diare ataupun infestasi
cacing yang memperberat anemia. Selain itu dapat pula disebabkan oleh keadan sosial
ekonomi yang rendah, pendidikan, pola asuh, fasilitas kesehatan dan faktor budaya. Hal
ini dibuktikan oleh penelitian Villalpando dkk di Meksiko tahun 1999 memperlihatkan
bahwa prevalensi anemia gizi dipedesaan (rural) lebih tinggi jika dibandingkan dengan
diperkotaan dan mempunyai hubungan bermakna dengan pola konsumsi dan konsumsi
makanan terutama kalsium, besi, tannin, phytat serta sosial ekonomi.
43
Prevalensi kurang gizi di Kelurahan Maccini Baji pada penelitian ini mencapai
36,0% yang terdiri dari 6,3% gizi buruk dan 29,7% gizi kurang lebih tinggi dibanding
dengan prevelensi kurang gizi Kabupaten Maros tahun 2007 (Dinkes Prop. Sulsel) yakni
11,11% yang terdiri dari 1,11% gizi buruk dan 10,0 gizi kurang. Prevalensi yang lebih
rendah secara regional propinsi Sulsel berdasarkan data Riskesdas 2007 kurang gizi
mencapai 17,6% terdiri dari 5,1% gizi buruk dan 12,5% gizi buruk tidak jauh berbeda
dengan data prevalensi Dinkes Prop. Sulsel 2007 sebesar 16,08%. Tingginya prevalensi
kurang gizi di Kelurahan Maccini Baji dapat disebabkan oleh cakupan D/S yang rendah,
hal diperkuat dengan laporan Dinkes Prop. Sulsel dimana cakupan D/S Kab. Maros hanya
48%. Selain itu, berdasarkan penelitian Citrakesumasari dkk (2006) di Kelurahan
Maccini Baji penyebab utama tingginya kurang gizi di wilayah itu adalah pola asuh yang
tidak memadai sehingga konsumsi makanan anak tidak cukup dan penanganan penyakit
infeksi yang lambat.
Hubungan sosial ekonomi keluarga terhadap status gizi anak umur 24-59 bulan.
Sosial ekonomi keluarga memegang peranan yang sangat penting dan menjadi
akar masalah terjadinya kurang gizi (Unicef, 1988). Tingkat sosial ekonomi suatu
keluarga akan mempengaruhi antara lain daya beli keluarga, tingkat ketersediaan pangan,
pola asuh dan konsumsi pangan dalam keluarga. Status sosial ekonomi suatu keluarga
akan mempengaruhi daya beli dan konsumsi seseorang konsumen atau sebuah keluarga
serta mempengaruhi jenis produk dan jasa yang dikonsumsi (Suwarman, 2000).
Berdasarkan hasil penelitian di Kelurahan Maccini Baji ini, diperoleh 42,2%
keluarga gakin menderita kurang gizi, dan 44,4% menderita anemia, serta 22,2%
diantaranya menderita anemia dan kurang gizi. Berdasarkan uji Chi-square diperoleh
44
hasil yang tidak bermakna (P >0,05) antara status gakin dan status gizi (baik indikator
BB/u maupun Hb). Berdasarkan jumlah keluarga, prevalensi gizi kurang maupun anemia
lebih kecil dari pada status gizi normal pada keluarga dengan jumlah anggota rumah
tangga yang besar, masing-masing 37% dan 50%, hal ini terbukti secara uji chi-suare
dimana diperoleh hubungan yang tidak bermakna antara jumlah keluarga terhadap status
gizi baik indikator BB/u maupun Hb. Dari 46,8% responden yang memiliki tingkat
pendidikan yang rendah mempunyai proporsi status gizi kurang maupun anemia yang
lebih kecil dibanding dengan yang normal. Secara statistik, hubungan tingkat pendidikan
dengan status gizi baik indikator BB/u maupun Hb tidak bermakna (P>0,05).
Hasil penelitian ini berbeda dengan pendapat Wahyuni (2004) yang menyatakan
bahwa sosial ekonomi yang rendah berpengaruh terhadap anemia pada anak balita. Hal
tersebut dikuatkan dengan hasil Riskesdas 2007 yang memperlihatkan bahwa makin
tinggi tingkat pengeluaran rumah tangga, makin rendah prevalensi anemia. Atau dengan
kata lain semakin baik tingkat sosial ekonomi, maka semakin rendah prevalensi anemia.
Tingkat pendidikan mempengaruhi prevalensi anemia, semakin rendah tingkat
pendidikan orang tua, maka makin tinggi prevalensi anemia pada anak (Litbangdepkes,
2008). Keadaan gizi anak balita merupakan salah satu indikator derajat kesehatan. Di
Indonesia, kurang energi protein (KEP), merupakan masalah gizi utama dan merupakan
tujuan dari Millenium Development Goal’s yang dikaitkan dengan kemiskinan.
Kemiskinan dan kurang gizi merupakan suatu fenomena yang saling terkait, oleh karena
itu meningkatkan status gizi suatu masyarakat erat kaitannya dengan upaya peningkatan
ekonomi (Azwar, 2004).
Hubungan investasi cacing terhadap status gizi anak umur 24-59 bulan.
45
Infestasi cacing merupakan suatu keadaan dimana seseorang mempunyai cacing
atau telur cacing di dalam ususnya, sedangkan kecacingan merupakan suatu penyakit
yang diderita seseorang karena terdapat cacing atau telur cacing dalam ususnya. Soil
Transmited Helminths atau cacing usus ditularkan melalui tanah dan berkembang
menjadi bakteri infektif pada manusia. Gangguan kesehatan yang biasanya diakibatkan
oleh jenis cacing ini adalah mual, nafsu makan berkurang, diare, dan gangguan tidur,
hingga mengakibatkan anemia dan kurang gizi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa infestasi cacing bukanlah penyebab
utama terjadinya kurang gizi dan anemia. Dari 11 anak yang menderita kecacingan
hanya 27,3% yang menderita kurang gizi dan 45,5% menderita anemia. Berdasarkan hasil
uji statistik chi-square diperoleh hubungan yang tidak bermakna antara infestasi cacing
dengan status gizi BB/u (p = 0,524) dan antara infestasi cacing dengan status anemia
(p=1,000). Hasil ini diperkuat dengan penelitian Ismid dkk (1988) dimana tidak ada
hubungan bermakna antara adanya askariasis dengan status gizi.
Stephenson 1987 melaporkan bahwa investasi cacing usus berhubungan dengan
keadaan malnutrisi dan pertumbuhan yang lambat. Sementara penelitian di Afrika
mendapatkan bahwa tidak ada hubungan askariasis terhadap status gizi dan tumbuh
kembang anak. Keberadaan cacing dalam usus, tergantung dari jumlah atau tingkat
infeksinya akan mempengaruhi pemasukan zat gizi ke dalam tubuh. Dari penelitian ini,
diperoleh bahwa kejadian askariasis dan trikuriasis semua dalam tahap ringan, ini dapat
menjelaskan mengapa kejadian kecacingan tidak berpengaruh terhadap status gizi (BB/u
dan Hb). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang yang dilakukan oleh Rusli
(2006) yang mengatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara kecacingan dengan status
46
Hb. Diperkuat dengan penelitian Meru (2006) pada anak SD di Pacitan Jateng
menunjukkan bahwa prevalensi anemia defisiensi besi yang ditemukan sebesar 30,6%
dan prevalensi kecacingan sebesar 11,3%, tidak ada hubungan antara kecacingan dengan
terjadinya anemia defisiensi besi (p>0,05). Namun berbeda dengan hasil penelitian Ruttu
(2002) yang mengatakan bahwa terdapat hubungan bermakna antara kecacingan dengan
anemia gizi.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Telah dilakukan penelitian terhadap 111 anak umur 24 – 59 bulan di Kelurahan
Maccini Baji, berdasarkan status gizi indikator BB/u terdapat 6,3% menderita gizi buruk,
29,7% anak gizi kurang, 64,0% anak gizi baik, sedangkan menurut kadar Hb, 45% anak
menderita anemia, dan sisanya 55% normal, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Tidak ada hubungan yang bermakna antara status sosial ekonomi keluarga anak
yang terdiri dari tingkat pendidikan ibu dan jumlah anggota keluarga, dan status
47
rumah tangga miskin (gakin) terhadap status gizi (BB/u) anak umur 24-59 bulan di
Kelurahan Maccini Baji (masing-masing nilai p = 0,491, p = 0,865 dan p = 0,262).
2. Tidak ada hubungan yang bermakna antara status sosial ekonomi keluarga anak
yang terdiri dari tingkat pendidikan ibu dan jumlah anggota keluarga, dan status
rumah tangga miskin (gakin) terhadap status anemia gizi (Hb) anak umur 24-59
bulan di Kelurahan Maccini Baji (masing-masing nilai p = 0, 354, p = 0,377 dan p
= 0,916).Tidak ada pengaruh sanitasi lingkungan terhadap infestasi cacing pada
anak umur 24-59 bulan di Kelurahan Maccini Baji (p = 0,164).
3. Tidak ada hubungan yang bermakna antara infestasi cacing terhadap status gizi
(BB/u) pada anak umur 24-59 bulan di Kelurahan Maccini Baji (p = 0,743)
4. Tidak ada hubungan yang bermakna antara infestasi cacing terhadap status anemia
gizi (Hb) pada anak umur 24-59 bulan di Kelurahan Maccini Baji (p = 1,000).
5.2. Saran
1. Perlu adanya penelitian lanjutan untuk milihat
faktor risiko masalah anemia gizi dan kejadian kurang gizi.
2. Meningkatkan pembinaan, monitoring dan evaluasi
kinerja petugas pelaksana program penanggulangan masalah anemia gizi dan
ketersediaan suplemen zat besi di lapangan untuk mencegah dan menanggulangi
terjadinya masalah anemia gizi.
48
DAFTAR PUSTAKA
Abadi, G. Kunar. 1996. Penyakit Cacingan, Dampak dan Penanggulangannya. Kumpulan Makalah seminar sehari infeksi parasit, status gizi dan kecerdasan pada anak sekolah dasar. LPPM-Unhas. Makassar.
BKKBN. 1993. Petunjuk Teknis Pendataan dan Pemetaan Keluarga Sejahtera: BKKBN, Gerakan keluarga berencana nasional, Cetakan ke-1. Jakarta.
Azwar, Asrul, 2004. Kecendrungan Masalah Gizi dan Tantangan di Masa Datang. Disampaikan pada pertemuan advokasi program perbaikan gizi menuju keluarga sadar gizi, di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, 27 September 2004
Candra, Budiman. 2006. Pengantar Kesehatan Lingkungan. EGC. Jakarta
49
Citrakesumasari, 2006. Upaya Peningkatan Status Gizi Bayi dan Balita Melalui Program Pendidikan Gizi Berbasis Lokal di Kabupaten Maros. Laporan Kegiatan. Gizi FKM Unhas & PKK Propinsi Sulsel.
Depkes. 1989. Parasitologi Medik, Jilid 2: Helmintologi. Pusat pendidikan tenaga kesehatan departemen kesehatan RI. Jakarta.
Depkes. 2006. Survei Kesehatan Nasional (Susenas) Tahun 2005: Antropometri 1989-2005. www.gizi.net
Dinkes. 2007. Profil Status Gizi Kabupaten Propinsi Sulawesi Selatan. Dinkes Propinsi Sulsel.
Ginting, Sri Alemina. 2003. Hubungan Antara Status Sosial Ekonomi dengan Kejadian Kecacingan pada Anak Sekolah Dasar di Desa Suka Kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo, Propinsi Sumatera Utara. USU digital library. Medan
Jurusan Gizi. 2005. Laporan Survei Gizi dan Kesehatan di Kelurahan Maccini Baji Kecamatan Lau Kabupaten Maros. Jurusan Gizi Masyarakat FKM Unhas,. Makassar.
Hidayat, Shoim. 2001. Faktor-faktor Risiko Terjadinya Infeksi Soil Transmited Helmints pada Anak Balita di Pemukiman Kumuh di Surabaya. www.library@lib.unair.ac.id
Latham MC. 1989. The Relationship of Nutrition to Productivity and Well Being of Workers the Political Economy of Food and Nutrition Policies. International Food Policy Research Institute.
Litbang Depkes, 2008. Laporan Data Riskesdas 2007. www.litbangkes/rkd.ac.id Lubis, Agustina, 2001. Dampak Program Lantainisasi terhadap Kesehatan Balita di
Kabupaten Purworejo dan Bandung. www.tinlubis@yahoo.com
Markell, EK, Voge, M. Jhon. DT. 1986. Medical Parasitology. 6th edition, W.B. Sounders Company. Philadelphia USA.
Menkes RI, 2002. Keputusan menteri kesehatan RI Nomor 920 tentang Klasifikasi Status Gizi Anak Bawah Lima Tahun (Balita).
Meru, Rensy Cahyani Ardi. 2006. Hubungan Kecacingan Dengan Kejadian Anemia Pada Anak Sekolah Da Sar Di Daerah Endemis Malaria : Studi di SD Negeri Ngreco III Desa Ngreco Kecamatan Tegalombo Kabupaten Pacitan. ADLN Digital Collections A member of the IndonesiaDLN ADLN Network
Ninik RH, 1999. Hubungan Antara Faktor Sosial Ekonomi Dengan Pola Konsumsi Makanan dan Status Gizi Balita di Kabupaten Purworejo. Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
50
Notoatmodjo, Soekidjo. 2002. Metodologi Penelitian Ksesehatan, Rineka Cipta, Jakarta.
Jafar, Nurhaedar. 2008. Pengaruh Sosial Ekonomi, Sanitasi Lingkungan Dan Higiene Peorangan Terhadap Infestasi Cacing, Hubungannya Terhadap Status Gizi Anak Umur 24-59 Bulan Di Kabupaten Maros Tahun 2008. Lembaga Penelitian Unhas. Makassar.
Purba, Jonni Syah. 2006. Status Anemi Pada Balita Serta Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Asupan Zat Besi Pada Makanan Anak Balita Suku Dayak Kanayatn. Diakses 16 Desember 2008.
Pusdiklat, WHO, 1992. Hasil semiloka pengembangan kepemimpinan dalam penanggulangan kekurangan mikronutrien dan penyakit parasit perut. Pusdiklat WHO Collaborating centre bekerja sama dengan Cornell University, Smithkline Beecham Pharmaceuticals, Jakarta
Pusdiklat, WHO. 1996. Pelaksanaan Program Pengendalian Kecacingan, dalam: Oemijati S, Iswandi EA, Ed: Tata laksana pengendalian kecacingan di Indonesia melalui usaha kesehatan sekolah dengan pendekatan kemitraan. Jakarta.
Putyastri, P.N. 2005. Gambaran Kejadian Anemia Gizi Besi Anak Usia 12-23 Bulan di Kelurahan Maricaya Selatan Kecamatan Mamajang Kota Makassar. Skripsi. FKM Unhas. Makassar
Rusli, Laode. Hubungan Pola Konsumsi dan Infestasi Cacing terhadap Status Hemoglobin Siswi Tsanawiyah Pesantren As’Adiyah Kabupaten Wajo. Skripsi FKM UNHAS, Makassar: 2006.
Ruttu, Ratna S. Risiko Anemia Gizi pada Anak Balita denganInfeksi Kecacingan di Wilayah Kerja Puskesmas Barandasi Kabupaten Maros. Skripsi FKM UNHAS, Makassar: 2002.
Sidhu, Sharda. Kumari, K. Uppal, M. 2002. Prevalence of anemia in schedule caste preschool children of Punjab India. Indian J Med Sci 2002;56:218-21. [cited 2008 Dec 16]
Satoto dan Indriyani. 1990. Masalah Memberantas dan Mencegah Kecacingan. Subdit Diare. Kecacingan dan Parasit Perut, Dirjen. PPM &PLP., Depkes RI
Supariasa. IDN, Bachyar B, dan Ibnu, F. 2002. Penilaian Status Gizi. EGC. Jakarta
Stephenson. L. S. Et all. 1990. Improvments In Phisical Fitness of Kenyan Schoolboys Infected With Hookworm, Trichuries Trichiura ang Ascaris Lumbricoides Following a Single Dose Abedazole. Thans. Roy. Society Trop. Med. & Hyg.
51
Tjitra, Emiliana. 1991. Penelitian-penelitian Soil Transmitted Helminth di Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran No. 72. Jakarta
Villalpando, Salvador. 2003. Prevalence of anemia in children 1 to 12 years of age. Results from a nationwide probabilistic survey in Mexico 1999. salud pública de méxico / vol.45, suplemento 4 de 2003
Wahyuni, A.S. 2004. Anemia Defisiensi Besi pada Balita. USU digital library
Zaman V, Keong LA. 1982. Buku Penuntun Parasitologi Kedokteran. Bina Cipta. Jakarta.
52