Post on 13-Mar-2019
HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN RESILIENSI REMAJA
PADA KELUARGA ORANG TUA TUNGGAL
NASKAH PUBIKASI
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi dan Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Untuk memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat
Sarjana (S-1) Psikologi dan Sarjana (S-1) Pendidikan Agama Islam
Disusun Oleh :
Fariskha Noor Amalia
F 100100085 / G 000100219
TWINNING PROGRAM
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015
ii
HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN
RESILIENSI REMAJA PADA KELUARGA ORANG TUA TUNGGAL
NASKAH PUBLIKASI
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi dan Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat
Sarjana (S-1) Psikologi dan Sarjana (S-1) Pendidikan Agama Islam
Disusun oleh :
FARISKHA NOOR AMALIA
F 100 100 085 / G 000 100 219
TWINNING PROGRAM
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015
iii
iv
1
HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN RESILIENSI REMAJA
PADA KELUARGA ORANG TUA TUNGGAL
Fariskha Noor Amalia
fariskhana@gmail.com
Fakultas Pikologi dan Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Soleh Amini Yahman
Najmuddin Zuhdi
ABSTRAKSI
Keluarga mempunyai peranan yang sangat besar dalam pembangunan
masyarakat dunia, orang tua yang dulunya lengkap dapat menjadi tidak lengkap
yang disebabkan karena adanya perpisahan, yakni kematian, perceraian. Remaja
memiliki emosi yang belum stabil, rasa ingin tahu yang besar, agresif, cenderung
menantang dengan aturan-aturan dan tidak dekat dan tidak terbuka dengan
keluarga terutama orang tua. Maka apabila terjadi permasalahan dan tidak terbuka
oleh remaja sangatlah wajar terjadi. Resiliensi merupakan suatu kemampuan
individu untuk mengatasi kesulitan dan melanjutkan perkembangan normalnya
seperti semula. Salah satu faktor yang mempengaruhi resiliensi adalah konsep
diri. Konsep diri yang positif akan menghasilkan resiliensi yang tinggi, begitu
juga sebaliknya konsep diri yang negatif akan menghasilkan resiliensi yang
rendah pula. Saat ini remaja yang mempunyai orang tua tunggal biasanya tidak
terbuka terhadap keluarganyya terutama orang tua mereka ketika mereka
mempunyai masalah.
Tujuan dalam penelitian ini, yaitu : untuk mengetahui hubungan antara
konsep diri dengan resiliensi remaja pada keluarga orang tua tunggal. Hipotesis
yang diajukan adalah ada hubungan positif antara konsep diri dengan resiliensi
remaja pada orang tua tunggal. Subyek dalam penelitian ini sebanyak 52 orang
remaja, penelitian ini memakai studi purposive random sampling yaitu peneliti
menentukan jenis sampel berdasarkan karakteristik. Alat pengumpulan data dalam
penelitian ini menggunakan skala konsep diri dan skala resiliensi. Teknik analisis
data menggunkan korelasi product moment.
Hasil analisis yang diperoleh dari penelitian ini yaitu : ada hubungan
positif yang sangat signifikan dengan resiliensi remaja pada keluarga orang tua
tunggal, konsep diri bereran 48,9% dan koefisien derteminan ( ) = 0,699 dalam
mempengaruhi resiliensi remaja dan tingkat konsep diri tergolong sedang, tingkat
resiliensi tergolong sedang.
kata kunnci : konsep diri, resiliensi
2
PENDAHULUAN
Dalam Firman-Nya Qs. At-tahrim
ayat 6 :
Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, peliharalah dirimu
dan keluargamu dari api
neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia
dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah
terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu
mengerjakan apa yang
diperintahkan (Qs.At-
tahrim (66) :6)”.
Keluarga menurut Helmawati
(2014) adalah kelompok kecil yang
memiliki pemimpin dan anggota,
mempunyai pembagian tugas dan
kerja, serta hak dan kewajiban bagi
masing-masing anggotanya, sebuah
keluarga tidak akan pernah menjadi
keluarga ideal jika tidak memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan
terutama oelh agama dan hukum
yang berlaku di negara dan
masyarakat.
Keluarga yang tidak utuh
akan berdampak pada remaja yang
menurut Hurlock (dalam
Kusumawardand, 2014) Salah satu
fenomena yang sering dijumpai
dalam masyarakat saat ini adalah
keberadaan orang tua tunggal.
Kematian salah seorang dari kedua
orang tua adalah salah satu kondisi
yang sangat mungkin terjadi pada
kehidupan setiap manusia. Hal
tersebut merupakan penyebab
seseorang terpaksa harus menjalani
kehidupan seorang orang tua tunggal
dan perbedaan pandangan, hal
prinsip atau pengalaman buruk yang
dialami selama menjalani masa
berumah tangga. Terkadang
menyebabkan seseorang terpaksa
memilih berpisah dari pasangannya
atau karena hadirnya pihak ketiga
yang memaksa perpisahan harus
terjadi.
Menurut American
Psychological association (dalam
Djudiyah dkk, 2011) cara pandang
diri negatif terhadap diri sendiri serta
perasaan tidak berharga pada diri
remaja dari keluarga orang tua
tunggal ini akan berdampak pada
perkembangan daya resiliensinya.
Apabila remaja menganggap bahwa
hidup ini kejam, hanya membuat
dirinya menderita dan merasa tidak
berdaya menghadapinya maka akan
menyebabkan daya resilensinya tidak
berkembang atau cenderung rendah.
Namun bila remaja berusaha
mengatasi persoalan-persoalan yang
dihadapinya dan berusaha bangkit
dari keterpurukannya serta berusaha
menerima apa yang dimilikinya saat
ini maka daya resiliensinya akan
dapat berkembang.
3
Ketika menghadapi berbagai
kesulitan dan persoalan hidup
manusia Allah melarang untuk
berputus asa, dalam firman-Nya:
Artinya: “Hai anak-anakku,
Pergilah kamu, Maka carilah berita
tentang Yusuf dan saudaranya dan
jangan kamu berputus asa dari
rahmat Allah. Sesungguhnya tiada
berputus asa dari rahmat Allah,
melainkan kaum yang kafir (Qs.
Yusuf (12): 87)".
Menurut Evarall, dkk (dalam
Hidayati, 2014) mengatakan bahwa
remaja yang mempunyai resilien
cenderung memiliki tujuan, harapan,
dan perencanaan terhadap masa
depan, gabungan antara ketekunan
dan ambisi dalam mencapai hasil
yang akan diperoleh.
Secara etimologis resiliensi
diadaptasi dari kata dalam bahasa
inggris resilience yang berarti
kemampuan untuk kembali dalam
bentuk semula (Aprilia, 2013).
Sementara itu Grotberg (dalam
Masdianah, 2010) mendefinisikan
resiliensi adalah kemampuan atau
kapasitas individu yang dimiki baik
seseorang, kelompok atau
masyarakat yang memungkinkan
untuk menghadapi, mencegah,
meminimalkan dan bahkan
menghilangkan dampak-dampak
yang merugikan dari kondisi-kondisi
yang tidak menyenangkan atau
bahkan mengubah kondisi kehidupan
yang menyengsarakan menjadi suatu
hal yang wajar untuk diatasi.
Dalam Islam sabar adalah wujud
perilaku dari resiliensi, Ilyas (1999)
mengemukakan secara etimologis
sabar a(ash-shabr) berarti menahan
dan mengekang (al-habs wa al-kuf).
Secara terminologis sabar berarti
menahan diri dari segala sesuatu
yang tidak disukai karena mengharap
ridha Allah, Selain itu sabar menurut
Quraish shihab (dalam Hafiz&
Fahrul, 2012) adalah menahan diri
dari sesuatu yang tidak berkenaan di
hati. Dalam firman Allah Qs. Ali-
imron: 125 yang berbunyi:
Artinya: “Ya (cukup), jika
kamu bersabar dan bersiap-siaga,
dan mereka datang menyerang kamu
dengan seketika itu juga, niscaya
Allah menolong kamu dengan lima
ribu Malaikat yang memakai tanda
(Qs. Ali-imron (3): 125)”.
Resiliensi menurut Reivich &
Shatte (dalam Hadiningsih, 2014)
mencakup tujuh aspek, yaitu:
a. Regulasi emosi, adalah
kemampuan untuk tetap tenang
dalam kondisi yang penuh
tekanan. Individu yang memiliki
kemampuan meregulasi emosi
4
dapat mengendalikan dirinya
apabila sedang kesal dan dapat
mengatasi rasa cemas, sedih,
atau marah sehingga
mempercepat dalam pemecahan
suatu masalah. Pengekspresian
emosi, baik negatif ataupun
positif, merupakan hal yang
sehat dan konstruktif asalkan
dilakukan dengan tepat.
Pengekpresian emosi yang tepat
merupakan salah satu
kemampuan individu yang
resilien.
b. Pengendalian impuls,
merupakan kemampuan
mengendalikan keinginan,
dorongan, kesukaan, serta
tekanan yang muncul dari dalam
diri seseorang. Individu dengan
pengendalian impuls rendah
sering mengalami perubahan
emosi dengan cepat yang
cenderung mengendalikan
perilaku dan pikiran. Individu
mudah kehilangan kesabaran,
mudah marah, impulsif, dan
berlaku agresif pada situasi-
situasi kecil yang tidak terlalu
penting, sehingga lingkungan
sosial di sekitarnya merasa
kurang nyaman yang berakibat
pada munculnya permasalahan
dalam hubungan sosial.
c. Optimisme, individu yang
resilien adalah individu yang
optimis. Individu memiliki
harapan di masa depan dan
percaya dapat mengontrol arah
hidupnya. Dibandingkan dengan
individu yang pesimis, individu
yang optimis lebih sehat secara
fisik, tidak mengalami depresi,
berprestasi lebih baik di sekolah,
lebih produktif dalam kerja, dan
lebih berprestasi dalam olahraga.
Optimisme mengimplikasikan
bahwa individu percaya dapat
menangani masalah-masalah
yang muncul di masa yang akan
datang.
d. Empati, menggambarkan bahwa
individu mampu membaca
tanda-tanda psikologis dan
emosi dari orang lain. Empati
mencerminkan seberapa baik
individu mengenali keadaan
psikologis dan kebutuhan emosi
orang lain.
e. Analisis penyebab masalah,
yaitu merujuk pada kemampuan
individu untuk secara akurat
mengidentifikasi penyebab-
penyebab dari permasalahan
individu. Jika individu tidak
mampu memperkirakan
penyebab dari permasalahannya
secara akurat, maka individu
akan membuat kesalahan yang
sama.
f. Efikasi diri, merupakan
keyakinan pada kemampuan diri
sendiri untuk menghadapi dan
memecahkan masalah dengan
efektif. Efikasi diri juga berarti
meyakini diri sendiri mampu
berhasil dan sukses. Individu
dengan efikasi diri tinggi
memiliki komitmen dalam
memecahkan masalahnya dan
5
tidak akan menyerah ketika
menemukan bahwa strategi yang
sedang digunakan itu tidak
berhasil. Individu yang memiliki
efikasi diri yang tinggi akan
sangat mudah dalam
menghadapi tantangan. Individu
tidak merasa ragu karena
memiliki kepercayaan yang
penuh dengan kemampuan
dirinya. Individu ini akan cepat
menghadapi masalah dan
mampu bangkit dari kegagalan
yang dialami.
g. Peningkatan aspek positif.
Resiliensi merupakan
kemampuan yang meliputi
peningkatan aspek positif dalam
hidup. Individu yang
meningkatkan aspek positif
dalam hidup, mampu melakukan
dua aspek ini dengan baik, yaitu:
(1) mampu membedakan risiko
yang realistis dan tidak realistis,
(2) memiliki makna dan tujuan
hidup serta mampu melihat
gambaran besar dari kehidupan.
Individu yang selalu
meningkatkan aspek positifnya
akan lebih mudah dalam
mengatasi permasalahan hidup,
serta berperan dalam
meningkatkan kemampuan
interpersonal dan pengendalian
emosi.
Selain itu Everall (2006)
mengemukakan ada tiga faktor yang
mempengaruhi resiliensi, yaitu:
a. Faktor individual, faktor
individual meliputi kemampuan
kognitif individu, konsep diri,
harga diri, dan kompetensi sosial
yang dimiliki individu.
b. Faktor keluarga, faktor keluarga
meliputi dukungan yang
bersumber dari orang tua, yaitu
bagaimana cara orang tua untuk
memperlakukan dan melayani
anak. Selain dukungan dari
orang tua struktur keluarga juga
berperan penting bagi individu.
c. Faktor komunitas, faktor
komunitas meliputi kemiskinan
dan keterbatasan kesempatan
kerja.
Menurut Rakhmat (dalam
Hidayati, 2014), konsep diri adalah
pandangan dan perasaaan kita
tentang diri sendiri. Persepsi tentang
diri ini bersifat psikologi, sosial, dan
fisik. Untuk mengetahui konsep diri
kita positif atau negatif, secara
sederhana terangkum dalam tiga
pertanyaan berikut, “bagaimana
watak saya sebenarnya?”,
“bagaimana orang lain memandang
saya?’ dan “bagaimana pandangan
saya tentang penampilan saya?”.
Jawaban pada pertanyaan pertama
menunjukkan persepsi psikologis,
jawaban kedua menunjukkan
persepsi sosial, dan jawaban pada
pertanyaan ketiga menunjukkan
persepsi fisik tentang diri kita.
Konsep diri dalam perspektif
islam Sandiah (2014) adalah rasa
iman dan taqwa kepada kekuatan
eksternal, Allah SWT yang dapat
dimanifestasikan secara sederhana
maupun kompleks dalam bentuk
6
gagasan, ide, atau tindakan. Konsep
diri perspektif islam dapat disebut
dengan konsep diri muslim ideal.
Taqwa menurut Riyadhus
Shalihin (2005) adalah istilah yang
diambil dari kata wiqayah yang
berarti menjadikan sesuatu yang
dapat menjaga dari azab Allah dan
sesuatu yang dapat menjaga dari
azab dengan car melkanakan
perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya ketaqwaan diiringi
dengan kebajikan, seperti yang
difirmankan Allah dalam Al-Qur’an
surat Al-Ahzaab: 70
Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kamu kepada
Allah dan Katakanlah Perkataan
yang benar (Al-Ahzaab (33) : 70)”
Menurut Calhoun & Acocella
(dalam Manik, 2007) konsep diri
terbagi menjadi dua jenis, yaitu
konsep diri yang positif dan konsep
diri yang negatif.
1) Konsep diri yang positif, yaitu
peneriman diri bukan sebagai
suatu kebangaan yang besar
tentang dirinya, dapat
memahami dan menerima
sejumlah fakta yang bermacam-
macam tentang dirinya sendiri,
evaluasi terhadap dirinya sendiri
menjadi positif dan dapat
menerima keberadaan orang
lain, seagaimana firman Allah
Qs. At-taghabun ayat 16:
Artinya: “Maka bertakwalah
kamu kepada Allah menurut
kesanggupanmu dan dengarlah serta
taatlah dan nafkahkanlah nafkah
yang baik untuk dirimu dan
Barangsiapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, Maka mereka
Itulah orang-orang yang beruntung
(Qs. At-taghabun (64) 16)”.
Individu yang memiliki konsep diri
positif akan merancang tujuan-tujuan
yang sesuai dengan realiatas, yaitu
tujuan yang memiliki kemungkinan
besar untuk dapat dicapai, mampu
menghadapi kehidupan didepannya
serta menganggap bahwa hidup
adalah suatu proses penemuan.
2) Konsep diri negatif, terdapat dua
tipe yaitu:
a. Pandangan individu tentang
dirinya sendiri benar-benar tidak
teratur, tidak memiliki perasaaan
kestabilan dan keutuhan diri,
individu tersebut benar-benar
tidak tahu siapa dirinya,
kekuatan dan kelemahan atau
yang dihargai dalam
kehidupannya.
b. Pandangan tentang dirinya
sendiri terlalu stabil dan teratur.
Biasa terjadi karena individu
dididik dengan cara yang sangat
keras, sehingga menciptakan
7
citra diri yang tidak
mengizinkan adanya
penyimpangan dari seperangkat
hukum yang didalam pikirannya
merupakan cara hidup yang
tepat.
Bronzky (dalam Fatimah, 2012)
mengemukakan aspek-aspek konsep
diri meliputi:
a. Aspek fisik, yaitu pandangan,
pikiran, perasaan dan pemikiran
individu terhadap fisiknya
sendiri. Individu memiliki
konsep diri yang positif bila
memandang secara positif
penampilanya, kondisi kesehatan
kulitnya, ketampanan atau
kecantikan serta ukuran tubuh
ideal. Individu dipandang
memililki konsep diri negatif
bila memandang secara negatif
mengenai penampilannya,
kondisi kesehatan kulitnya,
ketampanan atau kecantikan
serta ukuran tubuh idealnya.
b. Aspek psikis, yaitu pandangan,
pikiran, perasaan dan penilaian
individu terhadap pribadinya
sendiri. Seseorang digolongkan
memiliki konsep diri positif bila
memandang dirinya sebagai
individu yang bahagia, optimis,
mampu mengontrol diri dan
memiliki berbagai kemampuan.
Sebaliknya, individu
digolongkan sebagai orang yang
memiliki konsep diri negatif bila
individu memandang dirinya
sebagai orang yang tidak
bahagia, pesimis, tidak mampu
mengontrol diri dan memiliki
berbagai macam kekurangan.
c. Aspek sosial, yaitu pandangan,
pikiran dan penilaian individu
tehadap kecenderungan sosial
yang ada pada dirinya sendiri.
Konsep diri sosial berkaitan
dengan kemampuan yang
berhubungan dengan dunia di
luar dirinya, perasaan mampu,
dan berharga dalam lingkup
interaksi sosial. Individu
digolongkan memiliki konsep
diri sosial positif bila
memandang dirinya sebagai
orang terbuka pada orang lain,
memahami orang lain, merasa
mudah akrab dengan orang lain,
merasa diperhatikan, menjaga
perasaan orang lain. Sebaliknya
individu yang memiliki konsep
diri sosial yang negatif bila tidak
memberi perhatian terhadap
orang lain dan tidak aktif dalam
kegiatan sosial.
d. Aspek moral, yaitu pandangan,
pikiran, perasaan dan penilaian
individu terhadap moralitas diri
sendiri. Konsep diri moral
berkaitan dengan nilai dan
prinsip yang memberi arti dan
arah bagi kehidupan seseorang.
Digolongkan memiliki konsep
diri moral positif bila
memandang dirinya sebagai
orang yang berpegang teguh
pada nilai etik moral, namun
sebaliknya individu digolongkan
memiliki konsep diri moral
negatif bila memandang dirinya
8
sebagai orang yang menyimpang
dari standar nilai moral yang
seharusnya diikutinya.
Menurut Burns (dalam Widodo,
2006) konsep diri dipengaruhi oleh
faktor-faktor sebagai berikut:
a. Citra diri, yang berisi tentang
kesadaran dan citra tubuh, yang
pada mulanya dilengkapi
melalui persepsi inderawi. Hal
ini merupakan inti dan dasar dari
acuan dan identitas diri yang
terbentuk.
b. Kemampuan bahasa, bahasa
timbul untuk membantu proses
diferensiasi terhadap orang lain
yang ada di sekitar individu, dan
juga untuk memudahkan atas
umpan balik yang dilakukan
oleh orang-orang terdekat
(significant others).
c. Umpan balik dari lingkungan,
khususnya dari orang-orang
terdekat (significant others).
Individu yang citra tubuhnya
mendekati ideal masyarakat atau
sesuai dengan yang diinginkan
oleh orang lain yang
dihormatinya, akan mempunyai
rasa harga diri yang akan tampak
melalui penilaian-penilaian yang
terefleksikan.
d. Identifikasi dengan peran jenis
yang sesuai dengan stereotip
masyarakat, identifikasi
berdasarkan penggolongan seks
dan peranan seks yang sesuai
dengan pengalaman masing-
masing individu akan
berpengaruh terhadap sejauh
mana individu memberi label
maskulin atau feminin kepada
dirinya sendiri.
e. Pola asuh, perlakuan, dan
komunikasi orang tua, hal ini
akan berpengaruh terhadap
harga diri individu karena ada
ketergantungan secara fisik,
emosional dan sosial kepada
orang tua individu (terutama
pada masa kanak-kanak), selain
karena orang tua juga
merupakan sumber umpan balik
bagi individu.
METODE PENELITIAN
Subyek yang diambil dalam
penelitian adalah remaja yang masih
sekolah usia 13-17 tahun, memiliki
orang tua tunggal baik yang bercerai
atau meninggal dan masih tinggal
bersama orang tua. Menggunakan
teknik pengambilan sampel
purposive random sampling yaitu
peneliti menentukan jenis sampel
berdasarkan ciri-ciri atau
karakteristik yang telah ditentukan.
Metode pengumpulkan data
menggunakan pengukuran skala
konsep diri dan resiliensi. Teknik
analisis data menggunakan korelasi
product moment.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis yang
telah dilakukan dengan
menggunakan teknik korelasi
product moment pearson maka
diperoleh hasil nilai koefisien
korelasi ) sebesar 0,699 dengan
signifikan 0,000 (p < 0,01) artinya
ada hubungan positif yang sangat
9
signifikan antara konsep diri dengan
resiliensi. semakin positif konsep diri
maka semakin tinggi
resiliensi,semakin negatif konsep diri
maka semakin rendah resiliensinya.
Hasil ini sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh
Djudiyah (2011) konsep diri yang
positif merupakan salah satu faktor
konstribusi bagi resiliensi pada
remaja. Ketika remaja memiliki
konsep diri yang positif peran orang
tua cukup besar pada perkembangan
remaja, apabila remaja mampu dan
mau melakukan hubungan
interpersonal yang harmonis
terhadap orang tuanya maka remaja
akan merasa aman untuk
bereksplorasi atau potensi yang
dimilikinya disamping penerimaan
terhadap tidak lengkapnya orang tua
tunggal.
Pada remaja yang memiliki
orang tua tunnggal memiliki konsep
diri yang positif. Menurut America
Psychological Association (dalam
Djudiyyah, 2011) menyatakan bahwa
cara pandang diri negatif terhadap
diri sendiri serta peasaan tidak
beharga pada diri remaja dari
keluarga orang tua tunggal ini akan
berdampak pada perkembangan
resiliensinya. Apabila remaja
menganggap bahwa hidup ini kejam
hanya membuat dirinya menderita
dan merasa tidak berdaya
menghadapinya maka akan
menyebabkan daya resiliensinya
tidak berkembang atau cenderung
rendah, namun bila remaja berusaha
bangkit dari keterpurukannya serta
berusaha menerima apa yang
dimilikinya saat ini maka daya
resiliensinya akan dapat
berkembang.
Berdasarkan penelitian dari
Murphey (2010) menyatakan seorang
remaja yang mempunyai resiliensi
yang baik akan memasuki masa
dewasa dengan baik untuk mengatasi
masalah dengan baik jika ia telah
mengalami keadaan yang sulit dalam
hidupnya, seperti hubungan mereka
dengan orang tua yang baik.orang
tua yang bersama mereka hidup dan
menjaga komunikasi terbuka dengan
remaja.
Sebuah peneliitian yang dilakukan
oeh Prihartani, Sulistiyanto,
Purwanto, Partini, Aunillah dan Haq
(2009) kepada 573 subyek yang
berasal dari siswa sekolah dasar
sampai sekolah menengah atas
diperoleh bahwa masalah keluarga
mempunyai hubungan erat dengan
resiliensi. kondisi yang baik tidak
memiliki banyak masalah,
menunjukkan ketegaran siswa yang
tinggi. Hal ini menjelaskan pendapat
banyak orang mengenai pentingnya
peran keluarga dalam membentuk
kepribadian seseorang.
Berdasarkan hasil analisis
diketahui variabel konsep diri
mempunyai rerata empirik sebesar
85,38 dan rerta hipotetik sebesar 95
yang berarti konsep diri pada subyek
tergolong sedang. Kondisi sedang ini
dapat diinterpretasikan bahwa
subyek penelitian pada dasarnya
10
memiliki sikap yang terbentuk dari
aspek yang melibatkan aspek fisik
yang meliputi pandangan, pikiran,
perasaan dan pemikiran individu
terhadap fisiknya sendiri memiliki
konsep diri yang positif bila
memandang secara positif
penampilanya, kondisi kesehatan
kulitnya, ketampanan atau
kecantikan serta ukuran tubuh ideal.
kemudian aspek psikis pandangan,
pikiran, perasaan dan penilaian
individu terhadap pribadinya sendiri
memiliki konsep diri positif bila
memandang dirinya sebagai individu
yang bahagia, optimis, mampu
mengontrol diri dan memiliki
berbagai kemampuan. Aspek sosial
berkaitan dengan kemampuan yang
berhubungan dengan dunia di luar
dirinya, perasaan mampu, dan
berharga dalam lingkup interaksi
sosial. Individu digolongkan
memiliki konsep diri sosial positif
bila memandang dirinya sebagai
orang terbuka pada orang lain,
memahami orang lain, merasa mudah
akrab dengan orang lain, merasa
diperhatikan, menjaga perasaan
orang lain. Aspek moral pandangan,
pikiran, perasaan dan penilaian
individu terhadap moralitas diri
sendiri berkaitan dengan nilai dan
prinsip yang memberi arti dan arah
bagi kehidupan seseorang, moral
positif bila memandang dirinya
sebagai orang yang berpegang teguh
pada nilai etik moral.
Variabel resiliensi memiliki rerata
empirik sebesar 85,71 dan rerata
hipotetik sebesar 90, yang berarti
reiliensi subyek tergolong sedang.
Kondisi sedang ini dapat diartikan
aspek-aspek yang terdapat dalam
resiliensi remaja antara lain karena
aspek regulasi emosi individu yang
memiliki kemampuan meregulasi
emosi dapat mengendalikan dirinya
apabila sedang kesal dan dapat
mengatasi rasa cemas, sedih, atau
marah sehingga mempercepat dalam
pemecahan suatu masalah,
pengekpresian emosi yang tepat
merupakan salah satu kemampuan
individu yang resilien.
Kemudian aspek pengendalian
impuls merupakan kemampuan
mengendalikan keinginan, dorongan,
kesukaan, serta tekanan yang muncul
dari dalam diri seseorang. Individu
yang memiliki aspek optimisme
memiliki harapan di masa depan dan
percaya dapat mengontrol arah
hidupnya. Individu yang memiliki
aspek empati mencerminkan
seberapa baik individu mengenali
keadaan psikologis dan kebutuhan
emosi orang lain. Aspek Analisis
penyebab masalah kemampuan
individu untuk secara akurat
mengidentifikasi penyebab-penyebab
dari permasalahan individu.
Selanjuutnya individu yang memiliki
efikasi diri yaitu keyakinan pada
kemampuan diri sendiri untuk
menghadapi dan memecahkan
masalah dengan efektif berarti
meyakini diri sendiri mampu berhasil
dan sukses karena memiliki
komitmen dalam memecahkan
11
masalahnya dan tidak akan menyerah
ketika menemukan bahwa strategi
yang sedang digunakan itu tidak
berhasil.
Berdasarkan kategorisasi skala
konsep diri diketahui konsep diri
diketahui bahwa terdapat 1,9% (1
orang) yang tergolong sangat rendah
konsep dirinya, 34,6% (34 orang)
yang tergolong rendah konsep
dirinya, 61,6% (32 orang) yang
tergolong sedang konsep dirinya,
1,9% (1 orang) yang tergolong tinggi
konsep dirinya. Menurut
Calhoun&Aocella (dalam Manik,
2007) remaja yang memiliki konsep
diri positif akan merancang tujuan-
tujuan yang sesuai dengan realiatas,
yaitu tujuan yang memiliki
kemungkinan besar untuk dapat
dicapai, mampu menghadapi
kehidupan didepannya serta
menganggap bahwa hidup adalah
suatu proses penemuan. Didalam Al-
Quran Allah menerangkan bahwa
manusia ketika hidup didunia diberi
cobaan agar senantiasa bersabar
dalam menghadai cobaan, dalam
firman-Nya :
Artinya : “dan sungguh akan kami
berikan cobaan kepadamu, dengan
sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan
buahbuahan. Dan berikanlah berita
gembira kepada orang-orang yang
sabar. (yaitu) orang-orang yang
apabila ditimpa musibah, mereka
mengucapkan: “Inna lillahi wa inna
ilaihi raaji’un”. Mereka itulah yang
mendapatkan keberkatan yang
sempurna dn rahmat dari Tuhan
mereka dan mereka itulah orang-
orang yang mendapat petunjuk.
(Al-Baqarah (2) 155-157).
Berdasarkan kategorisasi skala
skala resiliensi diketahui bahwa tidak
terdapat remaja yang memiliki
resiliensi yang sangat
rendah.ditunjukkan dengan nilai 0%
(0 orang) yang tergolong sangat
rendah resiliensinya, 19,2% (10
orang) yang tergolong rendah, 77%
(40 orang) yang tergolong sedang,
3,8% (2 orang) yang tergolong
tinggi. Jumlah dan prosentasi
terbanyak menempati kategori
sedang. Subyek dalam kategori ini
dapat diartikan bahwa subyek tidak
lepas dari resiliensi yang tentunya
berpengaruh tinggi bagi kehidupan.
Menurut Everall (2006) faktor
individual, faktor keluarga dan faktor
komunitas merupakan tiga faktor
yang mempengaruhi resilliensi.
Menurut Everall dkk (dalam
Hidayati, 2014) menyatakan bahawa
remaja yang memiliki tujuan,
12
harapan, dan perencanaan terhadap
masa depan dengan gabungan antara
ketekunan dan ambisi dalam
mencapai hasil yang akan diperoleh.
Sumbangan efektif variabel
konsep diri terhadap resiliensi remaja
sebesar 48,9% ditunjukkan oleh
koefisien determinan ( ) sebesar
0,699. Hal ini memiliki arti bahwa
terdapat 51,1% faktor lain yang
mempegaruhi diluar faktor individual
meliputi kemampuan kognitif
individu, harga diri, kompetensi
sosial yang dimiliki individu. faktor
keluarga meliputi dukungan yang
bersumber dari orang tua, yaitu
bagaimana cara orang tua untuk
memperlakukan dan melayani anak.
Selain dukungan dari orang tua
struktur keluarga juga berperan
penting bagi individu. faktor
komunitas meliputi kemiskinan dan
keterbatasan kesempatan kerja
(Everall, 2006). Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa konsep diri
dengan segala aspek yang
terkandung didalamnya memang
memberikan kontribusi terhadap
resiliensi remaja meskipun resiliensi
tidak hanya dipengaruhi oleh
variabel tersebut, dalam hal ini
konsep diri memiliki konstribusi
yang positif terhadap resiliensi
remaja pada orang tua tunggal,
sehinga semakin positif maka
semakin tinggi resiliensi remaja
tersebut, sebaliknya semakin negatif
konsep diri maka semakin rendah
resiliensi remaja teersebut, sehingga
hal ini mencerminkan bahwa
memiliki konsep diri menjadi salah
satu cara untuk dapat meningkatan
daya resiliensi yang ada didalam
individu.
Berdasarkan uraian diatas dapat
diambil kesimpulan bahwa konsep
diri dapat digunakan sebagai
prediktor resiliensi remaja pada
orang tua tunggal di Surakarta,
namun generalisasi dari penelitian-
penelitian ini terbatas pada populasi
dimana tempat penelitian dilakukan.
Penerapan pada ruang lingkup yang
lebih luas dengan karakteristik yang
berbeda kiranya perlu dilakukan
penelitian lagi dengan menggunakan
atau menambah variabel-variabel
lain yang belum disertakan dalam
penelitian. Kelemahan penelitian ini
adalah alat ukur atau alat
pengumpulan data yang digunakan
hanya menggunakan skala sehingga
belum mampu mengungkapkan
aspek-aspek karakteristik
kepribadian secara mendalam. Oleh
karena itu untuk penelitian
selanjutnya perlu melengkapi dengan
tekhnik pengumpulan data lain,
misalnya wawancara dan observasi.
KESIMPULAN DAN SARAN
a) Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan yang telah diuraikan
seluruhnya, dapat diambil
kesimpulan bahwa :
1. Ada hubungan positif yang
sangat signifikan antara konsep
diri dengan resiliensi remaja
pada orang tua tunggal yang
artinya semakin positif konsep
13
diri maka resiliensi remaja
semakin baik, sebaliknya
semakin negatif konsep diri
maka resiliensi semakin buruk.
2. Peran konsep diri remaja pada
penelitian ini tergolong sedang
yaitu dapat dililhat dari rerata
empirik (RE) sebesar 85,38 dan
rerata hipotetik (RH) sebesar 95.
3. Tingkat resiliensi remaja
tergolong sedang yaitu dapat
dilihat dari rerata empirik (RE)
sebesar 85,71 Rerata hipotetik
(RH) 90 .
4. Konsep diri memiliki sumbangn
efektif sebesar 48,9% terhadap
resiliensi remaja pada keluarga
orang tua tunggal.
b) Saran
Diharapkan hasil dari penelitian
ini sebagai refrensi, untuk bahan
masukan, pertimbangan, informasi
tambahan bagi peneliti lain yang
akan melakukan penelitian sejenis,
sehingga dapat menjadi acuan dalam
penyempurnaan penelitian yang
sejenis.
DAFTAR PUSTAKA
Aprilia, Winda. (2013). Resiliensi
Dan Dukungan Sosial Pada
Orang Tua Tunggal (Studi
Kasus Pada Ibu Tunggal Di
Samarinda). Jurnal.
Christiani, Lintang Citra. (2010).
Komunikasi Pengasuhan
Antara Orang Tua Tunggal
Dengan Anak Dalam Kultur
Kolektivisik. Jurnal.
Semarang: Fakultas Ilmu
Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Diponegoro.
Djudiyah & Yuniardi, M. (2011).
Model Pengembangan
Konsep Diri Dan Daya
Resiliensi Melalui Support
Group Therapy: Upaya
Meminimalkan Trauma
Psikis Remaja Dari
Keluarga Single Parent.
Jurnal. Malang: Universitas
Muhammadiyah Malang.
Everall, R.D. (2006). Creating A
Future: A Study Of
Resilience In Suicidal
Female Adolescent. Journal
Of Cuonseling And
Development, Vol 84, 461-
470.
Fatimah, Siti Nur. (2012). Dinamika
Konsep Diri Pada Orang
Dewasa. Jurnal Vol.1 No.1.
Yogyakarta: Fakultas
Psikologi Universitas
Ahmad Dahlan Yogyakarta.
Hadiningsih, Tyas Tiatmi. (2014).
Hubungan Antara
Dukungan Sosial Dengan
Resiliensi Pada Remaja Di
Panti Asuhan Keluarga
Yatim Muhammadiyah
Surakarta. Skripsi.
Surakarta: Fakultas
Psikologi Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Hafiz, Subhan, Fahrul Rozi, Ilham
Mundzir & Lila Pratiwi.
(2012). Konstruk Psikologi
Kesabaran Dan Peranannya.
Naskah Publikasi. Fakultas
Psikologi Universitas
14
Muhammadiyah Prof. Dr.
Hamka Jakarta.
Hidayati, Nurfitria Laili.(2014).
Hubungan Antara Self-
Esteem Dengan Resiliensi
Pada Remaja Di Panti
Asuhan Yatim
Muhammadiyah Surakarta.
Skripsi. Surakarta: Fakultas
Psikologi Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Ilyas,Yunahar. (1999). Kuliah
Akhlaq. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset.
Kusumamawardand, Arifah. (2014).
Pelatihan Resiliensi Untuk
Menurunkan Tingkat
Kecemasan Akademik Pada
Remaja. Tesis. Surakarta:
Program Pendidikan
Magister Profesi Fakultas
Psikologi Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Manik, Christa Gumanti. (2007).
Analisa Faktor-Faktor Yang
Mempenaruhi Konsep Diri
Pada Narapidana Remaja Di
Lembaga Pemasyarakatan
Kelas Iia Tanjung Gusta
Medan. Skripsi. Medan:
Program Studi Ilmu
Keperawatan Fakultas
Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
Masdianah. (2010). Hubungan
Antara Resiliensi Dengan
Prestasi Belajar Anak
Binaan Yayasan Smart
Ekselensia Indonesia.
Skripsi. Jakarta: Fakultas
Psikologi Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah.
Nawawi, Imam. (2005). Riyadhus
Shalihin. Jakarta: Pustaka
Imam Syafi’i.
Prihartanti, Nanik, Meddy
Sulistiyanto, Setiyo
Purwanto, Partini, Fi
Aunillah, Dan Aniq
Hudiyah Bill Haq. (2009).
Pendidikan Kepribadian
Berbasis Psikologi
Indigenous. Laporan
Penelitian Insentif
Pemberdayaan Riset
Unggulan (Tidak
Diterbitkan). Surakarta :
Fakultas Psikologi,
Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Retnowati, Yuni. (2008). Pola
Komunikasi Orang Tua
Tunggal Dalam Membentuk
Kemandirian Anak. Jurnal
Volume 6, No.3.
Yogyakarta: Akademi
Komunikasi Indonesia.
Sandiah, Fauzan Anwar. (2014).
Konsep Diri Santri Waria.
Skripsi. Yogyakarta:
Jurusan Bimbingan Dan
Konseling Islam Fakultas
Dakwah Dan Komunikasi
Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta
Widodo, Prasetyo Budi. (2006).
Konsep Diri Mahasiswa
Jawa Pesisiran Dan
Pedalaman. Jurnal
Psikologi Vol.3 No.2.
Semarang: Universitas
Diponegoro.