Post on 01-Jul-2018
EVALUASI RADIOGRAFI JANTUNG ANAK BABI (Sus scrofa)
SEPSIS DENGAN TERAPI CAIRAN KOLOID ATAU
KRISTALOID
ANKGIE HERRIS STIARLDI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Radiografi
Jantung Anak Babi (Sus scrofa) Sepsis dengan Terapi Cairan Koloid atau
Kristaloid adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2015
Ankgie Herris Stiarldi
B04110020
ABSTRAK
ANKGIE HERRIS STIARLDI. Evaluasi Radiografi Jantung Anak Babi (Sus
scrofa) Sepsis dengan Terapi Cairan Koloid atau Kristaloid. Dibimbing oleh
HARRY SOEHARTONO dan RIKI SISWANDI.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi radiografi kardiovaskular anak
babi sepsis dan diterapi menggunakan resusitasi cairan. Sebanyak 10 anak babi
berusia 2-3 bulan dan 8-13 kg berat badan dibagi kedalam dua kelompok
perlakuan resusitasi. Kondisi sepsis diinduksi dengan menyuntikan
lipopolisakarida (LPS) dari E.coli. Resusitasi cairan diberikan setelah renjatan
sepsis terjadi. Kelompok pertama diberikan koloid (modified fluid gelatin 4% /
MFG 4%) dan kelompok kedua diberikan kristaloid (ringer asetat malat / RAM).
Evaluasi radiografi dilakukan sebelum induksi sepsis dan setelah resusitasi cairan.
Hasil yang diperoleh menunjukan pada arah pandang lateral nilai Vertebrae Heart
Score (VHS) kelompok RAM meningkat dibandingkan kelompok MFG 4%. Nilai
sudut jantung berkisar 46.80-49.2
0 dan rasio HH:HC adalah 4:5. Peningkatan nilai
ini diduga jantung mengalami kompensasi edema yang ditimbulkan akibat respon
infeksi sistemik pada keadaan sepsis. Pada lapang pandang dorsoventral nilai
CTR meningkat baik pada kelompok MFG 4% maupun RAM. Nilai A<LC/2
menunjukkan bahwa MFG 4% dan RAM memiliki nilai yang lebih besar
dibandingkan nilai normal. Resusitasi cairan MFG 4% maupun RAM dianggap
belum mampu memperbaiki pembesaran jantung yang diakibatkan oleh sepsis
dengan mengembalikan ukuran jantung pada nilai normal.
Kata kunci: induksi sepsis, LPS, MFG 4%, radiografi kardiopulmonari, RAM
ABSTRACT
ANKGIE HERRIS STIARLDI. Evaluation of Cardiovascular Radiography
Septic Piglet and Treated with Colloid or Crystalloid Fluid. Supervised by
HARRY SOEHARTONO and RIKI SISWANDI.
This study was conducted to evaluate cardiopulmonary radiographic of
septic piglets and treated with fluid resuscitation. As many as 10 piglets aged 2-3
months and 8-13 kgs in body weight were subjected into two resuscitation
treatment groups. Septic condition was inducted by lipopolysacharide (LPS)
injection from E. coli . Fluid resuscitation was imitiated after septic shock
confirmed. The first group received coloid (modified fluid gelatin 4% / MFG 4%)
and the second received crystalloid (ringer asetat malat / RAM). Radiographic
evaluation was performed before septic induction and after fluid resuscitation.
The result showed that Vertebrae Heart Score (VHS) value in RAM group was
increased than MFG 4% group on lateral view. The angle heart value were ranged
between 46.80-49.3
0, and the ratio HH:HC is 4:5. The increased value is happened
because heart suspected by become edema compensation which appeared by
systemic infection response in septic condition. CTR value increased in MFG 4%
and RAM group on dorsoventral view. Value of A<LC/2 showed that MFG 4%
and RAM had bigger than normal value. MFG 4% or RAM resuscitation were
considered unable to restore heart enlargement which caused by septic into normal
size.
Keywords: cardiovascular radiographic, LPS, MFG 4%, RAM, septic induction
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
EVALUASI RADIOGRAFI JANTUNG ANAK BABI (Sus scrofa)
SEPSIS DENGAN TERAPI CAIRAN KOLOID ATAU
KRISTALOID
ANKGIE HERRIS STIARLDI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Evaluasi Radiografi Jantung Anak Babi (Sus scrofa) Sepsis dengan Terapi
Cairan Koloid atau Kristaloid”. Skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat
bagi banyak pihak dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana dari Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Drh R Harry Soehartono, MAppSc,
PhD selaku pembimbing pertama dan Drh Riki Siswandi, MSi selaku dosen
pembimbing kedua, serta Prof Drh Ekowati Handharyani, MSi, PhD selaku dosen
pembimbing akademik penulis. Terimakasih untuk ibunda tercinta ibu Ati
Rosniawati, ayahanda bapak Hery Suherna, dan adik penulis tercinta Seyla Dinda
Putri atas segala doa dan kasih sayang yang tidak pernah henti-hentinya penulis
rasakan. Terimakasih untuk teman-teman dalam penelitian ini, Abhi, Cerel, Cindi,
Ega, Rina dan willa. Terimakasih untuk Faiz, Abang, Adam, Adi, Oge, Pakcoy,
dan Aqin atas kebersamaan dan dukungannya selama di kosan “kosim” selama 3
tahun kebelakang. Terimakasih untuk Fitriatus Shaleha atas semangat dan
dukungannya. Terimakasih untuk teman-teman Ganglion FKH 48 atas semangat
dan kebersamaanya.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam
penulisan skripsi ini, sehingga perlu kritik dan saran yang bersifat membangun.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan,
khususnya dibidang medik veteriner.
Bogor, Oktober 2015
Ankgie Herris Stiarldi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Sepsis 2
Cairan Koloid dan Kristaloid 3
Interpretasi Radiografi 5
Hewan Model 6
METODE 6
Waktu dan Tempat 6
Alat dan Bahan 6
Tahap Persiapan 7
Adaptasi Hewan 8
Tahapan Perlakuan 8
Teknik Interpretasi Radiologi 9
Prosedur Analisis Data 9
HASIL DAN PEMBAHASAN 10
Nilai R, L, RH, LH, dan CTR 10
NIlai A < LC/2 11
Perbandingan Nilai HH:HC dan Nilai Sudut Jantung 12
Nilai Long Axis, Short Axis, dan Vertebrae Heart Score 13
SIMPULAN DAN SARAN 16
Simpulan 16
Saran 16
DAFTAR PUSTAKA 16
RIWAYAT HIDUP 19
DAFTAR TABEL
1 Rataan Nilai R, L, RH, LH, dan CTR 10
2 Rataan Nilai A dan LC/2 11
3 Rataan Nilai HH:HC dan sudut jantung 13
4 Rataan Nilai LA, SA, dan VHS 14
DAFTAR GAMBAR
1 Anak babi 6
2 Beberapa alat yang digunakan dalam penelitian 7
3 Tahapan perlakuan 8
4 Pengukuran radiografi jantung lapang pandang DV 11
5 Pengukuran nilai A dan LC 12
6 Pengukuran nilai HH:HC 12
7 Pengukuran nilai sudut jantung 13
8 Pengukuran nilai VHS 14
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sepsis merupakan keadaan klinis yang ditandai dengan sindrom respon
inflamasi sistemik (SIRS) disertai bakteri patogen (infeksi). Bakteri patogen
tersebut ditemukan melalui kultur atau pewarnaan gram dari spesimen tubuh
seperti darah, sputum, feses, urin, dan spesimen tubuh lainnya (Merx dan Weber
2007). Hasil penelitian Vincent et al. (2009), menunjukan 70% pasien yang sepsis
menghasilkan kultur mikrobiologis positif. Sebesar 62% dari isolat positif
merupakan bakteri gram negatif. Komponen toksikan dari bakteri gram negatif
adalah liposakarida sebagai endotoksin. Menurut Burkovskiy (2013), komponen
beracun pada bakteri gram negatif dianggap sebagai penyebab infeksi.
Sepsis meningkatkan risiko kematian 15-20% pada setiap kegagalan satu
organ yang menimbulkan komplikasi disfungsi organ (Martin et al. 2005). Sistem
kardiovaskular adalah salah satu organ yang paling sering terpengaruh pada
keadaan sepsis berat dan renjatan sepsis. Renjatan sepsis adalah gangguan sistem
kardiovaskular ditandai dengan penurunan fungsi pompa jantung kiri, gambaran
sirkulasi yang hiperdinamik, dan curah jantung tinggi (Priyantoro et al. 2010).
Resusitasi cairan merupakan tata laksana terkini untuk sepsis yang
mengoptimalkan hemodinamik dalam 6 jam pertama, dikenal sebagai early goal
directed therapy. Target resusitasi cairan antara lain mempertahankan central
venous pressure (CVP) 8-12 mmHg, mean arterial pressure (MAP) 65 mmHg
dan saturasi vena cava cranialis (ScvO2) 70% (Nguyen dan Rivers 2005).
Sampai saat ini pemilihan cairan kristaloid atau koloid sebagai cairan
resusitasi yang ideal masih menjadi kontroversi. Survei kepada lebih dari 2400
dokter ICU dari European and French Intensive Care Societies, sebanyak 65%
klinikus menggunakan kombinasi kristaloid dan koloid seperti ringer laktat,
hydroxyethyl starch (HES), dan gelatin sebagai cairan resusitasi (Schortgen et al.
2004).
Sepsis diduga menyebabkan perubahan pada regio toraks. Perubahan regio
toraks terutama pada sistem kardiovaskular dapat dianalisis dengan berbagai
metode diagnosa, salah satunya pada renjatan sepsis dilakukan dengan metode
analisais radiografi. Kondisi jantung yang mengalami perubahan bentuk dan
ukuran dapat diketahui dari hasil interpretasi radiografi.
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah
penelitian yang disusun dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
2
1. Bagaimanakah perbedaan perubahan gambaran radiografi jantung sebelum
induksi sepsis dan setelah resusitasi cairan koloid (modified fluid gelatin 4%)
atau kristaloid (ringer asetat malat)?
2. Apakah ada perbedaan gambaran radiografi setelah resusitasi cairan pada
kelompok hewan yang menggunakan cairan koloid (modified fluid gelatin 4%)
dan kristaloid (ringer asetat malat )?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi gambaran radiografi jantung
sebelum sepsis dan setelah resusitasi cairan pada kelompok model anak babi.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu mengetahui pengaruh pemberian terapi
cairan koloid (Modified fluid gelatin 4%) dan kristaloid (Ringer asetat malat) pada
kejadian sepsis.
TINJAUAN PUSTAKA
Sepsis
Sepsis adalah sindroma respon inflamasi sistemik klinik yang terjadi dengan
etiologi mikroba yang terbukti atau dicurigai. Bukti klinisnya berupa suhu tubuh
abnormal (>380C atau <36
0C), takikardi, asidosis metabolik. Biasanya disertai
dengan alkalosis respiratorik terkompensasi dan takipneu, dan peningkatan atau
penurunan jumlah sel darah putih (Runge dan Greganti 2009). Sepsis merupakan
proses infeksi dan inflamasi yang kompleks. Menurut Guntur (2008) hal tersebut
dapat ditandai dengan menurunnya kadar limfosit dalam sirkulasi sistemik sebagai
respon terhadap faktor-faktor proinflamasi. Kelebihan produksi sitokin inflamasi
akan menyebabkan aktivasi respon sistemik terutama pada paru-paru, hati, ginjal,
usus, dan organ lainnya sehingga dapat terjadi apoptosis, nekrosis jaringan, multi
organ dysfunction (MOD), renjatan sepsis, serta kematian.
Pada sepsis terjadi kerusakan sel endotelial mikrovaskular serta pelepasan
mediator inflamasi oleh sel endotel. Disfungsi endotel menyeluruh mempunyai
peran penting dalam patogenesis renjatan sepsis, dengan akibat terjadinya
peningkatan permeabilitas sehingga timbul edema dan kehilangan cairan yang
cukup banyak ke jaringan interstisial. Hal ini menimbulkan efek hipotensi yang
diperberat oleh vasodilatasi perifer akibat dilepaskannya kinin, histamin, dan
peptida vasoaktif lainnya selama aktivasi kaskade inflamasi (Vincent dan
Abraham 2006).
3
Sepsis yang disertai disfungsi organ atau hipoperfusi didefinisikan sebagai
sepsis berat sedangkan renjatan sepsis adalah sepsis yang disertai disfungsi organ
kardiovaskular (Goldstein 2005). Sepsis berat disertai dengan keterlibatan satu
atau lebih gangguan sistem organ yang diawali dengan menurunnya perfusi ke
jaringan sehingga mengakibatkan disfungsi sistem organ, gangguan perfusi dan
sistem organ yang ditandai dengan adanya ruam kulit yang kemerahan,
peningkatan waktu pengisian kapiler ≥ 3 detik, penurunan produksi urin,
pengingkatan laktat serum, perubahan drastis status mental atau
elektroensepalogram, penurunan jumlah trombosit, acute lung injury atau sindrom
pernafasan akut dan kelainan fungsi jantung yang dibuktikan melalui pemeriksaan
echocardiography (Merx dan Weber 2007). Pada renjatan sepsis dapat ditemukan
tanda gangguan sirkulasi seperti penurunan kesadaran, penurunan tekanan darah,
akral dingin, sianosis, perabaan nadi yang lemah, peningkatan waktu pengisian
kapiler serta oliguria. Selain itu dijumpai pula gangguan respirasi seperti takipnea,
asidosis metabolik serta edema paru (O’Brien et al. 2007).
Cairan Kristaloid dan Koloid
Cairan kristaloid dan koloid merupakan cairan yang sering digunakan pada
terapi sepsis. Pembagian jenis ini sudah dikenal lama yang bertujuan untuk
membedakan larutan melalui membran atau tidak dapat melalui membran, tetapi
masih terdapat kontroversi mengenai cara penggunaannya. Beberapa ahli
mengungkapkan bahwa parameter yang dapat digunakan sebagai indikator
kecukupan cairan intravaskular adalah kesadaran cukup baik, denyut nadi kuat,
tekanan darah stabil (sistolik dan diastolik), dan produksi urin yang cukup (Shih et
al. 2008).
Koloid
Larutan koloid merupakan larutan homogen yang mengandung partikel
dengan berat molekul besar yaitu > 20.000 dalton, sehingga dapat digunakan
untuk mempertahankan tekanan onkotik dan volume intravaskular. Partikel dari
larutan koloid tidak dapat digabungkan atau dipisahkan dengan filtrasi atau
sentrifugasi. Koloid dapat dipisahkan menjadi dua kelompok yaitu: golongan
protein dan non protein (semisintesis). Jenis larutan koloid bermacam-macam
seperti albumin, dekstran, gelatin dan juga Hydroxyethyl starch (HES), dimana
penggunaan masing-masing dari larutan tersebut memiliki keuntungan dan
kerugian masing-masing (Doran C 2011).
Gelatin mempunyai berat molekul 100.000 sampai dengan 120.000 dalton.
Pemberian gelatin dapat menimbulkan bekuan apabila diberikan bersama-sama
transfusi karena mengandung kalsium sehingga pemberiannya harus dipisahkan.
Setelah pemberian intravaskular gelatin mengalami degradasi menjadi asam
amino yang dapat dipertahankan volumenya sampai 2 jam dan dapat bertahan
sampai 7 hari. Ekskresi gelatin melalui urin. Efek samping yang kurang disukai
4
adalah reaksi alergi meskipun efek terhadap koagulasi lebih ringan dibandingkan
koloid lain (Nguyen et al. 2005).
Gelatin yang digunakan dalam penelitian ini adalah modified fluid gelatin
4% Gelofusin®. Gelofusin
® merupakan cairan yang sesuai dengan darah dan
semua produk darah. Indikasi dari Gelofusin®
antara lain pengobatan dan
pencegahan untuk shock dan hypovolaemia serta mencegah terjadi hypotension
selama anastesi spinal dan epidural. Kontraindikasi dari pemakaian Gelofusin®
yaitu pada pasien dengan hypovolaemia, hipersensitivitas terhadap komposisi
yang terdapat di dalam cairan Gelofusin®, hyperhidration, gangguan jantung, dan
gangguan pembekuan darah. Komposisi/kandungan konsentrasi elektrolit dari
cairan Gelofusin® antara lain sodium 154 mmol/l, klorid 120 mmol/l, osmolaritas
274 mosmol/l serta pH 7.4 ± 0.3 (Braun 2005).
Kristaloid
Larutan kristaloid merupakan larutan yang bersifat isotonis. Contoh larutan
kristaloid yang sering digunakan adalah ringer laktat (RL), ringer asetat (RA), dan
NaCl 0.9%. Larutan kristaloid mengandung elektrolit dalam berbagai macam
komposisi. Natrium merupakan kandungan utama dalam larutan ini. Dalam
penanganan sepsis, larutan kristaloid yang diberikan intravaskular hanya akan
menambah volume ekstraselular saja yaitu dengan proporsi sekitar 20 % tetap di
intravaskular dan sebagian besar menambah cairan interstisial.
Pada penelitian ini larutan kristaloid yang digunakan adalah ringer asetat
malat (RAM) Ringerfundin®. Kandungan dari larutan RAM adalah anion asetat
dan malat yang dapat dimetabolisme di hati menjadi bikarbonat. Satu mol asetat
akan diubah menjadi satu mol bikarbonat, sedangkan satu mol malat akan diubah
menjadi dua mol bikarbonat. Malat bekerja dalam waktu lebih lama dibanding
asetat, oleh karena itu kombinasi keduanya merupakan pilihan yang baik dalam
resusitasi cairan (Zander 2006). Menurut Braun (2005) Ringer asetat malat adalah
larutan elektrolit penuh pertama mengandung kombinasi unik dari asetat dan
malat. Ringer asetat malat berisi 24 mmol/l asetat dan 5 mmol/l malat, dimana
total asetat dan malat melepaskan 34 mmol/l bikarbonat. Asetat dan malat lebih
disukai daripada laktat, karena metabolisme mereka tidak hanya terbatas pada hati
tetapi juga dimetabolisme di seluruh jaringan.
Menurut Braun (2005) kriteria larutan RAM Ringerfundin® diantaranya
merupakan larutan elektrolit penuh, isotonis, berisi asetat malat bukan berisi laktat,
base exces potensial yang seimbang, dan menjaga konsumsi oksigen yang rendah.
Komposisi kation dari Ringerfundin antara lain Na+, K
+, Mg
2+, dan Ca
2+,
sedangkan komposisi anionnya terdiri dari Cl-,
asetat, dan malat berbeda dengan
ringer laktat yang komposisi anionnya terdiri dari Cl- dan laktat.
Larutan kristaloid memiliki beberapa keuntungan yaitu, mudah didapat,
murah, efek samping minimal, sehingga sering digunakan sebagai tata laksana
yang membutuhkan cairan intravaskular (renjatan hipovolemik). Sedangkan
kerugiannya adalah dengan penambahan intravaskular, sebagian besar cairan akan
berpindah ke intersisial sehingga memudahkan terjadinya edema intersisial dan
salah satu yang sering adalah edema paru. Dengan demikian terlihat bahwa
5
adanya edema interstisial (dalam hal ini edema paru) belum tentu menggambarkan
bahwa cairan intravaskular sudah cukup. Hal inilah yang sering membuat tata
laksana resusitasi cairan kehilangan pegangan apabila tidak menggunakan
indikator lain sebagai parameter kecukupan cairan intravaskular (Shih et al. 2008).
Interpretasi Radiografi
Interpretasi radiografi merupakan suatu proses membaca hasil pemaparan
sinar X yang berperan untuk membantu diagnosa klinis. Ada beberapa tahap yang
harus diperhatikan untuk mendapatkan interpretasi yang baik dan berujung pada
diagnosa yang akurat yaitu pemeriksaan anamnesa, pemeriksaan fisik, teknik
radiografi yang benar, dan evaluasi radiografi (Morgan dan Wolvekomp 2004).
Prosedur radiografi yang benar akan memberikan hasil radiografi yang
benar sehingga memudahkan dalam pembacaan. Prosedur yang salah dapat
menyebabkan radiografi tidak mempunyai nilai diagnosa sama sekali apabila
radiografi tersebut tidak dapat dibaca serta informasi yang diinginkan dari
radiografi hewan tidak dapat ditemukan. Selain prosedur radiografi, harus
diperhatikan juga tata cara pengamatan radiografi yang benar agar tidak salah
membuat suatu diagnosa. Radiografi merupakan gambaran dua dimensi dari suatu
struktur atau organ yang berupa tiga dimensi sehingga perlu diimajinasikan dalam
bentuk asalnya yaitu tiga dimensi. Untuk mendapatkan imajinasi tiga dimensi
tersebut, pengambilan foto harus dengan posisi sudur pandang yang tepat serta
diperlukan minimal dua radiografi dengan sudut pandang yang berbeda ketika
pengamatan radiografi (Tayal 2004).
Dalam melakukan pemeriksaan rubahan radiografi, terutama pemeriksaan
pada bagian toraks, menggunakan dua arah pandang, yaitu laterolateral dan
dorsoventral (DV). Arah pandang left laterolateral dapat digunakan untuk melihat
perubahan pada jantung dan vaskularisasi darah (Smith 2009). Arah pandang
dorsoventral sangat penting dalam pemeriksaan jantung karena pada posisi ini
jantung berada dalam posisi yang lebih dekat dengan sternum dan letak jantung
mendekati posisi normal dalam toraks ketika hewan berada pada posisi tubuh
normal (Thrall 2002).
Beberapa parameter yang dapat diambil untuk melakukan evaluasi gambar
radiologi yaitu, parameter yang diukur pada arah pandang laterolateral toraks
meliputi Vertebrae Heart Size (VHS). Cara pengukuran dengan metode ini yaitu
dengan membandingkan ukuran besar jantung dengan vertebrae thoracic melaluli
gambaran radiografi (Buchanan dan Bücheler 1995). Parameter lain yang diukur
pada arah pandang left laterolateral toraks adalah height of heart (HH), height of
chest (HC), dan sudut jantung.
Untuk pengukuran besar jantung pada arah dorsoventral, parameter yang
diukur meliputi panjang maksimum jantung, lebar maksimum jantung, dan lebar
toraks (Gardner et al. 2007).
6
Hewan Model
Babi merupakan hewan yang sering dipergunakan dalam penelitian
biomedik, respirasi mekanik dan hemodinamik (Gambar 1). Anatomi jantung
babi mempunyai kesamaan dengan jantung manusia kecuali pada vena azygous
yang memvaskularisasi sitem interkostal ke arah sinus koronarius. Sistem koroner
babi menunjukan kesamaan hampir 90% dengan manusia. Dalam hal fungsi
jantung babi menunjukan kesamaan dengan manusia secara hemodinamik. Oleh
karena itu babi merupakan hewan model yang sangat cocok untuk penyakit
kardiovaskular.
Gambar 1 Anak babi (Sus scrofa)
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian berlangsung dari tanggal 6 Juni sampai dengan 11 Juli 2014.
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Divisi Bedah dan Radiologi Departemen
Klinik, Reproduksi, dan Patologi. Pemeliharaan hewan dilakukan di kandang
ruminansia kecil Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, dan
Rumah Sakit Hewan Institut Pertanian Bogor.
Alat dan Bahan
Selama perlakuan digunakan seperangkat alat bedah minor, endotracheal
tube, kateter intravena, laryngoscope, infus set, pompa syringe 25 ml, three way
stop cock, unit mesin sinar-x stasioner dan portable (General X-ray beam®
), kaset
7
film yang dilengkapi dengan intensifying screen dan film Rontgen ukuran 24 x 30
(Kodak medical X-ray, KODAK®), apron, hanger, lampu iluminator, processing
machine (mesin pencuci manual), jarum jahit ½ lingkaran tipe blunt, benang jahit
silk 2/0 dan polypropilen. Pengambilan data suhu tubuh dan pulsus jantung
dilakukan dengan menggunakan termometer digital (AKL -20901900848 GP
Care®
) dan pulse oxymetry magnetek 1300 yang dipasang pada ekor hewan
model. Pencucian film menggunakan larutan developer (Carestream®, KODAK
CARESTREAM HEALT) dan larutan fixer (Carestream®, KODAK
CARESTREAM HEALT). Induksi sepsis dilakukan dengan pemberian
endotoksin Eschericia coli via intravena. Selama pemeliharaan babi diberikan
pakan konsentrat dan rerumputan. Obat cacing yang diberikan adalah
Oxfendazole (Vermo®, SANBE). Resusitasi cairan menggunakan cairan koloid
modified fluid gelatin 4% (Gelofusine®, BBRAUN) dan cairan kristaloid ringer
asetat malat (Ringerfundin®, BBRAUN) secara intravena. Anestesi dilakukan
melalui syringe 3 ml dan obat bius yang terdiri dari ketamine 10% (ketamile®,
Ilium) dan xylazine 2% (ilium xylazil-100®, Ilium) via intramuskular untuk
induksi, dan ketamine 10% (ketamile®, Ilium) 6 ml/jam via intravena untuk
maintenance.
Gambar 2 Beberapa alat yang digunakan dalam penelitian. (A) mesin sinar X
stasioner, (B) processing apparatus (alat pencuci) manual, (C) apron.
Tahap Persiapan
Hewan model yang digunakan adalah babi (Sus scrofa) jantan dan betina
berumur 2 sampai 3 bulan dengan berat badan 8-13 kg. Hewan model babi (Sus
scrofa) sebanyak 10 ekor yang sudah dinyatakan sehat. Babi dibagi dalam dua
kelompok, yaitu 5 ekor babi untuk perlakuan pemberian cairan koloid (modified
fluid gelatin 4%) dan 5 ekor babi untuk perlakuan pemberian cairan kristaloid
(ringer asetat malat). Penelitian ini dilakukan dengan persetujuan kode etik dari
komisi etik hewan IPB dengan nomor FRM/FKH/000-78.
A
B
C
8
Adaptasi Hewan
Adaptasi babi dilakukan dalam lingkungan dan pemberian pakan selama
tujuh hari sebelum dilakukan operasi, untuk membiasakan dan mengurangi tingkat
stres pada babi. Babi diberi pakan dan minum pada pagi dan sore hari. Kandang
babi dibersihkan pada pagi dan sore hari dan didesinfeksi tiga hari sekali. Selama
tujuh hari sebelum operasi, babi juga diberikan antibiotik oksitetrasiklin dengan
dosis 6-11 mg/kg berat badan melalui intramuskular dan obat cacing oxfendazole
5 mg/kg berat badan secara peroral.
Tahap Perlakuan
Gambar 3 Tahapan perlakuan
Eutanasia
Rontgen II
Anastesi
Induksi Endotoksin
Sepsis
Renjatan Sepsis
Cairan Koloid
Cairan Kristaloid
Renjatan Teratasi
Kelompok I Kelompok II
Rontgen I
9
Perlakuan dimulai dengan pengambilan gambar radiografi dengan dua
standar pandang yakni DV dan LL. Nilai kVp digunakan antara 58-64 kVp,
tergantung ketebalan jaringan. Nilai mAs digunakan 1.2 mAs. Kemudian
pembiusan babi menggunakan ketamin 10% dan xylazine 2%, secara
intramuskular. Setelah babi terbius, babi masuk ke dalam kamar operasi dan
dilakukan pemasangan probe saturasi oksigen, pemasangan infus NaCl 0.9% pada
vena aurikularis, dan pemasangan endo tracheal tube.
Babi diinduksikan dengan endotoksin 50 ug/kg BB melalui kateter pada vena cava
cranialis, dan dilakukan pemantauan gejala sepsis yaitu demam (suhu tubuh >
39.8ºC) atau hipotermia (suhu tubuh < 38.7ºC), takikardia (frekuensi jantung >120
kali/menit), dan takipnea (frekuensi napas > 58 kali/menit).
Pemantauan tanda-tanda renjatan dilihat dari penurunan tekanan darah,
denyut nadi meningkat, takikardia dengan penurunan perfusi, pemanjangan waktu
pengisian kapiler.
Setelah tanda-tanda renjatan terlihat, yaitu penurunan tekanan darah (< 90
mmHg), pulsus meningkat, dan penurunan perfusi, dilakukan pemberian cairan
MFG 4% atau RAM sebanyak 20 ml/kg BB sampai tanda renjatan stabil. Setelah
semua sampel diperoleh, dan untuk mencegah semakin meluasnya sepsis,
dilakukan eutanasia menggunakan kalium klorida dalam keadaan teranestesi.
Kemudian dilakukan pengambilan gambar radiografi yang kedua. Tahapan
perlakuan dilakukan seperti Gambar 3.
Teknik Interpretasi Radiografi
Interpretasi radiografi dilakukan penilaian lapang jantung dengan lapang
pandang DV dan LL. Parameter pengukuran digunakan vertebrae heart score
(VHS) yang terdiri dari SA dan LA, serta pengukuran cardiothoracic ratio (CTR)
yang terdiri dari parameter nilai R, L, RH, LH, dan CTR. Parameter lain yang
digunakan adalah nilai A, nilai LC, height of heart (HH), height of chest (HC),
dan nilai sudut jantung.
Prosedur Analisis Data
Hasil pengukuran dinyatakan dalam rataan dan standar deviasi. Data diolah
menggunakan SPSS 16 dan Microsoft Excel 2010. Perbedaan antar kelompok
perlakuan diuji secara statistik menggunakan metode One Way-Analyse of Variant
(ANOVA). Uji ini kemudian dilanjutkan dengan uji Tukey HSD pada selang
kepercayaan 95% (α=0,05).
10
HASIL DAN PEMBAHASAN
Nilai R, L, RH, LH, dan CTR
Nilai R merupakan jarak antara dinding ventrikel kanan jantung dengan
dinding kanan toraks, sedangkan nilai L merupakan jarak antara dinding ventrikel
kiri jantung dengan dinding kiri toraks. Data mengenai nilai R dan L dapat dilihat
pada Tabel 1.
Nilai kelompok babi normal merupakan nilai gambaran radiografi babi
sebelum dilakukan injeksi endotoksin. Kelompok MFG 4% dan RAM mengalami
penurunan nilai R yang tidak signifikan dengan kelompok babi praperlakuan.
Begitu juga dengan nilai L yang mengalami penurunan yang tidak signifikan pada
kelompok MFG 4%, pada kelompok RAM nilai L mengalami penurunan yang
signifikan (P<0.05) dibandingkan dengan kelompok babi praperlakuan.
Nilai RH merupakan jarak antara sumbu tengah jantung dengan lebar
jantung di ventrikel kanan, sedangkan nilai LH merupakan jarak antara sumbu
tengah jantung dengan lebar jantung di ventrikel kiri. Kelompok MFG 4% dan
RAM mengalami peningkatan nilai RH dan LH yang tidak signifikan (Tabel 1).
Nilai LH terlihat lebih besar dibandingkan nilai praperlakuan dan RH, hal ini
dikarenakan posisi apeks dari kerucut jantung terletak di caudo ventral. Hampir
2/3 jantung terletak disebelah kiri media (Permatasari 2013).
Nilai CTR merupakan perbandingan antara nilai RH dan LH dengan nilai
lebar regio toraks (L+LH+RH+R). Kelompok MFG 4% dan RAM mengalami
peningkatan nilai CTR yang signifikan (P<0.05) dari nilai praperlakuan (Tabel 1).
Kenaikan nilai CTR pada Tabel 1 diakibatkan oleh naiknya nilai RH dan LH,
serta kecenderungan turunnya nilai lebar regio toraks. Menurut penilitian yang
dilakukan oleh Azni (2014), rentang nilai normal CTR anak babi adalah 0.7 – 0.8
cm.
Tabel 1 Rataan nilai R, L, RH, LH, dan CTR
Parameter Kelompok Babi
Praperlakuan MFG 4% RAM
R 1.31±0.26x 0.72±0.54
x 1.14±0.38
x
L 0.85±0.21x 0.56±0.27
x 0.22±0.13
y
RH 2.57±0.53x 3.04±0.84
x 2.88±0.46
x
LH 3.72±0.34x 3.94±0.67
x 3.98±0.21
x
CTR 0.74±0.03x 0.84±0.05
y 0.83±0.03
y
Keterangan: Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya
perbedaan signifikan (P<0.05).
11
Gambar 4 Pengukuran radiografi jantung lapang pandang DV.
Keterangan: (A) nilai L, (B) nilai R, (C) nilai LH, (D) nilai RH.
Nilai A < LC/2
Nilai A merupakan jarak dari lebar aorta sebelah kiri ke sumbu tengah
jantung. Kedua kelompok mengalami peningkatan nilai A (Tabel 2), namun
kelompok MFG 4% mengalami peningkatan yang signifikan (P<0.05)
dibandingkan dengan nilai praperlakuan.
Perubahan nilai A yang signifikan pada kelompok MFG 4% diduga karena
terjadinya edema interstitial, perubahan ini juga diduga karena perubahan
pembuluh darah aorta akibat pelebaran mediastinum kranial.
Nilai LC adalah nilai yang diperoleh dari sumbu tengah jantung bagian
kranial dengan dinding kiri toraks. Nilai A<LC/2 digunakan untuk mengetahui
ada atau tidaknya pembesaran aorta. Nilai rataan A pada kelompok MFG 4% dan
RAM lebih besar dari nilai LC/2, nilai tersebut mengindikasikan terjadi pelebaran
aorta. Menurut Toombs dan Wildmer (1994) nilai ratio aorta yang proporsional
adalah ketika A<LC/2.
Tabel 2 Rataan nilai A dan LC/2
Parameter Kelompok Babi
Praperlakuan MFG 4% RAM
A 1.53±0.17x 1.88±0.24
y 1.78±0.17
xy
LC/2 1.72±0.1x 1.73±0.1
x 1.69±0.11
x
A<LC/2 Lebih kecil Lebih besar Lebih besar Keterangan: Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya
perbedaan signifikan (P<0.05).
A C
D B
A
12
Gambar 5 Pengukuran nilai A dan LC
Perbandingan Nilai HH:HC, dan Nilai Sudut Jantung
Nilai height of heart (HH) adalah nilai tinggi jantung yang diperoleh dari
pengukuran jarak basis jantung ke dasar rongga toraks. Posisi jantung anak babi
memiliki kemiripan dengan posisi jantung kucing, posisi jantung ini tidak tegak
melainkan seperti tidur atau disebut double apex. Kelompok MFG 4% dan RAM
mengalami peningkatan nilai HH, namun hanya kelompok RAM yang mengalami
peningkatan signifikan (P<0.05) dengan kelompok nilai praperlakuan (Tabel 3).
Gambar 6 Pengukuran nilai HH:HC
Nilai height of chest (HC) merupakan nilai tinggi rongga toraks yang diukur
dari dasar rongga toraks ke aorta descenden, yang mendekati dinding rongga
toraks bagian atas. Nilai HC MFG 4% dan RAM yang diperoleh terlihat
meningkat dibandingkan nilai praperlakuan, namun tidak signifikan.
A
LC
HH HC
13
Perbandingan nilai HH dan HC digunakan untuk mengetahui pembesaran
jantung pada arah lapang pandang lateral. Kelompok MFG 4% dan RAM
mengalami peningkatan nilai yang tidak signifikan dibandingkan kelompok
praperlakuan atau sebelum pemberian injeksi sepsis (Tabel 3). Nilai normal
HH:HC pada anak babi belum banyak dilaporkan secara ilmiah, namun Toombs
dan Wildmer (1994) menyebutkan bahwa nilai HH:HC normal pada anjing adalah
2:3. Pada penelitian ini ditemukan bahwa nilai HH:HC pada anak babi adalah 4:5.
Tabel 3 Rataan nilai HH:HC dan sudut jantung
Parameter Kelompok Babi
Praperlakuan MFG 4% RAM
HH 5.43±0.29x 5.8±0.28
xy 5.88±0.25
y
HC 6.76±0.38x 7.18±0.24
x 7.22±0.28
x
HH:HC 0.79±0.01x 0.8±0.01
x 0.81±0.02
x
Sudut Jantung 46.8±3.64x 47.4±1.34
x 49.2±3.89
x
Keterangan: Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya
perbedaan signifikan (P<0.05).
Nilai sudut jantung dibentuk oleh sumbu LA dan dasar rongga toraks
(Toombs dan Wildmer 1994). Kelompok MFG 4% dan RAM menunjukan
peningkatan yang tidak signifikan dibandingkan nilai praperlakuan (Tabel 3). Hal
ini mengindikasikan terjadi peninggian jantung terutama bagian jantung sebelah
kiri. Terbatasnya referensi nilai sudut jantung anak babi diduga karena jarang
digunakan. Penelitian ini memperoleh nilai sudut jantung yang berkisar antara
46.80 sampai 49.2
0.
Gambar 7 Pengukuran sudut jantung
Nilai Long Axis, Short Axis, dan Vertebrae Heart Score
Nilai long axis (LA) merupakan nilai yang diukur dari carina sampai ujung
apeks jantung, kemudian nilai tersebut dibandingkan dengan jumlah os vertebrae
thorakik yang diperoleh dari tepi kranial vertebrae thorakik ke-4. Posisi carina
Sudut
Jantung
14
pada babi terletak jauh di caudal jantung dan tidak terlihat pada gambar radiologi,
sehingga pengukuran LA dilakukan modifikasi. Seperti yang dikatakan Azni
(2014) yaitu pengukuran LA dimulai dari dinding caudal aorta pada basis jantung
sampai apeks jantung. Kelompok MFG 4% dan RAM mengalami perubahan yang
tidak signifikan dibandingkan dengan nilai praperlakuan (Tabel 4).
Nilai short axis (SA) merupakan pengukuran bagian jantung terlebar pada
sumbu tegak lurus terhadap sumbu panjang (LA). Pada kelompok MFG 4%
maupun RAM, keduanya mengalami peningkatan nilai yang tidak signifikan
dibandingkan kelompok praperlakuan (Tabel 4).
Tabel 4 Rataan nilai LA, SA, dan VHS
Parameter Kelompok Babi
Praperlakuan MFG 4% RAM
LA 5.23±0.42x 5.06±0.36
x 5.4±0.07
x
SA 3.93±0.19x 4.4±0.38
x 4.28±0.38
x
VHS 9.16±0.53x 9.46±0.73
x 9.68±0.35
x
Keterangan: Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya
perbedaan signifikan (P<0.05).
Pengukuran jantung dengan metode VHS adalah membandingkan ukuran
besar jantung dengan jumlah os vertebrae thorakik melalui gambaran radiografi.
Nilai VHS diperoleh dari penjumlahan nilai SA dan LA (Buchanan dan Bücheler
1995). Kelompok MFG 4% dan RAM mengalami peningkatan nilai VHS yang
tidak signifikan dibandingkan nilai praperlakuan.
Gambar 8 Pengukuran nilai VHS
Secara keseluruhan pada arah pandang DV, terjadi pembesaran jantung yang
ditunjukkan dengan peningkatan nilai CTR secara signifikan. Menurut penelitian
Azni (2014), nilai CTR normal pada babi usia muda adalah 0.7 sampai 0.8
sehingga jika dibandingkan, maka nilai CTR dalam penilitian ini masih dalam
rentang normal. Peningkatan nilai CTR ini dipengaruhi oleh naiknya nilai lebar
maksimum jantung (RH+LH) dan menurunnya nilai L dan R.
LA
SA
15
Penurunan nilai L yang signifikan pada kelompok RAM (Tabel 1), diduga
RAM tidak mampu menahan edema yang terjadi akibat kerusakan endotelial
mikrovaskular serta pelepasan mediator inflamasi oleh sel endotel yang
diakibatkan oleh sepsis. Mediator inflamasi akan menimbulkan gangguan pada
fungsi sel otot jantung (Priyantoro et al. 2010).
Sepsis mengakibatkan terjadi kerusakan sel endotelial mikrovaskular serta
pelepasan mediator inflamasi. Disfungsi endotel mengakibatkan terjadi
peningkatan permeabilitas sehingga timbul edema dan kehilangan cairan yang
cukup banyak ke jaringan interstisial. Pembesaran jantung diduga karena kerja
jantung yang berlebihan dan terjadi kompensasi edema yang ditimbulkan oleh
sepsis. Menurut Putri (2014), depresi miokardium merupakan komplikasi dini
renjatan sepsis, dengan mekanisme yang diperkirakan oleh kerja langsung
molekul inflamasi terhadap penurunan perfusi arteri koronaria. Sepsis
memberikan beban kerja jantung yang berlebihan, yang dapat memicu sindroma
koronaria akut atau infark miokardium.
Pada arah pandang left laterolateral terjadi peningkatan nilai HH yang
signifikan pada kelompok RAM, peningkatan nilai HH mengindikasikan terjadi
peninggian jantung. Peninggian disebabkan jantung bagian kiri membesar, sepsis
yang menyebabkan edema diduga mengakibatkan gagal jantung sebelah kiri,
sehingga jantung kiri yang berfungsi untuk mengalirkan darah ke seluruh tubuh
bekerja lebih keras dan mengakibatkan hipertrofi miokardium. Pada parameter SA,
LA, dan VHS terjadi peningkatan nilai yang tidak signifikan. Peningkatan nilai
tersebut diduga akibat hal yang sama seperti parameter lainya. Menurut Lee et al.
(2007), nilai VHS pada babi konvensional adalah 8-9v.
Pemberian larutan koloid atau kristaloid merupakan salah satu cara untuk
terapi sepsis dengan memperbaiki hemodinamika tubuh. Menurut Wittlinger et al.
(2010), koloid bermanfaat dalam pengelolaan sepsis, dengan melemahkan
hemotaksis sel darah putih melalui endothelial sel, menurunkan regulasi sel
mediator inflamasi dalam darah selama sepsis, dan memperbaiki fungsi paru
selama endotoksemia. Koloid juga merupakan cairan yang dapat segera mengisi
cairan intravaskuler dan lebih bertahan lama dibandingkan kristaloid. Menurut
Singh et al. (2009), resusitasi cairan kristaloid dapat meningkatkan kontraktilitas
miokardium, dan menurunkan oksida nitrat. Hasil yang diperoleh pada penelitian
ini menunjukan bahwa koloid atau kristaloid tidak mampu mencegah terjadinya
pembesaran jantung, nilai dari kelompok koloid atau kristaloid cenderung
meningkat pada semua parameter. Menurut Carcillo dan Fields (2002),
penggunaan cairan resusitasi koloid atau kristaloid belum pasti ditemukan
perbaikan pada fungsi jantung. Mekanisme yang mendasari timbulnya gangguan
fungsi jantung pada keadaan sepsis belum sepenuhnya dimengerti dan masih
banyak pertanyaan terkait patofisiologi pada tingkat selular, namun agen
proinflamasi sebagai dasar terjadinya gangguan fungsi jantung pada keadaan
sepsis sangatlah kuat (Priyantoro et al. 2010).
16
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Induksi sepsis pada anak babi dapat mengakibatkan pembesaran jantung
yang ditunjukan gambaran radiografi seperti, penurunan nilai L dan peningkatan
nilai CTR, A, dan HH. Resusitasi cairan koloid maupun kristaloid dianggap belum
mampu memperbaiki pembesaran jantung yang diakibatkan oleh sepsis dengan
mengembalikan ukuran jantung pada nilai normal.
Saran
Penelitian lanjutan melakukan evaluasi radiografi kardiovaskular dengan
diimbangi metode lain seperti Ultrasonografi (USG). Waktu pengambilan
radiografi diperpanjang lebih dari 6 jam setelah terapi resusitasi cairan, serta
induksi endotoksin menggunakan bakteri selain E.coli.
DAFTAR PUSTAKA
Azni A. 2014. Interpretasi Radiografi Jantung Anak Babi (Sus scrofa) pada
Manuver Rekrutmen Cedera Paru Akut Pediatri [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Baron JF. 2000. A new hidroxyethyl starch : HES 130/0,4 transfussion alternative
in transfusion medicine. Crit Care. Vol 2. No 20
Brandt S, Regueira T, Bracht H, Porta F, Djafarzadeh S, Takala J. 2009. Effect of
fluid resuscitation on mortality and organ function in experimental sepsis
models. Crit Care. 13:R186-96.
Braun B. 2005. Gelofusin®
Modified Fluid Gelatin: Clinical Facts. Germany (UK).
Melsungen.
Braun B. 2005. Safe and efficient fluid management. Ringerfundin® B. Braun
sharing expertise: Basic scientific information. [internet]. [diunduh 2015
Agustus 17]. Tersedia pada: http://www.bbraun.com.
Buchanan JW, Bücheler J. 1995. Vertebral scale system to measure canine heart
size in radiographs. JAVMA 206:194-199.
Burkovskiy I, Juan Zhou, Christian L. 2013. Use of Escherichia coli toxins in
sepsis models. Adv Biosc and Biotech. 4:424-429
Carcillo JA, Fields AI. 2002. Clinical practice parameters for hemodynamic
support of pediatric and neonatal patients in septic renjatan. Crit Care Med.
30(6): 1365-1378
17
Doran C. 2011. Hydroxyethyl starch for resucitation of trauma patient. JR Army
Med Corps 153(3):154-159
Gardner A, Thompson MS, Fontenot D, Gibson N, Heard DJ. 2007. Radiographic
evaluation of cardiac size in flying fox species (Pteropus rodricensis, P.
hypomelanus, and P. vampyrus). Journal of Zoo and Wildlife Medicine 38
(2):192-200.
Goldstein B. 2005. The Members of the International Consensus Conference on
Pediatric Sepsis. International pediatric sepsis consensus conference:
definitions for sepsis and organ dysfunction in pediatrics. Pediatr Crit Care
Med. 6: 2-7.
Guntur HA. 2008. SIRS, Sepsis dan Renjatan Sepsis (Imunologi, Diagnosis dan
Penatalaksanaan). Surakarta (ID): Sebelas Maret University Pr.
Hartanto WW. 2007. Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif. Bagian
Farmakologi Klinik dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran.
Lee MY, Lee SH, Lee SG, Park SH, Lee CY, Kim KH, Hwang S, Lim SY, Ahn
YK, Han HJ. 2007. Comparative analysis of heart functions in micro pigs
and conventional pigs using echocardiography and radiography. J Vet Sci.
8(1): 7-14.
Leksana E. 2009. SIRS, Sepsis, Keseimbangan Asam-Basa, Renjatan dan Terapi
Cairan. Semarang (ID): CPD IDSAI Jateng-Bagian Anestesi dan Terapi
Intensif FK Undip.
Martin GS, Eaton S, Mealer M, Moss M. 2005. Extravascular lung water in
patients with severe sepsis: a prospective cohort study. Crit Care. 9:74-82.
Merx MW, Weber C. 2007. Sepsis and the Heart. Circulation. 116: 793-802.
Morgan JP, Wolvekamp P. 2004. Atlas of Radiology of the Traumatized Dog and
Cat. 2nd
edition. Hannover (DE): Schlütersche Verlagsgesellschaft mbH.
Nguyen HB, Rivers EP. 2005. The clinical practice of early goal-directed therapy
in severe sepsis and septic shock. Adv Sepsis. 4:126-133.
O'Brien JM, Ali NA, Aberegg SA, Abraham. 2007. Sepsis. Am J Med. 120:10 12-
1022
Permatasari HCA. 2013. Pengaruh pemberian Loading 500 cc hidroxylethil starch
130/0,4 (6%) terhadap tekanan darah dan denyut nadi pada pasien anastesi
spinal sectio cesarea [skripsi]. Semarang (ID): Universitas Diponogoro
Priyantoro K, Lardo S, Yuniadi Y. 2010. Cardiac Dysfunction due to Sepsis. J
Karadiol Indones. 31:177-86.
Putri HY. 2014. Faktor risiko sepsis pada pasien dewasa di RSUD Dr. Kariadi
[skripsi]. Semarang (ID): Universitas Diponogoro
Runge MS, Greganti MA. 2009. Netter’s Internal Medicine 2nd
edition.
Philadelphia (USA): Saunders Elsevier. P.644-9
Schortgen F, Deye N, Bochard L. 2004. Preferred plasma volume expanders for
critically ill patients: result of an international survey. Intensive Care Med.
30:222-229.
Singh A, Carlin BW, Shade D, Kaplan PD. 2009. The use of hypertonic saline for
fluid resuscitation in sepsis. Crit care nurse Q. 32(1): 10-13.
Shih CC, Chen SJ, Chen A, Wu JY, Liaw WJ, Wu CC. 2008. Therapeutic effects
of hypertonic saline on peritonitis-induced septic shock with multiple organ
dysfunction syndrome in rats. Crit Care Med. 36:1867-1872.
18
Smith FWK. 2009. Thoracic Radiography of Cardiac Disease. 81st
Western
Veterinary Conference 1:26-27.
Tayal R. 2004. Radiographic Diagnosis in Pet Practice. Di dalam Chander S:
Compendium of Training Pet Animal Practice. Hisar (IN): CCS Haryana
Agricultural University.
Thrall DE. 2002. Textbook of Veterinary Diagnostic Radiology. 4th
edition.
London (GB): WB Saunders Co.
Toombs JP, Wildmer WR. 1994. Evaluating Canine Cardiovascular
Silhouttes:Radiography Method and Normal Radiography Anatomy. Di
dalam Moon M, Diplomate: Radiology in Practice. New Jersey (US):
Veterinary Learning System.
Vincent JL, Abraham E. 2006. The last 100 years of sepsis. Am J Respir Crit Care
Med. 173:256-263.
Vincent, JL, Rello J, Marshall J, Silva E, Anzueto A, Martin CD, Moreno R,
Lipman J, Gomersall C, Sakr Y. 2009. EPIC II group of investigators: In-
ternational study of the prevalence and outcomes of in-fection in intensive
care units. JAMA. 302:2323-2329
Wittlinger M, Schla M, Conno ED, Z graggen BR, Reyes L, Booy C, Schimmer
RC. 2010. The effect of hydeoxyethil (HES 130/0,42 and HES 100/0,5) on
activated renal tubular ephitilial Cells. Crittical Care and Trauma. Vol.110,
no.2
Zander R. 2006. Fluid Management. Bibliomed. Germany (UK). Melsungen. 18-
31
19
RIWAYAT
Penulis dilahirkan di Sukabumi, 12 September 1992 sebagai anak pertama
dari dua bersaudara pasangan bapak Hery Suherna dan ibu Ati Rosniawati.
Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN Sukawayana pada tahun
2005, dan melanjutkan pendidikan sekolah menegah pertama di SMPN 1 Cisolok
hingga lulus pada tahun 2008. Penulis berhasil menyelesaikan penididikan
sekolah menengah atas di SMAN 1 Sukabumi pada tahun 2011. Pada tahun 2011
pula penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
melalui jalur SNMPTN Undangan.
Selama masa perkuliahan penulis aktif diberbagai organisasi, penulis pernah
menjadi pengurus Unit Kegiatan Mahasiswa LISES Gentra Kaheman pada tahun
2012-2014, penulis juga pernah menjabat sebagai wakil ketua HIMPRO Satwaliar
periode 2014. Penulis pernah mengikuti beberapa kepanitiaan di FKH IPB, salah
satunya, penulis pernah menjadi ketua kegiatan Mahasiswa Abdi Nusantara di
Provinsi Riau pada tahun 2014.