Post on 07-Dec-2014
1
Hubungan nilai tekanan telinga tengah dengan derajat barotrauma
pada calon penerbang
Yupitri Pitoyo, Jenny Bashiruddin, Alfian Farid Hafil*, Hari Haksono**, Saptawati Bardosono***
*Departemen Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia**Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa dr. Saryanto
***Medical Research Unit (MRU) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
ABSTRAK
Latar belakang: Barotrauma telinga tengah merupakan masalah medis yang paling sering kita
jumpai dalam dunia penerbangan. Masalah tersebut terjadi sebagai akibat kegagalan tuba Eustachius
menyamakan perbedaan tekanan yang ada. Hal tersebut mendasari pentingnya pemeriksaan fungsi
tuba sebelum pajanan perubahan tekanan atmosfer, agar barotrauma dapat dihindari . Tujuan: Untuk
melihat adanya korelasi antara nilai tekanan telinga tengah dan fungsi tuba Eustachius dengan derajat
barotrauma pasca-pajanan perubahan tekanan atmosfer. Metode: Desain penelitian adalah potong
lintang. Dilakukan di Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (LAKESPRA) dr.
Saryanto Jakarta, bulan Februari 2009. Populasi adalah calon penerbang dengan besar percontoh 37
orang. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik THT dengan endoskopi, pemeriksaan tekanan telinga
tengah dan fungsi tuba sebelum dan sesudah pajanan menggunakan timpanometri. Data diolah dengan
program SPSS 11.5 untuk melihat korelasi yang ada. Hasil: Terdapat korelasi yang tidak bermakna
antara derajat barotrauma dengan nilai tekanan telinga tengah pasca-pajanan (p=0,136, r=0,175),
korelasi yang bermakna antara derajat barotrauma dengan nilai tekanan telinga tengah saat perasat
Toynbee (p=<0,001, r=0,503), dan korelasi yang tidak bermakna antara derajat barotrauma dengan
nilai tekanan telinga tengah saat perasat Valsava (p=0,820, r=0,027). Kesimpulan: Fungsi tuba yang
baik sangat diperlukan seorang calon penerbang sebelum mendapatkan pajanan tekanan dan
pentingnya melakukan perasat Toynbee dan Valsava secara optimal agar kejadian barotrauma dapat
dihindari.
Kata kunci: barotrauma, tuba Eustachius, tekanan telinga tengah
ABSTRACT
Background: Middle ear barotrauma is one of the most frequent medical problems found in
aviation. It is caused by the Eustachian tube failure to equalize the change of air pressure. That’s why
the function of the Eustachian should be evaluated before encounters the change of the atmosphere
pressure, so that barotrauma can be avoided. Purpose: To find out the correlation between the
degree of middle ear pressure and Eustachian tube function with the degree of barotrauma after
exposure to atmosphere pressure changes. Method: The design of the research is cross sectional. It
Laporan Penelitian
2
was done in Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Luar Angkasa (LAKESPRA) dr. Suyanto Jakarta,
in February 2009. Populations are flyer candidates with total sample 37 people. Anamnesis, ENT
physical examination with endoscopy, examination of the middle ear pressure before and after
exposure using tympanometry was performed. The data was calculated with SPSS 11.5 to evaluate the
correlation. Result: There was an insignificant correlation between the degree of barotrauma and
middle ear pressure after exposure (p=0.136, r=0.175), a significant correlation between
barotraumas and middle ear pressures in Toynbee maneuver (p=<0.001, r=0.503), and an
insignificant correlation between the degree of barotraumas and middle ear pressure in Valsava
maneuver (p=0.820, r=0.027). Conclusion: A good Eustachian tube function is needed before the
exposure to pressure changes and it is important to perform the Toynbee and Valsava maneuver
optimally so that barotraumas could be avoid.
Key words: barotrauma, Eustachian tube, middle ear pressure
Alamat korespondensi: Yupitri Pitoyo, Divisi Neurotologi Departemen THT FKUI-RSCM. Jl.
Diponegoro 71, Jakarta. E-mail: yupitrimd@yahoo.co.id
PENDAHULUAN
Barotrauma telinga tengah atau
aerotitis media atau ear block
didefinisikan sebagai proses inflamasi akut
di telinga tengah sebagai akibat perubahan
tekanan atmosfer.
Berdasarkan patologinya, barotrauma
dibagi dua, yaitu barotitis media dan
baromiringitis. Barotitis media adalah
keadaan patologis yang ditandai
peradangan pada mukosa telinga tengah,
perdarahan dan cairan transudat di telinga
tengah. Baromiringitis adalah kerusakan
struktur membran timpani.1-4,6
Barotrauma telinga tengah terjadi
akibat kegagalan tuba Eustachius untuk
menyamakan tekanan antara telinga tengah
dan lingkungan saat terjadi perubahan
tekanan. Kecepatan dan besarnya
perubahan tekanan berpengaruh terhadap
terjadinya barotrauma. Makin cepat
perubahan tekanan yang terjadi dan makin
besar perbedaan tekanan yang ada, maka
makin mudah barotrauma terjadi.7
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan
gangguan fungsi tuba adalah adanya
proses infeksi saluran napas atas seperti
rinitis, sinusitis, faringitis, hipertrofi
adenoid dan infeksi telinga tengah, adanya
riwayat alergi, sumbatan jalan napas
seperti septum deviasi dan massa tumor
pada daerah telinga, hidung dan tenggorok
dan hal lain yang juga penting adalah
perasat Toynbee dan Valsava yang
dilakukan kurang optimal.
3
Barotrauma yang terjadi pada
penerbang dapat mempengaruhi
keselamatan penerbangan. Peraturan
kesehatan standar penerbangan melarang
para penerbang yang mengalami
barotrauma untuk bertugas, hal ini
membawa dampak terhadap perusahaan
penerbangan secara ekonomi. Hal ini yang
mendasari pentingnya suatu pemeriksaan
yang dapat mendeteksi kemungkinan
terjadinya barotrauma pada penerbang,
sehingga barotrauma dapat dihindari.3,8-10
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui apakah terjadi barotrauma bila
tuba Eustachius terpajan pada perubahan
tekanan atmosfer yang ekstrem pada
seorang penerbang.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian
analitik korelasi dengan menggunakan
desain potong lintang (cross sectional)
untuk melihat korelasi antara nilai tekanan
telinga tengah dan fungsi tuba dengan
derajat barotrauma pasca-pajanan
perubahan tekanan atmosfer dalam ruang
udara bertekanan rendah (RUBR) di
LAKESPRA dr. Saryanto. Penelitian ini
dilakukan pada 37 calon penerbang yang
berusia 20-24 tahun dengan kriteria inklusi
membran timpani utuh, timpanometri tipe
A, refleks akustik positif dan fungsi tuba
baik.
Diagnosis barotrauma ditegakkan
berdasarkan anamnesis, gejala klinis,
penilaian membran timpani berdasarkan
klasifikasi Wallace Teed, dan ditunjang
dengan penilaian tekanan telinga tengah
dan fungsi tuba Eustachius dengan
timpanometri. Keluhan yang paling sering
dirasakan adalah telinga terasa penuh,
telinga sakit, tinitus, gangguan
pendengaran dan keseimbangan. Wallace
Teed menggambarkan klasifikasi untuk
derajat barotrauma, yaitu: Derajat 0: tidak
ada keluhan dengan membran timpani
normal; derajat 1: membran timpani
kemerahan yang difus dan retraksi; derajat
2: derajat 1 ditambah dengan perdarahan
ringan membran timpani; derajat 3: derajat
1 ditambah dengan perdarahan sedang
membran timpani; derajat 4: membran
timpani tampak bulging, terdapat efusi
cairan; derajat 5: perforasi membran
timpani.5,11,12
Pemeriksaan membran timpani dengan
otoskop adalah salah satu metode
pemeriksaan fungsi tuba Eustachius yang
tertua. Adanya tekanan negatif di telinga
tengah atau otitis media efusi, dapat dinilai
dengan otoskop pneumatik yang
mengindikasikan adanya gangguan fungsi
tuba Eustachius, tetapi metode ini tidak
dapat digunakan untuk menentukan tipe
gangguan, apakah karena masalah
fungsional atau akibat obstruksi. Yang
harus digaris-bawahi adalah penampakan
4
membran timpani yang normal belum
tentu memiliki fungsi tuba yang normal,
seperti pada tuba semipatulous atau
patulous.
Jerger-Liden mengklasifikasikan
gambaran timpanogram sebagai tipe A, B
dan tipe C. Tipe A ditemukan pada
keadaan telinga tengah normal, memiliki
puncak kurva dengan ketinggian normal,
pada atau sekitar tekanan atmosfer, yaitu 0
daPa. Tipe A ini memiliki variasi, yaitu
tipe Ad dan As.
Tipe Ad (‘d’= discontinuity), bentuk
kurva menyerupai gambaran tipe A, tetapi
dengan puncak yang lebih tinggi dari nilai
normal, misalnya ditemukan pada keadaan
disartikulasi tulang pendengaran. Segala
sesuatu yang menyebabkan rangkaian
tulang pendengaran menjadi sangat lentur
akan menyebabkan masuknya energi bunyi
secara berlebihan.
Tipe As (‘s’= stiffness atau
shallowness), memiliki kelenturan
membran timpani di bawah nilai normal,
misalnya ditemukan pada keadaan fiksasi
tulang pendengaran, sehingga terjadi
penurunan aliran energi bunyi yang
melewati telinga tengah. Bentuk kurva
menyerupai gambaran tipe A, tetapi
dengan puncak yang lebih rendah.
Tipe B, memiliki gambaran kurva
dengan puncak yang menghilang atau
sedikit melengkung, bahkan sampai datar
dengan nilai tekanan telinga tengah <-100
daPa dan kelenturan membran timpani di
bawah nilai normal, misalnya pada otitis
media efusi.
Tipe C, jika puncak kurva berada pada
daerah tekanan negatif, ditemukan pada
keadaan disfungsi tuba Eustachius, yaitu
saat tuba tidak membuka, maka udara yang
terperangkap di telinga tengah akan
diserap oleh mukosa telinga tengah. Hal
ini akan mengakibatkan turunnya tekanan
udara di telinga tengah terhadap tekanan di
liang telinga luar. Perbedaan tekanan yang
terjadi akan menyebabkan membran
timpani retraksi dan terdorong ke medial
dan pengaruh terhadap gambaran
timpanometri adalah puncak grafik akan
terdorong ke area negatif menjauhi nilai 0.
Pada semua percontoh dilakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik THT dengan
endoskopi, pemeriksaan tekanan telinga
tengah dan fungsi tuba Eustachius dengan
timpanometri. Sebelumnya, semua
percontoh mendapatkan informasi tentang
cara melakukan perasat Toynbee dan
Valsava dengan benar, kemudian semua
percontoh masuk ke dalam ruang simulasi
bertekanan 760 mmHg atau 1 atm (0 kaki
atau ground level), lalu tekanan diturunkan
sampai 670 mmHg (sesuai ketinggian
5000 kaki) dengan kecepatan perubahan
ketinggian 3000-4000 kaki/menit.
Selanjutnya tekanan dinaikkan kembali ke
760 mmHg (sesuai dengan penurunan
ketinggian ke ground level). Beberapa
5
menit kemudian dilanjutkan dengan
tekanan diturunkan menjadi 260 mmHg
(sesuai ketinggian 25.000 kaki) dengan
kecepatan perubahan ketinggian yang
sama, yaitu 3000-4000 kaki/menit. Setelah
beberapa menit, tekanan dinaikkan
kembali ke 760 mmHg (ground level)
dengan kecepatan 3000-4000 kaki/menit.
Setelah simulasi selesai, subjek
dianamnesis. Adakah keluhan telinga
terasa penuh, telinga sakit, berdenging,
penurunan pendengaran, telinga keluar
darah dan gangguan keseimbangan.
Selanjutnya dilakukan penilaian kembali
terhadap membran timpani, tekanan
telinga tengah dan perubahan nilai tekanan
telinga tengah pada fungsi tuba
Eustachius.
HASIL
Data yang ada diolah dengan SPSS
11.5, untuk data yang berdistribusi normal
(p>0,05) dipakai nilai angka rata-rata (SB)
dan data yang berdistribusi tidak normal
(p<0,05) dipakai nilai tengah (minimum-
maksimum).
Dari semua percontoh penelitian, usia
terbanyak adalah 22 tahun, sebanyak 22
percontoh (59,5%) dan tingkat pendidikan
sedikit lebih banyak lulusan SMA
dibandingkan dengan S1/D3, yaitu
sebanyak 20 percontoh (54,1%).
Dari 37 percontoh, tidak ada yang
memiliki riwayat keluar cairan, riwayat
operasi telinga tengah dan riwayat
gangguan pada telinga pasca-penerbangan
atau simulasi dalam ruang bertekanan.
Dari anamnesis semua percontoh,
didapatkan keluhan hidung tersumbat pada
5 percontoh (13,5%), dan hanya 1
percontoh (2,7%) dengan riwayat sinusitis.
Didapatkan 2 percontoh (5,4%) dengan
keluhan nyeri tenggorok dan 6 percontoh
(16,2%) dengan riwayat rinitis alergi.
Pada pemeriksaan fisik THT, dari
pemeriksaan hidung, sebagian besar
percontoh didapatkan kedua kavum nasi
lapang (89,2%). Dari pemeriksaan konka
inferior, terdapat 4 percontoh (10,8%)
dengan konka inferior hipertrofi.
Ditemukan juga insiden faktor predisposisi
barotrauma seperti pada septum deviasi,
dari 37 percontoh didapatkan 12 percontoh
(32,4%) dengan septum deviasi, selain itu
ditemukan juga 6 percontoh (16,2%)
dengan sekret pada kedua kavum nasi.
Pada pemeriksaan orofaring, didapatkan 5
percontoh (13,5%) dengan faring
hiperemis dan pada pemeriksaan tonsil,
didapatkan 4 percontoh (10,8%) dengan
ukuran tonsil ≥T2.
6
Dari 37 percontoh, didapatkan 18
percontoh (48,64%) yang mengalami
barotrauma atau 25 telinga dari 74 telinga
(33,78%). Didapatkan derajat barotrauma
paling banyak pada derajat 1 sebanyak 12
telinga (16,2%) dengan kejadian lebih
banyak pada telinga kanan, sebanyak 14
telinga (64,54%) dan tidak ada percontoh
yang mengalami barotrauma derajat 5.
(Tabel 2).
Pada penelitian ini, berbagai keluhan
subjektif pasca-pajanan perubahan tekanan
ingin diketahui dari percontoh antara lain
keluhan telinga terasa penuh, telinga terasa
bergema, telinga terasa berdenging, telinga
sakit, keluhan pusing atau gangguan
keseimbangan.
Dari 37 percontoh, didapatkan keluhan
paling banyak adalah telinga terasa penuh
sebanyak 7 percontoh (18,9%) dan
keluhan telinga sakit sebanyak 11
percontoh (29,7%) dan tidak didapatkan
percontoh yang mengeluh adanya telinga
terasa bergema, berdenging dan gangguan
keseimbangan.
Penilaian korelasi antara nilai tekanan
telinga tengah dan fungsi tuba Eustachius
terhadap kejadian barotrauma, dilakukan
dengan uji korelasi nonparametrik
Spearman. Hal ini terlihat pada tabel 3.
Dari penelitian, diperoleh hasil dari uji
korelasi, yaitu korelasi tidak bermakna
pada nilai tekanan telinga tengah dengan
derajat barotrauma (r=0,0-0,2), korelasi
bermakna pada nilai tekanan telinga
tengah fungsi tuba saat Toynbee dengan
derajat barotrauma (r=0,4-0,6), dan
korelasi tidak bermakna pada nilai tekanan
telinga tengah fungsi tuba saat Valsava
dengan derajat barotrauma (r=0,0-0,2).
Tabel 2. Sebaran karakteristik percontoh berdasarkan derajat barotrauma (n=74)
Derajat barotrauma Jumlah Persentase Kanan Kirin % n % n %
Barotrauma 25 33,78
Tabel 1. Sebaran percontoh berdasarkan nilai tekanan telinga tengah dan fungsi tuba
Variabel *Nilai tekanan telinga tengah dan fungsi tuba
Nilai tekanan telinga tengah sesudah (daPa) -23,00(-181,00;54,00)Tekanan awal sesudah (ETF1) Perasat Toynbee sesudah (ETF2)Perasat Valsava sesudah (ETF3)ETF2-I sesudahETF3-1sesudah
-23,00(-191,00;81,00)-63,91(50,34)10,00(-371,00174,00)-29,50(-140,00;151,00)30,50(-354,00;244,00)
*= Nilai disajikan dalam angka rata-rata (SB) atau median (minimum-maksimum)
7
Klasifikasi:Derajat 0 49 66.2 23 31,08 26 35,13Derajat 1 12 16,2 9 12,16 3 4,05Derajat 2 4 5,4 2 2,70 2 2,70Derajat 3 1 1,4 1 1,35 0 0Derajat 4 8 10,8 2 2,70 6 8,10
DISKUSI
Semua percontoh adalah subjek yang
belum pernah menjalani latihan simulasi
dalam ruang bertekanan, dan kejadian
barotrauma erat kaitannya dengan
kemampuan seorang beradaptasi terhadap
pajanan perubahan tekanan dan
kemampuannya melakukan perasat pada
saat yang tepat. Lamanya masa dinas
terbukti berhubungan dengan risiko
terjadinya barotrauma telinga tengah.
Semakin lama masa dinas, maka risiko
terjadinya barotrauma semakin meningkat,
karena pajanan yang berulang terhadap
perubahan tekanan semakin sering dan
tuba Eustachius akan sering mengalami
pajanan perubahan tekanan atmosfer yang
dapat mempengaruhi fungsinya.
Fungsi utama tuba Eustachius adalah
menjaga keseimbangan tekanan udara
antara telinga tengah dan lingkungan, hal
ini tercapai bila tuba terbuka untuk
masuknya udara. Hal tersebut dipengaruhi
oleh absorpsi gas melalui membran
mukosa dan variasi tekanan atmosfer rata-
rata.
Gambar 1. Regulasi tekanan telinga tengah.4
Gambar di atas menunjukkan berbagai
jalan pertukaran udara di telinga tengah
saat terisolasi dalam kabin pesawat. Dalam
penjabaran regulasi tekanan telinga tengah,
secara fisiologis jalur yang sudah ada
Tabel 3. Korelasi antara nilai tekanan telinga tengah dan fungsi tuba Eustachius pajanan dengan
kejadian barotrauma
Tekanan telinga tengah dan fungsi tuba
Barotraumap r
Tekanan telinga tengah 0,136 0,175ETF2-1 <0,001 0,503ETF3-1 0,820 0,027
8
adalah: 1) timpani - antrum - mastoid; 2)
telinga tengah - mukosa telinga tengah -
pembuluh darah; dan 3) timpani - tuba
Eustachius - nasofaring. Karena kavum
timpani dan mastoid saling berhubungan
melalui rongga udara, maka perbedaan
tekanan total yang terjadi secara cepat
dapat disamakan dan perbedaan tekanan
udara parsial akan turun dengan cepat.4
Pertukaran udara di dalam telinga
tengah - mukosa telinga tengah -
pembuluh darah, merupakan suatu proses
difus yang tergantung pada perbedaan
tekanan parsial yang ada dan pertukaran
tetap spesifik dari udara yang ada.
Pertukaran udara melalui jalur ini relatif
lambat, sehingga hanya mempunyai
pengaruh yang sedikit pada regulasi
tekanan telinga tengah selama perubahan
tekanan lingkungan. Teori klasik hidrops
ex vacuo menyatakan bahwa udara yang
terperangkap di kavitas telinga tengah
secara terus-menerus akan diabsorpsi dan
kondisi fisiologis ini akan dikompensasi
dengan pembukaan tuba secara intermiten
dan jika terjadi insufisiensi tuba, maka
akan terbentuk tekanan negatif di telinga
tengah, sehingga terjadi retraksi membran
timpani dan terbentuk cairan di telinga
tengah.4
Sebaliknya, pertukaran udara melalui
tuba Eustachius terjadi secara cepat antara
nasofaring dan kavum timpani. Dalam
kondisi fisiologis normal, hal ini bersifat
langsung, hubungan antara telinga tengah
dan lingkungan. Hal ini terjadi karena
perubahan tekanan yang dapat
menyebabkan pertukaran udara, yaitu
akibat perbedaan tekanan antara tekanan
atmosfer dan tekanan telinga tengah.4
Sifat dari suatu gas terhadap tekanan
telah diatur dalam hukum Boyle (1662),
yang menyatakan bahwa volume gas
berbanding terbalik dengan tekanan. Suatu
penurunan atau peningkatan pada tekanan
lingkungan akan memperbesar atau
menekan suatu volume udara dalam ruang
tertutup. Pada saat turun dari suatu
ketinggian, tekanan atmosfer akan naik
dan tekanan gas di telinga tengah akan
turun. Udara tidak akan masuk ke telinga
tengah secara spontan, tuba auditori harus
dibuka dengan gerakan menguap atau
perasat lain yang sering terjadi tanpa
disadari, yang terjadi setiap menit atau
lebih sering.
Ketidakmampuan tuba untuk
melaksanakan fungsinya dapat disebabkan
oleh sistem mekanik yang tidak normal.
Beberapa ahli menjabarkan secara spesifik
bahwa fungsi tuba sangat tergantung pada
elastisitas atau kelenturan tuba, dan hal
tersebut dipengaruhi oleh kondisi mukosa,
otot, kartilago dan jaringan penunjang
sekitar tuba. Elastisitas tuba berpengaruh
baik saat pembukaan tuba (distensibility)
dan penutupan tuba (collapsibility). Hal-
hal tersebut dapat disebabkan oleh proses
9
infeksi saluran napas atas, seperti rinitis,
sinusitis, faringitis, hipertrofi adenoid dan
infeksi telinga tengah, adanya riwayat
alergi, sumbatan jalan napas seperti
septum deviasi dan massa tumor pada
daerah telinga, hidung dan tenggorok dan
hal lain yang juga penting adalah perasat
Toynbee dan Valsava yang dilakukan
kurang optimal.
Barotrauma dapat terjadi jika rongga-
rongga yang berisi udara dalam tubuh
menjadi rongga tertutup, dengan menjadi
buntunya jalur ventilasi normal dan telinga
tengah adalah rongga yang paling sering
terkena. Hal ini dikarenakan struktur tuba
Eustachius yang kompleks. Barotrauma
dapat mengenai satu atau kedua telinga.1,3
Ventilasi tambahan yang berlebihan dapat
menyebabkan trauma melalui tekanan
positif yang besar. Trauma langsung akibat
tekanan pada daerah kepala dan leher,
dapat menyebabkan barotrauma melalui
gangguan atau kerusakan ruang yang berisi
udara. Hal ini dapat dicegah dengan suatu
usaha untuk menyamakan tekanan atau
menyimpan kembali volume udara sebagai
respons terhadap perubahan tekanan yang
mendadak. Tekanan udara atau volume
udara yang berlebihan dapat menyebabkan
kerusakan jaringan secara mekanik.
Penurunan tekanan atau volume dapat
mengakibatkan distensi vaskular,
perdarahan dan edema mukosa. Jika udara
masuk ke dalam sirkulasi setelah
barotrauma, hal ini dapat menyebabkan
emboli arteri sistemik dan menyebabkan
keadaan yang fatal.
Barotrauma yang terjadi pada
penerbang dapat mempengaruhi
keselamatan penerbangan. Peraturan
kesehatan standar penerbangan melarang
para penerbang yang mengalami
barotrauma untuk bertugas, hal ini
membawa dampak terhadap perusahaan
penerbangan secara ekonomi. Hal ini yang
mendasari pentingnya suatu pemeriksaan
yang dapat mendeteksi kemungkinan
terjadinya barotrauma pada penerbang,
sehingga barotrauma dapat dihindari.3,8-10
Barotrauma dapat dicegah dengan
memperhatikan gejala klinis atau kondisi-
kondisi yang dapat menyebabkan
gangguan fungsi tuba, sebelum melakukan
perjalanan dengan pesawat atau mengikuti
simulasi dalam ruang udara bertekanan
rendah. Semua masalah tersebut dapat
dinilai oleh seorang ahli THT dan
sekaligus memberikan pengobatan,
sehingga barotrauma dapat dicegah. Hal
penting lain yang juga harus diperhatikan
adalah kemampuan untuk melakukan
perasat secara benar saat terpajan
perubahan tekanan.
Pada saat tekanan dalam ruang udara
bertekanan rendah diturunkan atau dapat
diperumpamakan seperti pada saat pesawat
naik mencapai suatu ketinggian tertentu di
atas permukaan air laut, biasanya jarang
10
menimbulkan masalah, karena udara di
telinga tengah akan keluar dengan mudah
melalui tuba Eustachius ke nasofaring,
sehingga tekanan pada kedua sisi membran
timpani sama. Hal ini terjadi karena makin
besar suatu ketinggian, maka tekanan
atmosfer akan makin kecil, sedangkan
tekanan di rongga tertutup dalam tubuh
relatif tidak berubah. Kondisi ini membuat
udara yang terperangkap di dalam telinga
tengah lebih mudah untuk keluar.2
Untuk kenyamanan awak pesawat,
kondisi dalam kabin harus dibuat
pressurization atau pengaturan tekanan,
sehingga tekanan kabin sesuai dengan
ketinggian tertentu atau kita sebut cabin
altitude. Penurunan tekanan kabin akan
efektif untuk mengurangi perbedaan
tekanan dengan tekanan atmosfer. Yang
harus diwapadai saat pesawat mencapai
ketinggian di atas 15.000 kaki, karena
risiko terjadinya barotrauma menjadi lebih
besar. Hal ini adalah faktor yang sangat
penting dalam memutuskan kapan
pengaturan tekanan kabin diberikan
selama pesawat turun.7
Tuba Eustachius memiliki peran yang
sangat besar dalam menjaga keseimbangan
tekanan antara telinga tengah dan
lingkungan. Oleh sebab itu, fungsi tuba
Eustachius yang baik sangat diperlukan
saat seorang terpajan perubahan tekanan.
Keluhan telinga terasa penuh pasca-
pajanan merupakan masalah yang sering
dikeluhkan oleh seorang yang terpajan
perubahan tekanan atmosfer. Saat seorang
memiliki perasaan penuh pada telinganya,
biasanya orang tersebut akan berusaha
secara spontan untuk menghilangkan rasa
tidak nyaman tersebut dengan
menyamakan tekanan antara telinga tengah
dan lingkungan melalui akselarasi sirkulasi
udara melalui tuba Eustachius dengan
menggerakkan rahang, gerakan menelan
atau perasat Toynbee dan Valsava.
Apabila ada gangguan pada fungsi tuba
atau perasat yang dilakukan tidak optimal,
maka keluhan telinga penuh akan muncul.
Secara patofisiologi, fungsi tuba yang
baik sangat diperlukan saat terjadi
perubahan tekanan yang besar dan cepat
saat seorang berada di dalam ruang
bertekanan. Apabila tuba gagal melakukan
fungsinya, maka tekanan negatif yang
besar di telinga tengah dapat menyebabkan
pelebaran pembuluh darah pada membran
timpani dan mukosa telinga tengah, dan
jika kondisi ini terus berlanjut dapat
disertai ekstravasasi cairan dari
mikrovaskular di mukosa telinga tengah ke
dalam kavum timpani, seperti yang terjadi
pada barotrauma derajat 4. Fenomena
inilah yang kemudian akan menimbulkan
keluhan telinga menjadi sakit, namun satu
hal yang harus diingat bahwa keluhan
yang dirasa oleh seorang sifatnya sangat
subjektif dan bervariasi dalam hal
11
persepsi, toleransi dan menyampaikan rasa
itu.
Timpanometri sudah diakui sebagai
metode yang dapat dipercaya untuk
pengukuran tekanan telinga tengah,
kelenturan membran timpani dan fungsi
tuba. Sejak industri penerbangan
berkembang dan patensi tuba Eustachius
memiliki peran yang penting dalam
patofisiologi barotrauma, maka penerbang
yang akan mengikuti simulasi dalam ruang
bertekanan harus mempunyai
timpanogram yang normal. Salah satu
keuntungan pemeriksaan dengan
timpanometri yang sangat berguna pada
penelitian ini adalah dapat dilakukan untuk
populasi yang besar dalam waktu yang
singkat dan bersifat objektif. Dalam dunia
penerbangan, timpanometri sangat
berperan untuk mengevaluasi masalah
kesehatan telinga tengah. Mereka
menggunakan timpanometri dengan dua
tujuan. Pertama, yaitu untuk penapisan
para penerbang termasuk pilot, pramugari
dan penerjun payung, dengan menilai
tekanan telinga tengah dan fungsi tuba
sebelum terbang, sehingga dapat diketahui
kemampuan untuk menyamakan tekanan.
Kedua, yaitu untuk evaluasi para
penerbang dengan masalah infeksi saluran
nafas dan alergi, sehingga dapat
diantisipasi kemungkinan lebih besar
menderita barotrauma.13
Pada penelitian ini, didapatkan nilai
angka tengah tekanan telinga tengah
pasca-pajanan masih dalam nilai rentang
normal. Hal ini sesuai dengan batasan nilai
normal tekanan telinga tengah berdasarkan
klasifikasi Jerger. Hal tersebut
membuktikan bahwa fungsi tuba yang baik
memang dibutuhkan saat seorang terpajan
terhadap perubahan tekanan yang
terjadi.14,15
Pada penelitian ini juga didapat nilai
tekanan telinga tengah fungsi tuba saat
bernapas biasa, pasca-pajanan masih
dalam nilai batas normal, begitu pula saat
perasat Toynbee dan Valsava. Fungsi tuba
Eustachius dianggap baik apabila saat
perasat Toynbee, tekanan yang terbentuk
lebih kecil dibandingkan dengan tekanan
semula dan saat perasat Valsava, tekanan
yang terbentuk lebih besar dari tekanan
semula, dan hal tersebut terpenuhi oleh
subjek penelitian, hal tersebut
dimungkinkan karena fungsi tuba yang
baik. Nilai selisih tekanan telinga tengah
saat perasat Toynbee (ETF2-1) dan pada
saat perasat Valsava (ETF3-1) juga dalam
rentang normal.
Idealnya pengukuran tekanan telinga
tengah dilakukan selama pajanan
berlangsung, sehingga dapat diketahui
nilai tekanan telinga tengah saat itu.
Sehingga apabila terjadi tekanan negatif
yang besar, maka tekanan dalam ruangan
dapat diturunkan, namun timpanometri
12
yang digunakan harus dimodifikasi
terlebih dahulu agar dapat digunakan
dalam ruang dengan perubahan tekanan
yang besar.
Di samping itu, pada penelitian ini
agak sulit untuk mengukur tekanan telinga
tengah secara bersamaan pada tekanan
tertentu, mengingat jumlah percontoh yang
masuk dalam ruang simulasi berjumlah
sekitar 15 orang, sehingga pengukuran
baru dapat dilakukan segera setelah
pajanan. Akibatnya, karena percontoh
pada penelitian ini adalah percontoh
dengan fungsi tuba yang baik, maka
walaupun terjadi tekanan negatif yang
besar di telinga tengah saat pajanan dan
menyebabkan distensi dan pecahnya
pembuluh darah membran timpani dan
mukosa telinga tengah, namun saat
pemeriksaan tekanan telinga tengah,
tekanannya masih ada yang dalam rentang
normal, walaupun terdapat pengurangan
tekanan dibandingkan sebelumnya.16
Perubahan tekanan dalam ruang udara
bertekanan yang besar dan cepat, apabila
tidak dapat diantisipasi secara cepat dan
tepat dengan melakukan perasat dengan
benar, maka perubahan atau kerusakan
pada membran timpani dan mukosa telinga
tengah menjadi sulit dihindari. Tekanan
yang besar dalam ruang bertekanan
menyebabkan pecahnya pembuluh darah
di membran timpani dan mukosa telinga
tengah. Hal ini bersifat sementara, namun
juga tidak langsung membaik setelah
pajanan tekanan berakhir. Hal ini tampak
jelas dalam penelitian ini, walaupun subjek
telah keluar dari ruang simulasi, namun
perubahan patologi yang terjadi pada
struktur membran timpani dan telinga
tengah masih bisa kita lihat. Cukup
tingginya kejadian barotrauma pada
penelitian ini sesuai dengan kondisi
ekstrem yang terjadi selama pajanan
tersebut, fungsi tuba Eustachius akan
menurun jika terpajan pada perubahan
tekanan atmosfer yang ekstrem, sehingga
gangguan fungsi tuba menjadi faktor
utama terjadinya barotrauma. Penelitian ini
menggunakan klasifikasi dari Wallace
Teed sebagai pedoman untuk menentukan
derajat dari barotrauma.3,7,15,16
Hasil dari perhitungan uji korelasi
antara nilai tekanan telinga tengah pasca-
pajanan dengan derajat barotrauma,
diperoleh korelasi yang lemah (r=0,175).
Korelasi antara nilai tekanan telinga
tengah saat perasat Valsava pasca-pajanan
dengan derajat barotrauma adalah lemah
(r=0,027). Namun terdapat korelasi yang
bermakna (p<0,001) antara nilai tekanan
telinga tengah saat perasat Toynbee
dengan derajat barotrauma (r=0,503). Hal
ini menjelaskan bahwa seorang dengan
fungsi tuba yang baik akan dengan mudah
mengembalikan tekanan telinga tengah
menjadi normal, walaupun telah terjadi
13
perubahan struktur membran timpani dan
mukosa telinga tengah.
Dari hasil penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa fungsi tuba yang baik
sangat diperlukan saat seorang terpajan
perubahan tekanan atmosfer, sehingga
diperlukan pemeriksaan fungsi tuba
dengan timpanometri agar barotrauma
dapat dihindari. Barotrauma sebenarnya
suatu kondisi yang dapat dicegah. Seorang
yang memiliki faktor-faktor predisposisi
suatu gangguan fungsi tuba, sebaiknya
sesaat sebelum melakukan penerbangan
atau mengikuti simulasi dalam ruang
bertekanan, menyemprotkan ke setiap sisi
hidung dengan dekongestan topikal, lalu
beberapa menit kemudian dilakukan
penyemprotan ulang. Sebaiknya
dekongestan tersebut dapat mencapai
daerah nasofaring, sehingga efek
vasokonstriksi dapat diperoleh.
DAFTAR PUSTAKA
1. Devine JA, Fort VA, Rock PB, Cymerman
A. The use of tympanometry to detect
aerotitis media in hypobaric chamber
operations. Aviation Space Environment
Med 1990; 46:251-5.
2. Klokker M, Vesterhauge S, Jansen EC.
Pressure-equalizing ear plug do not
prevent barotrauma on descent from 8000
ft cabin altitude. Aviation Space
Environment Med 2005; 76(11):1079-82.
3. Ashton DH, Watson LA. The use of
tympanometry in predicting otitis
barotrauma. Aviation Space Enviroment
Med 1990; 2:56-61.
4. Kanick SC, Doyle WJ. Barotrauma during
air travel: predictions of a mathematical
model. J Appl Physiol 2005; 98:1592-602.
5. Uzun C. Evaluation of predictive
parameters related to Eustachian tube
dysfunction for symptomatic middle ear
barotrauma in divers. Otol Neurotol 2005;
26:59-64.
6. Sun Kim C, Wong Jung H, Jong Kim H.
Experimental studies on the pathogenesis
of barotitis media following hypobaric
chamber flight. Otorhinolaryngol Head
Neck Surg 1990; 34:1249-52.
7. King ACPF. The Eustachian tube and its
significance in flight. J Laryngol Otol
1979; 93:659-78.
8. Miyazawa T, Ueda H, Yanagita N.
Eustachian tube function and middle ear
barotrauma associated with extremes in
atmospheric pressure. Ann Otol Rhinol
Laryngol 1996; 105:887-92.
9. Patil G, Taneja N. Retrospective analysis
of initial medical examination of aircrew
applicants in the Indian Air Force. Indian J
Aerospace Med 2006; 50(1):44-9.
10. Ghadiali SN, Swarts JD, Federspiel WJ.
Model-based evaluation of Eusthachian
tube mechanical properties using
14
continuous pressure-flow rate data. Ann
Biomed Engineer 2002; 30:1064-76.
11. Farrel MH, Bhattacharyya. Barotrauma
injury. Int J Care Injured 2004; 35:359-70.
12. Vahidova D, Sen P, Papesch M, Zein-
Sanchez MP, Mueller PHJ. Does the slow
compression technique of hyperbaric
oxygen therapy decrease the incidence of
middle-ear barotrauma? J Laryngol Otol
2006; 120:446-9.
13. Sakata T, Esaki Y, Yamato T, Sueta N,
Nakagawa T, Kato T. Air pressure-sensing
ability of the middle ear-investigation of
sensing regions and appropiate
measurement conditions. Auris Nasus
Larynx 2009; 39:393-9.
14. Stach BA. The audiologist’s assessment
tools: electroacoustic and
electrophysiologic measures. In: Danhauer
JL, ed. Clinical audiology an introduction.
London, San Diego: Kugler Publisher;
1998. p. 257-92.
15. Eric Stangerup S, Klokker M, Vesterhauge
S, Jayaraj S, Rea P, Harcourt J. Point
prevalence of barotitis and its prevention
and treatment with nasal ballon inflation: a
prospective, controlled study. Otol
Neurotol 2004; 25:89-94.
16. Ars B. Middle ear cleft pressure
regulation. Balance and imbalance of
pressure variations-state of the art. In: Ars
B, ed. Chronic otitis media: pathogenesis-
oriented therapeutic management.
Philadelphia: Kugler Publisher; 2008. p.
113-27.