Post on 13-Sep-2015
description
1
FERMENTASI SUBSTRAT CAIR
FERMENTASI NATA DE COCO
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI FERMENTASI
Disusun oleh:
Nama : Ferdyanto Juwono
NIM : 12.70.0099
Kelompok F2
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2015
Acara I
1
1. HASIL PENGAMATAN
1.1. Tabel Pengamatan Fermentasi Substrat Cair Nata de Coco
Hasil pengamatan fermentasi substrat cair Nata de Coco dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil pengamatan Fermentasi Substrat Cair Fermentasi Nata de Coco
Kel Tinggi
media awal
cm
Tinggi ketebalan nata cm Lapisan nata
0 14 0 14
F1 0,5 0 0,4 0,4 0 80 80 F2 2 0 0,2 0,2 0 10 10 F3 1,5 0 0,5 0,2 0 75 13,33 F4 1,5 0 0,3 0,3 0 20 20
F 1,5 0 0,3 0,1 0 20 6,67
Berdasarkan Tabel 1. dapat dilihat bahwa persentase lapisan nata pada hari ke-0 untuk
semua kelompok adalah 0% dan mengalami kenaikan pada hari ke-7. Sedangkan, pada
hari ke-14 persentase lapisan nata mengalami penurunan pada semua kelompok kecuali
persentase lapisan nata pada kelompok F1,F2, dan F4 yang besarnya tetap yaitu 80%,
10% dan 20%. Semakin tinggi ketebalan nata dengan semakin rendahnya tinggi media
awal, maka persentase lapisan nata akan semakin besar.
1.2. Tabel Pengamatan Uji Sensori Nata de Coco
Hasil pengamatan uji sensori Nata de Coco dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Pengamatan Uji Sensori Nata de Coco
Kelompok Aroma Warna
F1 +++ +
F2 +++ +
F3 +++ +
F4 +++ +
F +++ + Keterangan :
Aroma Warna ++++ : Tidak asam Putih
+++ : Agak asam Putih bening
++ : Asam Putih agak bening
+ : Sangat asam Kuning
2
Berdasarkan Tabel 2. dapat dilihat bahwa aroma Nata de Coco agak asam. Warna Nata
de Coco semua kelompok yaitu kuning.
3
2. PEMBAHASAN
Praktikum fermentasi substrat cair fermentasi Nata de Coco bertujuan untuk mengetahui
prinsip pembuatan Nata de Coco, memanfaatkan limbah air kelapa sebagai bahan baku
pembuatan Nata de Coco, dan mengetahui proses fermentasi Nata de Coco. Produk
yang dibuat pada praktikum ini adalah Nata de Coco. Nata de Coco merupakan suatu
pertumbuhan berupa gel yang mengandung gula dan asam yang terapung pada
permukaan medium, merupakan hasil fermentasi oleh bakteri Acetobacter xylinum
(Hakimi & Daddy, 2006).
Nata de coco juga dapat diartikan sebagai selulosa bakterial yang mengandung air
kurang dari 98% dan memiliki tekstur yang agak kenyal. Pada mulanya, Nata de coco
berasal dari Filipina. Dalam 100 gram nata, terkandung 146 kalori dengan lemak
sebesar 0,2%, karbohidrat 36,1 mg, kalsium 12 mg, fosfor 2 mg, dan Fe sebesar 0,5 mg
(Hakimi & Daddy, 2006). Oleh karena itu, nata merupakan sumber makanan dengan
kandungan energi yang tergolong rendah sehingga cocok dikonsumsi orang yang sedang
menjalani program diet maupun bagi penderita diabetes. Selain itu, kandungan serat
nata yang tinggi berfungsi untuk memperlancar proses pencernaan dalam tubuh
(Wijayanti et al., 2010).
2.1.Pembuatan Media
Bahan yang digunakan dalam pembuatan media Nata de Coco yaitu air kelapa, gula
pasir, asam cuka glasial 95%, dan ammonium sulfat. Air kelapa yang cocok digunakan
sebagai bahan baku Nata de Coco adalah air kelapa murni (tanpa campuran air) yang
berasal dari kelapa tua (Hakimi & Daddy, 2006). Penambahan substrat yang sesuai akan
meningkatkan laju fermentasi dan menghasilkan nata dengan ketebalan maksimal. Air
kelapa pada umumnya mengandung karbohidrat sebesar 4%, lemak 0,1%, kalsium
0,02%, fosfor 0,01%, besi, garam-garam mineral, nitrogen, vitamin C, dan protein
(Wijayanti et al., 2010). Pada umumnya, setiap 1 liter air kelapa akan mengahasilkan
Nata de Coco sebanyak 1 kg (Hakimi & Daddy, 2006).
4
Air kelapa adalah minuman yang diambil dari bagian dalam buah kelapa. Air kelapa
mengandung gula berupa sukrosa, sorbitol, glukosa, fruktosa, galaktosa xilosa, dan
manosa. Selain itu, terkandung mineral sebanyak 0,4-1% dari air kelapa berupa
potassium, klorida, zat besi, dan sulfur. Asam-asam amino di dalam air kelapa antara
lain alanin, arginin, sistein, dan serin (Prades et al., 2011).
Gambar 1. Proses Penyaringan Air Kelapa
Media dapat dibuat dengan cara air kelapa sebanyak 1 liter disaring menggunakan kain
saring dengan tujuan memisahkan kotoran. Setelah itu, air kelapa ditambahkan gula
pasir sebanyak 10% dari air kelapa tersebut lalu diaduk hingga larut. Penambahan gula
pasir dilakukan karena gula pasir (sukrosa) merupakan sumber karbon yang paling
berpotensi menghasilkan selulosa pada proses fermentasi Nata de Coco oleh bakteri
Acetobacter xylinum. Pemilihan sukrosa pada praktikum ini dilatarbelakangi dengan
alasan sukrosa dapat tersedia dalam jumlah banyak dan harganya terjangkau (Wijayanti
et al., 2010).
Gambar 2. Proses Penambahan Gula
Berdasarkan teori Hayati (2003), konsentrasi gula optimum yang ditambahkan dalam
pembuatan Nata de Coco adalah sebesar 10% dari air kelapa yang digunakan. Hal ini
menunjukkan bahwa praktikum yang dilakukan telah sesuai dengan teori. Gula dapat
berfungsi mengawetkan, memberikan tekstur, memperbaiki penampakan, dan memberi
5
flavor pada Nata de Coco. Menurut Sunarso (1982), apabila jumlah gula yang
ditambahkan terlalu banyak, bakteri Acetobacter xylinum tidak dapat memanfaatkannya
secara optimal.
Gambar 3. Pengukuran pH Larutan
Tahap selanjutnya adalah larutan air kelapa dan gula kemudian ditambah dengan
ammonium sulfat sebanyak 0,5% dari larutan, setelah itu ditambahkan asam cuka
glasial hingga pH larutan menjadi 4-5, kemudian dipanaskan untuk membuat gula larut
dan dilakukan penyaringan kembali. Penambahan asam bertujuan untuk mengatur
keasaman agar sehingga mencapai kondisi keasaman yang dikehendaki, hal ini
disebabkan karena pH optimum pembuatan nata adalah pada pH 4, dan pembentukan
nata dapat terjadi pada kisaran pH 3,5 (Wijayanti et al., 2010). Padahal, pH air kelapa
pada mulanya adalah 5,6. Penambahan ammonium sulfat sebagai nitrogen anorganik
berfungsi sebagai sumber nitrogen bagi bakteri Acetobacter xylinum dan untuk
membersihkan air kelapa dari kotoran maupun bahan-bahan pencampur dalam
pembuatan starter dan Nata de Coco. Dalam pembuatan Nata de Coco, media yang
digunakan tidak boleh tercampur oleh garam karena bakteri Acetobacter xylinum tidak
dapat tumbuh pada media yang asin (tidak tahan garam) (Hakimi & Daddy, 2006).
Pemanasan media bertujuan selain untuk melarutkan gula yaitu untuk membunuh
mikroorganisme kontaminan sehingga pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum tidak
terganggu (Astawan & Astawan, 1991). Penambahan bahan-bahan pembuatan media
telah sesuai dengan teori Jagannath et al. (2008) yang mengatakan bahwa konsentrasi
sukrosa pada 10% dan ammonium sulfat 0,5% dengan pH 4,0 dapat menghasilkan
ketebalan nata paling maksimal.
6
2.2. Fermentasi
Tahapan fermentasi Nata de Coco yaitu sebanyak 100 ml dari larutan (media steril)
dimasukkan ke dalam wadah plastik bening lalu ditutup rapat dengan kertas sampul
coklat kemudian starter ditambahkan ke dalam media sebanyak 10% dari media secara
aseptis dan dikocok perlahan hingga seluruh starter tercampur homogen. Larutan
campuran media dan starter diinkubasi selama 2 minggu pada suhu ruang. Starter yang
ditambahkan dalam media berperan menggumpalkan air kelapa sehingga dapat
dihasilkan Nata de Coco (Hakimi & Daddy, 2006). Dalam pembuatan Nata de Coco,
starter yang digunakan merupakan bakteri Acetobacter xylinum (Wijayanti et al., 2010).
Acetobacter xylinum merupakan bakteri gram negatif yang bersifat aerob dan dapat
mensintesa selulosa secara ekstraseluler (Melliawati, 2008). Bakteri Acetobacter
xylinum akan mengubah gula di dalam media menjadi suatu substansi menyerupai gel di
permukaan media (Wijayanti et al., 2010). Penambahan starter ke dalam media harus
dilakukan secara aseptis dengan tujuan mencegah kontaminasi yang mungkin terjadi
dari lingkungan sekitar starter sehingga starter hanya berupa biakan murni. Biakan
murni dapat diartikan sebagai biakan yang terdiri dari satu spesies tunggal (Wijayanti et
al., 2010).
Gambar 4. Proses Penambahan Starter
Inkubasi dilakukan pada suhu ruang karena suhu optimum yang memungkinkan untuk
fermentasi nata yaitu pada suhu 28-30oC (suhu ruang) (Wijayanti et al., 2010).
Berdasarkan teori dari Rahayu et al (1993), apabila suhu inkubasi yang digunakan
terlalu tinggi akan mengakibatkan sebagian bakteri mati. Namun apabila suhu inkubasi
terlalu rendah, akan dihasilkan Nata de Coco yang lunak atau bahkan sama sekali tidak
terbentuk lapisan Nata de Coco.
7
Gambar 5. Proses Inkubasi
Sesuai dengan teori Santosa et al. (2012), inkubasi pada proses fermentasi Nata de Coco
dilakukan selama 2 minggu. Selama inkubasi, wadah plastik tidak boleh tergoyang
supaya lapisan yang terbentuk tidak terpisah-pisah. Nata de Coco dapat terbentuk
karena ada enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh bakteri Acetobacter xylinum selama
waktu inkubasi. Enzim ekstraseluler akan mempolimerisasi gula menjadi rantai selulosa
sejumlah ribuan dan akan membentuk jaringan mikrofibril yang panjang dalam cairan
fermentasi. Proses fermentasi Nata de Coco juga akan menghasilkan gas
karbondioksida yang melekat pada jaringan selulosa dan jaringan selulosa ini akan
terangkat ke permukaan cairan. Setelah proses fermentasi berlangsung dalam kurun
waktu tertentu, akan tumbuh jutaan mikroorganisme pada media tersebut dan
membentuk lembaran benang-benang selulosa. Lembaran-lembaran benang selulosa
tersebut akan memadat dan menjadi berwarna putih atau transparan, disebut nata
(Pambayun, 2002 & Palungkun, 1996). Pengamatan terhadap Nata de Coco meliputi
terbentuknya lapisan di permukaan cairan dan ketebalan lapisan Nata de Coco pada hari
ke-7 dan ke-14. Setelah Nata de Coco jadi, Nata de Coco kemudian dicuci dengan air
mengalir dan dimasak dengan air gula sesuai dengan kesepakatan kelompok.
2.3. Fermentasi Substrat Cair Fermentasi Nata de Coco
Kualitas Nata de Coco ditentukan oleh kualitas media yang digunakan dan proses
fermentasinya. Apabila rasio penambahan karbon dan nitrogen diatur dengan optimal
dan proses fermentasi berlangsung baik, maka semua cairan kelapa akan berubah
menjadi nata tanpa menghasilkan residu (Wijayanti et al., 2010). Oleh karena itu, dalam
8
praktikum ini ditambahkan gula sebagai sumber karbon dan ammonium sulfat sebagai
sumber nitrogen dengan rasio tertentu terhadap air kelapa yang digunakan.
Berdasarkan teori Wijayanti et al (2010), semakin tinggi kandungan nitrogen dalam
bahan media akan meningkatkan laju fermentasi sehingga meningkatkan hasil
biosintesa dan menghasilkan nata yang semakin tinggi. Selain itu, semakin banyak
sukrosa yang ditambahkan akan menyebabkan terjadinya peningkatan pH, dan dengan
meningkatnya pH maka rendemen nata yang dihasilkan akan semakin banyak.
Meskipun peningkatan pH menghasilkan rendemen nata yang tinggi, namun nata yang
dihasilkan pada kondisi pH yang terlalu tinggi akan memiliki tekstur yang lunak. pH
optimum untuk pembuatan nata adalah pada pH 4.
Ketebalan nata akan memberikan pengaruh terhadap rendemen nata. Ketika nata
semakin tebal, maka rendemen nata akan semakin besar (Wijayanti et al., 2010). Hasil
pengamatan yang dilakukan oleh kelompok F1 sampai F5 telah sesuai dengan teori
tersebut yaitu ketinggian nata berbanding lurus dengan persentase lapisan nata.
Menurut Wijayanti et al (2010), apabila rendemen nata semakin besar, maka
ketersediaan oksigen dalam medium menjadi lebih banyak. Oksigen sangat dibutuhkan
dalam proses metabolisme dan pembentukan pelikel nata oleh bakteri Acetobacter
xylinum. Ketika kandungan oksigen dalam nata banyak, maka petumbuhan bakteri
Acetobacter xylinum akan berlangsung pesat dan nata yang dihasilkan akan memiliki
ketinggian maksimal.
Menurut Seumahu et al. (2007), nata yang baik adalah nata dengan ketinggian 1,5-2 cm
dengan selulosa gel homogen dan memiliki transparansi tinggi. Sedangkan nata dengan
ketinggian kurang dari 0,5 cm dan berwarna putih pucat dikategorikan tidak baik.
Berdasarkan teori Seumahu et al. (2007), setelah dilakukan inkubasi selama 2 minggu
dihasilkan nata yang kurang baik karena kelompok F1 sampai F5 memiliki ketinggian
yang kurang dari 0,5 cm. Masing-masing kelompok memiliki ketinggian Nata de Coco
yang berbeda-beda karena dipengaruhi oleh panjang dan lebar wadah yang digunakan
serta ketinggian media awalnya.
9
Media fermentasi yang terlalu pekat akan menyebabkan proses pembentukan selulosa
oleh Acetobacter xylinum berjalan semakin lambat akibat meningkatnya tekanan
osmosis sehingga menyebabkan terjadinya lisis pada sel bakteri. Sedangkan
penambahan substrat yang sesuai akan meningkatkan laju reaksi sehingga ketebalan
nata akan semakin meningkat. Semakin baik kualitas nata, kadar air yang terkandung
dalam nata akan semakin sedikit (Wijayanti et al., 2010).
Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh data bahwa persentase lapisan nata semua
kelompok meningkat pada hari ke-7. Namun, pada hari ke-14, persentase lapisan nata
pada kelompok F3 dan F5 justru menurun yaitu pada kelompok F3 persentase lapisan
nata menurun sebesar 13,33%; pada kelompok F5 terjadi penurunan persentase lapisan
nata sebesar 6,67%. Penurunan lapisan Nata de Coco dapat disebabkan karena terjadi
goyangan atau gangguan pada saat proses fermentasi Nata de Coco berlangsung yang
kemungkinan terjadi ketika pengamatan nata di hari ke-7 sehingga mengakibatkan
permukaan cairan nata menurun pada hari ke-14 (Pambayun, 2002 & Palungkun, 1996).
2.4. Uji Sensori Nata de Coco
Berdasarkan hasil pengamatan, aroma Nata de Coco kelompok F1 sampai F5 memiliki
aroma agak asam. Menurut Fardiaz (1992), aroma yang asam pada Nata de Coco
disebabkan oleh asam cuka glasial yang ditambahkan saat pembuatan media dan juga
disebabkan karena asam asetat yang dihasilkan oleh bakteri Acetobacter xylinum selama
proses fermentasi berlangsung. Rahman (1992) menambahkan bahwa aroma asam pada
Nata de Coco sangat dipengaruhi ketika proses pencucian dan perendaman.
Berdasarkan teori tersebut, berarti proses pencucian dan perendaman Nata de Coco
tidak berlangsung sempurna sehingga asam masih tersisa dan menimbulkan aroma agak
asam pada Nata de Coco.
Warna Nata de Coco semua kelompok yaitu kuning. Hal ini tidak sesuai dengan teori
Pambayun (2002) yang mengatakan bahwa lembaran benang-benang selulosa yang
dihasilkan oleh bakteri Acetobacter xylinum akan tampak berwarna putih hingga
transparan dan berbentuk padat. Menurut Wijayanti et al. (2010), semakin tinggi serat
10
kasar nata akan menghasilkan warna nata yang semakin cerah. Hal ini disebabkan
karena serat kasar yang tinggi menunjukkan pori-pori nata yang semakin kecil dan rapat
sehingga akan memantulkan sinar yang lebih banyak dan menghasilkan nata dengan
tingkat kecerahan yang tinggi atau berwarna lebih putih. Untuk menghasilkan warna
nata yang baik (putih) sebaiknya digunakan sukrosa putih. Kesalahan yang terjadi
karena tidak terdapatnya serat kasar sehingga warna nata berwarna kuning. Hasil yang
kurang sesuai dapat terjadi karena kultur Acetobacter xylinum telah terkontaminasi atau
tidak mampu memanfaatkan nutrisi pada subtarat.
Gambar 6. Nata De Coco Setelah Inkubasi Selama 14 Hari
Nata de Coco banyak didistribusikan dalam bentuk minuman instan dalam kemasan.
Supaya minuman instan tersebut tidak mudah rusak, perlu ditambahkan penstabil
berupa CMC (Carboxy Methyl Cellulosa), gum arabic, atau gelatin. Tujuan
penambahan penstabil tersebut adalah untuk membentuk cairan Nata de Coco dengan
viskositas yang stabil dan homogen dalam waktu lama. CMC merupakan penstabil yang
paling efektif dibandingkan gum arabic maupun gelatin. Persentase penambahan CMC
yang tepat adalah sekitar 0,5-3% untuk menstabilkan suspensi (Santosa et al., 2012).
Penambahan dekstrin pada produk minuman instan, termasuk Nata de Coco akan
menghasilkan warna yang cerah. Semakin banyak dekstrin dan CMC yang ditambahkan
pada produk akan menyebabkan warna produk lebih stabil. Selain itu, penambahan
CMC juga berfungsi untuk menjaga tekstur dan mengikat komponen flavor dari Nata de
Coco (Santosa et al., 2012).
11
3. KESIMPULAN
Nata de Coco merupakan hasil fermentasi Acetobacter xylinum
Air kelapa tua sesuai sebagai bahan baku Nata de Coco.
Gula pasir merupakan sumber karbon bagi Acetobacter xylinum.
Asam berfungsi untuk mengatur keasaman agar.
Ammonium sulfat merupakan sumber nitrogen anorganik bagi Acetobacter xylinum.
Konsentrasi sukrosa 10%, ammonium sulfat 0,5%, dan pH 4,0 akan menghasilkan
ketebalan nata paling maksimal.
Acetobacter xylinum merupakan bakteri gram negatif yang bersifat aerob dan dapat
mensintesa selulosa secara ekstraseluler.
Penambahan starter harus dilakukan secara aseptis dengan tujuan mencegah
kontaminasi.
Inkubasi pada suhu ruang (28-30oC) merupakan suhu optimum untuk fermentasi
nata.
Inkubasi paling optimum pada fermentasi Nata de Coco yaitu selama 2 minggu.
Nata de Coco dapat terbentuk karena ada enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh
Acetobacter xylinum selama inkubasi.
Semakin tebal nata, maka rendemen akan semakin besar.
Nata yang baik memiliki ketinggian 1,5-2 cm, selulosa gel homogen dengan
transparansi tinggi.
Penurunan lapisan Nata de Coco disebabkan karena terjadi gangguan ketika proses
fermentasi
Pencucian dan perendaman Nata de Coco bertujuan untuk membuang asam dalam
nata.
Penambahan air gula bertujuan untuk memberi rasa manis dan sebagai pengawet.
Aroma asam pada Nata de Coco disebabkan adanya asam cuka glasial dan asam
asetat.
Nata de Coco akan berwarna putih hingga transparan.
CMC sering ditambahkan pada minuman instan Nata de Coco sebagai penstabil dan
pengikat flavor, sedangkan dekstrin untuk menghasilkan warna yang cerah.
12
Semarang, 10 Juli 2015 Asisten Dosen,
- Wulan Apriliana
- Nies Mayangsari
Ferdyanto Juwono
12.70.0099
13
4. DAFTAR PUSTAKA
Astawan, M. & M. W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Nabati Tepat Guna
Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.
Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pangan 1. PT Gramedia. Jakarta.
Hakimi, R dan Daddy B. (2006). Aplikasi Produksi Bersih (Cleaner Production) pada
Industri Nata de Coco. Jurnal Teknik Mesin 3(2) : 89-98.
Hayati, M. (2003). Membuat Nata de Coco. Adi Cita Karya Nusa. Yogyakarta.
Jagannath, Kalaiselvan S. S, Manjunatha P. S, Raju A. S. Bawa. (2008). The effect of
pH, sucrose and ammonium sulphate concentrations on the production of
bacterial cellulose (Nata-de-coco) by Acetobacter xylinum. World J Microbiol
Biotechnol (2008) 24:25932599.
Melliawati, R. (2008). Kajian Bahan Pembawa untuk Meningkatkan Kualitas Inokulum
Pasta Nata de Coco. Biodiversitas 9(4) : 255-258.
Palungkun, R. (1996). Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya. Jakarta.
Pambayun, R. (2002). Teknologi Pengolahan Nata de coco. Kanisius. Yogyakarta.
Prades, A., M. Dornier, N. Diop, and J. P. Pain. (2011). Coconut Water Uses,
Composition and Properties: a Review. Fruits Journal vol. 67, p. 87-107.
Rahayu, E. S.; R. Indriati; T. Utami; E. Harmayanti & M. N. Cahyanto. (1993). Bahan
Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.
Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. ARCAN Pusat Antar Universitas Pangan
dan Gizi IPB. Bandung.
Santosa B; Ahmadi K; dan Teque D. (2012). Dextrin Concentration and Carboxy
Methyl Cellulosa (CMC) in Making of Fiber-Rich Instant Beverage from Nata
de Coco. International Journal of Science and Technology (IJSTE) 1(1) : 6-11.
Seumahu, Cecilia Anna, Antonius Suwanto, Debora Hadisusanto, dan Maggy
Thenawijaya Suhartono. (2007). The Dynamics of Bacterial Communities
During Traditional Nata de Coco Fermentation. Microbiology Indonesia,
August 2007, p 65-68.
14
Sunarso. (1982). Pengaruh Keasaman Media Fermentasi Terhadap Ketebalan Pelikel
pada Pembuatan Nata de coco. Skripsi. UGM. Yogyakarta.
Wijayanti, F; Sri K; dan Masud E. (2010). Pengaruh Penambahan Sukrosa dan Asam Asetat Glacial terhadap Kualitas Nata dari Whey Tahu dan Substrat Air Kelapa.
Jurnal Industria 1(2) : 86-93.
15
5. LAMPIRAN
5.1. Perhitungan
Perhitungan Lapisan Nata
Kelompok F1
Hari ke-
Hari ke-14
Kelompok F2
Hari ke-7
Hari ke-14
Kelompok F3
Hari ke-
Hari ke-14
16
Kelompok F4
Hari ke-
Hari ke-14
Kelompok F5
Hari ke-
Hari ke-14
x 100 = 6,67
5.2. Report Viper
5.3. Abstrak Jurnal
5.4.Laporan Sementara