Fotografi Forensik Paper

Post on 08-Nov-2015

88 views 26 download

description

foto

Transcript of Fotografi Forensik Paper

FOTOGRAFI FORENSIKA. Teknik Fotografi Forensik.Berpeganglah selalu dengan pada prinsip KISS (Keep It Simple and Sharp). Tidak dibutuhkan teknik yang rumit untuk melakukan kegiatan fotografi saat pemeriksaan kedokteran forensik. Yang paling diutamakan adalah bahwa jepretan kamera kita mampu memberikan hasil yang tajam, berkomposisi, seimbang dalam pencahayaan dan warna, dan tidak mengalami perubahan dimensi obyek.1. Ketajaman GambarSalah satu unsur yang menentukan ketajaman sebuah gambar adalah kedalaman gambar (depth of field). Untuk membuat sebuah gambar dua dimensi menjadi lebih hidup, dibutuhkan penciptaan rasa akan adanya kedalaman dari gambar. Kondisi ini dimungkinkan dengan memanipulasi elemen elemen yang terdapat di latar depan, tengah, dan belakang. Garis sederhana yang membawa pandangan ke area- area dalam gambar menuju center of interest bisa lebih efektif. Pemilihan lensa dan bukaan diagfragma (aperture) menjadi unsur vital untuk menciptakan kedalaman. Pada pemotretan organ dalam (viscera) dapat dilakukan penggunaan lensa yang diletakan secara terbalik dan dicat sesuai warna latar belakang yang digunakan (biasanya hijau) yang terletak sedikit jauh dibawah gelas untuk menghindari fokus serta penggunaan lampu tungsten sebagai pencahayaan.2. Komposisi GambarPada kegiatan fotografi yang dilakukan di TKP, gambar diambil secara serial dan panoramik menggunakan lensa- lensa sudut lebar agar seluruh obyek pada TKP dapat terekam dalam bingkai pemotretan sekaligus. Diperlukan komposisi obyek yang baik dan kuat agar pesan yang tersirat dalam setiap bingkai pemotretan dapat disampaikan ke penyelidik maupun penyidik. Dikenal rumus pertigaan pada teknik komposisi fotografi, yakni membagi bingkai gambar menjadi sembilan bagian yang sama. Pembagiannya adalah dua garis horizontal dan dua garis vertikal. Rumus ini dapat diterapkan pada segala format: bujur sangkar, persegi panjang, atau panorama. Komposisi yang dibangun akan seimbang saat menempatkan obyek tepat di atau dekat titik pertemuan garis (point of power). Dalam seni fotografi murni, rumus ini juga dapat dipergunakan untuk pengambilan gambar jarak dekat (close-up). Namun aplikasinya tidak disarankan pada close-up fotografi autopsi, karena dalam hal ini lebih ditekankan proses representasi dari realita, misalnya pada pengambilan foto organ dalam. Salah satu masalah yang sering kita temui adalah latar belakang yang mengganggu kekuatan obyek utama. Gangguan itu bisa berupa sesuatu yang cerah, warna, dan bentuk, atau pemilihan diagfragma lensa (aperture) yang kurang baik. Akibatnya, gambar yang dihasilkan akan membingungkan, tidak jelas bagian mana yang menjadi pusat perhatian. Dengan mengubah posisi memotret, melakukan zooming pada bagian terpenting dari sasaran bidik, dan menggunakan format potrait, masalah diatas akan dapat diatasi. Namun perlu diperhatikan mengenai adanya perubahan perspektif akibat usaha diatas yang barangkali dapat memberikan interpretasi salah saat foto digunakan untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan. 3. EksposurEksposure perlu diperhatikan untuk mendapatkan hasil foto yang baik. Untuk menciptakan serangkaian warna pada gambar, kamera harus memastikan bahwa jumlah cahaya yang optimal sampai ke sensor atau film. Hal tersebut bisa diperoleh dengan mengatur lama eksposure (kecepatan rana/ shutter speed) dan intensitas cahaya (bukaan diafragma/ aperture) pada lensa. Gambar dibentuk melalui akumulasi cahaya di film atau sensor selama eksposur. Kamera senantiasa berupaya mengarahkan obyek secara keseluruhan kearah grey tone 18% (area mid-tone/ kontras netral kamera). Maka matering atau pengukuran eksposur diperlukan di sini. Kurangi eksposur antara 0.7 EV sampai 1 EV untuk menjaga kedalaman warna dan detai pencahayaan. Saat pemotretan organ dalam (viscera), organ ditempatkan pada suatu area dengan latar belakang warna biru atau hijau. Warna putih dapat digunakan meskipun hal ini dapat mempengaruhi ukuran eksposur jika latar belakang terlalu terlihat pada bagian tepi gambar. Organ yang akan di foto sebaiknya dilakukan dabb (penekanan dengan kain atau busa) terlebih dahulu supaya terbebas dari darah pada bagian permukaan dan latar belakang untuk menghindari terjadinya efek penyinaran kuat (highlight). Efek highlight dapat mengganggu metering exposure yang telah dilakukan sebelumnya. Pengaturan eksposur dikembalikan kepada sang fotografer, tergantung pada kondisi lingkungan yang dihadapi saat pemotretan. Pada fotografi forensik, yang paling utama adalah ketajaman obyek dan menjaga agar warna obyek tetap natural.4. WarnaPilihan auto white balance pada kamera digital dirancang untuk secara automatis menyesuaikan dengan warna- warna, atau temperatur cahaya yang berbeda untuk mendapatkan hasil yang mendekati normal. Kamera akan berupaya menganalisa warna- warna yang ada pada obyek foto dan menormalkannya tetapi hal ini sering gagal dalam membedakan antara warna cahaya dan warna bawaan obyek itu sendiri. Kamera juga akan berusaha mengompensasi kondisi pencahayaan sekitar yang akan menjadi bagian dari bingkai pemotertan. Akibatnya, warna yang hendak dinormalisasikan malah tidak tercapai. Aturlah white balance secara manual sesuai pilihan. 5. Pencahayaan. Untuk pencahayaan biasanya menggunakan lampu kilat elektronika yang sekarang menjadi bagian dari kamera dan penggunaan thyristor (semikonduktor pengukur keluaran cahaya) pada lampu kilat yang dikontrol secara automatis, menjadi solusi dari penghitungan jarak pengambilan yang rumit. Tentu pada jarak pengambilan gambar yang dekat, penggunaan lampu kilat yang melekat pada kamera akan menghasilkan gambar yang kurang memuaskan. Alternatifnya, digunakan lampu kilat terpisah yang terjaga jaraknya dengan kamera, penggunaan diffuse untuk mengurangi kekuatan cahaya atau menggunakan teknik memantulkan cahaya (bounching) ke arah langit- langit ruang autopsi atau mungkin ring flash yang dipasang pada bagian depan lensa untuk menghindari bayangan kamera. Pada fotografi jarak dekat (close-up), dikenal adanya kesalahan paralaks. Paralaks adalah suatu kondisi kesalahan penampakan atau perbedaan orientasi dari obyek yang dilihat dari dua arah yang berbeda, akibat perbedaan sudut pandang dari dua arah tersebut. Maksudnya yang kita lihat melalui jendela bidik (viewfinder) tidak selaras dengan yang direkam oleh sensor atau film. Hal semacam ini bisa terjadi pada kamera SLR maupun Compact ketika kita membidik obyek melalui LCD-nya. Saat menggunakan lampu kilat pada pemotretan jarak dekat, ada perbedaan antara yang dilihat dengan kamera dan yang disinari oleh lampu kilat. Sebaiknya, mengubah sudut lampu kilat kepengaturan sudut lebar agar dapat menyinari obyek secara penuh. Ada empat elemen cahaya yang perlu kita pahami yaitu: kualitas, warna, intensitas, dan arah. Kualitas cahaya ditentukan dari bayangan yang diciptakan. Pencahayaan keras akan menciptakan bayangan yang tajam dan penyinaran yang kuat. Sebaliknya, pencahayaan yang lembut akan memunculkan bayangan lembut yang detailnya masih terlihat. Kondisi terakhir merupakan kondisi yang ideal untuk pemotretan wajah (portrait) dan close- up. Intensitas ata kecerahan/ brightness memiliki peran krusial dalam hal eksposur. Semakin banyak cahaya yang tersedia, kian kecil bukaan diagfragmanya, sementara masih memungkinkan pula kecepatan rana (shuter speed) yang tinggi. Bila cahaya semakin intens dan keras maka semakin besar peluang terang yang berlebihan. Untuk itu lihatlah data histogram gambar yang tertera di kamera karena gambar pada LCD kamera bisa saja lebih gelap atau lebih terang dari yang sebenarnya. Histogram merupakan sebuah bar chart ( kumpulan diagram batang yang menyatu membentuk kurva) yang menunjukan banyaknya pixel untuk masing- masing nilai kecerahan di keseluruhan skala tonal gambar, dari hitam pekat hingga putih total. Histogram menunjukkan apakah gambar yang diambil cenderung memutih atau menghitam, apakah cakupan tone- nya masih lengkap., dan secara keseluruhan seberapa terang dan gelapnya gambar yang diambil. Sebaran tone yang sempurna adalah tatkala histogram menunjukkan puncak kurva nol, baik pada ujung kiri skala maupun ujung kanan. Cahaya bisa menerangi obyek sedikitnya dari tiga arah, yakni depan, samping, dan belakang. Masing- masing memberikan efek yang berbeda pada hasil foto. Backlighting atau penyinaran dari arah belakang obyek, dapat memberikan semacam efek halo disekitar obyek. Sidelighting atau pencahayaan dari samping, sangat baik untuk memunculkan tekstur obyek, juga memberi kesan kedalaman. Fronlighting, pencahayaan dari depan, baik untuk pemotretan wajah close-up.Daftar Pustaka: ariayudhistira., 2010. Fotografi Forensik. Departemen of forensic Medicine And medicolegal Faculty Of Medicine Universitas Jenderal Achmad Yani Cimahi. http://www.pdfi-indonesia.org/news/fotografi-forensik. B. Hasil Fotografi Forensik.Fotografi forensik adalah suatu seni yang menghasilkan bentuk reproduksi dari tempat kejadian perkara atau tempat kejadian kecelakaan secara akurat untuk kepentingan penyelidikan hingga ke pengadilan. Fotografi forensik juga termasuk kedalam bagian dari upaya pangumpulan barang bukti seperti tubuh manusia, tempat- tempat, dan setiap benda yang terkait suatu kejahatan dalam bentuk foto yang dapat digunakan oleh penyelidik atau penyidik saat melakukan penyelidikan atau penyidikan. Metode yang digunakan dalam fotografi forensik tergantung dari kebijakan setiap negara berkaitan dengan pemakaian kamera dengan film 35 mm atau secara digital. Masing- masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Dulu dikatakan, fotografi konvensional atau yang menggunakan film dianggap lebih memiliki resolusi gambar yang baik dan tinggi sehingga memungkinkan untuk dilakukan pembesaran guna memperoleh detai gambar yang dibutuhkan. Foto digital memiliki kelebihan berupa tanggal dan waktu yang bertanda secara automatis pada gambar untuk menunjukkan keabsahan gambar yang diambil dan hal ini tidak dimiliki oleh foto konvensional dimana, keabsahan gambar harus dibuktikan sendiri oleh sang fotografer dengan cara misalnya, mengikutsertakan saksi- saksi dalam fotonya. Seiring dengan perkembangan teknologi, perbedaan antara kamera film (analog) dan kamera digital tidak lagi terlalu mencolok. Setiap alat dapat dipakai dalam kegiatan fotografi forensik, sesuai dengan kebutuhannya. Daftar Pustaka: 1. Crime Scene Investigator., 2011. Forensic Photography for the crime Scene Technician. http://www.crime-scene-investigator.net. 2. ariayudhistira., 2010. Fotografi Forensik. Departemen of forensic Medicine And medicolegal Faculty Of Medicine Universitas Jenderal Achmad Yani Cimahi. http://www.pdfi-indonesia.org/news/fotografi-forensik.3. McMiken Bob., 2012. Pratical Police Photography. Police Line Do Not Cross.