Post on 23-Jul-2019
39
BAB IV
GERAKAN SEPARATISME BOUGAINVILLE
Pada bab ini akan dikaji mengenai beberapa aspek penting berkaitan
dengan skripsi yang berjudul ”Gerakan Separatisme Bougainville di Papua New
Guinea Tahun 1975-1992”. Aspek-aspek tersebut penulis bagi menjadi beberapa
subjudul yang dimulai dari sejarah berdirinya negara Papua New Guinea, keadaan
demografi Papua New Guinea, gerakan separatisme Bougainville dan upaya
penyelesaiannya hingga dampak gerakan separatisme Bougainville pada aspek
politik dan ekonomi. Paparan mengenai aspek-aspek tersebut diperoleh melalui
studi literatur yang penulis uraikan sebagai berikut:
4.1 Sejarah Berdirinya Negara Papua New Guinea
Papua New Guinea (PNG) merupakan salah satu wilayah di kawasan
Pasifik Selatan, yang awalnya dijajah oleh bangsa Eropa. Sebagai suatu wilayah
kesatuan, PNG awalnya terbentuk dari wilayah yang dijajah oleh negara-negara
yang berbeda. PNG yang luas wilayahnya separuh dari pulau Irian dan pulau-
pulau di sekitarnya, tahun 1884 Jerman secara resmi melaksanakan pemerintahan
di wilayah timur laut dan tahun 1899, Pemerintah Jerman secara langsung
melaksanakan kekuasaan kolonial dan menyatakan wilayah tersebut sebagai “New
Guinea Jerman”. Kekuasaan di Pulau tersebut di ikuti pula oleh Belanda yang
menguasai wilayah barat pulau tersebut yang sekarang menjadi wilayah
Indonesia, sedangkan Inggris menguasai daerah pantai Selatan New Guinea. Di
40
daerah tersebut Inggris kemudian mendirikan British Protectorat pada tahun
1884.
Pada tahun 1886, Australia menduduki wilayah Irian Timur dan
menyebutnya sebagai Teritory of Papua dan pemerintah kolonial Australia secara
resmi dimulai pada tahun 1906, sedangkan wilayah kekuasaan Inggris yang
meliputi bagian selatan pulau Irian Timur tersebut dikukuhkan menjadi British
New Guinea. Di lain pihak, Jerman menguasai daerah timur laut pada tahun 1884
kemudian diperluas meliputi pulau-pulau di sekitarnya termasuk Buka dan
Bougainville.
Pada Perang Dunia II, Jerman kalah sehingga wilayah kekuasaan Jerman
di sana, menjadi wilayah mandat teritori atas keputusan Persatuan Bangsa-Bangsa
(PBB). Pada tanggal 3 Desember 1946 PBB menyetujui dibentuknya suatu sistem
perwalian internasional bagi administrasi New Guinea, yang berlanjut dengan
diberlakukannya The Papua and New Guinea Act pada tahun 1949. Akta ini
menyetujui bahwa wilayah yang disebut sebagai Trust Teritory of New Guinea
yang pengurusannya diserahkan kepada Australia dan British New Guinea yang
dikuasai Inggris yang kemudian digabung ke dalam Trust Teritory of Papua di
bawah kekuasaan Australia. Kedua daerah tersebut, Trust Teritory of Papua dan
Trust Teritory of New Guinea kemudian digabung di bawah administrasi
Pemerintah Australia menjadi Teritory Papua of New Guinea atau teritori Papua
dan New Guinea (Edgard, 1964).
41
Gambar 1: Peta Sejarah Wilayah Kekuasaan Belanda, Inggris, dan Jerman di Papua New Guinea.
Sumber : (Edgar, 1964:251).
Selama berada di bawah mandat Australia, di daerah teritori pada tahun
1951 dibentuk administrasi pemerintah (Dewan Legislatif), sebuah badan
peradilan, badan pelayanan umum dan sebuah sistem pemerintahan lokal. House
of Assembly juga dibentuk pada tahun 1963 untuk menggantikan Dewan
Legislatif. Dengan kemenangan Partai Buruh Australia pimpinan Gough Whitlam
maka terbuka peluang bagi PNG untuk menjadi merdeka. Pada tahun 1972,nama
wilayah mandat Australia tersebut diganti menjadi Papua New Guinea.
Kondisi Politik pada tahun 1972 di Australia memberikan pengaruh
terhadap kelangsungan pemerintahan di Papua New Guinea, Whitlam salah satu
tokoh politik dari partai Buruh berjanji dalam kampanyenya akan memberikan
kemerdekaan bagi PNG bila memenangkan pemilu. Janji tersebut dipenuhi
Whitlam yang kemudian mempersiapkan infrastruktur politik yang diperlukan
bagi kemerdekaan PNG, termasuk memberikan kesempatan untuk membentuk
suatu pemisahan sendiri. Pada tahun 16 September 1975 akhirnya PNG merdeka.
42
Sejarah penyatuan antara PNG yang sebelumnya bagian British New
Guinea dan Bougainville adalah bagian dari kekuasaan Jerman, mempengaruhi
pola penjajahan yang berbeda antara penjajahan Inggris dengan Jerman. Sejarah
penyatuan wilayah PNG dan Bougainville tersebut dapatlah dimengerti mengapa
terjadi pergolakan-pergolakan di PNG yang mengarah pada pemisahan diri. Akan
tetapi hal itu bukanlah satu-satunya sebab mengapa daerah seperti Bougainville
berusaha untuk memisahkan diri.
4.2 Keadaan Demografi Papua New Guinea
Secara geografis, PNG terletak pada 1410 Bujur Timur dan 10 Lintang
Utara 120 Lintang Selatan, dan memiliki luas 461.690 Km2.
Gambar 2: Peta Wilayah Negara Papua New Guinea Setelah Merdeka Sumber : https://id38.securedata.net/sweetmarias/papuanewguinea.gif.
Penduduk PNG terdiri atas bermacam-macam suku dan budaya, sekitar 91
% dapat digolongkan sebagai suku bangsa Melanesia termasuk orang-orang
Papua, yang selalu meneybut diri mereka sebagai etnik Papua, 1% Eropa sebagian
besar orang Australia dan sisanya terdiri atas rumpun Mikronesia, Polinesia, Cina
43
dan lain-lain. Penduduk tersebar tidak merata di daerah-daerah pedesaan dan
terkonsentrasi di kota-kota seperti Port Moresby, Lae, Rabaul, Madang, Wewak,
Boroko, Arawa, Kieta dan Panguna (Hamid, 1996:67). Ini disebabkan
meningkatnya urbanisasi sehingga penduduk terpusat pada kota-kota tertentu.
Sebelum dijajah oleh Jerman dan Australia, PNG terdiri atas desa-desa yang
berdiri sendiri tanpa ada kekuatan politik dominan yang menyatukan desa-desa
tersebut. Keadaan berubah ketika orang-orang Eropa berdatangan untuk
berdagang, mencari tambang emas dan tembaga. Dengan demikian, tumbuhlah
daerah-daerah yang padat penduduknya karena pengelolaan yang dilakukan oleh
orang-orang asing tersebut.
Sejak saat itu di PNG berkembang kota-kota kecil yang dikelola dan
diperintah oleh kongsi dagang asing. Banyak dari penduduk pribumi yang
meninggalkan kebunnya dan menjadi buruh orang-orang asing. Pada tahun 1966,
pertumbuhan penduduk yang tinggal di kota-kota kecil sekitar 5% dan kemudian
meningkat menjadi 10%. Tingginya tingkat urbanisasi menimbulkan berbagai
masalah, diantaranya masalah pengangguran, perumahan, meningkatnya
kriminalitas, dan kesenjangan sosial antara kaum pendatang dengan penduduk
pribumi (Lam, 1989:1-3).
Bentuk topografi wilayah PNG terdiri dari gunung-gunung yang berjajar
dari timur hingga ke barat (Papua Barat), sehingga menimbulkan hambatan
komunikasi dan transportasi antar daerah. Keadaan ini menyebabkan tersebarnya
penduduk secara terpisah jauh ke dalam kelompok-kelompok. Setiap suku
memiliki bahasa serta budaya yang berbeda antara satu suku dengan suku yang
44
lainnya dan hanya beberapa wilayah yang dapat menggunakan bahasa inggris dan
pidgin yang merupakan bahasa nasional. Hal-hal tersebut akhirnya menimbulkan
masalah, seperti masalah integrasi nasional.
4.3 Gerakan Separatisme Bougainville dan Upaya Penyelesaiannya
Pada tahun 1934, dilakukan penelitian oleh ahli geologi dari Australia dan
perusahaan pertambangan Conzino Rio Tinto yang merupakan perusahaan dari
Australia mengenai sumber daya alam di wilayah Arawa yang merupakan salah
satu bagian wilayah Bougainville. Hasil penelitian memperlihatkan adanya emas
dan tembaga. Pada tahun 1964 dibuka perusahaan pertambangan oleh anak cabang
Perusahaan Conzino Rio Tinto yaitu Bougainville Copper Limited (BCL),
khususnya dalam hal tambang tembaga dan pengoperasiannya dilakukan pada
tahun 1972 dengan luas wilayah sekitar 9000 km2. Dibukanya pertambangan
tersebut, mengambil wilayah milik rakyat Bougainville dan hanya sebagian
pemilik tanah yang mendapat kompensasi dari pertambangan (Claxton, 1998:8).
Pada tanggal 1 Juni 1975, Majelis Provinsi Bougainville mengadakan
pemungutan suara bahwa provinsi tersebut harus memisahkan diri dari PNG.
Pemungutan suara tersebut berkaitan dengan tidak berhasilnya negosiasi yang
dilakukan oleh para pemimpin Bougainville dengan pemerintahan Somare
mengenai peningkatan pembayaran royalti bagi provinsi yang ditarik melalui
perjanjian perpajakan yang diubah antara pemerintah PNG dan BCL atau
perusahaan pertambangan di Bougainville. Usaha pemisahan diri Bougainville
45
terealisasikan pada tanggal 1 September 1975 dengan menyatakan kemerdekaan
Bougainville.
Ketua Majelis Provinsi Alexis Sarei memimpin pemungutan suara
tersebut. Reaksi pertama dari pemerintah justru menyatakan bahwa pemisahan diri
hanyalah taktik untuk memperoleh pembayaran royalti yang lebih besar (dalam
http://www.hartford-hwp.com/archives/24/047.html) tetapi Leo Hannet yang
merupakan salah seorang perencana bagi pemerintahan Provinsi Bougainville
dalam siarannya menegaskan bahwa pemisahan diri adalah satu-satunya alternatif
untuk mengelola kekayaan mineral di wilayahnya. Sementara itu, John Momis
yang menjabat sebagai Wakil Ketua Majelis Provinsi mengundurkan diri dari
parlemen dan bergabung dengan tokoh Bougainville lainnya yaitu Serei, Hannet
dan Momis yang kemudian menjadi inti dari gerakan pemisahan diri wilayah
Bougainville.
Bulan Januari 1976, situasi di Bougainville tidak kondusif. Sekitar 300
penduduk Bougainville menyerang fasilitas umum dan pegawai pemerintah.
Bangunan dan kendaraan dihancurkan tetapi tidak ada korban jiwa atau cedera
(Hamid, 1996:97). Situasi yang terjadi pada tahun 1976 dapat diatasi dengan
dilaksanakannya perundingan antara pihak Bougainville dengan pemerintah
melalui Bougainville Agreement. Salah satu isinya adalah dilaksanakannya sistem
pemerintah provinsi yang otonom dengan nama Provinsi Solomon Utara yang
berada dalam negara PNG. Upaya tersebut sebelumnya dituangkan dalan rencana
Michael Somare dalam menerapkan sistem desentralisasi di PNG.
46
Ancaman terhadap integritas negara kebangsaan PNG yang ditimbulkan
oleh gerakan separatis Bougainville mulai muncul pada tahun 1976. Gerakan
tersebut mereda setelah pemerintah memberikan semacam otonomi terhadap
wilayah yang kaya tembaga itu. Pemberian otonomi ini ditandai dengan
pengangkatan Theodore Miriung sebagai Menteri Utama Bougainville. Mantan
hakim PNG ini sebelumnya dikenal sebagai penasihat hukum tokoh separatis
dalam melakukan perundingan dengan Pemerintah PNG.
Di wilayah Bougainville, terbentuk sekelompok komunitas bisnis yang
memperoleh manfaat dari kehadiran perusahaan pertambangan tembaga. Provinsi
ini pun menjadi salah satu wilayah terkaya di PNG yang memiliki fasilitas-
fasilitas modern. Namun perundingan tersebut tidak dapat bertahan lama, ini
dibuktikan dengan adanya usaha untuk memisahkan diri kembali oleh
Bougainville pada tahun 1977.
Pertentangan juga sering timbul antara pemerintah provinsi dan
pemerintah pusat dalam mengontrol alokasi sumber-sumber yang langka. Jika
pemerintah pusat dapat mengontrol, pemerintah dapat mengalokasikan kembali
sumber-sumber dari daerah yang lebih baik. Ketidakseimbangan pembagian
kekayaan antara pihak pemerintah provinsi dengan pemerintah pusat menjadi
penyebab lain terjadinya gerakan pemisahan diri. Begitu juga dengan
diterapkannya sistem desentralisasi tidak menyelesaikan masalah Bougainville.
Ketika di bawah pimpinan Perdana Mentri Julius Chan pada tahun 1981,
dilakukan perundingan antara pemerintah PNG dengan Bougainville Copper
Limited dalam mengkaji ulang kesepakatan yang telah dibuat pada tahun 1974.
47
Dalam perundingan tersebut tidak mencapai kesepakatan yang berarti karena hasil
kesepakatan tersebut akan ditinjau kembali setelah tujuh tahun kemudian. Ketika
masa tujuh tahun peninjauan kembali akan berakhir di tahun 1988, proses tersebut
tidak berlangsung karena terjadi pertikaian diantara para pemilik tanah yang
meningkat menjadi suatu kerusuhan pada bulan November 1988.
Pada tahun 1988, terjadi kerusuhan yang besar di Bougainville. Konflik ini
terjadi karena adanya pertikaian dari kelompok para pemilik tanah di Panguna
yang tergabung dalam Panguna Landowners Association (PLA), sehingga
kelompok ini terpecah menjadi dua. Kelompok pertama adalah para pemilik tanah
dari generasi tua yang dipandang sebagai pemegang hak atas tanah adat milik
kelompok mereka. Mereka adalah kelompok kecil yang melakukan transaksi
dengan Bougainville Copper Limited, ketika perusahaan tersebut akan
melaksanakan kegiatan penambangan di Panguna. Sebagian besar dari mereka
telah menjadi kaya karena keuntungan yang diperoleh dari BCL tidak
didistribusikan kepada para ahli waris yang juga berhak atas tanah tersebut.
Kelompok yang kedua adalah generasi muda Panguna yang merupakan
ahli waris dari tanah-tanah yang dipergunakan untuk pertambangan. Mereka
merupakan kelompok terbesar dalam asosiasi tersebut, tetapi tidak memperoleh
bagian keuntungan dari pertambangan. Kemudian mereka membentuk New
Landowners Executive (NLE) yang dipimpin oleh Francis Ona. Mereka menuntut
agar BCL mengakui keberadaan mereka dan mengklaim hak-hak mereka (Dorney,
1990:122-123). Dorney juga mengungkapkan bahwa Francis Ona pada mulanya
tidak mempunyai maksud untuk memisahkan diri. Tetapi sebagai generasi muda
48
dan ahli waris dari para pemilik tanah, mereka tidak memperoleh keuntungan
sedikitpun dari adanya pertambangan tersebut.
Di lain pihak, BCL yang merasa telah membayar kepada para pemilik
tanah tidak ingin memenuhi tuntutan mereka. Selain tuntutan atas hak tanah waris,
Ona juga menuntut uang sejumlah 10 Milyar Kina (kira-kira 16 milyar Dollar
Australia) sebagai kompensasi dari kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh
perusahaan tersebut (Hamid, 1996:114). Pada bulan November 1988 diadakan
pertemuan umum yang membicarakan hasil penelitian konsultan lingkungan
hidup dari Selandia Baru terhadap lingkungan yang rusak di sekitar
pertambangan. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa kerusakan
lingkungan bukan disebabkan oleh pertambangan tetapi oleh wabah penyakit yang
sedang melanda seperti yang dialami oleh daerah lainnya di PNG. Francis Ona
dan kelompok militan lainnya merasa kecewa dengan hasil penelitian tersebut
kemudian mereka meninggalkan tempat perundingan.
Sejak diumumkannya hasil penelitian tersebut pada akhir November 1988,
Ona dan kelompoknya mengadakan sabotase terhadap kegiatan pertambangan di
Panguna berupa peledakan tenaga listrik yang digunakan oleh pertambangan dan
sarana umum milik pemerintah. Tidak dipenuhinya kompensasi yang dituntut oleh
pemberontak menyebabkan Francis Ona dan pasukannya meningkatkan aksi
sabotase. Francis Ona juga mengatakan akan berjuang terus untuk membebaskan
rakyat dari Papua New Guinea (R.J May. Bougainville Crisis the Pasific Review,
Vol.3 No.2 :176).
49
Berbagai kerusuhan lainnya terus terjadi di Bougainville yang dilakukan
oleh para pemilik tanah militan yang tidak puas terhadap BCL. Tuntutan Ona
yang tidak mendapat perhatian dari pihak pemerintah dan BCL, menyebabkan
kelompok tersebut mengadakan kekerasan terhadap pihak pertambangan, dan
menimbulkan kekhawatiran terhadap keselamatan para pekerja tambang terutama
yang berasal dari Provinsi New Britain Timur sehingga menyebabkan munculnya
kerusuhan etnis antara penduduk Bougainville dengan penduduk daratan tinggi.
Upaya pemerintah dalam mengatasi kerusuhan tersebut adalah dengan
dikirimkannya pasukan dari kepolisian.
Secara tidak langsung, Ona sebenarnya mendapat simpati dari pimpinan
emerintahan provinsi Joseph Kabui. Kabui sendiri adalah orang Bougainville yang
saat itu berusia sekitar 35 tahun. Sebagaimana generasi muda Bougainville yang
lainnya, ia tumbuh dalam suasana yang penuh kebencian. Oleh karena itulah,
ketika Ona dan kelompoknya mengadakan sabotase terhadap kegiatan
pertambangan sebagai sikap atas aksi protes mereka, Kabui justru
mempersalahkan pihak BCL yang tidak memenuhi tuntutan mereka. Peristiwa
kerusuhan Bougainville yang dipimpin oleh Francis Ona menjadi jalan lebih
besarnya konflik yang terjadi di Bougainville bagi pemerintahan pusat PNG,
sehingga akhirnya mengarah pada gerakan pemisahan diri dari pemerintahan
PNG.
Pada tahun 1987 terjadi serangan bersenjata terhadap pertambangan
tembaga yang dijalankan perusahaan Australia (BCL), karena tuntutan rakyat
pemilik tanah untuk memperoleh ganti rugi tidak dipenuhi. Untuk menumpas
50
'pemberontakan' itu, pemerintah di Port Moresby mengirimkan sekitar 2.000
tentara ke Bougainville, namun tidak berhasil menghentikan kekacauan dan BCL
yang telah beroperasi sejak 1972, sebagai akibatnya pada tahun 1989 menutup
pertambangan karena adanya sabotase dari BRA.
Sementara pihak militer yang dikirim oleh pemerintah untuk menertibkan
situasi dan menangkap Francis Ona mengalami kesulitan. Selain mendapat
simpati dari rakyat Bougainville, kaum militan Bougainville juga mempunyai
kemampuan untuk menyerang posisi-posisi militer dan mengadakan sabotase
terhadap fasilitas pemerintah. Tidak ada laporan resmi mengenai kerugian yang di
alami pemerintah, namun surat kabar menuliskan bahwa akibat dari sabotase dan
serangan dari kaum militan diperkirakan kerugian sebesar 1,2 juta Dollar
disamping kerusakan toko-toko dan gedung-gedung di pusat perdagangan Arawa
(Kompas,1989 dan Fasifik Island Montly, 1989:10-11). Dari sabotase tersebut
mengakibatkan kegiatan produksi pertambangan berhenti selama lebih dari 48
jam. Sabotase tersebut diantaranya peledakan tiang listrik yang merupakan
pemasok aliran listrik untuk kegiatan penambangan. Dengan terhentinya kegiatan
penambangan tersebut sekitar 1.000 ton tembaga dan 180 kg emas tidak dapat
diolah (Kompas, 18 April 1989).
R. J May (1993:58) mengungkapkan bahwa pada bulan April 1989,
Francis Ona mengirimkan surat kepada para politisi PNG yang isinya Francis Ona
memproklamasikan Bougainville sebagai “Republik” yang terpisah dengan PNG,
serta menamakan kelompoknya sebagai Bougainville Revolutionary Army (BRA).
Pihak BRA berhasil menutup pelayanan-pelayanan pemerintah pusat maupun
51
pemerintah provinsi terutama pelayanan kesehatan, pendidikan dan fasilitas-
fasilitas administrasi. Mereka juga berhasil mengacaukan kehidupan bisnis di
Bougainville. Pertambangan Panguna ditutup pada bulan Mei 1989 sehingga
mengakibatkan lumpuhnya pertambangan yang berakibat pada dihentikannya
pelayanan kapal udara dan kapal laut.
Pada bulan April 1989, Pemerintah PNG mengumumkan wilayah
Bougainville sebagai wilayah darurat, dan Kepala Polisi Tohian memimpin
wilayah tersebut untuk mengamankan Bougainville. Namun, pada pertengahan
Januari 1990 kekerasan meningkat di PNG. Pihak BRA meningkatkan
serangannya terhadap pos polisi, penjara dan beberapa tempat lainnya. Serangan
tersebut juga dilakukan oleh para pemberontak dengan menyerang penjara
Kuveris yang terdapat di provinsi tersebut. Dalam aksi tersebut 6 orang dan 11
orang luka-luka, aksi melibatkan sekitar 70-100 orang pemberontak. Keseluruhan
jumlah korban sejak pecahnya konflik bulan November 1988 sebanyak 59 orang
tewas (Pelita, 8 Januari 1990).
Pada tanggal 2 Maret 1990 diadakan gencatan senjata antara pihak
pemerintah Bougainville dengan pihak BRA. Pasukan pemerintah harus
meninggalkan Bougainville dua minggu setelah gencatan senjata tersebut
ditandatangani, sehingga pasukan tentara Papua New Guinea ditarik dari
Bougainville. Pada akhir Maret 1990 tidak ada personil pemerintah pusat di
wilayah tersebut, sementara pasukan perdamaian internasional yang terdiri atas
wakil-wakil dari Sekretariat Commonwealth Kanada, Swedia dan Belanda tiba di
Bougainville.
52
Surat kabar Pelita (1990) dan Suara Pembaharuan (1990) mengungkapkan
bahwa sebagian pasukan BRA yang dipimpin oleh Sam Kuona akan tetap
dipersenjatai untuk menangani pihak-pihak yang melanggar perjanjian tersebut
dan tambang tembaga yang ditutup akan dibuka kembali tetapi dibawah
pengawasan Pemerintah Provinsi Bougainville, BRA juga menuntut pembagian
keuntungan dari hasil tambang. Perjanjian antara kedua belah pihak tidak
berlangsung dengan baik karena pasukan pemerintah dan pasukan BRA kembali
terlibat.
Sementara itu, Woolfrod (1990:227) menguraikan upaya lain yang
dilakukan pemerintah dalam memulihkan keamanan dan ketertiban di
Bougainville agar pihak BRA tidak berhubungan dengan pihak luar, maka
pemerintah Papua New Guinea mengadakan blokade militer sejauh radius 80 Km
di perairan Bougainville. Blokade ini membuat Bougainville terkucil dari dunia
luar dan mengalami kekurangan pasokan bahan makanan, bahan bakar, dan obat-
obatan. Blokade yang dilakukan pemerintah tersebut mendapat kecaman dari
Uskup Bougainville, Gregory Sinkei yang mengatakan bahwa tindakan
pemerintah PNG akan “membantai” orang-orang yang tak berdosa. Pihak Gereja
sangat menyesalkan tindakan pemerintah PNG, tetapi Perdana Mentri Namaliu
justru menuduh bahwa pihak BRA sebagai pihak yang bertanggung jawab
terhadap merosotnya kesehatan penduduk dan terjadinya masalah sosial di
Bougainville.
Upaya untuk memproklamirkan kemerdekaan Bougainville dinyatakan
kembali oleh pihak BRA pada tanggal 17 Mei 1990 dengan menyatakan
53
kemerdekaan lepas dari PNG dan menamakan negaranya sebagai “Republik
Meekamui” (R. J. May, 1993:62). Pimpinan pemberontak Francis Ona diangkat
menjadi Presiden dan pimpinan militer BRA, sedangkan Sam Kuona menjadi
Mentri Pertahanan. Mereka meminta dukungan internasional kepada semua
perwakilan negara asing yang ada di Port Moresby melalui faksimili. Tetapi tidak
berhasil memperoleh dukungan dari satu negara pun. Sebaliknya pemerintah PNG
menyatakan bahwa deklarasi semacam itu mencerminkan ketidakseriusan kaum
militan untuk mengadakan negosiasi dengan pemerintah nasional
(Hamid,1992:102).
Pada tahun 1990, seluruh pasukan pemerintah ditarik dari Bougainville
tetapi blokade atas pulau kaya tembaga itu tetap dilakukan. Sebagai akibat
ditariknya pasukan pemerintah, maka para pemberontak dibawah pimpinan BRA
semakin leluasa untuk melakukan aksinya. Puncak kejengkelan pemerintah Port
Moresby menghadapi gerakan separatis Bougainville ini tidak dapat dibendung
ketika pemimpin pemerintahan otonomi Theodore Miriung dibunuh oleh
seseorang yang tak diketahui identitasnya pada bulan April 1996. Para
pemberontak menuduh tentara yang dikirim pemerintah Port Moresby yang
membunuh Miriung (http://www. hamline. edu/ apakabar / basisdata / 1997/04/
11/0115.html).
Selama awal tahun 1990 sampai awal 1991, diadakan perundingan antara
pihak BRA dan pemerintah nasional. Pihak BRA dipimpin oleh Josep Kabui dan
tiga Mentri Provinsi yaitu John Zale, Pendeta Gregory Sinkei, dan Lembias
Mangesu. Sedangkan pihak pemerintah dipimpin oleh Mentri Luar Negeri
54
Michael Somare dan stafnya William Bill Dihm, Mentri Kehakiman Bernard
Narakobi dan stafnya Pomat Paliau dan sekretaris dari kantor Perdana Mentri Paul
Bengo. Perundingan dihadiri oleh dua pengamat internasional yaitu Dich
Etheridge dari Kanada dan Tony Brown dari Selandia Baru. Perundingan pertama
yang berlangsung di Kapal Angkatan Laut Selandia Baru, HMNZS Endeavour
menghasilkan beberapa ketentuan pokok yaitu pemerintah berjanji untuk
memulihkan semua sarana pemerintahan di Bougainville termasuk pengiriman
bahan bakar dan obat-obatan. Pihak BRA berjanji untuk menangguhkan niat
mereka untuk menjadi negara merdeka, dan kedua belah pihak berjanji untuk
mengadakan perundingan lanjutan.
Perundingan pertama tersebut tidak dibahas mengenai keamanan sehingga
terjadi perselisihan pendapat mengenai siapa yang akan menangani keamanan
wilayah Bougainville. Menurut media massa Kompas (1990), Pemerintah PNG
ingin mengirimkan kembali polisi ke Bougainville untuk melindungi pegawai
pemerintah dan untuk memulihkan keamanan, sedangkan pihak BRA berpendapat
bahwa mereka mampu menjaga keamanan dan tidak memerlukan bantuan
pemerintah pusat. Pada tanggal 6 Agustus 1990, pemerintah PNG mulai
melakukan perbaikan fasilitas penting di Bougainville, pasokan obat-obatan
dilakukan dari Rabaul menuju Arawa ibukota Bougainville. Dari persetujuan yang
dicapai antara pemerintah PNG dengan pihak BRA, segala kegiatan dipulihkan
kembali dalam masa 3 pekan yang kemudian akan disusul dengan pembukaan
kembali sekolah-sekolah, restorasi sarana komunikasi dan pengerahan kembali
kaum muda Bougainville bekerja di perkebunan.
55
Pada tanggal 23 Januari 1991, dilakukan upaya perundingan kedua yang
dilaksanakan di Honiara ibukota negara Kepulauan Solomon dan menghasilkan
Deklarasi Honiara. Deklarasi tersebut mengupayakan perdamaian dari kedua
belah pihak antara pihak pemerintah PNG dengan pihak Bougainville yang
diwakili oleh BRA. Dalam ketentuan Deklarasi Honiara juga disebutkan bahwa
pemerintah tidak akan mengirim kembali tentara ke Bougainville, sedangkan
BRA setuju untuk membubarkan diri dan meletakkan senjata dan menyerahkan
tawanannya masing-masing. Selain itu, perbaikan sarana umum dan kestabilan
keamanan dilaksanakan oleh kedua belah pihak diawasi oleh tim pengawas
selama 36 bulan yang terdiri dari para tentara negara-negara seperti Australia,
Selandia Baru, Kanada, Fiji, Vanuatu dan Kepulauan Solomon (Kompas, 1991).
Dalam deklarasi Honiara disebutkan bahwa BRA akan mendapatkan
pengampunan dan memiliki kekebalan hukum.
Selain itu, Deklarasi Honiara juga menyatakan bahwa proses perdamaian
akan berlangsung selama 3 tahun dan akan dibagi dalam dua tahap. Tahap
pertama, yaitu berupa pemulihan sarana penting seperti bidang kesehatan dan
pendidikan. Tahap kedua, akan dibentuk badan otoritas hukum di Bougainville
yang akan mengarah pada pemberian otonomi yang luas terhadap Bougainville.
Proses perdamaian tersebut akan ditinjau kembali selama 6 bulan sekali dan jika
terjadi sabotase dari salah satu pihak, maka proses tersebut akan dihentikan.
Dalam hal kompensasi pertambangan, pada bulan April Pemerintah PNG mulai
melakukan perundingan mengenai ganti rugi yang akan dibayarkan kepada para
pemilik tanah dan pemerintah provinsi. Hasil perundingan tersebut menyebutkan
56
kesepakatan bahwa pemerintah akan memberi fasilitas yang besar kepada pemilik
tanah dan pemerintah provinsi berupa separuh dari 19,1 % yang merupakan hak
pemerintah Papua New Guinea yang berasal dari pertambangan, peningkatan
keuntungan, dan pembayaran ganti rugi sebesar $300.000.000 Australia terhadap
pelayanan sosial dan infrastruktur (Jackson, Pasific View Point. Vol 30, 1989:86-
93).
4.4. Dampak Gerakan Separatis Bougainville
4.4.1 Politik
Masalah Bougainville adalah salah satu dari sekian banyak masalah
integrasi nasional yang dihadapi oleh pemerintah PNG. Topografi PNG sangat
tidak menunjang pada pembukaan suatu negara kesatuan yang berdaulat. Wilayah
PNG yang luas merupakan daerah pegunungan yang sulit untuk dijangkau dan
belum berkembangnya jaringan transportasi yang menghubungkan wilayah-
wilayah terpencil, kiranya menyulitkan komunikasi diantara penduduk PNG.
Dalam wilayah yang luas ini terdapat 700 suku yang tersebar di seluruh wilayah
PNG, disamping beragamnya bahasa diantara suku-suku tersebut yang terbesar
diantaranya bahasa Pidgin dan Motu.
Tersebarnya penduduk menurut suku, ditambah dengan sulitnya mereka
berhubungan satu dengan lainnya menyebabkan sulitnya pemerintah
mengorganisir rakyatnya yang belum tersentuh oleh lembaga-lembaga modern.
Sebaliknya, masing-masing suku lebih taat pada pemimpin lokal yang dianggap
dapat memenuhi aspirasinya, sehingga lebih menguatkan sikap primordial
57
diantara masing-masing suku tersebut. Selama hampir tiga abad menguasai PNG,
pemerintah kolonial Australia tidak pernah membina integrasi di kalangan suku-
suku yang tersebar di wilayah ini. Satu-satunya lembaga bersifat nasional yang
dibentuk pemerintah Australia pada masa kolonial adalah Angkatan Bersenjata
Papua New Guinea yang didirikan sejak berakhirnya Perang Dunia II, sebagai
bagian dari Angkatan Bersenjata Australia. Sementara lembaga-lembaga nasional
lainnya seperti Parlemen Nasional, baru dibentuk sekitar tiga tahun menjelang
kemerdekaan PNG pada tahun 1975 melalui lahirnya pemimpin-pemimpin PNG
yang berwawasan nasional seperti Somare, Julius Chan, Joseph Kabui dan lain-
lain.
Masalah sulitnya mengorganisir rakyat seperti di Bougainville sehingga
menyebabkan para pemimpin menerapkan sistem desentralisasi melalui
pemerintahan provinsi. Penerapan ini muncul bersamaan dengan berkembangnya
masalah Bougainville. Sistem ini dimaksudkan agar rakyat dapat ikut serta dalam
pemerintahan menurut cara-cara yang mereka terapkan secara tradisional.
Sehingga tidak mengherankan bila semenjak kemerdekaan, PNG dihadapi oleh
masalah pemisahan diri, seperti gerakan yang dilakukan oleh suku Tolai di
Kepulauan Gazelle dan Papua Besena yang berlanjut pada gerakan pemisahan diri
di Bougainville.
Pada awal kemerdekaan, Perdana Mentri Somare membuat kebijakan
politik dengan menerapkan upaya desentralisasi yang diharapkan mampu
mengatasi masalah gerakan pemisahan diri di Bougainville. Axline
mengungkapkan bahwa :
58
Budaya yang bervariasi, perkembangan ekonomi yang tidak sama, perbedaan suku dan loyalitas primordial sering menghasilkan tekanan-tekanan tersebut mengarah pada pembentukan desentralisasi. Walaupun tekanan politik pada dasarnya berasal dari tuntutan untuk memisahkan diri. Banyak negara-negara harus menyediakan pelayanan khusus dan otonomi regional bagi suku minoritas. Desentralisasi dipandang sebagai penahan terhadap tuntutan daerah bagi kestabilan, terutama dalam kondisi sosial yang heterogen seperti yang terdapat di negara-negara dunia ketiga. (W. Andrew Axline “Police Implementation In Papua New Guinea: Decentralitation and Redistribution”. Journal of Commonwealth and Comparative Politic. Vol XXV. No.1. March 1988:74).
Pernyataan di atas secara khusus tepat bagi Papua New Guinea dimana
substansi desentralisasi berlangsung sejak kemerdekaan pada bulan September
1975. PNG mengalami kesulitan dalam komunikasi dan memiliki populasi dengan
budaya yang berbeda. Desentralisasi membawa pada suatu pembentukan lagi
pemerintah provinsi. Beberapa sumber hukum seperti konstitusi, perjanjian
Bougainville tahun 1976, dan hukum organik bagi pemerintah provinsi
merupakan ketentuan yang memperkuat posisi pemerintah provinsi. Hukum
organik menyatakan adanya kekuasaan legislatif di provinsi dan khususnya
mengenai masalah keuangan provinsi. Hal tersebut telah meletakkan kerangka
kerja bagi pemerintah provinsi untuk dapat menjalankan berbagai aktifitas dengan
lebih baik. Tetapi banyak provinsi yang belum mampu, sehingga timbul persoalan
yang harus diputuskan melalui konsultasi antara pemimpin provinsi dengan
pemerintah pusat.
Desentralisasi yang diterapkan tersebut telah diterima secara mendasar
sebagaimana harapan setiap orang dari berbagai provinsi. Seluruh provinsi
menjalankan pemerintahan provinsi yang sementara dan akan diberikan
pemerintah provinsi yang penuh setelah diadakan pemilihan majelis provinsi.
59
Tetapi pemerintah mengubah kebijakan yang seragam dalam mendelegasikan staf
dan fungsi departemen provinsi yang telah berdiri memikul tanggung jawab dan
kontrol terhadap keuangan, perbaikan dan program peningkatan desa. Jabatan dan
pegawai dari departemen pendidikan urusan provinsi, industri, pengembangan
bisnis, dan pekerjaan nasional akan dipindahkan sejak 1 Januari 1978, sedangkan
Departemen Kesehatan dan informasi sejak 1 Juli 1978 (Axline “Police
Implementation In Papua New Guinea: Decentralitation and Redistribution”.
Journal of Commonwealth and Comparative Politic. Vol XXV.No1.March
1988:76).
Sejak diberlakukannya desentralisasi, terdapat persaingan diantara
pemimpin Bougainville di pemerintahan provinsi untuk duduk sebagai anggota
parlemen yang bertujuan dalam mengatur pengelolaan kekayaan daerahnya,
sehingga terjadi persaingan untuk duduk sebagai anggota parlemen nasional
ataupun pimpinan pemerintahan provinsi. Tokoh-tokoh seperti Momis, Hannet
dan Serei yang merupakan tokoh-tokoh pemisahan diri mulai bersaing secara
politik. Momis menjadi anggota parlemen pada tahun 1977, sementara Hannet dan
Serei saling bersaing memperebutkan jabatan pimpinan pemerintahan provinsi.
Dalam mengkaji dampak gerakan separatis Bougainville, mengarah pada
masalah integrasi yang dialami oleh Pemerintah PNG, kemudian masalah
integrasi ini mengarah pada disintegrasi politik. Masyarakat Bougainville
diketahui bukan berasal dari daerah asal yang sama dengan penduduk PNG
lainnya. Mereka akhirnya mendiami daerah Bougainville baik di pedalaman
maupun di sekitar pantai. Integrasi yang intensif antara penduduk Bougainville
60
tersebut menciptakan suatu budaya yang spesifik yang menjadi ciri masyarakat
Bougainville. Walaupun tidak terdapat budaya yang melingkupi seluruh wilayah
Bougainville, tetapi budaya tersebut berbeda dengan penduduk PNG lainnya.
Diantara ciri-ciri yang ada tersebut di atas, ciri-ciri yang sangat menonjol
yang membedakan masyarakat Bougainville dengan penduduk PNG lainnya yaitu
dalam hal warna kulit. Orang Bougainville mempunyai warna kulit yang sangat
hitam, sedangkan penduduk PNG lainnya mempunyai warna kulit agak merah.
Perbedaan inilah yang menjadikan masyarakat Bougainville merasa diri mereka
bukan bagian dari penduduk PNG. Bougainville tidak memiliki hubungan
emosional dengan penduduk PNG lainnya.
Pengalaman penjajahan Bougainville dengan PNG juga berbeda.
Penyatuan mereka menjadi satu kesatuan, mereka anggap sebagai penyatuan yang
salah. Bougainville sendiri merasa mempunyai kedekatan dan hubungan
emosional dengan penduduk kepulauan Solomon. Hal ini terbentuk dari
komunikasi melalui perdagangan antar pulau Bougainville dengan kepulauan
Solomon. Migrasi tersebut sudah sejak lama terjadi, sehingga masyarakat
Bougainville merasa menjadi bagian dari Kepulauan Solomon. Dengan melihat
pada pengalaman penjajahan yang berbeda tersebut dapat dilihat bahwa rasa
bersatu dan saling memiliki tidak terbentuk sejak awal.
Sejak adanya perusahaan pertambangan Conzino Rio Tinto yang
merupakan salah satu perusahaan milik Australia, tentu saja masalah separatis
Bougainville berpengaruh besar terhadap kepentingan Australia di PNG. Dibalik
kepentingan ekonomis, nampaknya Pemerintah Australia juga melihat separatisme
61
di Bougainville dapat membahayakan kepentingan strategisnya di PNG.
Pemerintah Australia mengkhawatirkan bahwa kerusuhan di Bougainville dapat
membawa kemungkinan masuknya kekuatan-kekuatan asing yang dapat
mengganggu keamanan wilayahnya.
Menyadari pentingnya PNG dalam kepentingan strategisnya, Australia
sangat berkenan membantu pemerintah PNG dalam rangka mengatasi keadaan di
Bougainville. Ketika di Bougainville terjadi teror dan kerusuhan akhir tahun 1988,
sebagai akibatnya Australia meningkatkan bantuan keuangannya kepada
Angkatan Bersenjata Papua New Guinea dalam bentuk obat-obatan, dan sebagai
biaya latihan bagi militer dan paramiliter yang ditugaskan di Bougainville.
Selanjutnya, ketika kerusuhan memburuk, meskipun menolak untuk terlibat secara
dalam di PNG, namun Mentri Luar Negeri Gareth Evans menyatakan bahwa
Australia sangat sensitif bila permohonan untuk terlibat diajukan oleh pemerintah
“negara-negara sahabat”. Oleh karena itu pulalah Australia memenuhi permintaan
pemerintah PNG untuk mengirim empat buah helikopter untuk mengevakuasi
tentara PNG yang terluka dan warga negara Australia. Meskipun secara resmi
pengiriman helikopter tersebut untuk evakuasi, namun helikopter yang dikirim
adalah jenis heli tempur yang mampu mengangkut pasukan dan mengirimkan
bantuan logistik (Suara Karya, 8 Desember 1988). Dengan demikian, hubungan
yang dibentuk antara Australia dengan pemerintah PNG atas dasar kepentingan
politik yang mengarah pada hubungan kerjasama kedua belah pihak.
Sebagai akibat dari konflik antara Bougainville yang berada di Provinsi
Solomon Utara dan pemerintah PNG menyebabkan hubungan dengan negara
62
Pulau Solomon Selatan terganggu. (R. J. May 1993:68) mengungkapkan sejak
terjadinya konflik Bougainville mengakibatkan hubungan dengan negara tetangga
terganggu khususnya dengan Pulau Solomon yang berbatasan langsung dengan
provinsi Solomon Utara. May juga menguraikan bahwa telah terjadi bantuan
militer dalam pengadaan persenjataan yang digunakan oleh gerakan separatis
Bougainville “ …attempts to prevent the movement of people, supplies and
weapons. There were even suggestions that the Solomon Island government was
providing covert support to the BRA…(May, 1993:68-69). Hal tersebut tentu saja
mengakibatkan terganggunya hubungan bilateral kedua negara.
Negara Solomon bisa saja membantu Bougainville karena secara
geografis wilayah tersebut berbatasan langsung dengan Negara Solomon. Selain
karena letak geografis, jika dilihat secara ciri-ciri fisik dimana rakyat Solomon
Utara lebih hitam pekat dan keriting sama dengan ciri-ciri fisik orang-orang dari
negara Solomon dan jika dibandingkan dengan ciri-ciri fisik orang PNG. Selain
itu pula, perbedaan sejarah kolonial dimana wilayah PNG berada dibawah mandat
teritori Australia sedangkan wilayah Solomon berada dibawah mandat teritori
Jerman. Namun sejak berakhirnya Perang Dunia II, wilayah Bougainville masuk
pada daerah mandat Australia.
Dalam hal ini sangat mungkin Kepulauan Solomon turut merasakan
dampak dari konflik antara gerakan separatis Bougainville dengan pemerintah
PNG. Dalam konflik tersebut, Kepulauan Solomon yang berbatasan langsung
dengan Bougainville bukan tidak mungkin bersimpati terhadap pasukan BRA.
Selain karena rakyat Bougainville satu wilayah dengan Kepulauan Solomon tetapi
63
juga karena kepentingan ekonomis dimana Bougainville jika masuk menjadi
wilayah kesatuan Kepulauan Solomon akan meningkatkan pendapatan dari
adanya pertambangan tersebut. Selain itu, salah satu akibat yang dirasakan oleh
negara-negara tetangga akan memunculkan instabilitas dan gangguan keamanan
di wilayah perbatasan seperti perbatasan antara Irian Barat (Indonesia) dengan
PNG atau dengan Kepulauan Solomon. Menurut Premdas (1987:100), situasi
tersebut akan dirasakan oleh negara-negara tetangga dan bukan tidak mungkin
negara-negara tetangga pada akhirnya akan bereaksi.
Konflik yang terus berkepanjangan antara pemerintah dengan BRA, di
suatu sisi mengakibatkan krisis kepercayaan terhadap pemerintah dalam
menyelesaikan konflik Bougainville, selain karena kondisi politik di PNG sering
berubah-ubah karena sejak kemerdekaan tidak ada satu pun partai di PNG yang
memenangkan suara mayoritas. Oleh karena itu, kabinet terbentuk berdasarkan
koalisi diantara partai-partai politik. Sehingga menyebabkan seringnya suatu
pemerintahan di PNG jatuh akibat mosi tidak percaya. Salah satu dampak politik
dari adanya gerakan pemberontakan Bougainville pada tahun 1988 dibawah
kepemimpinan pemerintah Namaliu terjadi mosi tidak percaya karena masalah
Bougainville tidak teratasi dengan cepat dan menimbulkan kerusuhan.
R. J May menguraikan sejak PNGDF (Papua New Guinea Defence Force)
berupaya secara militer menyelesaikan konflik yang terjadi pada tahun 1989,
masyarakat berharap banyak bahwa konflik tersebut dapat diselesaikan. Namun
pada kenyataannya, konflik Bougainville menjadi lebih luas. Selain operasi
penyelesaian konflik di Bougainville yang ditangani oleh PNGDF, upaya militer
64
tersebut menghabiskan dana yang cukup besar. Tidak hanya kegagalan secara
militer tetapi upaya pemerintah dalam mengatasi gerakan separatis Bougainville
berakibat pada krisis kepercayaan rakyat PNG terhadap situasi politik di
pemerintah pusat dan kecaman dari negara-negara luar. May (1993:70)
berpendapat upaya militer yang cukup keras terhadap BRA mengakibatkan
terjadinya pro dan kontra pada kalangan elite politik terjadi keberpihakan elite
politik terhadap BRA dari pada PNGDF (Papua New Guinea Defence Force).
Kemampuan PNG dalam mengatur kebijakan politik tentu saja masih
dalam taraf berkembang. PNG yang baru merdeka tahun 1975, masih memerlukan
perjalanan yang panjang dalam mengatur pemerintahan yang stabil secara politik
dan ekonomi. Sistem pemerintahan yang digunakan mengadopsi sistem
pemerintahan Australia walaupun tidak secara keseluruhan. Tetapi hal ini
memberikan pengaruh terhadap pola kebijakan, khususnya dalam mengatasi
masalah separatis Bougainville. Upaya militer yang dilakukan oleh pemerintah
tidak terlepas dari pengaruh pola-pola yang diterapkan militer Australia.
Sebelumnya, PNGDF (Papua New Guinea Defence Force) terbentuk sejak
Australia ikut serta dalam Perang Dunia II. Dalam pasukan Australia dilibatkan
pasukan PNG sehingga pola-pola kemiliteran sudah terserap sejak PNG belum
merdeka. Hubungan pasukan militer dengan Australia didukung oleh bantuan
Australia dalam pengembangan dan pendidikan militer. Sejak PNG merdeka,
bantuan dana sudah mengalir ke kas negara (Woolford, 1990:229).
Gerakan separatis Bougainville ini mengakibatkan krisis politik di PNG.
Hal yang menarik dalam melihat elite politik dan para pemimpin militer adalah
65
sikap para pemimpin militer yang tidak berupaya untuk mengambil jalan tengah,
yaitu mengambil alih pemerintahan. Meski memperoleh dukungan luas, Brigjen
Jerry Singirok masih tetap konsisten menghormati sistem politik PNG yang
mengakui supremasi sipil atas militer dalam kehidupan politik di dalam negeri.
Tradisi militer PNG yang mengikuti negara pelindungnya Australia agaknya
membuat mereka mampu menahan diri. Hal lain yang membuat pemimpin militer
dari PNG yaitu Sinirok masih tetap konsisten adalah pertimbangan bahwa gerakan
militer tidak akan diterima oleh Australia maupun Selandia Baru sebagai negara
tetangga yang menjadi tumpuan perekonomian PNG.
Kondisi politik yang berkembang antara tahun 1975 sampai tahun 1992
dipengaruhi oleh masalah yang dihadapi PNG sebagai negara muda yang baru
merdeka. Tidak mengherankan apabila sejak awal kemerdekaan sering terjadi
konflik-konflik di berbagai daerah yang menyatakan ingin lepas dari PNG.
Struktur pemerintahan yang dibangun dan kondisi politik yang masih belum stabil
mempengaruhi kondisi keamanan di berbagai daerah di PNG. Proses politik yang
masih berkembang tersebut mempengaruhi terhadap kebijakan pemerintah dalam
menangani masalah Bougainville.
Seringnya terjadi pergantian Perdana Mentri sebagai akibat dari mosi tidak
percaya oleh koalisi politik mempengaruhi upaya pemerintah dalam mengatasi
masalah di Bougainville. Seperti pada masa pemerintahan Perdana Mentri Julius
Chan dan Rabbie Namaliu yang turun sebagai akibat dari mosi tidak percaya,
karena upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah di Bougainville
menggunakan cara-cara militer. Sementara itu kebijakan yang dilakukan Julius
66
Chan mendapat tanggapan menolak cara-cara militer. Masalah yang berkembang
di PNG tidak hanya masalah separatis tetapi pemerintah menghadapi masalah
perbatasan dengan Indonesia. Hal tersebut mempengaruhi kebijakan pemerintah
dalam menyelesaikan masalah di Bougainville.
4.4.2 Ekonomi
Masalah pembangunan ekonomi di PNG mulai ditangani lebih teratur oleh
pemerintah pusat sebagai pengelola pada tahun 1962. Bank Dunia dipercaya untuk
melakukan penelitian menangani sumber-sumber alam di PNG dan bagaimana
menggunakan sumber-sumber tersebut seperti meningkatkan hasil kopi, kopra,
karet, teh, dan hasil-hasil hutan.
PNG mempunyai kekayaan alam seperti sumber-sumber mineral terutama
tembaga dan emas, perikanan, perkebunan dan kehutanan. PNG merupakan
negara agraris, karena sebagian besar penduduknya hidup dari bercocok tanam
berupa coklat, kopi, teh, kopra dan karet. Sumber daya alam yang terbesar adalah
tembaga dan emas, yang menyumbang sekitar 60% ekspor PNG. Pada tahun
1989, ekspor PNG telah mencapai AS$1,4 milyar. Penambangan terbesar terdapat
di Bougainville. Di provinsi bagian barat juga dilakukan penambangan di OK
Tedi, yang selain tembaga juga terdapat penambangan emas. Selain itu, gas alam
serta minyak dihasilkan di Teluk Papua. Hutan PNG merupakan kekayaan alam
yang penting pula, karena menghasilkan kayu-kayu berkualitas tinggi. Sedangkan
laut di wilayah ini sangat banyak mengandung ikan sehingga hasilnya diekspor ke
negara lain (Lam, 1989:22-23 dan Hamid, 1996:72).
67
Untuk mengatur pembangunan ekonomi, pemerintah PNG membuat
rencana pembangunan setelah lima tahun yang dibuat pada tahun 1968. Program
ini dimaksudkan untuk mengarahkan pembangunan ekonomi, sosial, termasuk
peningkatan penduduk asli dalam segala bidang. Karena tidak mencapai sasaran,
pada tahun 1973 sampai tahun 1976, tercatat 44% penduduk PNG masih
melakukan kegiatan secara barter (Tim peneliti PDE dan FE UGM, 1984).
Hamid (1992:73) mengungkapkan bahwa pembangunan ekonomi PNG
sangat lamban bahkan cenderung stagnan. Hal tersebut dikarenakan ada dua faktor
yang menyebabkan lambannya pertumbuhan ekonomi di PNG. Pertama, sulitnya
mengeksploitasi sumber-sumber alam yang terletak di daerah-daerah pegunungan
sehingga membutuhkan biaya yang besar untuk membangun infrastruktur
perekonomian tersebut. Kedua, sering terjadinya pertikaian mengenai masalah
tanah dan pembagian keuntungan antara para pemilik tanah dengan pemerintah.
PNG mendapat kemerdekaan dari Australia pada tahun 1975 sehingga
hubungan dengan Australia masih cukup erat. Hal ini terlihat dalam bantuan yang
diberikan Australia serta beberapa konsep kebijakan yang ditiru seperti penentuan
upah minimum. Sejak PNG merdeka, pemerintah mulai menyusun rencana
pembangunan ekonominya. Pada awalnya, pertumbuhan ekonomi bukanlah tujuan
utama pembangunan tahun 1972, namun tujuan pembangunan tersebut berubah
sehingga dibuatlah delapan tujuan yaitu:
1. Penguasaan kegiatan ekonomi oleh bangsa Papua New Guinea sendiri.
2. Distribusi hasil pertumbuhan ekonomi yang merata.
3. Desentralisasi kegiatan ekonomi, perencanaan serta pengeluaran pemerintah.
68
4. Usaha lebih menitikberatkan pada small scale.
5. Mengurangi ketergantungan pada luar negeri (self rellant).
6. Menaikkan kemampuan membiayai pengeluaran pemerintah dengan sumber-
sumber dari dalam negeri.
7. Meningkatkan partisipasi/peranan wanita dalam kegiatan ekonomi dan sosial.
8. Pengawasan pemerintah dalam kegiatan ekonomi agar sejalan dengan tujuan
pembangunan (Sumber: Tim peneliti PDE dan FE UGM, 1984).
Penyusunan rencana 8 tujuan pembangunan tersebut, dilaksanakan oleh
Komite Perencanaan Nasional (The National Planning Committee). Pada waktu
tujuan ini dirumuskan PNG sedang mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup
pesat yang didorong oleh sektor pertambangan (tembaga) sehingga pertumbuhan
ekonomi yang cepat tidak dirumuskan dalam tujuan pembangunan tersebut. Untuk
mencapai tujuan tersebut, PNG bekerja sama dengan negara-negara tetangga yang
berada dalam kawasan Pasifik, tidak terkecuali dengan Australia dan Selandia
Baru. Besarnya bantuan dari kedua negara tersebut dilihat dari adanya
kepentingan terhadap kawasan di Pasifik ini.
Ditetapkannya delapan tujuan PNG berharap dapat lebih percaya diri dan
mandiri dalam membangun ekonomi. Keinginan untuk tidak bergantung terhadap
Australia memang ada tetapi sulit untuk dihindarkan. Kesulitan itu diantaranya
adalah kekurangan modal. Karena modal dan tenaga terampil merupakan fasilitas
mendasar bagi pembangunan ekonomi. Dalam sektor moneter, sekitar 88%
dikuasai perusahan-perusahaan asing, 80% oleh Australia. Pemilikan industri
lokal oleh investor Australia sekitar 55-60%, usaha kopi 20-25 %, kopra 80%,
69
produksi teh hampir 90% dikuasai oleh investor asing, sedangkan karet hampir
seluruhnya dimiliki oleh investor asing, dengan adanya penguasaan dari pihak
asing, maka pengusaha dalam negeri sulit untuk bersaing (Tim peneliti PDE dan
FE UGM, 1984).
Tujuan-tujuan pembangunan yang ditetapkan oleh Pemerintah PNG tidak
sepenuhnya konsisten dengan usaha untuk mencapai pertunbuhan ekonomi yang
cepat. Salah satu contohnya adalah tujuan pertama yaitu untuk mengusahakan
tercapainya kontrol ekonomi di tanagn masyarakat dan pemerintah PNG sendiri
akan membatasi digunakannya tenaga-tenaga ahli asing dan mengurangi modal
luar negeri, padahal kedua aspek ini jelas masih dibutuhkan oleh PNG untuk
mempercepat pembangunan nasional.
Gerakan separatis yang terjadi di PNG menimbulkan dampak ekonomi
yang cukup besar, selain karena sejak tahun 1991 bantuan ekonomi yang
diberikan oleh Australia berkurang. Dalam bukunya Tim peneliti PDE dan FE
UGM (1984) diungkapkan bahwa sejak tahun 1981 sampai dengan tahun 1985
bantuan Australia diperkirakan berkisar antara US $200 juta sampai US $250 juta
per tahun sehingga bantuan per kapita yang diperoleh PNG dari Australia rata-rata
US $80. Maka tidak mengherankan bahwa gerakan separatis di Bougainville
memberikan dampak besar terhadap pendapatan PNG. Selain karena
ketergantungan PNG terhadap Australia, sejak awal menimbulkan masalah
tersendiri bagi pemerintah PNG dalam menghentikan ketergantungan secara
ekonomi. Di suatu sisi, PNG belum mampu untuk mengatur kehidupan ekonomi
namun di sisi lain kestabilan politik dan keamanan masih jauh dari harapan PNG.
70
Bantuan dari luar negeri menjadi solusi pertama dalam menstabilkan
perekonomian di PNG tetapi bantuan tersebut tidak hanya menguntungkan salah
satu pihak saja. Australia sebagai contohnya, perusahaan-perusahaan milik
Australia yang berada di PNG memberikan devisa yang besar terhadap
pemerintahan Australia. Dengan adanya kepentingan ekonomi tersebut Australia
menjadi donator utama bagi PNG. Bantuan Australia terhadap PNG dapat dilihat
pada Tabel 1.1 berikut. Bantuan Australia terhadap PNG lebih besar dari pada
bantuan Australia terhadap negara-negara lain di Pasifik Selatan.
Tabel 4.1
Bantuan Luar Negeri Australia di Kawasan Pasifik Selatan tahun 1977
Negara Bantuan (Ribuan $) Kepulauan Cook 341 Fiji 7.067 Guam Kiribati 1.686 Nauru 1 New Hebrirdes (Vanuatu) 928 Niue 1 Kepulauan Norfolk 144
Papua New Guinea 250.162 Kepulauan Solomon 1.949 Tonga 2.397 US Trust Territory 26 Tuvalu 409 Samoa Barat 4.333
Kawasan yang tidak teralokasi 1.530 Jumlah 270.832
Sumber: Debrecency, (Litbang dan FE UGM,1984)
Kepentingan Australia tersebut cukup beralasan sehingga pemerintah
Australia ikut campur dalam masalah gerakan separatis di Bougainville. Hal ini
terlihat dalam artikel Bob Aiken, seperti uraian berikut:
71
…Bougainville is the site of a giant a copper mine, closed by the war, owned on Canberra to halt military by the Anglo-Australian Corporation CRA/RTZ. There are a number of major Australian-owned enterprises in PNG. The Australian governmet has supplied nearly $200 million in military aid to Port Moresby since 1988. Terjemahan:
…Bougainville adalah sebuah wilayah yang mempunyai tambang tembaga yang besar, berada dekat dengan konflik, dimiliki oleh Canberra sebuah perusahaan CRA/RTZ milik Anglo-Australia. Terdapat sejumlah perusahaan besar yang dimiliki oleh Australia di PNG. Pemerintah Australia telah memberikan bantuan kurang lebih $200 juta dalam bantuan militer terhadap Port Moresby sejak 1988. (Bob Aiken, 1998), Bougainville Premier Killed As Independence Fight Heats Up. (Tersedia) Online:http ://www.hartford-hwp.com/archives/24/049.html.(9 Juni 2007). Pembangunan ekonomi PNG dapat dikatakan sangat lamban, bahkan
cenderung stagnan. Sekalipun Gross Domestic Product (GDP) PNG pada tahun
1989 telah mencapai US$2,7 milyar, namun tingkat pertumbuhan ekonomi rata-
rata justru berada pada angka -3%. Masalah tersebut dikarenakan sulitnya
mengeksploitasi sumber-sumber alam yang terletak di daerah-daerah pegunungan
yang curam sehingga membutuhkan biaya besar untuk membangun infrastruktur
perekonomian tersebut. Oleh karena itu, pembangunan pertambangan sering
dilakukan oleh pihak asing. Dengan sering terjadinya pertikaian di Bougainville
mengenai masalah tanah dan pembagian keuntungan antara para pemilik tanah
dengan pemerintah mengakibatkan tingkat pengangguran yang tinggi.
Masalah yang terjadi di Bougainville, manajemen dan buruh tambang
hanya dikuasai oleh orang-orang Australia dan buruh dari Provinsi New Britain
Timur. Sedangkan penduduk setempat yang dipekerjakan relatif sedikit, namun
kerusakan yang diakibatkan oleh penambangan tersebut justru diserahkan kepada
penduduk setempat yaitu para pemilik tanah. Oleh karena itu, pemimpin
72
pemberontakan Francis Ona menganggap bahwa kompensasi atas kerusakan
lingkungan demi masa depan generasi muda Bougainville yang dilanjutkan
dengan usulan peningkatan jumlah saham bagi pemilik tanah di perusahaan
pertambangan tersebut.
Kompensasi yang diberikan pertambangan hanya kepada para pemilik
tanah yang diakui dan terdaftar di perusahaan pertambangan. Salah satu perjanjian
antara perusahaan pertambangan dan asosiasi para pemilik tanah yang menuntut
hak para pemilik tanah terhadap adanya pertambangan tersebut. Perusahaan
mengklaim bahwa hanya terdapat 850 para pemilik tanah yang terdaftar atas surat
resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah, dan 5.000 orang lainnya tidak
mempunyai hak dan salah satunya Francis Ona (http://www.hartford-
hwp.com/archives/24/163.html).
Sementara itu, terjadinya pergolakan di salah satu wilayah Papua New
Guinea menghambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Masalah
separatisme Bougainville yang sudah mewarnai kehidupan politik PNG sejak
September 1975 dan muncul lagi pada tahun 1984 mempunyai akar permasalahan
yang sama dengan gerakan Francis Ona pada tahun 1988. Separatisme yang
dilakukan oleh kaum pemuda militan pimpinan Ona pada tahun 1988 ini,
meskipun tidak mempunyai hubungan dengan para pemimpin gerakan separatis
yang lalu tetapi tetap mempermasalahkan kepentingan ekonomi.
Sebagai daerah yang kaya dan menjadi daerah penghasil tanaman industri
terbesar di PNG seperti kopi, coklat dan kelapa, Bougainville menjadi daerah
tujuan para pencari kerja bagi sebagian besar penduduk PNG. Kehadiran para
73
pekerja dari luar Bougainville tersebut menjadi masalah baru di Bougainville.
Pertambangan yang ada telah mengambil tanah-tanah milik adat penduduk
setempat. Sedangkan bagi penduduk Bougainville sendiri mereka memiliki ikatan
spiritual dengan tanah mereka dan tidak pernah menjual tanah-tanah mereka pada
orang lain.
Peraturan pertambangan yang dibuat oleh pemerintah dianggap telah
merugikan rakyat disebabkan karena pemerintah menggunakan hukum yang
berasal dari Barat (Australia) yang menganggap kandungan mineral yang ada di
dalam tanah menjadi hak milik negara. Peraturan tersebut bertentangan dengan
hukum adat setempat. Meski rakyat menentang pengambilalihan tanah dan
kehadiran pertambangan tetapi pertambangan tersebut tetap didirikan.
Masalah pemisahan diri Bougainville merupakan implikasi dari besarnya
kepentingan ekonomi Pemerintah PNG yang mengabaikan kepentingan
masyarakat setempat. Hamid (1992:117) mengungkapkan bahwa sebagai provinsi
yang kaya akan biji besi, penduduk Bougainville sebagai pemilik tanah hanya
menikmati uang hasil sewa tanah. Sementara keuntungan terbesar dari eksploitasi
ini jatuh ke tangan perusahaan BCL yang merupakan cabang perusahaan Conzino
Rio Tinto yang berpusat di Australia, dan menyumbang 45% dari ekspor PNG
serta memasukkan sekitar 20% devisa pemerintah PNG. Jika melihat akar
permasalahannya, gerakan separatis Bougainville hanya menginginkan pembagian
keuntungan dan keadilan ekonomi atas pertambangan yang ada di Bougainville,
karena tuntutan tersebut tidak dilaksanakan oleh pemerintah maka gerakan
74
separatis Bougainville mengarah pada konflik politik dimana pada awalnya ini
merupakan konflik ekonomi saja.
Dampak negatif dari pertambangan tersebut sangat dirasakan oleh
penduduk di sekitar pertambangan. Penggusuran rumah-rumah penduduk,
terdesaknya penduduk oleh para pendatang, pengaruh budaya asing yang merusak
norma-norma dan perusakan lingkungan oleh pertambangan. Melihat kondisi
seperti itu, Bougainville menuntut perbaikan sosial dan ekonomi dengan menuntut
pembagian hasil keuntungan pertambangan.
Pemerintah dan BCL menolak tuntutan Bougainville. Akibat penolakan
tersebut penduduk Bougainville merasa kecewa oleh kebijakan yang dijalankan
pemerintah. Kemudian, mereka melakukan perlawanan terhadap pemerintah
dalam bentuk perusakan terhadap fasilitas pemerintah dan melakukan protes.
Pertentangan seperti ini disebabkan adanya pluralisme ekonomi dalam kehidupan
perekonomian mereka yang dicirikan dengan tidak adanya kehendak bersama
yang dapat diterima. Masyarakat Bougainville tidak dapat menerima kebijakan
ekonomi yang dibuat oleh pemerintah, sedangkan pemerintah sendiri kurang
mampu mengantisipasi tuntutan yang dilakukan oleh Bougainville. Hal ini juga
disebabkan tuntutan mereka tidak sama dengan daerah-daerah lainnya. Oleh
karena itu, pemerintah memandang tidak perlu memenuhi tuntutan mereka.
Akibatnya perlawanan BRA terhadap pemerintah sulit dihindari,
Bougainville sebagai wilayah yang letaknya paling jauh dari pusat pemerintahan
yaitu sekitar 600 Km2 dari Port Moresby ibukota PNG, Bougainville memiliki
potensi yang paling besar untuk tidak tunduk kepada pemerintahan pusat. Hal ini
75
berkaitan dengan integrasi wilayah, dimana wilayah yang jauh dari pusat kontrol
terhadap wilayah tersebut semakin lemah. Akan tetapi sebagai negara yang
berdaulat, PNG merasa perlu untuk menetapkan peraturan yang dimiliki
pemerintah terhadap daerah Bouganiville. Sedangkan Bougainville sendiri
mempunyai keinginan untuk mengatur urusan domestik mereka sendiri.
Secara De Jure pemerintah memenuhi tuntutan Bougainville untuk
memperoleh otonomi yang besar. Akan tetapi dalam prakteknya (de facto)
otonomi yang besar tersebut tidak pernah dilakukan, ini sangat dirasakan oleh
Bougainville. Oleh karena itu, BRA terus memperjuangkan hak otonomi yang
besar tersebut. Francis Ona sendiri yang merupakan pemimpin BRA, dalam
tuntutannya tidak hanya mengenai masalah otonomi, tetapi juga menyangkut
masalah kerusakan lingkungan dan tuntutan ganti rugi atas kerusakan yang
diakibatkan dari pertambangan. Akan tetapi tuntutan tersebut berkembang
menjadi tuntutan untuk memisahkan diri akibat diabaikan oleh pemerintah.
Pemisahan diri tersebut sangat ditentang oleh pemerintah. Tetapi Ona tidak
mundur bahkan meningkatkan aksinya menjadi sabotase terhadap pertambangan.
Sabotase tersebut menimbulkan banyak korban jiwa.
Dampak yang ditimbulkan dari konflik antara pemerintah PNG dengan
gerakan separatis Bougianville terhadap aspek ekonomi cukup besar.
Bougainville sebagai wilayah yang kaya akan tambang menjadi pemasok utama
dalam pendapatan negara. Sejak terjadi kerusuhan dan konflik yang
berkepanjangan mengakibatkan pendapatan negara berkurang bahkan harus
mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk mengatasi masalah Bougainville
76
khususnya dalam pengeluaran dana militer. Selain itu, rakyat Bougainville
kehilangan pekerjaan karena sarana pemerintah rusak sebagai akibat dari
kerusuhan yang berkepanjangan. Pada tahun 1989, sejak ditutupnya pertambangan
mengakibatkan 2.000 tenaga kerja dinonaktifkan. Tidak hanya sarana dan
prasarana tetapi juga perkebunan yang ada ditutup dan mengakibatkan kerugian
yang cukup besar.
Pemerintah PNG berupaya untuk memperbaiki sarana dan prasarana guna
menstabilkan pendapatan ekonomi rakyat Bougainville. Selain itu, dampak
dilakukannya blokade terhadap wilayah Bougainville menyebabkan lumpuhnya
pembangunan dan alur perekonomian di Bougainville. Pemerintah PNG melarang
adanya hubungan baik keluar maupun kedalam Bougainville. Situasi tersebut
memperburuk keadaan masyarakat, dengan tidak adanya pasokan bahan makanan,
bahan bakar, dan obat-obatan yang menimbulkan kesehatan masyarakat
terganggu. Don Woolford (1990:227) mengungkapkan bahwa akibat dari blokade
yang dilakukan pemerintah menimbulkan korban jiwa sekitar 200 tentara PNG
telah gugur, dan sekitar 10.000 penduduk Bougainville meninggal dunia, yang
kebanyakan meninggal karena sakit menular dan busung lapar akibat dari blokade
tersebut.