Post on 02-Oct-2021
MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017
22
Peran Partai Al-Nahdhah Dalam Rekonsiliasi Politik Di Tunisia Tahun 2011-2015
Libasut Taqwa, Hendra Kurniawan
Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam, Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia
Email: libasut.taqwa281@gmail.com, hendrakm@yahoo.com
Abstract
This research aims to examine the role of Al-Nahdhah Party’ in Tunisia’s Political Reconciliation in 2011-2015 period. Al-Nahdhah is an Islamic party that has won the first election in post-revolutionary Tunisia in 2011 and managed to play an important role in the political transition process to embrace all different classes to have a common goal to struggle with them. In addition, there is no studies yet that have specifically discussed the political reconciliation efforts by a political party as a method to improve relations between the divided political factions in Tunisia’s political context. The analysis of this research uses qualitative methods to explain the observed phenomena qualitatively. Descriptive analysis is used to interpret the empirical data into words and as an overview of the research report. To get the data that will be analyze, the authors used data collection methods such as interviews, documents, and audio-visual information. The purpose of this study explain how the role and achievements that were achieved by the Al-Nahdhah party in Tunisia’s political reconciliation in 2011-2015 periods by applying the theory and the conceptual framework that explains about political reconciliation. This research is expected to provide a new contribution on the role of Al-Nahdhah Islamic political party in Tunisia’s political contestation after Ben Ali regime and its efforts in political reconciliation. The result assumed that Al-Nahdhah has an important role in Tunisia’s political reconciliation after the revolution. Keywords: Political Reconciliation, Al-Nahdhah, Tunisia, Revolution
PENDAHULUAN
Arab Spring1 yang melanda
sebagian negara Timur Tengah sejak akhir
2010 turut mempengaruhi konstelasi politik
di wilayah tersebut. Kekacauan politik yang
1 Istilah ini pertama kali digunakan pada 6 januari 2011 oleh Marc Lynch, seorang kontributor Foreign Policy dalam artikelnya berjudul “Obama’s Arab Spring.” Asaad Al-Saleh. Voices of The Arab Spring: Personal Stories of The Arab Revolution. New York: Columbia University Press, 2015. Hal. 3; Rangkaian revolusi di beberapa negara Afrika Utara dan Timur Tengah tersebut juga seringkali disebut Arab Uprising atau Arab Awakening. Chandra
semula berawal dari kasus pembakaran diri
Mohammed Bouazizi di Tunisia pada 17
Desember 2010,2 pada akhirnya menyeruak
dan membakar amarah seluruh negeri. Aksi
protes yang menjelma menjadi gerakan
Muzaffar. Whither Wana? Reflections Of The Arab Uprisings. International Movement for a Just World, ebook; Lihat juga Tariq Ramadan, Islam And The Arab Awakening. London: Oxford Press. 2012. 2 Khamami Zada. Gelombang Revolusi dan Transisi Politik di Timur Tengah dan Afrika Utara. Salam; Jurnal Sosial dan Budaya Syar’i. Vol. 2 No. 1 Juni 2015. Hlm. 68
MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017
23
revolusi ini menuntut diakhirinya rezim
Zine el-Abidine Ben Ali yang telah
berkuasa sebagai Presiden Tunisia selama
lebih dari 23 tahun.
Aksi Bouazizi dan rakyat Tunisia
lebih jauh turut menginspirasi gerakan
serupa di negara-negara lain di regional
Timur Tengah. Di Mesir, revolusi rakyat
berhasil menjatuhkan pemerintahan
Mubarak.3 Di Libya, gerakan anti-Khadafy
mengadakan perlawanan bersenjata.4
Begitu pula halnya di Sudan, Yaman, dan
Bahrain.5 Berbagai perubahan dan
restrukturisasi kepemimpinan di wilayah
yang dilanda konflik berangsur-angsur
membawa arah baru demokratisasi.
Gejolak politik yang terjadi
memang tidak lahir dari satu faktor.
Kemiskinan, ketimpangan ekonomi,
pengangguran, kebijakan yang represif, dan
otoritarianisme menjadi faktor penting yang
menandai perubahan tersebut. Minggu-
minggu pasca aksi dramatis Bouazizi, peta
politik Tunisia berubah drastis. Rezim
diktator yang berkuasa puluhan tahun
lengser dari pemerintahan diganti sistem
kepemimpinan baru yang menunjang arah
perubahan sosial politik negara, Afrika
Utara, dan dunia. Namun demikian, transisi
3 Paul Aarts, dkk. From Resilience to Revolt: Making Sense of The Arab Spring. Amsterdam: University of Amsterdam, 2012. Hlm. 1 4 Ibid, hlm. 1 5 Amjad M. Saleem, Ed. The Arab Revolution: Hopes, Challenges, and Transitions. London: The Cordoba Foundation, Vol. 6 Ed. 10, 2012. Hlm. 4
revolusi Tunisia tidak berlangsung lama
seperti negara Timur Tengah lain. Pada 14
Januari 2011, 10 hari pasca meninggalnya
Bouazizi, Ben Ali akhirnya mengasingkan
diri ke Saudi Arabia dan menyerahkan
kekuasaan pada Mohammad Ghannouchi.6
Namun tidak berapa lama
Ghannouchi menjabat sebagai presiden,
Fouad Mebazaa, presiden lembaga
parlemen Tunisia, menganggap penyerahan
kekuasaan tersebut tidak sah dan kemudian
mengambil alih kepemimpinan –presiden-
dari Ghannouchi serta selanjutnya pada
Senin, 28 Februari 2011, mengangkat
Mohamed Beji Caid Essebsi –belakangan
sebagai inisiator partai Nidaa Tounes-
sebagai Perdana Menteri.7 Pasca perubahan
singkat tersebut, ternyata penggantian
Perdana Menteri belum menenangkan
situasi. Sebaliknya, protes anti pemerintah
terus berlangsung. Aksi protes demonstran
dilandasi fakta bahwa perdana menteri baru
dipilih tanpa berkonsultasi dengan partai
politik lainnya sehingga banyak kelompok
muda tidak merasa terwakili oleh Essebsi
yang digambarkan sebagai antek rezim
lama. Konsekwensinya, di tengah suasana
yang semakin tegang, beberapa menteri
negara mengundurkan diri. Upaya Essebsi
6 Tariq Ramahan, Islam And The Arab Awakening. London: Oxford Press. 2012. Hlm. 6 7 http://www.abo.net/oilportal/blog/post/view.do?blogid=108330&contentId=627132, diakses pada 02 Oktober 2016
MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017
24
mempertahankan posisi politik rupanya
turut juga mempengaruhi sistem
perekonomian Tunisia yang melemah.
Sektor pariwisata yang menjadi andalan
semakin merosot. Pantai dan hotel-hotel
terlihat sepi. Sejak Januari 2011, ribuan
pegawai hotel kehilangan pekerjaan.8
Walau demikian, Tunisia mendapat
nafas baru di bidang politik. MTI (The
Movement of Islamic Tendency) yang
dikekang selama puluhan tahun oleh rezim
Ben Ali dan telah absen dari panggung
politik Tunisia9 sejak 1992 kembali ke
permukaan setelah Rashid al-Ghannouchi,
pimpinan yang mengasingkan diri ke
London kembali ke Tunisia pada 30 Januari
2011 dan memimpin gerakan Al-Nahdhah.
Anggota-anggota partai, termasuk Rashid
al-Ghannouchi yang pada era Ben Ali
dilarang keras pemerintah mulai
mengumpulkan dukungan dari para
simpatisan di seluruh Tunisia guna
mempersiapkan diri mengikuti pemilu yang
segera diadakan. Sesuai dengan semangat
perubahan dari pemegang kekuasaan
sementara Tunisia, pada Februari 2011,
gerakan Al-Nahdhah secara resmi menjadi
partai politik dan mempersiapkan diri
8 http://www.dw.com/id/tunisia-enam-bulan-setelah-revolusi/a-15235268, diakses pada 21 September 2016 9 Apriadi Tamburaka, Revolusi Timur Tengah: Kejatuhan Para Penguasa Otoriter di Negara-negara Timur Tengah. Yogyakarta: Narasi, 2011. Hlm. 46 10 https://www.britannica.com/biography/Rachid-al-Ghannouchi, diakses pada 02 Oktober 2016
memasuki pemilu Majelis Konstitusi.10
Walaupun demikian, Al-Nahdhah bukanlah
pemain baru dalam kancah perpolitikan
Tunisia. Terbentuk dari embiro Al-Jama’ah
Al-Islamiyyah (JI) pada 1971 oleh Rashid
Al-Ghannouchi dan Abd Al-Fattah Muru,11
gerakan ini menjadi inisiator perlawanan
kelompok Islam di Tunisia yang diilhami
gerakan Ikhwan Al-Muslimin di Mesir
dengan tokoh-tokoh seperti Hassan Al-
Banna dan Sayyid Qutb. Dengan membaca
buah pemikiran para tokoh tersebut, Al-
Ghannouchi merasa mendapat jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang menjadi
kegusarannya selama ini, khususnya dalam
konteks keislaman dan masalah sosial
politik di Tunisia.12
Delapan bulan pasca revolusi,
antusisme rakyat Tunisia dalam mengiringi
jalannya revolusi mencapai puncak dengan
dilaksanakannya pemilu pada hari Minggu,
23 Oktober 2011 yang memilih Majelis
Konstitusi berjumlah 217 orang guna
mempersiapkan perubahan dasar negara
dan mempersiapkan pemilihan Presiden.
Pemilihan umum yang secara internasional
diakui sebagai penyelenggaraan yang bebas
dan adil dalam sejarah Tunisia modern
11 Mega Kharismawati. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kemenangan Partai Al-Nahdhah Pada Pemilu National Constituen Assembly Tahun 2011 di Tunisia. Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Tesis. 2013. Hlm. 30 12 Azzam S. Tamimi. Rachid Ghannouchi: A Democrat Within Islamism. Oxford: Oxford University Press, 2001. Hlm. 70
MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017
25
untuk pertama kalinya terjadi dalam
beberapa dekade terakhir. Rakyat Tunisia
diberi kebebasan oleh pemerintahan transisi
untuk membentuk partai politik, mengatur
agenda dan visi-misi, dan memilih secara
bebas. Pada pemilu ini, partai Al-Nahdhah,
sebagai partai Islam terbesar,
memenangkan 41,7 persen (89 kursi) dari
total 217 kursi di Parlemen.13 Walaupun
demikian, raihan suara Al-Nahdhah tidak
cukup untuk membentuk pemerintahan
tunggal dengan suara mayoritas sebab
banyak rakyat yang juga percaya bahwa
partai tidak memiliki legitimasi moral untuk
memaksakan ideologinya pada
masyarakat.14
Setelah memenangkan pemilihan
umum, Al-Nahdhah membantah anggapan
internasional yang menuduh15 Rashid al-
Ghannushi akan membentuk pemerintahan
otoriter dengan sebaliknya menolak
menjadi presiden atau Perdana Menteri
dengan membentuk pemerintahan koalisi
antar ideologi yang dikenal dengan
“Troika” bersama dua partai sekuler
(Congress for the Republic (CPR) dan
Ettakatol).16 Langkah Al-Nahdhah
13 International Civil Society Action Network Fro Women’s Right, Peace, and Security. What the Women Say: The End of the Beginning: Tunisia’s Revolution and Fighting for the Future. Brief Report 2. April 2012. Hlm. 3 14 Ibid, hlm. 3 15 Tuduhan-tuduhan terhadap partai En-Nahdhah antara lain seperti dilontarkan oleh BBC, pada tahun 2012 yang menyatakan bahwa Ghannouchi akan membentuk pemerintahan otoriter dan
menunjukkan upaya konsesi politik brilian
dalam perjalanan transisi politik Tunisia
Pasca Ben Ali. Menurut Harun Yahya17, Al-
Nahdhah merupakan suatu kemajuan yang
dilakukan sebuah partai Islam. Baginya,
salah satu alasan terpenting dari kemajuan
transisi politik Tunisia adalah sikap
akomodatif Al-Nahdhah terhadap oposisi
dan kelompok yang berseberangan dengan
mereka. Alih-alih mengambil kekuasaan,
Rashid al-Gannouchi lebih memilih konsep
politik Power Sharing dengan berbagai
elemen di Tunisia.
Tidak hanya itu, terobosan-
terobosan politik Al-Nahdhah terlihat
dalam beberapa pendekatan nilai politik
Islam moderat dan kompromi politik yang
secara eksplisit menunjukan komitmen
eksistensi antara Islam dan negara yang
komplementer. Sebagaimana diungkapkan
Rory McCarthy, “Often overlooked is the
fact that in 2005, Ennahda sat down with
several opposition parties, including leftists
and communists, and agreed a joint
platform on issues such as women’s rights,
gender equality, freedom of opinion and
memberangus oposisi. Lihat, http://www.bbc.com/news/business-22464773, diakses pada 02 Oktober 2016 16 Monica Marks, Tunisia’s Ennahda: Rethinking Islamism in the context of ISIS and the Egyptian Coup. USA: Brookings Institution, 2015. Hlm 4 17 Harun Yahya, “Reconciliation is the winner in Tunisia.” Dalam http://muslimmirror.com/eng/reconciliation-is-the-winner-in-tunisia/, diakses pada 04 Mei 2016
MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017
26
relations between the state, religion and
identity.”18
Bagi Rashid al-Ghannouchi,19 untuk
menentukan tingkat perkembangan
masyarakat, maka sangat diperlukan konsep
yang menunjang posisi perempuan dan laki-
laki diperlakukan. Menurutnya, Tunisia
memimpin jalan bagi negara-negara Arab
lainnya dalam hal perlindungan konstitusi
untuk perempuan. Dalam sebuah
wawancara dengan A9 TV di Istanbul pada
8 Maret 2014, Rashid al-Ghannouchi
menjelaskan betapa pentingnya bagi
mereka untuk melindungi hak-hak
perempuan dan bagaimana perempuan
dapat membantu kesuksesan partai.
Terobosan ini terbukti pasca pemilihan
umum National Constituen Assembly pada
oktober 2011, 42 dari total 49 wakil
perempuan terpilih merupakan anggota
partai Al-Nahdhah.20 Kesinambungan relasi
antara kelas rakyat dan elit partai,
sebagaimana ungkap Feldman (2016)21,
menjadi salah satu syarat utama
keberhasilan penyelenggaraan pemilu pasca
revolusi. Dengan begitu, disparitas antara
kelompok elit dan massa rakyat akan segera
menemukan jalan tengah. Sebab, banyak
18 Rory McCarthy. “Islamism and secularism in Tunisia.” Dalam https://www.opendemocracy.net/rory-mccarthy/islamism-and-secularism-in-tunisia, diakses pada 09 Mei 2016 19 Harun Yahya, “Reconciliation… 20 International Civil Society Action Network Fro Women’s Right, Peace, and Security. What the Women Say: The End of the Beginning..Hlm. 3
rakyat Tunisia yang melihat Islam sebagai
bagian dari personifikasi diri dan
identitasnya. Dan Rashid al-Ghannouchi
serta Al-Nahdhah telah melakukan itu.
Peran fleksibilitas politik partai Al-
Nahdhah terutama pada tahun 2014 ketika
Tunisia mengalami periode resesi dan
kebuntuan politik telah menyebabkan
terjadinya perimbangan kekuasaan yang
mengintrodusir para sekularis yang
dipimpin Beji Caid Essebsi, tokoh partai
Nidaa Tounes, maju dan meraih
kemenangan dalam pemilu presiden dan
parlemen pada akhir tahun 2014.22 Upaya
tersebut juga terlihat ketika Al-Nahdhah
menjadi katalisator peredam sikap radikal
kelompok Salafi dengan menempatkan diri
sebagai pendukung terlibatnya kelompok
salafi dalam pemilihan umum dan
berpartisipasi dalam proses politik,
walaupun kelompok salafi, sebagaimana
direpresentasikan oleh Jabhat Al-Islah dan
Anshar Al-Syari’ah, memiliki
kecenderungan bertindak anti-demokratis.
KERANGKA TEORI
Dalam masyarakat Arab modern,
kehidupan sosial menjadi kian bercorak
21 Noah Feldman. “Islamists’ Victory in Tunisia a Win for Democracy.” Lihat https://www.bloomberg.com/view/articles/2011-10-30/islamists-victory-in-tunisia-a-win-for-democracy-noah-feldman, diakses pada 02 Oktober 2016 22http://parstoday.com/id/radio/world-i20143-tunisia_model_demokrasi_atau_kembali_ke_masa_lalu. Diakses pada 28 november 2016.
MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017
27
“masyarakat pemerintah (government
society)” dan bukan masyarakat sipil. Bagi
Barakat (2012),23 hal ini disebabkan karena
pemerintah negara-negara Arab bersikap
tiran terhadap masyarakat dan mengabaikan
hak-hak dasar rakyat. Lebih lanjut, Barakat
menjelaskan bahwa warga negara Arab
dibiarkan oleh rezim tanpa kekuatan,
dihalang-halangi dan dicabut haknya untuk
beraktifitas dalam gerakan politik.24
Dampaknya, terjadi gap yang besar antara
kebijakan pemerintah di satu sisi, dan
keinginan rakyat di sisi lain. Sejalan dengan
Barakat, Fergany (2005) meneguhkan,
bahwa salah satu dimensi mayor dalam
pemerintahan negara-negara Arab adalah
pola pengelolaan kekuasaan yang bertumpu
pada individu-individu dominan yang
otoriter dan tidak melalui institusi
sebagaimana syarat utama dalam sistem
good governance.25
Dengan pola kepemimpinan tiran
tersebut, basis sosial pemerintah menjadi
lemah. Di negara-negara dengan tingkat
heterogenitas tinggi seperti Libanon dan
Sudan (Barakat, 2012), penolakan terhadap
rezim demikian mudah terjadi apabila
ketimpangan sosial semakin meningkat
walaupun hanya dapat memicu konflik pada
23 Halim Barakat. Dunia Arab; masyarakat, Budaya, dan Negara. Terj. Irfan M/Zakkie. Bandung: Penerbit Nusa media. 2012. Hlm. 238 24 Ibid, hlm. 238 25 Nader Fergany. The UNDP’s Arab Human Development; Reports and their readings. Dalam Democratisation in the Middle East Dilemmas and
tataran perang sipil. Di sisi lain, negara
dengan homogenitas lebih tinggi seperti
Tunisia dan Mesir, lebih potensial akan
terjadinya revolusi rakyat26 ketika
masyarakat mengalami tingkat
ketimpangan yang besar, sebab akan
meningkatkan solidaritas kelas dan
mobilisasi massa.
Revolusi Tunisia sebagai akibat
ketimpangan sosial dan otoritarianisme
yang dipicu aksi bakar diri Buazizi
membuktikan tesis Barakat bahwa efek
domino dalam pergolakan struktur
masyarakat homogen lebih mudah
diintrodusir apabila terjadi banyak
penyimpangan oleh negara. Situasi sosial
politik pra revolusi yang timpang dan
otoritarian tersebut akhirnya melahirkan
kecenderungan perubahan sosial secara
signifikan dan sangat cepat. Implikasinya,
keruntuhan solidaritas sosial terbentuk dan
mengakibatkan terjadinya
ketidakseimbangan (disequilibrium) dalam
masyarakat, negara, dan pemerintahan.
Dalam kondisi kolaps tersebut, situasi
negara dapat bertambah parah menuju
perpecahan. Johnson (1986),27 mengatakan
demikian:
Perspectives. Ed. Birgitte Rahbek. Denmark: The authors and Aarhus University Press, 2005. Hlm. 24 26 Halim Barakat. Dunia Arab..Hlm. 27 27 Doyle Paul Johnson. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Terj. Robert M.Z. Lawang. Jakarta: Gramedia. 1986
MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017
28
“Perubahan sosial yang
cepat hampir selalu disertai
munculnya ketegangan-
ketegangan dan
perpecahan-perpecahan
dalam struktur sosial dan
kesenjangan budaya serta
diskuntinuitas. Semua ini
dialami sebagai masalah-
masalah sosial dimana
tradisi yang sudah mapan
tidak menyediakan
jawaban-jawaban yang siap
dipakai. Mencari jalan
keluar, kadang-kadang
mengakibatkan orang
mempertanyakan asumsi-
asumsi tradisional dan
menciptakan bentuk-
bentuk baru. Tetapi bisa
juga orang berusaha untuk
membela asumsi-asumsi
tradisional, dengan jalan
menginterpretasikannya
kembali, di mana artinya
dapat disesuaikan dengan
situasi baru.”
Menurut Zisenwine (2015)28,
disintegrasi Tunisia pasca revolusi memiliki
28 Daniel Zisenwine. Tunisia's Revolution, 4 Years On: Achievements and Challenges. Tel Aviv Notes; An Update On Middle Eastern Developments By The Moshe Dayan Center. Vol.9 No. 2. 2015. Hlm. 1-2
kecenderungan peningkatan disebabkan
beberapa hal, seperti; bahwa Sepanjang
2012, Tunisia dihadapkan realitas baru yang
berasal dari proses pasca-revolusi walaupun
diakui belum seakut negara-negara Timur
Tengah lainnya. Ekonomi juga berjalan
tetap lamban dan sulit lepas dari dampak
revolusi. Pengangguran meningkat drastis
(lebih dari 16 persen), investasi menurun,
dan komponen penting dari industri-turis
negara serta ekonomi-tidak bangkit kembali
pasca revolusi. Selain itu, situasi keamanan
internal memburuk dengan munculnya
kelompok-kelompok Islam garis keras.
Apa yang terjadi di antara pemegang
kekuatan dan kekuasaan dalam
pemerintahan Tunisia ibarat telah
membusuk dan hanya tinggal menunggu
waktu untuk mengundang pergolakan
rakyat. Masyarakat mengharapkan
perbaikan dan perdamaian antara pihak-
pihak yang berseteru yang bukan
dipaksakan oleh hasil rekayasa punguasa,
namun lahir dari aktor-aktor penting negeri
yang di dalamnya melibatkan dialog
intensif hingga Rekonsiliasi Nasional.
Rekonsiliasi Nasional, sebagaimana
diserukan Ghannouchi29, bukanlah “safqa
taht al-tawila” (deal bawah tangan) tapi
29 Sayida Ounissi and Monica Marks. Ennahda from within: Islamists or “Muslim Democrats”? A conversation dalam https://www.brookings.edu/research/ennahda-from-within-islamists-or-muslim-democrats-a-conversation/, diakses pada 06 Oktober 2016
MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017
29
mewakili keseluruhan sejarah Tunisia yang
merangkul semua pihak.
Secara etimologis, rekonsiliasi
berasal dari bahasa latin dari kata
‘reconciliatio’ dan kata kerja ‘reconciliare’
yang berarti membawa kembali,
membangun kembali, memperbaharui,
merukunkan.30 Corrimeela (2016)31
mendefinisikannya sebagai “the restoring
and transforming of relationships and
structures harmed by division and conflict,
so that they reflect a shared humanity and
seek a shared future in which we live well
with and for others.” Rekonsiliasi dapat
berguna sebagai alat proses transformasi
hubungan dalam masyarakat yang
terbelah.32
Dalam perkembangannya, upaya
rekonsiliasi dapat melibatkan multi-
generasi dan berlaku pada setiap tingkat
perkembangan komunitas. baik masyarakat
yang mengalami konflik kekerasan atau
tidak. Rekonsiliasi memiliki ragam
pendekatan baik sebagai pencegah konflik
juga pemulihan pasca konflik dan
berhubungan erat dengan masalah inklusi
struktural dan keadilan sosial.33 Oleh
30 Ulber Silalahi. Rekonsiliasi Sosial; Satu Kerangka Analisis dan Teori Konsensus. Universitas Parahyangan. Jurnal Administrasi Publik, Vol. 5, No. 2, 2008: 193-208 31 Rebbeca Dudley. What Is Reconciliation. Human Right’s And Reconciliation Reports. Tt. Hlm. 3 32 Quaker United Nation Office. Reconciliation – transforming relationships in divided societies. Remarks given on 4th May, 2015 at the UNITAR
karenanya, upaya rekonsiliasi dapat bersifat
individual, namun juga dapat berarti
kolektif menyangkut perbaikan kehidupan
masyarakat banyak dengan kekuatan
solidaritas yang tinggi. Rekonsiliasi adalah
tentang mendukung evolusi masyarakat,
yang menyediakan lensa untuk melihat
perubahan sosial dan segala bentuk bantuan
eksternal. Rekonsiliasi, sebagai
transformasi hubungan-hubungan, juga
merupakan konsep inti dalam
mengembangkan ketahanan suatu
masyarakat.
Rekonsiliasi dapat dilakukan
apabila telah terjadi konflik yang memenuhi
beberapa persyaratan seperti disebutkan
Lederach (1995)34: Pertama, ketidakadilan
struktural yang terjadi seperti kemiskinan
dan penindasan oleh penguasa. Kedua, alur
konflik secara tipikal terjadi apabila
kelompok yang satu menindas kelompok
lainnya. Ketiga, konflik telah berlangsung
lama dan lintas generasi. Keempat,
kelompok yang berkonflik biasanya berada
dalam batas geografis yang dekat. Dan
kelima, ada kekerasan fisik langsung
(Rigby 2012).35
Workshop on Reconciliation & Peacebuilding. Hlm. 3-4 33 Ibid, hlm. 4 34 Cheryl de la Rey. “Reconciliation in Divided Society.” Dalam Daniel J. Christie, dkk. Peace, Conflict, And Peace; Peace Psychology for The 21st Century. New jersey: Prentice-Hall, Inc. 2001. Hlm. 251 35 Andrew Rigby, “How do Post-Conflict Societies Deal With Traumatic Past and Promote National
MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017
30
Dalam konteks penelitian ini,
rekonsiliasi dipahami sebagai upaya
perbaikan relasi. Suatu konsep relasional
dan tidak sebagai suatu kejadian “revolusi”
itu sendiri. Oleh karenanya, peta
rekonsiliasi yang digunakan diambil dari
konsep Cohen (1997)36 yang menyatakan
bahwa rekonsiliasi digunakan sebagai
proses memperbaiki relasi antar elemen
yang bertikai. Struktur politik Tunisia yang
terganggu setelah terjadinya perubahan
sosial politik hasil revolusi melati dan
restrukturisasi kepemimpinan Nasional
sejak 2011 membuat banyak elemen rakyat
terpecah. Untuk mengukur konsep
rekonsiliasi, metode dan mekanisme yang
digunakan; Pertama, Dialogue. Dalam
proses dialog, pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan dimaksudkan untuk tujuan
klarifikasi dan kesepahaman bersama
hingga kedua pihak yang berdialog menilai
dan menghargai lawan dialognya sebagai
manusia juga sama seperti dirinya.37 Hal ini
menjadi sangat penting untuk proses
terjadinya rekonsiliasi. Upaya pembentukan
dialog nasional dan koalisi dengan partai
sekuler yang dilakukan Al-Nahdhah
menjadi sangat penting dilihat dari
mekanisme ini
Kedua, Legislation And Policies.
Upaya penegakan Hak Asasi Manusia
Unity And Reconciliation?” dalam Charles P. Webel & Jorgen Johansen Peace And Conflict Studies; A Reader. London & New York. 2012. Hlm 234
menjadi salah satu hal penting di zaman
modern. Upaya-upaya tersebut dapat dilihat
sebagai mekanisme rekonsiliasi yang dapat
dibangun secara struktural melalui legislasi
dan kebijakan oleh penguasa. Selain itu,
kebijakan dalam hal aksi afirmasi yang
bermanfaat sebagai pereduksi ketidakadilan
dan ketimpangan peranan dalam ruang
publik dan politik,38 sebagai contoh pria dan
wanita, sangat mempengaruhi tingkat
keberhasilan sebuah rekonsiliasi. Peranan
Al-Nahdhah dalam proses tersebut menjadi
perhatian tersendiri. Selain berupaya dalam
perubahan mendasar konstitusi baru
Tunisia, Al-Nahdhah juga mengembangkan
kebijakan-kebijakan partai yang memberi
kesempatan kepada perempuan dalam
berpolitik.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan Metode
kualitatif sebab melihat Peran partai Al-
Nahdhah dalam rekonsiliasi politik di
Tunisia tahun 2011-2015 yang melibatkan
interpretasi terhadap teks, konteks sosial-
politik dan fenomena yang terjadi. Jenis
penelitian ini adalah studi kasus yang
berusaha menemukan makna, menyelidiki
proses dari revolusi Tunisia dan rekonsiliasi
oleh partai Al-Nahdhah, serta memperoleh
pengertian dan pemahaman yang mendalam
36 Ibid, hlm. 254 37 Cheryl de la Rey. Reconciliation…Hlm. 260 38 Cheryl de la Rey. Reconciliation…Hlm. 261
MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017
31
dari individu, kelompok atau situasi.
Dengan mengacu pada jenis penelitian studi
kasus, penelitian mengeksplorasi
bagaimana peran Al-Nahdhah sebagai
partai politik Islam di Tunisia secara
mendalam, baik kejadian, aktivitas, maupun
proses atas individu, kelompok atau situasi
yang berkaitan dengan situasi dan kejadian
yang melibatkan partai Al-Nahdhah pasca
revolusi Tunisia tahun 2011.
Selain itu, penelitian menggunakan
beberapa metode penggalian data. Pertama,
interview peneliti lakukan terhadap
perwakilan kedutaan Besar Tunisia dengan
konsep pertanyaan wawancara terstruktur
dengan tatap muka langsung. Kedua
Documents, berupa bahan dan dokumen
tulis baik internal maupun eksternal berupa
buku, jurnal, laporan berkala, artikel media
massa, website, publikasi dan laporan
resmi, serta tanggapan tertulis yang
berkaitan baik langsung maupun tidak
langsung dengan partai Al-Nahdhah.
Ketiga, Audio Visual Information.39
Kegunaan media audio visual menjadi salah
satu hal yang menurut peneliti patut
dipertimbangkan walaupun tidak bisa
dijadikan sumber primer.
HASIL PENELITIAN
39 John W. Creswell. Research Design,.. hlm. 242-243
Al-Nahdhah sebagai salah satu aktor
penting pasca revolusi memainkan peranan
krusial dalam mengawal transisi politik
sebagai pemimpin pemerintahan Tunisia.
Setelah memenangkan pemilu National
Constituen Assembly ( يسیسأتلا ينطولا سلجملا )
pada Oktober 2011, Al-Nahdhah
membangun komunikasi dan dialog politik
dengan berbagai pihak termasuk kelompok
sekuler dan komunis tanpa memonopoli
kepemimpinan. Ini terbukti dengan
kesediaannya membentuk Koalisi Troika
dan bersedia mengkompromikan pasal-
pasal penting dalam konstitusi mengenai
term Syariat Islam dan posisi wanita dalam
kehidupan sosial dan politik Tunisia pasca
revolusi. Konstitusi sebagai hasil dari
legislasi pun terwujud tanpa pasal yang
menyantumkan Syariat Islam, dan
menegaskan bahwa posisi perempuan dan
laki-laki adalah sama dalam ranah sosial-
politik. Al-Nahdhah juga tampil
mengeluarkan berbagai pernyataan
persuasif baik melalui wawancara, maupun
pidato untuk turut mengonsolidasikan
situasi pelik di masa transisi khususnya
ketika terjadi pembunuhan atas dua tokoh
oposisi dan bangkitnya kelompok teroris.
Selain itu, ketika meraih posisi kedua pada
Pemilu parlemen tahun 2014, Al-Nahdhah
bersedia menerima ajakan Nidaa Tounis,
MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017
32
pemenang pemilu, untuk berkoalisi dan
membangun pemerintahan secara bersama-
sama sejak 2015. Situasi ini memenuhi
unsur rekonsiliasi politik sebagai sebuah
konsep yang mensyaratkan kerjasama
sebagai bagian dari upaya membangun
pemerintahan yang baik pasca revolusi dan
kebuntuan politik yang terjadi setelahnya.
PEMBAHASAN
Sebagai sebuah metode, rekonsiliasi
politik mensyaratkan kooperasi, yaitu
kerjasama berkelanjutan antar elit yang
memimpin transisi politik secara bersama-
sama tanpa memandang kekhususan dan
tingkatan peran masing-masing kelompok
dalam proses transisi. Dalam rekonsiliasi
politik, konstituen yang beraneka ragam
harus setuju dalam satu tujuan politik
bersama. Kerjasama, dengan demikian
bergantung pada seberapa besar keinginan
dari partisipannya untuk mencapai
konsensus bersama akan persamaan hak,
persamaan dalam perimbangan kekuasaan,
dan saling menghormati satu sama lain.
Dengan kata lain, rekonsiliasi, dalam artian
politik, adalah menerima hak untuk
didengarkan, hak untuk tidak menyetujui
pendapat, serta hak untuk mengambil
langkah legal dan sah dalam memperbaiki
perpecahan. Alhasil, upaya demikian akan
mewujudkan suatu sistem dimana
40 Ibid. Hlm. 205-206
masyarakat, baik kelompok maupun
individu, bersikap loyal terhadap negara
dengan sikap kewarganegaraan yang baik.40
Setelah revolusi 2011, Tunisia
memasuki masa transisi politik dan
perlahan berbenah. Upaya-upaya
konsolidasi perdamaian secara
berkelanjutan dilakukan oleh elit politik
dalam berbagai kesempatan. Pertama, hasil
dari pemilihan umum National Constituen
Assembly ( يسیسأتلا ينطولا سلجملا ) Oktober
2011 menghasilkan suatu konfigurasi
politik baru dalam lanskap politik Tunisia.
Partai Al-Nahdhah meraih kemenangan
disusul CPR, dan Ettakatol. Hasil pemilu
pertama setelah revolusi ini menunjukan
bahwa rakyat Tunisia tidak sepenuhnya
memilih karena platform politik masing-
masing partai, namun lebih melihat
keterpisahan kelompok tersebut dengan
rezim masa lalu. Kemenangan ketiga partai
tersebut mengilustrasikan kelahiran aktor
politik baru pembawa pesan ganda:
menghormati aturan demokrasi dan
kemajuan tradisi serta identitas Arab-
Muslim. Namun demikian, harus diakui,
bahwa ketiganya tidak memiliki
pengalaman dalam mengelola
pemerintahan dalam arti kolektif.
Implikasinya, koalisi Troika dapat
dikatakan memang tidak bersatu, walau
dapat bekerja bersama-sama.
MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017
33
Tanpa pengalaman di pemerintahan,
celah dengan cepat muncul dalam
pelaksanaan koalisi ini. Pertama antara tiga
pihak dan kemudian dalam internal masing-
masing pihak.41 Di NCA, para pemimpin
dari tiga partai berbagi fungsi politik selama
masa transisi untuk mengarahkan Tunisia
pada persiapan di pemilihan umum resmi di
tahun-tahun mendatang setelah transisi:
Moncef Marzouki terpilih sebagai Presiden
Republik, Hamadi Jebali dari Al-Nahdhah
sebagai Perdana Menteri, dan Ben Ja’afar
sebagai Presiden NCA. Kesulitan ketiga
partai ini bekerja bersama-sama untuk
berdialog, memerintah negara, dan
merancang konstitusi diperparah oleh
ketegangan konstan yang sering beralih ke
konflik antara dua segmen yang sangat
berbeda dari masyarakat Tunisia. Meskipun
ada dua kubu efektif dalam konflik sejak
kepergian Presiden Ben Ali, kelompok
modernis “anti” islamisasi di satu sisi, dan
kelompok Islam di sisi lain termasuk partai
Al-Nahdhah, namun koalisi ini cukup
mampu bertahan dalam berbagai hadangan
41 Wawancara Perwakilan Kedutaan Besar Tunisia, 20 Desember 2016 42 Khadija Mohsen-Finan. From Revolution to The Project of Democracy: The Difficulties of Organising the Tunisian Transition. http://www.iemed.org/observatori-en/arees-danalisi/arxiusadjunts/anuari/med.2012/Mohsen_Finan_en.pdf-en, diakses pada 02 Januari 2017. 43 Draf pertama diajukan pada 14 August 2012, dan seterusnya berturut-turut pada 14 Desember 2012, 22 April 2013, 1 Juni 2013. 44 https://www.nytimes.com/2014/01/10/world/middle
protes yang berlangsung, hingga terjadi
pembunuhan atas dua tokoh oposisi yang
memperburuk situasi.42
Tekanan demi tekanan, termasuk
aksi massa yang terjadi setelah hampir dua
tahun berdampak pada sedikitnya capaian
yang berarti. Tuntutan atas penyelesaian
draf konstitusi juga mengemuka setelah dua
kali perubahan draf, konstitusi belum
menunjukan tanda-tanda penyelesaian.43
Selain itu, penyerangan teroris atas
Kedutaan Besar Amerika pada 2012,44 serta
ancaman kekerasan dari kelompok
Radikal,45 membawa kekhawatiran di tubuh
pemerintah. Hamadi Jebali akhirnya
menyatakan pengunduran diri sebagai
pemimpin pemerintahan (Perdana Menteri)
pada 13 Maret 2013 akibat krisis politik
sebagaimana disebutkan di atas. Pada 14
Maret, sehari setelahnya, presiden Moncef
Marzouki menunjuk Ali Layaaredh46, juga
aktivis senior Al-Nahdhah, sebagai
Pimpinan pemerintahan yang baru. Masa
Layaaredh juga bukannya tanpa halangan.
Mewarisi gerakan Al-Nahdhah yang sedang
east/tunisias-leader-resigns.html, diakses pada 3 Januari 2017 45 Alexis Arieff & Carla E. Humud. Political Transition in Tunisia. Congressional Research Service, 10 Februari 2015. www.crs.gov. Hlm. 1-19, diakses pada 5 Oktober 2016 46 Ali Layaaredh adalah salah satu aktivis Al-Nahdhah yang lama menjadi tahanan politik masa Ben Ali. Lahir pada 1955, Layaaredh menghabiskan kurang lebih 14 tahun di balik penjara dan penyiksaan oleh rezim Ben Ali. http://www.nytimes.com/2011/01/21/world/africa/21islamist.html?_r=1&pagewanted=all&, diakses pada 3 Januari 2017
MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017
34
dilanda ketidakpercayaan publik akibat
terbunuhnya tokoh-tokoh oposisi vokal,
pemerintahan pimpinan Layaaredh
perlahan menunjukan kompromi lebih maju
dibanding pimpinan sebelumnya. Ia
mendorong lebih lanjut pembahasan draf
konstitusi pada April dan Juni 2013.
Kedua, Pada 3 Oktober 2013, Al-
Nahdhah, diwakili Al-Ghannouchi
menyetujui dialog nasional yang
dicanangkan Quartet Nasional setelah
bertemu dengan Sekretaris Jenderal The
Tunisian General Labor Union (UGTT),
Houcine Abbasi. Sebagai kelanjutan guna
meneguhkan jalannya pemerintahan, Pada 5
Oktober 2013, Ali Layaaredh memimpin
pendekatan atas dua dari tiga partai koalisi,
Al-Nahdhah dan Ettakatol, untuk
menyetujui Roadmap arah pembangunan
bangsa tersebut. Walaupun ditolak oleh
CPR dengan alasan tidak menyetujui hasil
diskusi yang merugikan pihak partai karena
mengindikasikan penyerahan kekuasaan
pada tangan independen, namun Roadmap
telah disetujui dan banyak mendapat
dukungan baik di dalam maupun di luar
parlemen. Berdasarkan Roadmap tersebut,
para penandatangan menyetujui seorang
tokoh nasional independen yang memimpin
dan membentuk pemerintahan para
teknokrat dalam jangka waktu tiga minggu.
47 https://www.wsws.org/en/articles/2013/10/15/tuni-o15.html, diakses pada 2 Januari 2017
Rancangan tersebut juga mengharuskan
NCA untuk menyelesaikan draf konstitusi
dalam empat minggu ke depan,
menyelesaikan undang-undang pemilihan
umum, dan memilih anggota komite
pemilihan umum untuk mempersiapkan
pemilu 2014.
Roadmap tersebut akhirnya
dirancang oleh Quartet dialog nasional yang
terdiri atas the Tunisian General Labor
Union (UGTT), Tunisia's employers'
organization (UTICA), the Tunisian League
of Human Rights (LTDH) dan the Order of
Advocates. Dalam satu bulan, Quartet telah
berhasil memediasi partai dan kelompok
yang berbeda tersebut guna menentukan
tujuan bersama. Sebagai penegasan, Al-
Nahdhah bersikeras mempertahankan
keterlibatannya dalam dialog-dialog yang
dicanangkan Quartet karena merasa harus
melanjutkan misi politiknya walaupun
dengan mengorbankan pengunduran diri
Ali Layaaredh di awal 2014.47
Sejak 9 Oktober 2013, Dialog
Quartet nasional Tunisia mulai bergerak
cepat untuk mengonsolidasikan berbagai
kekuatan yang terpecah. Konstitusi kembali
menjadi pembahasan dengan melibatkan
banyak pihak termasuk masyarakat umum.
Pada 25 Oktober 2013, perdebatan akan
konstitusi dan masa depan pemerintahan
MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017
35
semakin memanas akibat indikasi
kecurigaan politik yang tajam. Namun
akhirnya, pada Desember 2013 hingga
Januari 2014, kesepakatan atas beberapa hal
dalam konstitusi tercapai. Konstitusi baru
pada akhirnya berhasil disahkan pada 26
Januari 2014.48
Para pemimpin oposisi akhirnya
kembali menyatakan dukungan atas
parlemen namun tetap mendesak Ali
Layaaredh untuk mundur dan sesegera
mungkin menyerahkan kepemimpinan pada
Quartet Nasional hingga pemilu Parlemen
dan Presiden diadakan. Akhirnya, pada 9
Januari, Ali Layaaredh mengundurkan diri
sebagai pimpinan pemerintahan dan Quartet
Nasional dengan segera memilih Mehdi
Jomaa, tokoh independen, sebagai kepala
pemerintahan yang baru.
Kompromi-kompromi politik dalam
dialog yang melibatkan Al-Nahdhah dapat
ditinjau dalam ruang lebih luas. Di konteks
regional, revolusi Tunisia yang beriringan
dengan jatuh bangunnya beberapa negara
sekitar Afrika Utara dan Timur Tengah
akibat Arab Spring, menjadi bahan
48 http://www.huffingtonpost.com/2015/10/11/tunisia-national-dialogue_n_8275014.html, diakses pada 2 Januari 2017 49 Dalam wawancara dengan Konrad Pedziwiatr, Maret 2015, Al-Ghannouchi membeberkan alasannya tidak menerima jabatan apapun setelah kemenangan Al-Nahdhah di pemilu NCA 2011. Selain untuk mencegah polarisasi antara Islamis dan sekularis, Al-Ghannouchi juga mengkhawatirkan nasib yang sama atas kasus yang menimpa kelompok
pelajaran penting Al-Nahdhah dalam
menyusun strategi politiknya serta
mengukur dan menentukan sejauh mana
agenda islamisasi dapat diadopsi dan secara
resmi diakui dalam konstitusi negara. Al-
Ghannouchi, dan para pemimpin Al-
Nahdhah sadar betul,49 bagaimana nasib
para Islamis lain seperti di Mesir yang tak
mampu berkata banyak setelah
memenangkan Pemilu secara demokratis,
namun dalam waktu singkat harus dikudeta
oleh militer karena gagal melakukan
kompromi politik. Muhammad Morsi,
kader Ikhwan al-Muslimin Mesir yang
meraih kekuasaan pasca kudeta Husni
Mubarak, harus rela kembali menjadi
korban akibat gagal berkompromi dengan
militer dan elit politik lainnya. Morsi
dikudeta pada 3 Juli 2013 malam oleh
Abdul Fattah As-Sisi.50 Kekhawatiran akan
nasib serupa telah membawa Al-Nahdhah
bertransformasi menjadi salah satu partai
Islam yang mengakui jalan dialog dan
kompromi dengan semua pihak dapat
menjadi strategi politik efektif untuk
membawa mereka mempertahankan
Islam di Mesir. http://english.religion.info/2015/03/24/tunisia-islamists-in-fragile-democracy-interview-with-rashid-ghannouchi/, diakses pada 31 Desember 2016. 50 M. Hamdan Basyar. Demokrasi dan Kekuatan Politik Islam di Mesir. Dalam Agama dan Demokrasi; Munculnya Kekuatan Politik Islam di Tunisia, Mesir, dan Libya. Indriana Kartini, Ed. Bandung: Pustaka Jaya. Hlm. 113-144
MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017
36
kekuasaan walaupun terganggu berbagai
tantangan.
Selain itu, di dalam internal tubuh
Al-Nahdhah sendiri, pengalaman
penindasan yang dialami oleh para
tokohnya telah membuat mereka berhati-
hati dalam bertindak. Potensi kebangkitan
para pendukung rezim lama akan tetap ada
mengingat sebagian tokoh-tokohnya telah
membentuk –seperti Nidaa Tounis- partai
baru pasca revolusi. Yang penting juga
menjadi catatan adalah diaspora para
pemimpin Al-Nahdhah saat menjadi eksil di
luar negeri khususnya Eropa dan Amerika
telah banyak membuat perubahan visi partai
dalam melihat relasi antara negara dan
agama serta bagaimana kedua hal tersebut
mampu berperan dalam kehidupan
masyarakat khususnya di Tunisia.
Yang patut diperhatikan, kehadiran
konstitusi 2014 sebagai landasan bernegara
yang baru pasca revolusi menjadi tolak
ukur, sejauh mana Tunisia mampu
mengadopsi nilai-nilai hidup yang
berkembang di masyarakatnya tanpa
indikasi diskriminatif, timpang, dan
mementingkan kelompok dan golongan
tertentu. Hal ini menjadi penting mengingat
revolusi, sebagai sebuah proses,
menghendaki sebuah pembentukan sistem
politik baru yang semestinya melibatkan
semua elemen masyarakat dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dalam konteks
Tunisia, perdebatan mengenai posisi Islam
dan negara, sistem pemerintahan pasca
revolusi, atau juga peran perempuan dan
laki-laki dalam politik dan wilayah sosial
menjadi perbincangan tidak hanya oleh
internal parlemen, namun juga oleh publik
secara luas. Perdebatan-perdebatan tersebut
telah membawa banyak perubahan di wajah
transisi politik Tunisia sejak 2011. Sebagai
fondasi penting dalam membangun suatu
negara, keberadaan sebuah konstitusi
menjadi penting khususnya setelah revolusi
dimana segala hal mengenai sendi-sendi
bernegara kembali diformat ulang untuk
menyesuaikannya dengan keadaan
masyarakat dan konteks sosial politik yang
terjadi pasca revolusi.
Setelah dua tahun dengan empat
draft konstitusi, konstitusi Tunisia pada
akhirnya selesai, dan disahkan pada 26
Januari 2014. Draft pertama dibuat oleh
NCA yang secara demokratis terpilih pada
2011. Selain itu, bantuan dari media
nasional, civil society, dan partai oposisi
lainnya telah banyak berperan dalam
perumusan draft sebagai bagian dari proses
selanjutnya akibat kekhawatiran akan
kurangnya ahli Al-Nahdhah di bidang
hukum serta kecurigaan akan
dimasukannya agenda islamisasi dalam
konstitusi. Tim pemantau luar negeri,
walaupun terlihat memantau kinerja Al-
Nahdhah, namun lebih memilih
memfokuskan diri pada isu komunikasi dan
hal-hal prosedural NCA. Terlepas dari itu,
MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017
37
baik oposisi maupun pemantau luar negeri,
telah setidaknya mengakui upaya Al-
Nahdhah sebagai pemersatu dan partai yang
mampu membangun komunikasi dengan
kelompok lain.
Walaupun bekerja dalam tekanan,
ekspektasi besar, dan isu-isu kritikal dalam
kurang lebih empat tahun masa
kepemimpinannya di parlemen sementara,
Al-Nahdhah telah terbukti memainkan
strategi sangat baik untuk mempertahankan
kekuasaan. Menurut Marks (2014),51
kepemimpinan Al-Nahdhah telah
merasionalisasi dan mengelaborasi prinsip
dan ideologinya dalam menghadapi
tuntutan politik yang ada sehingga masalah-
masalah krusial terkait posisi agama dan
negara dipinggirkan guna meraih konsensus
politik yang lebih merangkul semua
elemen. Dalam perihal Syariat misalnya,
partai telah secara tegas memutuskan untuk
tidak memilih penyantuman kata tersebut
dalam konstitusi. Pertentangan secara
internal memang terjadi karena sebagian
anggota Al-Nahdhah masih melihat Syariah
sebagai etika ideal dalam framework
politik, namun sebagian besarnya lebih
memilih menerima definisi yang lebih
abstrak tentang Syariat dengan berfokus
pada keadilan sosial, persamaan hak, dan
pengelolaan pemerintahan yang baik serta
51 Monica L. Marks. Convince, Coerce, Or Compromise?.., hlm. 1-8
guna mencegah perpecahan yang dapat saja
terjadi. Penolakan Al-Nahdhah akan posisi
Syariat di konstitusi juga tidak sepenuhnya
lahir dari desakan oposisi. Namun, harus
diakui sebagai bagian dari pandangan
konseptual yang menjadi warisan pemikiran
para tokoh terkemuka partai ini. Banyak
pemimpin Al-Nahdhah memiliki
pandangan yang sama dan mengakui bahwa
Syariat Islam sebagai konsep yang ingin
diperjuangkan, tidak akan dengan mudah
ditransformasi dalam sebuah ketentuan
legal. Fathi Makni52 misalnya, salah satu
anggota Al-Nahdhah mengatakan bahwa
Syariat akan tereduksi maknanya apabila
dicantumkan dalam sebuah bagian dari
buku kumpulan pasal-pasal sebab baginya
Syariat adalah Way of Life yang mencakup
semua dan bukan hanya perkara hukum
semata.
Keadaan politik yang belum cukup
kondusif membuat Al-Nahdhah memilih
pendekatan gradual dengan menempatkan
dirinya pada kondisi sosial politik terkini.
Kondisi tersebut, dimana Tunisia
merupakan negara yang lebih sekuler
dibanding negara-negara Afrika Utara
lainnya, lebih kuat dipengaruhi oleh nilai-
nilai sekuler dibanding nilai-nilai Islam,
sehingga perjuangan menegakkan sebuah
52 Ibid, hlm. 21
MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017
38
masyarakat Islami, lebih-lebih Islamisasi,
merupakan jalan panjang dan terjal.
Selain isu Syariat, draft konstitusi
pertama juga berkaitan dengan isu hak dan
posisi perempuan. Pada draft pertama
konstitusi 14 Agustus 2012, wanita
berposisi sebagai komplementer dari laki-
laki. Namun, sebagaimana disebutkan,
terjadi banyak pertentangan baik di dalam
maupun di luar parlemen, dan partai melihat
kemungkinan penolakan tersebut akan
berdampak panjang sehingga memilih
berkompromi dan perlahan beradaptasi
dengan realitas politik. Akhirnya, hingga
naskah konstitusi final pada 2014, posisi
perempuan dirubah menjadi sama rata,
equal dengan laki-laki.
Posisi Wanita di Tunisia sebenarnya
berada pada situasi dilematis, untuk tidak
menyebutnya paradoksal. Menurut laporan
Euromed, ada total 92% wanita di Tunisia
menyelesaikan sekolah dasar mereka
dengan perbandingan hanya ada 90% laki-
laki yang melakukan hal serupa. Di
samping itu, 87% persen wanita telah
menyelesaikan sekolah mereka ke tingkat
lanjut berbanding 80% laki-laki. Walaupun
demikian, menurut World Bank, hanya
sekitar 25% dari wanita yang aktif bekerja
sehingga secara langsung juga terkena
imbas ketidakstabilan ekonomi yang
53 Youth Work in Tunisia After The Revolution. Euromed, The European Union, 2013. Hlm. 11
melanda dan berakibat pada banyaknya
pengangguran.53
Menilik lebih jauh, harus diakui
bahwa wanita di Tunisia secara natural
dapat dikatakan punya orientasi modern dan
berpendidikan lebih tinggi dibanding
kebanyakan laki-laki di sana. Tetapi di sisi
lain, kompetisi antara kelompok Islam dan
mereka yang mewarisi pendidikan sekuler
Perancis, punya kecenderungan berbeda
dalam melihat peran wanita. Sebagai
contoh, kompetisi antara Nahdawiyat
(Wanita Al-Nahdhah) and laicistes (mereka
yang terinspirasi sekularisme Perancis)
telah menjadi narasi historis Tunisia
berpuluh tahun sejak merdeka. Kompetisi
tersebut terlihat dalam hasil pemilu NCA
2011 dimana 42 dari 49 wanita yang duduk
sebagai 217 anggota NCA merupakan
anggota Al-Nahdhah. Sikap keterbukaan
Al-Nahdhah ini ditanggapi mereka yang
berpandangan sekuler dengan cukup sinis,
alih-alih memuji pencapaian afirmatif Al-
Nahdhah tersebut, mereka malah meyakini
wanita dalam tradisi Al-Nahdhah tidak
lebih hanya sebagai pelengkap dan
menuduhnya sebagai pembawa model
beragama a la Iran yang pada akhirnya
bertujuan untuk mewajibkan Hijab dan
memaksa pemisahan posisi sosial laki-laki
dan perempuan.54 Pandangan tersebut
54 Monica Marks. Women’s Rights before and after the Revolution. Dalam The Making of the Tunisian Revolution: Contexts, Architects, Prospects. Nouri
MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017
39
ditolak Al-Nahdhah, mengakui bahwa isu
hak perempuan pasca revolusi menjadi
pembahasan sangat penting dalam konteks
sosial-politik Tunisia, para wanita Al-
Nahdhah mengartikan bahwa hubungan
laki-laki dan wanita lebih relasional, dan
sesungguhnya wanita dan laki-laki punya
status yang sama di hadapan Tuhan,
walaupun mereka memiliki orientasi
berbeda baik secara biologis maupun dalam
aturan berumah tangga, dan dengan
demikian saling mengisi satu sama lain
dalam keluarga.55
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pemaparan dan
analisis atas partai Al-Nahdhah dalam
rekonsiliasi politik di Tunisia tahun 2011-
2015, maka disimpulkan bahwa-Nahdhah
sebagai pemenang Pemilu National
Constituen Assembly 2011 bertindak
sebagai aktor rekonsiliasi politik dengan
maju. Setelah upaya rekonsiliasi selama 4
tahun terakhir yang melibatkan banyak
perdebatan dengan berbagai pihak, capaian
politik nasional Tunisia dapat diakui telah
berjalan baik dan lancar. Tunisia berhasil
menjalankan tiga kali pemilihan umum
yang demokratis, yaitu Oktober 2011 untuk
National Constituen Assembly, Oktober
2014 untuk pemilu Parlemen, serta
Gana, Ed. Edinburgh University Press, 2013. Hlm. 224-251.
Desember 2014 untuk pemilu Presiden.
Selanjutnya, perumusan konstitusi yang
walaupun memakan waktu 3 tahun, telah
memuluskan jalan tercapainya kesepakatan
dan kerjasama berkelanjutan antar elit dan
rakyat Tunisia secara umum.
SARAN
Realitas politik Tunisia pasca
revolusi dapat dikatakan lebih baik
dibanding negara-negara Afrika Utara dan
Timur Tengah lainnya yang juga dilanda hal
serupa. Realitas ini dapat terjadi akibat
keterlibatan berbagai pihak dan elit politik
dalam membangun pemerintahan yang
merangkul semua pihak termasuk para
tokoh warisan rezim Ben Ali. Dalam kajian
rekonsiliasi, keadaan ini dapat menjadi
jalan yang baik dalam membangun
peradaban politik yang demokratis. Oleh
karena itu diperlukan langkah dan strategi
taktis guna merawat pemerintahan secara
bersama-sama dengan memperkuat posisi
Balance of Power antar institusi
pemerintahan seperti Eksekutif, Legislatif,
dan Yudikatif, serta peran partai politik
dalam menjalankan pemerintahan bersama-
sama.
Di sisi lain, sebagai bahan studi
ilmiah, rekonsiliasi politik tentu dapat
menjadi pertimbangan untuk dilakukan di
55 Monica Marks. Convince, Coerce, Or Compromise?.., Hlm. 22.24
MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017
40
negara-negara pasca konflik selain Tunisia.
Pola strategi komunikasi dan kompromi
politik yang dilakukan Al-Nahdhah dapat
menjadi cermin bagi gerakan-gerakan Islam
lainnya agar tetap eksis dalam kancah
pertarungan politik modern yang berbeda
dan seringkali tidak mengakomodir
gagasan-gagasan yang mereka perjuangkan.
Model rekonsiliasi politik dapat saja
berbeda sesuai dengan konteks masing-
masing wilayah dan tingkat parahnya
dampak konflik. Untuk itu diperlukan
penelitian lebih lanjut setidaknya untuk
mengukur sejauhmana rekonsiliasi dalam
bidang politik khususnya dengan metode
testimony, dialogue, dan legislasi mampu
menjadi alternatif lain dalam bangunan
politik di masyarakat yang secara sosiologis
lebih heterogen, atau punya pendidikan
lebih rendah dibanding Tunisia. Selain itu,
perlu juga didalami peran-peran dari aktor
lain, khususnya dalam konteks Tunisia
mengingat rekonsiliasi yang terjadi juga
melibatkan banyak pihak dengan takaran
keterlibatan yang berbeda-beda.
DAFTAR PUSTAKA Aarts, Paul, dkk. (2012). From Resilience to
Revolt: Making Sense of The Arab Spring. Amsterdam: University of Amsterdam.
Al-Saleh, Asaad. (2015). Voices of The Arab Spring: Personal Stories of The Arab Revolution. New York: Columbia University Press.
Arieff, Alexis & Carla E. Humud. (2016). Political Transition in Tunisia.
Congressional Research Service, 10 Februari 2015. www.crs.gov. Hlm. 1-19, diakses pada 5 Oktober.
Barakat, Halim. (2012). Dunia Arab; masyarakat, Budaya, dan Negara. Terj. Irfan M/Zakkie. Bandung: Penerbit Nusa media.
de la Rey, Cheryl. (2001). “Reconciliation in Divided Society.” Dalam Daniel J. Christie, dkk. Peace, Conflict, And Peace; Peace Psychology for The 21st Century. New jersey: Prentice-Hall, Inc.
Dudley, Rebbeca. What Is Reconciliation. Human Right’s And Reconciliation Reports. tt.
Feldman, Noah. “Islamists’ Victory in Tunisia a Win for Democracy.” Lihat https://www.bloomberg.com/view/articles/2011-10-30/islamists-victory-in-tunisia-a-win-for-democracy-noah-feldman, diakses pada 02 Oktober 2016
Fergany, Nader. (2005). The UNDP’s Arab Human Development; Reports and their readings. Dalam Democratisation in the Middle East Dilemmas and Perspectives. Ed. Birgitte Rahbek. Denmark: The authors and Aarhus University Press.
Kartini, Indriana, Ed. (2016). Agama dan Demokrasi; Munculnya Kekuatan Politik Islam di Tunisia, Mesir, dan Libya. Bandung: Pustaka Jaya.
International Civil Society Action Network Fro Women’s Right, Peace, and Security. (2012). What the Women Say: The End of the Beginning: Tunisia’s Revolution and Fighting for the Future. Brief Report 2. April
Kharismawati, Mega. (2013). Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kemenangan Partai Al-Nahdhah Pada Pemilu National Constituen Assembly Tahun 2011 di Tunisia. Jakarta: Tesis. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017
41
M. Saleem, Amjad. Ed. (2012). The Arab Revolution: Hopes, Challenges, and Transitions. London: The Cordoba Foundation, Vol. 6 Ed. 10.
Marks, Monica. (2013). Women’s Rights before and after the Revolution. Dalam The Making of the Tunisian Revolution: Contexts, Architects, Prospects. Nouri Gana, Ed. Edinburgh University Press.
Marks, Monica. (2015). Tunisia’s Ennahda: Rethinking Islamism in the context of ISIS and the Egyptian Coup. USA: Brookings Institution.
McCarthy, Rory. “Islamism and secularism in Tunisia.” Dalam https://www.opendemocracy.net/rory-mccarthy/islamism-and-secularism-in-tunisia, diakses pada 09 Mei 2016
Mohsen-Finan, Khadija. From Revolution to The Project of Democracy: The Difficulties of Organising the Tunisian Transition.
Muzaffar, Chandra. Whither Wana? Reflections Of The Arab Uprisings. International Movement for a Just World, ebook;
Ounissi, Sayida and Monica Marks. Ennahda from within: Islamists or “Muslim Democrats”? A conversation dalam https://www.brookings.edu/research/ennahda-from-within-islamists-or-muslim-democrats-a-conversation/, diakses pada 06 Oktober 2016
Paul Johnson, Doyle. (1986). Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Terj. Robert M.Z. Lawang. Jakarta: Gramedia.
Quaker United Nation Office. Reconciliation – transforming relationships in divided societies. Remarks given on 4th May, 2015 at the UNITAR Workshop on Reconciliation & Peacebuilding. tt.
Ramadan, Tariq. (2012). Islam And The Arab Awakening. London: Oxford Press.
Rigby, Andrew. (2012). “How do Post-Conflict Societies Deal With Traumatic Past and Promote National Unity And Reconciliation?” dalam Charles P. Webel & Jorgen Johansen Peace And Conflict Studies; A Reader. London & New York.
S. Tamimi, Azzam. (2001). Rachid Ghannouchi: A Democrat Within Islamism. Oxford: Oxford University Press.
Silalahi, Ulber. (2008). Rekonsiliasi Sosial; Satu Kerangka Analisis dan Teori Konsensus. Universitas Parahyangan. Jurnal Administrasi Publik, Vol. 5, No. 2, 193-208
Tamburaka, Apriadi. (2011). Revolusi Timur Tengah: Kejatuhan Para Penguasa Otoriter di Negara-negara Timur Tengah. Yogyakarta: Narasi.
Yahya, Harun. “Reconciliation is the winner in Tunisia.” Dalam http://muslimmirror.com/eng/reconciliation-is-the-winner-in-tunisia/, diakses pada 04 Mei 2016
Youth Work in Tunisia After The Revolution. (2013). Euromed, The European Union.
Zada, Khamami. (2015). Gelombang Revolusi dan Transisi Politik di Timur Tengah dan Afrika Utara. Salam; Jurnal Sosial dan Budaya Syar’i. Vol. 2 No. 1 Juni.
Zisenwine, Daniel. (2015). Tunisia's Revolution, 4 Years On: Achievements and Challenges. Tel Aviv Notes; An Update On Middle Eastern Developments By The Moshe Dayan Center. Vol.9 No. 2.
http://english.religion.info/2015/03/24/tunisia-islamists-in-fragile-democracy-interview-with-rashid-ghannouchi/, diakses pada 31 Desember 2016.
http://parstoday.com/id/radio/world-i20143-tunisia_model_demokrasi_atau_kembali_ke_masa_lalu. Diakses pada 28 november 2016.
MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017
42
http://www.bbc.com/news/business-22464773, diakses pada 02 Oktober 2016
http://www.abo.net/oilportal/blog/post/view.do?blogid=108330&contentId=627132, diakses pada 02 Oktober 2016
http://www.dw.com/id/tunisia-enam-bulan-setelah-revolusi/a-15235268, diakses pada 21 September 2016
http://www.huffingtonpost.com/2015/10/11/tunisia-national-dialogue_n_8275014.html, diakses pada 2 Januari 2017
http://www.iemed.org/observatori-en/arees-danalisi/arxiusadjunts/anuari/med.2012/Mohsen_Finan_en.pdf-en, diakses pada 02 Januari 2017.
http://www.nytimes.com/2011/01/21/world/africa/21islamist.html?_r=1&pagewanted=all&, diakses pada 3 Januari 2017
https://www.britannica.com/biography/Rachid-al-Ghannouchi, diakses pada 02 Oktober 2016
https://www.nytimes.com/2014/01/10/world/middleeast/tunisias-leader-resigns.html, diakses pada 3 Januari 2017
https://www.wsws.org/en/articles/2013/10/15/tuni-o15.html, diakses pada 2 Januari 2017
Interview Perwakilan Kedutaan Besar Tunisia, 20 Desember 2016.