Post on 18-Nov-2021
GAMBARAN EPIDEMIOLOGI FILARIASIS DI KOTA
TANGERANG SELATAN TAHUN 2008-2012
Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA KEDOKTERAN
OLEH :
Abdullah Hamdani Tadjoedin
NIM: 109103000036
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
ii
1435 H/
iii
iv
v
KATA PENGANTAR
Bismillahir Rohmaanir Rohiim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Pertama saya panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya serta nikmat yang tiada hentinya kepada
manusia. terutama nikmat akal yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang
paling sempurna. Dengan nikmat-Nya manusia dapat bertakwa kepada-Nya.
Shalawat serta salam saya curahkan kepada makhluk termulia junjungan kita
baginda Nabi Muhammad SAW, yang telah mengajarkan ilmu dari Allah kepada
keluarganya, sahabat-sahabatnya dan umat-umatnya.
Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT yang memberi nikmat iman,
Islam dan sehat bagi penulis sampai skripsi selesai. Penulis telah dapat menyusun
karya tulis yang merupakan syarat kelulusan Sarjana Kedokteran. Harapan dari
penulis semoga karya tulis ini dapat menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya
setelah karya tulis ini dibukukan dan untuk referensi di Perpustakaan.
Dalam mengerjakan penulisan karya tulis ini sampai karya tulis ini dibukukan
tidaklah mudah bagi penulis tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Karena itu
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
Pertama Penulis ingin mendo’akan Umi (Almh) Hj. Suzie Fauziah Hanum
Tadjoedin, SH atas kasih sayang dan keikhlasan do’a, tenaga, pikiran dan nasihat bagi
penulis ketika Umi masih hidup. Semoga Umi mendapatkan tempat terbaik di sisi
Allah SWT.
1. Prof. Dr. (hc). dr. H. M.K Tadjudin, Sp.And sebagai Dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. dr. Witri Ardini, M.Gizi, Sp.GK sebagai Ketua Program Pendidikan Dokter.
vi
3. dr. H. Meizi Fachrizal Ahmad, M.Biomed dan Minsarnawati, SKM, M.Kes
sebagai dosen pembimbing, semoga dimudahkan urusannya.
4. Abah Nurul Iman Tadjoedin dan Bunda Etty Juhaeti Karel sebagai orang tua
kandung. Skripsi ini tanda cinta, sayang dan terima kasih dari penulis untuk Abah
dan Bunda. Penulis berterima kasih menjadi anak Abah dan Bunda atas kasih
sayang dan ketulusan do’a, keikhlasan & kesabaran mendidik, merawat dan
menasihati penulis dengan penuh pengorbanan selama ini.
5. Ama Prof. Dr. drg. Ette Soraya Syahnaz Tadjoedin, Sp.OD atas kasih sayang,
keikhlasan setiap do’a, tenaga, pikiran, pengorbanan dan nasihat bagi penulis.
Skripsi ini tanda cinta, sayang dan terima kasih dari penulis untuk Ama.
6. Adik saya Abdullah Hanif Tadjoedin untuk kebaikan kepada kakak. Semoga Hanif
lancar sekolahnya dan berhasil dalam belajar.
7. Dety Rohayati Karel dan Rika Wardhani Karel untuk kasih sayang dan perhatian
kepada penulis.
8. Kepala dan staff karyawan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan yang telah
memberi izin penelitian kepada penulis.
9. Teman–teman Pendidikan Dokter 2009, Tarikh, Bayu, Siti, Ii, Najah, Zata.
10. Staff pengajar dan pegawai Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN SH
Jakarta atas izin penelitian bagi penulis sehingga karya tulis ini selesai.
Akhir kata, penulis berharap ALLAH SWT memberikan kebaikan kepada semua
pihak yang telah membantu penulis. Semoga skripsi ini memberi manfaat.
Wabillahittaufiq wal hidayah, Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Ciputat, 25 Agustus 2014
Abdullah Hamdani Tadjoedin
vii
ABSTRAK
Abdullah Hamdani Tadjoedin
Program Studi Pendidikan Dokter
Gambaran Epidemiologi Filariasis di Kota Tangerang Selatan Tahun 2008-2012
Filariasis atau penyakit kaki gajah merupakan salah satu penyakit endemis di
Indonesia. Kemenkes RI (2010) menyatakan dampak yang ditimbulkan penyakit ini
adalah kerugian ekonomi negara mencapai 43 trilyun rupiah. Di Indonesia kejadian
filariasis dari tahun 2000-2009 telah mencapai 11.914 kasus. Kota Tangerang Selatan
merupakan daerah endemis dengan 3,1% penduduk menderita filariasis. Kecamatan
Ciputat merupakan salah satu wilayah di Kota Tangsel yang memiliki kasus filariasis.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran epidemiologi filariasis di
wilayah kerja Kota Tangerang Selatan dari tahun 2008-2012. Penelitian ini
merupakan epidemiologi deskriptif dengan design cross sectional study untuk
mendeskripsikan kejadian filariasis di Kota Tangerang Selatan menggunakan total
sampling. Kejadian filariasis yang tercatat di Dinas Kesehatan Kota Tangerang
Selatan dari tahun 2008-2012 sebanyak 20 orang (7 laki-laki dan 13 perempuan),
sebanyak 7 orang kelompok usia 41-50 tahun (35%), diketahui 6 orang (30%)
bertempat tinggal di Kelurahan Kampung Sawah, kejadian filariasis tertinggi pada
tahun 2010 sebanyak 7 orang (35%). Kejadian filariasis dari tahun 2008-2010
cenderung meningkat dan cenderung menurun pada tahun 2011 dan tahun 2012. Oleh
karena itu, disarankan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan beserta puskesmas di
wilayah kerjanya melakukan program penyuluhan kepada masyarakat sebagai upaya
pencegahan kejadian filariasis dan menghilangkan tempat hidup vektor filariasis
Kata kunci: Epidemiologi, Filariasis, Orang, Tempat, Waktu.
Daftar Pustaka (2000-2013)
viii
ABSTRACT
Abdullah Hamdani Tadjoedin
Medical Student.
Description of Epidemiology Filariasis in South Area of Tangerang City at year
2008-2012.
Filariasis or elephanthiasis is one of the endemic disease in Indonesia. Report
from Ministry of Health in Indonesia at 2010, filariasis can avoid the economy in
Indonesia until 43 bilyon rupiah. Indonesia filariasis happened from 2000 until 2009
almost 11.914 cases. South Tangerang City is one of the endemic areas such as 3,1%
people are infected filariasis. Subdistrict Ciputat is the one area in South Tangerang
City with cases of filariasis. This research was conduct to determine epidemiology
filariasis in South Tangerang City at year 2008-2012. This research is descriptive of
epidemiology with cross sectional study design for decription about cases of filariasis
are happened in South Tangerang City and counting the sample by total sampling.
The sample collected from document in Institution of Health of South Tangerang
City. Filariasis are happened in South Tangerang City from year 2008-2012 with 20
patients (7 men and 13 women), 7 patients are group of 41-50 years old (35%), 6
patients (30%) live in Sub Kampung Sawah and the higher with 7 patient (35%) at
2010. Filariasis are happened in Suth Tangerang City from 2008-2010 are grow up
and are deficit at 2011 to 2012. Therefore, suggested outreach to South Tangerang
City Institution of Health and Central of Public Health in working areas doing the
promotion program to publics as an effort to prevent the next cases of filariasis and
destroying the place alive/ breeding places of the vector of filariasis.
Key word: Epidemiology, Filariasis, People, Place and Time.
Referention Source (2000-2013)
ix
DAFTAR ISI
Halaman Judul ................................................................................................... i
Lembar Pernyataan Keaslian Karya ............................................................... ii
Lembar Persetujuan Pembimbing ................................................................... iii
Lembar Pengesahan ........................................................................................... iv
Kata Pengantar .................................................................................................. v
Abstrak ................................................................................................................ vii
Daftar Isi ............................................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................... 3
1.3. Pertanyaan Penelitian .............................................................................. 4
1.4. Tujuan ..................................................................................................... 4
1.5. Manfaat Penelitian .................................................................................. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Segitiga Epidemiologi ............................................................................. 5
2.2. Segitiga Distribusi Epidemiologi ............................................................ 6
2.2.1. Epidemiologi Berdasarkan Orang ................................................ 7
2.2.2. Epidemiologi Berdasarkan Tempat .............................................. 8
2.2.3. Epidemiologi Berdasarkan Waktu ................................................ 9
2.3. Insidensi Kejadian Penyakit .................................................................... 10
2.4. Filariasis (Penyakit Kaki Gajah) ............................................................. 11
2.4.1. Definisi ........................................................................................ 11
2.4.2. Etiologi ........................................................................................ 12
2.4.3. Patofisiologi ................................................................................ 12
2.4.4. Gejala Klinis ................................................................................ 13
2.4.5. Diagnosis ..................................................................................... 15
2.4.6. Pengobatan .................................................................................. 16
2.5. Epidemiologi Filariasis ........................................................................... 18
2.6. Penentuan Wilayah Endemis Filariasis ................................................... 20
2.7. Pemberantasan Filariasis ......................................................................... 20
2.8. Pencegahan Penularan Filariasis ............................................................. 21
x
2.8.1. Penanggulangan pada Penderita Filariasis ................................. 22
2.8.2. Penanggulangan Wabah Filariasis ............................................. 22
2.9.Program Eliminasis Kaki Gajah ............................................................... 23
2.9.1. Justifikasi .................................................................................... 23
2.9.2. Tujuan Program Eliminasi .......................................................... 25
2.9.3. Strategi Program Eliminasi ......................................................... 25
2.9.4. Kegiatan Pokok Program Eliminasi ............................................ 25
2.10. Kerangka Teori ..................................................................................... 26
2.11. Kerangka Konsep .................................................................................. 26
2.12. Definisi Operasional ............................................................................. 27
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian ..................................................................................... 28
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................. 28
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian .............................................................. 28
3.4. Cara Kerja Penelitian .............................................................................. 29
3.5. Manajemen Data ..................................................................................... 29
3.5.4. Analisis Data ................................................................................ 30
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Distribusi Epidemiologi Filariasis Berdasarkan Karakteristik Orang ..... 31
4.2. Distribusi Epidemiologi Filariasis Berdasarkan Tempat ........................ 35
4.3. Distribusi Epidemiologi Filariasis Berdasarkan Waktu .......................... 38
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan ................................................................................................. 41
5.2. Saran ........................................................................................................ 41
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 42
Lampiran ............................................................................................................ 46
Lampiran 1. Hasil Pengolahan Data
Lampiran 2. Tabel POMP Filariasis di Kota Tangerang Selatan 2009-2013
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Filariasis, biasa dikenal oleh masyarakat sebagai penyakit kaki gajah
(elephantiasis), merupakan penyakit yang perlu mendapat perhatian khusus.
Filariasis terjadi disebabkan infeksi cacing Nematoda famili Filarioidea yang
ditularkan melalui nyamuk. Meskipun tidak sering menyebabkan kematian,
penyakit ini bersifat menahun (kronik) dan dapat menyebabkan cacat fisik
permanen pada setiap penderitanya. Akibatnya, penderita tidak dapat bekerja
secara produktif dan akan bergantung kepada orang lain dalam menjalankan
aktivitasnya sehingga menjadi beban keluarga, masyarakat dan negara.1
Menurut Kemenkes RI (2010), jumlah penderita filariasis akan
meningkat setiap tahun dan dampak jangka panjang yang timbul dari
bertambahnya jumlah penderita diperkirakan akan menyebabkan kerugian
ekonomi negara mencapai 43 trilyun rupiah.2
Filariasis menjadi satu masalah kesehatan di beberapa negara di dunia.
Dyah, dkk (2007) melaporkan 60% atau 1,3 miliar penduduk di 83 negara di
dunia yang mempunyai risiko tertular filariasis berada di Asia Tenggara.
Lebih dari 120 juta penduduk terinfeksi filariasis dan 43 penduduk
menunjukkan gejala klinis pembengkakan anggota gerak (Lymphoedema).
Filariasis tersebar luas terutama di pedesaan dan dapat menyerang semua
golongan umur baik anak-anak maupun dewasa, laki-laki dan perempuan.3
Indonesia termasuk salah satu negara endemis filariasis. Menurut
Depkes RI (2009), dari tahun 2000-2009 dilaporkan kasus kronis filariasis
sebanyak 11.914 kasus yang tersebar di 401 kabupaten/kota di Indonesia.
Hasil laporan kasus klinis kronis filariasis dari kabupaten/kota ditindak lanjuti
dengan survei endemisitas filariasis, sampai dengan tahun 2009 diketahui 337
kabupaten/kota endemis dan 135 kabupaten/kota non endemis.4
2
Provinsi Banten terdiri dari 4 kabupaten, menurut hasil Riset
Kesehatan Dasar Provinsi Banten tahun 2007, persentase filariasis terdeteksi
dengan gejala (DG) di 4 kabupaten yaitu Pandeglang (0,05%); Lebak (0,05%);
Tangerang (0,13%); Serang (0,03%). Secara keseluruhan prevalensi filariasis
di Provinsi Banten 0,06% sedangkan rata-rata nasional 0,11%.5 Berdasarkan
laporan Dinkes Kota Tangerang Selatan tahun 2009, diketahui 3,1% penduduk
di Kota Tangerang Selatan menderita filariasis.6
Dari laporan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan (2009), tahun
2002-2009 terdapat empat kecamatan dengan penderita filariasis yaitu di
Ciputat (10 orang), Pondok Aren (15 orang), Setu (6 orang) dan Pamulang (16
orang). Salah satu penyebabnya adalah terdapatnya rawa yang merupakan
habitat perkembangbiakan nyamuk perantara filariasis.7
Menurut laporan Depkes RI (2008), Kota Tangerang Selatan termasuk
daerah endemis filariasis. Penentuan endemisitas dengan perhitungan
microfilarial rate ≥ 1% di satu kota dan pengobatan massal. Penghitungan
dengan membagi jumlah penduduk yang sediaan darahnya positif mikrofilaria
dengan jumlah sediaan darah penduduk yang diperiksa dikalikan 100%.8
Menurut ilmu epidemiologi penyakit menular, penyakit terjadi karena
adanya interaksi antara agen, host (pejamu) dan lingkungan yang diperantarai
oleh vektor. Bila faktor lingkungan membantu perkembangbiakan vektor,
suatu penyakit akan mudah terjadi.9
Demikian pula dalam epidemiologi
filariasis terdapat interaksi antara agen, pejamu dan lingkungan. Manusia
sebagai pejamu merupakan tempat berkembang biak agen (Cacing Wuchereria
bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori) yang ditemukan di Indonesia
merupakan penyebab filariasis.10
Penularan filariasis tergolong lambat dan hampir sepanjang tahun
didapatkan penderita di berbagai daerah. Gejala dan tanda yang timbul pada
penderita membutuhkan waktu hingga beberapa tahun. Filariasis terjadi tidak
dipengaruhi keadaan musim di suatu daerah.11
3
Lingkungan tempat tinggal masyarakat berpengaruh terhadap
penularan filariasis pada suatu wilayah. Karena merupakan tempat
kelangsungan hidup pejamu yang akan berinteraksi dengan agen penyebab
penyakit.10
Lingkungan yang berupa dataran rendah, rawa dan sawah
merupakan tempat paling banyak ditemukannya cacing penular filariasis.11
Lingkungan tersebut sangat mendukung kejadian filariasis yang
ditularkan oleh vektor nyamuk. Oleh karena itu, Pemerintah perlu melakukan
program intervensi filariasis kepada masyarakat.
Intervensi filariasis dilakukan dengan pengobatan massal kepada
masyarakat terutama penderita. Pengobatan juga dilakukan untuk mencegah
infeksi filariasis pada masyarakat yang masih sehat. Program pengobatan
massal yang dilakukan dari tahun 2005-2009 baru mencapai 28%-59,48%.11
Target pengobatan massal yang harus dicapai untuk memutus rantai penularan
adalah sebesar 85%. Hal ini tentunya masih jauh dari tujuan.
Oleh karena itu, penting untuk dilakukan analisis kejadian filariasis
pada masyarakat di Kota Tangerang Selatan berdasarkan distribusi orang,
tempat dan waktu.
Berdasarkan masalah yang tertulis pada latar belakang, penulis akan
meneliti tentang gambaran distribusi epidemiologi filariasis di Kota
Tangerang Selatan tahun 2008-2012.
1.2 Rumusan Masalah
Didapatkan penderita filariasis setiap tahun. Dampak jangka panjang
dari penyakit ini akan menimbulkan cacat fisik permanen yang bersifat
menahun pada setiap penderitanya. Oleh karena itu, perlu dilakukan
pengamatan terhadap penyebaran filariasis di Kota Tangerang Selatan 2008-
2012. Sehingga dapat dilakukan intervensi dari penyakit.
4
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran kejadian filariasis berdasarkan orang (usia, jenis
kelamin) di Kota Tangerang Selatan
2. Bagaimana gambaran kejadian filariasis berdasarkan tempat (puskesmas,
kelurahan) di Kota Tangerang Selatan
3. Bagaimana gambaran kejadian filariasis berdasarkan waktu (tahun) di
Kota Tangerang Selatan
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui gambaran distribusi epidemiologi filariasis di Kota
Tangerang Selatan dari tahun 2008-2012.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui gambaran distribusi kejadian filariasis berdasarkan
orang (usia dan jenis kelamin) di Kota Tangerang Selatan 2008-2012
2. Mengetahui gambaran distribusi kejadian filariasis berdasarkan
tempat (puskesmas, kelurahan) di Kota Tangerang Selatan 2008-2012
3. Mengetahui gambaran distribusi kejadian filariasis berdasarkan
waktu (tahun) di Kota Tangerang Selatan 2008-2012
4. Mengetahui tren filariasis di Kota Tangerang Selatan 2008-2012
1.5 Manfaat Penelitian
1. Pengetahuan peneliti tentang gambaran distribusi kejadian filariasis
berdasarkan orang, tempat dan waktu.
2. Informasi kepada masyarakat tentang gambaran distribusi kejadian
filariasis berdasarkan orang, tempat dan waktu.
3. Informasi kepada institusi kesehatan tentang gambaran distribusi
kejadian filariasis di Kota Tangerang Selatan pada tahun 2008-2012,
sebagai upaya dilaksanakannya pencegahan sedini mungkin.
4. Sebagai referensi penelitian bagi mahasiswa Program Studi Pendidikan
Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Segitiga Epidemiologi
Distribusi atau penyebaran penyakit (transmission of disease)
umumnya terjadi pada penyakit infeksi yang menular sehingga penyakit ini
disebut communicable disease. Penyakit terjadi disebabkan oleh transmisi
agen infeksi dari satu orang ke orang lain.12
Berdasarkan hukum kesetimbangan John Gordon (Model Gordon)
kesehatan individu digambarkan dalam keseimbangan Host-Agent-
Environment.10
Ketiga komponen ini saling berinteraksi sehingga terjadi
keadaan sehat ataupun sakit pada setiap individu.
Gambar 2.1 Segitiga Konsep Epidemiologi Penyakit
Selain dari ketiga komponen yaitu Host-Agent-Environment,
penyebaran (epidemiologi) penyakit yang ditemukan pada suatu komunitas
atau masyarakat dapat disebabkan oleh beberapa keadaan tertentu lainnya.13
Beberapa keadaan tertentu tersebut cukup banyak contohnya. Secara ringkas
keadaan-keadaan tersebut diantaranya adalah orang, tempat dan waktu.
6
2.2 Segitiga Distribusi Epidemiologi
Pada setiap kelompok penduduk, setiap individu dari kelompok
penduduk tersebut memiliki risiko yang berbeda terhadap setiap penyakit
tertentu. Individu yang mempunyai risiko terpapar terhadap suatu penyakit
yang sama, tidak semua dari individu tersebut akan menderita penyakit yang
sama pada tempat dan waktu tertentu. Kondisi pada individu ini dipengaruhi
oleh berbagai faktor penyebab.14
Berbagai faktor penyebab kejadian penyakit tersebut, dapat diketahui
oleh peneliti melalui pengamatan. Dari pengamatan yang dilakukan peneliti
akan memperoleh keterangan lebih lengkap mengenai penyebab kejadian
penyakit tersebut. Pengamatan dilakukan kepada individu dan lingkungan
tempat tinggal. Jika berbagai penyebab kondisi ini sudah diketahui,
keterangan yang diperoleh dapat digunakan untuk mengetahui epidemiologi.
Dalam epidemiologi, gambaran kejadian penyakit dinilai dari tiga
karakteristik utama yaitu orang, tempat dan waktu. Ketiga karakteristik ini
sangat erat hubungannya satu dengan yang lainnya sehingga ketiga
karakteristik ini harus diamati secara bersamaan maupun secara terpisah.15
Dalam penerapannya, ketiga karakteristik ini harus digunakan setepat
mungkin. Karena keterangan yang diperoleh dari ketiga karakteristik tersebut
dapat membantu untuk fokus melakukan penilaian yang lebih terarah dalam
mencari penybab penyakit dan menentukan diagnosis. Selain itu, keterangan
dari ketiga karakteristik tersebut dapat mengarahkan program pencegahan dan
penilaian hasil program kesehatan.15
Ketiga karakteristik dalam epidemiologi yaitu orang, tempat dan
waktu merupakan faktor-faktor yang selalu tercantum dalam setiap kegiatan
untuk menilai epidemiologi dan merupakan dasar pokok epidemiologi
deskriptif.14
Ketiga karakteristik yaitu orang, tempat dan waktu akan
dijelaskan pada paragraf di bawah ini.
7
2.2.1 Epidemiologi Berdasarkan Orang
Perbedaan sifat atau karakteristik orang secara tidak langsung
dapat meberikan perbedaan pada risiko terpapar penyakit. Karena
kejadian penyakit dapat terjadi hanya pada kelompok usia, jenis
kelamin, agama, pekerjaan dan keadaan sosio-ekonomi.14
Usia merupakan salah satu karakteristik dari orang yang cukup
penting untuk mengetahui kejadian penyakit pada orang. Perbedaan
usia berhubungan dengan daya tahan tubuh. Sebagai contoh pada anak
mudah terserang penyakit karena daya tahan tubuh belum sempurna.
Pada orang dewasa muda, kegiatan yang aktif dan konsumsi makanan
yang memenuhi gizi dapat menjaga kesehatan. Orang usia lanjut mudah
terserang penyakit karena fungsi daya tahan tubuh mulai berkurang.15
Penyakit dapat terjadi karena perbedaan jenis kelamin karena
adanya perbedaan bentuk fisik antara laki-laki dan perempuan. Sebagai
contoh kejadian tumor prostat hanya diderita oleh kelompok laki-laki
dan kejadian kanker rahim hanya diderita oleh kelompok perempuan.16
Penyakit yang terjadi karena pengaruh agama contohnya Agama
Islam melarang pemeluknya meminum minuman beralkohol karena
menyebabkan kelainan pada hati. Pemeluk Agama Islam juga dilarang
memakan daging babi karena daging babi mengandung cacing pita.14
Penyakit yang terjadi karena pekerjaan contohnya pada pekerja
tambang lebih berisiko terkena penyakit silikosis. Pada pekerja yang
bekerja di pabrik kapas akan menghirup kapas yang merupakan risiko
terkena penyakit bisinosis.15
Keadaan sosio-ekonomi mempengaruhi kesehatan masyarakat,
contohnya masyarakat dengan sosio-ekonomi rendah lebih banyak
menderita gizi buruk dan masyarakat dengan sosio-ekonomi tinggi
lebih banyak menderita penyakit kardiovaskuler.16
8
2.2.2 Epidemiologi Berdasarkan Tempat
Epidemiologi yang terjadi berdasarkan tempat dibedakan
menjadi penyebaran hanya pada satu wilayah (desa dan kota),
penyebaran beberapa wilayah (kelurahan dan kecamatan), penyebaran
satu negara (nasional) namun tergantung keadaan geografis dan luasnya
suatu negara, penyebaran beberapa negara (regional) karena negara
tersebut berdekatan dengan negara yang terjangkit suatu penyakit dan
penyebaran banyak negara (internasional).17
Pola penyebaran penyakit dapat berubah dari satu wilayah ke
beberapa wilayah dan dari satu negara ke beberapa dan banyak negara.
Perubahan pola penyebaran penyakit tersebut perlu menjadi perhatian
utama para ahli epidemiologi.15
Lingkungan dapat memberikan pengaruh terhadap sekitar
tempat hidup organism sehingga memungkinkan penularan penyakit.
Faktor lingkungan mencakup aspek biologis, fisik, sosial dan budaya.
Lingkungan dapat berada di dalam pejamu atau di luar pejamu.14
Distribusi dan penyebaran penyakit di suatu daerah dapat
digambarkan dengan Peta Epidemiologi. Dalam peta epidemiologi
digambarkan daerah yang berwarna merah merupakan daerah frekuensi
tinggi suatu penyakit, daerah warna hijau dengan frekuensi sedang dan
daerah warna biru dengan frekuensi rendah.17
Contoh penyakit yang penyebarannya disebabkan kondisi
lingkungan atau tempat, kejadian demam tifoid terjadi pada lingkungan
yang berdekatan dengan pusat umum pembuangan sampah. Tempat
tersebut merupakan tempat hidup lalat yang bila hinggap di sampah
kemudian hinggap pada makanan di rumah akan menyebabkan demam
tifoid pada orang yang memakan makanan tersebut.18
9
2.2.3 Epidemiologi Berdasarkan Waktu
Epidemiologi berdasarkan waktu secara umum dibedakan
menjadi penyebaran satu saat contohnya pada wabah penyakit menular
terjadi onset penyakit yang lambat, masa inkubasi yang panjang,
episode penyakit majemuk, waktu muncul penyakit tidak jelas dan
hilangnya penyakit dalam waktu lama.14
Penyebaran menurut satu kurun waktu digunakan untuk mencari
penyebab suatu penyakit. Contohnya pada penelitian Aycock dan Luther
disimpulkan bahwa penyakit poliomyelitis pada anak terjadi setelah
anak mengalami tonsilektomi. Penyebaran siklis digunakan bila
frekuensi penyakit naik atau turun sesuai siklus contohnya menurut
keadaan cuaca. Penyebaran sekuler digunakan bila perubahan yang
dialami misalnya lebih dari 10 tahun.15
Waktu dapat mempengaruhi masa inkubasi, harapan hidup
pejamu atau agen dan durasi perjalanan penyakit. Waktu berkaitan
dengan lama individu terinfeksi penyakit sampai kondisi yang akan
membantu proses kesembuhan penyakit atau menyebabkan kematian
pada individu yang menderita.16
Satu kejadian penyakit yang dipengaruhi oleh waktu adalah
penyakit demam berdarah. Demam berdarah umumnya sering terjadi
pada waktu peralihan musim dari musim penghujan ke musim kemarau,
di Indonesia pada bulan Maret sampai April.19
Bila masalah kesehatan (penyakit) yang terjadi di suatu wilayah
diderita oleh banyak orang dan frekuensinya menetap dalam waktu
yang lama, kondisi seperti ini bisa disebut sebagai kondisi endemis.
10
2.3 Insiden Kejadian Penyakit
Dalam mendeskripsikan kejadian penyakit, dikenal istilah insidensi.
Insidensi digunakan sebagai alat ukur kasus baru penyakit yang terjadi dalam
satu populasi. Istilah insidensi terkadang digunakan secara bergantian dengan
istilah angka insiden.14
Definisi dari insiden adalah jumlah kasus baru suatu penyakit yang
muncul dalam suatu periode waktu dibandingkan dengan unit populasi
tertentu dalam periode waktu tertentu.16
Insidensi merupakan nilai yang
sangat berguna dalam epidemiologi deskriptif untuk menentukan kelompok
penduduk yang menderita dan yang berisiko.14
Perhitungan angka insidensi digunakan untuk mengetahui kasus baru
penyakit berdasarkan perjalanan waktu, yaitu hubungan antara orang-tahun.
Faktor orang-tahun yang digunakan seperti usia, jenis kelamin tentunya
bervariasi dalam satu periode waktu.16
Rumus Perhitungan Angka Insiden:
x = jumble orang dale suatu populace yang ditetapkan menu rut orang
tempt dan waktu, yang baru sakit karena sebab tertentu.
y = jumlah orang dalam populasi tersebut yang mempunyai risiko
penyakit tersebut selama interval waktu tertentu.
k = nilai yang digunakan mulai dari 100, 1.000, 10.000, 1.000.000.
Untuk menentukan angka insidensi suatu penyakit, perlu dilakukan
obsesrvasi terhadap satu populasi agar dapat dipastikan keluasan kasus baru
penyakit yang terjadi. Inti dari insidensi, jika ada dugaan KLB (kejadian luar
biasa), dapat mengonfirmasi suatu diagnosis penyakit atau menetapkan
sumber terjadinya peristiwa, jika berasal dari sumber nonpatogen.15
11
Informasi yang memadai berdasarkan ilmu biomedis harus tersedia
untuk mengevaluasi status kesehatan individu di dalam kelompok populasi
yang berisiko. Informasi dapat berasal dari laporan individu, dokter dan
catatan medis di rumah sakit atau puskesmas. Pemeriksaan klinis dibutuhkan
untuk membuktikan terjadinya KLB.14
Insidensi dinyatakan sebagai suatu perubahan per unit waktu. Waktu
awitan ditemukannya KLB sangat penting dalam penentuan insidensi.
Langkah pertama adalah menetapkan diagnosis dan diagnosis banding
penyakit. Namun, penentuan insidensi akan sulit diukur tanpa adanya waktu
awitan penyakit. Pada kejadian penyakit yang waktu awitannya sulit
ditentukan, maka kejadian objektif paling awal yang dibuktikan dapat
dijadikan sebagai waktu awitan.15
Dapat disimpulkan angka insidensi adalah estimasi yang tepat terhadap
risiko atau kemungkinan kejadian suatu penyakit dalam periode waktu
tertentu dibandingkan dengan populasi yang berisiko.
Oleh karena itu, satu populasi harus diikuti perkembangannya selama
satu periode waktu untuk menentukan tahapan penyakit yang sedang terjadi
dalam populasi dan mengukur angka kejadian kasus baru untuk memudahkan
pembuatan pernyataan mengenai kemungkinan risiko anggota populasi.16
Dengan diketahuinya insiden suatu penyakit, maka dapat digunakan
sebagai dasar untuk menentukan program pencegahan dan penanggulangan
penyakit serta sasaran utama dalam program tersebut.
2.4 Filariasis (Penyakit Kaki Gajah)
2.4.1 Definisi
Filariasis (penyakit kaki gajah/ elephantiasis) merupakan
penyakit infeksi menular kronik yang banyak ditemukan di wilayah
beriklim tropis di seluruh dunia. Penyakit ini dapat menyebabkan cacat
fisik seumur hidup berupa pembesaran lengan, payudara (perempuan),
buar zakar dan tungkai. Cacing filaria hidup di saluran dan kelenjar
12
getah bening manusia. Infeksi cacing filaria dapat menyebabkan gejala
klinis akut atau kronik.19
2.4.2 Etiologi
Filariasis atau penyakit kaki gajah disebabkan oleh berbagai
jenis cacing Nematoda dari famili Filariodiea yang hidup di saluran
dan kelenjar getah bening. Penyakit ditularkan melalui perantara yaitu
nyamuk Culex quiquefactus. Anak cacing atau mikrofilaria dapat hidup
di aliran darah tepi manusia. Mikrofilaria umumnya dapat ditemukan
dalam darah tepi manusia pada malam hari.20
Filariasis yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies
cacing filaria yaitu:
1. Wuchereria bancrofti
2. Brugia malayi
3. Brugia timori 20
2.4.3 Patofisiologi
Penyakit berawal dari gigitan nyamuk yang mengandung larva
infektif (larva stadium 3 = L3). Pada saat nyamuk menggigit manusia,
larva stadium 3 akan keluar dari probosis nyamuk dan menembus kulit
manusia yang menjadi tempat gigitan nyamuk kemudian bergerak
menuju aliran kelenjar getah bening (limfe) manusia.20
Larva stadium 3 Brugia malayi dan Brugia timori berkembang
menjadi cacing dewasa dalam waktu 3-6 bulan, sedangkan larva
stadium 3 Wuchereria bancrofti berkembang dalam waktu 6-12 bulan.21
Infeksi filariasis umumnya disebabkan oleh Wuchereria
bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Ketiga spesies ini bersifat
nocturnal periodicity karena mikrofilaria berada di aliran darah tepi
pada malam hari (pukul 21:00-02:00). Namun ada spesies yang bersifat
diurnal periodicity bila mikrofilaria di aliran darah tepi selama 24 jam
dan terjadi peningkatan pada siang atau malam hari.22
13
Seseorang dapat terinfeksi filariasis bila digigit oleh nyamuk
infektif yang mengandung larva stadium III (L3). Nyamuk infektif akan
mendapat mikrofilaria ketika menghisap darah penderita filariasis yang
mengandung mikrofilaria atau binatang reservoir yang mengandung
mikrofilaria.22
Kemudian nyamuk mulai menghisap darah orang yang
sehat dan mikrofilaria masuk ke aliran darah orang yang sehat.23
Dibawah ini adalah gambar penularan cacing filariasis yang
ditularkan oleh vektor nyamuk dan siklus hidup cacing filariasis di
dalam tubuh manusia sampai terjadi infeksi filariasis.
Gambar 2.2. Siklus hidup Wuchereria bancrofti
2.4.4 Gejala Klinis
Gejala klinis filariasis yang disebabkan oleh cacing dewasa pada
sistem limfatik sangat bervariasi. Dalam perjalanan penyakitnya,
filariasis diawali dengan radang saluran getah bening berulang dan
14
berakhir dengan terjadinya gejala obstruksi menahun (kronis).23
Perjalanan penyakit dari satu stadium ke stadium berikutnya dapat
diketahui dalam keterangan berikut ini:
1. Masa Prepaten
Periode larva infektif yang menginvasi manusia sampai
terjadi mikrofilaremia dalam waktu antara 3-7 bulan. Namun, hanya
sebagian dari penduduk di daerah endemik yang mengalami
mikrofilaremik dan tidak semua kelompok penderita yang menderita
mikrofilaremik menunjukkan gejala klinis.
Dapat dikatakan bahwa kelompok yang tidak menunjukkan
gejala klinis sebagai kelompok asimptomatik amikrofilaremik dan
asimptomatik mikrofilaremik.24
2. Masa Inkubasi
Masa berkembangnya larva infektif di dalam tubuh manusia
sampai terjadinya gejala klinis dalam waktu antara 8-12 bulan
setelah orang mengalami gigitan pertama dari nyamuk vektor.23
3. Gejala Klinis Akut
Gejala klinis akut yang terjadi adalah radang pada saluran
getah bening (limfadenitis dan limfangitis) disertai demam yang
dapat mencapai suhu 40,6 0C, menggigil, nyeri kepala, mual,
muntah. Kelenjar limfe yang terkena unilateral. Penderita dengan
gejala klinis akut dapat amikrofilaremik atau mikrofilaremik.22
Filariasis bancrofti sering menyerang saluran getah bening
alat kelamin laki-laki kemudian mengakibatkan orchitis, epididymitis
atau funiculitis serta hidrokel yang di dalam cairan hidrokel dapat
ditemukan mikrofilaria. Saluran getah bening inguinal dan femoral
dapat terkena dan menunjukkan gejala klinis pembengkakan dari
tungkai atas sampai kaki. Dapat terbentuk abses yang bila pecah
akan membentuk ulkus (landai).23
15
Gejala klinis akut dapat sembuh spontan dalam 3-15 hari
namun pada beberapa kasus terjadi kekambuhan yang tidak teratur
selama beberapa minggu sebelum keluhan membaik.12
Filariasis
jarang terjadi pada orang usia di bawah 20 tahun karena gejala klinis
yang timbul setelah beberapa tahun dari mulai infeksi pertama.23
4. Gejala Klinis Kronik
Gejala klinis kronik filariasis terjadi 10-15 tahun setelah
serangan akut pertama. Pada stadium ini mikrofilaria jarang
ditemukan, tetapi gejala limfangitis mulai dapat terjadi. Gejala klinis
kronik akan menyebabkan kecacatan yang dapat mengganggu
aktivitas penderita.24
Wuchereria bancrofti dan Brugia timori akan memberikan
gejala klinis berbeda. Limfaedema yang disebabkan oleh Wuchereria
bancrofti terjadi pada payudara, tungkai atas, tungkai bawah dan
skrotum. Limfaedema yang disebabkan oleh Brugia timori hanya
terjadi pada lengan bawah dan tungkai bawah.25
2.4.5 Diagnosis
Penegakkan diagnosis untuk memastikan individu menderita
penyakit kaki gajah (filariasis) terdiri dari beberapa macam tipe
diagnosis. Tentunya dilakukan pemeriksaan untuk menentukan
diagnosis banding jika ada penyakit lain. Diagnosis yang dilakukan
meliputi cara-cara berikut.
1. Diagnosis Klinik
Diagnosis klinik ditegakkan melalui anamnesis dan
pemeriksaan klinik. Diagnosis klinik penting dalam menentukan
angka kesakitan akut dan kronik (Acute and Chronic Disease Rate).
16
Pada keadaan amikrofilaremik, gejala klinis yang mendukung
dalam diagnosis filariasis adalah gejala dan riwayat mengalami
limfadenopati regional, limfadenitis berulang serta gejala menahun.24
2. Diagnosis Parasitologik
Diagnosis parasitologik ditegakkan dengan menemukan
mikrofilaria pada pemeriksaan darah jari pada malam hari.
Pemeriksaan dapat dilakukan slang hari yaitu 30 menit setelah
pemberian dietilkarbamasin 100 mg. Dari mikrofilaria yang
terdeteksi secara morfologis dapat ditentukan spesies cacing filaria.26
Pada keadaan amikrofilaremia seperti pada stadium prepaten,
inkubasi, amikrofilaremia dengan gejala kronik, occult filariasis,
deteksi antibodi dan atau antigen dengan cara immunodiagnosis
diharapkan dapat menunjang diagnosis.25
Deteksi antibodi tidak dapat membedakan infeksi akut dan
infeksi kronik. Deteksi antigen diantaranya deteksi metabolit, sekresi
dan ekskresi parasit dapat menunjang diagnosis parasitologik.24
3. Diagnosis Epidemiologik
Endemisitas filariasis pada suatu daerah diketahui dengan
menentukan microfilarial rate (mf rate), Acute Disease Rate (ADR)
dan Chronic Disease Rate (CDR) dengan memeriksa sedikitnya 10%
dari jumlah penduduk. Pendekatan praktis untuk menentukan daerah
yang termasuk endemis filariasis dapat dilakukan melalui penemuan
penderita elefantiasis. Dengan ditemukannya satu penderita
elefantiasis dari 1000 penduduk yang ada, diperkirakan ada 10
penderita klinis akut dan 100 penderita yang mikrofilaremik.25
2.4.6 Pengobatan Filariasis
Pengobatan filariasis dilakukan dengan pemberian obat
Dietilkarbamasin yang merupakan satu-satunya obat filariasis yang
ampuh baik untuk filariasis bancrofti maupun malayi, bersifat
makrofilarisidal dan mikrofilarisidal. Obat ini aman dan tidak
17
menyebabkan resistensi obat, tetapi memberikan efek samping sistemik
dan lokal yang bersifat sementara dan mudah diatasi dengan obat
simptomatik. Namun, Dietilkarbamasin tidak dapat digunakan kepada
penderita sebagai kemoprofilaksis.26
Pengobatan filariasis bertujuan untuk mengurangi kecacatan
pada setiap penderita agar penderita mampu merawat diri secara
mandiri. Pengobatan (tatalaksana) kasus klinis kronis filariasis
dilakukan sejak tahun 2005-2009.27
Pada tahun 2005 kasus klinis kronis filariasis yang ditangani
sebanyak 21% dan 3 tahun kemudian tepatnya pada tahun 2008, kasus
klinis kronis filariasis meningkat menjadi 40%. Diharapkan pada tahun-
tahun berikutnya kasus klinis kronis filariasis yang diobati meningkat
sesuai yang ditargetkan yaitu mencapai 90%.28
Grafik 2.1. Realisasi Tatalaksana Kasus Klinis Kronis Filariasis
Tahun 2005 - 2009
18
2.5 Epidemiologi Filariasis
Filariasis tersebar luas hampir di semua propinsi di Indonesia. Pada
tahun 2000 ada 6.233 kasus kronis filariasis dari 26 propinsi di Indonesia.
Pada tahun 2005, tercatat 8.243 penduduk mengalami kasus kronis filariasis
di 33 propinsi di Indonesia. Sampai tahun 2009 tercatat sudah terjadi 11.914
kasus kronis filariasis yang tersebar di 33 propinsi di Indonesia.25
Peningkatan jumlah kasus yang terjadi disebabkan bertambahnya
jumlah kasus baru dan laporan baru kasus lama. Gambaran distribusi filariasis
di Indonesia tahun 2000-2009 dapat dilihat pada Grafik 2.2:
Grafik 2.2. Distribusi Kasus Filariasis di Indonesia Tahun 2000-2009
Pada tahun 2009 dilaporkan 3 (tiga) propinsi dengan jumlah kasus
terbanyak filariasis yaitu Nanggroe Aceh Darussalam (2.359 orang), Nusa
Tenggara Timur (1.730 orang), dan Papua (1.158 orang). Tiga propinsi kasus
terendah filariasis ada di Bali (18 orang), Maluku Utara (27 orang) dan
Sulawesi Utara (30 orang).26
Distribusi kasus filariasis yang terjadi di Indonesia pada tahun 2009
tercatat dalam bentuk grafik yang berisi jumlah kasus per-provinsi dari 33
propinsi di Indonesia. Gambaran distribusi kasus filariasis per-propinsi di
Indonesia tahun 2009 dapat dilihat pada Grafik berikut ini:
19
Grafik 2.3. Distribusi Kasus Filariasis Per-Provinsi Tahun 2009
Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis yang disebabkan
oleh nyamuk infektif. Namun pada daerah endemis filariasis, tidak semua
orang dapat terinfeksi filariasis dan tidak semua orang yang terinfeksi
menunjukkan gejala klinis. Orang yang terinfeksi filariasis namun belum
menunjukkan gejala klinis umumnya sudah mengalami gangguan di dalam
tubuhnya.26
Orang-orang dapat tertular filariasis disebabkan pekerjaan dan
kebiasaan, contohnya orang yang bekerja di kebun pada malam hari, orang
yang pergi keluar rumah pada malam hari dan kebiasaan ketika tidur perlu
diperhatikan, karena kebiasaan tersebut berhubungan dengan intensitas
kontak dengan vektor.26
Kondisi lingkungan di sekitar tempat tinggal dapat mempengaruhi
distribusi kasus filariasis dan mata rantai penularan filariasis. Daerah
endemis filariasis umumnya sekitar hutan rawa, sungai-sungai yang
ditumbuhi tanaman air, dan genangan air kotor sebagai habitat dari vektor
yaitu nyamuk Culex quinquefasciatus.27
Sebagai upaya program eliminasi penyakit kaki gajah (filariasis),
maka harus dilaksanakan tatalaksana kasus klinis kaki gajah (filariasis)
kepada semua penderita, dengan tujuan mencegah atau mengurangi kecacatan
pada penderita sehingga penderita mampu merawat diri secara mandiri.28
20
Setiap penderita akan dibuatkan rekam medis sebagai catatan
(dokumen) di Puskesmas, kemudian setiap penderita akan dikunjungi oleh
petugas kesehatan minimal 7 kali dalam waktu 1 tahun.28
2.6 Penentuan Wilayah Endemis Filariasis
Suatu wilayah dapat dinyatakan sebagai daerah endemis filariasis bila
di wilayah tersebut sedang dilakukan program pengobatan massal filariasis
saat dilakukan survei evaluasi oleh Dinas Kesehatan Propinsi. Kegiatan lain
yang dapat dilakukan adalah survei populasi kepada penduduk yang beruasia
lebih dari 2 tahun. Kegiatan survei dilaksanakan 11 bulan setelah pengobatan
massal tahun ke-2 dan tahun ke-4.27
2.7 Pemberantasan Filariasis
Pemberantasan filariasis ditujukan sebagai langkah awal pemutusan
rantai penularan. Pemberantasan yang dilakukan yaitu dengan pengobatan
untuk menurunkan morbiditas dan mengurangi transmisi. Pemberantasan
filariasis yang dilaksanakan oleh Puskesmas di Indonesia bertujuan untuk:26
1. Menurunkan Acute Disease Rate (ADR) menjadi 0%.
2. Menurunkan nf rate menjadi < 5%.
3. Mempertahankan Chronic Disease Rate (CDR).
4. Kegiatan pemberantasan nyamuk yang terdiri dari:
a. Pemberantasan nyamuk dewasa
Anopheles: residual indoor spraying
Aedes: aerial spraying
b. Pemberantasan jentik nyamuk
Anopheles: Abate 1%
Culex: minyak tanah
Mansonia: memusnahkan tanaman air tempat perindukan nyamuk.
c. Mencegah gigitan nyamuk 26
21
Pemberantasan kasus filariasis yang dilakukan diantaranya meliputi
bagaimana cara pencegahan, penanganan pada penderita dan penanggulangan
wabah. Penjelasan tentang bagaimana pemberantasan kasus filariasis berguna
untuk menambah wawasan masyarakat umum.
2.8 Pencegahan Filariasis
1. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat di daerah endemis mengenai
cara penularan dan pengendalian vektor (nyamuk).16
2. Mengidentifikasi vektor dengan mendeteksi adanya larva infektif dalam
nyamuk dengan menggunakan manusia sebagai umpan; mengidentifikasi
waktu dan tempat nyamuk menggigit dan tempat perkembangbiakan
nyamuk.
Jika penularan terjadi oleh nyamuk yang menggigit pada malam hari di
dalam rumah, tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan
penyemprotan menggunakan pestisida residual, memasang kawat kasa,
tidur menggunakan kelambu serta menggunakan obat gosok anti nyamuk
pada tubuh, membersihkan tempat perkembangbiakan nyamuk seperti
tempat penampungan air dan pemberantasan larva dengan larvasida.28
3. Pengendalian vektor jangka panjang dibutuhkan perubahan konstruksi
rumah dan termasuk pemasangan kawat kassa serta pengendalian
lingkungan dengan melakukan pemusnahan tempat perkembangbiakan
nyamuk.29
4. Pengobatan dengan menggunakan obat Diethylcarbamazine citrate (DEC);
Pengobatan ini lebih efektif dengan dosis 25-50 mg/kgBB setiap bulan
selama 1-2 tahun atau konsumsi garam yang diberi DEC (0,2-0,4 mg/g
garam) selama 6 bulan sampai 2 tahun. Obat diberikan per-oral setelah
makan malam.27
5. Pada daerah endemis filariasis namun tidak endemis onchorciasis, WHO
menyarankan dilakukan pengobatan massal menggunakan dosis tunggal
sekali setahun selama 4-6 tahun yaitu kombinasi DEC 6 mg/kgBB dan
Albendazole 400 mg. Pada daerah yang endemis onchorciasis maka
22
dianjurkan pemberian Ivermectin dikombinasi dengan Albendazole 400
mg.28
Namun, penggunaan obat DEC dan Albendazole tidak dianjurkan
untuk dikonsumsi oleh wanita dalam masa kehamilan dan anak-anak usia
kurang dari 2 tahun.28
2.8.1 Penanganan pada Penderita Filariasis dan Lingkungan Sekitar
1. Masyarakat perlu melapor kepada sarana kesehatan tentang daerah
endemis suatu penyakit menular. Laporan dari masyarakat tentang
informasi ditemukan mikrofilaria memberikan gambaran luasnya
trasmisi filariasis di suatu daerah.
2. Perlindungan penderita dari gigitan nyamuk penular penyakit.
3. Pengobatan dengan obat diethylcarbamazine citrate (DEC) dan
Ivermectin yang memberikan hasil sebagian atau seluruh mikrofilaria
hilang dari darah, namun tidak membunuh semua cacing dewasa.
Mikrofilaria dapat muncul kembali setelah pengobatan. Dengan
demikian, pengobatan harus diulangi dalam waktu satu tahun.27
2.8.2 Penanggulangan Wabah Filariasis
Pengendalian vektor penular agen filaariasis adalah upaya paling
utama penanggulangan filariasis. Pada daerah endemis dibutuhkan
pengetahuan bionomik dari vektor nyamuk, insidensi penyakit serta faktor
lingkungan yang berperan dalam penularan.28
Pengendalian vektor yang belum maksimal ternyata masih mampu
mengurangi insidensi dan penyebaran wabah filariasis, walaupun hasil
yang diperoleh dalam waktu lama karena masa inkubasi yang panjang.28
23
2.9 Program Eliminasi Kaki Gajah
Sehubungan dengan dilaporkannya kejadian filariasis setiap tahun maka
Kemenkes RI melaksanakan kegitan yang bertujuan untuk memusnahkan
parasit yang menjadi penular filariasis pada masyarakat. Kegiatan tersebut
dikenal dengan Program Eliminasi Kaki Gajah.25
Diharapkan dengan adanya Program Eliminasi Kaki Gajah ini dapat
mengurangi angka kejadian filariasis pada masyarakat khusunya di Negara
Indonesia dan di daerah-daerah endemis filariasis. Adapun langkah-langkah
dari Program Eliminasi Kaki Gajah yang terdapat di dalam Rencana Aksi
Program Eliminasi Filariasis Tahun 2010-2014 sebagai berikut ini:
1. Justifikasi
Program eliminasi Filariasis direncanakan sampai tahun 2014 sesuai
dasar justifikasi diantaranya:
Pertama, melaksanakan survei dasar kemudian POMP filariasis kepada
penduduk yang tinggal di daerah endemis dengan indikasi angka
mikrofilaria lebih dari 1% setiap tahun minimal selama 5 tahun sebagai
upaya pencegahan. Karena diketahui penyebaran filariasis terjadi di 337
kabupaten/kota sampai bulan Januari 2010.28
Kedua, pemberian POMP filariasis kepada minimal 85% penduduk
yang berisiko tertular di daerah yang teridentifikasi endemis. POMP
berdasarkan prioritas wilayah menuju eliminasi filariasis tahun 2020.16
Ketiga, penatalaksanaan kasus klinis baik melalui basis rumah sakit
maupun komunitas (community home based care).
Rencana Program tersebut ditetapkan setelah dikaji efektivitasnya.
Contohnya efektifitas POMP filariasis untuk pengobatan filariasis yang
disebabkan Brugia malayi di Bangka dan Belitung tahun 2005-2009.
Dan penanganan filariasis Wuchereria bancrofti di Bogor tahun 2006.28
24
Grafik 2.4. Angka Kejadian Filariasis Pasca POMP Filariasis di
Daerah Endemis Infeksi Brugia Tahun 2006
Program POMP Filariasis yang dilakukan telah menunjukkan
hasil yang efektif. Program POMP filariasis yang dilaksanakan tersebut
menunjukkan hasil penurunan kejadian penularan filariasis. Hasil
POMP filariasis tersebut dapat dilihat pada gambar 2.7 di bawah ini:
Grafik 2.5. Penurunan Angka Parasitologi Pasca POMP Filariasis
di Daerah Endemis Infeksi Bancrofti Tahun 2009
25
2. Tujuan Program Eliminasi Filariasis Tahun 2010-2014
1. Program dilakukan lima tahun pertama mulai dari tahun 2010-2014.
2. Semua kabupaten/kota endemis di wilayah Indonesia Timur telah
melakukan POMP filariasis pada tahun 2014.
3. Program selesai dilaksanakan pada tahun 2020.28
3. Strategi Program Eliminasi Filariasis Tahun 2010-2014
Strategi program eliminasi filariasis selama lima tahun diantaranya:
1. Meningkatkan peran kepala daerah beserta para anggota
2. Sosialisasi kepada masyarakat dan rencana pelaksaan program
3. Memastikan jumlah dan pembagian obat serta dana operasional
4. Memantapkan pelaksanaan POMP filariasis, sistem pengawasan dan
pelaksanaan pengobatan dan pengaman kejadian pasca pengobatan.
5. Meningkatkan monitoring dan evaluasi.2
4. Kegiatan Pokok Program Eliminasi Filariasis
1. Meningkatkan promosi
2. Mengembangkan sumberdaya manusia yang tertular filariasis
3. Menyempurnakan tata organisasi
4. Meningkatkan kemitraan
5. Meningkatkan advokasi
6. Memberdayakan masyarakat
7. Memperluas jangkauan program
8. Memperkuat sistem informasi strategis.2
26
2.10 Kerangka Teori
Kerangka Teori Penelitian
2.11 Kerangka Konsep
Kerangka Konsep Penelitian
27
2.12 Definisi Operasional
Tabel 2.1. Definisi Operasional
No Variabel Definisi Cara ukur Alat ukur Skala Hasil ukur
1. Epidemiologi
Filariasis
Penyebaran kejadian
filariasis dalam suatu
penduduk tertentu
yang tercatat dalam
laporan Dinas
Kesehatan Kota
Tangerang Selatan
tahun 2008-2012
Data
sekunder
Data
sekunder
Nominal Kasus
filariasis
2. Usia Hidup responden
yang dihitung dalam
tahun sejak lahir
sampai waktu
penelitian
Data
sekunder
Data
sekunder
Nominal Menurut WHO:
1. Muda (15-49
tahun)
2. Orang tua (50
tahun ke atas)
3. Jenis kelamin Status gender
seseorang
Data
sekunder
Data
sekunder
Nominal 1. Laki-laki
2. Perempuan
4. Tempat Tempat tercatat
kasus filariasis
Data
sekunder
Data
sekunder
Nominal Puskesmas
5. Waktu Rentang waktu yang
terdiri dari bulan dan
tahun
Data
sekunder
Data
sekunder
Nominal Tahun
28
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 DESAIN PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian epidemiologi deskriptif dengan
metode cross sectional study tentang gambaran epidemiologi filariasis di
Kota Tangerang Selatan pada tahun 2008-2012 dengan variabel orang, tempat
dan waktu.
3.2 TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN
3.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan dan
Puskesmas Kampung Sawah, Ciputat.
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan September-Desember 2013
3.3 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN
3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kasus filariasis di
Kota Tangerang Selatan yang tercatat di laporan Dinas Kesehatan
Kota Tangerang Selatan dari tahun 2008-2012.
3.3.2 Jumlah Sampel
Sampel penelitian adalah seluruh kasus filariasis di Kota
Tangerang Selatan dari tahun 2008-2012 sehingga penelitian ini
adalah total sampling.
3.3.3 Cara Pengambilan Sampel
Sampel kasus diambil dari laporan kasus filariasis tahun 2008-
2012 di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan (data sekunder).
29
3.4 CARA KERJA PENELITIAN
3.4.1 Etika Penelitian
Penelitian ini telah memperoleh persetujuan dari Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis mendapatkan persetujuan untuk melakukan penelitian di
Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan.
3.4.2 Alur Penelitian
Gambar 3.1. Alur Penelitian
3.5 Managemen Data
3.5.1 Jenis Data
Data dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang
diperoleh oleh peneliti dari laporan kesehatan di Dinas Kesehatan Kota
30
3.5.2 Tekhnik Pengumpulan Data
Proses pengumpulan data dalam penelitian ini dengan cara:
1. Pengumpulan data dilakukan saat kegiatan penelitian pada bulan
September-Oktober 2013.
2. Data diperoleh dari laporan kejadian filariasis di Dinas Kesehatan
Kota Tangerang Selatan, Puskesmas Kampung Sawah, Kelurahan
Sawah Baru.
3. Wawancara dengan Staff Dinas Kesehatan Kota Tangerang
Selatan, Puskesmas Kampung Sawah dan Kelurahan Sawah Baru.
3.5.3 Pengolahan Data
Data yang sudah terkumpul didiolah dan dianalisis lalu dibahas
secara deskriptif dalam laporan hasil penelitian
3.5.4 Analisa Data
Analisa univariat dengan menampilkan tabel gambaran frekuensi
insiden filariasis berdasarkan variabel yang terdiri dari variabel orang
(usia, jenis kelamin), tempat (puskesmas, kelurahan) dan waktu (tahun).
3.5.5 Penyajian Data
Data-data hasil penelitian yang diolah ditampilkan secara deskriptif
dalam bentuk tabel, grafik dan gambaran.
31
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Distribusi Epidemiologi Filariasis berdasarkan Karakteristik Orang
Distribusi epidemiologi filariasis berdasarkan karakteristik orang,
dapat berupa usia dan jenis kelamin. Berdasarkan epidemiologi, filariasis
lebih sering terjadi pada orang-orang usia dewasa. Salah satu penyebabnya
adalah infeksi filariasis yang bersifat menahun.
Kejadian filariasis terjadi pada laki-laki dan perempuan disebabkan
kegiatan yang dilakukan pada malam hari. Karena aktivitas nyamuk vektor
filariasis umumnya pada malam hari (nokturna).
1.1 Distribusi Epidemiologi Filariasis berdasarkan Usia di Kota
Tangerang Selatan Tahun 2008-2012
Distribusi epidemiologi filariasis berdasarkan usia di Kota
Tangerang Selatan pada tahun 2008-2012 dapat dilihat pada tabel 4.1:
Tabel 4.1 Distribusi Epidemiologi Filariasis berdasarkan Usia di
Kota Tangerang Selatan Tahun 2008-2012
Usia Frekuensi Persentase (%)
11-20 1 5
21-30 1 5
31-40 2 10
41-50 7 35
51-60 3 15
61-70 5 25
71-80 1 5
Total 20 100
Sumber : Laporan Dinkes Kota Tangerang Selatan, 2013
32
Berdasarkan tabel 4.1, diketahui distribusi epidemiologi
filariasis menurut kelompok usia yang paling tinggi adalah kelompok
usia 41-50 tahun yaitu 7 orang.
Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Rika dan Yenni di
Kemelak Baturaja, Sumatera Selatan (2007), dari 965 sampel,
didapatkan 256 orang (26,7%) positif filariasis yaitu kelompok usia
31-46 tahun.9 Menurut Astri MIP (2007) dalam penelitian Ismed
(2010), dari pemeriksaan darah jari yang dilakukan pada 79 orang
yang diduga terinfeksi filariasis di Desa Sambirejo, Kecamatan Tirto,
Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, didapatkan hasil positif berupa
mikrofilaria dalam aliran darah 6 orang pada kelompok usia 41-50
tahun.29
Dalam penelitian Nasrin di Kabupaten Bangka Barat (2008),
dari 32 penderita filariasis, diketahui 10 orang penderita dari
kelompok usia 51-60 tahun.30
Faktor usia mempengaruhi timbulnya gejala klinis filariasis.
Pada beberapa kasus, gejala klinis filariasis pada penderita timbul
setelah beberapa tahun. Menurut Suharto (2007), filariasis jarang
diderita oleh orang usia kurang dari 20 tahun karena gejala penyakit
bersifat kronis misalnya pembesaran pada lengan dan tungkai
penderita akan timbul 10-15 tahun setelah keluhan pertama.31
Menurut
Soedarmo (2008) dalam penelitian Hermanda (2011), menyatakan
mikrofilaria filariasis bertahan di tubuh manusia selama 5-10 tahun
kemudian baru menimbulkan gejala klinis.32
Menurut Taniawati dan
Agnes (2008) dalam penelitian Santoso (2010), menyatakan bahwa
gejala klinis filariasis baru timbul setelah 10-15 tahun setelah
penderita terinfeksi, sehingga penderita filariasis lebih banyak
didapatkan pada kelompok usia dewasa.33
33
1.2 Distribusi Epidemiologi Filariasis berdasarkan Jenis Kelamin di
Kota Tangerang Selatan Tahun 2008-2012
Distribusi epidemiologi filariasis berdasarkan perbedaan jenis
kelamin di Kota Tangerang Selatan tahun 2008-2012 pada tabel 4.2:
Tabel 4.2. Distribusi Epidemiologi Filariasis berdasarkan Jenis
Kelamin di Kota Tangerang Selatan Tahun 2008-2012
Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)
Laki-laki 7 35
Perempuan 13 65
Total 20 100
Sumber : Laporan Dinkes Kota Tangerang Selatan, 2013
Berdasarkan tabel 4.2 distribusi penderita filariasis menurut
jenis kelamin, menunjukkan bahwa dari 20 orang yang diketahui
menderita filariasis di Kota Tangerang Selatan pada tahun 2008-2012,
13 orang diantaranya adalah perempuan.
Filariasis banyak dialami oleh kelompok perempuan di Kota
Tangerang Selatan. Trend ini sama dengan yang terjadi di beberapa
kota di Indonesia. Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Provinsi
Jawa Tengah (2004), didapatkan 103 orang penderita filariasis kronik,
58 orang perempuan dan 45 orang laki-laki.34
Dalam penelitian Reyke
dan Sumarni di Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo (2006),
didapatkan dari 70 orang penderita filariasis, 36 orang perempuan dan
34 orang laki-laki.35
Demikian pula hasil penelitian yang dilakukan oleh Nola
Riftiana di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah (2010), bahwa dari
34 orang penderita filariasis yang didapat, diketahui 20 orang adalah
perempuan dan 14 orang laki-laki.36
Penelitian Dorsina Fransisca dan
Ika Setyorini di Kecamatan Sirimau, Ambon (2012), dari 40 orang
penderita filariasis, 21 orang perempuan dan 19 orang laki-laki.37
34
Banyaknya kejadian filariasis pada kelompok perempuan di
suatu wilayah, dimungkinkan karena kegiatan yang dilakukan oleh
perempuan di luar rumah pada malam hari tanpa menggunakan
pakaian lengan panjang dan krim anti nyamuk. Menurut Komariah
dan Seftiani (2009), menyatakan kegiatan yang dilakukan oleh
perempuan di luar rumah pada malam hari merupakan penyebab
penularan filariasis.38
Menurut Herry Wibowo dan Yenni Djuardi dalam Santoso
(2010), menyatakan bahwa filariasis lebih sering pada perempuan
karena kegiatan yang dilakukan di luar rumah pada malam hari,
contohnya pergi ke suatu tempat tanpa menggunakan pakaian lengan
panjang.33
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yohannie dan
Raini di Desa Nanjung, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung
(2011), menyatakan hal yang dapat menyebabkan kejadian filariasis
dapat lebih banyak diderita oleh perempuan adalah kegiatan yang
dilakukan oleh perempuan di luar rumah pada malam hari, yaitu pergi
ke luar rumah tanpa menggunakan krim anti nyamuk (repellent).39
Dalam penelitian Kadarusman (2003), menyatakan kejadian
filariasis ada hubungannya dengan kegiatan yang dilakukan oleh
perempuan di luar rumah pada malam hari tanpa menggunakan krim
anti nyamuk.40
Dalam penelitian Marwan di Lebak, Banten (2003),
menyatakan karena perempuan rutin memeriksakan diri ke puskesmas,
sehingga kejadian filariasis yang terdata lebih banyak perempuan.10
Filariasis umumnya lebih banyak diderita oleh laki-laki
dibandingkan perempuan karena pekerjaan fisik yang berat yang
memudahkan laki-laki mendapat infeksi. Namun, tidak selalu setiap
kejadian filariasis lebih banyak dialami oleh laki-laki. Karena pada
dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila tergigit oleh
nyamuk infektif filariasis (mengandung larva stadium 3).39
35
Pada daerah endemis filariasis tidak semua penduduk di daerah
endemis tersebut terinfeksi filariasis. Penduduk yang datang sebagai
transmigran dari daerah non endemis ke daerah endemis filariasis
mempunyai risiko terinfeksi lebih besar dibandingkan penduduk asli.27
2. Distribusi Epidemiologi Filariasis berdasarkan Tempat di Kota
Tangerang Selatan Tahun 2008-2012
Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan
tentang penderita filariasis yang berobat ke Puskesmas di Kota Tangerang
Selatan, maka dapat diketahui distribusi epidemiologi filariasis di Kota
Tangerang Selatan dari tahun 2008-2012 sebagai berikut :
Tabel 4.3 Distribusi Epidemiologi Filariasis berdasarkan Puskesmas
Tempat Berobat di Kota Tangerang Selatan Tahun 2008-2012
Puskesmas Frekuensi Persentase
Bakti Jaya 1 5
Benda Baru 1 5
Jurang Mangu 2 10
Kampung Sawah 6 30
Pamulang 3 15
Pondok Aren 1 5
Pondok Kacang Timur 3 15
Rawa Buntu 1 5
Serpong 1 5
Situ Gintung 1 5
Total 20 100
Sumber : Laporan Dinkes Kota Tangerang Selatan, 2013
36
Pada tabel di atas terlihat bahwa dari total 20 kejadian filariasis
yang dilaporkan terjadi di Kota Tangerang Selatan, diketahui kejadian
filariasis tertinggi di wilayah kerja Puskesmas Kampung Sawah yaitu 6.
Demikian pula jika dikelompokkan berdasarkan kelurahan atau
tempat tinggal penderita, dapat diketahui distribusi epidemiologi filariasis
di Kota Tangerang Selatan dari tahun 2008-2012 pada tabel berikut ini :
Tabel 4.4 Distribusi Epidemiologi Filariasis berdasarkan Kelurahan
Tempat Tinggal di Kota Tangerang Selatan Tahun 2008-2012
Kelurahan Frekuensi Persentase
Bakti Jaya 1 5
Benda Baru 1 5
Jurang Mangu Barat 2 10
Pamulang Barat 1 5
Pamulang Timur 1 5
Pondok Aren 1 5
Pondok Cabe Ilir 1 5
Pondok Kacang Barat 1 5
Pondok Kacang Timur 2 10
Rawa Buntu 1 5
Sawah Baru 5 25
Sawah Lama 1 5
Serpong 1 5
Serua 1 5
Total 20 100
Sumber : Laporan Dinkes Kota Tangerang Selatan, 2013
37
Berdasarkan tabel 4.4, diketahui bahwa kejadian filariasis
terbanyak berada di Kelurahan Sawah Baru yaitu sebanyak 5 dari 20.
Kejadian penyakit di suatu wilayah mungkin dapat disebabkan oleh
kondisi wilayah itu sendiri. Contohnya keadaan geografis wilayah seperti
curah hujan dan kelembaban udara. Menurut Nur Nasry Noor (2008),
menyatakan curah hujan dan kelembaban udara di suatu wilayah sesuai
untuk berkembang biaknya binatang yang dapat menjadi vektor penyakit.13
Selain karena kondisi wilayah, sarana kesehatan yang jaraknya
cukup jauh dari tempat tinggal penduduk mungkin dapat menjadi
penyebab kejadian penyakit di wilayah tersebut. Komariah dan Seftiani
(2009), menyatakan bahwa selain keadaan geografis, kejadian penyakit di
suatu wilayah kemungkinan dapat disebabkan karena jarak sarana
kesehatan yang cukup jauh dari tempat tinggal penduduk.39
Penderita filariasis terbanyak didapatkan di wilayah kerja
Puskesmas Kampung Sawah, yaitu di kelurahan Sawah Baru. Berdasarkan
hasil wawancara dengan Staf Puskesmas Kampung Sawah, diketahui
bahwa di lingkungan Kampung Sawah sejak dulu hingga tahun 2009
masih ditemukan rawa-rawa dan persawahan.
Berdasarkan profil Kelurahan Sawah Baru, diketahui bahwa
Kelurahan Sawah Baru memiliki lahan sawah seluas 25 Ha (hektare) dan
lahan daratan seluas 35 Ha (hektare). Luasnya lahan sawah tersebut
memungkinkan terjadinya kasus filariasis di Kelurahan tersebut.
Kemudian, jarak yang cukup jauh dari Kelurahan Sawah Baru ke
Puskesmas Kampung Sawah sehingga penduduk yang bertempat tinggal di
Kelurahan Sawah Baru tidak rutin untuk memeriksakan kesehatan ke
Puskesmas Kampung Sawah.
Rawa-rawa dan persawahan merupakan habitat yang sesuai bagi
nyamuk vektor filariasis. Dalam penelitian Soeyoko (2008), diketahui
38
bahwa salah satu penyebab kejadian filariasis pada suatu wilayah adalah
terdapatnya rawa-rawa dan persawahan di wilayah tersebut.41
Menurut Soedomo (1990) dalam penelitian Made Agus (2009),
menyatakan kondisi lingkungan yang mendukung terjadinya penularan
filariasis adalah lingkungan berupa rawa-rawa dan persawahan.42
Sesuai
pernyataan sebelumnya, rawa-rawa dan persawahan kemungkinan menjadi
habitat nyamuk vektor filariasis.
3. Distribusi Epidemiologi Filariasis berdasarkan Waktu di Kota
Tangerang Selatan tahun 2008-2012
Distribusi epidemiologi filariasis di Kota Tangerang Selatan
tahun 2008-2012 dapat dilihat pada tabel 4.4:
Tabel 4.4 Distribusi Epidemiologi Filariasis di Kota Tangerang
Selatan Tahun 2008-2012
Tahun Frekuensi Persentase
2008 2 10
2009 3 15
2010 7 35
2011 5 25
2012 3 15
Total 20 100
Sumber : Laporan Dinkes Kota Tangerang Selatan, 2013
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa selama 5 tahun (2008-
2012) kejadian filariasis paling tinggi tahun 2010, setelah itu tahun 2012
kejadian filariasis cenderung turun. Hal ini dimungkinkan karena Program
Pengobatan Massal oleh Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan.
39
Gambar 4.1 Grafik Epidemiologi Filariasis di Kota Tangerang
Selatan Tahun 2008-2012
Dibawah ini adalah tabel jumlah penduduk di Kota Tangerang
Selatan dari tahun 2008-2012, tabel 4.5.
Tabel 4.5 Jumlah Penduduk Kota Tangerang Selatan 2008-2012
Tahun Laki-laki Perempuan Frekuensi
2008 532.670 518.704 1.051.374
2009 609.540 593.559 1.203.099
2010 652.581 638.041 1.290.322
2011 684.155 671.771 1.355.926
2012 708.767 696.403 1.405.170
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan, 2013
Berdasarkan gambar 4.1 dan tabel 4.5, dapat disimpulkan bahwa
menurunnya angka kejadian filariasis karena keberhasilan Program
Pengobatan Massal Filariasis di Kota Tangerang Selatan.
Berdasarkan wawancara dengan Staf Dinas Kesehatan Kota
Tangerang Selatan, diketahui bahwa Program Pengobatan Massal
Filariasis sudah dilakukan lima kali setiap tahun, mulai tahun 2009-2013.
Pengobatan massal yang dilakukan tahun 2009 mencapai 90%.
Pada tahun 2010, cakupan pengobatan massal mencapai 89%. Pada tahun
2011 cakupan pengobatan massal 90%. Namun, pengobatan massal tahun
2012 mengalami penurunan, karena hanya mencapai cakupan 89%.
Tahun 2013 program pengobatan massal memenuhi cakupan 90,67%.
0
1
2
3
4
5
6
7
8
2008 2009 2010 2011 2012
DistribusiEpidemiologiFilariasis di KotaTangerangSelatan Tahun2008-2012
40
Pengobatan Massal yang dilakukan tersebut sudah memenuhi
ketentuan Program POMP Filariasis dengan target yang harus dicapai
untuk memutus rantai penularan minimal pencapaian sebesar 85%.43
Gambaran pencapaian Program Pengobatan Massal filariasis yang
dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Selama 5 tahun
(2009-2013) dapat dilihat pada grafik berikut ini :
Gambar 4.2 Grafik Pencapaian Program Pengobatan Massal
Filariasis, Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan (2009-2013)
Sumber : Laporan Dinkes Kota Tangerang Selatan, 2013
Staf Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan menyatakan
penyebab dari kejadian filariasis di Kota Tangerang Selatan cenderung
naik dari tahun 2008-2010 dan cenderung turun dari tahun 2010-2012
karena adanya kasus baru filariasis yang baru dilaporkan.
Berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan Depkes RI (2013), diketahui kejadian
filariasis di Indonesia tahun 2008 yaitu sebanyak 11.699 kasus. Sampai
tahun 2011 kejadian filariasis cenderung naik mencapai 12.066 kasus.
Tahun 2012 kejadian filariasis cenderung turun menjadi 11.903 kasus.44
Kejadian filariasis yang cenderung turun dari tahun 2011 ke tahun 2012
merupakan keberhasilan pencapaian Program Pengobatan Massal Filariasis
yang dilakukan selama 5 tahun (2008-2012) di Indonesia.
88%
89%
89%
90%
90%
91%
91%
92%
2009 2010 2011 2012 2013
POMP Filariasis
POMP Filariasis
41
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
1. Distribusi penderita filariasis di Kota Tangerang Selatan dari tahun 2008-
2012 berdasarkan usia diketahui bahwa kelompok usia 41-50 tahun lebih
banyak dibanding kelompok usia lain.
2. Distribusi penderita filariasis di Kota Tangerang Selatan dari tahun 2008-
2012 berdasarkan jenis kelamin diketahui bahwa perempuan lebih banyak
disbanding laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari jumlah kasus pada
perempuan sebanyak 13 orang.
3. Distribusi penderita filariasis di Kota Tangerang Selatan dari tahun 2008-
2012 berdasarkan tempat diketahui bahwa Kelurahan Sawah Baru menjadi
daerah dengan kasus filariasis terbanyak se-Kota Tangerang Selatan.
4. Kasus filariasis di Kota Tangerang Selatan dari tahun 2008-2010
cenderung naik, akan tetapi dari tahun 2010-2012 cenderung turun.
5.2 Saran
1. Diperlukan penyuluhan sedini mungkin kepada masyarakat sebagai upaya
pencegahan kejadian penyakit.
2. Kepada perempuan agar menggunakan pakaian tertutup dan pada malam
hari menggunakan obat pengusir nyamuk dan kelambu saat tidur.
3. Kepada Puskesmas Kampung Sawah agar melakukan pembersihan tempat
hidup vektor.
4. Dinas Kesehatan kota Tangerang Selatan dapat melakukan survei lanjutan
untuk mengetahui perkembangan filariasis lebih lanjut, agar dapat
diketahui jumlah penderita filariasis.
42
DAFTAR PUSTAKA
1. Hanafiah W.S, Nanny K.O, Nurlaila Z., Duyeh S., Misyetti. Penelitian Dietil-
Karbamazin Sebagai Sediaan Diagnostik Limfatik Filariasis Evaluasi Non-
Klinis. Bandung: Badan Teknologi Nuklir Nasional, 2012.
2. Aditama T.Y. Rencana Nasional Program Eliminasi Filariasis di Indonesia
2010-2014. Jakarta: Direktorat Jenderal PP & PL Kemenkes RI, 2010.
3. Dyah, H.S, Didik T.S. Laporan Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis;
Dinamika Filariasis di Indonesia. Bogor: Balai Penelitian Veteriner,2007.
4. Kusriastuti. Program Penyehatan Masyarakat dengan Eliminasi Filariasis di
Indonesia 2010. Jakarta: Direktorat Jenderal P2B2 Kemenkes RI, 2011.
5. Triono, Soendoro. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Provinsi Banten
Tahun 2007. Jakarta. Balitbangkes Depkes RI. 2008.
6. Nita, Gilik. Laporan Survei Jumlah Penderita Filariasis di Kota Tangerang
Selatan tahun 2009. Tangsel: Dinas Kesehatan Kota Tangsel, 2010.
7. Retno, Maristi. Gambaran Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Masyarakat
Kelurahan Ciputat tentang Filariasis dan Cara Pencegahan. Jakarta: Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarief
Hidayatullah, 2012.
8. Depkes RI. Pedoman Program Eliminasi Filariasis di Indonesia. Jakarta:
Depkes RI Direktorat Jenderal PP & PL, 2008.
9. Rika, Yenni,. Faktor Risiko Penyakit Filariasis pada Masyarakat di Indonesia.
Palembang: Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit
Bersumber Binatang, 2007.
10. Marwan, Surachman P. Wilayah Rawan Filariasis di Kabupaten Lebak
Provinsi Banten. Jakarta: Fakultas Matematika dan IPA UI, 2007.
11. Agus, Nurjana. Penanggulangan Filariasis di Indonesia di Donggala.
Jakarta: Badan Litbangkes Depkes RI, 2009.
12. Ryadi, dkk. Dasar-dasar Epidemiologi. Jakarta: Salemba Medika,2011.
13. Jalaludin. Pengaruh Sanitasi Lingkungan, Personal Hygiene dan
Karakteristik Anak terhadap Infeksi Kecacingan pada Murid Sekolah Dasar
di Kecamatan Biangmangat Kota Lhokseumawe. Medan: USU, 2009.
43
14. Noor, Nur Nasry. Epidemiologi. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
15. Azwar, Azrul. Pengantar Epidemiologi. Jakarta: Binarupa Aksara, 2004.
16. Munaya, Fauziah, dkk. Epidemiologi Suatu Pengantar. Jakarta: EGC, 2004.
17. Buchari, Lapau. Prinsip dan Metode Epidemiologi. Jakarta: FK UI, 2009.
18. Widoyono, dkk. Penyakit Tropis Epidemiologi Penularan dan Pemberantasan.
Jakarta: Erlangga. 2005.
19. Candra, Aryu. Epidemiologi dan Faktor Risiko Penularan Demam Berdarah.
Semarang: FK Universitas Diponegoro, 2009.
20. Wahyuni, Dwi. Penelitian Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga dan
Persepsi tentang Program Pemberantasan Filariasis di Kecamatan
Patumbak, Medan Tahun 2010. Medan: Universitas Sumatera Utara, 2010.
21. Gandahusada, S. dkk. Parasitologi Kedokteran. Edisi 4. Jakarta: FKUI,2004.
22. Nasronudin, dkk. Penyakit Infeksi di Indonesia Solusi Kini dan Mendatang.
Surabaya: FK UNAIR, 2007.
23. Depkes RI. Pedoman Program Eliminasi Filariasis di Indonesia. Jakarta:
Depkes RI Direktorat Jenderal PP & PL, 2008.
24. Chin, James MD, MPH. Buku Manual Pemberantasan Penyakit Menular.
Edisi 17, Cetakan ke-2. Editor Penterjemah: I Nyoman Kandun. Jakarta: CV.
INFOMEDIKA, 2006.
25. Tri Yunis M, Supali T. Buletin Jendela Epidemiologi; Filariasis di Indonesia.
Volume 1. Jakrata: Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2010.
26. Endang Puji Astuti, dkk. Filariasis Penyakit Tropis yang Terabaikan di Jawa
Barat. Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius, 2013.
27. Depkes RI. Epidemiologi Filariasis. Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan: Jakarta, 2006.
28. Hariyono, S. Penelitian Filariasis; Program Pendidikan Magister Ilmu
Kedokteran Tropik. Surabaya: Universitas Airlangga, 2010.
29. Sawir, Ismed. Laporan Pembinaan dan Pemberdayaan Kelembagaan
Sebagai Unsur Strategi Terpadu Pengendalian Populasi Nyamuk. Jakarta,
Fakultas Matematika dan IPA Universitas Terbuka, 2010
44
30. Nasrin. Tesis: Faktor Lingkungan dan Perilaku Yang Berhubungan Dengan
Filariasis di Kabupaten Bangka Barat Tahun 2008. Semarang. Program
Pascasarjana Universitas Diponegoro,2008.
31. Suharto, dkk. Penyakit Infeksi di Indonesia Solusi Kini dan Mendatang.
Surabaya. FK UNAIR, 2007.
32. Hermanda. Skripsi Faktor Risiko Filariasis. Jakarta: FK UPN Veteran, 2011.
33. Santoso. Hubungan Kondisi Lingkungan dengan Kasus Filariasis. Riset
Kesehatan Dasar Indonesia 2010.
34. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Pencapaian Program Kesehatan
menuju Jawa Tengah Sehat. Jawa Tengah: Dinas Kesehatan Provinsi, 2004.
35. Reyke Uloli, Sumarni. Analisis Faktor-Faktor Risiko Kejadian Filariasis.
Bone, Sulawesi Selatan: Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo. Berita
Kedokteran Masyarakat vol. 24, No.1, Maret 2008.
36. Nola Riftiana. Hubungan Sosiodemografi dengan Kejadian Filariasis di
Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Yogyakarta: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, 2010.
37. Dorsina Fransisca, Ika Setyorini. Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan
Kepatuhan Minum Obat pada Penderita Filariasis di Kecamatan Sirimau,
Ambon (2012). Malang: Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, 2012
38. Komariah, Seftiani. Pengendalian Vektor Filariasis. Palembang: Pasca
Sarjana Kesehatan Masyarakat STIKES Bina Husada, 2009.
39. Yohannie, Raini. Penelitian Upaya Pencegahan Primer Filariasis di
Kabupaten Bandung tahun 2010. Bandung: FK UNPAD, 2011.
40. Kadarusman. Penelitian Kejadian Penularan Filariasis di Kota Medan tahun
2003. Medan: FK USU, 2005
41. Soeyoko. Hubungan Sosiodemografi dengan Kejadian Filariasis di
Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Yogyakarta: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, 2010.
42. Made, Nurdjana. Aspek Epidemiologi Penanggulangan Filariasis di
Indonesia. Jakarta: Badan Litbang Kesehatan Depkes RI, 2009.
43. Purwantyastuti, dkk. POMP Filariasis. Jakarta: Direktorat Jenderal PP & PL,
Depkes RI, 2010.
45
44. Hermawan, Budi. Informasi Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan Tahun 2012. Jakarta, Ditjen P2PL Depkes RI, 2013.
Lampiran 1
DATA KASUS PENDERITA FILARIASIS DI WILAYAH KOTA TANGERANG SELATAN
No Nama Jenis
Kelamin Umur Alamat
Wilayah Puskesmas
Tahun di Temukan
1 Tn. Cuan Och L 49 Pamulang Barat Rt. 01/07 Kec. Pamulang
Pamulang
2009
2 Ny. Munah P 50 Pamulang Timur Rt. 01/26 Kec. Pamulang 2010
3 Kaliman L 60 Jl. Cabe VI, Rt.05/11 Pd Cb Ilir 2012
4 Sani P 53 Benda Baru Rt. 03/05 Kec. Pamulang Benda Baru 2009
5 Tn. Atang L 48 Pdk. Aren Rt. 03/11 (Jakarta Selatan) Pondok Aren 2009
6 Ny. Rina P 40 Kp. Serua Poncol, Kel. Sawah Baru RT. 02/RW 06 Kec. Ciputat
Kampung Sawah
2010
7 Ny. Jenah P 70 Kp. Serua Poncol, Kel. Sawah Baru RT. 02/RW 06 Kec. Ciputat
2010
8 Tn. Markam bin Neman
L 48 Kp. Serua Poncol, Kel. Sawah Baru RT. 02/RW 06 Kec. Ciputat
2010
9 Sainih P 70 Kel. Sawah Baru 5/4 2010
10 Sida P 65 Kel. Sawah Lama Rt. 1/7 2010
11 Nn. Ade Rahmawati
P 19 Kp. Serua Poncol, Kel. Sawah Baru RT. 02/RW 06 Kec. Ciputat
2011
12 Tn. Aminah L 45 Pdk. Serut 2 Rt. 6/3 Pdk. Kacang Barat
Pdk. Kacang Timur
2010
13 Ny. Hj. Amnah P 62 Rt. 03/02 Pondok Kacang Timur 2011
14 Ny. Husnul P 37 Rt. 03/02 Pondok Kacang Timur 2011
15 Tn. Dani L 21 Perum LUK Rt. 05/7 Kel. Bakti Jaya Kec. Setu
Bakti Jaya 2011
16 Ny. Suryati P 65 Kel. Serpong Rt. 02/ 04 Kec. Serpong Serpong 1 2012
17 Ny. Sudarwati
P 54 Kp. Dadap Rt. 01/03 Kel. Rawa Buntu Rawa Buntu 2012
18 Udin L 45 Kel. Jurang Mangu Baratrua Rt. 004/ 02 Jurang Mangu
2008
19 Nonon P 75 Kel. Jurang Mangu Barat 2008
20 Yanih P 40 Kp. Parung Benying Rw. 3 Serua Situ Gintung 2011
Mengetahui
Kepala Seksi P2M
Dr. Muhamad Rusmin
NIP. 19661222 200312 1 001
Lampiran 2
Usia
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 11-20 1 4.0 5.0 5.0
21-30 1 4.0 5.0 10.0
31-40 2 8.0 10.0 20.0
41-50 7 28.0 35.0 55.0
51-60 3 12.0 15.0 70.0
61-70 5 20.0 25.0 95.0
71-80 1 4.0 5.0 100.0
Total 20 80.0 100.0
Missing System 5 20.0
Total 25 100.0
Jenis Kelamin
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Laki-laki 7 28.0 35.0 35.0
Perempuan 13 52.0 65.0 100.0
Total 20 80.0 100.0
Missing System 5 20.0
Total 25 100.0
Waktu
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 2008 2 10.0 10.0 10.0
2009 3 15.0 15.0 25.0
2010 8 40.0 40.0 65.0
2011 4 20.0 20.0 85.0
2012 3 15.0 15.0 100.0
Total 20 100.0 100.0
Usia * Jenis Kelamin Crosstabulation
Jenis Kelamin
Total Laki-laki Perempuan
Usia 11-20 0 1 1
21-30 1 0 1
31-40 0 2 2
41-50 5 2 7
51-60 1 2 3
61-70 0 5 5
71-80 0 1 1
Total 7 13 20
Tempat * Waktu Crosstabulation
Waktu
Total 2008 2009 2010 2011 2012
Tempat Bakti Jaya 0 0 0 1 0 1
Benda Baru 0 1 0 0 0 1
Jurang Mangu 2 0 0 0 0 2
Kampung Sawah 0 0 5 1 0 6
Pamulang 0 1 1 0 1 3
Pondok Aren 0 1 0 0 0 1
Pondok Kacang 0 0 2 1 0 3
Rawa Buntu 0 0 0 0 1 1
Serpong 0 0 0 0 1 1
Situ Gintung 0 0 0 1 0 1
Total 2 3 8 4 3 20
Lampiran
Peta Kota Tangerang Selatan tahun 2014
Sumber : Profil Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, 2013
Lampiran
RIWAYAT HIDUP
Nama : Abdullah Hamdani Tadjoedin
Tempat, tanggal lahir : Bogor, 3 Januari 1990
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Jl. Sempur No.23, Kelurahan Sempur,
KecamatanBogor Tengah, Kota Bogor
Pendidikan
1. 1994-1996 : TK Bina Insani Bogor
2. 1996-2002 : SD Bina Insani Bogor
3. 2002-2005 : SMP Bina Insani Bogor
4. 2005-2008 : SMA YPHB Bogor
5. 2009-sekarang : Pendidikan Dokter UIN Syarif Hidayatullah Jakarta