Post on 15-Mar-2019
HABITAT DAN STRUKTUR KOMUNITAS NEKTON DI SUNGAI CIHIDEUNG - BOGOR, JAWA BARAT
GUGUN ROJAUL GONAWI
SKRIPSI
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:
HABITAT DAN STRUKTUR KOMUNITAS NEKTON DI SUNGAI
CIHIDEUNG, BOGOR, JAWA BARAT
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumklan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, April 2009 Gugun Rojaul Gonawi NRP C24104041
HABITAT DAN STRUKTUR KOMUNITAS NEKTON DI SUNGAI CIHIDEUNG - BOGOR, JAWA BARAT
GUGUN ROJAUL GONAWI C24104041
SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan pada Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN GUGUN ROJAUL GONAWI, Habitat dan Struktur Komunitas Nekton di Sungai Cihideung-Bogor, Jawa Barat. Di bawah Bimbingan M. MUKHLIS KAMAL dan YUSLI WARDIATNO.
Sungai Cihideung bermula dari gunung salak yang melintasi beberapa Desa yang ada di Kecamatan Dramaga, seperti Desa Purwasari, Desa Situ Daun, Desa Neglasari, Desa Cinangneng, Desa Babakan Cihideung Hilir, Desa Leuwikopo dan Desa Cibanteng. Kestabilan ekosistem Sungai Cihideung dapat di kaji dari informasi tentang struktur komunitas nekton yang hidup di Sungai Cihideung tersebut. Sumberdaya hayati yang ada di daerah tersebut mempunyai peran penting agar fungsi alamiah Sungai Cihideung dapat dipertahankan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi fisika dan kimia di Sungai Cihideung, mengetahui struktur komunitas dan mempelajari pola adaptasi nekton yang ada.
Penelitian ini menggunakan data primer yang diperoleh dari hasil pengambilan sampel dari bulan Agustus sampai bulan Oktober 2008. Data yang diperoleh yaitu data komposisi jenis dan kelimpahan nekton, serta data kualitas air sebagai pendukung. Data yang diperoleh dianalisis dengan indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, indeks dominansi, analisi kesamaan habitat antar stasiun dan metode PCA.
Hasil penelitian menunjukan terdapat 4 Ordo, dimana 3 ordo dari jenis ikan dan 1 ordo dari jenis udang. Dari jenis ikan meliputi 11 famli dengan 13 spesies, sedangkan dari jenis udang meliputi 1 famili dengan 2 spesies. Ordo yang paling banyak ditemukan adalah Cypriniformes dengan famili Cyprinidae meliputi jenis ikan beunteur dan paray; famili Triacanthidae meliputi jenis ikan sepat; famili Balitoridae meliputi jenis ikan jeler; famili Cobitidae meliputi ikan serewot; famili Hamalopteridae meliputi jenis ikan sapu-sapu; dan famili Hamirhampidae meliputi jenis ikan julung-julung.
Ikan jeler (Nemcheilus spiniferus) merupakan ikan yang tertangkap paling banyak yaitu sebesar 457 ekor dengan kelimpahan relative 41%, namun wilayah penyebarannya cukup sempit. Sedangkan jenis lain yang perolehannya paling banyak yaitu Macrobrachium pilimanus dari jenis udang-udangan.sebesar 283 dengan kelimpahan relative 25%.
Keanekaragaman nekton di sungai Cihideung termasuk sedang/moderat (berada dalam kisaran 1 sampai 3) yaitu sebesar 1,755 (Kreb, 1978). Nilai indeks dominansi secara umum mendekati angka 0 yaitu 0,403. Hal tersebut menunjukan bahwa hampir tidak ada spesies yang mendominasi (Legendre dan Legendre, 1983). Nilai keseragaman yang cendrung mendekati angka 1 yaitu sebesar 0,643. Anka tersebut menunjukan penyebaran jumlah individu tiap jenis relatif sama.
Kondisi perairan sungai Cihideung secara umum masih baik untuk digunakan sebagai kegiatan perikanan dengan kisaran parameter fisik-kimia yang diamati, yaitu arus, suhu, pH, kedalaman, kekeruhan, kecerahan, lebar dan badan sungai, DO, BOD, Nitrat, Orthofosfat dan alkalinitas.
Sesuai dengan kecepatan arus tiap stasiun bahwa arus yang besar terdapat pada stasiun 1, dimana nekton yang diperoleh meliputi jenis nekton yang dapat beradaptasi secara morfologi dan tingkah laku untuk dapat bertahan hidup. Diantaranya jeler, benter, berod dan kehkel.
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi : Habitat dan Struktur Komunitas Nekton di Sungai
Cihideung Bogor, Jawa Barat.
Nama : Gugun Rojaul Gonawi
NRP : C24104041
Menyetujui:
I. Komisi Pembimbing
Ketua Anggota
Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc. Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc.
NIP: 131 084 932 NIP: 131 956 708
Mengetahui,
II. Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc.
NIP: 131 578 799
Tanggal Lulus: 15 April 2009
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Alah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nyalah,
sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan berjudul
“Habitat dan Struktur Komunitas Nekton di Sungai Cihideung-Bogor, Jawa
Barat“. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
di Fakultas Perikanan dan Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak
berikut ini:
1. Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc. dan Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc selaku
dosen pembimbing atas bimbingan, arahan, dan nasehat kepada penulis
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
2. Ibu Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS dan bapak Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc selaku
dosen penguji yang telah memberikan inspirasi dan saran yang sangat berarti.
3. Ibu Ir. Nurlisa A. Butet M.Sc atas kesabaran dalam bimbingannya selaku
dosen pembimbing akademik, bapak Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc atas
nasehat dan bantuannya selama penulis mengalami kesulitan perkuliahan.
4. Kepada orang tua atas doanya serta k’Bedy Ubaedillah dan adik-adikku yang
cantik dan ganteng yang selalu memberikan semangat dan senyumannya.
5. Keluarga Ponpes Al-Falaq Pagentongan Bogor: Mamah Pagentongan, T’Iis,
T’Dini, K’Rosyid dan lain-lain atas nasehat dan doanya.
6. Teman-teman MSP 41, 42 dan 43 khususnya Nurdin, Kang Rijal, Feri, Way,
Ririn yang telah banyak membantu atas masukan dan arahannya selama
penyusunan skripsi ini.
Betapapun kepuasan yang tersirat seiring dengan selesainya skripsi ini,
penulis menyadari bahwa karya ini masih jauh dari sebuah kesempurnaan. Maka
dai itu, saan dan kritik yang membangun akan selalu penulis nantikan, terima
kasih
Bogor, April 2009
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................................... i
DAFTAR ISI ...................................................................................... ii
DAFTAR TABEL ................................................................................ iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................ v
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................ vi
I. PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang .......................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah .................................................................. 2 1.3. Tujuan ....................................................................................... 3
II. TUJUAN PUSTAKA ...................................................................... 4
2.1. Sungai ...................................................................................... 4 2.2. Karakteristik Fisika dan Kimia di Sungai .................................. 6 2.2.1. Karakteristik fisika perairan ............................................. 6 2.2.2. Karakteristik kimia perairan ............................................ 8 2.3. Keanekaragaman Sumberdaya Hayati Nekton ........................... 10 2.4. Karakteristik Nekton di Sungai dan Pola Adaptasinya ............... 12 2.5. Metode Penangkapan Nekton di Sungai .................................... 14 2.5.1. Electrofishing .................................................................. 14 2.5.2. Serok .............................................................................. 15
III. METODE PENELITIAN .............................................................. 16
3.1. Penentuan Waktu dan Lokasi Penelitian ................................... 16 3.2. Prosedur Pengambilan Contoh Sampel di Lapangan ................. 17 3.2.1. Pengumpulan nekton ....................................................... 17 3.2.2. Pengukuran dimensi sungai ............................................. 17 3.2.3. Pengukuran parameter fisika-kimia air ............................ 18 3.3. Prosedur Kerja Lab ................................................................... 18 3.4. Analisis Data ............................................................................ 19 3.4.1. Komposisi ....................................................................... 19 3.4.2. Kelimpahan relatif .......................................................... 19 3.4.3. Frekuensi keterdapatan ................................................... 19 3.4.4. Indeks keanekaragaman .................................................. 20 3.4.5. Indeks keseragaman ........................................................ 21 3.4.6. Indeks dominansi ............................................................ 21 3.4.7. Kemiripan habitat antar stasiun ....................................... 22 3.4.8. Analisis komponen utama (AKU) ................................... 23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 24
4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian ............................................ 24 4.2. Kondisi Habitat Sungai Cihideung ........................................... 27 4.2.1. Fisika perairan ................................................................ 27 a. Suhu ............................................................................... 27 b. Kecerahan dan kekeruhan ............................................... 28 c. Kecepatan arus ............................................................... 28 d. Dimensi sungai ............................................................... 28 4.2.2. Kimia perairan ................................................................ 29 a. pH .................................................................................. 29 b. DO (Dissolved oxygen) ................................................... 29 c. BOD5 (Biochemical oxygen demand) .............................. 30 d. Nitrat (NO3-N) ............................................................... 31 e. Alkalinitas ...................................................................... 32 f. Phosphat (PO4) ............................................................... 33 4.3. Sumberdaya Hayati Nekton di Sungai Cihideung ...................... 34 4.4. Komposisi dan Kelimpahan Relatif Nekton ............................... 35 4.5. Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Nekton .......... 40 4.6. Tingkat Kesamaan Habitat antar Stasiun Berdasarkan Parameter Fisik dan Kimia Perairan ........................................................... 45 4.7. Tingkat Kesamaan Habitat antar Stasiun Berdasarkan Jumlah Spesies Nekton ........................................................................ 46 4.8. Pola Adaptasi Nekton Terhadap Kondisi Habitatnya ................ 48 4.9. Keterkaitan Faktor Kualitas Air dengan Parameter Biologi ...... 49
V. KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 51
5.1. Kesimpulan .............................................................................. 51 5.2. Saran ....................................................................................... 51
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 52
LAMPIRAN ........................................................................................ 55
RIWAYAT HIDUP
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Dimensi sungai ........................................................................... 18
2. Metode pengambilan parameter kualitas air di daerah sungai Cihideung ................................................................................... 18
3. Kondisi fisika dan kimia di Sungai Cihideung ............................. 27
4. Klasifikasi jenis nekton yang terdapat di Sungai Cihideung serta data jumlah jenis nekton berdasarkan stasiun pengamatan dan waktu pengambilan sampel ......................................................... 35
5. Data kelimpahan relatif nekton berdasarkan lokasi pengamatan ... 37
6. Data kelimpahan relatif nekton berdasarkan waktu pengambilan sampel ......................................................................................... 38 7. Data frekuensi keterdapatan nekton ............................................. 40
8. Data keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi sumberdaya hayati nekton ............................................................................... 44
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Skema pendekatan masalah struktur komunitas dan adaptasi nekton di Sungai Cihideung, Bogor. Jawa Barat .................... 3
2. Perubahan penampang sungai (Lablink, 2001) ........................ 5
3. Skema rangkuman tahapan reaksi ikan terhadap Electrofishing (Vibert, 1967) ......................................................................... 15
4. Peta Sungai Cihideung dan daerah sekitarnya ......................... 16
5. Posisi penentuan substasiun di tiap stasiun .............................. 17 6. Kondisi stasiun (a) Stasiun 1 (b) Stasiun 2 (c) Stasiun 3 (d)
Stasiun 4 ................................................................................. 26 7. Grafik nilai DO rata-rata pada setiap stasiun pengamatan ....... 30
8. Grafik nilai BOD rata-rata pada setiap stasiun pengamatan ...... 31
9. Grafik nilai NO3-N rata-rata pada setiap stasiun pengamatan .. 32
10. Grafik nilai Alkalinitas rata-rata pada setiap stasiun
pengamatan ............................................................................. 33 11. Grafik nilai Orthofosfhat rata-rata pada setiap stasiun pengamatan ............................................................................. 34 12. Kelimpahan relatif nekton di Sungai Cihideung Bogor, Jawa Barat .............................................................................. 36 13. Grafik hubungan kelimpahan nekton dengan rata-rata curah hujan ...................................................................................... 39 14. Grafik Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E), dan Dominansi (C) nekton berdasarkan lokasi pengamatan ........... 42 15. Grafik Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E), dan Dominansi (C) nekton berdasarkan waktu pengambilan sampel ..................................................................................... 43
16. Dendrogram tingkat kesamaan habitat antar stasiun berdasarkan parameter fisika dan kimia ................................. 46
17. Dendrogran tingkat kesamaan habitat antar stasiun berdasarkan jumlah nekton ..................................................... 47
18. Grafik hubungan antara jumlah nekton dan kecepatan arus ..... 49 19. Grafik analisis komponen utama ............................................. 50
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Foto kondisi stasiun di Sungai Cihideung .............................. 57
2. Klasifikasi jenis nekton yang tertangkap di Sungai Cihideung Bogor tahun 2008 .................................................................. 61
3. Foto jenis-jenis nekton di Sungai Cihideung .......................... 62
4. Nilai indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dan dominansi (C) ........................................................................ 65 5. Alat electrofishing .................................................................. 68
6. Matrik korelasi (PCA) ........................................................... 69 7. Data pengukuran parameter fisika-kimia perairan ................... 70
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sungai merupakan ekosistem perairan mengalir yang airnya berasal dari
sumber air dan limpasan satuan-satuan hidrologi dalam daerah alirannya. Sungai
dapat diibaratkan sebagai organisme hidup karena mengalami pola perubahan
fisik seiring dengan berlalunya waktu. Pada umumnya, semakin tua sungai, maka
lembahnya akan semakin dalam dan anak sungainya akan semakin panjang dan
rumit (Lablink, 2001). Sungai sebagai lingkungan hidup manusia merupakan
sumberdaya alam yang dapat dipergunakan untuk kesejahtraan manusia. Sungai
mempunyai fungsi yang beranekaragam diantaranya untuk keperluan domestik,
pertanian, perikanan, irigasi, perindustrian dan tenaga penggerak turbin. Di sisi
lain sungai menerima berbagai limbah dari hasil kegiatan-kegiatan tersebut,
hingga sebagai khazanah budaya dan pengetahuan.
Nekton adalah organisme yang dapat berenang dan bergerak aktif dengan
kemauan sendiri, misalkan ikan, amfibi, serangga air besar dan termasuk golongan
ini (Odum, 1996). Banyaknya speises nekton di suatu perairan dapat memberikan
gambaran tentang komunitas nekton yang kompleks di perairan tersebut. Sinaga
(1995) menjelaskan bahwa keragaman spesies nekton di perairan, termasuk sungai
dapat mendeskripsikan tingkat kompleksitas suatu komunitas nekton di perairan
tersebut.
Komunitas adalah kumpulan dari berbagai macam jenis organisme dan
ukuran populasi yang hidup dalam habitat tertentu dan merupakan satu kesatuan
yang terorganisir dengan komponen-komponen individu dan fungsi metabolisme
yang berdampingan dengan ekosistem (Odum, 1971). Diasumsikan bahwa
keragaman spesies yang tinggi menunjukan bahwa suatu komunitas memiliki
kompleksitas tinggi, karena dalam komunitas itu terjadi interaksi spesies yang
tinggi pula dan melibatkan transfer energi (jaring-jaring makanan), predasi,
kompetisi dan pembagian relung (Soegianto, 1994 in Sinaga, 1995). Buchar
(1998) menjelaskan bahwa di dalam ekosistem perairan ada dua aspek yaitu
organisme hidup dan proses ekologis. Kedua aspek tersebut tidak dapat diabaikan.
Kebanyakan di dalam komunitas ada saling keterkaitan antara organisme dengan
lingkungannya sebagai satu proses ekologi yang tidak dipisahkan.
Konsep komunitas sangat relevan diterapkan untuk menganalisis
lingkungan perairan, karena komposisi dan karakter dari suatu komunitas
merupakan indikator yang cukup baik untuk menunjukan dimana komunitas
tersebut berada. Penelitian ini berkaitan dengan penelaahan habitat dan struktur
komunitas nekton pada segmen Sungai Cihideung. Penelitian sebelumnya yang
dilakukan di sungai ini adalah tentang struktur komunitas macrozobenthos oleh
Hadiati (2000), Hutapea (2007) dan Silfiana (2009). Diharapkan penelitian ini
akan memberikan informasi yang bermanfaat bagi pengelolaan sungai tersebut.
1.2. Rumusan Masalah
Sungai Cihideung merupakan bagian dari DAS Cisadane yang melintasi
berbagai pemukiman penduduk. Sumberdaya hayati nekton yang ada di sungai ini
mempunyai peran penting agar fungsi alamiahnya dapat dipertahankan. Sungai
Cihideung saat ini dimanfaatkan oleh masyarakat sekitarnya untuk berbagai
keperluan seperti kegiatan MCK, kegiatan pertanian, buangan limbah rumah
tangga, industri rumah tangga dan kegiatan penggalian pasir. Akibat banyaknya
aktifitas masyarakat di sepanjang Sungai Cihideung menyebabkan kondisi
perairannya terganggu dan mempengaruhi stabilitas ekosistem perairan tersebut
serta mengancam terhadap keberadaan biota yang hidup di Sungai Cihideung,
salah satunya nekton. Keberadaan nekton dapat dipengaruhi oleh perubahan
kualitas perairan di sekitarnya. Berdasarkan penelitian Silfiana (2009) di Sungai
Cihideung tentang struktur komunitas makroavertebrata bahwa dilihat dari indeks
biologi makroavertebrata Sungai Cihideung termasuk kualitas air tergolong
sedang hingga baik. Oleh karena itu, untuk melihat seberapa besar pengaruh
perubahan kondisi perairan terhadap keberadaan nekton di sungai diperlukan
penelitian mengenai habitat dan struktur komunitas nekton sebagai salah satu
metode untuk melihat kondisi perairan di Sungai Cihideung yang pada saat ini
belum banyak dilakukan.
Ungai Cihideung
Gambar 1. Skema pendekatan masalah struktur komunitas dan adaptasi nekton di Sungai Cihideung, Bogor. Jawa Barat.
1.3. Tujuan
Penelitian di Sungai Cihideung ini bertujuan:
1. Mengetahui habitat nekton dan hubungannya dengan struktur komunitas.
2. Mengetahui struktur komunitas meliputi aspek komposisi dan kelimpahan
nekton di Sungai Cihideung
Perubahan Alam
Hidrodinamika
Aktifitas Komposisi
dan kelimpahan
nekton
Struktur Komunitas
Nekton
Parameter
fisika
Parameter kimia
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sungai
Sungai merupakan suatu perairan terbuka yang memiliki arus, perbedaan
gradien lingkungan, serta masih dipengaruhi daratan. Sungai memiliki beberapa
ciri antara lain: memiliki arus, resident time (waktu tinggal air), organisme yang
ada memiliki adaptasi biota khusus, substrat umumnya berupa batuan, kerikil,
pasir dan lumpur, tidak terdapat stratifikasi suhu dan oksigen, serta sangat mudah
mengalami pencemaran dan mudah pula menghilangkannya (Odum, 1996).
Terdapat tiga kondisi yang membedakan sungai dan kolam yaitu: (a) arus
di lingkungan sungai menjadi pengontrol utama dan faktor bagi kehidupan
organisme yang ada, (b) sungai memiliki hubungan tanah dan air yang relatif lebih
luas, sehingga komponen jaring-jaring makanannya sebagian berasal dari luar dan
lebih bervariasi, dan (c) sungai mengalami tekanan oksigen yang lebih seragam
dengan sedikit atau bahkan tidak ada stratifikasi termal atau pun kimia (Odum,
1971). Secara ekologis menurut Odum (1996) sungai memiliki dua zona utama
yaitu:
1. Zona air deras
Daerah yang dangkal dimana kecepatan arus cukup tinggi untuk
menyebabkan dasar sungai bersih dari endapan dan materi lain yang lepas,
sehingga dasarnya padat. Zona ini dihuni oleh bentos yang beradaptasi
khusus yang dapat melekat atau berpegang dengan kuat pada dasar yang
padat dan oleh ikan yang kuat berenang
2. Zona air tenang
Bagian air yang dalam kecepatan arus sudah berkurang, lumpur dan
materi lepas cendrung mengendap di dasar, sehingga dasarnya lunak, tidak
sesuai untuk bentos permukaan tetapi cocok untuk penggali nekton dan
pada beberapa plankton.
Pada perairan sungai, biasanya terjadi percampuran masa air secara
menyeluruh dan tidak terbentuk stratifikasi vertikal kolom air seperti pada
perairan leuntik. Kecepatan arus, erosi, dan sedimentasi merupakan fenomena
yang biasa terjadi di sungai sehingga kehidupan flora dan fauna sangat
dipengaruhi oleh ketiga variable tersebut. Menurut Lablink (2001) bahwa sungai
memiliki proses dimana air hujan yang jatuh ke bumi, sebagian menguap kembali
menjadi air di udara, sebagian masuk ke dalam tanah, sebagian lagi mengalir di
permukaan. Aliran air di permukaan ini kemudian akan berkumpul mengalir ke
tempat yang lebih rendah dan membentuk sungai yang kemudian mengalir ke laut.
Menurut Davis (1980) in Lablink (2001) bahwa sungai dan lembahnya
ibarat organisme hidup. Sungai berubah dari waktu ke waktu, mengalami masa
muda, dewasa, dan masa tua, yang mana siklus kehidupan sungai dimulai ketika
tanah baru muncul diatas permukaan laut. Hujan kemudian mengikisnya dan
membuat parit, kemudian parit-parit itu bertemu sesamanya dan membentuk
sungai. Danau menampung air pada daerah yang cekung, tapi kemudian hilang
sebagai sungai dangkal. Kemudian memperdalam salurannya dan mengiris ke
dasarnya membentuk sisi yang curam, lembah bentuk V. Anak-anak sungai
kemudian tumbuh dari sungai utamanya seperti cabang tumbuh dari pohon.
Semakin tua sungai, lembahnya semakin dalam dan anak-anak sungainya semakin
panjang. Berikut adalah gambar perubahan penampang sungai (Lablink, 2001):
Gambar 2. Perubahan penampang sungai (Lablink, 2001).
Keterangan :
1. Sungai masih bayi;awal terbentuknya sungai, sempit dan curam
2. Sungai muda; anak sungai bertambah
3. Sungai dewasa daerah alirannya semakin melebar dan berkelok
4. Sungai sudah tua sekali
1
4
2
3
Secara alami, fungsi sungai adalah sebagai penyalur masa hujan yang jatuh
di daratan dan mengalir ke laut berdasarkan prinsip garvitasi. Karenanya, bila alur
alirannya terganggu (tersumbat), masa airnya akan meluap dan akibatnya akan
terjadi banjir. Keadaan sungai di daerah hulu yang terletak di dataran tinggi
merupakan daerah rawan erosi dan keadaan sungai di daerah hilir yang terletak di
dataran rendah merupakan daerah rawan deposisi, sehingga antara kedua daerah
tersebut (hulu dan hilir) keadaan perairannya, terutama kualitas airnya berbeda
sekali (Payne, 1986).
2.2. Karakteristik fisika dan kimia di sungai
2.2.1. Karakeristik fisika perairan
Arus air merupakan ciri utama dari jenis perairan mengalir. Kecepatan arus
dapat bervariasi sangat besar, di tempat yang berbeda dari suatu aliran yang sama
(membujur atau melintang dari poros arah aliran) dan dari waktu ke waktu dan
merupakan faktor berharga yang patut dipertimbangkan untuk dapat diukur,
kecepatan arus di sungai ditentukan oleh kemiringan, kekerasan, kedalaman, dan
kelebaran dasarnya (Odum, 1996). Menurut Darajat (2008), jenis batuan dibagi
menjadi beberapa bagian diantaranya Boulder (bongkahan) >256 mm; Cobble
(karakal) 64-256 mm; Pebble (kerikil) 2-64 mm; Sand (pasir) 1/6-2 mm; Sand
stone silt (Lanau) 1/256-1/16 mm; dan Silt batu lanau clay (lempung) <1/256 mm.
Menurut Payne (1986), arus tergantung pada alur sungai, lokasi arus
tercepat dapat berada di tengah atau pinggiran sungai. Pada alur sungai yang
lurus, arus yang tercepat berada di tengah sungai. Hal ini adalah sesuai dengan
hukum fisika mengenai gesekan (friction) yaitu daerah yang terbebas dari gesekan
adalah daerah yang tercepat arusnya. Pada alur sungai yang berkelok (meander),
bagian yang tercepat arusnya adalah di pinggir bagian luar sungai.
Menurut Whitton (1975), kecepatan arus merupakan faktor penting di
perairan. Mason (1981)) mengelompokan sungai berdasarkan kecepatan arusnya
yaitu: arus yang sangat cepat (>1 m/detik), arus yang cepat (0.5-1 m/detik), arus
yang sedang (0,25-0,5 m/detik), arus yang lambat (0,1-0,25 m/detik), dan arus
yang sangat lambat (<0,1 m/detik). Arus dalam perairan mengalir merupakan
faktor pembatas karena plankton-plankton yang merupakan makanan bagi nekton
tidak dapat bertahan dan cendrung untuk terbawa arus. Hal ini merupakan faktor
pembatas bagi jenis nekton untuk memperoleh makanan.
Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude),
ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara,
penutupan awan, dan aliran serta kedalaman badan air. Perubahan suhu
berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi badan air (Effendi, 2003).
Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi,
dan volatilisasi. Peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan kelarutan gas
dalam air, misalnya gas O2, CO2, N2, dan sebagainya (Haslam, 1995 in Effendi,
2003).
Lebar badan sungai merupakan jarak titik di satu sisi sungai dimana
merupakan titik tertinggi air dengan titik sisi sungai di seberangnya. Penentuan
nilainya berguna untuk melihat perubahan debit air.
Kedalaman merupakan salah satu parameter fisika, dimana semakin dalam
perairan maka intensitas cahaya yang masuk semakin berkurang. Kedalaman
merupakan wadah penyebaran atau faktor fisik yang berhubungan dengan banyak
air yang masuk kedalam suatu sistem perairan (Lumban Batu, 1983). Pengukuran
kedalaman dilakukan dengan paralon berskala. Paralon berskala ini dimasukan ke
dalam perairan dengan posisi tegak sampai menyentuh dasar perairan. Batas yang
ditunjukan pada paralon adalah kedalaman dari perairan tersebut.
Kecerahan air tergantung pada warna dan kekeruhan. Kecerahan
merupakan ukuran transparasi yang ditentukan secara visual dengan
menggunakan secchi disk, dimana nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan meter.
Nilai ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan,
dan padatan tersuspensi, serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran
(Effendi, 2003). Pengukuran kecerahan sebaiknya dilakukan saat cuaca cerah.
Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan
banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat
di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik
yang tersuspensi dan larut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun bahan
organik dan anorganik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (Effendi,
2003).
2.2.2. Karakteristik kimia perairan
Derajat keasaman (pH) merupakan parameter penera banyaknya ion
hidrogen yang terkandung dalam air. Nilai pH di sungai dipengaruhi oleh
karakteristik batuan dan tanah di sekelilingnya. Effendi (2003) menjelaskan
bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai
nilai pH sekitar 7-8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses kimia perairan.
Menurut Pescod (1973), pH yang ideal untuk kehidupan nekton berkisar antara
6,5-8,5.
Dissolved Oxygen (DO) atau Oksigen terlarut yaitu jumlah mg/l gas
oksigen yang telarut dalam air. Kadar oksigen yang terlarut di perairan alami
bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer
(Jeffries dan Mills, 1996 in Effendi, 2003). Semakin besar suhu dan ketinggian
(altitude) serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut semakin
kecil. Di perairan tawar, kadar oksigen terlarut berkisar antara 15 mg/liter pada
suhu 0º C dan 8 mg/liter pada suhu 25º C. Kadar oksigen terlarut di perairan alami
biasanya kurang dari 10 mg/liter (Effendi, 2003). Menurut Pescod (1973), ada tiga
sumber utama oksigen dalam air yaitu, masukan oksigen lewat air tanah, limpasan
air permukaan (surface run of), fotosintesis, dan aerasi fisik.
Keadaan perairan dengan kadar oksigen yang sangat rendah berbahaya
bagi organisme akuatik. Semakin rendah kadar oksigen terlarut, semakin tinggi
toksisitas (daya racun) zinc, copper (tembaga). lead (timbal), sianida, hidrogen
sulfida, dan amonia. Perairan yang diperuntukan bagi kepentingan perikanan
sebaiknya memiliki kadar oksigen tidak kurang dari 5 mg/liter (Effendi, 2003).
Biochemical Oxygen Demand (BOD5) merupakan gambaran secara tak
langsung kadar bahan organik. BOD5 menunjukan jumlah oksigen yang
dikonsumsi oleh mikroba aerob ketika mengoksidasi bahan organik menjadi
karbondioksida dan air, yang terdapat pada botol BOD yang diinkubasi pada suhu
20oC selama 5 hari dalam keadaan tanpa cahaya (Boyd, 1988 in Effendi, 2003).
Bahan organik yang digambarkan oleh BOD hanyalah bahan organik yang
terdekomposisi secara biologis (biodegradable). Contoh bahan organik ini adalah
lemak, protein, kanji, glukosa, aldehid dan ester (Effendi, 2003).
Keberadaan Nitrat-Nitrogen (NO3-N) mendukung keberadaan fitoplankton
yang merupakan makanan nekton. Secara hipotetik, kandungan nitrat yang tinggi
dapat mendukung produktifitas yang tinggi pula. Kandungan optimum NO3-N
yang dibutuhkan bagi pertumbuhan alga dan fitoplankton berkisar 0,3-17,0 mg/l.
Sedangkan kandungan NO3-N yang dapat memberikan pengaruh pembatas bagi
pertumbuhan alga dan fitoplankton berkisar ≤0,10 mg/l dan ≥45,0 mg/l (Mahida,
1993 in Ali, 1994).
Fosfor merupakan suatu elemen penting dalam aktifitas biologi suatu
oranisme. Ketersediannya sering menentukan produktifitas suatu perairan (Boyd,
1990). Konsentrasi fosfor ditentukan oleh proses dekomposisi, bilasan phosphat
dari daerah yang dilalui air (run off), pelapukan batuan, pupuk buatan, serta
buangan domestik dan detergen.
Fosfor dalam air terdapat dalam bentuk senyawa anorganik
(orthophosphat, metaphosphat dan polyphosphat) dan senyawa organik yang
terdapat dalam tubuh organisme maupun sisa organisme. Bentuk senyawa fosfor
yang dapat langsung dimanfaatkan oleh organisme nabati (bakteri, fitoplankton
dan makifita) adalah orthophosphat (Hariyadi et al., 1992). Kandungan phosphat
dalam air merupakan karakteristik kesuburan perairan yang bersangkutan. Pada
umumnya perairan yang mengandung phosphat antara 0,003-0,010 mg/l
digolongkan pada perairan oligotrofik; 0,011-0,030 mg/l adalah perairan
mesotrofik; dan 0,031-0,100 mg/l adalah perairan eutrofik. Sedangkan untuk
pertumbuhan optimal organisme nabati akuatik diperlukan fosfat antara 0,090-
1,800 mg/l (Chu in Mackentum, 1969).
Alkalinitas adalah gambaran kapasitas air untuk menetralkan asam, atau
dikenal dengan sebutan acid-neutralizing capacity (ANC) atau kuantitas anion
didalam air yang dapat menetralkan kation hidrogen. Alkalinitas juga diartikan
sebagai kapasitas penyangga (buffer capacity) terhadap perubahan pH perairan
(Effendi, 2003). Nilai alkalinitas perairan alami hampir tidak pernah melebihi 500
mg/liter CaCO3. Perairan dengan nilai alkalinitas yang terlalu tinggi tidak terlalu
disukai oleh organisme akuatik karena biasanya diikuti dengan nilai kesadahan
yang tinggi atau kadar garam natrium yang tinggi (Effendi, 2003).
Menurut Effendi (2003) bahwa alkalinitas perairan berkaitan dengan
gambaran kandungan karbonat dari batuan dan tanah yang dilewati oleh air serta
sedimen dasar perairan. Nilai alkalinitas tinggi biasanya juga ditemukan di
wilayah kering dimana terjadi evaporasi secara intensif. Nilai alkalinitas yang baik
berkiar antara 30-500 mg/ liter CaCO3. Nilai alkalinitas pada perairan alami
adalah 40 mg/liter CaCO3. Perairan dengan nilai alkalinitas >40 mg/liter CaCO3
(Boyd, 1988 in Effendi, 2003).
2.3. Keanekaragaman Sumberdaya Hayati Nekton
Keanekaragaman hayati adalah suatu ukuran untuk mengetahui
keanekaragaman kehidupan yang berhubungan erat dengan jumlah suatu
komunitas (Kottelat at al., 1993). Keanekaragaman jenis (H’), keseragaman (E),
dan dominansi (C) merupakan indeks yang sering digunakan untuk mengevaluasi
keadaan suatu lingkungan perairan berdasarkan kondisi biologi. Suatu lingkungan
yang setabil dicirikan oleh kondisi yang seimbang dan mengandung kehidupan
yang beranekaragam tanpa ada suatu spesies yang dominan (Odum, 1971).
Ekosistem yang baik mempunyai ciri-ciri keanekaragaman jenis yang tinggi dan
penyebaran jenis individu yang hampir merata di setiap perairan. Perairan yang
tercemar pada umumnya kekayaan jenis relatif rendah dan di dominansi oleh jenis
tertentu (Krebs, 1972).
Menurut Herteman (2003) mengatakan bahwa keanekaragaman hayati
dapat dipilih menjadi 3 taraf yang ada, yaitu: keanekaragaman ekosistem,
keanekaragaman spesies dan keanekaragaman genetik.
1. Keanekaragaman ekosistem
Keanekaragaman ekosistem berhubungan dengan keanekaragaman
habitat dan kesehatan komplek-komplek habitat yang berbeda-beda.
Ekosistem perairan mengadakan suatu siklus-siklus nutrien (rantai makanan)
dan siklus air, oksigen, karbondioksida, dan siklus biogeokimia. Proses-
proses ekologis sangat menentukan besarnya produksi primer dan sekunder
(arus energi), mineralisasi, bahan-bahan organik dalam sedimen,
penyimpanan, dan transport mineral serta biomassa (Harteman, 1998).
Upaya-upaya untuk melestarikan spesies-spesies ikan dan binatang air
lainnya adalah dengan menjaga kelestarian ekosistem habitat mereka yang
menjadi bagian kehidupan spesies (McNeely, 1992 in Harteman, 1998).
2. Keanekaragaman spesies
Keanekaragaman spesies adalah konsep variabilitas ikan-ikan yang
hidup di perairan tawar, payau, dan laut, yang kemudian diukur dengan
jumlah seluruh spesies. Diperkirakan sekitar 40.000 spesies ikan yang hidup
di seluruh dunia dan sekitarnya 19.000 spsies lebih yang sudah
teridentifikasi dan diberi nama secara ilmiah (Harteman, 1998).
Keanekaragaman spesies terdiri atas dua komponen, yaitu jumlah spesies
yang ada (umumnya mengarah ke kekayaan spesies) dan kelimpahan relatif
spesies mengarah ke keseragaman (evenness atau equitability). Keanekaragaman
pada umumnya diukur dengan memakai pola distribusi beberapa ukuran
kelimpahan (individu atau produktivitas) di antara spesies (Clark, 1974 in
Nurcahyadi, 2003).
Menurut Mann (1981) in Harteman (1998) bahwa dominansi jenis sering
terjadi karena beberapa hal antara lain kompetisi pakan alami oleh jenis tertentu
yang disertai perubahan kualitas lingkungan, tidak seimbangnya antara predator
dan mangsa sehingga terjadi kompetisi antar jenis. Sejumlah besar nekton yang di
perairan sungai, membentuk komunitas yang berbeda-beda dan tiap jenis nekton
memiliki spesialisasi dan mampu memanfaatkan pakan dengan seefisien mungkin,
karena persaingan antara jenis dalam memperoleh pakan alami.
Scheimer & Zalewski (1992) mengatakan bahwa keheterogenan habitat
dan kualitas air juga diperhitungkan sebagai penyebab keanekaragaman nekton di
sungai. Secara ekologi diasumsikan bahwa keanekaragaman spesies yang tinggi
menunjukkan keseimbangan ekosistem yang lebih baik dan memiliki elastisitas
terhadap berbagai bencana, seperti penyakit, predator, dan lainnya. Sebaiknya
keanekaragaman yang rendah (jumlah spesies sedikit) menunjukkan sistem yang
stress atau sistem yang sedang mengalami kerusakan, misalnya bencana alam,
polusi, dan lain-lain. Clark (1974) in Sinaga (1995) mengatakan bahwa dalam
ekologi biasanya digunakan indeks keanekaragaman sebagai ukuran kondisi suatu
ekosistem yang mungkin dipengaruhi oleh berbagai gangguan lingkungan. Hal ini
berdasarkan asumsi bahwa populasi dari spesies-spesies terbentuk secara
bersama-sama, berinteraksi suatu dengan lainnya, juga terhadap lingkungan dalam
berbagai cara dimana hal tersebut menentukan jumlah spesies yang ada serta
kelimpahan relatifnya.
2.4. Karakteristik Nekton di Sungai dan Pola Adaptasinya
Dalam ilmu ekologi, adaptasi berarti suatu proses evolusi yang
menyebabkan organisme mampu hidup lebih baik dibawah kondisi lingkungan
tertentu dan sifat genetik yang membuat organisme menjadi lebih mampu untuk
bertahan hidup (McNaughton et al., 1973). Menurut Affandi et al. (2002) adaptasi
merupakan suatu proses penyesuaian diri secara bertahap yang dilakukan oleh
suatu organisme terhadap kondisi baru.
Odum (1996) menyatakan bahwa mekanisme adaptasi morfologi atau
fisiologi ikan yang terdapat di sungai untuk mempertahankan posisi pada air yang
mengalir diantaranya:
Memiliki alat pengait atau penempel, contohnya pada genus Glyptothorax
yang dibagian dadanya terdapat lipatan-lipatan kulit yang berfungsi sebagai
penempel.
Badan yang ”stream line” hampir semua binatang air deras dari larva sampai
ikan menunjukan bentuk yang “stream line” misalkan ikan jenis Tor sp.
Badan yang pipih yang memungkinkan mereka menemukan tempat
berlindung dibawah batu dan di celah-celah batu.
Rheotaxis positif, dimana binatang aliran ini hampir tidak bervariasi
berorientasi ke arah hulu dan bila dapat berenang terus-menerus bergerak
melawan arus.
Thigmotaxis positif, binatang aliran air yang mempunyai pola tingkah laku
yang diturunkan untuk melekat dekat permukaan atau menjaga badannya agar
dekat dengan permukaan.
Nekton yang hidup di perairan sungai memiliki komunitas yang berbeda-
beda. Setiap jenis nekton memiliki spesialisasi dan mampu memanfaatkan pakan
dengan seefisien mungkin, karena adanya persaingan antar jenis nekton sangat
tinggi dalam hal memperoleh pakan alami. Menurut Effendie (1997), dalam
pengelompokan nekton secara umum berdasarkan kepada makanannya terdiri dari
ikan herbivora, karnivora, dan omnivora, dengan masing-masing ikan ini memiliki
perbedaan bentuk mulut maupun usus pencernaannya, yang disesuaikan dengan
kondisi lingkungan supaya dapat melangsungkan hidup.
Welcomme (1985) in Harteman (1998), menyatakan bahwa ikan air tawar
dapat dibagi kedalam tiga golongan: (i) jenis black fish, ikan ini memiliki
kemampuan adaptasi tinggi diseluruh habitat air tawar, karena tahan terhadap
perubahan lingkungan dan umumnya memiliki alat pernafasan tambahan
(labyrin). Contohnya Clarias (Clariidae), Channa (Channidae), Notopterus
(Notopteridae), dan Anabas (Anabantidae). Ikan tersebut termasuk jenis ikan
residen pada daerah tertentu. (ii) jenis white fish (ikan putihan), termasuk jenis
ikan yang aktif bermigrasi selama hidupnya dan sangat sensitif terhadap
perubahan lingkungan. Ikan tersebut tidak mampu berdaptasi dengan lingkungan
yang terus menerus berubah dan ikan ini hidup dibagian permukaan air.
Contohnya Rasbora, Osteochilus, Thynnichthyes (Cyprinidae), dan Pangasius
(Pangasiidae) dan (iii) ikan moderat, ikan ini memiliki kemampuan beradaptasi
lebih dari ikan jenis white fish dan dapat ditemukan diberbagai tipe habitat. Jenis
ikan ini kebanyakan hidup di aliran sungai. Contohnya Crossocheilus
(Cyprinidae).
Lagler (1972) mengemukakan bahwa ikan-ikan di sungai tropika pada
umumnya mempunyai ciri kemampuan beradaptasi yang besar terhadap dua faktor
lingkungan terpenting di sungai, yaitu arus yang deras dan oksigen terlarut yang
rendah saat musim kemarau. Adaptasi terhadap arus kuat dicapai melaui tiga
mekanisme yaitu mempunyai struktur yang membenam ikan tersebut untuk
melekat pada tanaman atau vegetasi; mempunyai kemampuan untuk beradaptasi
pada arus deangan berlindung pada ceruk-ceruk batu; dan kemampuan untuk
berenang cepat. Adaptasi terhadap kandungan oksigen yang rendah pada dasarnya
dapat terjadi karena dimilikinya alat pernafasan tambahan (seprti labirin;
arborescent organ, dan alat-alat lainnya); mempunyai anatomi khusus pada mulut
untuk mengambil oksien dipermukaan berupa mulut yang kecil yang posisinya
kearah dorsal serta kepala kecil serta mempunyai adaptasi fiologis berupa
tingginya afinitas darah terhadap oksigen.
2.5. Metode Penangkapan Nekton di Sungai
Menurut Kotelat et al. (1993) dalam melakukan pengkajian populasi
nekton di sungai, digunakan alat tangkap yang disesuaikan dengan kondisi
lingkungan, agar dalam penggunaannya dapat efektif dan efisien. Alat tangkap
yang akan dipergunakan adalah elektrofishing dan serok.
2.5.1. Electrofishing
Electrofhising bertujuan untuk mengumpulkan nekton dalam jumlah
tertentu yang efektif digunakan di perairan mengalir, walaupun pada kasus
tertentu dapat juga digunakan di perairan yang tenang. Beberapa jenis
elektrofhising cukup kecil dan ringan untuk digunakan seperti membawa tas
punggung, namun ada juga jenis tertentu yang berat sehingga harus dibawa oleh
2-3 orang, dengan menggunakan generator sebagai sumber listrik (Lagler, 1972)
Pada umumnya elektrofhising gear terdiri dari 3 bagian utama. Pertama,
unit sumber tenaga (the power unit) yang berfungsi untuk mengalirkan 2-3 fase
arus alternatif. Waarden (1957) mengatakan bahwa besarnya produksi energi
bagian ini pada akhirnya akan ditentukan oleh keadaan konduktifitas perairan.
Dimana konduktivitas perairan tersebut tergantung pada temperatur dan
komposisi ionik perairannya. Unit berikutnya adalah peubah yang mampu
mengalihkan arus alternatif menjadi arus langsung (direct current). Bagian ketiga
adalah elektroda, yang wilayah kekuatannya ditentukan oleh bentuknya
(Couchman, 2002 in Septiano, 2006 ).
Elektroda terdiri dari 2 tipe, anoda (kutub positif) dan katoda (kutub
negatif). Pemilihan bahan dan material dapat mempengaruhi efesiensi penggunaan
electrofishing tersebut. Ketika mengaplikasikan arus langsung ukuran arus pada
katoda idealnya lebih besar sekurang-kurangnya 3 kali dibandingkan anoda
(Couchman, 2002 in Septiano, 2006).
Arus langsung adalah yang paling umum digunakan, dengan media anoda
dan katoda permanen. Biasanya ikan akan tertarik pada anoda, namun bersifat
menolak katoda. Menurut Viber (1967), arus langsung pada electrofishing
menyebabkan peningkatan daya kerja atau respon otot dan saraf. Ada beberapa
tahap reaksi pada ikan yang melintas medan arus listrik:
Gambar 3. Skema rangkuman tahapan reaksi ikan terhadap electrofoshing (Vibert, 1967).
2.5.2. Serok
Kotelat et al. (1993) mengatakan alat yang paling bermanfaat untuk
mengumpulkan nekton berukuran kecil dari sebagian besar perairan adalah jala
serok, dengan ukuran minimum mata jaring kira-kira 1,5-2,0 mm, ukuran
bingkainya 50-70 cm x 40-50 cm. Jaring semacam ini pada umumnya digunakan
di parit–parit atau sungai-sungai kecil untuk mengumpulkan nekton kecil dengan
memegangnya secara tegak lurus kearah jenis nekton yang akan ditangkap. Jaring
ini juga banyak digunakan untuk mengumpulkan jenis nekton yang hidup diantara
vegetasi yang lebat, diantara akar-akar tumbuhan yang mengapung dan diantara
vegetasi pesisir.
Efek penarikan dan efek
penolakan
Keadaan terdiam karena
kekakuan otot
Efek Kejut (Frightening
Effect)
III. METODE PENELITIAN
3.1. Penentuan Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai bulan Oktober 2008.
pengambilan sampel dilakukan sebanyak 3 kali selama 3 bulan. Lokasi penelitian
dibagi atas 4 stasiun. Pembagian stasiun ini berdasarkan fungsi dan pemanfaatan
tata guna lahan sepanjang Sungai Cihideung. Dalam penentuan stasiun dan
pengamatan sebelumnya dilakukan survei pendahuluan. Survei pendahuluan
dilakukan pada bulan Juli 2008. Berikut ini adalah gambar peta Sungai Cihideung,
Kab. Bogor-Jawa Barat.
Gambar 4. Peta Sungai Cihideung dan daerah sekitarnya
Sumber : Jabotabek Map
3.2. Prosedur Pengambilan Contoh Sampel di Lapangan
3.2.1. Pengumpulan nekton
Nekton diambil menggunakan alat tangkap electrofishing. Satu stasiun
terdiri 4 sub-stasiun secara zig-zag yaitu di pinggir sungai. Setiap pengambilan
sampel pada setiap sub-stasiun memerlukan waktu 15 menit, sehingga total waktu
pengamatan adalah 1 jam perstasiun. Agar aki tetap mendapatkan daya listrik
yang maksimal, maka setiap melakukan sampling dilakukan pengisian aki atau di
charge terlebih dahulu. Ilustrasi teknik atau jalur pengambilan sampel nekton
dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Posisi penentuan substasiun di tiap stasiun
Sampel nekton yang didapat kemudian dimasukan ke dalam plastik dan
dilakukan perendaman dalam formalin 10% untuk menghindari proses
pembusukan. Sampel nekton yang terkumpul kemudian dibawa ke laboratorium
Biologi Makro, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor
untuk diidentifikasi.
3.2.2. Pengukuran dimensi sungai
Dimensi sungai yang diukur setiap kali sampling dilakukan dapat dilihat
pada Tabel 1.
Pinggir sungai
1 2
3
4
Pinggir sungai
Tabel 1. Dimensi sungai
Dimensi Satuan Alat
Lebar sungai cm Tali skala
Kedalaman cm Tongkat skala
3.2.3. Pengukuran Parameter Fisika Kimia Air
Pengambilan contoh air untuk parameter fisika-kimia dilakukan di satu
tempat pada setiap stasiun, kecuali pengamatan kecepatan arus dan kedalaman air
yang diukur di 4 substasiun. Dalam pengukuran parameter fisika dan kimia
perairan dengan menggunakan data primer, yaitu pengukuran parameter terbagi
menjadi pengukuran di lapangan dan pengukuran di lab Produktivitas Lingkungan
Perairan IPB. Sampel air yang akan di analisis di lab dimasukan ke dalam botol
sampel ukuran 1 liter dan dimasukan ke dalam cool box atau freezer, kemudian
sampal diukur di lab keesokan harinya. Pengukuran dan alat yang digunakan
untuk pengambilan sampel terdapat pada Tabel 2.
Tabel 2. Metode pengambilan parameter kualitas air di daerah Sungai Cihideung
Parameter Satuan alat/ cara pengambilan sample air
Fisika
Arus Sungai Suhu Kecerahan Kekeruhan
m/detik oC % NTU
bola pingpong termometer secchi disk turbidimeter
Kimia pH DO BOD Nitrat-Nitrogen (NO3-N) Alkalinitas Orthophosphat
- mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
pH meter titrasi titrasi spektrofotometer titrasi Spektrofotometer
3.3. Prosedur kerja Lab
Nekton yang telah diawetkan selanjutnya di amati di Lab Biologi Makro
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK IPB. Identifikasi jenis untuk
ikan menggunakan buku identifikasi berdasarkan Kottelat et al. (1993) dan
identifikasi udang menggunakan buku identifikasi berdasarkan Lovett (1981).
Sampel nekton yang telah diidentifikasi dikelompokan dan dicacah.
3.4. Analisis Data
Untuk menganalisis data dimana dilakukan pengumpulan untuk nekton
sungai meliputi data komposisi jenis, kelimpahan relatif, frekuensi keterdapatan,
indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, indeks dominansi, kemiripan
habitat antar stasiun dan analisis komponen utama (PCA). Data-data tersebut
dianalisis menurut kaidah sebagai berikut:
3.4.1. Komposisi Jenis
Komposisi jenis diperoleh dari data ukuran dan jumlah spesies nekton yang
diperoleh dari setiap lokasi dengan 3 stasiun yang telah ditentukan.
3.4.2. Kelimpahan Relatif
Perhitungan kelimpahan relatif setiap jenis nekton dilakukan dengan
perhitungan persentase jumlah, dengan persamaan yang digunakan adalah (Krebs,
1972) :
Kr = Nni x 100 %
Keterangan :
Kr = Kelimpahan Relatif ni = Jumlah individu spesies ke-i N = Jumlah total individu semua jenis
3.4.3. Frekuesi Keterdapatan
Frekuensi keterdapatan digunakan untuk menunjukan luasnya penyebaran
lokal jenis tertentu. Hal ini dilihat dari frekuensi (%) nekton yang tertangkap,
dimana dengan menggunakan persamaan (Misra,1968) :
Fi =Tti X 100 %
Keterangan :
Fi = Frekuensi keterdapatan ikan spesies ke-i yang tertangkap (%) Ti = Jumlah stasiun dimana spesies ke-i tertangkap T = Jumlah semua stasiun
Bila persentase mendekati 100% maka nekton tersebut memiliki
penyebaran lokal yang luas. Sedangkan jika jenis nekton yang memiliki nila Fi
mendekati 0 % merupakan jenis ikan yang penyebaran lokal sempit atau terbatas.
3.4.4. Indeks Keanekaragaman
Odum (1996) menyatakan bahwa ada dua cara pendekatan untuk
menganalisis keragaman jenis dalam keadaan yang berlainan:(1) Pembandingkan-
pembanding yang didasarkan pada bentuk, pola atau persamaan kurva banyaknya
jenis, dan (2) Pembandingan yang didasarkan pada indeks keanekaragaman, yang
merupakan nisbah atau pernyataan matematika lainnya dari hubungan-hubungan
jenis kepentingan. Dalam menentukan suatu keanekaragaman nekton digunakan
indeks Shannon-Wiener (Brower dan Zar, 1977) sebagai berikut:
H’= -
Nni log2
Nni
Keterangan :
H’ = Indeks Diversitas Shannon-Winer ni = Jumlah individu spesies ke- i N = Jumlah individu semua spesies
Kisaran nilai indeks keanekaragaman menurut Kreb (1989) adalah:
H’ < 1 : keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah individu tiap spesies
rendah dan kestabilan komunitas rendah.
1<H’<3 : keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap spesies
sedang dan kestabilan komunitas sedang.
H’>3 : keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap spesies
tinggi dan kestabilan komunitas tinggi.
3.4.5. Indeks Keseragaman
Diversitas maksimun (Hmaks) terjadi bila kelimpahan semua speies di semua
staiun merata, atau apabila H’ = Hmaks = log2 rasio keanekaragaman yang terukur
dengan keanekaragaman maksimum dapat dijadikan ukuran keseragaman (E),
yaitu: (Odum, 1996)
E = maksH
H ' = SLog
H.
'
2
Keterangan :
E = Indeks Keseragaman H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Winner Hmaks = Keanekaragaman maksimum S = Jumlah spesies
Nilai indeks keseragaman berkisar antara 0-1, indeks yang mendekati 0
menunjukan adanya jumlah individu yang terkonsentrasi pada satu atau bebrapa
kenis, hal ini dapat diartikan ada bebrapa jenis biota yang memiliki jumlah
individu relatif banyak, sementara beberapa jenis lainnya memiliki jumlah
individu yang relatif sedikit. Nilai indeks keseragaman yang mendekati 1
menunjukna bahwa jumlah jumlah individu disetiap spesies adalah sama atau
hampir sama.
3.4.6. Indek Dominansi
Untuk mengetahui ada tidaknya, digunakan indeks dominan Simpson
(Odum, 1996):
C = ∑ 2
Nni
Keterangan :
C = Indeks Dominansi Simpson Ni = Jumlah individu spesies ke-i N = Jumlah individu semua spesies
Nilai indeks dominansi berkisar antara 0-1; indeks 1 menunjukan dominansi oleh
satu jenis spesies sangat tinggi (hanya terdapat satu jenis pada satu stasiun).
Sedangkan indeks 0 menunjukan bahwa diantara jenis-jenis yang ditemukan tidak
ada yang dominansi.
3.4.7. Kemiripan Habitat Antar Stasiun
Kemiripan habitat antar stasiun berdasarkan kesamaan sifat fisika dan kimia
perairan dapat dihitung menggunakan Indek Similaritas Canberra (Legendre dan
Legendre, 1983):
Ic = 1-
n
i jXjXjXjX
n 1 21211
Keterangan:
Ic = Indeks Similaritas Canberra n = Jumlah parameter yang dibandingkan X1j dan X2j = Nilai parameter ke –i dan ke-j pada daerah yang berbeda
Nilai kesamaan berkisar antara 0-1; Ic = 0, menunjukan tingkat kesamaan yang
paling rendah dan Ic = 1, menunjukan tingkat kesamaan yang paling tinggi.
Kumpulan indeks similaritas canberra dibentuk dalam matrik similaritas canberra
dan kemudian dikombinasikan untuk pembuatan dendrogram berdasarkan metode
keterkaitan (ikatan) rata-rata antar kelompok. Dari nilai tingkat keterkaitan dapat
dibuat hirarki kelompok stasiun pengamatan. Sedangkan kemiripan habitat antar
stasiun berdasarkan kesamaan parameter biologi dihitung dengan menggunakan
indeks similaritas Bray-Curtis (Kreb, 1989).
Ib =
n
i
n
i
XikXij
XikXij
1
1
Keterangan :
Ib = Indeks Similaritas Bray-Curtis n = Jumlah spesies dalam sempel Xij dan Xik = Julah indibvidu spesies ke-i pada setiap stasiun
3.4.8. Analisis komponen utama (AKU)
Informasi mengenai hubungan antara kelimpahan nekton dengan parameter
fisika-kimia perairan diperoleh dengan menggunakan pendekatan analisis statistik
multivariabel yang didasarkan pada Analisis Komponen Utama atau AKU
(Principal Component Analysis; PCA)
Analisis Komponen Utama (AKU) merupakan metode statistik deskriptif
yang bertujuan untuk mempersentasikan informasi maksimum yang terdapat
dalam suatu matrik data ke dalam bentuk grafik. Matrik data terdiri dari variabel
jumlah nekton sebagai individu (baris) dan variabel parameter fisika-kimia
perairan sebagai variabel kuantitatif (kolom). Data pada tabel diharapkan
memiliki bentuk yang homogen sehingga variasi dari suatu unit dapat
diinterpretasikan dengan cara yang identik untuk setiap variabel. Hal ini dilakukan
dengan penggunaan tabel atau matrik data yang dipusatkan dan direduksi. Rata-
rata setiap variabel dibawa ke nol melalui pengurangan, sedangkan simpangan
baku dibawa ke satu satuan dengan membagi setiap nilai oleh ragam atau varian
asli. Pengolahan data AKU dilakukan dengan piranti lunak Statistica 6.0 (Bengen,
2000).
Semakin dekat suatu titik variabel pada lingkungan korelasi, semakin
besar peranannya terhadap sumbu (grafik bidang). Korelasi terhadap sumbu sama
dengan koinis sudut antara sumbu dan garis lurus yang melewati pusat gravitasi
dan titik variabel. Dengan demikian, kita menginterpretasikan posisi suatu
variabel berdasarkan sudut yang dibentuk oleh garis lurus dengan sumbu atau
dengan variabel lain apabila variabel ini memberikan kontribusi yang besar (dekat
dengan lingkaran korelasi).
Matriks korelasi menjelaskan hubungan antar parameter yang ada. Tanda
minus atau plus menunjukan sifat korelasi negatif atau positif antar parameter.
Nilai positif yang mendekati satu (0,5 sampai 1) menjelaskan hubungan yang
berbanding lurus antar parameter. Nilai negatif yang mendekati minus satu (-0,5
sampai 1) menjelaskan hubungan yang berbanding terbalik antar parameter. Nilai
yang tidak erat atau tidak mempunyai pengaruh terhadap parameter yang lain
(Bengen, 2000)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Sungai Cihideung merupakan bagian dari DAS Cisadane yang mengalir
sepanjang Kabupaten Bogor. Sungai ini terletak di kaki Gunung Salak dan
bemuara di Sungai Cisadane (di belakang Laboratorium Rodentia IPB). Secara
umum sungai ini masih termasuk sungai yang ada di kawasan hulu sungai karena
dicirikan oleh substrat yang berbatu, dangkal, arus tergolong cepat hingga sedang
dan masih terletak didaerah dataran tinggi. Menurut Hutapea (2007) sungai
Cihideung memiliki panjang ± 10 km dengan kemiringan mulai dari hulu hingga
hilir yang cukup besar dan dasar sungai ini didominasi oleh batuan. Sungai ini
dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk berbagai keperluan sepeti sumber air
minum, sumber air baku bagi tempat pengolahan air IPB, MCK, irigasi,
perikanan, media pembuangan limbah rumah tangga, industri rumah tangga,
perladangan dan persawahan. Saat ini Sungai Cihideung masih memberikan
manfaat bagi para penduduk sekitar untuk melakukan usaha budidaya ikan air
tawar, pengelolaan air IPB dan irigasi. Menurut Hadiati (2000), kondisi disekitar
Sungai Cihideung menunjukan adanya kegiatan secara aktif yang dilakukan warga
yang dapat berdampak kepada kualitas perairan. Misalnya pada tahun 2006
terjadinya peningkatan jumlah usaha budidaya ikan tawar dibandingkan pada
tahun 1999. Hal ini diduga akan mempengaruhi kondisi perairan, sehingga
mempengaruhi keberadaan biota di dalamnya.
Sungai Cihideung melintasi beberapa Desa yang ada di Kecamatan
Dramaga, seperti Desa Purwasari, Desa Situ Daun, Desa Neglasari, Desa
Cinangneng, Desa Babakan Cihideung Hilir, Desa Leuwikopo dan Desa
Cibanteng. Pengamatan dilakukan di empat Stasiun, yaitu sebagai berikut:
a. Stasiun 1
Daerah Stasiun 1 berada di hulu sungai yang terletak di Desa Purwasari
dan Desa Situ Daun dengan titik koordinat (LS 06036’32.7”) dan (BT
106042’45.6”). Peraian sungai di daerah ini memiliki kondisi yang jernih dengan
substrat dasar berbatu, daerahnya yang terjal dengan arusnya cepat/deras (0,50
m/detik) dan masih terdapat banyak pepohonan serta jauh dari permukiman
penduduk dengan jarak ± 1 km.
b. Stasiun 2
Stasiun 2 berada pada titik koordinat (LS 06034’42.7”) dan (BT
106043’21.6”) dengan jarak ± 4 km dan terletak di Desa Neglasari. Kondisi
perairan yang cukup jernih, dengan subtsrat dasar berkerikil dan berpasir, dangkal,
berarus sedang (0,36 m/detik) dan di sekitarnya terdapat persawahan.
c. Stasiun 3
Lokasi Stasiun 3 terletak di Desa Leuwikopo berjarak ± 3 km dari stasiun
3, dimana stasiun ini terdapat pada titik koordinat (LS 06033’53.6”) dan (BT
106043’25.8”) dengan kondisi lingkungannya padat oleh pemukiman penduduk.
Perairan Sungai ini memiliki arus yang sedang (0,38 m/detik), bersubstrat dasar
berbatu dan berlumpur. Pada segmen sungai ini banyak terdapat sampah dan
limbah yang berasal dari rumah tangga. Hal tersebut menyebabkan kondisi sungai
ini menjadi keruh.
d. Stasiun 4
Stasiun 4 terletak di wilayah kampus IPB yang berada di sekitar tempat
penjernihan air, jarak dari stasiun 3 ke stasiun 4 ± 1 km, dengan koordinat (LS
06033’39.9”) dan (BT 106043’19.6”) Perairannya bersubstrat batu dan pasir,
dangkal, dan terlihat keruh. Di sekitar Sungai ini terdapat bendungan dan kolam
pembudidayaan ikan, serta tidak jauh dari stasiun ini terdapat pertemuan antara
Sungai Cihideung dengan Sungai Cisadane.
a
Gambar 6. Kondisi stasiun (a) Stasiun 1 (b) Stasiun 2 (c) Stasiun 3 (d) stasiun 4
c
b
d
4.2. Kondisi Habitat Sungai Cihideung
Pengambilan sampel air dilakukan sebelum pengambilan sample nekton,
yang bertujuan untuk melihat seberapa besar pengaruh perubahan kondisi perairan
terhadap struktur komunitas sumberdaya hayati nekton di sungai tersebut. Hasil
pengukuran parameter fisik-kimia perairan selama pengamatan dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 3. Kondisi fisika dan kimia Sungai Cihideung
Parameter Satuan Hasil Pengamatan Rata-rata±Standar Deviasi
Kisaran Baku Mutu (*) ST.1 ST.2 ST.3 ST.4
Fisika Suhu oC 26,3±0,25 26,7±0,58 27,3±0,25 26,3±0,093 26,3 - 27,3 (-) Kedalaman cm 26,58±4,91 20,83±10,10 33,2±5,77 29,3±8,84 20,83 - 33,2 (-) Kecerahan % 98,3±2,89 90±8,66 80±5,00 85±8,66 80 - 98.3 (-) Arus m/detik 0,52±0.07 0,36±0,09 0,38±0,06 0,32±0,17 0,32 – 0,52 (-) Kekeruhan NTU 14,8±4,75 16,3±4,04 27±12,77 22,33±5,86 14,8 - 27 (-) Lebar m 23,03±0,55 14,03±0,64 7,70±0,62 19,2±1,15 7,7 – 23,03 (-)
Kimia pH 6,5±0,404 6,7±0,405 6,7±4,66 6,5±0,998 6,5-6,.7 6 – 7 DO mg/l 7,03±0,516 7,22±0,595 5,25±0,597 6,56±0,445 5,25 - 7,22 > 3 BOD mg/l 1,28±0,15 1,39±0,23 1,96±0,17 1,92±0,66 1,28 – 1,96 < 6 NO3-N mg/l 0,486±0,247 0,482±0,218 0,580±0,189 0,499±0,214 0.482-0.580 < 20 Alkalinitas mg/l 63,23±5,28 55,90±10,05 60,67±4,04 59,63±1,48 45.50-66.85
Orthophosphat mg/l 0,111±0.01 0.202±0.07 0.229±0.08 0.176±0.06 0.111 - 0.23 < 1 Baku mutu kualitas air untuk kegiatan perikanan Keterangan : Tanda (-) Berarti parameter tersebut tidak di persyaratkan (*) : Peraturan Pemerintah No.82 tahun 2001
Berdasarkan Tabel 2 hasil analisis perairan yang diperoleh dapat dibagi
menjadi dua kelompok sebagai berikut:
4.2.1. Fisika perairan
a. Suhu
Suhu perairan pada keempat stasiun pengambilan contoh berkisar antara
26,3- 27,3 oC dengan suhu terendah terdapat di stasiun 1, 2, dan 4, sedangkan
suhu tertinggi pada stasiun 3. Variasi suhu tersebut disebabkan oleh adanya
perbedaan waktu dan pengaruh lebatnya vegetasi tumbuh-tumbuhan di sekitar
perairan tersebut diduga menghalangi penetrasi sinar matahari yang masuk
kedalam perairan. Dari hasil pengamatan, nilai kisaran suhu keempat stasiun
tersebut masih tergolong dalam kisaran suhu normal dan masih layak bagi
organisme perairan. Berdasarkan Effendi (2003), kisaran suhu optimum bagi
pertumbuhan organisme di perairan adalah 20-30 oC.
b. Kecerahan dan kekeruhan
Nilai kecerahan pada keempat stasiun diperoleh kisaran antara 80-98,3%.
Nilai terendah pada stasiun 3 dan tertinggi pada stasiun 1. Nilai kecerahan yang
rendah disebabkan oleh kondisi perairan stasiun 3 yang keruh dari akibat
banyaknya masukan limbah rumah tangga, aktivitas MCK dan limpasan dari
persawahan, sehingga cahaya tidak menembus hingga ke dasar perairan, pada
kedalaman berkisar antara 50-100 cm. Hal ini diperjelas dengan besarnya nilai
kekeruhan pada stasiun 3 yaitu sebasar 27 NTU (Tabel 2). Sedangkan nilai
kecerahan tertinggi pada stasiun 1, disebabkan kondisi air yang jernih dan
daerahnya yang dangkal (30-50 cm) sehingga dasar perairannya terlihat jelas.
c. Kecepatan arus
Nilai kecepatan arus Sungai Cihideung dari hasil pengamatan berkisar 0,32-
0,52 m/detik. Kecepatan arus sangat dipengaruhi oleh jenis kemiringan topografi
perairan, jenis batuan dasar, debit air, dan curah hujan. Welch (1952) in Mason
(1981) membedakan arus ke dalam 5 kategori yaitu arus yang sangat cepat (>1
m/detik), arus yang cepat (0,5-1 m/detik), arus yang sedang (0,25-0,5 m/detik),
arus yang lambat (0,1-0,25 m/detit), dan arus yang sangat lambat (<0,1 m/detik).
Keempat stasiun yang memiliki kecepatan arus yang cepat yaitu terdapat pada
stasiun 1 dan tergolong arus sedang terdapat pada stasiun 2, 3, dan 4. Menurut
Hutapea (2007), Sungai Cihideung memiliki kemiringan mulai dari hulu hingga
hilir yang cukup besar, akibatnya laju air menjadi cukup cepat dan dasar
perairannya didominasi oleh batuan.
d. Dimensi sungai
Nilai dari lebar sungai dapat menjelaskan terjadinya perubahan topografi
perairan baik disebabkan oleh air hujan, bendungan dan saluran irigasi. Kisaran
lebar Sungai Cihideung berkisar 7,7-23,03 m dengan lebar terbesar pada stasiun 1
yaitu 23,03 m dan terkecil pada stasiun 3 yaitu 7,7 m. Hal ini diduga berkaitan
dengan pola hujan pada saat sampling, dimana pada waktu pengamatan dilakukan
pada musim kemarau dan musim hujan sehingga mempengaruhi lebar sungai.
Stasiun 1 merupakan stasiun yang memiliki lebar sungai terbesar berkisar antara
22,4-23,3 m.
Kedalaman sungai dapat berubah-ubah sesuai keadaan lingkungan
sekitarnya yang biasanya sangat dipengaruhi oleh curah hujan. Nilai kedalaman
terendah pada stasiun 2 dan tertinggi di stasiun 3 dengan kisaran antara 20,83 cm
dan 33,2 cm. Berdasarkan Hutapea (2007) bahwa Sungai Cihideung memiliki
topografi sungai yang landai dan dasar perairan seperti mangkuk yang menghadap
ke atas.
4.2.2. Kimia perairan
a. pH
Nilai pH perairan dipengaruhi oleh aktifitas biologi, suhu, kandungan
oksigen dan keberadaan ion-ion perairan. Perubahan nilai pH pada suatu perairan
menunjukan terjadinya perubahan proses biologi dan penyediaan unsur-unsur hara
dalam perairan tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan, nilai pH di Sungai
Cihideung masih cenderung netral dengan nilai sekitar 7. Dengan demikian, dapat
dikatakan nilai derajat keasaman di Sungai Cihideung masih cukup baik untuk
perikanan. Hal ini dijelaskan oleh Pescod (1973) bahwa sebagian biota akuatik
sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 6,5-8,5.
b. DO (Dissolved Oxygen)
Oksigen terlarut adalah konsentarasi oksigen yang larut dalam air, oksigen
sangat penting bagi pernafasan dan merupakan salah satu komponen utama bagi
metabolisme ikan dan organisme lainnya yang berasal dari proses fotosintesis
fitoplankton dan tanaman air serta difusi udara (APHA, 1976). Dari hasil
pengamatan, kandungan oksigen terlarut di Sungai Cihideung pada seluruh stasiun
pengamatan berkisar antara 5,25 dan 7,22 mg/l dengan nilai rata-rata sebesar
6,52 mg/l (Gambar 10). Menurut Boyd (1990), kadar oksigen (DO) yang baik bagi
pertumbuhan ikan adalah diatas 5 mg/l. Nilai DO terendah terdapat pada stasiun 3
tepatnya di Desa Leuwikopo yang diduga disebabkan oleh banyaknya sampah
yang dibuang di pinggiran sungai dan limbah rumah tangga yang memasuki
kawasan peraian. Berdasarkan baku mutu yang telah ditetapkan pada PP. No. 82
Tahun 2001, nilai DO di Sungai Cihideung masih tergolong baik untuk kegiatan
perikanan.
0
1.5
3
4.5
6
7.5
1 2 3 4
Stasiun
DO
(mg/
l)
Gambar 7. Grafik nilai DO rata-rata pada setiap stasiun pengamatan.
c. BOD5 (Biochemical Oxygen Demand)
BOD5 merupakan gambaran kadar bahan organik, yaitu jumlah oksigen
yang dibutuhkan oleh mikroba aerob untuk mengoksidasi bahan organik menjadi
karbondioksida dan air (Davis and Cornwell, 1991 in Effendi, 2003). Hasil
pengamatan diperoleh nilai BOD5 di Sungai Cihideung berkisar antara 1,280 mg/l
dan 1,960 mg/l dengan rata-rata sebesar 1,638 mg/l (Gambar 11). Berdasarkan
baku mutu yang telah di tetapkan pada PP. No. 82 Tahun 2001, nilai BOD5 di
Sungai Cihideung masih tergolong baik untuk kegiatan perikanan.
Center dan Hill (1979) in Karsoedi (1989) menjelaskan bahwa di sungai
yang berarus lambat, kadar BOD sebesar 5 mg/l akan menyebabkan lingkungan
air yang buruk, namun di perairan berarus deras kadar BOD sebesar 30 mg/l
belum mengakibatkan gangguan nyata. Kadar BOD5 tertinggi terdapat di stasiun 3
yaitu sebesar 1,960 mg/l. Hal ini disebabkan adanya pengaruh masukan bahan
organik maupun anorganik dari limbah rumah tangga, pertanian, dan banyaknya
serasah dedaunan dan batang pohon yang tumbang serta kondisi arus yang sedang
membuat bahan organik tidak terbawa oleh arus sehingga mengendap diperairan
tersebut. Sedangkan nilai BOD5 yang kecil pada perairan yang berarus cepat,
maka dapat diduga masukan bahan organik akan segera terbawa arus ke arah hilir
sehingga pada saat diukur diperoleh nilai yang kecil.
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
1 2 3 4Stasiun
BO
D(m
g/l)
Gambar 8. Grafik nilai BOD rata-rata pada setiap stasiun pengamatan.
d. Nitrat (NO3 –N)
Keberadaan NO3-N mendukung keberadaan fitoplankton yang merupakan
makanan ikan. Secara hipotetik, kandungan nitrat yang tinggi dapat mendukung
produktifitas yang tinggi pula. Kandungan optimum NO3-N yang di butuhkan bagi
pertumbuhan alga dan fitoplankton berkisar 0,3-17,0 mg/l sedangkan kandungan
NO3-N yang dapat memberi pengaruh pembatas bagi pertumbuhan alga dan
fitoplankton berkisar ≤ 0,10 mg/l dan ≥ 45,0 (Mahida, 1993 in Ali, 1994).
Berdasarkan hasil analisis NO3-N, kandungan nitrat-nitrogen (NO3-N)
diseluruh stasiun pengamatan Sungai Cihideung berkisar antara 0,482 mg/l dan
0,580 mg/l dengan rata-rata sebesar 0,512 mg/l (Gambar 12). Nilai kadar NO3-N
tersebut masih dalam kisaran pertumbuhan normal alga dan fitoplankton.
Nilai NO3-N yang tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu sebesar 0,580
mg/l. Kandungan NO3-N yang tinggi di stasiun 3 disebabkan oleh BOD5 yang
relatif tinggi pula. Hal ini terkait dengan banyaknya sampah yang dibuang dekat
badan sungai dan limbah rumah tangga yang memasuki perairan tersebut.
Berdasarkan baku mutu yang telah di tetapkan pada PP No. 82 Tahun 2001, nilai
NO3-N di Sungai Cihideung masih tergolong baik untuk kegiatan perikanan.
0.000
0.200
0.400
0.600
0.800
1 2 3 4Stasiun
NO
3-N
(mg/
l)
Gambar 9. Grafik nilai NO3-N rata-rata pada setiap staiun pengamatan.
e. Alkalinitas
Alkalinitas adalah gambaran kapasitas air untuk menetralkan asam.
Alkalinitas juga diartikan sebagai kapasitas penyangga (buffer capacity) terhadap
perubahan pH perairan (Effendi, 2003). Nilai alkalinitas perairan alami hampir
tidak pernah melebihi 500 mg/liter CaCO3. Perairan dengan nilai alkalinitas yang
terlalu tinggi tidak terlalu disukai oleh organisme akuatik karena biasanya di ikuti
dengan nilai kesadahan yang tinggi atau kadar garam natrium yang tinggi
(Effendi, 2003).
Gambar 8 menunjukkan hasil analisis alkalinitas di Sungai Cihideung.
Kisaran alkalinitas yang terukur antara 55,9-63,23 mg/l. Menurut Boyd (1990)
bahwa perairan yang subur adalah perairan yang memiliki kandungan total
alkalinitas 40 mg/l atau lebih, maka Sungai Cihideung merupakan perairan yang
termasuk perairan subur. Hal ini diperjelas dengan kondisi Sungai Cihideung yang
masih banyak areal persawahannya. Diduga mempengaruhi kondisi perairan
Sungai Cihideung.
01020304050607080
1 2 3 4
Satsiun
Alk
alin
itas
(mg/
l)
Gambar 10. Grafik nilai Alkalinitas rata-rata pada setiap staiun pengamatan.
f. Phosphat (PO4)
Fosfor merupakan suatu elemen penting dalam aktifitas biologi suatu
organisme. Ketersediaanya sering menetukan produktifitas suatu perairan (Boyd,
1990). Kandungan orthofosfat di Sungai Cihideung berkisar antara 0,111 mg/l dan
0.229 mg/l dengan rata-rata total sebesar 0,179 mg/l (Gambar 14). Mackentum
(1969) menyatakan bahwa untuk pertumbuhan optimal organisme akuatik,
diperlukan phosphat antara 0,09-0,8 mg/l dan pada umumnya perairan yang
mengandung phosphat antara 0,003-0,01 mg/l digolongkan pada perairan
oligotrofik; 0,11-0,03 mg/l adalah perairan mesotrofik; dan 0,031-0,1 mg/l adalah
perairan eutrofik sehingga berdasarkan ketetapan kisaran diatas Sungai Cihideung
tergolong parairan eutrofik atau perairan yang subur. Berdasarkan baku mutu yang
telah di tetapkan pada PP No.82 Tahun 2001, nilai orthophosphat di Sungai
Cihideung masih tergolong baik untuk kegiatan perikanan.
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
1 2 3 4
Stasiun
Orth
ofos
fat (
mg/
l)
Gambar 11. Grafik nilai Orthofosfat rata-rata pada setiap staiun pengamatan.
4.3. Sumberdaya Hayati Nekton di Sungai Cihideung
Penangkapan nekton dilakukan pada 4 titik stasiun di daerah aliran Sungai
Cihideung selama bulan Agustus hingga Oktober 2008. Jenis nekton yang
tertangkap adalah ikan dan udang, yang mana dari jenis ikan meliputi 3 ordo yaitu
Cypriniformes (6 famili), Perciformes (3 famili), dan Siluriformes (2 famili),
sedangkan dari jenis udang ditemukan hanya 1 ordo yaitu Decopoda (1 famili).
Ordo Cypriniformes terdiri dari famili Cyprinidae, Triacanthidae, Balitoridae,
Cobitidae, Hamalopteridae, dan Hamirhampidae; Ordo Perciformes terdiri dari
Mastacembellidae, Channidae, dan Cichlidae; Ordo Siluriformes terdiri dari
Bagridae dan Sisoridae.
Famili Cyprinidae meliputi Puntius binotatus dan Rasbora spilotaenia;
Cobitidae terdiri dari 2 spesies yaitu Pangio oblonga dan Pangio anguilaris;
sedangkan famili Triacanthidae, Balitoridae, Hamalopteridae, Hamirhampidae,
Mastacembelidae, Channidae, Cichlinidae, Bagridae dan Sisoridae berturut-turut
memiliki 1 spesies yaitu Trichogaster tricopterus, Nemacheilus spiniferus,
Hypostomus sp, Demogenys pussila, Macrognathus maculatus, Channa striata,
Oreochromis niloticus, Mystus nemurus dan Glyptothorax platypogonoides.
Satu ordo dari kelompok udang adalah Decapoda terdiri dari famili
Palaemonidae yang hanya terdiri dari spesies Macrobrachium pilimanus dan
Macrobrachium sintangense; Jumlah keseluruhan individu nekton yang diperoleh
terdiri dari 1133 ekor dan lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Klasifikasi jenis nekton yang terdapat di Sungai Cihideung serta data jumlah jenis nekton berdasarkan stasiun pengamatan dan waktu pengambilan sampel.
Ordo Famili Spesies Tangkapan
Parsial Temporal
St.1 St.2 St.3 St.4 S.1 S.2 S.3 Cypriniformes
Cyprinidae Puntius binotatus 7 11 43 22 49 20 14
Rasbora spilotaenia 3 9 5 5 7 11 4
Triacanthidae Trichogaster tricopterus 0 0 5 0 2 1 2
Balitoridae Nemacheilus spiniferus 10 442 9 2 67 272 124
Cobitidae Pangio oblonga 0 4 0 0 1 0 3
Pangio anguilaris 0 1 0 0 1 0 0
Hamalopteridae Hypostomus sp. 0 1 3 1 2 1 2
Hamirhampidae Dermogenys pussila 0 0 9 2 5 4 2 Perciformes
Mastacembellidae Macrognathus maculatus 1 1 3 1 4 1 1
Channidae Channa striata 0 0 1 6 3 2 2
Cichlidae Oreochromis niloticus 0 0 0 4 0 2 2 Siluriformes Bagridae Mystus nemerus 3 0 0 0 2 0 1
Sisoridae Glyptothorax platypogon 4 0 0 0 1 2 1
Decapoda
Palaemonidae
Macrobranchium pilimanus 125 50 44 63 109 93 80 Macrobranchium sintangense 98 40 37 58 73 50 110
Jumlah Total 251 559 159 164 326 459 348
4.4. Komposisi dan Kelimpahan Relatif Nekton
Ordo yang paling banyak ditemukan adalah Cypriniformes dengan famili
Cyprinidae yang meliputi jenis ikan beunteur (Puntius binotatus), dan paray
(Rasbora spilotainia); famili Triacanthidae meliputi jenis ikan sepat (Trichogaster
tricopterus); famili Balitoridae meliputi jenis ikan jeler (Nemacheilus spiniferus);
famili Cobitidae meliputi jenis ikan serewot (Pangio oblonga) dan Pangio
anguilaris; famili Hamalopteridae meliputi jenis ikan sapu-sapu (Hypostomus
sp.); dan famili Datniodidae dari jenis ikan julung-julung (Dermogenys pussila).
Berdasarkan stasiun pengamatan, nekton yang ditemukan di tiap stasiun
adalah dari famili Cyprinide meliputi jenis ikan beunteur dan paray; famili
Mastacembellidae meliputi jenis ikan berod; dan famili Palaemonidae dari jenis
udang-udangan seperti Macrobrachium pilimanus dan Macrobrachium
sintangense. Hal ini dapat mengindikasikan habitat Sungai Cihideung cocok untuk
ketiga famili tersebut sehingga dapat bertahan dan berkembang biak dengan baik.
Secara keseluruhan, nekton yang tertangkap paling banyak terdapat pada
stasiun 2 di Desa Neglasari yaitu sebanyak 559 ekor yang didominasi oleh famili
Balitoridae dari jenis ikan jeler (Nemacheilus spiniferus) sebanyak 442 ekor,
sedangkan perolehan nekton yang sedikit terdapat di stasiun 3 yaitu sebanyak 159
ekor. Perolehan nekton sedikit diduga disebabkan oleh kondisi perairan yang
keruh akibat banyaknya sampah-sampah di pinggiran sungai dan aktivitas
masyarakat diantaranya MCK dan pembuangan limbah domestik yang dapat
menganggu keberadaan nekton.
Data kelimpahan relatif nekton di Sungai Cihideung dapat dilihat dari
Gambar 12. Kelompok nekton yang memiliki kelimpahan relatif tertinggi adalah
dari famili Balitoridae yang meliputi jenis ikan jeler (Nemacheilus spiniferus)
dengan persentase sebesar 41% dan nilai kelimpahan relatif kedua terbesar yaitu
famili Palaemonidae dengan persentase 25% dari jenis udang-udangan
(Macrobachium pilimanus).
Gambar 12. Kelimpahan relatif nekton di Sungai Cihideung, Bogor, Jawa Barat
Persentase nekton tertinggi pada lokasi pengamatan adalah Nemacheilus
spiniferus (ikan jeler) sebesar 79,07 % yang terdapat pada stasiun 2. Kondisi
stasiun 2 yang bersubstrat kerikil dan pasir, dangkal dan berarus sedang
menyebabkan jenis ikan ini banyak tertangkap. Hal ini dijelaskan dalam penelitian
Sinaga (1995) bahwa ikan jeler biasanya tertangkap di tepi sungai pada bagian
yang dangkal, dasar sungai batu kerikil yang di tumbuhi oleh lumut dan berpasir
dengan kondisi arus yang sedang. Menurut Kottelat at al. (1993), ikan jeler pada
umumnya menyukai daerah perairan yang bersubstat pasir, dangkal, dan memiliki
tingkat kecerahan yang tinggi. Kelimpahan relatif berdasarkan lokasi pengamatan
dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Data kelimpahan relatif nekton berdasarkan lokasi pengamatan
Nama Spesies Persentase Nekton yang tertangkap (%) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4
Puntius binotatus 2.79 1.97 27.04 13.41 Rasbora spilotaenia 1.20 1.61 3.14 3.05 Trichogaster tricopterus 0.00 0.00 3.14 0.00 Nemacheilus spiniferus 3.98 79.07 5.66 1.22 Pangio oblonga 0.00 0.72 0.00 0.00 Pangio anguilaris 0.00 0.18 0.00 0.00 Hypostomus sp. 0.00 0.18 1.89 0.61 Dermogenys pussila 0.00 0.00 5.66 1.22 Macrognathus maculates 0.40 0.18 1.89 0.61 Channa striata 0.00 0.00 0.63 3.66 Oreochromis niloticus 0.00 0.00 0.00 2.44 Mystus nemurus 1.20 0.00 0.00 0.00 Glyptothorax platypogonoides 1.59 0.00 0.00 0.00 Macrobrachium pilimanus 49.80 8.94 27.67 38.41 Macrobrachium sintangense 39.04 7.16 23.27 35.37 Jumlah (%) 100.00 100.00 100.00 100.00 Jumlah (ekor) 251 559 159 164
Berdasarkan waktu pengambilan sampel pada Tabel 6 kelimpahan relatif
nekton tertinggi diperoleh ikan jeler (Nemacheilus spiniferus) pada sampling
kedua dengan persentase sebesar 59,26%. Hal ini diduga akibat pada waktu
sampling kedua tepatnya pada bulan September telah memasuki musim
penghujan. Pada umumnya, nekton khususnya ikan menetapkan waktu pemijahan
ketika musim hujan sedang berlangsung sehingga produksi ikan sedang
mengalami titik tertinggi. Dari data yang pada Tabel 6, perolehan nekton tertinggi
pada waktu sampling kedua yaitu sebesar 459 ekor dan perolehan nekton terendah
yaitu pada sampling pertama sebesar 326 ekor.
Tabel 6. Data kelimpahan relatif nekton berdasarkan waktu pengambilan sampel
Nama Spesies Persentase Nekton yang tertangkap (%) Sampling 1 Sampling 2 Sampling 3
Puntius binotatus 15.03 4.36 4.02 Rasbora spilotaenia 2.15 2.40 1.15 Trichogaster tricopterus 0.61 0.22 0.57 Nemacheilus spiniferus 20.55 59.26 35.63 Pangio oblonga 0.31 0.00 0.86 Pangio anguilaris 0.31 0.00 0.00 Hypostomus sp. 0.61 0.22 0.57 Dermogenys pussila 1.53 0.87 0.57 Macrognathus maculatus 1.23 0.22 0.29 Channa striata 0.92 0.44 0.57 Oreochromis niloticus 0.00 0.44 0.57 Mystus nemurus 0.61 0.00 0.29 Glyptothorax platypogonoides 0.31 0.44 0.29 Macrobrachium pilimanus 33.44 20.26 22.99 Macrobrachium sintangense 22.39 10.89 31.61 Jumlah (%) 100.00 100.00 100.00 Jumlah (ekor) 326 459 348
Dari hasil penangkapan nekton selama tiga bulan, dapat dilihat pada
Gambar 16 bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada kelimpahan nekton tiap
bulan pengamatan, dimana kelimpahan nekton tertinggi pada bulan September
sebanyak 459 ekor dan terendah pada bulan Agustus sebanyak 326 ekor.
Kelimpahan nekton terendah pada bulan Agustus diduga pada bulan ini masih
termasuk musim kemarau, sehingga keberadaan nekton biasanya tidak begitu
banyak melakukan aktivitas, misalnya melakukan pemijahan. Dibandingkan pada
bulan September telah masuk musim penghujan, karena berdasarkan data Badan
Meteorologi dan Geofisika (BMG) hampir setiap hari pada bulan ini terjadi hujan,
sehingga fluktuasi air sungai sedikit menjadi meningkat dan daerah aliran sungai
yang semulanya tidak tergenangi air menjadi tergenang. Hal ini bisa
mempengaruhi terhadap hasil penangkapan nekton, yang mana biasanya bila
sudah masuk musim penghujan nekton jenis ikan banyak melakukan aktifitasnya
baik melakukan pemijahan, mencari makan, dan migrasi. Effendie (1997)
menjelaskan bahwa pemijahan ikan di sungai biasanya bertepatan dengan
meningginya permukaan air pada waktu awal musim hujan.
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
Agustus September Oktober
Kel
impa
han
nekt
on (E
kor)
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
Kelimpahan Nekton Curah hujan
Cur
ah h
ujan
(mm
)
Gambar 13. Grafik hubungan kelimpahan nekton dengan rata-rata curah hujan.
Tabel 6 dibawah ini memperlihatkan nilai frekuensi keterdapatan dari jenis
nekton disetiap stasiun berdasarkan waktu sampling. Nilai frekuensi keterdapatan
berkaitan dengan wilayah penyebaran (distribusi). Semakin besar nilai frekuensi
keterdapatan berarti akan semakin luas wilayah penyebarannya. Nilai frekuensi
keterdapatan nekton tertinggi dimiliki oleh spesies Macrobrachium pilimanus dan
Macrobrachium sintangense dengan persentase keterdapatan 100 %, sedangkan
nilai terendah dimiliki spesies Pangio anguilaris sebesar 8,3 %. Nilai tersebut
menunjukan bahwa Macrobrachium pilimanus dan Macrobrachium sintangense
diperoleh dihampir dari semua stasiun dan diperoleh setiap pengambilan sampel
dilakukan, diduga kondisi habitat yang masih baik dan cocok untuk perkembang
biakkan jenis nekton tersebut, sehingga jenis ini sering diperoleh di setiap stasiun.
sedangkan Pangio anguilaris memiliki wilayah penyebaran paling sempit dan
ikan tersebut hanya diperoleh dari satu stasiun dan hanya satu kali saja selama
pengambilan sampel dilakukan.
Tabel 7. Data frekuensi keterdapatan nekton
Nama Spesies Frekuensi Keterdapatan (%) Sampling 1 Sampling 2 Sampling 3 Rata-rata
Puntius binotatus 100 75 100 91.7 Rasbora spilotaenia 75 75 100 83.3 Trichogaster tricopterus 25 25 25 25.0 Nemacheilus spiniferus 50 100 50 66.7 Pangio oblonga 25 0 25 16.7 Pangio anguilaris 25 0 0 8.3 Hypostomus sp. 50 25 25 33.3 Dermogenys pussila 50 25 25 33.3 Macrognathus maculatus 50 25 25 33.3 Channa striata 50 25 25 33.3 Oreochromis niloticus 0 25 25 16.7 Mystus nemurus 25 0 25 16.7 Glyptothorax platypogonoides 25 25 25 25.0 Macrobrachium pilimanus 100 100 100 100.0 Macrobrachium sintangense 100 100 100 100.0
4.5. Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi nekton
Legendre dan Legendre (1983) menetapkan bahwa jika nilai
keanekaragaman (H’) yang diukur bernilai 0, maka komunitas akan terdiri dari
satu spesies atau jenis tunggal. Nilai H’ akan mendekati maksimum jika semua
spesies terdistribusi secara merata dalam komunitas. Grafik indeks
keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dan dominansi (C) secara spasial dapat
dilihat pada Gambar 14. Indeks keanekaragaman (H’) di Sungai Cihideung ditiap
stasiun berkisar 1,159-2,258. Keanekaragaman yang paling tinggi didapatkan di
stasiun 3 dan paling rendah di stasiun 2. Rendahnya nilai H’ di stasiun 2
disebabkan jumlah spesies yang tertangkap sedikit yaitu sebanyak 9 spesies
dibandingkan pada stasiun lain, sedangkan kondisi fisik-kimia air stasiun 2 masih
dalam keadaan baik. Diduga rendahnya H’ di stasiun 2 adalah karena kondisi
habitat dan keadaan makanannya. Lagler (1972) menjelaskan suatu spesies ikan di
alam memiliki hubungan erat dengan keberadaan makanannya, ikan tersebut dapat
bertahan hidup jika terdapat jenis makanan yang disukainya, ketersediaan
makanan merupakan faktor yang menentukan jumlah dan dinamika populasi,
pertumbuhan, reproduksi, serta kondisi ikan yang ada di suatu perairan. Odum
(1972) mengatakan ada dua hal penting dalam ruang lingkup keanekaragaman,
yaitu banyaknya spesies yang ada dalam suatu komunitas dan kelimpahan dari
masing-masing spesies tersebut. Semakin kecil jumlah spesies dan variasi jumlah
individu tiap spesies atau ada beberapa individu yang jumlahnya mendominasi
maka keanekaragaman suatu ekosistem akan mengecil.
Indeks keseragaman bila dilihat berdasarkan stasiun berkisar 0,546-0,77.
Nilai tertinggi terdapat pada stasiun 3 dan terendah di stasiun 2. Nilai
keseragaman yang rendah pada stasiun 2 dengan nilai mendekati 0 menunjukan
adanya jumlah individu yang terkonsentrasi pada satu atau beberapa jenis. Hal ini
dapat diartikan adanya jenis spesies tertentu yang memiliki jumlah individu relatif
banyak, sementara beberapa jenis lainnya memiliki jumlah individu yang relatif
sedikit. Sedangkan nilai E pada stasiun 3 hampir mendekati 1. Hal ini menunjukan
jumlah individu tiap jenis adalah sama atau hampir sama.
Nilai indeks dominansi pada tiap stasiun pengamatan berkisar 0,213-0,639.
Nilai tertinggi terdapat pada stasiun 2 sebesar 0,639 dan terendah pada stasiun 3
sebesar 0,213. Nilai dominansi yang tinggi pada stasiun 2, diduga ada jenis
spesies tertentu yang jumlah indivudu relatif banyak, yaitu ikan jeler. Mann
(1981) in Herteman (1998) menyatakan bahwa dominansi jenis sering terjadi
karena beberapa hal antara lain kompetisi pakan alami oleh jenis tertentu yang
disertai perubahan kualitas lingkungan, tidak seimbangnya antara predator dan
mangsa sehingga terjadi kompetisi antar jenis.
1.639
1.159
2.153
0.5460.366
0.7700.648
0.4030.639
0.213 0.294
2.558
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3 stasiun 4
H' E D
Gambar 14. Grafik keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dan dominansi (C) nekton berdasarkan lokasi pengamatan.
Grafik pada Gambar 15 menunjukkan indeks keanekaragaman (H’),
keseragaman (E), dan dominansi (C) nekton secara temporal. Nilai H’ tertinggi
terdapat pada sampling pertama sebesar 2,456 dan terendah pada sampling ke 2
sebesar 1,808. Hal ini diduga adanya variasi dari jumlah spesies yang tetangkap
tiap sampling, dimana jenis spesies tertangkap pada tiap sampling berturut-turut
yaitu 14, 12, dan 14 spesies.
Nilai keseragaman di setiap sampling berkisar antara 0,407 dan 0,645,
dimana nilai keseragaman tertinggi terdapat pada sampling pertama dan terendah
sampling kedua. Nilai E terendah pada sampling kedua menunjukan penyebaran
individu tidak merata, dimana tiga jenis nekton tidak dijumpai pada sampling
kedua serta ada spesies tertentu yang memiliki jumlah individu yang besar, yaitu
ikan jeler.
Nilai indeks dominansi masing-masing sampling memiliki kisaran antara
0,228-0,504. Nilai tertinggi di dapat pada sampling kedua sebesar 0,504. Namun
nilai indeks dominansinya masih tergolong rendah. Hal tersebut menunjukan
bahwa secara temporal tidak ada spesies yang dominan.
2.456
2.150
0.645 0.565
0.228 0.282
1.808
0.504
0.407
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
sampling 1 sampling 2 sampling 3
H' E D
Gambar 15. Grafik keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dan dominansi (C) nekton berdasarkan waktu pengambilan sampel.
Secara umum, tingkat keanekaragaman, keseragaman, dominansi di
Sungai Cihideung dapat dilihat pada Tabel 8. Berdasarkan hasil pengamatan, nilai
keanekaragaman (H’) Sungai Cihideung berada diantara 1 dan 3 yaitu sebesar
1,755. Hal tersebut menunjukan adanya tingkat keanekaragaman jenis nekton
yang ada tergolong sedang. Hal ini berarti ada beberapa jenis ikan tertentu masih
dapat beradaptasi dan berkembang biak dengan kondisi Sungai Cihideung
sekarang ini, meskipun kualitas keragaman yang ada tidak maksimal. Tidak
maksimalnya kualitas keragaman diduga karena adanya kegiatan-kegiatan
manusia yang sudah bersifat merubah ekosistem sungai. Misalnya adanya
penggalian pasir dan semakin menuju ke hilir beban pencemarnya makin banyak.
Tingkat kestabilan suatu ekosistem bukan merupakan faktor utama yang
mempengaruhi kualitas keanekaragaman sumberdaya hayati ekosistem tersebut.
Tinggi rendahnya tingkat keanekaragaman dapat juga dipengaruhi oleh tingkat
tekanan ekologis yang diterima oleh ekosistem Sungai Cihideung. Sebagai contoh,
padatnya pemukiman dan aktifitas disekitar bantaran perairan diduga dapat
menurunkan kualitas keanekaragaman sumberdaya hayati nekton yang ada,
sehingga nilai keanekaragaman yang diperoleh tidak termasuk tinggi. Namun
berdasarkan pengakuan penduduk sekitar secara lisan, penangkapan nekton yang
ada di Sungai Cihideung termasuk eksploitasi sekala kecil, sebab mereka
cendrung menangkap untuk dikonsumsi sendiri. Cara penangkapan ikan yang
biasa dilakukan adalah dengan menggunakan pancing dan jala lempar, dan
kadang-kadang menggunakan setrum ikan.
Nilai indeks dominansi secara umum mendekati angka 0 yaitu sebesar
0,403. Hal tersebut menunjukan bahwa hampir tidak ada spesies yang
mendominasi (Legendre dan Legendre, 1983). Sebagai Contoh, walaupun ikan
jeler setiap kali sampling perolehannya cukup besar, namun hanya pada stasiun 2.
Banyaknya jenis nekton yang dapat berkembang di Sungai Cihideung nampaknya
juga dipengaruhi oleh kondisi substrat yang cocok. Hal ini diperkuat oleh nilai
indek keseragaman yang cendrung mendekati angka 1; yaitu sebesar 0,643. Angka
tersebut menunjukan penyebaran jumlah individu tiap jenis relatif sama.
Lokasi pengamatan ternyata memiliki pengaruh yang cukup nyata
terhadap tinggi rendahnya keanekaragaman sumberdaya hayati perikanan di
Sungai Cihideung. Pada Gambar 14 dapat diamati bahwa dari stasiun 1 sampai 4,
nilai keanekaragaman (H’) cendrung mengalami peningkatan kecuali pada stasiun
2. kondisi tersebut diduga semakin luas wilayah perairan maka jenis nekton yang
ada semakain beragam.
Tabel 8. Data keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi sumberdaya hayati nekton.
Indeks H' E C Stasiun Stasiun 1 1.6395 0.5465 0.4034
Stasiun 2 1.1591 0.3656 0.6390
Stasiun 3 2.5577 0.7699 0.2130
Stasiun 4 2.1529 0.6481 0.2939
Waktu Sampling 1 2.4556 0.2278 0.6450 Sampling Sampling 2 1.8083 0.4067 0.5044
Sampling 3 2.1496 0.2817 0.5646
Total rata-rata
1.7549 0.6426 0.4032
4.6. Tingkat Kesamaan Habitat antar Stasiun Berdasarkan Parameter Fisika dan Kimia Perairan
Berdasarkan parameter fisika dan kimia perairan yang diperoleh, dibuat
suatu dendrogram pengelompokan stasiun pengamatan dengan tingkat kesamaan
80% menggunakan indeks similatas Canbera. Dendrogram pada Gambar 16
menunjukan bahwa dari keempat stasiun tidak ada kesamaan. Menurut Yasman
(1988) in Septiano (2006), nilai indeks kesamaan jenis terbagi dalam 4 katagori
yaitu 1-30 % tergolong rendah; 31-60 % tergolong sedang; 61-90 % tegolong
besar; dan di atas 90% tergolong sangat besar.
Pada Gambar 16 terlihat bahwa berdasarkan kondisi fisika-kimia perairan
masing-masing stasiun tidak ada pengelompokan. Kelompok I berada pada stasiun
2, dimana kondisi stasiun 2 dicirikan dengan airnya yang masih baik, substrat
dasar berkerikil dan berpasir, dan aktifitas penduduknya masih jarang. Kelompok
II terdapat pada stasiun 4, bahwa stasiun ini dicirikan dengan kondisi perairan
yang keruh, bersubtrat batu, berlumpur dan dekat dengan permukiman penduduk.
Kelompok III terdapat pada stasiun 3, dengan kondisi air keruh bersubstrat
dasar batu dan berlumpur, terdapat sampah-sampah dan banyak aktifitas
masyarakat. Kondisi perairan yang keruh diduga disebabkan oleh aktifitas
masyarakat diantaranya MCK, buangan limbah baik dari rumah penduduk
maupun pertanian serta banyaknya terdapat sampah-sampah.
Karena keadaan kondisinya berbeda dengan stasiun lain, kelompok IV
berada di stasiun 1. Perairannya yang jernih, daerahnya yang terjal, bersubstrat
dasar batu baik yang berukuran besar maupun kecil, dan berarus deras serta
aktifitas penduduk masih retif jarang. Hal ini yang membedakan terhadap stasiun-
stasiun yang lainnya, sehingga terlihat jelas pada dendrogram Gambar 16, dimana
stasiun 1 paling rendah tingkat kesamaannya.
Secara umum bila dilihat berdasarkan fisika-kimia perairan dari masing-
masing stasiun tersebut tidak ada yang memiliki kesamaan, sehingga tidak ada
pengelompokan diantara stasiun, namun hal ini adalah variasi, karena masih
berada dibawah standar baku mutu kualitas air untuk kegiatan perikanan (Gol III).
Gambar 16. Dendogram tingkat kesamaan habitat antara stasiun berdasarkan parameter fisika dan Kimia
4.7. Tingkat Kesamaan Habitat antar Stasiun Berdasarkan Jumlah Spesies Nekton
Tingakat kesamaan antara stasiun juga dapat dilihat berdasarkan parameter
biologinya dengan menggunakan indeks Bray-Curtis. Dendrogram tingkat
kesamaan antara stasiun berdasarkan kelimpahan nekton (Gambar 20 ).
Berdasarkan Gambar 20 dendrogam tersebut menunjukan terdapat 2
kelompok pada taraf kesamaan. Kelompok I terdapat pada stasiun 1, 3 dan 4. Hal
ini dapat di interpretasikan bahwa kedua stasiun tersebut memiliki jenis ikan yang
hampir sama. Stasiun 1, 3, dan 4 memiliki kondisi arus yang sedang, substrat
dasar berbatu serta warna air yang keruh. Sehingga jenis ikan gabus, berod dan
beunteur banyak ditemukan di stasiun ini. Hal tersebut diduga disebabkan oleh
fisik ikan berod dan ikan gabus yang memiliki struktur tubuh yang mungkin untuk
berenang pada arus deras dan menyelinap pada selah-selah bebatuan.
Kelompok II terdapat di stasiun 2 (Gambar 20). Kondisi stasiun 2 yang
bersubtrat dasar kerikil dan berpasir, dengan berarus sedang, dangkal dan kondisi
airnya masih cukup jernih. Stasiun 2 memperoleh kelimpahan nekton paling
banyak dibandingkan stasiun lain, dimana ikan yang tertangkap yaitu ikan jeler
(Nemacheilus spiniferus), paray, dan jenis udang-udangan. Berdasarkan data yang
diperoleh ada jenis nekton yang memiliki jumlah individu yang besar sehingga
menunjukan perbedaan jauh dari jenis lain yaitu ikan jeler. Hal ini diduga bahwa
Stasiun
Sim
ilarit
y (%
)
3421
41.21
60.80
80.40
100.00
80%
stasiun 2 merupakan daerah yang paling cocok untuk keberadaan ikan jeler, yang
mana kondisi habitat yang masih baik dan tentu saja ketersediaan makanannya
yang melimpah sehingga cocok untuk berkembang biak secara produktif. Kottelat
et al. (1993) menjelaskan bahwa ikan jeler pada umumnya menyukai daerah yang
perairannya bersubstrat pasir, ukuran batunya kecil-kecil (kerikil), dangkal,
arusnya agak lambat, keadaan oksigennya tinggi dan memiliki tingkat
kecerahannya tinggi dan ikan ini termasuk jenis ikan yang rentan terhadap
perubahan kondisi fisika kimia perairan.
Gambar 17. Dendogram tingkat kesamaan habitat antara stasiun berdasarkan jumlah Nekton
4.8. Pola Adaptasi Nekton Terhadap Kondisi Habitatnya
Suatu karakteristik habitat perairan dapat mempengaruhi pola adaptasi
biota yang hidup di dalamnya. Arus air merupakan ciri khas dari ekologi sungai,
terutama daerah hulu. Oleh karena itu dapat diasumsikan pola adaptasi dari jenis
nekton yang hidup di Sungai Cihideung adalah penyesuaian morfologi dan
tingkah laku terhadap adanya arus sungai yang kuat. Kecepatan arus di sungai
sangat di pengaruhi oleh kemeringan, tipe substrat, kedalaman, dan curah hujan.
Berdasarkan gambar 18 dapat diamati bahwa kecepatan arus yang paling
besar terdapat di stasiun 1, kondisi perairannya bersubstrat dasar batu-batu
berukuran besar ataupun kecil dan daerahnya terjal. Hal ini diduga berpengaruh
terhadap kelimpahan nekton yang ditangkap, dibandingkan stasiun 2 yang mana
Stasiun
Sim
ilarit
y (%
)
2431
1.81
34.54
67.27
100.00
80%
kelimpahan nektonnya paling banyak namun arusnya tergolong sedang. Menurut
Darajat (2008), ukuran batuan dibagi menjadi beberapa bagian diantaranya
Boulder (bongkahan) >256 mm; Cobble (karakal) 64-256 mm; Pebble (kerikil) 2-
64 mm; Sand (pasir) 1/6-2 mm; Sand stone silt (Lanau) 1/256-1/16 mm; dan Silt
batu lanau clay (lempung) <1/256 mm. Hal ini bisa dikatakan kondisi stasiun 1
substrat dasarnya termasuk Boulder dan cobble dan di stasiun 2 termasuk ukuran
Pebble dan sand karena daerahnya bersubstrat dasar kerikil dan berpasir.
Sedangkan pada stasiun 3 dan 4 kondisi arusnya tidak jauh dari stasiun 2 dengan
kelimpahan nekton lebih banyak dari stasiun 1. Hal ini sesuai dengan mekanisme
adaptasi morfologi nekton di sungai yang dipaparkan Odum (1972), maka banyak
jenis ikan yang tertangkap pada stasiun 1 adalah jenis ikan yang dilengkapi
struktur tubuh streamline dan memiliki alat penempel, misalkan jenis yang
diperoleh dari stasiun 1 yaitu beunteur, kehkel, berod dan jeler.
Hal ini sesuai dengan kondisi arus di stasiun 1 kelimpahan nektonnya
cukup sedikit dibandingkan stasiun 2. Berdasarkan hal tersebut, dapat
diasumsikan bahwa kondisi kecepatan arus yang ada masih dapat ditolerir dan di
adaptasikan dengan baik oleh jenis nekton yang berkembang biak pada stasiun 1.
Adanya kelimpahan nekton yang tinggi pada stasiun 2 sebesar 559 ekor, diduga di
pengaruhi oleh faktor-faktor lain yang dianggap cukup baik bagi ikan untuk
berkembang biak secara produktif.
Gambar 18. Grafik hubungan antara jumlah nekton dan kecepatan arus
4.9. Keterkaitan Faktor Kualitas Air dengan Parameter Biologi
Sifat korelasi antara kelimpahan nekton dengan parameter fisika-kimia
perairan yang mempengaruhi serta korelasi antara parameter fisika-kimia parairan
itu sendiri diperoleh dengan menggunakan analisis komponen utama. Salah satu
tujuan di gunakannya analisis ini adalah untuk menghasilkan suatu representative
grafik yang memudahkan interpretasi (Bengen, 2000). Parameter fisika-kimia
perairan yang diperhitungkan dalam analisis ini adalah suhu, kedalaman,
kecerahan, kekeruhan, lebar sungai, arus, pH, DO, BOD, Alkalinitas, Nitrat dan
Orthofospat.
Kelimpahan nekton bila dilihat berdasarkan data secara parsial yang
memiliki perolehan paling banyak terdapat pada stasiun 2 sebesar 442 ekor,
dengan jenis nekton yang memiliki perolehan paling banyak yaitu ikan jeler
(Nemecheilus spiniferus). Ikan jeler ini ditemukan di perairan yang dangkal
dengan substrat kerikil dan pasir, kecerahannya tinggi, dan arus sedang. Hal ini
berdasarkan yang dikemukakan oleh Kottelat et al. (1993), ikan jeler pada
umumnya menyukai daerah perairan yang bersubstrat pasir, dangkal, dan
memiliki kecerahan yang tinggi. Adapun pada stasiun 1 perolehan nekton paling
banyak ditemukan dari jenis udang-udangan diantaranya dari jenis
Macrobrachium sp yang meliputi Macrobrachium pilimanus dan Macrobrachium
sintangense dimana kondisi perairan stasiun 1 yang jernih, bersubstrat batu
berukuran besar dan kecil dengan daerah yang terjal, arus yang deras, pH berkisar
antara 6,5-7.2, dan oksigennya berkisar antara 6,6-6,8. Hal ini menyebabkan jenis
udang ini banyak ditemukan di daerah bagian hulu sungai. Berdasarkan (Hana,
2007), kelangsungan hidup udang sangat dipengaruhi oleh kualitas air yang
menjadi media tempat hidupnya. Bila kualitas air tidak sesuai dengan yang
dibutuhkan, maka kelangsungan hidup udang akan terganggu. Boyd (1990)
menjelaskan udang dapat hidup baik pada pH berkisar antara 6-9.
Pada Gambar 19a menjelaskan informasi mengenai hubungan antara
kelimpahan nekton dengan parameter fisika dan kimia perairan. Semakin dekat
suatu titik variabel pada lingkaran korelasi, semakin besar peranannya terhadap
sumbu. Kelimpahan nekton memiliki panjang sumbu yang hampir sama dengan
variabel DO, namun membentuk sudut yang lebar. Hal ini menjelaskan hubungan
yang berbanding lurus antar parameter (Bengen, 2000), diperkuat dengan nilai
korelasi antara kelimpahan nekton dengan DO sebesar 0.656 (Lampiran 6)
Sebaran stasiun terlihat pada Gambar 19b bahwa stasiun 1 dicirikan
dengan variabel kecerahan, lebar sungai, arus dan alkalinitas. Hal ini terlihat dari
sumbu parameter tersebut yang mengarah pada plot stasiun 1. Adapun stasiun 2
dicirikan dengan kelimpahan nekton dan stasiun 3 dicirikan dengan variabel
kekeruhan, BOD, Nitrat, dan kedalaman sedangkan stasiun 4 tidak memiliki
penciri. Hal ini terlihat tidak ada sumbu parameter yang mengarah pada plot
stasiun 4.
Berdasarkan data korelasi antara kelimpahan nekton dengan parameter
fisika-kimia perairan tidak begitu berkorelasi erat, diduga karena parameter fisika-
kimia di Sungai Cihideung masih dapat di toleril oleh nekton, Hal ini berdasarkan
PP No. 82 tahun 2001 tentang baku mutu tentang kualitas air untuk perikanan,
sehingga variasi parameter fisika-kimia tidak terlalu berpengaruh terhadap
komunitas nekton di Sungai Cihideung.
(a) (b) Gambar 19. Garafik analisis komponen utama
(a) Parameter lingkungan yang diamati (b) Sebaran stasiun berdasarkan parameter yang mempengaruhi
Nekton
Suhu
kedalaman
kecerahan
arus
kekeruhan
lebar
pH
DO
BOD
Nitrat
Alkalinitas
Orthophosphat
-1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0
Factor 1 : 60.57%
-1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
Fact
or 2
: 24
.43%
1
2
3 4
-5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6
Factor 1: 60.57%
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Fact
or 2
: 24.
43%
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Kondisi habitat perairan di Sungai Cihideung tergolong masih baik. Hal ini
berdasarkan standar baku mutu untuk kegiatan perikanan (PP No.82 tahun 2001)
bahwa Sungai Cihideung masih layak digunakan untuk kegiatan perikanan.
Nekton yang tertangkap di Sungai Cihideung terdiri dari 4 ordo, 12 famili,
dan 15 spesies dengan total nekton yang tertangkap sebesar 1133 ekor. Ikan jeler
(Nemacheilus spiniferus) merupakan ikan yang memilki kelimpahan relatif
terbesar. Secara umum, Nilai keanekaragaman sumberdaya hayati nekton di
Sungai Cihideung tergolang sedang sebesar 1,755, dengan nilai indeks dominansi
sebesar 0,403. Hal tersebut menunjukan secara umum Sungai Cihideung tidak ada
spesies nekton yang mendominasi. Interpretasi ini diperkuat oleh nilai indeks
keseragaman yaitu sebesar 0,642 (menunjukan penyebaran jumlah individu tiap
jenis relatif sedang.
5.2. Saran
Perlu dilakukan penelitian yang cendrung lebih spesifik terhadap musim
agar dapat dibandingkan dengan jelas komposisi dan keragaman nekton yang
diperoleh antar musim kemarau dan musim penghujan serta kelimpahan makanan
pada masing-masing jenis nekton sebaiknya ditelaah dengan lebih detail.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, R dan U. M. Tang. 2002. Fisiologi Hewan Air. Penerbit : Uni Press. Pekanbaru. 213 hal.
Ali, I. M. 1994. Struktur Komunitas ikan dan Aspek Biologi Ikan-Ikan Dominan di Danau Sindenreng, Sulawesi Selatan. Karya Ilmiah. Pogram Studi MSP, Fakultas Perikanan, IPB. 160 hal. (Tidak dipublikasikan)
APHA (American Public Health Association). 1989. Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater. 17th ed. APHA, AWWA (American Water Work Association) and WPCF (Water Pollution Control Federation). Washington D. C. 3464 p.
Buchar, T. 1998. Bioekologi Komunitas Ikan di Danau Sabuah, Kabupaten Kapuas Propinsi Kalimantan Tengah. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor (tidak dipublikasikan).
Bengen, D. G. 2000. Tehnik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisk Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. vi+88p
Boyd, C. 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Alabama Agricultural Experiment Station, Aubum University, Birmingham Publishing Co., Birmingham, Alabama. 482 p.
Brower, J. E and J. H Zar. 1977. Field and Laboratory Methods for General Ecology. WM. C. Bown Co. Publ. Dubuque, lowa.
Darajat. 2008. (www.Darajat.blogspot.com/2008/12/batuan-sedimen..htm)
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Penerbit: Kanisius. Yogyakarta. 258 hal.
Effendie, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Penerbit: Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. 155h.
Hartoto, D. I. dan E. Mulyana. 1996. Hubungan Parameter Kualitas air dengan Struktur Ikhtiofauna Perairan Darat Pulau Siberut. Published by LIPI, Jakarta, Indonesia (Bioline International Official Site)
Hadiati, R.2000. Struktur Komunitas Makrozoobenthos sebagai Indikator Biologi Kualitas Lingkungan Perairan Sungai Cihideung, Kabupaten Bogor. Jawa Barat. Skripsi. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB.Bogor. 70h. Tidak dipublikasikan.
Harteman, E. 1998. Afinitas Komunitas Ikan dengan Habitat di Sungai Kapuas, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor (tidak dipublikasikan).
Hariyadi, S., I. N. N. Suryadiputra., B. Widigdo. 1992. Limnologi-Metode Analisa Kualitas Air. Fakultas Perikanan-IPB. Bogor. 122 hal.
Hutapea, D. D. M. P. 2007. Struktur Komunitas Makrozoobenthos dan Parameter Fisika & Kimia untuk menduga kualitas di Sungai Cihideung, Kab. Bogor. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. (Tidak dipublikasikan)
Hana, G. C. 2007. Respon Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) terhadap media bersalinitas rendah. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. (Tidak dipublikasikan)
Krebs C. J. 1972. Ecology, the Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Harper and Rows Publisher. 694 p.
Krebs. C. J. 1989. Ecology Methodology. Hal.293-368. Harper Collins Publishers New York 694 h.
Karsoedi, K. 1989. Telaah Beberapa Parameter Fisika, Kimia, dan Biologi di Sungai Cikaniki, Kawasan PT. Aneka Tambang UP. Emas Pongkor-Leuwiliang. Laporan Praktek Lapangan. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan-IPB. Bogor. 92 hal. (Tidak dipublikasikan)
Kottelat, M., A. J Whitten., S.N. Kartikasari., dan S. Wirjoatmodjo. 1993. Fres Water Fishes of Westren Indonesia and Sulawesi-Ikan Air Tawar indonesia bagian Barat dan Sulawesi. (Edisi Dwi Bahasa). Periplus Edition LTD., Hongkong. 377 p.
Lablink. 2001. (www.Lablink.or.id/hidro/sungai/air-sungai.htm)
Legendre, L dan P. Legendre, 1983. Numerical Ecology. Elsevier Scientific Publish Company. Amsterdam. Netherland. 419h.
Lagler, K. F. 1972. Freshwater Fishery Biology. 2nd Edition. Wm. C.Brown Company Publishers. Dubuque. Lowa. 421h.
Lumban Batu, D. T. F. 1983. Ekologi Umum. Jurusan MSP. FPIK. IPB.
Lovett, D.L. 1981. A Guide to The Shrimps, Prawns, Lobster, and Crabs of Malaysia and Singapura. Faculty of Fhisheries and Marine Science. University Pertanian Malaysia.
Mackentum, K. M. 1969. The Practice of Water Pollution Biology. Univesity State Departemen of The Interior, Federal Water Control Pollution. Administrtion of Technical Support.
McNaughton, S. J and L. L. Wolf. 1973. Ekologi Umum. Penerbit Gajah Mada University Press. Jogyakarta. 1037 hal.
Mason, A. F. 1981. Biologi of Freshwater Pollution. Longman. Newyork. 351 p.
Misra, R. 1968. Ecology Workbook. Oxford & IBH Publishing Co. New Delhi Bombay-Calcutta. 244 p.
Nurcahyadi, W. 2000. Keanekaragaman Sumberdaya Hayati Ikan di DAS Cikiniki dan Cisukawayana, Taman Nasional Gunung Halimun, Jawa Barat. Skripsi. Progaram Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. FPIK. IPB. Bogor (tidak di publikasikan).
Odum, E. P. 1996. Dasar-Dasar Ekologi. Gajah Mada University Press: Yogyakarta.
Odum, E. P. 1971. Fundamental of Ecology. Oxford of University.W.B Saunders Publishing Company Ltd, Japan.
Payne, A. I. 1986. The Ecology of Tropical Lakes and River. John Wiley & Sons, Ghighester, Great Britain
Pescod, N. B.1973. Investigation of Rational Effluent and Stream for Tropical Countries, Asian Institute of Technology. Bangkok. Sgh.
Schiemer, F & M. Zalewski. 1992. The Importance of Riparian Ecotone For Diversity & Productivity or Riverine Fish Comunities. Netherland Journal of Zoology, 42 (2-3) 323-335.
Septiano, E. 2006. Keanekaragaman dan Pola Adaptasi Ikan di Daerah Hulu sungai Ciliwung, Jawa Barat. Skripsi. Bogor : Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK. IPB. Bogor (Tidak dipublikasikan)
Silfiana, R. A. 2009. Penentuan Tingkat Kesehatan Sungai berdasarkan Struktur Komunitas Makroavertebrata di Sungai Cihideung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Skripsi. Progaram Studi MSP. FPIK. IPB. Bogor.
Sinaga, T. P. 1995. Bioekologi Komunitas Ikan di Sungai Banjaran Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor (tidak dipublikasikan).
Vibert, R. 1967. Fishing With Electricity-It’s Application to Biology & Management. FAO-UN, Fishing New (Books) LTD. London. 276 p.
Waarden, M. 1957. Electrical Fishing. FAO Rome 77 h.
Welch, P. S. 1952. Limnology.2rd edition.Mc Graw-Hill Book Company,Inc. New York.539 hal.
Whitton, B. A.1975. River Ecology: Black well Scientific Publ. Oxford 125 p.
Lampiran 1. Foto kondisi stasiun di Sungai Cihideung
Stasiun 1
L
Lampiran 1 (lanjutan)
Stasiun 2
Lampiran 1 (Lanjutan)
Stasiun 3
Lampiaran 1 (Lanjutan)
Stasiun 4
Lampiran 2. Klasifiaksi jenis nekton yang tertangkap di Sungai Cihideung, Bogor tahun 2008
Ordo Famili Spesies Nama Lokal Jumlah Spesies
Jum Agustus September Oktober
St.1 St.2 St.3 St.4 St.1 St.2 St.3 St.4 St.1 St.2 St.3 St.4
Cypriniformes Cyprinidae Puntius binotatus Benteur 1 5 36 7 0 5 4 11 6 1 3 4 83
Rasbora spilotaenia Paray 2 2 3 0 0 5 1 5 1 2 1 0 22
Triacanthidae Trichogaster tricopterus Sepat 0 0 2 0 0 0 1 0 0 0 2 0 5
Balitoridae Nemacheilus spiniferus jeler 0 65 2 0 4 259 7 2 6 118 0 0 463
Cobitidae Pangio oblonga Serewot 0 1 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 4
Pangio anguilaris 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
Hamalopteridae Hypostomus sp. Sapu-sapu 0 1 1 0 0 0 0 1 0 0 2 0 5
Datniodidae Dermogenys pussila Julung-julung 0 0 3 2 0 0 4 0 0 0 2 0 11
Perciformes Mastacembellidae Macrognathus maculatus Berod 0 0 3 1 0 1 0 0 1 0 0 0 6
Channidae Channa striata Gabus 0 0 1 2 0 0 0 2 0 0 0 2 7
Cichlidae Oreochromis niloticus Nila 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 2 4
Siluriformes Bagridae Mystus nemerus Keting 2 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 3
Sisoridae Glypthotorax platypogonoides Kehkel 1 0 0 0 2 0 0 0 1 0 0 0 4
Decapoda Palaemonidae Macrobrnchium pilimanuss Udang 47 20 18 24 43 15 13 22 35 15 13 17 282
Macrobrachium sintangensis Udang 31 15 11 16 22 8 7 13 45 17 19 29 233
Jumlah Total 84 110 80 52 71 293 37 58 96 156 42 54 1133
60
Lampiran 3 : Foto jenis-jenis nekton di Sungai Cihideung
Oreochromis niloticus Nama Lokal : Nila
Pangio Oblonga Nama Lokal : Serewot
Glypthotorax platypogonoides Nama Lokal : Kehkel
Puntius binotatus Nama Lokal : Beunteur
Trochogaster trocopterus Nama Lokal : Sepet
Channa striata Nama Lokal : Gabus
Rasbora spilitaenia Nama Lokal : Paray
Dermogenis pussila Nama Lokal : Julung-julung
Mystus nemurus Nama Lokal : Keting
Hypostomus sp Nama Lokal : Sapu-sapu
Macrognathus maculatus Nama Lokal : Berod
Nemacheilus spiniferus Nama Lokal : Jeler
Macrobrachium sintangense Macrobrachium pilimanus
Pangio anguilaris
Lampiran 4 : Nilai indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dan dominansi (C)
Spesies Indek Keanekaragaman
St.1 St.2 St.3 St.4 St.1 St.2 St.3 St.4 St.1 St.2 St.3 St.4
Puntius binotatus 0.076099 0.202701 0.518401 0.389454 0 0.100219 0.346968 0.454897 0.25 0.046701 0.271954 0.27814
Rasbora spilotaenia 0.128389 0.105116 0.177636 0 0 0.100219 0.140796 0.304832 0.068593 0.080582 0.128389 0
Trichogaster tricopterus 0 0 0.133048 0 0 0 0.140796 0 0 0 0.209158 0
Nemacheilus spiniferus 0 0.448495 0.133048 0 0.233789 0.157299 0.454451 0.167517 0.25 0.304651 0 0
Pangio oblonga 0 0.061649 0 0 0 0 0 0 0 0.109624 0 0
Pangio anguilaris 0 0.061649 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Hypostomus sp. 0 0.061649 0.079024 0 0 0 0 0.101 0 0 0.209158 0
Dermogenys pussila 0 0 0.177636 0.180786 0 0 0.346968 0 0 0 0.209158 0
Macrognathus maculatus 0 0 0.177636 0.109624 0 0.027968 0 0 0.068593 0 0 0
Channa striata 0 0 0.079024 0.180786 0 0 0 0.167517 0 0 0 0.176107
Oreochromis niloticus 0 0 0 0 0 0 0 0.167517 0 0 0 0.176107
Mystus nemurus 0.128389 0 0 0 0 0 0 0 0.068593 0 0 0
G. platypogonoides 0.076099 0 0 0 0.145063 0 0 0 0.068593 0 0 0
M. pilimanus 0.468729 0.447169 0.484201 0.514836 0.438165 0.219515 0.530194 0.530484 0.530716 0.324857 0.523676 0.52493
M. sintangensis 0.530735 0.391973 0.393593 0.523212 0.52376 0.141836 0.454451 0.483587 0.512395 0.348493 0.5177 0.481672
Total 1.408439 1.780401 2.353249 1.898698 1.340777 0.747057 2.414624 2.37735 1.817485 1.214909 2.069193 1.636956
Lampiran 4 (Lanjutan)
Indeks Dominansi
St.1 St.2 St.3 St.4 St.1 St.2 St.3 St.4 St.1 St.2 St.3 St.4
0.000142 0.002066 0.2025 0.018121 0 0.000291 0.011687 0.035969 0.003906 4.11E-05 0.005102 0.005487
0.000567 0.000331 0.001406 0 0 0.000291 0.00073 0.007432 0.000109 0.000164 0.000567 0
0 0 0.000625 0 0 0 0.00073 0 0 0 0.002268 0
0 0.349174 0.000625 0 0.003174 0.781384 0.035793 0.001189 0.003906 0.572156 0 0
0 8.26E-05 0 0 0 0 0 0 0 0.00037 0 0
0 8.26E-05 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 8.26E-05 0.000156 0 0 0 0 0.000297 0 0 0.002268 0
0 0 0.001406 0.001479 0 0 0.011687 0 0 0 0.002268 0
0 0 0.001406 0.00037 0 1.16E-05 0 0 0.000109 0 0 0
0 0 0.000156 0.001479 0 0 0 0.001189 0 0 0 0.001372
0 0 0 0 0 0 0 0.001189 0 0 0 0.001372
0.000567 0 0 0 0 0 0 0 0.000109 0 0 0
0.000142 0 0 0 0.000793 0 0 0 0.000109 0 0 0
0.313067 0.033058 0.050625 0.213018 0.366792 0.002621 0.123448 0.143876 0.132921 0.009246 0.095805 0.099108
0.136196 0.018595 0.018906 0.094675 0.096013 0.000745 0.035793 0.050238 0.219727 0.011875 0.204649 0.288409
0.45068 0.403471 0.277813 0.329142 0.466772 0.785344 0.219869 0.241379 0.360894 0.593853 0.312925 0.395748
Lampiran 4 (Lanjutan)
Indek Keseragaman H' s log2(s) E
Sampling 1
stasiun 1 1.408439 6 2.584963 0.544859
stasiun 2 1.780401 8 3 0.593467
stasiun 3 2.353249 10 3.321928 0.708398
stasiun 4 1.898698 6 2.584963 0.734517
Sampling 2
stasiun 1 1.340777 4 2 0.670388
stasiun 2 0.747057 6 2.584963 0.289001
stasiun 3 2.414624 7 2.807355 0.860106
stasiun 4 2.37735 8 3 0.79245
Sampling 3
stasiun 1 1.817485 8 3 0.605828
stasiun 2 1.214909 6 2.584963 0.469991
stasiun 3 2.069193 7 2.807355 0.737061
stasiun 4 1.636956 5 2.321928 0.704998
Total 0.642589
Lampiran 5. Alat electrofishing
Pegangan batang besi Tas electrofishing
Aki basah
Batang besi (katoda) Box tempat aki)
Serok
Electrofishing
Lampiran 6 . Matrik korelasi (PCA)
Nekton Suhu Kdlm Kcrh arus Kkruh lebar pH DO BOD Nitrat Alkli Ortho
Nekton 1
Suhu -0.377 1
kedalaman -0.930 0.644 1
kecerahan 0.355 -0.994 -0.605 1
arus -0.071 -0.663 -0.047 0.736 1
kekeruhan -0.638 0.950 0.821 -0.946 -0.578 1
lebar -0.031 -0.844 -0.334 0.807 0.435 -0.657 1
pH 0.421 -0.199 -0.238 0.284 0.604 -0.374 -0.320 1
DO 0.656 -0.855 -0.887 0.803 0.193 -0.891 0.728 -0.034 1
BOD -0.654 0.907 0.788 -0.921 -0.652 0.984 -0.543 -0.534 -0.803 1
Nitrat -0.554 0.830 0.819 -0.768 -0.133 0.828 -0.791 0.184 -0.988 0.717 1
Alkalinitas -0.740 -0.239 0.581 0.296 0.716 0.014 0.397 0.050 -0.258 -0.009 0.218 1
Orthophosphat 0.094 0.885 0.238 -0.885 -0.710 0.697 -0.942 0.046 -0.611 0.634 0.642 -0.605 1
Lampiran 7 : Data pengukuran parameter fisika-kimia perairan
Parameter Kimia Perairan
pH stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4
Sempling 1 6.5 6.3 6.3 6.7 Sempling 2 6.5 6.81 6.58 5.36 Sempling 3 7.2 7.1 7.21 7.31
Rata2 6.7 6.7 6.7 6.5
stdev 0.404 0.405 0.466 0.998
DO (mg/l) stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4
Sempling 1 6.6 7.91 5.54 6,57 Sempling 2 7.6 6.85 5.64 6.87 Sempling 3 6.88 6.91 4.56 6.24
Rata2 7.03 7.22 5.25 6.56
stdev 0.516 0.595 0.597 0.445
BOD (mg/l) stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4
Sempling 1 1.24 1.27 1.79 1.64 Sempling 2 1.15 1.25 1.98 1.45 Sempling 3 1.45 1.65 2.12 2.68
Rata2 1.28 1.39 1.96 1.92
stdev 0.15 0.23 0.17 0.66
Alkalinitas (mg/l) stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4
Sempling 1 65 67.5 57 60 Sempling 2 57.3 50.2 60 58 Sempling 3 67.4 50 65 60.9
Rata2 63.23 55.9 60.67 59.63
stdev 5.28 10.05 4.04 1.48
Orthophosphat (mg/l) stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4
Sempling 1 0.109 0.251 0.203 0.214 Sempling 2 0.102 0.123 0.167 0.108 Sempling 3 0.121 0.232 0.318 0.207
Rata2 0.111 0.202 0.229 0.176
stdev 0.01 0.07 0.08 0.06
NO3-N stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4
Sempling 1 0.626 0.648 0.71 0.666 Sempling 2 0.201 0.235 0.363 0.258 Sempling 3 0.632 0.562 0.667 0.573
Rata2 0.486 0.482 0.580 0.499
Stdev 0.247 0.218 0.189 0.214
Parameter Fisika Perairan
Suhu Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Sempling 1 26.5 27 27.5 27 Sempling 2 26.3 27 27.3 26.7 Sempling 3 26 26 27 27
Rt2 26.3 26.7 27.3 26.9
Stdev 0.25 0.58 0.25 0.17
Kedalaman (cm) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Sempling 1 23.5 15 25.5 23.5 Sempling 2 24 15 26.5 25 Sempling 3 32.25 32.5 47.5 39.5
Rt2 26.6 20.8 33.2 29.3
Stdev 4.914 10.104 12.423 8.836
Kecerahan Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Sempling 1 100 85 75 80 Sempling 2 100 100 85 95 Sempling 3 95 85 80 80
Rt2 98 90 80 85
Stdev 2.89 8.66 5.00 8.66
Lampiran 7 (Lanjutan)
Arus Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4
Sempling 1 0.541 0.267 0.351 0.235 Sempling 2 0.421 0.358 0.345 0.214 Sempling 3 0.531 0.456 0.457 0.521
Rt2 0.50 0.36 0.38 0.32
Stdev 0.07 0.09 0.06 0.17
Kekeruhan Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Sempling 1 19.5 20 35 29 Sempling 2 10 12 16 18 Sempling 3 15 17 24 20
Rt2 14.8 16.3 25.0 22.3
Stdev 4.75 4.04 9.54 5.86
Lebar Sungai Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Sempling 1 23.4 13.3 7.2 18.5 Sempling 2 22.4 14.3 7.5 18.5 Sempling 3 23.3 14.5 8.4 20.5
Rt2 23.0 14.0 7.7 19.2
Stdev 0.55 0.64 0.62 1.15
Lampiran 7 (Lanjutan)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pandeglang, Kabupaten
Pandeglang, Propinsi Banten, pada tanggal 11 September
1985 sebagai anak kedua dari tujuh bersaudara, dari ayah
bernama Abd. Aziz, dan ibu bernama E. Holilatusholihah.
Pertama kali penulis mengenyam pendidikan di SDN
Kadumerak 1 pada tahun 1992-1998. Tahun 1997-2001,
penulis melajutkan pendidikan di SLTP N 1 Cadasari-Pandeglang dan dilajutkan
ke SMU N 3 Pandeglang dari tahun 2001-2004.
Pada tahun yang sama, penulis di terima di Institut Pertanian Bogor
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Departemen
Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.
Selama masa Pendidikan di IPB, penulis pernah ikut serta dalam
kepengurusan di Himpro HIMASPER, Rohis Departemen MSP dan mengikuti
kegiatan luar diantaranya LPQ (Lembaga Pembelajaran Al-Quran) dan Ikatan
Keluarga Mahasiswa Banten (IKMB)
Dalam menyelesaikan tugas akhir, penulis melakukan penelitian dan
menyusun skripsi dengan judul ”Habitat dan Struktur Komunitas Nekton di
Sungai Cihideung, Bogor, Jawa Barat” dibimbing oleh Dr. Ir. M. Mukhlis
Kamal, M.Sc dan Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc.