Post on 24-Oct-2021
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Daniel Rato
NIM : 14520022
Program studi : Ilmu Pemerintahan
Menyatakan bahwa dalam skripsi ini benar benar karya saya sendiri, dan saya
tidak melakukan penjiblakan atau pengutipan atas karya karya atau tulisan lain
dengan cara cara yang tidak sesuai dengan sistematika akademik yang berlaku.
Yang Menyatakan
DANIEL RATO
iv
MOTTO
MENERANGI KEGELAPAN
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
SKRIPSI INI AKU PERSEMBAHKAN
UNTUK
BAPAKKU NGARA RINA
DAN
MAMAKU MARGARETA SANGU
Terimah kasih atas doa dan dukungan kalian, terimah kasih untuk sengalanya yang
kalian berikan. .
vi
KATA PENGANTAR
Pujih dan syukur kehadirat Tuhan Yesus yang maha Esa karena atas
berkat Rahmat dan peyertaan serta anugrahnya penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini, penulis sadari kemurahan Tuhan Yesus yang begitu luar biasa melalui
keluarga sahabat orang tersayang yang selalu dengan iklas menemani selama
proses Peyusunan skripsi ini sampai selesai.
Setulus hati yang besar penulis menyadari bahwa skripsi ini masi sangat
jauh dari sempurna karena keterbatasan penulis dalam mengkaji masalah ini,
Namun demikian, skipsi ini hasil kerja serta upaya yang maksimal,tidak sedikit
hambatan,rintagan,cobaan,kesulitan yang di temui penulis. Atas kekurangan dan
ketidaksempurnaan,Penulis mengharapkan kritik dan saran sehingga dapat
memperbaiki tulisan ini menjadi lebih baik lagi. Namun patut di syukuri karena
banyak pengalaman yang dapat di ambil dalam penulisan skripsi ini.
Untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa
terimaksih tak terhingga kepada :
1. Bapak Habib Muhsin, S.sos,M.Si selaku Rektor Sekolah Tinggi
Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta.
2. Bapak Gregorius Sahdan, S.IP, M.A selaku ketua prodi Ilmu Pemerintahan
dan sekaligus pembimbing skripsi yang dengan tulus hati membantu
mengarahkan dalam penulisan skripsi ini.
3. Kepada Bapak/ibu Dosen yang telah memberikan perkuliahan di kelas yang
pernah penulis ikuti sejak semester satu hingga akhir perkuliahan.
4. Pemerintah dan masyarakat kota yogyakarta yang telah memberikan izin
kepada penulis sehingga penulis tidak mendapkan kendalah dalam penelitian.
5. Kepada seluru kawan kawan seperjuangan yang tidak bisa sebutkan satu
persatu terimah kasih atas dukungan kalian semua dalam penyelesaian skripsi
ini.
vii
6. Kepada keluarga besar yang berada di pulau Sumba, Bapak, mama, kakak,
adik serta semua keluarga yang penulis tidak bisa sebut satu persatu.
Akhir kata penulis berharap semoga karya ini dapat berguna bagi banyak orang.
Dan semoga apa yang semua pihak berikan dalam penyelesaiam skripsi ini
mendapat balasan dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Yogyakarta, 4 September 2018
Penyusun
DANIEL RATO
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN .................................................. iii
HALAMAN MOTTO ................................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................. vi
DAFTAR ISI ................................................................................................ viii
DAFTAR TABEL ........................................................................................ x
ABSTRAK ................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................... 12
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 12
D. Kerangka Teori .......................................................................... 13
E. Ruang Lingkup Penelitian .......................................................... 37
F. Metode Penelitian ...................................................................... 37
1. Jenis Penelitian .................................................................... 37
2. Unit analisis ......................................................................... 38
3. Teknik Pengumpulan Data ................................................... 38
4. Teknik Analisis Data............................................................ 40
ix
BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ......................... 43
A. Kota Yogyakarta ........................................................................ 43
1. Sejarah Kota Yogyakarta ..................................................... 43
2. Visi dan Misi Kota Yogyakarta ............................................ 45
3. Demografi Kota Yogyakarta ................................................ 45
4. Geografi Kota Yogyakarta ................................................... 47
5. Struktur dan Pola Ruang Kota Yogyakarta ........................... 49
6. Keadaan Ekonomi, Pendidikan, Sosial, dan Budaya ............. 54
B. Struktur Organisasi Pemerintahan Kota Yogyakarta................... 56
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 63
A. Deskripsi Penelitian ................................................................... 63
B. Hasil Penelitian.......................................................................... 64
1. Identitas Informan ................................................................ 64
2. Pembangunan Kota Berwawasan Lingkungan ...................... 65
3. Faktor Penghambat dan Faktor Pendukung Pembangunan
kota Berwawasan Lingkungan ............................................. 85
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 91
A. Kesimpulan ............................................................................... 91
B. Saran ......................................................................................... 93
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
x
DAFTAR TABEL
Tabel III.1 Identitas Informan ..................................................................... 64
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan berwawasan lingkungan hidup sering pula dikemukakan
sebagai pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian, pentingnya
pengelolaan lingkungan hidup sebagai upaya terpadu untuk melestarikan
fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan,
pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian
lingkungan hidup. Pembangunan berwawasan lingkungan hidup yang
berkelanjutan, setidaknya terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan, yakni;
pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana, pembangunan
berkesinambungan sepanjang masa, dan peningkatan kualitas hidup generasi.
Munculnya isu pembangunan berwawasan lingkungan yang
berkelanjutan seiring dengan gagasan pembangunan berkelanjutan.
Munculnya strategi pembangunan berkelanjutan (sustainable development),
sekitar tahun 1970-an seiring dengan merebaknya masalah lingkungan. Hal ini
ditandai dengan paradigma pembangunan ekonomi konvensional dengan
mengejar pertumbuhan ekonomi semata, namun melahirkan kerusakan
lingkungan dan Sumber Daya Alam (SDA). Karena itu, pembangunan
berwawasan lingkungan hidup yang berkelanjutan menjadi penting untuk
dikaji.
2
Menurut Von Stoker (Sugandhy & Hakim, 2007:22) menekankan
perlunya koordinasi dan integrasi SDA, SDM, dan sumber daya buatan dalam
setiap pembangunan nasional, dengan pendekatan kependudukan,
pembangunan, dan lingkungan sampai dengan integrasi aspek sosial, ekonomi,
dan lingkungan. Dengan demikian, 3 (tiga) pilar pembangunan berkelanjutan
adalah masyarakat (society), lingkungan (environment), dan ekonomi
(economy). Dalam pembangunan berkelanjutan, SDA tidak hanya sekedar
dieksploitasi untuk mengejar nilai ekonomis saja, melainkan harus
memperhatikan aspek kelestarian lingkungan hidup. Artinya, dalam konsep
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang berwawasan
lingkungan, memerlukan upaya yang sadar dan terencana, yang memadukan
lingkungan hidup termasuk sumber daya proses pembangunan untuk
menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan
masa yang akan datang.
Perhatian yang lebih besar terhadap lingkungan hidup sebenarnya
adalah bagian dari perjalanan ke arah pembangunan yang berkualitas suatu
pembangunan yang tidak hanya mengejar jumlah, tetapi menuju mutu, bukan
hanya seberapa besar kemakmuran material bisa dicapai, tetapi bagaimana
mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Iklim pembangunan yang
demikianlah kelestarian dan pemeliharaan lingkungan hidup mampu
menjelma dalam kemauan politik yang kuat dan didukung oleh semua
kalangan. Seiring dengan perkembangan dan perubahan tatanan kehidupan
bangsa yang sesuai dengan tuntutan rakyat Indonesia, telah memunculkan arus
3
perubahan yang bernama reformasi. Reformasi mengharuskan pemerintah
melakukan perubahan dan penyesuaian kebijaksanaan, salah satunya
kebijaksanaan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Kebijaksanaan itu
mengarahkan kepada perkembangan yang berkelanjutan, mewujudkan
integritas dan sinergi dalam pelaksanaan pembangunan pada kelestarian
ekologi, ekonomi, sosial dan budaya dengan mengintegralkan semua
komponen.
Aktivitas masyarakat sendiri menjadi salah satu faktor yang signifikan
yang mempengaruhi keberlangsungan hidup suatu ekosistem. Oleh karena itu
sering dikatakan bahwa manusia (penduduk) memiliki fungsi ganda. Di satu
sisi, sebagai pendukung/pendorong pembangunan (dalam artian insan
lingkungan) yang bertindak memperhatikan lingkungan dan keberlangsungan
hidupnya, dan sisi lain manusia adalah beban dari pembangunan itu sendiri.
Artinya, jumlah penduduk yang besar semakin membebani pembangunan
khususnya pembangunan lingkungan hidup. Upaya untuk mengatasi hal
tersebut diperlukan upaya-upaya pemberdayaan yang berbasis pada
masyarakat di suatu daerah secara sistematis dan terencana dengan baik dalam
rangka meningkatkan kemandirian dan kemitraan di dalam masyarakat itu
sendiri, menumbuhkembangkan kemampuan dalam lingkungan masyarakat di
sekitar, meningkatkan daya tanggap masyarakat untuk melakukan pengawasan
sosial terhadap lingkungannya dan memberikan kontribusi saran dan pendapat
juga informasi lingkungan yang bermanfaat bagi kelestarian lingkungan hidup
setempat. Pentingnya keterlibatan masyarakat bukan sekadar objek, melainkan
4
sekaligus subjek dalam mencapai kelestarian lingkungan hidup. Artinya,
masyarakat berhak untuk berperanserta dan ambil bagian dalam pengelolaan
lingkungan hidup, sebagaimana tercermin dalam Pasal 5, ayat 1, 2 dan 3, UU
Nomor 23 Tahun 1997 tentang lingkungan.
Keterlibatan masyarakat dalam mengelola lingkungan hidup sejalan
dengan pendekatan dalam pembangunan dengan pendekatan pembangunan
yang berpusat pada manusia (people-centered development). Pendekatan
initelah mengundang kebangkitan kembali dengan semangat baru yang lebih
bersifat partisan pembangunan masyarakat. Pendekatan pembangunan seperti
ini merupakan suatu elemen dasar dari suatu strategi pembangunan yang lebih
luas, bertujuan untuk mencapai suatu transformasi berdasarkan nilai-nilai yang
berpusat pada manusia dan potensi-potensi yang ditawarkan oleh teknologi
maju berdasarkan informasi.Pembangunan yang berpusat pada manusia,
memandang manusia sebagai warga masyarakat, sebagai fokus utama maupun
sumber utama pembangunan, dan nampaknya dapat dipandang sebagai suatu
strategi alternatif pembangunan masyarakat yang menjamin komplementaritas
dengan pembangunan bidang-bidang lain, khususnya bidang ekonomi.
Paradigma ini memberikan peranan kepada individu bukan sebagai
obyek, tetapi sebagai subyek yang menentukan tujuan yang hendak dicapai,
menguasai sumber-sumber, mengarahkan proses yang menentukan hidup dan
perilakunya (Moeljarto, 2007). Paradigma ini adalah suatu perspektif atau
pandangan environment development dalam konteks pemberdayaan
masyarakat yang memberikan ruang gerak yang sangat penting sebagai
5
kekuatan di luar Negara, dalam hal ini masyarakat dan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) untuk proaktif dalam proses pembangunan lingkungan
hidup. Peran masyarakat baik secara individu maupun kelompok perlu
diberdayakan. Adapun organisasi masyarakat yang dimaksud dalam penelitian
ini adalah organisasi yang berpotensi sebagai wadah informasi dan program
pembangunan yang berwawasan lingkungan, yaitu kelompok tani, LSM yang
ada, satuan-satuan masyarakat adat, dan kelompok masyarakat konservasi. Hal
ini dikarenakan organisasi tersebut selain membantu pemerintah, dapat pula
berfungsi sebagai agen pembaharu dalam pemberdayaan masyarakat.
Dalam usaha pemberian peran secara nyata oleh pemerintah terhadap
masyarakat dan keterlibatannya terhadap proses pembangunan lingkungan
dapat diwujudkan dengan cara dilibatkannya masyarakat mulai dari proses
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pengawasan hingga evaluasi
pembangunan. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat mempunyai kepedulian
dan rasa memiliki atas setiap program pembangunan terutama yang
berorientasi terhadap pembangunan ekonomi masyarakat dan lingkungan.
Maksud yang lain adalah agar ketergantungan masyarakat terhadap sumber
daya alam yang tidak dapat diperbaharui dapat dikurangi karena tingkat
kesadaran lingkungan yang tinggi. Oleh karena itu, keterlibatan masyarakat
merupakan faktor yang sangat penting dalam menjamin kesuksesan,
kesinambungan dan pengembangan program yang dibuat oleh pemerintah.
Dalam kaitan ini peran masyarakat secara individu dan kelompok adalah
perpanjangan tangan pemerintah sebagai agen pembaharu, yang pada akhirnya
6
melalui kelompok inilah dimulai perubahan budaya dan perilaku masyarakat
dari yang acuh tak acuh menjadi masyarakat yang peduli dan sadar
lingkungan.
Kota merupakan pusat pemukiman penduduk yang melibatkan
berbagai kegiatan. Baik kegiatan yang bersifat ekonomi, industri, teknologis
dan kegiatan sosial. Berdasarkan aktivitas tersebut banyak menimbulkan
ketimpangan, seperti pembangunan industri yang menimbulkan berbagai
dampak lingkungan (pencemaran air limbah dan pencemaran air bersih).
Banyaknya kendaraan bermotor, padatnya lalu lintas menimbulkan populasi
udara dan kesemrawutan lalu lintas serta berbagai benturan sosial lainnya.
Upaya untuk pengaturan lingkungan perkotaan, maka pola pembangunan
perkotaan yang berwawasan lingkungan ialah konsep yang harus ditempuh
melalui proses jangka panjang. Sebab kota merupakan arena kegiatan manusia
yang serba kompleks melibatkan berbagai aspek ativitas. Baik aspek
manusianya, sumber daya alam dan buatan manusia. Pembangunan perkotaan
dapat berdampak pada lingkungan, yaitu merusak ekosistem perkotaan.
Seperti disebutkan dalam UULH Pasal 1 angka 13 menyebutkan bahwa
pembangunan berwawasan lingkungan adalah upaya sadar dan berencana
menggunakan dan mengelola sumber daya secara bijaksana dalam
pembangunan yang berkesinambungan untuk meningkatkan mutu hidup.
Pembangunan berwawasan lingkungan merupakan suatu proses pembangunan
berwawasan lingkungan, berasumsi bahwa setiap kegiatan akan menimbulkan
dampak terhadap lingkungan hidup (Salim, 1993:109).
7
Tingginya perkembangan ekonomi di Yogyakarta ini kemudian
menjadi paradoksa tersendiri bagi masyarakat Yogyakarta, yaitu masyarakat
menerima keuntungan ekonomi yang semakin maju, akan tetapi kenyamanan
dan keamanan wilayah menjadi isu tersendiri. Salah satu efek dari
pembangunan yang tiada henti di Yogyakarta adalah semakin sempitnya lahan
lepas di Yogyakarta. Hal ini seperti yang dituangkan dalam Laporan Status
Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) (2014) yang mengungkapkan bahwa
kemajuan pembangunan di Yogyakarta tidak hanya membawa keuntungan
bagi masyarakat, akan tetapi juga efek domino yang pada akhirnya menjalar
keberbagai aspek kehidupan masyarakat. Efek domino yang dimaksudkan di
sini adalah seperti perkembangan pembangunan membawa dampak pada
sempitnya ruang gerak untuk masyarakat, dimana pada akhirnya akan semakin
mempersempit lahan, perkembangan pembangunan juga membawa
peningkatan dalam jumlah penduduk dan banyaknya wisatawan yang
kemudian mengharuskan wilayah untuk dapat menyediakan lahan, udara dan
pengelolaan ruang yang baik agar dapat tetap menjaga keseimbangan
lingkungan.
Masalah-masalah yang kemudian muncul adalah pencemaran
lingkungan dalam bentuk sampah. Hingga saat ini Yogyakarta masih
berkecimpung dalam persoalan pembenahan sampah. Permasalahan sampah
yang dimaksud termasuk juga dalam pembuangan limbah, dimana limbah
yang dihasilkan dalam bentuk padat dan cair. Mengacu pada permasalahan
yang disampaikan dalam laporan SLDH 2014, pencemaran lingkungan (baik
8
sampah dan limbah) ini kemudian menjadi meningkat ketika sudah mencemari
sungai-sungai di wilayah Yogyakarta. Selain itu, permasalahan lainnya yang
muncul adalah ketika angka kepadatan penduduk yang cukup tinggi
menyebabkan masyarakat kesulitan untuk membuat tangki septik, sehingga
memilih solusi untuk membuang secara langsung ke sungai bagi masyarakat
yang tinggal di pinggiran sungai. Pemantauan kualitas air sungai yang
dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Yogyakarta
menunjukkan bahwa semua sungai yang ada di wilayah Kota Yogyakarta telah
tercemar dan sebagian parameter yang dianalisis telah melewati baku mutu
yang ditentukan. Kesadaran sebagian masyarakat terhadap fungsi sungai
masih rendah sehingga menyebabkan kondisi ini masih terjadi sampai
sekarang.
Masalah-masalah migrasi penduduk ke Kota Yogyakarta dan
beriringan dengan perkembangan industri, teknologi yang mencemari
lingkungan dengan asap knalpot kendaraan bermotor (polusi), jelaga dari
cerobong pabrik, air buangan pabrik dan segala buangan produk obat-obatan
anti hama seperti DDT dan lain-lain. Sampah plastik juga turut menambah
permasalahan bagi lingkungan hidup karena tidak hancur lebur dengan tanah
seperti sampah daun atau sampah lainnya yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.
Akibat dari pembangunan kota dan perkembangan teknologi di Kota
Yogyakarta ini adalah timbulnya pencemaran lingkungan yang berupa
pencemaran sungai, udara, pencemaran air, pencemaran tanah, dan
kebisingan. Akibat atau bahaya yang ditimbulkan oleh pencemaran
9
lingkungan secara garis besar merugikan manusia, terutama orang yang
tinggal di pusat Kota Yogyakarta. Bahaya pencemaran lingkungan hidup di
Kota Yogyakarta semakin hari semakin serius dan akan memberi dampak
yang berbahaya pada jangka panjang, jika tidak segera diambil langkah-
langkah konkrit Pemerintah DIY dalam menanggulangi masalah lingkungan
hidup.
Akibat migrasi penduduk, muncul permasalahan terkait pembangunan
kota berwawasan lingkungan di Kota Yogyakarta adalah permukiman di Kota
Yogyakarta yang telah tumbuh berkembang menjadi padat karena karena tata
ruang yang kurang terkoordinasi dengan baik. Akibat tata ruang yang kurang
terkoodinasi, titik kelemahan dalam proses perencanaan yang terletak pada
penekanan perencanaan yang cenderung lebih diutamakan pada aspek
lingkungan buatan daripada mengoptimalkan aspek lingkungan alaminya.
Salah satu permasalahan tersebut adalah kawasan tepian sungai telah berubah
fungsi lahan menjadi area permukiman. Hal ini merupakan akibat dari
kebutuhan ruang hunian yang meningkat sehingga mendesak arah
pemanfaatan ruang untuk permukiman ke daerah-daerah konservasi seperti
kawasan tepian sungai. Kondisi ini sangat bertentangan dengan Peraturan
Republik Indonesia No 26 Tahun 2008 pasal 56 ayat 2 tentang sempadan
sungai yang menyebutkan bahwa kawasan tepian sungai merupakan kawasan
perlindungan setempat. Selain itu pelanggaran yang terjadi yaitu banyak
ditemui permukiman yang berdekatan dengan tanggul sungai dan tidak
memenuhi aturan jarak sempadan minimal dari bibir tanggul berdasarkan
10
peraturan yang telah ditetapkan. Situasi yang terjadi pada kawasan
permukiman tepian Sungai Winongo di Kota Yogyakarta yaitu terjadinya
kepadatan bangunan yang tinggi di area sempadan memunculkan berbagai
permasalahan seperti lingkungan yang kumuh, keterbatasan ruang terbuka
hijau, mulai berkurangnya vegetasi di area sempadan karena dibangunnya
tanggul permanen. Dalam pelestarian lingkungan hidup, masih lemahnya
sistem pemantauan dan pengendalian atas pencemaran udara dan air serta
terbatasnya ruang terbuka hijau kota.
Laju urbanisasi dan pembangunan kota di Kota Yogyakarta yang
tinggi akan membawa dampak tersendiri bagi lingkungan hidup di dalam
maupun di sekitar kota. Perkembangan aktivitas ekonomi, sosial, budaya dan
jumlah penduduk Kota Yogyakarta membawa perubahan besar dalam
keseimbangan lingkungan hidup di kota. Aktivitas kota, pertumbuhan
penduduk, dan kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk Kota Yogyakarta
ini telah menyita areal taman, tanah kosong, hutan ladang di sekelilingnya
untuk tempat tinggal, tempat usaha, tempat pendidikan, kantor, ataupun
tempat berolahraga dan untuk jalan. Hal ini otomatis memperburuk
keseimbangan lingkungan mulai dari menciutnya areal tanaman, merosotnya
daya absorbsi tanah yang kemudian sering berakibat banjir apabila hujan,
sampai masalah sampah dengan segala akibatnya.
Penyebab permasalahan terkait pembangunan kota berwawasan
lingkungan di Kota Yogyakarta adalah kebijakan pembangunan Kota
Yogyakarta dan di berbagai daerah di Indonesia masih bersifat konvensional
11
dan “top down”, yang didominasi peran pemerintah dan lebih berorientasi
pada pendekatan fisik dan ekonomi. Pendekatan fisik terkait dengan
pembangunan prasara dan infra struktur kota, seperti pembutan dan perbaikan
jalan, drainase, gedung perkantoran, sekolah pasar, terminal, rumah sakit dan
lain-lain. Hambatan-hambatan dalam pembangunan kota berwawasan
lingkungan Kota Yogyakarta adalah terkait dengan permasalahan lingkungan
hidup yang diakibatkan oleh faktor manusia adalah terkait dengan perilaku
masyarakat yang kurang memperhatikan aspek kelestarian dan kebersihan
lingkungan, antara lain kurangnya disiplin masyarakat dan dunia usaha dalam
membuang sampah, limbah industri, pendirian rumah hunian di bantaran
sungai dan pendirian bangunan liar yang kurang mentaati peraturan
perundang-undangan (RPJDP, 2007:23).
Kota Yogyakarta adalah kota yang berawasan lingkungan.
Pembangunan berwawasan lingkungan merupakan keharusan bagi pemerintah
daerah setempat Kota Yogyakarta ataupun masyarakat Kota Yogyakarta.
Dalam penelitian ini, Pemerintah Kota Yogyakarta memiliki peran sangat
penting untuk menciptakan pembangunan berwawasan lingkungan.
Pentingnya peran pemerintah Kota Yogyakarta tersebut sejalan dengan
kehidupan sosial ekonomi masyarakat Kota Yogyakarta, yang sebagian besar
memanfaatkan dan menggantungkan pada Sumber Daya Alam (SDA) yang
tersedia. Oleh karena itu, untuk memaksimalkan potensi SDA sebagai sumber
pertumbuhan ekonomi bagi pemerintah daerah, sekaligus sumber kehidupan
masyarakat, pemerintah dan masyarakat harus membangun komitmen bersama
12
untuk menciptakan pembangunan yang berwawasan lingkungan agar sesuai
dengan prinsip-prinsip keseimbangan lingkungan dan ekologis.
Bagaimanapun, peran pemerintah daerah yang diberikan mandat oleh
rakyatnya, menjadi kunci dalam menginisiasi dan mempromosikan kepada
masyarakat tentang pengelolaan lingkungan dan SDA yang tersedia. Artinya,
kebijakan pemerintah daerah dalam mewujudkan pembangunan berwawasan
lingkungan, akan sulit tercapai jika tidak melibatkan masyarakat itu sendiri.
Berkaitan dengan masalah yang diraikan di atas, peneliti berkeinginan
untuk melakukan penelitian dengan judul “Pembangunan Kota Berwawasan
Lingkungan (Studi di Kota Yogyakarta)”.
B. Rumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pembangunan kota berwawasan lingkungan di Kota
Yogyakarta?
2. Bagaimanakah faktor penghambat dan faktor pendukung Pemerintah Kota
Yogyakarta dalam upaya pembangunan berwawasan lingkungan di Kota
Yogyakarta?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Adapun tujuan dari penelitian adalah:
a. Untuk menggambarkan pembangunan kota berwawasan lingkungan di
Kota Yogyakarta.
13
b. Untuk menggambarkan faktor pendukung dan penghambat Pemerintah
Kota Yogyakarta dalam upaya pembangunan berwawasan lingkungan
di Kota Yogyakarta.
2. Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah:
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis dari hasil penelitian tersebut diharapkan dapat
memperluas pengetahuan bidang ilmu pemerintahan dan dijadikan
khasanah kepustakaan sebagai pedoman dalam penelitian yang
berkaitan dengan gambaran pembangunan kota berwawasan
lingkungan di Kota Yogyakarta.
b. Manfaat Praktis
Hasil tersebut secara praktis gambaran faktor pendukung dan
penghambat Pemerintah Kota Yogyakarta dalam upaya pembangunan
berwawasan lingkungan di Kota Yogyakarta ini diharapkan dapat
memberikan informasi dan masukan bagi Pemerintah Kota Yogyakarta
dalam melaksanakan program pembangunan kota berwawasan
lingkungan.
D. Kerangka Teori
Kerangka teori dalam penelitian ini merupakan serangkaian teori-teori
yang melandasi penelitian tentang pembangunan kota berwawasan lingkungan
di Kota Yogyakarta. Oleh karena itu, konsep yang dipaparkan dalam
penelitian ini meliputi; konsep pembangunan, konsep lingkungan, konsep
14
pembangunan berwawasan lingkungan, konsep kota, dan faktor yang
mempengaruhi perkembangan pembangunan perkotaan.
1. Konsep Pembangunan
Menurut Siagian (1998:47) pembangunan adalah suatu usaha atau
rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan
dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju
modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building). Dalam
pembangunan kota bahwa kekuatan perkembangan ekonomi dan beberapa
hal demikian hebatnya sehingga pemukiman tumbuh mencapai batas
kemampuan lingkungannya. Dapat disaksikan bahwa beberapa kota
melampaui kapasitas lahannya menghasilkan penggunaan yang tak
sebanding antara lahan dan lingkungan, terutama tanah, topografi, dan
drainase.
Dalam perencanaan konsep pembangunan yang modern saat ini
membutuhkan pendekatan tim dari berbagai disiplin. Upaya untuk
memecahkan persoalan dengan baik dibutuhkan berbagai perspektif.
Sebagaimana Marsh (1991:362) mengidentifikasi keterlibatan para ahli
dalam perencanaan konsep pembangunan yang modern antara lain:
a. Perencana pembangunan bertugas membuat proyeksi penduduk dan
ekonomi.
b. Insinyur bertugas mengevaluasi sistem pengangkutan dan
pembuangan.
15
c. Ahli kualitas udara yang bertugas melakukan analisis dampak
pembakaran dan kebisingan terhadap lingkup atmosfer.
d. Ahli tanah dan air yang bertugas melakukan analisis dampak kegiatan
manusia terhadap kemurnian air, air tanah dan tata guna lahan.
e. Ahli kesehatan lingkungan yang mengkaji dampak potensial dari
konterminasi udara dan air terhadap kesehatan manusia.
f. Ahli ekonomi menghitung biaya untuk masing-masing alternatif.
Selain itu, dalam perencanaan konsep pembangunan yang modern
diperlukan tanggung jawab dan ketelibatan berbagai ahli dalam
penanganan lingkungan hidup, maka dirangkum tugas-tugas antara lain:
a. Para teknisi dapat melakukan pemetaan, pengambilan sampel
lapangan, pengamatan dan pembentukan model.
b. Pengambilan keputusan, mencakup perumusan dan penilaian berbagai
alternatif dan penetapan kebijakan lingkungan.
c. Desain, yang menghendaki perumusan rencana fisik dan skema desain
untuk fasilitas dan pertahanan daerah perkotaan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan konsep
pembangunan merupakan rangkaian proses untuk perubahan fisik dan
sosial yang terencana dan dilakukan secara sadar oleh pemerintah atau
masyarakat.
2. Konsep Lingkungan
Supardi (2003:2) mengemukakan lingkungan juga disebut
lingkungan hidup yang berarti jumlah semua benda hidup dan mati serta
16
seluruh kondisi yang ada di dalam ruang yang ditempati. Lingkungan
hidup disini berarti segala sesuatu yang berada di sekeliling manusia yang
sifatnya mempengaruhi kelangsungan hidupnya (Soemartono, 2004:37).
Pada dasarnya lingkungan dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok dasar, yaitu:
a. Lingkungan Fisik (Physical Environment)
b. Lingkungan Biologis (Biological Environment)
c. Tumbuh-tumbuhan dari yang terbesar sampai terkecil
Pengelolaan lingkungan hidup menurut Undang-Undang No 32
Tahun 2009 tentang pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu
untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan
penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan,
pengawasan dan pengendalian. Menurut Soemarwoto (2004:76)
pengelolaan lingkungan hidup dapat diartikan sebagai usaha secara sadar
untuk memelihara atau dan memperbaiki mutu lingkungan agar kebutuhan
dasar kita dapat terpenuhi dengan sebaik-baiknya.
Peranan pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan
hidup peran masyarakat, setiap orang adalah bagian dari masyarakat dan
masyarakat memiliki hak, kewajiban dan peran yang sama dalam
pengelolaan lingkungan, tanpa terkecuali masyarakat desa, pelosok
maupun kota, karena ruang lingkup lingkungan bukan hanya di tempat-
tempat tertentu saja namun seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Keberadaan masyarakat akan efektif sekali, jika peranya dalam
mengontrol pengelolaan lingkungan yang ada. Peran Pemerintah dalam
17
pengelolaan lingkungan, pemerintah sebagai lembaga tertinggi dalam
suatu Negara berwenang untuk mengatur ataupun mengendalikan apa saja
yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup, dan untuk
mengimplementasikannya, maka pemerintah mengatur dan
mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan lingkungan
hidup.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep
lingkungan merupakan segala sesuatu yang berada di sekeliling manusia
yang terbagi menjadi lingkungan fisik (physical environment), lingkungan
biologis (biological environment), dan tumbuh-tumbuhan dari yang
terbesar sampai terkecil.
3. Konsep Pembangunan Berwawasan Lingkungan
Pembangunan berwawasan lingkungan adalah suatu proses
pembangunan berwawasan lingkungan, berasumsi bahwa setiap kegiatan
akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup (Salim, 1993:109).
Pola pembangunan perkotaan yang berwawasan lingkungan ialah konsep
yang harus ditempuh melalui proses jangka panjang. Sebab kota
merupakan arena kegiatan manusia yang serba kompleks melibatkan
berbagai aspek ativitas. Baik aspek manusianya, sumber daya alam dan
buatan manusia. Oleh karenanya, pembangunan perkotaan dampak
lingkungan yang ditimbulkan merusak ekosistem perkotaan. Pembangunan
berwawasan lingkungan merupakan upaya sadar dan berencana dalam
18
pembangunan sekaligus pengelolaan sumber daya secara bijaksana dalam
pembangunan (Agustina, 2008:21).
Menurut Yakin (2004:26) pembangunan berwawasan lingkungan
menghendaki syarat-syarat sebagai berikut:
a. Pembangunan itu sarat dengan nilai, dalam arti bahwa pembangunan
harus diorientasikan untuk mencapai tujuan ekologis, sosial, dan
ekonomi.
b. Pembangunan itu membutuhkan perencanaan dan pengawasan yang
seksama pada semua tingkat.
c. Pembangunan itu menghendaki pertumbuhan kualitatif setiap individu
dan masyarakat
Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 dalam pasal 13
tercantum bahwa pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan
hidup dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Kebijakan nasional dalam bidang lingkungan hidup PROPENAS
merumuskan program yang disebut sebagai pembangunan sumber daya
alam dan lingkungan hidup. Program itu mencangkup:
a. Program pengembangan dan peningkatan akses informasi sumber daya
alam dan lingkungan hidup.
b. Program peningkatan efektifita pengelolaa, konservasi dan rehabilitas
sumber daya alam.
c. Program pencegahan dan pengendalian kerusakan dan pencemaran
lingkungan hidup.
19
Dalam pembangunan kota yang wawasan lingkungan, maka
diperlukan pengelolaan AMDAL. Amdal dilakukan untuk menjamin
tujuan proyek-proyek pembangunan yang bertujuan untuk kesejahteraan
masyarakat tanpa merusak kualitas lingkungan hidup. AMDAL bukanlah
suatu proses yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari proses
Amdal yang lebih besar dan lebih penting sehingga AMDAL merupakan
bagian dari beberapa hak berikut:
a. Pengelolaan Lingkungan. Dalam melakukan kegiatan pengelolaan
lingkungan diperlukan adanya susunan rencana pengelolaan
lingkungan. Susunan rencana pengelolaan lingkungan baru dapat
dilakukan setelah diketahui dampak-dampak yang akan terjadi akibat
proyek yang akan dilakukan. Di sinilah peranan penting AMDAL agar
proyek pembangunan yang dilakukan tidak memberikan dampak buruk
bagi lingkungan.
b. Pengelolaan Proyek. Dalam pengelolaan proyek, peranan AMDAL
adalah terlebih dahulu melakukan fase-fase berikut:
1) Fase identifikasi
2) Fase studi kelayakan
3) Fase desain kerekayasaan (engineering design) atan fase rancangan
4) Fase pembangunan proyek
5) Fase proyek berjalan atau fase proyek beroperasi
6) Fase proyek telah berhenti beroperasi atau pasca opeasi (post
operation)
20
c. Pengambilan Keputusan. Dari hasil AMDAL, dapat diketahui apakah
suatu aktivitas pembangunan akan berdampak baik atau buruk pada
lingkungan. Pemerintah pun akan mengambil keputusan dari hasil
AMDAL tersebut. Jika berdampak baik, maka pembangunan akan
dilanjutkan secara berkesinambungan. Akan tetapi, jika kegiatan
pembangunan tersebut berdampak buruk pada lingkungan, maka
kegiatan tersebut tidak akan dilakukan atau dilakukan alternatif-
alternatif lain yang dapat menghilangkan atau meminimalisasi dampak
negatif tersebut.
d. Dokumen yang Penting. Laporan AMDAL merupakan dokumen
penting yang merupakan sumber informasi yang sangat bermanfaat
untuk berbagai keperluan:
1) Sebagai informasi pembanding dalam hasil analisis
2) Sebagai sumber informasi yang penting untuk proyek yang akan
dilaukan di daerah dekat lokasi tersebut.
3) Dokumen penting yang dapat digunakan di pengadilan dalam
menghadapi tuntutan proyek lain, masyarakat atau instansi
pengawas.
Secara umum, kegunaaan AMDAL adalah :
1) Mencegah agar potensi sumberdaya alam yang dikelola tidak
rusak.
2) Menghindari efek samping dari pengelolaan sumber daya alam.
21
3) Mencegah terjadinya perusakan lingkungan akibat pencemaran,
sehingga tidak mengganggu kesehatan, kenyamanan, dan
keselamatan masyarakat.
4) Mengetahui manfaat yang berdaya guna dan berhasil guna bagi
bangsa, negara, dan masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep
pembangunan berwawasan lingkungan merupakan suatu pembangunan
yang mengedepankan wawasan lingkungan dengan pengendalian
pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup dalam rangka pelestarian
fungsi lingkungan hidup.
4. Konsep Kota
Menurut Amos Rapoport (Zahnd, 2006:71), kota adalah suatu
pemukiman yang relatif besar, padat dan permanen, terdiri dari kelompok
individu yang heterogen dari segi sosial. Kota merupakan tempat
bergabungnya berbagai hal dan merupakan kumpulan keanekaragaman
banyak hal. Berbagai strata masyarakat bergabung dalam satu tempat yang
dinamakan kota. Begitu juga dengan kegiatan ekonomi saling melengkapi
dan saling bergantung. Kota juga merupakan simbol dari kesejahteraan,
kesempatan berusaha dan dominasi terhadap wilayah sekitarnya. Namun
kota juga merupakan sumber polusi, kemiskinan dan perjuangan untuk
berhasil (Zahnd, 2006:75).
Menurut Amos Rapoport (Zahnd, 2006:81), ada sepuluh kriteria
yang secara lebih spesifik untuk merumuskan kota, yaitu sebagai berikut:
22
a. Ukuruan dan jumlah penduduknya yang besar terhadap massa dan
tempat
b. Bersifat permanen
c. Kepadatan minimum terhadap massa dan tempat
d. Struktur dan tata ruang perkotaan seperti yang ditunjukkan oleh jalur
jalan dan ruang-ruang perkotaan yang nyata
e. Tempat dimana masyarakat tinggal dan bekerja
f. Fungsi perkotaan minimum yang terperinci, yang meliputi sebuah
pasar, sebuah pusat administratif atau pemerintahan, sebuah pusat
militer, sebuah pusat keagamaan atau sebuah psuat aktivitas intelektual
bersama dengan kelembagan yang sama
g. Heterogenitas dan pembedaan yang bersifat hirarki pada masyarakat
h. Pusat ekonomi perkotaan yang menghubungkan sebuah daerah
pertanian ditepi kota dan memproses bahan mentah untuk pemasaran
yang lebih luas
i. Pusat pelayanan bagi daerah-daerah lingkungan setempat
j. Pusat penyebaran, memiliki suatu falsafah hidup perkotaan pada masa
dan tempat itu.
Selain itu sebuah pemukiman dapat dirumuskan sebagai sebuah
kota bukan dari segi ciri-ciri morfologi tertentu, atau bahkan kumpulan
ciri-cirinya saja, melainkan dari segi suatu fungsi khusus yaitu menyusun
sebuah wilayah dan menciptakan ruang-ruang efektif melalui
pengorganisasian sebuah daerah pedalaman yang lebih besar berdasarkan
23
hirarki-hirarki tertentu (Rapoport dalam Zahnd, 2006:89). Artinya ciri-ciri
morfologi, bentuk dan wujud suatu kota dapat sangat berbeda antara suatu
wilayah dengan wilayah lainnya, namun beberapa prinsip dan elemen
arsitektur perkotaan tetap dapat diamati dimanapun terkait dalam
susunannya.
Struktur Ruang Kota. Teori-teori yang melandasi struktur ruang
kota yang paling dikenal yaitu:
a. Teori Konsentris, yang menyatakan bahwa Daerah Pusat Kota (DPK)
atau Central Bussiness District (CBD) adalah pusat kota yang letaknya
tepat di tengah kota dan berbentuk bundar yang merupakan pusat
kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik, serta merupakan zona
dengan derajat aksesibilitas tinggi dalam suatu kota. DPK atau CBD
tersebut terbagi atas dua bagian, yaitu: pertama, bagian paling inti atau
Retail Business District (RBD) dengan kegiatan dominan pertokoan,
perkantoran dan jasa; kedua, bagian di luarnya atau Wholesale
Business District (WBD) yang ditempati oleh bangunan dengan
peruntukan kegiatan ekonomi skala besar, seperti pasar, pergudangan
(warehouse), dan gedung penyimpanan barang supaya tahan lama
(storage buildings) (Burgess dalam Zahnd, 2006:102).
b. Teori Sektoral, menyatakan bahwa DPK atau CBD memiliki
pengertian yang sama dengan yang diungkapkan oleh Teori Konsentris
(Hoyt dalam Zahnd, 2006:103).
24
c. Teori Pusat Berganda, menyatakan bahwa DPK atau CBD adalah pusat
kota yang letaknya relatif di tengah-tengah sel-sel lainnya dan
berfungsi sebagai salah satu “growing points”. Zona ini menampung
sebagian besar kegiatan kota, berupa pusat fasilitas transportasi dan di
dalamnya terdapat distrik spesialisasi pelayanan, seperti “retailing”
distrik khusus perbankan, teater dan lain-lain (Harris dan Ullman
dalam Daldjoeni, 1992:172). Namun, ada perbedaan dengan dua teori
yang disebutkan di atas, yaitu bahwa pada Teori Pusat Berganda
terdapat banyak DPK atau CBD dan letaknya tidak persis di tengah
kota dan tidak selalu berbentuk bundar.
Kota yang Ideal. Kota ideal adalah kota yang mempu
mengakomodasi dan menyelaraskan antara aktivitas masyarakat dan
bentuk penggunaan lahannya. Pada perkembanganya di masa sekarang,
kita mengenal istilah-istilah baru tentang perwujudan kota ideal yaitu
livable city, compact city, eco-city, dan konsep perkembangan kota lainnya
yang muncul untuk menjawab kebutuhan manusia akan tempat tinggal
yang baik dan mengatasi persoalan-persoalan yang muncul pada saat
sekarang (Imanda, 20015:2). Untuk itu banyak pemikiran tentang konsep
kota ideal yang diwujudkan dalam teori-teori kota ideal. Struktur ruang
kota cenderung berkembang berdasarkan sektor-sektor dari pada
berdasarkan lingkaran-lingkaran konsentrik. Susunan kota menurut teori
sektor adalah sebagai berikut (Holmer Hoyt dalam Daldjoeni, 1992:153):
25
a. Sektor pusat kegiatan bisnis yang terdiri atas bangunan-bangunan
kontor, hotel, bank, bioskop, pasar, dan pusat perbelanjaan.
b. Sektor kawasan industri ringan dan perdagangan.
c. Sektor kaum buruh atau kaum murba, yaitu kawasan permukiman
kaum buruh.
d. Sektor permukiman kaum menengah atau sektor madya wisma.
e. Sektor permukiman adi wisma, yaitu kawasan tempat tinggal golongan
atas yang terdiri dari para eksekutif dan pejabat.
Kota ideal yang menjadi impian paling sering dikaitkan pada dua
hal. Yang pertama adalah dikaitkan dengan pengertian kota sebagai sebuah
sistem ekologis perkotaan yang berkelanjutan, dan yang kedua adalah
dengan pengertian kota yang mampu berkembang secara berkelanjutan
bukan hanya dalam pengertian ekologis (eco-city), tetapi juga yang
berkembang secara berkeadilan (just-city), dan kota yang ekonominya
tumbuh secara berkelanjutan (growth-city) dan yang secara kultural
mampu mengembangkan identitas lokal yang kuat (urban cultural
identity). Sebagai kesimpulan pertama dapat ambil adalah sebagai berikut:
Ide garden city dari Howard berhasil bukan karena ide itu diikuti oleh
banyak kota, tetapi karena contoh garden city seperti yang dibangun di
Letchworth berhasil menjadi inspirasi bagi sebuah gerakan yang
memperjuangkan peningkatan dari Livability dari kota-kota di Eropa pada
umumnya. Dalam skala yang lebih kecil ide Tropical Garden City dari
Thomas Karsten menjadi inspirasi bagi kota-kota di Hindia Belanda untuk
26
meningkatkan kualitas lingkungan urban secara menyeluruh (Santoso,
2015:1).
Kota dengan pembangunan berkelanjutan (suitainable development
city). Pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris,
sustainable development. Istilah pembangunan berkelanjutan
diperkenalkan dalam World Conservation Strategy (Strategi Konservasi
Dunia) yang diterbitkan oleh United Nations Environment Programme
(UNEP), International Union for Conservation of Nature andNatural
Resources (IUCN), dan World Wide Fund for Nature (WWF) pada 1980.
Menurut Brundtland Report dari PBB, pembangunan berkelanjutan adalah
proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat dan sebagainya)
yang berprinsip “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan
pemenuhan kebutuhan generasi masa depan”. Konsep Pembangunan
Berkelanjutan ini kemudian dipopulerkan melalui laporan WCED berjudul
“Our Common Future” (Hari Depan Kita Bersama) yang diterbitkan pada
Tahun 1987.
Laporan ini mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai
pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa
mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan
mereka sendiri. Di dalam konsep tersebut terkandung dua gagasan penting.
Pertama, gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan esensial kaum miskin
sedunia yang harus diberi prioritas utama. Kedua, gagasan keterbatasan,
yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap
27
kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebututuhan kini dan hari depan.
Jadi, tujuan pembangunan ekonomi dan sosial harus dituangkan dalam
gagasan keberlanjutan di semua negara, baik negara maju maupun negara
berkembang. Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang
didefinisikan oleh Lele (Nasdian, 2010), terbagi menjadi dua definisi yaitu
keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan (development). Adapun
pembagian definisi tersebut dapat dilihat pada Gambar 8. Dalam Gambar
8, Lele membagi konsep keberlanjutan dan pembangunan menjadi lima
konotasi. Adapun konotasi keberlanjutan terbagi menjadi keberlanjutan
secara harfiah/literal, keberlanjutan secara ekologis dan keberlanjutan
secara sosial. Sedangkan konotasi pembangunan terbagi menjadi
pembangunan sebagai proses dan pembangunan sebagai obyektifitas.
Kota yang berawasan humanis (human city). Humanis adalah
konsep kota yang mempertimbangkan faktor kemanusiaan, dengan konsep
kota kompak, terproyeksi (smart growth) yang mengikuti konsep hemat
energi, ekologis, transportasi humanis, ramah lingkungan hidup, dan Iayak
huni. Kota humanis mempunyai visi yang serupa dengan kota
berkeIanjutan, kota komprehensif, kota ekologis, kota ramah lingkungan,
kota sehat, dan banyak istilah lainnya. Aspek ruang perkotaan tidak hanya
berhubungan dengan ruang terbuka hijau atau Iingkungan hidup, tetapi
merupakan rencana fisik dan ekologi kota yang sesuai dengan kebutuhan
sosial, ekonomi, dan budaya dan masyarakatnya, dengan
mempertimbangkan kebutuhan pengembangan politik serta Ilmu
28
Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), mewujudkan keberlanjutan dalam
bangunan ekologis, penggunaan sumberdaya alam, dan meningkatkan
kualitas Iingkungan hidup.
Saat ini perkembangan atau perembetan kota-kota besar Indonesia
Iebih mengutamakan pembangunan fungsional, cenderung dengan pola
kota yang tidak terstruktur (urban sprawl) di wilayah suburban.
Perkembangan kelompok perumahan permukiman terpisah dengan
fasilitas puklik, seperti sarana perbelanjaan, sarana kesehatan, pendidikan
dan sarana perdagangan dan jasa lainnya, sehingga penghuni harus
memenuhi kebutuhan tersebut dengan kendaraan bermotor, dengan jarak
capai lebih dari 2.000 meter yang seharusnya tersedia dalam radius
pelayanan 500-1.000 meter. Kota secara keseluruhan menjadi tidak
nyaman bagi penghuni, karena jarak capai lebih panjang dan lebih lama
untuk aktivitas sosial dan ekonomi. Pola perkembangan kota tersebut
memberi dampak pada pemborosan energi, pemborosan dana transportasi,
dan pencemaran lingkungan hidup.
Emisi karbon dari transportasi dapat dihindari sejak dini melalui
konsep perencanaan kota baru yang berintegrasi dengan sistem
transportasi khususnya di wilayah suburban. beberapa metode pendekatan
yang tepat untuk merenvanakan kota-kota humanis seperti konsep
peencanaan penggunaan lahan multifungsi (mixedland use), yang
mendekatkan fasilitas umum di sekitar perumahan, sehingga akan
mengurangi kemacetan lalulinlas. Konsep perencanaan tersebut mencakup
29
konsep kota ramping dan kompak (compacv city), merencanakan kota
yang terprediksi pertumbuhannya (smart growth), ramah terhadap pejalan
kaki dan pesepeda (walkable city), dengan jaringan jalan yang layak,
dilengkapi dengan tempat transit (transit oriented development/TOP).
Kota hijau (green city). Green City (Kota hijau) adalah konsep
pembangunan kota berkelanjutan dan ramah lingkungan yang dicapai
dengan strategi pembangunan seimbang antara pertumbuhan ekonomi,
kehidupan sosial dan perlindungan lingkungan sehingga kota menjadi
tempat yang layak huni tidak hanya bagi generasi sekarang, namun juga
generasi berikutnya. Green city bertujuan untuk menghasilkan sebuah
pembangunan kota yang berkelanjutan dengan mengurangi dampak
negatif pembangunan terhadap lingkungan dengan kombinasi strategi tata
ruang, strategi infrastruktur dan strategi pembangunan sosial. Green city
terdiri dari delapan elemen, yaitu:
1. Green planning and design (Perencanaan dan rancangan hijau).
Perencanaan dan rancangan hijau adalah perencanaan tata ruang yang
berprinsip pada konsep pembangunan kota berkelanjutan. Green city
menuntut perencanaan tata guna lahan dan tata bangunan yang ramah
lingkungan serta penciptaan tata ruang yang atraktif dan estetik.
2. Green open space (Ruang terbuka hijau). Ruang terbuka hijau adalah
salah satu elemen terpenting kota hijau. Ruang terbuka hijau berguna
dalam mengurangi polusi, menambah estetika kota, serta menciptakan
30
iklim mikro yang nyaman. Hal ini dapat diciptakan dengan perluasan
lahan taman, koridor hijau dan lain-lain.
3. Green Waste (Pengelolaan sampah hijau). Green waste adalah
pengelolaan sampah hijau yang berprinsip pada reduce (pengurangan),
reuse (penggunaan ulang) dan recycle (daur ulang). Selain itu,
pengelolaan sampah hijau juga harus didukung oleh teknologi
pengolahan dan pembuangan sampah yang ramah lingkungan.
4. Green transportation (Transportasi hijau). Green transportation
adalah transportasi umum hijau yang fokus pada pembangunan
transportasi massal yang berkualitas. Green transportation bertujuan
untuk meningkatkan penggunaan transportasi massal, mengurangi
penggunaan kendaraan pribadi, penciptaan infrastruktur jalan yang
mendukung perkembangan transportasi massal, mengurangi emisi
kendaraan, serta menciptakan ruang jalan yang ramah bagi pejalan
kaki dan pengguna sepeda.
5. Green water (manajemen air yang hijau). Konsep green water
bertujuan untuk penggunaan air yang hemat serta penciptaan air yang
berkualitas. Dengan teknologi yang maju, konsep ini bisa diperluas
hingga penggunaan hemat blue water (air baku/ air segar), penyediaan
air siap minum, penggunaan ulang dan pengolahan grey water (air
yang telah digunakan), serta penjagaan kualitas green water (air yang
tersimpan di dalam tanah).
31
6. Green energy (Energi hijau). Green energi adalah strategi kota hijau
yang fokus pada pengurangan penggunaan energi melalui
penghemetan penggunaan serta peningkatan penggunaan energi
terbaharukan, seperti listrik tenaga surya, listrik tenaga angin, listrik
dari emisi methana TPA dan lain-lain.
7. Green building (Bangunan hijau). Green building adalah struktur dan
rancangan bangunan yang ramah lingkungan dan pembangunannya
bersifat efisien, baik dalam rancangan, konstruksi, perawatan, renovasi
bahkan dalam perubuhan. Green building harus bersifat ekonomis,
tepat guna, tahan lama, serta nyaman. Green building dirancang untuk
mengurangi dampah negatif bangunan terhadap kesehatan manusia dan
lingkungan dengan penggunaan energi, air, dan lain-lain yang efisien,
menjaga kesehatan penghuni serta mampu mengurangi sampah, polusi
dan kerusakan lingkungan.
8. Green Community (Komunitas hijau). Green community adalah
strategi pelibatan berbagai stakeholder dari kalangan pemerintah,
kalangan bisnis dan kalangan masyarakat dalam pembangunan kota
hijau. Green community bertujuan untuk menciptakan partisipasi nyata
stakeholder dalam pembangunan kota hijau dan membangun
masyarakat yang memiliki karakter dan kebiasaan yang ramah
lingkungan, termasuk dalam kebiasaan membuang sampah dan
partisipasi aktif masyarakat dalam program-program kota hijau
pemerintah.
32
Kota ekologis dan ramah lingkungan (eco-city). Konsep
perencanaan kota (guna lahan) yang integral dengan sistem transportasi
dapat mencapai visi kota humanis yang ramah lingkungan (eco city), serta
ramah terhadap pengguna jalan, baik pengguna jalan bermotorisasi
ataupun non-motorisasi. Menurut King et al., (Uniaty, 2008), kota
berkelanjutan atau eco-city adalah kota yang memiliki konsep
berkelanjutan yang melibatkan aspek ekologi, ekonomi, dan budaya dari
suatu kota. Saat ini konsep kota berkelanjutan banyak diterapkan dalam
konsep perencanaan lanskap permukiman baru. Hal tersebut membuktikan
para pengembang kawasan permukiman mulai menyadari pentingnya
keberlanjutan lingkungan dengan mengutamakan perencanaan lanskap
yang berbasis ekologi. Perencanaan lanskap yang berbasis ekologi
memiliki pengertian yang berbeda pada setiap orang. Thompson & Steiner
(1997) mendefinisikan perencanaan sebagai integrasi dari pengetahuan
ilmiah dan teknik yang menyediakan pilihan untuk membuat keputusan
tentang alternatif masa depan.
Perencanaan tidak hanya terfokus kepada pengetahuan ilmiah atau
pengambilan keputusan saja, tetapi telaah dari integritas keduanya.
Definisi perencanaan dalam konteks lanskap adalah keputusan tentang
alternatif masa depan yang terfokus pada kebijakan dan keberlanjutan
penggunaan dari suatu lanskap dalam mengakomodasi kebutuhan manusia.
Hal ini berarti sumberdaya alam yang tersedia pada suatu lanskap tetap
33
terlindungi. Dengan terlindunginya suatu sumberdaya alam, berarti juga
menjaga sumberdaya alam tersebut untuk generasi yang akan datang.
Jadi kota ideal yang diimpikan oleh sebagian (tokoh) masyarakat
pada sebuah jaman di sebuah tempat adalah wujud dari sebuah harapan
akan kehidupan yang lebih baik yang menjadi acuan bagi orang yang
menginginkan perbaikan. Bila wujud itu dapat terlaksana pada sebuah
lokasi, maka walaupun tidak selalu sempurna, dia kemudian tetap bisa
menjadi acuan bagi yang lainnya. Hal yang aneh adalah bahwa gambaran
mengenai kota ideal itu bisa saja lalu ditiru oleh orang yang berada di luar
konteks asal ide tersebut. Walaupun sebenarnya di negara asalnya pun dia
sudah tidak berhasil, ide itu selalu diulang-ulang kembali. Ide
pembangunan sebuah ibukota baru yang ideal merupakan contoh semacam
itu. Walaupun dalam pelaksanaannya ide itu selalu gagal, karena pada
kenyataannya ibukota baru seperti Chandigarh, Islamabad, atau Brasilia
tidak berkembang menjadi kota ideal yang diharapkan, tetapi ide
membangun sebuah ibukota baru seolah-olah tidak pernah mati (Santoso,
2015:2).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan konsep kota
merupakan tempat interaksi dari kumpulan keanekaragaman banyak hal
dan pemukiman yang relatif besar, padat dan permanen, terdiri dari
kelompok individu yang heterogen dari segi sosial kegiatan ekonomi yang
lengkap, kompleks, dan saling melengkapi dan saling bergantung.
5. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Pembangunan Perkotaan
34
Selanjutnya dikemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi
perkembangan perkotaan antara lain sebagai berikut (Marsh, 1989:348):
a. Faktor Pembangunan Lahan dan Daerah Banjir
Setiap perkampungan yang tumbuh menjadi kota biasanya
diawali dengan sumber air. Perumahan yang biasanya tumbuh
disepanjang daerah strategis, seperti di persimpangan jalan, hulu
sungai, atau lokasi bendungan. Diusahakan memilih lokasi untuk
pembangunan perumahan yang bebas bahaya banjir. Berbagai
kebijakan dan rencana dirumuskan untuk menurunkan dampak bahaya
banjir terhadap desa dan kota. Menurut Marsh (1989:348) pendekatan
yang biasa digunakan di Amerika Serikat, terutama berdasarkan
struktur, membangun bendungan, terusan pembagi, dan pengerukan.
Namun demikian, bahaya banjir tetap menimbulkan dampak yang
membahayakan, karena pembuangan air limbah tetap meningkat akibat
perkembangan penduduk dan kota itu sendiri. Olehnya itu, bukan
hanya kota yang telah berkembang melampaui kapasitas lahan yang
layak, tetapi lahan yang telah menyusut, menyebabkan banjr lebih
besar dan sering terjadi sesuai pertumbuhan kota. Pendekatan lain yang
digunakan untuk menanggulangi banjir adalah pendekatan bersifat
tradisional yaitu, mengandalkan perubahan fisik dengan cara lebih
mengutamakan rencana yang bersifat pencegahan.
Dalam UULH pasal 5 disebutkan bahwa setiap orang
mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dan setiap
35
orang berkewajiban memelihara lingkungan hidup dan mencegah serta
melindungi kerusakan dan pencemarannya (Jayadinata, 1992:225).
Perumusan dan perbaikan kembali atas sungai-sungai perkotaan,
merupaka suatu alternative untuk menghindari atau berusaha
mengurangi peristiwa banjir yang dapat mengancam kehidupan
penduduk kota. Karena itu, para perencana telah menemukan rumusan
yang tepat bagi perbaikan kembali daerah pusat kota yang mencakup
penggunaan program pengembangan secara langsung pada daerah hulu
sungai, namun memerlukan modal yang besar untuk mengubah jalan
atau pelabuhan sungai dari yang pasif menjadi aktif.
b. Faktor Tanah dan Pembuangan Limbah
Sebagian daerah perkotaaan memilih lokasi pembuangan
limbah sebagai dasar perencanaan. Ditentukan adanya pertimbangan
antara lain (Marsh, 1989:348):
1) Biaya sangat berkaitan dengan tanah dan jarak angkut.
2) Tata guna lahan dan lingkungan di sekitarnya dan rute angkut.
3) Kondisi tapak, merupakan fungsi tanah, air limbah, dan drainase
permukaan.
Hampir semua daerah pembuangan limbah, masalah lokasi
yang utama adalah penampungan cairan yang berasal dari limbah yang
membusuk. Hal semacam ini perlu penanggulangan dengan
berpedoman pada UULH.
c. Faktor Ekologi dan Ekosistem
36
Kepekaan organisme terhadap proses perkembangan kota
berkaitan dengan berbagai faktor. Bukan faktor tertentu yang spesifik
dimana manusia dan sebagian besar organisme darat menggunakan
ruang landscape yang hampir sama. Ketika urbanisasi terjadi sungguh-
sungguh hanya sedikit ruang yang tersisa bagi organisme lainnya.
Menurut Gallion & Eisner (1994:108) ekologi berkenaan dengan
saling hubungan antagonisme dan antara organisme tersebut dengan
lingkungannya dan kaitannya dengan sebab akibat material dan sosial.
Pengaruh urbanisasi terhadap kota menghasilkan kerusakan
lingkungan serius, menjadikan pokok perencanaan yang penting dan
pengaruhnya mencakup:
1) Kemunduran dan pengurangan peran komunitas ekologi dalam
lingkungan.
2) Pengurangan persediaan sumber-sumber yang bernilai seperti
pengurangan persediaan air tanah dengan hilangnya daerah
penampungan, apabila rawa-rawa dan hutan dihilangkan.
3) Hilangnya tumbuh-tumbuhan berharga dan spesies binatang yang
semakin membesar kecenderungan kearah kepunahan binatang.
4) Hilangnya kualitas landscape berkaitan dengan kehdupan manusia.
d. Faktor Perubahan Iklim dan Kualitas Udara
Atmosfir selalu dipengaruhi oleh dampak pemukiman manusia,
tetapi besarnya pengaruh ini telah sangat meningkat pada abad yang
lalu dengan meningkatnya pertumbuhan daerah perkotaan.
37
Industrialisasi dan perubahan teknologi terutama karena hadirnya
kendaraan bermotor. Terdapat 2 (dua) dampak atmosfir terhadap kota
yaitu:
1) Perubahan sifat fisik iklim daerah perkotaan
2) Perubahan kualitas udara
Perubahan iklim yang disebabkan oleh kota-kota sangat
berpengaruh terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Salah
satu perubahan penting adalah pembentukan panas terik disekitar
pemukiman padat.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup masalah pembangunan kota berwawasan lingkungan
yang akan diteliti dalam penelitian ini dilihat dari 9 konsep kota ideal sebagai
berikut:
1. Kota dengan pembangunan berkelanjutan (suitainable development city)
2. Kota yang berawasan humanis (human city)
3. Kota hijau (green city)
4. Kota ekologis dan ramah lingkungan (eco-city).
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yakni pengamatan
dan penyelidikan secara kritis untuk mendapatkan keterangan yang tepat
38
terhadap suatu persoalan dan obyek tertentu di daerah kelompok
komunitas atau lokasi tertentu akan ditelaah atau menggambaran atau
uraian atas sesuatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap
objek yang diteliti (Ruslan, 2008:55).
2. Unit analisis
a. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah Pemerintah Kota Yogyakarta yang
terdiri dari 1 orang Kepala Bidang Pengembangan dan Kapasitas Dinas
Lingkungan Hidup dan 1 orang Kepala Bidang Pertanahan dan Tata
Ruang Kota Dinas Bappeda serta 5 orang masyarakat Kota
Yogyakarta. Total subjek penelitian ini adalah 7 orang.
Subjek penelitian ini diambil secara purposive sampling, yaitu
subjek dari dinas yang mengelola dan berkompeten dengan
pembangunan kota berwawasan lingkungan.
b. Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah Dinas Lingkungan Hidup dan Bappeda.
c. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kantor Dinas Perencanaan dan
Pembangunan Kota, Dinas Lingkungan Hidup, dan Bappeda.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam setiap penelitian, disamping menggunakan metode yang
tepat diperlukan pula kemampuan memilih dan bahkan juga menyusun
teknik pengumpulan data yang relevan. Kecermatan dalam memilihi dan
39
menyusun teknik pengumpulan data ini akan sangat mempengaruhi
objektivitas hasil penelitian (Nawawi, 2007:100). Teknik pengumpulan
data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara,
observasi, dan studi pustaka.
a. Wawancara (Interview)
Peneliti melakukan wawancara terstruktur terhadap responden
yang merupakan sumber data primer yang terkait dengan penelitian ini,
yaitu; Dinas Perencanaan dan Pembangunan Kota, Dinas Pengelolaan
Lingkungan Hidup, dan instansi terkait terkait dengan peran
pemerintah desa dalam pembangunan infrastruktur di Desa Potorono
Banguntapan Bantul.
b. Observasi
Observasi dilakukan secara langsung, yaitu penulis melakukan
pengamatan ke obyek pembangunan kota berwawasan lingkungan di
Dinas Perencanaan dan Pembangunan Kota, Dinas Pengelolaan
Lingkungan Hidup, dan instansi terkait untuk mengamati kondisi serta
mengambil foto-foto dokumentasi pembangunan wilayah kota di Dinas
Perencanaan dan Pembangunan, Dinas Pengelolan Lingkungan Hidup,
dan instansi terkait, sehingga diperoleh data yang akurat.
c. Dokumentasi
Sugiyono (2017:329) menjelaskan bahwa dokumen merupakan
catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan,
gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Studi
40
dokumentasi merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan cara
mempelajari dokumen untuk mendapatkan data atau informasi yang
berhubungan dengan masalah yang diteliti. Studi dokumentasi dalam
penelitian ini adalah dengan meminta data-data dari pihak Dinas
Perencanaan dan Pembangunan, Dinas Pengelolan Lingkungan Hidup,
dan instansi terkait, misalnya mengenai data dokumentasi
pembangunan wilayah kota, program-program pembangunan
berwawasan lingkungan pada saat penelitian. Hal ini dilakukan agar
informasi yang didapatkan benar-benar bersumber dari objek yang
dijadikan sebagai tempat penelitian. Teknik dokumentasi juga dapat
dilakukan dalam bentuk memotret semua kejadian yang berlangsung
selama peneliti melakukan kegiatan penelitian.
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisa data dapat dilakukan dengan model analisis
deskriptif kualitatif di mana intinya adalah interaksi antar komponen
penelitian maupun proses pengumpulan data selama proses penelitian.
Analisa data dilakukan untuk menganalisis bagaimanakah pembangunan
kota berwawasan lingkungan di Kota Yogyakarta. Analisis pada data
kualitatif yang dilakukan meliputi (Sugiyono, 2017:67).
a. Keabsahan Data (Triangulasi)
Keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan triangulasi.
Triangulasi adalah teknik memeriksa keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu lain (Moelong, 2017:330). Penelitian ini
41
menggunakan triangulasi sumber, dimana peneliti membandingkan
dan mengoreksi ulang drajat kepercayaan suatu informasi yang
diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian
kualitatif (Moelong, 2017:331). Hal itu dicapai dengan jalan
membandingkan hasil wawancara dengan suatu dokumen yang
berkaitan.
b. Reduksi Data
Reduksi data diartikan proses pemilihan, pemusatan, atau
penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang
mengacu dari catatan lapangan, reduksi data berlangsung terus
menerus selama penelitian berlangsung. Reduksi data merupakan suatu
bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan,
membuang data yang tidak perlu, mengorganisasi data sedemikian
rupa sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan.
c. Penyajian Data
Penyajian data merupakan upaya penyusunan, pengumpulan
informasi kadalam suatu matriks atau konfigurasi yang mudah
dipahami. Konfigurasi semacam ini akan memudahkan dalam
penarikan kesimpulan atau penyerderhanaan informasi yang komplek
kedalam suatu bentuk yang dapat dipahami. Penyajian data yang
sederhana dan mudah dipahami adalah cara utama untuk menganalisis
data deskriptif kualitatif yang valid.
42
d. Menarik Kesimpulan
Berawal dari permulaan pengumpulan data, peneliti mulai
mencari makna dari data-data yang terkumpul. Selanjutnya peneliti
mencari arti dan penjelasannya kemudian menyusun pola-pola
hubungan tertentu ke dalam suatu kesatuan yang mudah dipahami dan
ditafsirkan.
43
BAB II
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
A. Kota Yogyakarta
1. Sejarah Kota Yogyakarta
Kota Yogyakarta merupakan kota dengan lintasan sejarah yang cukup
panjang, dimulai pada tanggal 13 Februari 1755 dengan dilatari oleh
Perjanjian Giyanti yang membagi wilayah Kerajaan Mataram menjadi
Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Raja Kasultanan
Yogyakarta yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I membangun
kompleks kerajaan yang selesai pada tanggal 7 Oktober 1756. Lintasan
sejarah ini apabila ditarik ke belakang lagi berasal dari kawasan yang berada
di tenggara Yogyakarta yang telah berkembang terlebih dahulu dan
merupakan cikal bakal dari Kerajaan Mataram Islam yaitu kawasan Kota
Gede yang didirikan oleh Ki Gede Pemanahan yang kemudian dilanjutkan
oleh Panembahan Senopati, sang raja Mataram Islam yang pertama.
Sedangkan apabila ditarik maju ternyata banyak sekali peristiwa sejarah
yang terjadi di Yogyakarta, mulai dari pemindahan ibu kota Republik
Indonesia ke Yogyakarta pada tahun 1947 hingga salah satu tempat
terjadinya awal reformasi pemerintahan pada tahun 1998
(https://www.jogjakota.go.id/about/sejarah-kota-yogyakarta., diakses 27
April 2018).
44
Kekayaan sejarah ini juga disertai oleh kekayaan pusaka sebagai bentuk
peradaban yang tumbuh berkembang seiring dengan waktu baik pusaka
ragawi maupun pusaka tidak ragawi. Pusaka ragawi berupa bangunan-
bangunan bersejarah mulai dari era Mataram Islam pertama, Mataram Islam
pasca Perjanjian Giyanti, bangunan pemerintah kolonial Belanda hingga era
perjuangan dan pasca kemerdekaan maupun alat transportasi berupa
Andong, kain dan motif batik serta masih banyak lagi. Sedangkan pusaka
tidak ragawi berupa bahasa, tarian, seni musik karawitan, tembang hingga
nilai-nilai budaya yang melekat erat di masyarakat.
Kesemuanya adalah sebuah modal yang sangat berharga dalam
kehidupan di Kota Yogyakarta. Kota Yogyakarta secara geografis memiliki
luas wilayah 3.250 Hektar dan jumlah penduduk de jure sebesar 388.000
jiwa. Namun demikian jumlah penduduk ini berlipat dua pada siang hari
untuk bekerja dan belajar, atau bahkan menembus jumlah satu juta orang
pada masa liburan karena aktivitas wisata. Kota Yogyakarta adalah sebuah
kota yang ekonominya bergantung kepada sektor ekonomi tersier, terutama
pada sektor yang berbasis jasa, yaitu pariwisata dan pendidikan. Kebijakan
pembangunan di Kota Yogyakarta telah menyadari arti pentingnya pusaka
ini sebagai bagian tidak terpisahkan dari pembangunan itu sendiri.
Hal ini tercermin dari visi pembangunan jangka panjang Kota
Yogyakarta yang termuat dalam RPJPD tahun 2005-2025 yaitu
“Mewujudkan Kota Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan yang Berkualitas,
Kota Pariwisata yang Berbasis Budaya, dan Kota Pusat Perdagangan dan
45
Jasa, yang Berwawasan Lingkungan”. Fakta bahwa perekonomian Kota
Yogyakarta digerakkan oleh tiga sektor utama yaitu pendidikan, pariwisata
dan pelayanan jasa terlihat secara jelas dalam proporsinya pada PDRB Kota
Yogyakarta dimana sektor hotel dan restoran memiliki kontribusi sekitar
30% dan sektor jasa memiliki kontribusi 25% juga menjadi faktor penguat
kebijakan tersebut (Pemerintah Kota Yogyakarta, 2015).
2. Visi dan Misi Kota Yogyakarta
Visi pembengunan Kota Yogyakarta yang ingin dicapai selama lima
tahun mendatang adalah sebagai berikut: “Terwujudnya Kota Yogyakarta
sebagai Kota Pendidikan Berkualitas,Berkarakter dan Inklusif, Pariwisata
Berbasis Budaya, dan Pusat Pelayanan Jasa, yang Berwawasan Lingkungan
dan Ekonomi Kerakyatan”.
Misi Kota Yogyakarta adalah untuk mewujudkan visi tersebut ditempuh
melalui empat misi pembangunan daerah sebagai berikut:
a) Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih
b) Mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas
c) Mewujudkan pemberdayaan masyarakat dengan gerakan segoro amarto
d) Mewujudkan daya saing daerah yang kuat.
3. Demografi Kota Yogyakarta
Berdasarkan data dalam Kota Yogyakarta Dalam Angka bahwa Jumlah
penduduk Kota Yogyakarta pada tahun 2013 sebanyak 402.679 jiwa dengan
rincian sebanyak 195.712 jiwa penduduk laki-laki dan 206.967 jiwa
penduduk perempuan, pada tahun 2014 mengalami penurunan sebanyak
46
400.467 jiwa terdiri dari 194.828 jiwa penduduk laki-laki dan sebanyak
205.639 jiwa penduduk perempuan. Pada tahun 2015 mengalami kenaikan
sebanyak 412.704 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 201.082
jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 211.622 jiwa. Samapi tahun 2016
penduduk Kota Yogyakarta mengalami kenaikan sebanyak 417.744 jiwa
dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 203.845 jiwa dan penduduk
perempuan sebanyak 213.899. Karena itu kepadatan penduduk Kota
Yogyakarta juga mengalami kenaikan menjadi 12.740 jiwa/km2. Dengan
luas wilayah 32,50km2, kepadatan penduduk Kota Yogyakarta tahun 2013
sebesar 12.390 jiwa/km2.
Jumlah penduduk suatu wilayah dipengaruhi oleh faktor kelahiran,
kematian dan migrasi/perpindahan penduduk. Perkembangan jumlah
penduduk Kota Yogyakarta mengalami perubahan setiap tahunnya.
Perubahan struktur dan komposisi penduduk dapat dilihat dari perbandingan
piramida penduduk dimana penduduk Kota Yogyakarta didominasi oleh
penduduk usia muda. Berdasarkan hasil sensus penduduk 2010 jumlah
penduduk tahun 2010 tercatat 388.627 jiwa. Komposisi penduduk
berdasarkan jenis kelamin adalah 48,67% laki-laki dan 51,33% perempuan.
Secara keseluruhan jumlah penduduk perempuan lebih tinggi dibanding
penduduk laki-laki seperti tampak dari rasio jenis kelamin penduduk yang
lebih kecil dari 100, dimana pada tahun 2010 sebesar 94,81. Rasio jenis
kelamin adalah perbandingan antara banyaknya penduduk laki-laki dengan
penduduk perempuan pada suatu daerah dan waktu tertentu. Biasanya
47
dinyatakan dengan banyaknya penduduk laki-laki untuk 100 penduduk
perempuan.
Kepadatan penduduk dapat dihitung berdasarkan jumlah penduduk untuk
setiap kilometer persegi. Penduduk yang paling padat berada di Kecamatan
Ngampilan yaitu sebesar 20.361 jiwa/ km2, dan paling jarang penduduknya
di Kecamatan Umbulharjo yakni 9.984 jiwa/km2 (BPS, 2014). Bila
dibandingkan antara laki-laki dan perempuan, jumlah penduduk Kota
Yogyakarta dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2014 lebih banyak yang
perempuan, walaupun tidak terpaut banyak. Pada tahun 2014 ini, dari
seluruh penduduk, jumlah perempuan mencapai 51,12 %, sedangkan jumlah
laki-laki hanya 48,87 % yang berarti terdapat selisih sebesar 2,1 % atau
sebanyak 9.344 jiwa.
4. Geografi Kota Yogyakarta
Kota Yogyakarta berkedudukan sebagai ibukota Provinsi DIY dan
merupakan satu-satunya daerah tingkat II yang berstatus Kota di samping 4
daerah tingkat II lainnya yang berstatus Kabupaten. Kota Yogyakarta
terletak antara 110o24'19"-110o28'53" Bujur Timur dan antara 07
o49'26"-
07o15'24" Lintang Selatan dengan luas sekitar 32,5km2 atau 1,02% dari luas
wilayah Provinsi DaerahIstimewa Yogyakarta.
Jarak terjauh dari utara ke selatan kurang lebih 7,5 km dan dari barat ke
timur kurang lebih 5,6km. Kota Yogyakarta yang terletak di daerah dataran
lereng aliran Gunung Merapi memiliki kemiringan lahan yang relatif datar
antara 0-2% dan berada pada ketinggian rata-rata 114m dari permukaan air
48
laut (dpa). Sebagian wilayah dengan luas 1.657 hektar terletak pada
ketinggian kurang dari 100 meter dan sisanya (1.593 hektar) berada pada
ketinggian antara 100-199 meter dpa. Sebagian besar jenis tanahnya adalah
regosol. Terdapat tiga sungai yang mengalir dari arah utara ke selatan yaitu :
Sungai Gajah Wong yang mengalir di bagian timur kota, Sungai Code di
bagian tengah, dan Sungai Winongo di bagian barat kota (BPS, 2014).
Secara administratif Kota Yogyakarta dengan luas 32,50 km2 yangterdiri
dari 14 kecamatan dan 45 kelurahan, 615 RW, dan 2.529 RT dengan luas
wilayah 32,5 km 2 dengan batas wilayah sebagai berikut (BPS, 2014):
a. Batas utara : Kecamatan Mlati dan Kecamatan Depok, Kabupaten
Sleman.
b. Batas timur: Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, dan Kecamatan
Banguntapan, Kabupaten Bantul.
c. Batas Selatan: Kecamatan Banguntapan, Kecamatan Sewon, dan
Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul.
d. Batas Barat: Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, dan Kecamatan
Kasihan, Kabupaten Bantul
Berikut ini merupakan peta administrasi Kota Yogyakarta yang
tercantum dalam Gambar II.1 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kota
Yogyakarta.
49
Gambar II.1. Peta Administrasi Kota Yogyakarta
Sumber: Raperda Kota Yogyakarta Tahun 2010-2029.
Kecamatan Umbulharjo merupakan kecamatan yang wilayahnya paling
luas yaitu, dengan luas 8,12 km2 atau sebesar 25%, sedangkan kecamatan
yang wilayahnya paling sempit yaitu Kecamatan Pakualam dengan luas 0,63
km2 atau sebesar 1,9%. Berikut ini merupakan luas wilayah menurut
kecamatan di Kota Yogyakarta.
5. Struktur dan Pola Ruang Kota Yogyakarta
Secara garis besar Kota Yogyakarta merupakan dataran rendah darimana
dari barat ke timur relatif datar dan dari utara ke selatan memiliki
kemiringan 1 derajat, serta terdapat 3 (tiga) sungai yang melintas Kota
Yogyakarta, yaitu
50
a. Sebelah timur adalah Sungai Gajah Wong
b. Bagian tengah adalah Sungai Code
c. Sebelah barat adalah Sungai Winongo.
Kondisi tanah Kota Yogyakarta cukup subur dan memungkinkan
ditanami berbagai tanaman pertanian maupun perdagangan, disebabkan oleh
letaknya yang berada didataran lereng gunung Merapi (fluvia vulcanic foot
plain) yang garis besarnya mengandung tanah regosol atau tanah vulkanis
muda. Sejalan dengan perkembangan perkotaan dan pemukiman yang pesat,
lahan pertanian kota setiap tahun mengalami penyusutan. Data tahun 1999
menunjukan penyusutan 7,8% dari luas area Kota Yogyakarta (3.249,75)
karena beralih fungsi, (lahan pekarangan). Karakteristik tata ruang internal
Yogyakarta ditandai tingginya kebutuhan ruang untuk kegiatan budidaya
namun dilain pihak menghadapi keterbatasan daya dukung maupun daya
tampung lingkungan. Wilayah Yogyakarta seluas 318.580 Ha, dengan
47,188% (150.332 Ha) merupakan kawasan lindung (belum termasuk rawan
gempa).
Rencana tata ruang wilayah Kota Yogyakarta. Struktur ruang daerah
bertujuan untuk mengakomodasi fungsi sebagai Pusat Kegiatan Nasional
(PKN) sebagaimana telah ditetapkan dalam RTRW Nasional serta
melaksanakanpengembangan dan pembangunan Daerah sebagaimana
diamanatkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD)
Kota Yogyakarta. Rencana struktur ruang meliputi (Raperda Kota Yogyakarta
Tahun 2010):
51
a. Sistem perkotaan.
b. Sistem jaringan transportasi.
c. Sistem jaringan energi.
d. Sistem jaringan telekomunikasi.
e. Sistem prasarana pengelolaan lingkungan.
f. Sitem jaringan penerangan jalan.
Pengembangan sistem perkotaan diwujudkan berdasarkan:
a. Pengembangan struktur ruang kota.
b. Sistem pusat-pusat pelayanan kota.
c. Fungsi pusat permukiman kota.
Pengembangan struktur ruang kota dimaksudkan untuk memeratakan
pertumbuhan pembangunan diseluruh wilayah kota Yogyakarta yang meliputi:
a. Kawasan pusat kota di wilayah Kecamatan Danurejan, Kecamatan
Gedongtengen, dan Kecamatan Gondomanan.
b. Kawasan wisata budaya dikembangkan di kecamatan kraton, kecamatan
pakualaman dan Kecamatan Kotagede.
c. Kecamatan Umbulharjo merupakan kawasan prioritas yang harus
dikembangkan dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lain yang
relatif sudah berkembang. Pembagian Kawasan Kota akan dibagi
berdasarkan karakter kawasan dan kondisi kawasan fisik alami dan
wilayah administrasi kota. Sistem pusat-pusat pelayanan kota diwujudkan
dalam: Pusat pelayanan primer diarahkan untuk melayani masyarakat kota
dan sekitarnya serta untuk mengarahkan perkembangan kota dan pusat
52
pelayanan sekunder diarahkan untuk melayani masyarakat kota dalam
lingkup skala lokal.
Sistem pusat-pusat pelayanan kota direncanakan membentuk pusat kota,
subpusat kota, pusat pelayanan lingkungan dan subpusat pelayanan
lingkungan. Sistem pusat-pusat pelayanan kota meliputi:
a. Pusat pelayanan kota dengan skala pelayanan tingkat kota, kegiatan yang
dikembangkan adalah kegiatan jasa dan perdagangan skala kota, regional
dan internasional, kegiatan pemerintahan kota serta fasilitas umum dan
fasilitas sosial dengan skala pelayanan tingkat kota terutama untuk budaya
dan pariwisata.
b. Sub pusat pelayanan kota untuk menciptakan pusat orientasi bagi
penduduk kota setingkat kecamatan, yang terdiri dari komponen-
komponen yang berpotensi untuk menjadi struktur pengikat, seperti
kegiatan perdagangan, jasa, fasilitas umum, dan fasilitas sosial dengan
skala pelayanan tingkat kecamatan.
c. Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL) dengan skala pelayanan lingkungan
permukiman setingkat kelurahan, fasilitas yang ditampung berupa fasilitas
pelayanan umum skala lingkungan permukiman, seperti Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama (SLTP), Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA),
puskesmas kelurahan dan masjid lingkungan.
d. Subpusat pelayanan lingkungan dengan skala pelayanan lebih kecil dari
PPL setingkat rukun warga. Sistem pusat-pusat pelayanan kota berlokasi
di Kecamatan Danurejan, Kecamatan Gedongtengen dan Kecamatan
53
Gondomanan, subpusat kota tersebar di masing-masing kecamatan,
sedangkan pusat pelayanan lingkungan tersebar di seluruh kelurahan dan
sekitar kawasan permukiman.
Fungsi pusat permukiman kota disesuaikan dengan kemampuan pusat
permukiman baik sebagai pusat kegiatan dalam wilayah lokal, regional atau
wilayah yang lebih luas antar kabupaten, provinsi, nasional maupun secara
internasional. Fungsi pusat permukiman kota terdapat pada pusat permukiman
yang terdiri dari:
a. Pusat administrasi provinsi.
b. Pusat administrasi kota/kecamatan.
c. Pusat perdagangan dan jasa.
d. Pusat perhubungan dan komunikasi.
e. Pusat budaya dan pariwisata.
f. Pusat pelayanan sosial (kesehatan, pendidikan, agama).
g. Pusat pendidikan.
h. Pusat kegiatan pariwisata.
Di bawah ini akan disajikan informasi mengenai rencana pemanfaatan pola
ruang Kota Yogyakarta:
54
Gambar II.2. Peta Rencana Pemanfaatan Pola Ruang Kota Yogyakarta
Sumber: Raperda Kota Yogyakarta Tahun 2010-2029.
6. Keadaan Ekonomi, Pendidikan, Sosial, dan Budaya
Perekonomian Kota Yogyakarta bertumpu pada beberapa sektor,
diantaranya jasa-jasa, perdagangan, hotel dan restoran serta pertanian.
Faktor inilah yang memicu Kota Yogyakarta lebih maju dibandingkan kota
lain di DIY. Sarana dan prasarana yang lebih moderen dan lengkap
dibanding dengan kota sekitarnya dan dengan perekonomian yang lebih
maju pula. Semakin bertambah banyaknya jumlah penduduk Yogyakarta
menyebabkan persaingan dalam mencari pekerjaan lebih sulit. Pekerjaan di
sektor formal memiliki persyaratan pendidikan, keahlian dan pengalaman
dan dilakukan dengan proses seleksi. Sedangkan untuk orang pendidikan
55
rendah dan tidak memiliki keahlian, mereka memilih untuk bekerja di sektor
informal. Rata-rata pekerjaan informal lebih mengutamakan pada kekuatan
fisik.
Pendidikan merupakan fakta penting dalam upaya meningkatkan kualitas
sumber daya manusia. Tingkat pendidikan masyarakat yang lebih baik dapat
berpengaruh pada peningkatan derajat kesehatan. Dalam profil ini juga
disajikan data tingkat pendidikan masyarakat dan jumlah melek huruf pada
usia >10 tahun. Jumlah penduduk melek huruf di Kota Yogyakarta
dilaporkan sudah mencapai 100 % dari seluruh jumlah penduduk berusia >
10 tahun (DinKes DIY, 2015). Adapun jumlah penduduk berusia 10 tahun
ke atas adalah sebanyak 355,921 jiwa, atau 85,98 % dari seluruh penduduk.
Bila dilihat pendidikannya menunjukkan bahwa perempuan mempunyai
tingkat pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Jumlah
penduduk perempuan yang tamat universitas lebih banyak, sedangkan
jumlah penduduk yang tamat SMA lebih banyak pada laki-laki (DinKes
DIY, 2015).
Budaya dan kesenian jawa sangat dijunjung tinggi di Kota Yogyakarta.
Orang tua dan guru mengenalkannya kepada anak-anak sejak diusai belita.
Candi dan tempat wisata di Kota Yogyakarta dilakukan pemugaran supaya
warisan nenek moyang dapat dinikmati oleh anak cucunya kelak.
Pemugaran dilakukan maksimal 30% dengan bahan material baru dan 70%
dari bangunan sebelumnya. Langkah ini dilakukan agar tidak
menghilangkan identitas aslinya. Supaya kelestariannya tetap terjaga. Selain
56
di Kraton dan Candi, budaya dan kesenian jawa dapat kita lihat di beberapa
tempat, seperti pertunjukan wayang kulit di Museum Sonobuoyo, Pendopo-
pendopo, pertunjukan tari klasik di Prambanan dan juga pertunjukan oleh
seniman-seniman lokal. Tidak hanya kesenian jawa yang dikenalkan oleh
seniman lokal, banyak mural di tembok-tembok yang dihasilkan oleh
tangan-tangan ahli seniman.
B. Struktur Organisasi Pemerintahan Kota Yogyakarta
Gambar II.3. Gambar Struktur Organisasi Pemerintahan Kota Yogyakarta
Sumber: Pemerintahan Kota Yogyakarta, 2018.
57
C. Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta
Sebelum di bentuknya Dinas Lingkungan Hidup, instansi ini pernah
mengalami beberapa perubahan antara lain : Dinas kebersihan dan pertamanan
(DKP) pada tahun 1998. Kemudian pada tahun 2000 menjadi Dinas
Kebersihan, Keindahan dan Pertamanan (DKKP) diubah menjadi Dinas
Lingkungan Hidup (DLH) pada tahun 2005 sampai tahun 2008. Kemudian
pada tahun 2008 Dinas Lingkungan Hidup berganti nama lagi menjadi Badan
Lingkungan Hidup (BLH), kemudian tahun 2016 berubah lagi menjadi Dinas
Lingkungan Hidup (DLH) hingga sekarang. (Buku Profil Dinas Lingkungan
Hidup Kota Yogyakarta, 2017).
Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta telah menetapkan Visi
Pembangunan Lingkungan Kota Yogyakarta “Menjadi Unsur Pelaksana
Pemerintah Daerah di Bidang Lingkungan Hidup yang Handal dalam
Mewujudkan Kota Yogyakarta yang Berwawasan Lingkungan“. Dinas
Lingkungan Hidup adalah unsur pelaksana Pemerintah Kota Yogyakarta di
bidang kebersihan, pengendalian dampak lingkungan, dan penanggulangan
pencemaran. Dari visi di atas bahwa yang ingin dicapai oleh Dinas
Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta melalui pembangunan lingkungan adalah
membangun Kota Yogyakarta dengan mewujudkan Kota yang memiliki
lingkungan yang bersih, indah, nyaman, dan segar dengan lingkungan yang
diharapkan adalah lingkungan yang bersih, hijau, bebas dari polusi sehingga
Kota Yogyakarta dapat menjadi kota yang berwawasan lingkungan (Lakip
Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta, 2016). Berdasarkan Laporan
58
Kinerja Instansi Pemerintah Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta bahwa
untuk dapat mewujudkan visi Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta
menetapkan misi pembangunan yang akan dicapai adalah, sebagai berikut:
1. Mewujudkan peningkatan kualitas lingkungan hidup dan pengelolaan
sumber daya alam,
2. Mewujudkan ruang terbuka hijau kota yang fungsional dan estetik,
3. Mewujudkan sistem pengelolaan sampah handal untuk meningkatkan
kinerja pengelolaan sampah.
Berdasarkan Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Dinas Lingkungan
Hidup Kota Yogyakarta Tujuan dan sasaran yang ingin dicapai oleh Dinas
Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta, meliputi:
1. Meningkatkan pengawasan dan pemulihan kualitas lingkungan hidup
sesuai daya dukung dan daya tamping lingkungan dalam rangka
pelestarian lingkungan hidup.
2. Mengembangkan kapasitas sumber daya lingkungan hidup secara optimal.
3. Meningkatkan penyediaan dan pengelolaan taman kota dan perindang
jalan.
4. Meningkatkan kebersihan kota dan kinerja pengelolaan sampah.
Adapun sasaran yang ingin dicapai sebagai berikut :
1. Terwujudnya lingkungan hidup yang berkualitas sesuai peraturan
perundangan dengan melibatkan peran aktif masyarakat dan dunia usaha,
serta penataan regulasi dalam pengelolaan lingkungan hidup.
59
2. Terpeliharanya kualitas sumber daya alam melalui pengendalian dan
pemanfaatan sumber daya alam.
3. Meningkatnya kapasitas sumber daya lingkungan hidup dan kelembagaan
masyarakat serta meningkatnya akses informasi dalam pengawasan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
4. Meningkatnya ruang terbuka hijau melalui pengembangan dan
peningkatan taman kota, jalut hijau dan ruang terbuka kawasan lingkungan
perkotaan.
5. Meningkatnya kualitas layanan kebersihan dan pengelolaan sampah.
D. Bappeda Kota Yogyakarta
Peningkatan akan keserasian pembangunan di setiap daerah diperlukan
adanya, karena setiap daerah memerlukan adanya peningkatan dalam
pembangunan daerahnya, peningkatan keselarasan antara pembangunan
sektoral dan pembangunan kewilayahan. Tindakan sebagai upaya dalam
menjamin roda perkembangan, keseimbangan, dan kesinambungan
perkembangan daerah diperlukan perencanaan yang menyeluruh., terarah,
terpadu, dan berkelanjutan. Dalam hal ini manajemen perencanaan sangat
diperlukan sebagai upaya dalam melakukan koordinasi perencanaan
pembangunan daerah melalui aspek penguatan kelembagaan.
Berdasarkan kepada Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 15
Tahun 1974 jo Kepmendagri Nomor 142 Tahun 1974 diamatkan mengenai
Pembentukan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah sebagai badan
60
koordinasi dalam perencanaan di daerah. Untuk perkembangan selanjutnya,
dalam rangka memantapkan atau menegaskan kedudukan, tugas, dan fungsi
Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) sebagai bagian dari
organ yang dimana bertugas membantu tugas Gubernur pada aspek
perencanaan, diterbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 27
Tahun 1980 tentang Pembentukan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
yang dimana pelaksanaannya diatur melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 185 Tahun 1980 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah Tingkat I dan Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Tingkat II. Sebagaimana Keputusan Presiden tersebut,
Badan Perencanaan Pembangunan daerah di Provinsi Tingkat I disebut
Bappeda Tingkat I, seperti halnya pada Pemerintah Provinsi/Tingkat I Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Bappeda Tingkat I merupakan badan staf yang berada di bawah dan
bertanggungjawab kepada Gubernur yang merupakan istilah penyebutan bagi
Kepala daerah di Tingkat I atau Provinsi. Susunan organisasi Bappeda Tingkat
I terdiri dari ketua, wakil ketua, sekretariat, bidang penelitian, bidang
ekonomi, bidang sosial budaya, bidang fisik dan prasarana, bidang statistik
dan laporan. Adapaun selanyang pandang mengenai perkembangan
kelembagaan Bappeda Daerah Istimewa Yogyakarta. Pegawai Bappeda saat
ini tercatat sejumlah 145 orang termasuk dengan pimpinan Bappeda dan para
pejabat fungsional.
61
Adapun visi dari Biro Bappeda Daerah Istimewa Yogyakarta 2012-2017
adalah terwujudnya perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah yang
berkualitas. Sebagai upaya dalam mewujudkan visi Bappeda Daerah Istimewa
Yogyakarta 2012-2017 tersebut, maka disusunlah misi yang dimana bisa
dikatakan sebagai kompetensi pendukung karena misi ini akan menajdi
tanggung jawab institusi, yakni sebagai berikut:
1. Peningkatan kualitas perencanaan pembangunan daerah merupakan upaya
dalam menghasilkan dokumen perencanaan yang benar-benar berkualitas
serta dapat diimplementasikan oleh SKPD teknis. Oleh karena itu dalam
mewujudkan perencanaan yang berkualitas diperlukan tindakan-tindakan
yang terbaik disetiap bagiannya yakni kordinasi, sinergi, dan integrasi
perencanaan pembangunan serta menjalankan konsultasi dan
pendampingan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.
2. Dalam proses pelaksanaan pembangunan daerah, selain koordinasi juga
diperlukan kegiatan monitoring dan evaluasi kegiatan proses pelaksanaan
pembangunan daerah sebagai bagian dari pengendalian terpadu. Arah
kegiatan tersebut memiliki manfaat mengenai dinamika proses
pembangunan yang berjalan telah sesuai dengan yang direncakan dan
hasilnya dapat dievaluasi untuk menjadi masukan dalam perencanaan
pembangunan selanjutnya dan perencanaan pembangunan yang akan
datang.
3. Untuk mewujudkan perencanaan pembangunan yang baik, maka
diperlukan pengelolaan data yang baik pula dengan memastikan data
62
tersebut valid/akurat/dapat dipertanggungjawabkan/update/aktual dan
tersedia serta mudah diakses. Oleh karenanya kualitas manajemen data
sangat mempengaruhi proses perencanaan pembangunan maupun hasil
perencanaan itu sendiri.