Post on 30-Jan-2018
TUGAS TERSTRUKTURPENGELOLAAN SUMBER DAYA LAHAN
LAHAN GAMBUT DAN PENGELOLAANNYA UNTUK PENGEMBANGAN PERTANIAN
Oleh:
Gregorius Widodo Adhi Prasetyo A2A015009
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGIUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIANPROGRAM STUDI PASCASARJANA AGRONOMI
PURWOKERTO2016
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan makin meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan pangan
manusia berimbas pada makin meningkatnya terjadinya alih fungsi lahan dari lahan
pertanian menjadi lahan pemukiman. Hal ini menyebabkan usaha budidaya pertanian
diarahkan pada lahan-lahan marginal termasuk di dalamnya lahan gambut (Widyati,
2011) yang sementara ini tidak dimanfaatkan dengan optimal. Lahan marginal
memiliki potensi besar untuk pengembangan pertanian mengingat luas dan
penyebarannya di Indonesia. Lahan marginal adalah lahan sub-optimum yang
memiliki kesuburanan tanah yang rendah. Lahan marginal di Indonesia dapat
temukan baik pada lahan basah maupun lahan kering. Lahan marginal pada lahan
basah berupa lahan gambut, lahan sulfat masam dan rawa pasang surut yang memiliki
luas 24 juta ha, sementara pada lahan kering berupa tanah Ultisol seluas 47,5 juta ha
dan Oxisol 18 juta ha (Suprapto, 2002).
Gandasasmita dan Barus (2012) menyatakan bahwa Indonesia memiliki lahan
gambut sangat luas yaitu 50% dari luas lahan gambut tropika dunia. Suwondo et al.,
(2011) menambahkan bahwa luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan mencapai
20,6 juta ha. Hal ini berarti bahwa luas lahan gambut adalah sekitar 10% luas daratan
Indonesia (Ratmini, 2012). Lokasi lahan gambut tersebar luas terutama di Pulau
Sumatera, Kalimantan dan Papua.
Lahan gambut tergolong lahan marginal dan fragile dengan produktivitas
tanah yang rendah dan sangat mudah mengalami kerusakan. Pengembangan pertanian
pada lahan gambut menghadapi banyak kendala yang berkaitan dengan sifat tanah
gambut. Mawardi et al. (2001) menyatakan bahwa secara umum sifat kimia tanah
gambut didominasi oleh asam-asam organik yang merupakan suatu hasil akumulasi
sisa-sisa tanaman. Asam organik yang dihasilkan selama proses dekomposisi tersebut
merupakan bahan yang bersifat meracuni bagi tanaman, sehingga mengganggu proses
metabolisme tanaman yang akan berakibat langsung terhadap produktifitasnya.
Sementara itu secara fisik tanah gambut bersifat lebih berpori dibandingkan tanah
mineral sehingga hal ini akan mengakibatkan cepatnya pergerakan air pada gambut
yang belum terdekomposisi dengan sempurna sehingga jumlah air yang tersedia bagi
tanaman menjadi sangat terbatas.
Potensi lahan gambut sebagai lahan pertanian di Indonesia cukup luas
sekitar 6 juta ha. Pemanfaatannya sebagai lahan pertanian memerlukan perencanaan
yang cermat dan teliti, penerapan teknologi yang sesuai, dan pengelolaan yang tepat
karena ekosistemnya yang marginal dan fragile. Lahan gambut sangat rentan
terhadap kerusakan lahan, yaitu kerusakan fisik (subsiden dan irriversible drying)
serta kerusakan kimia (defisiensi hara dan unsur beracun). Pengembangan pertanian
di lahan gambut menghadapi kendala antara lain tingginya asam-asam organik.
Pengaruh buruk asam-asam organik yang beracun dapat dikurangi dengan teknologi
pengelolaan air dan menambahkan bahan-bahan yang banyak mengandung kation
polivalen seperti Fe, Al, Cu dan Zn (Ratmini, 2012).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di muka, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan lahan gambut untuk
pengembangan pertanian sebagai berikut:
1. Apakah yang disebut sebagai lahan gambut?
2. Mengapa lahan gambut digolongkan sebagai salah satu jenis lahan marginal
dalam pengembangan pertanian?
3. Bagaimanakah proses pembentukan lahan gambut yang ada di Indonesia?
4. Bagaimanakah distribusi atau persebaran lahan gambut yang ada di Indonesia?
5. Bagaimanakah karakteristik atau sifat fisik dan kimia dari lahan gambut?
6. Kendala atau hambatan apakah yang dihadapi dalam penggunaan lahan gambut
untuk pengembangan budidaya pertanian?
7. Bagaimanakah cara mengelola lahan gambut yang baik dan berkelanjutan untuk
usaha pengembangan pertanian?
C. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah pengelolaan lahan gambut untuk pengembangan
pertanian ini antara lain:
1. Memenuhi tugas Mata Kuliah Pengelolaan Sumber Daya Lahan pada Program
Studi Pascasarjana Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto.
2. Mengetahui apakah yang disebut sebagai lahan gambut.
3. Mempelajari proses pembentukan lahan gambut yang ada di Indonesia.
4. Mempelajari karakteristik atau sifat lahan gambut sebagai salah satu jenis lahan
marginal.
5. Mengetahui penyebaran atau distribusi lahan gambut yang ada di wilayah
Indonesia.
6. Mengetahui kendala pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya pertanian.
7. Mempelajari metode pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan untuk
pengembangan budidaya pertanian.
II. PEMBAHASAN
A. Lahan Gambut
Menurut Napitupulu dan Mudiantoro (2015), lahan gambut tergolong sebagai
lahan marginal dan mudah mengalami kerusakan (fragile) yang memiliki tingkat
produktivitas yang rendah. Lebih lanjut dikatakan bahwa lahan gambut merupakan
lahan yang tersusun atas tanah yang jenuh air dan bahan organik, yaitu sisa-sisa
tanaman dan jaringan tanaman yang melapuk dengan ketebalan lebih dari 50 cm.
Wetlands (2007) menerangkan bahwa dalam taksonomi tanah atau sistem klasifikasi
baru lahan gambut disebut sebagai lahan yang tersusun atas tanah Histosol (histos:
jaringan).
Lahan gambut dalam sistem klasifikasi tanah nasional merupakan lahan yang
tersusun atas tanah Organosol yaitu tanah yang tersusun dari bahan organik (Dudal
dan Soepraptohardjo, 1957) . Hardjowigeno dan Abdullah (1987) mendefinisikan
lahan gambut sebagai lahan yang tersusun atas tanah yang terbentuk dari timbunan
sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah mengalami pelapukan maupun
yang belum mengalami dekomposisi. Timbunan ini terus bertambah karena proses
dekomposisinya terhambat karena kondisi anaerob dan/ atau kondisi lingkungan
lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai.
Lahan gambut termasuk dalam golongan lahan marginal atau sub-optimal. Hal
ini dikarenakan mutunya yang rendah sebagai akibat adanya faktor pembatas jika
digunakan untuk suatu keperluan tertentu termasuk usaha pengembangan budidaya
pertanian. Faktor pembatas tersebut dapat diatasi dengan memberikan beberapa
masukan (input) atau biaya yang harus dikeluarkan untuk meningkatkan
produktifitasnya. Tanpa masukan yang berarti maka budidaya pertanian di lahan ini
tidak akan memberikan keuntungan seperti yang diharapkan (Yuwono, 2009).
B. Pembentukan Lahan Gambut
Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan
tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan transportasi. Gambut tropis,
khususnya di Indonesia, mengandung sangat banyak kayu-kayu dengan tingkat
pertumbuhan gambut per tahun relatif tinggi. Salah satu ciri gambut tropis dalam
cekungan di Indonesia adalah bentuk kubah (dome) yang menipis di pinggiran (edge)
dan menebal di pusat cekungan. Ketebalan gambut pada lahan ini dapat mencapai
lebih dari 15 m (Wahyunto et al., 2004).
Menurut Noor (2001), proses pembentukan gambut dimulai dari adanya
pendangkalan danau yang secara perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi
lahan basah. Tanaman yang mati dan melapuk, secara bertahap membentuk lapisan
yang kemudian menjadi lapisan transisi antara lapisan gambut dengan substratum
(lapisan di bawahnya) berupa tanah mineral. Tanaman berikutnya tumbuh pada
bagian yang lebih tengah dari danau dangkal ini dan secara bertahap membentuk
lapisan-lapisan gambut, sehingga danau tersebut menjadi penuh (Gambar 1a dan 1b).
Gambar 1. Proses pembentukan gambut di Indonesia (Sumber: Noor, 2001)
Lebih lanjut dikatakan bahwa bagian gambut yang tumbuh mengisi danau
dangkal tersebut dikenal sebagai gambut topogen, karena proses membentukannya
disebabkan oleh topografi daerah cekungan. Gambut topogen umumnya relatif subur
(eutrofik) karena adanya pengaruh tanah mineral. Bahkan pada waktu tertentu,
misalnya jika ada banjir besar, terjadi pengayaan atau penambahan mineral yang
berpengaruh terhadap peningkatan kesuburan gambut tersebut. Tanaman tertentu
masih dapat tumbuh subur di atas gambut topogen. Tanaman yang tumbuh dan mati
di atas gambut topogen akan membentuk lapisan gambut baru, yang lama kelamaan
akan membentuk kubah (dome) gambut yang mempunyai permukaan cembung
(Gambar 1c). Gambut yang terbentuk di atas gambut topogen dikenal dengan gambut
ombrogen, yang proses pembentukannya dipengaruhi oleh air hujan. Gambut
ombrogen mempunyai kesuburan yang lebih rendah dibandingkan dengan gambut
topogen karena hampir tidak ada pengkayaan mineral.
C. Karakteristik Lahan Gambut di Indonesia
Menurut Mulyani dan Noor (2011), karakteristik lahan gambut di Indonesia
sangat bervariasi tergantung pada tingkat kematangan dan kesuburannya, kedalaman
gambut serta lingkungan pembentukannya. Oleh karenanya, lahan gambut yang
berada di ketiga pulau besar di Indonesia, yaitu di Sumatera, Kalimantan dan Papua
karakteristik sifat kimianya agak sedikit berbeda, terkait dengan ada tidaknya bahan
pengkayaan.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa lahan gambut yang terbentuk di Pulau Sumatera
pada umumnya mendapat pengkayaan dari bahan vulkanik pada bagian atasnya yang
berasal dari Pegunungan Bukit Barisan, baik secara langsung maupun hasil dari
sedimentasi sungai dari bagian hulunya. Secara umum sifat kimia lahan gambut di
Pulau Sumatera relatif lebih baik dibanding gambut di Kalimantan ataupun Papua.
(Tabel 1).
Tabel 2. Sifat tanah gambut di Sumatera dan Kalimantan.
Berdasarkan Tabel 2 di atas terlihat bahwa kandungan unsur hara seperti
kandungan P2O5 dan K2O total, kation-kation dapat tukar (Ca, Mg, K, Na), dan
kejenuhan basa di Sumatera lebih tinggi dibanding dari Kalimantan. Secara umum
sifat fisik dan kimia lahan gambut yang ada di wilayah Indonesia adalah:
1. Sifat Fiik
Karakteristik fisik gambut yang penting dalam pemanfaatannya untuk
pertanian meliputi kadar air, berat isi (bulk density, BD), daya menahan beban
(bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan mengering tidak balik
(irriversible drying). Gambut tropis umumnya berwarna coklat kemerahan hingga
coklat tua (gelap) tergantung dari tahapan dekomposisinya. Kandungan air yang
tinggi dan kapasitas memegang air 15-30 kali dari berat kering, rendahnya bulk
density (0,05-0,4 g/cm3) dan porositas total diantara 75-95% menyebabkan
terbatasnya penggunaan mesin-mesin pertanian dan pemilihan komoditas yang
akan diusahakan (Ambak dan Melling, 2000). Tiga komoditas utama yaitu kelapa
sawit, karet dan kelapa di Malaysia cenderung pertumbuhannya miring bahkan
ambruk sebagai akibat akar tidak mempunyai tumpuan tanah yang kuat (Singh et
al, 1986).
Sifat lain yang merugikan adalah apabila gambut mengalami pengeringan
yang berlebihan sehingga koloid gambut menjadi rusak. Terjadi gejala kering tak
balik (irreversible drying) dan gambut berubah sifat seperti arang sehingga tidak
mampu lagi menyerap hara dan menahan air (Subagyo et al., 1996). Gambut akan
kehilangan air tersedia setelah 4-5 minggu pengeringan dan ini mengakibatkan
gambut mudah terbakar.
2. Sifat-sifat Kimia
Ketebalan horison organik, sifat subsoil dan frekuensi luapan air sungai
sangat mempengaruhi komposisi kimia gambut. Pada lahan gambut yang sering
mendapat luapan sungai memiliki kandungan mineral tanah yang semakin tinggi
sehingga lahan ini relatif lebih subur. Lahan gambut tropis mempunyai kandungan
mineral tanah yang rendah dengan kandungan bahan organik lebih dari 90%.
Menurut Andriesse (1988), secara kimiawi gambut bereaksi masam dengan pH di
bawah 4. Gambut dangkal memiliki pH lebih tinggi yaitu 4,0 sampai 5,1 dan
gambut dalam memiliki pH 3,1 sampai 3,9. Kandungan N total pada lahan gambut
ini tergolong tinggi, namun tidak tersedia bagi tanaman karena rasio C/N yang
tinggi. Kandungan unsur mikro pada lahan gambut khususnya Cu, B dan Zn juga
tergolong sangat rendah (Subagyo et al., 1996).
Noor (2011) menjelaskan bahwa karakteristik kimia lahan gambut sangat
ditentukan oleh kandungan mineral, ketebalan, jenis mineral pada substratum
(dasar gambut), dan tingkat dekomposisi gambut. Di Indonesia, lahan gambut
umumnya mempunyai tingkat kemasaman relatif tinggi yaitu memiliki pH antara 3
sampai 4. Umumnya mempunyai kation basa seperti Ca, Mg, K, dan Na sangat
rendah, pH tanah sangat masam, kandungan asam organik tinggi yang sebagian
bersifat racun, KTK tinggi yang sebagian besar dibentuk oleh muatan tergantung
pH, kejenuhan basa sangat rendah, mampu membentuk ikatan kompleks dengan
kation polivalen, kadar hara makro dan mikro sangat rendah yang sangat
ditentukan oleh kandungan mineral, serta penyimpan karbon yang sangat besar.
Tingkat kesuburan tanah gambut sangat ditentukan oleh ketebalan dan kematangan
gambut, jenis substratum di bawah gambut, bahan pembentuk gambut, kandungan
mineral, dan tingkat pengkayaan yang diperoleh dari limpasan air pasang. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa untuk tanaman padi, semakin tebal gambut lebih
dari 80 cm maka semakin rendah hasil padi yang dicapai.
D. Persebaran Lahan Gambut di Indonesia
Menurut Subiksa dan Wahyunto (2011), lahan gambut di Indonesia terdapat
di dataran rendah dan dataran tinggi. Sebagian besar lahan rawa gambut terdapat di
dataran rendah dan hanya sebagian kecil yang terdapat di dataran tinggi. Lebih lanjut
dikatakan bahwa lahan rawa gambut di dataran rendah terdapat di kawasan rawa
pasang surut dan rawa pelembahan, terletak di antara dua sungai besar pada
fisiografi/landform rawa belakang sungai (backswamp), rawa belakang pantai
(swalle), dataran pelembahan (closed basin), dan dataran pantai (coastal plain).
Keberadaan lahan gambut di Indonesia tersebar di tiga pulau besar, yaitu
Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Beberapa referensi besarnya distribusi lahan
gambut di Indonesia terlihat pada Tabel 2 dan Gambar 2.
Tabel 2. Luas dan Sebaran Lahan Gambut di Indonesia
Gambar 2. Peta Sebaran Lahan Gambut di Indonesia
D. Kendala Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Pengembangan Budidaya Pertanian
Pengembangan lahan gambut sebagai lahan pertanian dihadapkan pada
berbagai kendala baik fisik, kimia maupun biologis. Secara teoritis permasalahan
pertanian lahan gambut sesungguhnya disebabkan oleh drainase yang jelek,
kemasaman gambut tinggi, tingkat kesuburan dan kerapatan lindak gambut yang
rendah. Kemasaman gambut yang tinggi dan ketersediaan hara serta kejenuhan basa
(KB) rendah. (Sagiman, 2007).
Oleh karena itu, lahan gambut merupakan lahan yang sangat fragile dan
tingkat produktivitasnya sangat rendah. Kendala sifat fisik gambut yang paling utama
adalah sifat kering tidak balik (irriversible drying), sehingga gambut tidak dapat
berfungsi lagi sebagai koloid organik. Produktivitas lahan gambut yang rendah karena
rendahnya kandungan unsur hara makro maupun mikro yang tersedia untuk tanaman,
tingkat kemasaman tinggi, serta rendahnya kejenuhan basa. Tingkat marginalitas dan
fragilitas lahan gambut sangat ditentukan oleh sifat-sifat gambut yang inherent, baik
sifat fisik, kimia maupun biologisnya.
E. Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pengembangan Budidaya Pertanian
Pemanfaatan lahan gambut untuk pengembangan budidaya pertanian
dilakukan dengan melakukan beberpa tindakan pengelolaan yang bertujuan untuk
mengurangi faktor penghambat dari lahan gambut baik faktor fisik maupun kimia
tanah sehingga lahan tersebut mampu menyediakan kondisi yang optimal bagi
pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang akan dibudidayakan. Pengembangan
pertanian pada lahan gambut ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu faktor kesuburan
alami gambut dan tingkat manajemen usaha tani yang akan diterapkan. Pengelolaan
lahan gambut pada tingkat petani, dengan pengelolaan usaha tani termasuk tingkat
rendah (low inputs) sampai sedang (medium inputs), akan berbeda dengan
produktivitas lahan dengan tingkat manajemen tinggi yang dikerjakan oleh swasta
atau perusahaan besar (Subagyo et al, 1996)
Abdurachman dan Suriadikarta (2000) menyatakan bahwa pada tingkat
manajemen sedang, pengelolaan lahan gambut dilakukan melalui perbaikan sifat
tanah dengan penggunaan input yang terjangkau oleh petani seperti pengolahan tanah,
tata air mikro, pemupukan, pengapuran dan pemberantasan hama dan penyakit.
Tindakan pengelolaan lahan gambut untuk pengembangan pertanian dilakukan
melalui beberapa tindakan sebagai berikut:
1. Pengelolaan air
a. Pengelolaan Drainase Lahan
Drainase merupakan prasyarat untuk usaha pertanian, walaupun hal
tersebut bukanlah suatu yang mudah untuk dilakukan mengingat sifat dari
gambut yang bisa mengalami penyusutan dan kering tidak balik akibat drainase,
sehingga sebelum mereklamasi lahan gambut perlu diketahui sifat spesifik
gambut, peranan dan fungsinya bagi lingkungan.
Drainase yang baik untuk pertanian gambut adalah drainase yang tetap
mempertahankan batas air kritis gambut akan tetapi tetap tidak mengakibatkan
kerugian pada tanaman yang akan berakibat pada hasil. Intensitas drainase
bervariasi tergantung kondisi alami tanah dan curah hujan. Curah hujan yang
tinggi yaitu antara 4000 sampai 5000 mm per tahun membutuhkan sistem
drainase untuk meminimalkan pengaruh banjir (Ambak dan Melling, 2000).
Setelah drainase dan pembukaan lahan gambut, umumnya terjadi
subsidence yang relatif cepat yang akan berakibat menurunya permukaan tanah.
Subsidence dan dekomposisi bahan organik dapat menimbulkan masalah
apabila bahan mineral di bawah lapis gambut terdiri dari lempeng pirit atau
pasir kuarsa. Kerapatan lindak yang rendah berakibat kemampuan menahan
(bearing capacity) tanah gambut juga rendah, sehingga pengolahan tanah sulit
dilakukan secara mekanis atau dengan ternak. Kemampuan menahan yang
rendah juga juga merupakan masalah bagi untuk tanaman pohon-pohonan atau
tanaman semusim yang rentan terhadap kerebahan (lodging) (Radjagukguk,
1990).
Usaha perbaikan drainase untuk tanaman perkebunan dilakukan dengan
pembuatan kanal primer, kanal sekunder dan kanal tersier. Hasil penelitian
sementara di PT. RSUP menunjukkan bahwa kelapa hybrida PB 121 pada umur
4 tahun (4-5 tahun setelah tanam adalah 1,5 ton kopra/ha). Angka ini sementara
5 kali lebih besar dari hasil yang dicapai di negara asalnya Afrika dimana PB
121 pada umur 4 tahun menghasilkan 0,26 ton kopral/ha (Thampan, 1981
dalam Sudradjat dan Qusairi, 1992).
b. Pengaturan Irigasi
Ketika batas kritis air dapat dikontrol pada level optimum untuk
pertumbuhan tanaman, pengelolan air bukan merupakan suatu masalah kecuali
pada tahap awal pertumbuhan tanaman. Jika batas kritis air tidak dapat
terkontrol dan lebih rendah dari kebutuhan air semestinya, irigasi perlu
dilakukan terutama bagi tanaman tertentu. Hal ini penting untuk memasok
kebutuhan air tanaman dan menghindari sifat kering tidak balik. Sayuran
berdaun banyak, menunjukkan layu pada keadaan udara panas. Kondisi ini
mungkin merupakan pengaruh dari dangkalnya profil tanah yang dapat dicapai
oleh akar tanaman dan kehilangan air akibat transpirasi yang lebih cepat
daripada tanah mineral (Ambak dan Melling, 2000).
Tanaman mempunyai tahapan pertumbuhan yang sensitif terhadap stress
air yang berbeda. Pengetahuan tentang tahapan tersebut akan mempermudah
irigasi pada saat yang tepat sehingga mengurangi terjadinya stress air dan
penggunaan air yang optimum. Untuk penanaman tanaman semusim,
pengaturan irigasi harus mempertimbangkan saat dan kebutuhan tanaman dan
disesuaikan dengan ketersediaan air tanah diatas water table, jumlah air hujan,
distribusi dan jumlah evapotranspirasi (Lucas,1982).
Tabel 3. Daftar kebutuhan air tanaman yang diusahakan di lahan gambut
Tanaman Kebutuhan air (cm)
Sumber
Kelapa Sawit 50-75 Singh et al (1986)Nanas 60-90 Tay (1980); Zahari et al (1989)Sagu 20-40 Melling et al, 1998Cassava 15-30 Tan dan Ambak (1989); Zahari et al, (1989)Kacang Tanah 65-85 Ambak et al, (1992)Kedelai 25-45 Ambak et al (opcit)Jagung 75 Ambak et al, (opcit)Ubi jalar 25 Ambak et al, (opcit)Asparagus 25 Ambak et al, (opcit)Sayuran 30-60 Leong dan Ambak, (1987)
Sumber : Ambak dan Melling (2000)
c. Penggenangan
Untuk meminimalkan terjadinya subsidence, langkah yang bisa
dilakukan adalah tetap mempertahankan kondisi tergenang tersebut dengan
mengadopsi tanaman-tanaman sejenis hidrofilik atau tanaman toleran air yang
memberikan nilai ekonomi seperti halnya Eleocharis tuberosa, bayam cina
(Amaranthus hybridus), kangkung (Ipomoea aquatica) dan seledri air. Di
Florida ketika tanaman tertentu tidak bisa dibudidayakan karena perubahan
musim, penggenangan dilakukan dan digunakan untuk budidaya tanaman air
tersebut (Ambak dan Melling, 2000).
2. Pengelolaan Tanah
Tanah gambut sebenarnya merupakan tanah yang baik untuk pertumbuhan
tanaman bila ditinjau dari jumlah pori-pori yang berkaitan dengan pertukaran
oksigen untuk pertumbuhan akar tanaman. Kapasitas memegang air yang tinggi
daripada tanah mineral menyebabkan tanaman bisa berkembang lebih cepat. Akan
tetapi dengan keberadaan sifat inheren yang lain seperti kemasaman yang tinggi,
kejenuhan basa yang rendah dan miskin unsur hara baik mikro maupun makro
menyebabkan tanah gambut digolongkan sebagai tanah marginal (Limin et al,
2000). Untuk itulah perlunya usaha untuk mengelola tanah tersebut dengan
semestinya.
a. Pembakaran
Pembakaran merupakan cara tradisional yang sering dilakukan petani
untuk menurunkan tingkat kemasaman tanah gambut. Terjadinya pembakaran
bahan organik menjadi abu berakibat penghancuran tanah serta menurunkan
permukaan tanah. Pembakaran berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan
tanaman pada tahun pertama dan meningkatkan serapan P tanaman, namun
akan menurunkan serapan Ca dan Mg (Mawardi et al, 2001).
b. Penambahan Bahan Pembenah Tanah
Pemberian pupuk dan amandemen dalam komposisi dan takaran yang
tepat dapat mengatasi masalah keharaan dan kemasaman tanah gambut. Unsur
hara yang umumnya perlu ditambahkan dalam bentuk pupuk adalah N, P, K,
Ca, Mg serta sejumlah unsur hara mikro terutama Cu, Zn dan Mo. Pemberian
Cu diduga lebih efektif melalui daun (foliar spray) karena sifat sematannya
yang sangat kuat pada gambut, kurang mobil dalam tanaman dan kelarutan
yang menurun ketika terjadi peningkatan pH akibat penggenangan. Sebagai
amandemen, abu hasil pembakaran gambut itu sendiri akan berpengaruh
menurunkan kemasaman tanah, memasok unsur hara dan mempercepat
pembentukan lapis olah yang lebih baik sifat fisikanya (Radjagukguk, 1990).
Di Sumatera Barat ditemukan bahan amelioran baru Harzburgite yang
defositnya cukup besar dan kandungan Mg yang tinggi (27,21 – 32,07% MgO)
yang merupakan bahan potensial untuk ameliorasi lahan gambut (Mawardi et
al, 2001).
Pupuk kandang khususnya kotoran ayam dibandingkan dengan kotoran
ternak yang lainnya mengandung beberapa unsur hara makro dan mikro tertentu
dalam jumlah yang banyak. Kejenuhan basanya tinggi, tetapi kapasitas tukar
kation rendah. Kotoran ayam, dalam melepaskan haranya berlangsung secara
bertahap dan lama. Tampaknya, pemberian kotoran ayam memungkinkan untuk
memperbaiki sifat fisika dan kimia tanah gambut. Pada jagung manis,
pemberian kotoran ayam sampai 14 ton/ha pada tanah gambut pedalaman
bereng bengkel dapat meningkatkan jumlah tongkol (Limin, 1992 dalam
Darung et al., 2001).
3. Pemilihan jenis tanaman
a. Padi sawah
Budidaya padi sawah selalu diupayakan oleh petani transmigrasi untuk
memenuhi kebutuhan pangannya. Akan tetapi budidaya padi sawah di lahan
gambut dihadapkan pada berbagai masalah terutama menyangkut kendala-
kendala fisika, kesuburan serta pengelolaan tanah dan air. Khususnya gambut
tebal ( 1 m ) belum berhasil dimanfaatkan untuk budidaya padi sawah, karena
mengandung sejumlah kendala yang belum dapat diatasi. Kunci keberhasilan
budidaya padi sawah pada lahan gambut terletak pada keberhasilan dalam
pengelolaan dan pengendalian air, penanganan sejumlah kendala fisik yang
merupakan faktor pembatas, penanganan substansi toksik dan pemupukan unsur
makro dan mikro (Radjagukguk, 1990).
Lahan gambut yang sesuai untuk padi sawah adalah gambut dengan (20-
50 cm gambut) dan gambut dangkal (0,5-1 m). Padi kurang sesuai pada gambut
sedang (1-2 m) dan tidak sesuai pada gambut tebal (2-3 m) dan sangat tebal
(lebih dari 3 m). Pada gambut tebal dan sangat tebal, tanaman padi tidak dapat
membentuk gabah karena kahat unsur hara mikro (Subagyo et al, 1996).
Pada tanah sawah dengan kandungan bahan organik tinggi, asam-asam
organik menghambat pertumbuhan, terutama akar, mengakibatkan rendahnya
produktivitas bahkan kegagalan panen. Leiwakabessy dan Wahjudin (1979)
dalam Radjagukguk (1990) menunjukkan hubungan erat antara ketebalan
gambut dan produksi gabah padi sawah. Pada percobaan pot dengan tanah yang
diambil dari lapis 0-20 cm, diperoleh hasil gabah padi (ditanam secara sawah)
yang sangat rendah apabila tebal gambut 80 cm, dan yang paling tinggi
apabila ketebalan gambut 50 cm. Ditunjukkan pula bahwa ada kesamaan antara
pola perubahan kejenuhan Ca, kejenuhan Mg, pH dan kandungan abu bersama
ketebalan gambut dengan perubahan tingkat hasil gabah. Sehingga
kemungkinan tingkat kemasaman dan suplai Ca yang rendah serta kandungan
abu yang rendah merupakan faktor pembatas utama pertumbuhan padi sawah
pada gambut tebal.
Tidak terbentuknya gabah menurut Andriesse (1988) dan Driessen (1978)
berkaitan dengan defisiensi Cu yang akan menyebabkan meningkatnya aktivitas
racun fenolik dan menyebabkan male sterility pada tanaman padi.
b. Tanaman perkebunan dan industri
Budidaya tanaman-tanaman perkebunan berskala besar banyak
dikembangkan di lahan gambut terutama oleh perusahaan-perusahaan swasta.
Pengusahaan tanaman-tanaman ini kebanyakan dikembangkan di propinsi Riau
dengan memanfaatkan gambut tebal. Sebelum penanaman, dilakukan
pemadatan tanah dengan menggunakan alat-alat berat. Sistem drainase yang
tepat sangat menentukan keberhasilan budidaya tanaman perkebunan di lahan
tersebut. Pengelolaan kesuburan tanah yang utama adalah pemberian pupuk
makro dan mikro (Radjagukguk, 1990). Tanaman perkebunan sesuai ditanam
pada ketebalan gambut 1-2 m dan sangat tebal (2-3 m) (Subagyo et al, 1996)
Di antara tanaman perkebunan yang lain seperti kelapa sawit, sagu, karet,
kopi dan kelapa, nanas (Ananas cumosus) merupakan tanaman yang
menunjukkan adaptasi yang tinggi pada gambut berdrainase. Nanas bisa
beradaptasi dengan baik pada keadaan kemasaman yang tinggi dan tingkat
kesuburan yang rendah. Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman tahunan
yang cukup sesuai pada lahan gambut dengan ketebalan sedang hingga tipis
dengan hasil sekitar 13 ton/ha pada tahun ketiga penanaman (Ambak dan
Melling, 2000). Percobaan-percobaan yang dilakukan oleh PT. RSUP di
Indragiri Hilir, menunjukkan bahwa tanaman nenas tumbuh dengan baik dan
mulai berbuah 14 bulan setelah tanam. Dari hasil sementara menunjukkan
bahwa, penanaman nanas dengan kerapatan 20.000 pohon/ha yang ditanam
diantara jalur kelapa, tumpangsari kelapa nenas memberikan prospek yang
sangat cerah (Sudradjat dan Qusairi, 1992).
Sagu bisa beradaptasi dengan baik dan memberikan hasil bagus tanpa
pemberian input pupuk pada gambut dengan minimum drainase, walaupun
umur tanaman sampai menghasilkan buah sangat lama (15-20 tahun). Untuk
jenis-jenis pohon buah banyak ditemukan di Sumatra dan Kalimantan seperti
jambu air (Eugenia) Mangga (Mangosteen), rambutan (Ambak dan Melling,
2000) sedangkan di daerah pantai Ivory dengan gambut termasuk oligotropik,
pisang dapat tumbuh dengan drainase 80-100 cm dan menghasilkan 25-40
ton/ha walaupun dengan pengelolaan yang agak sulit (Andriesse, 1988) .
Komoditas lain yang berpotensi ekonomi untuk dikembangkan guna
memenuhi kebutuhan domestik adalah tanaman industri/keras seperti kelapa,
kopi, lada dan tanaman obat (Abdurachman dan Suriadikarta, 2000). Tanaman
rami dan obat-obatan tumbuh dan berproduksi baik pada gambut sedang dan
kurang baik pada gambut sangat dalam (3-5 m) (Subagyo et al, 1996).
c. Tanaman pangan (palawija) dan tanaman semusim lainnya
Tanah gambut yang sesuai untuk tanaman semusim adalah gambut
dangkal dan gambut sedang. Pengelolaan air perlu diperhatikan agar air tanah
tidak turun terlalu dalam atau drastis untuk mencegah terjadinya gejala kering
tidak balik (Subagyo et al, 1996)
Tanaman pangan memerlukan kondisi drainase yang baik untuk
mencegah penyakit busuk pada bagian bawah tanaman dan meminimalkan
pemakaian pupuk. Cassava (Manihot esculenta) atau tapioka menghasilkan
lebih dari 50 ton/ha dengan pengelolaan yang baik dan merupakan tanaman
pangan yang penting pada gambut oligotropik tropis dengan drainase yang baik
(Andriesse, 1988).
Di Bengkulu, penanaman jagung dengan penerapan teknologi yang
spesifik untuk lahan gambut (teknologi Tampurin) diperoleh hasil 3,29 ton/ha
pada varietas Pioneer-12 (Manti et al, 2001).
Sementara untuk tanaman sayuran, Satsiyati (1992) dalam Abdurachman
dan Suriadikarta (2000) menyebutkan beberapa tanaman hortikultura yang
berpotensi ekonomi untuk dikembangkan di lahan gambut eks PLG yaitu
cabai, semangka dan nenas .
Di daerah Kalampangan yang merupakan penghasil sayuran untuk
wilayah Palangkaraya Kalimantan Tengah, petani setempat mengembangkan
sayuran seperti sawi, kangkung, mentimun yang diusahakan secara monokultur
dalam skala kecil, dalam lahan lebih kurang 0,25 hektar (Limin et al., 2000). Di
samping itu beberapa lahan gambut yang termasuk lahan bongkor bisa
diusahakan untuk berbagai tanaman seperti cabai besar/keriting/kecil, terong,
tomat, sawi, seledri, bawang daun, kacang panjang, paria, mentimun, jagung
sayur, jagung manis, dan buah-buahan, seperti mangga, rambutan, melinjo,
sukun, nangka, pepaya, nanas dan pisang (Ardjakusuma et al, 2001)
3. Kultur Teknis
Penurunan permukaan tanah (subsidence) tanah gambut melalui oksidasi
biokimia dapat dihindari dengan mempertahankan tanah agar tidak gundul.
Beberapa vegetasi seperti halnya rumput-rumputan atau leguminose dapat
dibiarkan untuk tumbuh disekeliling tanaman kecuali pada lubang tanam pokok
seperti halnya pada perkebunan kelapa sawit dan kopi. Menurut Singh et al. (1986)
beberapa jenis legume menjalar seperti Canavalia maritima dapat tumbuh dengan
unsur hara minimum dan menunjukkan toleransi yang tinggi terhadap kemasaman.
Pembakaran seperti yang dilakukan pada perkebunan nanas harus
mempertimbangkan pengaruhnya terhadap kebakaran lingkungan sekitarnya. Akan
lebih baik bila dalam kegiatan penyiangan, gulma dikembalikan atau dibenamkan
lagi ke dalam tanah. Gulma-gulma ini dapat berfungsi sebagai kompos sehingga
selain bisa memberikan tambahan hara juga dapat membantu mempertahankan
tanah dari subsidence (Ambak dan Melling, 2000).
Pada pengembangan budidaya tanaman hortikultura, pembakaran seresah
bisa dilakukan pada tempat khusus dengan ukuran 3 X 4 m. Dasar tempat
pembakaran diberi lapisan tanah mineral atau liat setebal 20 cm dan pada
sekelilingnya dibuat saluran selebar 30 cm. Kedalaman saluran disesuaikan dengan
kedalaman air tanah dan ketinggian air dipertahankan 20 cm dari permukaan tanah
agar gambut tetap cukup basah. Hal ini bertujuan agar api tidak menyebar pada
saat dilakukannya pembakaran (Ardjakusuma et al., 2001).
III. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pada pembahasan di muka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Lahan gambut merupakan lahan marginal yang memiliki potensi besar untuk
pengembangan budidaya pertanian.
2. Lahan gambut tersusun atas timbunan bahan organik baik yang telah
mengalami pelapukan maupun belum mengalami pelapukan.
3. Lahan gambut tersebar di daerah cekungan pada dataran rendah di wilayah
Pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua.
4. Pemanfaatan lahan gambut untuk pengembangan budidaya pertanian
dihadapkan pada kendala drainase yang jelek, kemasaman gambut tinggi,
tingkat kesuburan dan kerapatan lindak gambut yang rendah serta
ketersediaan hara dan kejenuhan basa (KB) rendah.
5. Pengelolaan lahan gambut untuk pertanian dilakukan melalui pengelolaan air
tanah, pengolahan tanah, pemilihan tanaman bududaya sesuai kondisi lahan,
dan melalui kultur teknis.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman dan Suriadikarta, 2000. Pemanfaatan Lahan Rawa eks PLG Kalimantan Tengah untuk Pengembangan Pertanian Berwawasan Lingkungan. Jurnal Litbang Pertanian 19 (3).
Ambak, K., dan Melling, L., 2000. Management Practices for Sustainable Cultivation of Crop Plants on Tropical Peatlands. Proc. Of The International Symposium on Tropical Peatlands 22-23 November 1999. Bogor-Indonesia, hal 119.
Andriesse, 1988. Nature and Management of Tropical Peat Soils. FAO Soils Bulletin 59. Food and Agriculture Organisation of The United Nations. Rome.
Ardjakusuma, S., Nuraini, Somantri, E., 2001. Teknik Penyiapan Lahan Gambut Bongkor untuk Tanaman Hortikultura. Buletin Teknik Pertanian. Vol 6 No. 1, 2001. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Darung, U, Mimbar, S.M., Syekhfani., 2001. Pengaruh Waktu Pemberian Kapur dan Pupuk Kandang Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Panen Kedelai Pada Tanah Gambut Pedalaman Kalimantan Tengah. Buletin Biosain, Vol. 1, No.2, Maret 2001.
Driessen, P.M., 1978. Peat Soils. In. Soils and Rice. International Rice Research Institute. Los Banos Philiphines.
Dudal, R and M. Soepraptohardjo. 1957. Soil classification in Indonesia. Coutr. Res. Gen Agric. Bogor. No. 148
Gandasasmita, K dan B. Barus. 2012. Pengelolaan lahan gambut berkelanjutan di Indonesia. Disampaikan pada Acara Semiloka “Strategi Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan di Indonesia, IPB ICC, Bogor, 12 Oktober 2012.
Hardjowigeno, S and Abdullah. 1987. Suitability of peat soil of Sumatera for agricultural development. International Peat Society. Symposium on Tropical Peat and Peatland for Development, Yogyakarta. 9-14 February 1987
Limin, S., Layuniati., Jamal, Y., 2000. Utilization of Inland Peat for Food Crop Commodity Development Requires High Input and is Detrimental to Peat Swamp Forest Ecosystem. Proc. International Symposium on Tropical Peatlands 22-23 November 1999. Bogor-Indonesia.
Lucas, R.E., 1982. Organic Soils (Histosols): Formation, distribution, physical and Chemical properties and management for crop production. Research Report 435 Far Science. Michigan University, East Lansing.
Manti, I., Supriyanto, Martasari, C., 2001. Keragaan Paket Teknologi Budidaya Jagung Pada Lahan Gambut. Prosiding Seminar Nasional Hasil-hasil Penelitian Pertanian se-Sumatera 31 Oktober-1 November 2001. Bengkulu.
Mawardi, E., Azwar dan Tambidjo, A., 2001. Potensi dan Peluang Pemanfaatan Harzeburgite sebagai Amelioran Lahan Gambut. Prosiding Seminar Nasional Memantapkan Rekayasa Paket Teknologi Pertanian dan Ketahanan Pangan dalam Era Otonomi Daerah, 31 Oktober – 1 November 2001. Bengkulu.
Mulyani, A dan M. Noor. 2011. Evaluasi kesesuaian lahan untuk pembembangan pertanian di lahan gambut. Pengelolaan lahan gambut berkelanjutan. Nurida, N. L., A. Mulyani dan F. Agus (ed). Balai Penelitian Tanah, Balai Besar Litbang Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.
Noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut. Potensi dan Kendala. Kanisius.Yogyakarta.174 hlm.
Radjagukguk, B. 1990. Pengelolaan sawah bukaan baru di lahan gambut menunjang swasembada pangan dan program transmigrasi. Seminar Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Ekasakti dan Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukarami Padang 17-18 September 1990. Padang.
Radjagukguk, B., 1990. Prospek pengelolaan tanah-tanah gambut untuk perluasan lahan pertanian. Seminar Nasional Tanah-tanah bermasalah di Indonesia KMIT Fakultas Pertanian UNS Surakarta 15 Oktober 1990. Surakarta.
Ratmini, S. 2012. Karakteristik dan pengelolaan lahan gambut untuk pengembangan pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPPT) Sumatera Selatan
Sagiman, S. 2007. Pemanfaatan lahan gambut dalam perspektif pertanian berkelanjutan. Orasi pengukuhan guru besar tetap Ilmu Kesuburan Tanah. Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura 23 Juli 2007. 32 hal.
Singh, G., Tan, Y.P., Padman, C.V., Rajah dan Lee. F.W. 1986. Experinces on the Cultivation and Management of Oil Palm on Deep Peat in United Plantation Berhard. In. Proc. 2nd Intern-Soils Management Workshop Thailand/Malaysia 7-18 April 1986.
Subagyo, Marsoedi dan Karama, S., 1996. Prospek Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian dalam Seminar Pengembangan Teknologi Berwawasan Lingkungan untuk Pertanian pada Lahan Gambut, 26 September 1996. Bogor.
Subiksa, I. G. M. dan Wahyunto. 2011. Genesis lahan gambut di Indonesia. Pengelolaan lahan gambut berkelanjutan. Nurida, N. L., A. Mulyani dan F. Agus (ed). Balai Penelitian Tanah, Balai Besar Litbang Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.
Sudradjat daan Qusairi, L., 1992. Diversifikasi Usaha Perkebunan Pada Lahan Gambut Dengan Kelapa Sebagai Tanaman Utama (Suatu Pandangan terhadap pemanfaatan Lahan Gambut). Seminar Pengembangan Terpadu kawasan Rawa Pasang Surut di Indonesia 5 September 1992. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Suprapto, A. 2002. Land and water resources development in Indonesia. dalam. FAO. Investment in Land and Water. Proceedings of the Regional Consultation.
Wahyunto, A. Hidayat, dan A. Iskandar. 2010. Karakteristik lahan gambut di lokasi demplot ICCTF Provinsi Riau, Jambi, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.
Wetlands. 2007. Sistem pengelolaan tata air di lahan gambut untuk mendukung budidaya pertanian. Seri pengelolaan hutan dan lahan gambut.
Widyati, E. 2011. Kajian optimasi pengelolaan lahan gambut dan isu perubahan iklim. Tekno Hitan Tanaman. Vol. 4 No. 2, Agustus 2011, 57-68.
Yuwono, N. W. 2009. Membangun kesuburan tanah di lahan marginal. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 9 No. 2 (2009) p: 137-141.