Post on 30-Jan-2018
6
Pendahuluan
Dalam rentang kehidupan manusia akan selalu terjalin proses
perkembangan yang terdiri dari pertumbuhan atau evolusi dan
kemunduran atau involusi yang mana kedua proses ini mulai dari
pembuahan dan berakhir dengan kematian. Hurlock (1996) membagi
rentang kehidupan menjadi sembilan periode, yaitu sebelum kelahiran,
baru dilahirkan (sampai akhir minggu kedua), masa bayi (akhir minggu
kedua sampai akhir tahun kedua), awal masa kanak-kanak (2 – 10 tahun),
pubertas (10 – 13 tahun), remaja (13 – 18 tahun), awal dewasa (18 – 40
tahun), usia pertengahan (40 – 60 tahun), dan usia lanjut (60 tahun sampai
meninggal).
Masa dewasa dibagi atas 3 periode yaitu, masa dewasa dini (awal
dewasa), masa dewasa madya (usia pertengahan), dan masa dewasa lanjut
(usia lanjut). Usia dari setiap rentang waktu pada masa dewasa berbeda-
beda, masa dewasa dini biasanya dimulai sejak usia 18 tahun sampai
dengan kira-kira usia 40 tahun dan biasanya ditandai dengan selesainya
pertumbuhan pubertas dan organ kelamin anak telah berkembang dan
mampu bereproduksi. Pada masa ini, individu akan mengalami perubahan
fisik dan psikologis tertentu bersamaan dengan masalah-masalah
penyesuaian diri dan harapan-harapan terhadap perubahan tersebut. Masa
dewasa madya dimulai pada usia 40 tahun sampai pada usia 60 tahun,
yakni menurunnya kemampuan fisik dan psikologis yang jelas nampak
pada setiap orang. Terakhir masa dewasa lanjut dimulai pada usia 60
tahun sampai kematian, pada usia ini kemampuan fisik maupun
psikologis cepat menurun (Hurlock, 1996).
7
Perubahan-perubahan yang dialami seseorang dalam
perkembangannya, secara bersamaan akan diiringi juga dengan
munculnya harapan sosial yang mana di setiap kelompok budaya
mengharap anggotanya menguasai keterampilan disetiap rentang
kehidupan. Perjalanan hidup seseorang ditandai oleh adanya tugas dan
harapan yang harus dapat dipenuhi (Hurlock, 1996).
Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 2004), dari ketiga rentang masa
dewasa, usia dewasa madya mempunyai rentang waktu yang paling
panjang. Usia dewasa madya atau yang popular dengan istilah setengah
baya, dari sudut posisi usia dan terjadinya perubahan fisik maupun
psikologis, memiliki banyak kesamaan dengan masa remaja. Pada periode
ini individu umumnya mengalami sejumlah masalah yang berkaitan
dengan penyesuaian terhadap peran yang baru, mulai menurunnya kondisi
fisik, pensiun, berubahnya keluarga, adanya stereotip masyarakat, dan
lain sebagainya.
Usia dewasa madya menurut Hurlock (1994) dimulai sejak usia 40 –
60 tahun, dengan lamanya hidup, maka dewasa madya mencakup waktu
yang lama dalam rentang hidup, dimana pada masa dewasa madya
individu melakukan penyesuaian diri secara mandiri terhadap kehidupan
dan harapan sosial. Kebanyakan orang telah mampu menentukan
masalah-masalah mereka dengan cukup baik sehingga menjadi cukup
stabil dan matang secara emosinya, bila hal ini belum tercapai maka
merupakan tanda orang belum matang secara emosional.
Individu yang telah mencapai kematangan emosi mampu mengontrol
dan mengendalikan emosinya, dapat berpikir secara baik dengan melihat
8
persoalan secara obyektif dan mampu mengambil sikap dan keputusan
akan suatu hal yang tepat (Walgito, 1984).
Salah satu pendewasaan dalam perkembangan emosional adalah
kematangan emosi. Salah satu ciri dari individu yang matang adalah
individu yang dapat menerima diri sendiri dan orang lain apa adanya, hal
ini disebabkan karena individu tersebut dapat berpikir secara positif dan
obyektif (Walgito, 1984) .
Kondisi seperti ini dialami oleh setiap individu, baik wanita yang
sudah memasuki usia dewasa madya maupun pria. Kebanyakan wanita
yang telah usia dewasa madya telah menikah dan telah memiliki
keturunan. Pada usia dewasa madya ini pula banyak terjadi permasalahan-
permasalahan dalam rumah tangga baik itu yang berkenaan dengan
masalah ekonomi, masalah mendidik anak, masalah pekerjaan, masalah
hubungan baik antar tetangga, dan masalah-masalah lain yang timbul
dalam kehidupan rumah tangga (Walgito, 1984).
Untuk menyikapi dan menghadapi masalah-masalah yang terjadi
pada wanita usia dewasa madya, diperlukan kedewasaan dalam
menghadapi suatu masalah. Semacam ada kemampuan seseorang yang
mumpuni dalam merespon atau bereaksi terhadap fenomena tertentu,
kemampuan mengendalikan emosi tertentu secara stabil sesuai dengan
perkembangan usianya atau yang biasa disebut kematangan emosi (Koran
Jakarta Nasional, 9 Maret 2010).
Seorang wanita yang telah memasuki usia dewasa madya akan
menghadapi berbagai persoalan kehidupan. Banyak hal-hal yang harus
dilalui dalam rentang usia ini. Mulai dari datangnya masa menopause,
menurunnya daya tarik seksual terhadap suami (bila sudah menikah),
9
serta tuntutan masyarakat mengharapkan mereka untuk dapat berpikir dan
berperilaku sesuai dengan usianya. Hal ini dibutuhkan sikap dan perilaku
yang matang untuk bisa melalui rentang waktu usia dewasa madya
dengan sebagaimana mestinya. Supaya tugas-tugas perkembangan dimasa
ini bisa dilaksanakan dengan baik.
Piaget (dalam Dariyo, 2007), mendefinisikan bahwa kematangan
emosi adalah kemampuan seseorang dalam mengontrol dan
mengendalikan emosinya secara baik, dalam hal ini orang yang emosinya
sudah matang tidak cepat terpengaruh oleh rangsangan atau stimulus baik
dari dalam maupun dari luar pribadinya.
Adanya masalah-masalah yang sangat kompleks yang dihadapi oleh
wanita usia dewasa madya ini, membuat proses menuju kematangan
emosi menjadi bervariasi antara individu satu dengan lainnya.
Ada beberapa faktor-faktor yang dapat memengaruhi kematangan
emosi seorang wanita yang memasuki dewasa madya. Menurut Young
(1985) faktor yang memengaruhi kematangan emosi antara lain adalah
faktor lingkungan, faktor individu, faktor pengalaman. Rogers (1981)
menguraikan beberapa faktor pengaruh kematangan emosi antara lain
adalah keluarga, televisi, dan jenis kelamin. Menurut Anderson (dalam
Mappiere, 1983), mengatakan bahwa faktor yang paling penting dalam
tujuannya individu mencapai kedewasaan emosional adalah pengalaman
yang individu dapat selama menjalani pendidikan formal.
Di dalam pendidikan banyak hal-hal yang bisa diambil, selain ilmu
pendidikan itu sendiri, dunia pendidikan dapat memberikan pelajaran-
pelajaran yang berharga dalam hal kecerdasan intelektual dan kecerdasan
emosional. Tiap jenjang pendidikan memiliki tingkatan masing-masing
10
dalam hal pengetahuan, proses pemecahan masalah, penalaran, serta
emosional. Pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dan pergaulan
dengan seseorang untuk mencapai perkembangan jasmani dan rohani ke
arah kedewasaan (Purwanto, 1999).
Sebuah artikel di harian Nova (2009), memaparkan bahwa pertemuan
ibu-ibu dasawisma disebuah instansi pemerintahan didaerah bekasi
dilaksanakan dengan sangat tertib, kondusif, dan hidup. Ini dikarenakan
karena rata-rata usia 45,5 tahun dan sebagian besar tingkat pendidikan
terakhir adalah SMA dan S1.
Ada survey yang menyatakan bahwa beberapa wanita yang
mempunyai jenjang pendidikan SMA dan usia antara 40-60 tahun
mengalami kematangan emosi yang cukup stabil sedangkan beberapa
wanita yang mempunyai jenjang pendidikan dibawah SMA mengalami
kematangan emosi yang tidak stabil.
(http://kuliahpsikologi.dekrizky.com/tugas-tugas-perkembangan-dewasa-
madya)
Namun berkebalikan dengan hal diatas, Becker (1964) menyatakan
bahwa perkembangan kematangan emosi yang dimiliki seseorang secara
alami muncul seiring dengan pertambahan usia, hal ini dikarenakan
kematangan emosi dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan dan
kematangan fisiologis seseorang, sehingga dapat diartikan bahwa faktor
diluar pertambahan usia sedikit kemungkinan dapat memengaruhi
kematangan emosi seseorang, termasuk tingkat pendidikan.
Pernyataan Becker tersebut diperkuat dengan penelitian yang
dilakukan oleh Darti (2003), yang menyatakan bahwa ibu-ibu yang
tergabung dalam jemaah pengajian rutin di Depok memiliki tingkat
11
kematangan emosi yang cukup tinggi. Rata-rata tingkat pendidikan subjek
adalah SMP/sederajat.
Dengan adanya perbedaan pendapat dari para peneliti tentang
kematangan emosi pada dewasa madya yang memiliki tingkat pendidikan
rendah dan tinggi serta fenomena yang terjadi di masyarakat dewasa ini,
maka penulis tertarik untuk meneliti apakah ada hubungan antara tingkat
pendidikan dengan kematangan emosi pada wanita dewasa madya.
Kajian Pustaka
Kematangan Emosi
Pengertian Kematangan Emosi
Chaplin (2005), dalam buku kamus lengkap psikologi
mendefinisikan kematangan adalah perkembangan, proses mencapai
kemasakkan atau usia matang. Hal senada juga diungkap oleh Sobur
(2003), bahwa kematangan adalah tingkat perkembangan pada individu
atau organ-organnya sehingga sudah berfungsi sebagaimana mestinya.
Sarwono (dalam Yusuf, 2005), emosi merupakan setiap keadaan
pada diri seseorang yang disertai warna afektif baik pada tingkat lemah
maupun tingkat yang luas. Dalam hal ini emosi merupakan warna
afektif yang menyertai setiap keadaan atau perilaku individu. Yang
dimaksud dengan warna afektif adalah perasaan-perasaan tertentu yang
dialami pada saat menghadapi atau menghayati suatu situasi tertentu,
misalnya perasaan gembira, bahagia, putus asa, terkejut, benci atau
tidak senang.
Piaget (dalam Dariyo, 2007), mendefinisikan bahwa kematangan
emosi adalah kemampuan seseorang dalam mengontrol dan
mengendalikan emosinya secara baik, dalam hal ini orang yang
12
emosinya sudah matang tidak cepat terpengaruh oleh rangsangan atau
stimulus baik dari dalam maupun dari luar pribadinya. Gunarsa (1991)
menyatakan bahwa kematangan emosi merupakan dasar perkembangan
seseorang dan sangat memengaruhi tingkah laku.
Dari pendapat para ahli diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
kematangan emosi adalah kemampuan seorang individu untuk
mengontrol dan mengendalikan emosinya secara baik dalam setiap
tindakan maupun perbuatannya.
Ciri-ciri Kematangan Emosi
Petunjuk dari kematangan emosi adalah apabila seseorang menilai
situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum ia bereaksi secara
emosianal dan tidak lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya (Hurlock,
1994).
Adapun ciri kematangan menurut Anderson (dalam Mappiare,
1983) antara lain adalah :
a. Berorientasi pada tugas, bukan pada diri atau pada ego
b. Tujuan-tujuan yang jelas dan kebiasan-kebiasan bekerja yang
efisien
c. Mengendalikan perasaan pribadi.
d. Keobyektifan.
e. Menerima kritik dan saran.
f. Pertanggungjawaban terhadap usaha-usaha pribadi.
g. Penyesuaian yang realistik terhadap situasi-situasi baru.
Berdasarkan ciri-ciri kematangan emosi yang telah diuraikan diatas
maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri kematangan emosi adalah :
a. Individu mampu menerima diri sendiri dan orang lain apa adanya.
13
b. Mampu mengontrol dan mengarahkan emosi dengan baik.
c. Tidak mudah frustrasi terhadap permasalahan yang muncul.
d. Mempunyai tanggung jawab.
e. Kemandirian dan mampu beradaptasi.
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kematangan Emosi
Ada beberapa faktor yang memengaruhi perkembangan
kematangan emosi seseorang. Astuti (2000) mengatakan bahwa faktor-
faktor yang memengaruhi kematangan emosi, antara lain:
a. Pola asuh orang tua
b. Pengalaman traumatik
c. Temperamen
d. Jenis kelamin
e. Usia
Walgito (1984) mengatakan bahwa kematangan emosi berkaitan
dengan unsur individu. Makin bertambahnya usia seseorang diharapkan
emosinya akan lebih matang dan individu akan lebih menguasai atau
mengendalikan emosinya.
Menurut Anderson (dalam Mappiere, 1983), mengatakan bahwa
faktor yang paling penting dalam tujuannya individu mencapai
kedewasaan emosional adalah pengalaman yang individu dapat selama
menjalani pendidikan formal.
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa faktor yang
memengaruhi kematangan emosi antara lain adalah usia, lingkungan,
jenis kelamin, dan pengalaman ( menjalani pendidikan formal).
14
Tingkat Pendidikan
Pengertian Tingkat Pendidikan
Tingkat, menurut Purwadarminta (2002) mempunyai pengertian
lapisan sesuatu yang disusun menurut tinggi rendahnya.
Menelaah makna yang tertulis dalam UU NO 20 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pada pasal 1 ayat 1 bahwa pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahklak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat dan negara.
Pendidikan mempunyai peranan yang menentukan bagi perkembangan
dan perwujudan diri individu.
Ki Hajar Dewantara (dalam Fuad, 2003) menyebutkan pendidikan
berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti
(kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek).
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan
adalah lapisan proses pembelajaran yang disusun menurut tinggi
rendahnya agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi yang
dimiliki secara menyeluruh dalam memasuki kehidupan di masa yang
akan datang.
Tingkatan dalam Pendidikan
Di Indonesia jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal,
nonformal dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya
( UU No 20/ 2003 Pasal 13 ). Namun pada penalitian ini peneliti lebih
menekankan pada pendidikan formal.
15
Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan
berjenjang yang terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah,
dan pendidikan tinggi.Tinjauan pendidikan formal meliputi 3 tingkatan
pendidikan yaitu tingkat pendidikan dasar (meliputi tingkat SD, MI,
SLTP, MTs), tingkat pendidikan menengah (meliputi tingkat SLTA atau
yang sederajat dan tingkat pendidikan tinggi (meliputi tingkat setelah
SLTA).
Pendidikan formal yang ada dapat dibedakan menurut tingkatannya
yaitu pendidikan dasar atau pendidikan tingkat rendah, pendidikan
tingkat menengah, dan pendidikan tingkat tinggi yang masing-masing
tingkatan mempunyai kemampuan kompetensi yang berbeda setelah
lulus dari jenjang pendidikan ini.
Ciri-ciri Pendidikan
Beberapa ciri pendidikan, antara lain:
a. Pendidikan mengandung tujuan, yaitu kemampuan untuk
berkembang sehingga bermanfaat untuk keperluan hidup.
b. Untuk mencapai tujuan itu, pendidikan melakukan usaha yang
terencana dalam memilih isi (materi), strategi, dan tehnik
penilaian yang sesuai.
c. Kegiatan pendidikan dilakukan dalam lingkungan keluarga,
sekolah dan masyarakat (formal dan nonformal) (Hadikusumo,
1995).
Tujuan Pendidikan
Pendidikan bertujuan mempersiapkan generasi muda untuk terjun
dalam masyarakat yaitu kehidupan masyarakat dengan segala
karakteristik dan kekayaan budayanya menjadi landasan dan sekaligus
16
acuan bagi pendidikan. Oleh karena itu tujuan, isi serta proses
pendidikan harus disesuaikan dengan kondisi karakteristik yaitu
kekayaan dan perkembangan masyarakat tersebut (UU No 20/2003
Pasal 3).
Dewasa Madya
Pengertian Dewasa Madya
Usia dewasa madya atau yang popular dengan istilah setengah baya
pada umumnya dipandang sebagai masa usia antara 40 sampai 60 tahun.
Masa tersebut ditandai oleh adanya perubahan-perubahan jasmani dan
mental (Hurlock, 1996).
Ciri-ciri Dewasa Madya
Ciri-ciri dewasa madya antara lain adalah Masa yang ditakuti,
Masa transisi, Usia yang berbahaya, Usia canggung, Masa berprestasi,
Masa evaluasi, Dievaluasi dengan standar ganda, Masa sepi, Masa
jenuh
Tugas-Tugas Perkembangan Dewasa Madya
a. Penyesuaian diri terhadap perubahan fisik
b. Penyesuaian diri terhadap perubahan minat
c. Penyesuaian diri terhadap standar hidup keluarga
d. Penyesuaian dengan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan
berkeluarga dan bermasyarakat
(http://kuliahpsikologi.dekrizky.com/tugas-tugas-perkembangan-
dewasa-madya)
17
Hubungan Kematangan Emosi Dengan Tingkat Pendidikan Pada
Wanita Dewasa Madya
Seorang wanita yang telah memasuki usia dewasa madya akan
menghadapi berbagai persoalan kehidupan. Untuk menyikapi dan
menghadapi masalah-masalah yang terjadi pada wanita usia dewasa
madya, diperlukan kedewasaan dalam menghadapi suatu masalah.
Semacam ada kemampuan seseorang yang mumpuni dalam merespon
atau bereaksi terhadap fenomena tertentu, kemampuan
mengendalikan emosi tertentu secara stabil sesuai dengan
perkembangan usianya atau yang biasa disebut kematangan emosi
(Koran Jakarta Nasional, 2010). Ada beberapa faktor-faktor yang
dapat memengaruhi kematangan emosi seorang wanita yang
memasuki dewasa madya. Menurut Anderson (dalam Mappiere,
1983), mengatakan bahwa faktor yang paling penting dalam
tujuannya individu mencapai kedewasaan emosional adalah
pengalaman yang individu dapat selama menjalani pendidikan
formal. Di dalam pendidikan banyak hal-hal yang bisa diambil,selain
ilmu pendidikan itu sendiri, dunia pendidikan dapat memberikan
pelajaran-pelajaran yang berharga dalam hal kecerdasan intelektual
dan kecerdasan emosional. Tiap jenjang pendidikan memiliki
tingkatan masing-masing dalam hal pengetahuan, proses pemecahan
masalah, penalaran, serta emosional. Seorang wanita yang sudah
memasuki usia dewasa madya, dalam menuju kedewasaan, pastilah
melalui suatu proses, salah satunya proses disaat menjalani
pendidikan formal.
18
Metode Penelitian
Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian
korelasional yaitu menguji hubungan suatu variabel dengan variabel
lainnya.
Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel tergantung : Kematangan Emosi
Variabel bebas : Tingkat Pendidikan
Definisi Operasional
Kematangan Emosi
Kematangan emosi diukur dengan Skala Kematangan Emosi yang
dibuat dari ciri-ciri kematangan emosi yaitu: mampu menerima diri
sendiri dan orang lain apa adanya, mampu mengontrol dan
mengarahkan emosi dengan baik, tidak mudah frustrasi terhadap
permasalahan yang muncul, mempunyai tanggung jawab, kemandirian
dan mampu beradaptasi.
Makin tinggi skor yang didapat, maka semakin tinggi pula tingkat
kematangan emosi sesorang.
Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan adalah lamanya proses pembelajaran yang
diikuti oleh peserta didik untuk mengembangkan potensi yang dimiliki
secara menyeluruh dalam memasuki kehidupan di masa yang akan
datang.
Untuk mengetahui tingkat pendidikan subjek, peneliti
menggunakan cara wawancara pada subjek untuk mengetahui tingkat
pendidikan terakhir subjek.
19
Populasi dan Sampel
Di dalam penelitian ini, populasi yang diambil adalah seluruh
wanita dewasa madya di lingkungan RW 05 Bancaan Tengah Salatiga.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Ketua RW 05 Bancaan Tengah
Salatiga wanita dewasa madya berjumlah 120 orang.
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah
saturation sampling (sampel jenuh) yaitu metode pengambilan sampel
dengan mengikutsertakan semua anggota populasi sebagai sampel
(Arikunto, 2003), hal ini dikarenakan jumlah populasi yang relatif kecil.
Metode pengumpulan data
Alat Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data tentang perbedaan kematangan emosi
ditinjau dari tingkat pendidikan pada wanita dewaas madya digunakan
metode angket.
Blue Print
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan satu macam angket,
yaitu angket untuk mengungkapkan kematangan emosi wanita dewasa
madya. Angket tersebut disusun dengan dua jenis item, yaitu item
terarah dengan pernyataan (favorable) dan yang tidak searah dengan
pernyataan (unfavorable).
Sistem penelitian skala kematangan emosi wanita dewasa madya
didasarkan pada empat kategori, yaitu :
SS : Jawaban yang menyatakan Sangat Sesuai terhadap pernyataan
tersebut
S : Jawaban yang menyatakan Sesuai terhadap pernyataan tersebut
20
TS : Jawaban yang menyatakan Tidak Sesuai terhadap pernyataan
tersebut
STS : Jawaban yang menyatakan Sangat Tidak Sesuai terhadap
pernyataan tersebut
Dalam item yang searah dengan pernyataan (favorable) subjek
menjawab sangat setuju memperoleh skor empat (4), setuju
memperoleh skor tiga (3), tidak setuju memperoleh skor dua (2), dan
sangat tidak setuju memperoleh skor satu (1).
Sebaliknya dalam item yang tidak searah dengan pernyataan
(unfavorable) subjek menjawab sangat setuju memperoleh skor satu (1),
setuju memperoleh skor dua (2), tidak setuju memperoleh skor tiga (3),
dan sangat tidak setuju memperoleh skor empat (4).
Skala kematangan emosi wanita dewasa madya dilihat dari ciri
kematangan emosi yaitu :
a. Mampu menerima diri sendiri dan orang lain apa adanya.
b. Mampu mengontrol dan mengarahkan emosi dengan baik serta
menyikapi masalah secara positif
c. Tidak mudah frustrasi terhadap permasalahan yang muncul
d. Mempunyai tanggung jawab
e. Kemandirian dan mampu beradaptasi
21
Adapun rancangan jumlah item skala kematangan emosi wanita
dewasa madya dapat dilihat pada tabel 3.1
Tabel 3.1
Rancangan Jumlah Item
Skala Kematangan Emosi Wanita Dewasa Madya
Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur
Uji Validitas
Dalam penelitian ini, pengujian validitas diukur dengan
menggunakan Teknik Korelasi Pearson’s Product Moment.
Uji Reliabilitas
Pada penelitian ini, teknik yang digunakan untuk menguji
reliabilitas adalah Teknik Alpha Cronbach.
Ciri Kematangan
Emosi
Jumlah Item Total
Favorable Unfavorable
Menerima diri sendiri dan
orang lain apa adanya 5 5 10
Mampu mengontrol dan
mengarahkan emosi
dengan baik
6 5 11
Tidak mudah frustrasi
terhadap permasalahan
yang muncul
5 5 10
Mempunyai tanggung
jawab. 4 5 9
Kemandirian dan
mampu beradaptasi 5 5 10
Total 25 25 50
22
Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisis statistik
dengan menggunakan korelasi Pearson Product Moment, sebelum data
dianalisi, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yaitu uji normalitas dan
uji linearitas. Pengujian dilakukan dengan bantuan program SPSS
version 16.0.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Orientasi Penelitian dan Subjek Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di lingkungan RW 05 Bancaan Tengah
Salatiga. Populasi yang digunakan adalah wanita dewasa madya di
lingkungan RW 05 Bancaan Tengah Salatiga. Pada penelitian ini teknik
pengambilan sampel yang digunakan adalah saturation sampling
(sampel jenuh) yaitu, metode pengambilan sampel dengan
mengikutsertakan semua anggota populasi sebagai sampel (Arikunto,
2003).
Berdasarkan data keseluruhan, jumlah skala yang kembali dan
jumlah wanita dewasa madya yang telah mengisi skala perbedaan
kematangan emosi ditinjau dari tingkat pendidikan pada wanita dewasa
madya adalah 120 orang.
Hasil Penelitian
Uji Asumsi
Pengujian terhadap normalitas dan linieritas tersebut menggunakan
progran SPSS for Windows version 16.
Uji Normalitas
Berdasarkan hasil uji normalitas dengan menggunakan uji
kolmogorov smirnov, diperoleh nilai z untuk kematangan emosi
23
sebesar 1,073 dengan p > 0,05. Hasil yang diperoleh menunjukkan
data berdistribusi normal.
Nilai z untuk tingkat pendidikan adalah sebesar 2,192 dengan
p<0,05 sehingga menunjukkan bahwa data tidak berdistribusi
normal.
Uji Linearitas
Berdasarkan hasil uji linearitas, diketahui bahwa tingkat
pendidikan berkorelasi linier dengan kematangan emosi. Hal ini
ditunjukkan dengan F = 413,297 dengan p < 0,01.
Hasil Analisis Data
Distribusi data penelitian untuk tingkat pendidikan tidak normal,
sehingga analisis data menggunakan korelasi Product Moment
Spearman.
Berdasarkan hasil analisis data dengan menggunakan teknik korelasi
Product Moment Spearman, diperoleh hasil r = 0,892 dengan p < 0,05
yang berarti ada hubungan positif yang sangat signifikan antara tingkat
pendidikan dengan kematangan emosi pada wanita dewasa madya.
Besarnya sumbangan tingkat pendidikan terhadap kematangan
emosi wanita dewasa madya ditentukan dengan mengkuadratkan
koefisien korelasi, yaitu sebesar (0,892)2 x 100 %
= 79,57 %
Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis data dengan menggunakan teknik Korelasi
Product Moment Spearman, diperoleh nilai r = 0,892 dengan p = 0,000
(p < 0,05) yang berarti ada hubungan positif yang sangat signifikan
antara tingkat pendidikan dengan kematangan pada wanita dewasa
madya. Dengan demikian, hipotesis penelitian yang menyebutkan ada
24
hubungan positif yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan
kematangan emosi pada wanita dewasa madya dapat diterima. Semakin
tinggi tingkat pendidikan pada wanita dewasa madya, maka kematangan
emosi semakin baik. Semakin rendah tingkat pendidikan, maka
kematangan emosi juga semakin rendah.
Dari data juga diketahui bahwa rata-rata tingkat pendidikan pada
wanita usia dewasa adalah 10,9750 dengan standart deviation sebesar
5,47180.
Anderson (dalam Mappiere, 1983) mengatakan bahwa faktor yang
paling penting dalam tujuannya individu mencapai kedewasaan
emosional adalah pengalaman yang individu dapat selama menjalani
pendidikan formal. Dunia pendidikan dapat memberikan pelajaran-
pelajaran yang berharga dalam hal kecerdasan intelektual dan kecerdasan
emosional. Tiap jenjang pendidikan memiliki tingkatan masing-masing
dalam hal pengetahuan, proses pemecahan masalah, penalaran serta
emosional. Semakin tinggi tingkat pendidikan wanita dewasa madya,
maka wanita dewasa madya semakin siap dalam hal pengetahuan, proses
pemecahan masalah, penalaran serta kematangan emosi dalam memasuki
masa usia dewasa madya dan dalam menghadapi berbagai persoalan
kehidupan baik di persoalan dalam keluarga dan dalam masyarakat.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data yang telah diuraikan sebelumnya, hasil
penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Ada hubungan positif dan signifikan antara tingkat pendidikan dengan
kematangan emosi pada wanita dewasa madya. Artinya semakin
tinggi tingkat pendidikan, maka semakin tinggi pula kematangan
25
emosi pada wanita dewasa madya. Sebaliknya, semakin rendah
tingkat pendidikan, maka semakin rendah pula kematangan emosi
pada wanita dewasa madya.
2. Total sumbangan efektif (SE) tingkat pendidikan pada kematangan
emosi wanita dewasa madya adalah 79,57% , yang berarti masih
terdapat 20,43% faktor lain yang mempengaruhi kematangan emosi
pada wanita dewasa madya di luar tingkat pendidikan.
3. Sebagian besar subjek yaitu 53,3 % memiliki tingkat kematangan
emosi pada kategori tinggi.
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa terdapat
hubungan positif yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan
kematangan emosi pada wanita dewasa madya, maka dapat dikemukakan
saran bagi pihak-pihak yang terkait dengan penelitian ini, yaitu:
1. Bagi wanita dewasa madya, perlu meningkatkan pengetahuannya
dengan cara misalnya membaca buku-buku, sehingga dapat
meningkatkan kematangan emosinya dalam menjalani masa usia
dewasa madya.
2. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan penelitian ini dapat dipakai
sebagai pedoman mengenai tingkat pendidikan yang berkaitan dengan
kematangan emosi pada wanita dewasa madya.
3. Bagi remaja putri diharapkan untuk terus menambah pengetahuan dan
meningkatkan tingkat pendidikannya sehingga lebih siap dalam
memasuki usia dewasa madya.
26
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. (2003). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: Rineka Cipta.
Azwar, S. (1999). Penyusunan Skala Psikologis. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Azwar, S. (2003). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Chaplin, J. P. (2002). Kamus lengkap psikologi. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Dariyo, A. (2003). Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. Jakarta:
Gramedia Widiasarana Indonesia
Darti. (2003). Sikap Terhadap Perkawinan pada Wanita ditinjau dari
Persepsi terhadap Pengembangan Karier. Skripsi (tidak
diterbitkan), Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata, Semarang.
Fuad, H. (2003). Dasar-dasar Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Gunarsa, S. (1991). Pengantar Psikologi. Jakarta: Mutiara.
Hadi, S. (2002). Statistik Jilid 2. Yogyakarta: Andi Ofset.
Hurlock, E. B. (1994). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan
Sepanjang Rentang Kehidupan (eds.5). Jakarta: Erlangga.
Mappiare. (1983). Psikologi Orang Dewasa. Surabaya: Usaha Nasional.
Monks, F. J. (2002). Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai
Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
27
Nazir. (1999). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Patty, F. (1982). Pengantar Psikologi Umum. Surabaya: Usaha Nasional.
Purwadarminta, WJS. (2002). Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Purwanto, N. M. (1993). Ilmu Pendidikan dan Praktis. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Rizky. (2010). Tugas-tugas Perkembangan Dewasa Madya. Diambil 21
Maret 2010 dari http//www.kuliahpsikologi.deckrizky.com/tugas-
tugas-perkembangan-dewasa-madya
Rogers, D. (1981). Adolescent and Youth. New York: Prentice Hall.
Sudjana. (2000). Metode Statistik (eds.5). Bandung: Tarsito.
Sugiyono. (2004). Statistik Untuk Penelitian. Bandung: Alvabeta.
Suryasubrata, S. (1983). Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Mendiknas. (2003). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.
Walgito, B. (1990). Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi
Offset.
Walgito, B. (2002). Bimbingan dan Konseling Perkawinan. Yogyakarta:
Andi Offset.
Young, K. (1985). Social Psychology. New York: Aaplenton Century