Post on 16-Apr-2017
ETNOGRAFI KEMATIAN DALAM PERSPEKTIF BUDAYA JAWA
DI MUSEUM ETNOGRAFI
FAKULTAS ILMU SOSIAL POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
TANGGAL 15 SEPTEMBER 2016
OLEH
DR. IMAM SUNARNO, DRS., SST., M.KES
DOSEN POLTEKKES KEMENKES
MALANG
POKOK BAHASAN
1. Latar Belakang
2. Tanda - Tanda Orang yang akan Meninggal
3. Makna Kematian bagi Budaya Jawa
4. Dunia Arwah setelah Kematian (Keberadaan Alam setelah
Kematian)
5. Perilaku Arwah setelah Kematian
6. Upacara / Prosesi Budaya untuk Orang yang Meninggal dan
Makna dibalik Prosesi
1. Latar Belakang
Kehidupan manusia dalam budaya Jawa diyakini terjadi siklus kehidupan yang setiap
manusia akan terkena hukum siklus kehidupan ini. Siklus kehidupan ini dalam budaya
Jawa dikenal sebagai jongko cokro manggilingan artinya bahwa setiap siklus tahapan
kehidupan selalu dimulai dari proses awal kehidupan dan diakhiri dengan proses akhir
kehidupan (kematian). Secara garis besarnya siklus kehidupan ini dapat digambarkan
sebagai berikut :
Gambaran siklus kehidupan manusia
Gambaran masuknya roh (Nur Muhammad) ke kehidupan manusia yang dipengaruhi oleh
unsur alam.
Tahapan kehidupan manusia ini mengikuti proses pertumbuhan perkembangan (life
cycle) sesuai dengan kodratnya. Pandangan budaya Jawa kehidupan dibagi dalam 9 masa
yaitu : masa kehamilan, kelahiran, bayi, anak, remaja, dewasa, tua, lanjut usia, kematian.
Dalam lagu mocopat yang dituturkan oleh B. P. :
“Masa lahir ditembangkan lagu Mijil, masa bayi ditembangkan lagu Kinanti, masa anak
ditembangkan lagu Mas Kumambang, masa remaja ditembangkan lagu Sinom, masa
dewasa ditembangkan lagu Asmorodono, permasalahan masa remaja dan dewasa
ditembangkan lagu Durmo, penyelesaian masa remaja dan dewasa ditembangkan lagu
Gambuh, dan setelah permasalahan terselesaikan ditembangkan lagu Dandang Gulo, masa
tua ditembangkan lagu Pangkur, masa lanjut usia ditembangkan lagu Megatruh,
sedangkan masa kematian ditembangkan lagu Pucung. ”
Sebagai pegangan orang hidup dalam membangun rumah tangga dicontohkan dalam
tembang Asmorodono dengan syair sebagai berikut :
Gegarane wong akrami, dudu bondo dudu rupo
Among ati paitane
Luput pisan keno pisan, yen gampang luweh gampang
Yen angel, angel sak langkung
Tan keno tinumbas arto
2. Tanda - Tanda Orang yang akan Meninggal
a. Tanda Tanda Menjelang Kematian
Tanda - tanda menjelang kematian biasanya dapat dibedakan dalam dua golongan
(sesuai dengan primbon Betaljemur Adammakna) dan sesuai dengan kejadian yang
dipercaya masyarakat jawa.
b. Tanda kematian yang bisa diketahui oleh diri sendiri.
Yang bisa diketahui atau dilihat oleh diri sendiri (Sasmita Kang Kawawas Dening
Tingal Pribadi),
Sering melihat sesuatu yang belum pernah dilihat sebelumnya Ini merupakan bahwa
ajalnya tinggal 1 tahun. Apa yang harus dilakukan oleh orang- tersebut, yaitu:
saatnya untuk memperbanyak dzikir kepada Tuhan, mengurangi kesenangan
duniawi, memupuk hati yang ikhlas untuk menerima segala sesuatu yang menimpa
dirinya, berperilaku jujur dan berperilaku dan berbudi pekerti yang baik (Laku
Utomo).
Sering mendengar sesuatu yang belum pernah didengar sebelumnya. Misalnya,
mendengar percakapan jin, setan dan binatang-binatang Ini merupakan tanda
datangnya ajal tinggal dari 6 bulan. Apa yang harus dilakukan oleh orang tersebut,
yaitu: saatnya berlaku hormat dan melakukan tilawat artinya memperbanyak
pemujaan saji-sajian, memperbanyak taubat dan berserah diri kepada Sang Pencipta
Alam. Juga memperbanyak perbuatan baik dengan disertai sikap sangat hati-hati
terhadap hidupnya sendiri.
Berubah penglihatan. Misalnya, pada bulan Muharram dan Sapar melihat langit
berwarna merah, melihat matahari dan bulan berwarna hitam pada bulan Mulud dan
Rabiul Akhir, melihat air berwarna merah pada bulan Rajab, melihat bayangannya
sendiri menjadi dua pada bulan Ramadhan dan Syawal, melihat nyala api berwarna
hitam pada bulan Dzulkaidah. ini merupakan pertanda ajalnya tinggal 2 bulan lagi.
apa yang harus dilakukan oleh orang tersebut, yaitu: saatnya untuk berwasiat dan
beriwayat, artinya memberi pesan-pesan dan mengajarkan ilmunya dengan rajin dan
ikhlas kepada anak cucu atau orang lain agar semua ilmu atau harta benda bisa
bermanfaat bagi kehidupan orang lain.
Lebih terperincinya tanda-tanda orang yang menghadapi kematian yang bisa diketahui
oleh diri sendiri dapat diperinci sebagai berikut:
Jika sering merasa capek dalam kehidupan, atau merasa bosan melihat situasi
kondisi alam dunia dan sering bermimpi bepergian mengarah ke utara. Merupakan
tanda datangnya kematian kurang 3 tahun;
Merasa rindu kepada orang-orang yang telah meninggal dunia dan sering bermimpi
memperbaiki rumah. Merupakan pertanda datangnya kematian kurang 2 tahun;
Sering melihat sesuatu yang sebenarnya tidak kelihatan. Merupakan tanda datangnya
kematian kurang 1 tahun;
Sering melihat segala sesuatu yang sifatnya hanya mata pribadi. Merupakan tanda
datangnya kematian kurang 9 bulan;
Sering mendengar suara yang tidak pernah didengar seperti pembicaraan jin,
pembicaraan setan, pembicaraan binatang. Merupakan tanda datangnya kematian
kurang 6 bulan;
Sering mencium bau roh halus (lelembut), baunya seperti kemenyan dibakar,
ditambah bau amis. Merupakan tanda datangnya kematian kurang 3 bulan;
Sering berubah penglihatan, melihat air berwarna merah, melihat bara api hitam.
Merupakan tanda datangnya kematian kurang 2 bulan;
Jari tengah dan jari manis ditekuk dan ditempelkan di epek-epek, kemudian jari
manis diangkat, epek-epek lengket dan terangkat. Merupakan tanda datangnya
kematian kurang 40 hari;
Tangan dilihat dari kedua mata, pergelangan tangan kelihatan terputus. Merupakan
tanda datangnya kematian kurang 1 bulan;
Kita sering melihat wajah kita sendiri. Merupakan tanda datangnya kematian kurang
15 hari;
Sudah menjadi pemalas dalam semua hal terkadang sudah tidak mau makan dan
tidak mau tidur. Merupakan tanda datangnya kematian kurang 1 minggu;
Sudah merasa gelisah disertai badan serba tidak enak kadang-kadang mengeluarkan
tinja tahun dan tinja kalong (kotoran berwarna hitam dan lengket) atau cacing
kalong. Merupakan tanda datangnya kematian kurang 3 hari;
Semua lubang sembilan- terasa mengeluarkan udara (babahan hawa 9), terkadang
merasa kasihan terhadap badannya sendiri. Merupakan tanda datangnya kematian
kurang 2 hari;
Otot pergelangan kaki sudah mengendor dan seluruh tubuh mengeluarkan keringat
basah (riwe kumyus) seperti kecapekan. Merupakan tanda datangnya kematian
kurang 1 hari;
Memegang kulit dan digesek tidak terasa berisik (kumrisik) dan denyut nadi
ditangan sudah tidak teraba, telinga tidak berbunyi bising. Merupakan tanda
datangnya kematian sudah waktunya.
(Sumber: Kitab Betal Jemur Adam Makna karangan K. P. Tjokroningrat dalam
Sumodjoyo, 1980: 229)
c. Tanda kematian yang bisa diketahui oleh orang lain.
Jika kehidupannya terlihat sengsara. Merupakan tanda datangnya kematian kurang 3
tahun;
Memiliki perilaku terjadi perubahan seperti biasanya. Merupakan tanda datangnya
kematian kurang 2 tahun;
Sudah memiliki perilaku yang serba baru. Merupakan tanda datangnya kematian
kurang 1 tahun;
Sudah berubah perilakunya dan sudah berubah kebiasaannya, misalnya pemarah
menjadi pemaaf, yang semula senang pada keramaian menjadi suka menyepi.
Merupakan tanda datangnya kematian kurang 6 bulan;
Sifat-sifatnya kembali pada perilaku anak. Merupakan tanda datangnya kematian
kurang 4 bulan;
Penglihatannya sudah kelihatan redup. Merupakan tanda datangnya kematian kurang
1 bulan;
Cahaya mata sudah mulai layu. Merupakan tanda datangnya kematian kurang 1
minggu;
Roman mukanya terlihat pucat, dan pandangan kosong, telinga lembek (kepleh),
lubang hidung mengecil, pada perabaan kulit badan dingin dan tercium bau tawar.
Merupakan tanda datangnya kematian sudah saatnya.
(Sumber lain dari Kitab Betal Jemur Adam Makna karangan K. P. Tjokroningrat
dalam Sumodjoyo, 1980: 229)
Dengan adanya tanda-tanda diatas baik secara individual maupun yang bisa
dilihat oleh orang lain maka pada umumnya dapat menerima walaupun rasa
kehilangan keluarga terhadap kematian tersebut belum bisa terhapuskan.
d. Kesulitan menghadapi kematian
Kadang-kadang untuk proses kematian bagi masyarakat Jawa juga mengalami
kesulitan artinya dalam perkiraan kondisi fisik dan mental sudah sangat parah dan
memprihatinkan dimata masyarakat, namun tetap masih hidup walaupun tidak mampu
berjalan dan memenuhi kebutuhan sehari hari juga perlu dibantu. Menurut anggapan
masyarakat kejadian seperti ini dapat dipengaruhi oleh beberapa hal misalnya: memiliki
ilmu dalam yang tinggi dan ilmunya belum mau ditinggal dan memiliki kesaktian yang
tinggi berupa susuk/ pusaka yang mempengaruhi kesaktiannya dan belum mau di
tinggalkan. Masih ada urusan keduniawian yang masih belum diselesaikan yang
menjadi beban pikirannya.
3. Makna Kematian Bagi Budaya Jawa
Istilah kematian atau mati bagi orang Jawa mengatakan sedo atau tinggal donya
merupakan salah satu proses keluarnya roh manusia dari jasadnya ( jasmani ) mlesate jiwo
/roh metu saka njero rogo. Keluarnya jiwa dari dalam rogo ini dikarenakan berbagai
macam sebab misalnya sakit, proses tua/ lanjut usia, kecelakaan, bunuh diri, dsb.
Dalam budaya Jawa, proses kematian dari berbagai sebab tersebut akhirnya
dikelompokkan menjadi dua proses kematian yaitu mati garing dan mati teles. Mati garing
yaitu proses kematian yang wajar sedangkan mati teles merupakan proses kematian yang
tidak wajar.
Dalam budaya Jawa ditembangkan Dandang Gulo berjudul dununge pati lan urip
Kaweruhono dununge pati lan urip
Lamun mbenjang tumeka ning palastro
Wong mati nangdi parane
Umpamakno peksi mabur
Oncat saking kurungan neki
Neng endi pencokan iro
Ojo kongsi kleru
Lamun mbenjang tumekaning sirno
Nang endi dununge pati lan urip
Bali mring asal iro
4. Dunia Arwah setelah Kematian
Dalam budaya Jawa dikenal Alam setelah kematian manusia yang masih menjadi teka
teki yang sulit dipecahkan karena keberadaannya sulit dibuktikan namun sering dijumpai
oleh kehidupan manusia dimana saja termasuk di seluruh dunia.
Keberadaan arwah sendiri dalam budaya Jawa dibagi dalam 3 wujud yaitu : 1) Sukmo
Ngumboro; 2) Sukmo Wurung; 3) Sukmo Sampurno.
1) Sukmo Ngumboro merupakan wujud arwah orang yang meninggal dalam penantian
atau menunggu saat mendapatkan pengampunan dari Tuhan Yang Maha Esa
2) Sukmo Wurung merupakan keberadaan kehidupan yang memang diciptakan oleh
Tuhan Yang Maha Esa tanpa pernah memiliki jasad / fisik. Pada umumnya kelompok
ini berada di Alam Bawono Tunggal Karso, contohnya kelompok jin, setan, iblis,
demit, genderuwo, dsb. Kelompok ini terkena hukum alam keno loro ora keno pati,
artinya bahwa dia bisa sakit tetapi tidak dapat mati.
3) Sukmo Sampurno merupakan arwah yang mencapai tingkat kesucian dan biasanya
kelompok ini adalah kelompok arwah yang pada masa hidupnya telah mencapai
kesempurnaan ilmu pengetahuan, tindakan maupun sikapnya yang selalu menjalankan
/ mematuhi perintah dan menjauhi segala larangan Tuhan Yang Maha Esa. Pada
kelompok ini biasanya masuk ke Alam Madyo Waseso bahkan bisa sampai ke Alam
Waseso.
Adapun alam lain dalam budaya Jawa dinamakan akhirat atau kelanggengan dan alam lain
tersebut dibagi menjadi 3 bagian yaitu:
1. Alam Bawono Tunggal Karso, yaitu alam kehidupan makhluk setelah meninggal yang
masih berada dan bersama kehidupan didunia yang masih dilengkapi dengan nafsu-
nafsu yang belum bisa sempurna.
2. Alam Madyo Waseso, yaitu alam kehidupan makhluk setelah meninggal namun masih
ada sebagian nafsu yang belum disempurnakan sehingga suatu saat masih kembali ke
dunia dan suatu saat dia berada dalam kondisi yang menyenangkan.
3. Alam Waseso, yaitu alam tempat kembalinya asal muasal manusia yang sempurna
setelah kematian dan tidak ingat, tidak merasakan dan tidak akan kembali di dunia
untuk selamanya, kondisi ini jika sudah mampu mengikhlaskan semua yang ada
didunia dan sudah mampu menyempurnakan dan meninggalkan semua nafsu-nafsunya
(kamil mukamil, tarki, tanajul) pribadi yang mencapai kesucian seperti asal mula
manusia sebelum lahir. Berdasarkan keterangan diatas dapat digambarkan alam setelah
kematian adalah sebagai berikut :
Tempat kembalinya asal
muasal manusia
(Manunggaling Kawulo Gusti)
Kesempurnaan manusia pada
kondisi di tengah-tengah
Kondisi keberadaan alam
yang masih belum
mencapai kesempurnaan
Kondisi alam yang
merupakan tempat
kegelapan dan kesengsaraan
WASESO
MADYA
WASESO
BAWONO
TUNGGAL
KARSO
BLUWENG
5. Perilaku Arwah setelah Kematian
Perilaku arwah setelah meninggal dunia masih misterius, kita hanya dapat melihat fakta
yang banyak dijumpai di masyarakat, misalnya orang yang dinyatakan mati teles
(meninggal yang bukan sewajarnya). Biasanya arwahnya masih belum mengalami
ketenangan sehingga kadang - kadang masih menampakkan diri dan hal ini diperlukan
bantuan dari keluarga / orang lain untuk membantu menyempurnakannya. Sedangkan
untuk mati garing (kematian wajar) biasanya lebih bisa meninggalkan dunia dengan penuh
ikhlas walaupun kadang - kadang masih berada di Alam Bawono Tunggal Karso. Namun
jika seseorang sudah memiliki ilmu pengetahuan / amalan sesuai dengan petunjuk Tuhan
Yang Maha Esa, dia mampu langsung masuk Alam Madya Waseso bahkan bisa ke Alam
Waseso (kesempurnaan / Manunggaling Kawulo Gusti).
6. Upacara / Prosesi Budaya untuk Orang yang Meninggal dan Makna Dibalik Prosesi
a. Hari Kematian
Hari kematian menurut Budaya Jawa, merupakan hari atau saat keluarnya roh dari
jasad seseorang, orang Jawa lebih sering menyebut dengan hari na-as / geblag / sedone
seseorang, hari kematian ini (dino pasaran) dipergunakan sebagai pedoman awal untuk
acara prosesi selamatan maupun upacara adat berikutnya.
Hari na-as (jumlah dino pasaran) ini merupakan gambaran masa depan anak cucu
atau keturunan atau keluarganya misalnya dengan menghitung neptu dina pasaran pada
saat meninggal dijumlahkan kemudian dihitung: gunung, guntur, segara, asat. Jika
jatuh pada Gunung maka rezeki keluarga dan anak turunnya berlimpah seperti Gunung.
Jika jatuh pada Guntur maka rezeki keluarga yang ditinggalkan akan mengalami
penurunan dan kekeringan.
Jika jatuh pada Segara maka rezeki keluarga yang ditinggalkan akan selalu
bersumber dan tidak habis-habis seperti air samudra. Jika jatuh pada Asat maka
gambaran rezeki keluarga yang ditinggalkan akan serba pas-pasan bahkan mengarah ke
kekurangan termasuk untuk doa selamatan pun selalu serba kekurangan.
Kematian pada hari Jumat Legi dan Selasa Kliwon.
Hari Jum’at Legi disebut dengan hari sukro manis dan hari Selasa Kliwon disebut
dengan hari anggoro kasih, merupakan waktu meninggal yang istimewa.
Dikatakan istimewa atau hari yang dikeramatkan karena yang meninggal pada hari itu
diyakini oleh masyarakat Jawa memiliki kelebihan dibandingkan hari lain, sehingga
yang meninggal pada hari tersebut biasanya dijaga keamanan mayatnya setelah
dimakamkan sampai 7 hari
Adapun untuk menentukan neptu dino dan pasaran dalam budaya Jawa seperti tabel
berikut :
Dino Neptu Pasaran Neptu
Senin 4 Kliwon 8
Selasa 3 Legi 5
Rabu 7 Pahing 9
Kamis 8 Pon 7
Jum’at 6 Wage 4
Sabtu 9
Minggu 5
b. Brobosan
Yakni suatu upacara yang diselenggarakan di halaman rumah orang yang meninggal.
Waktunya pun dilaksanakan ketika jenazah akan diberangkatkan ke peristirahatan
terakhir (dimakamkan) dan dipimpin oleh salah satu anggota keluarga yang paling tua.
Tata cara pelaksanaannya antara lain: 1) Keranda/peti mati dibawa keluar menuju ke
halaman rumah dan dijunjung tinggi ke atas setelah doa jenazah selesai; 2) Secara
berturutan, para ahli waris yang ditinggal (mulai anak laki-laki tertua hingga cucu
perempuan) berjalan melewati keranda yang berada di atasnya (mbrobos) selama tiga
kali dan searah jarum jam; 3) Secara urutan, yang pertama kali mbrobosi keranda
adalah anak laki-laki tertua dan keluarga inti, selanjutnya disusul oleh anak yang lebih
muda beserta keluarganya mengikuti di belakang.
Upacara ini dilakukan untuk menghormati, menjunjung tinggi, dan mengenang jasa-
jasa almarhum semasa hidupnya dan memendam hal-hal yang kurang baik dari
almarhum. Dalam istilah jawanya disebut “Mikul dhuwur mendhem jero”.
c. Prosesi Selamatan Hari Kematian
Prosesi selamatan orang yang sudah meninggal dilakukan sebanyak 8 kali terhitung
sejak orang tersebut meninggal.
Menurut pujangga untuk mempermudah mengingat yang menciptakan di ciptakan
lagu mocopat Sinom yang berbunyi sebagai berikut:
“Siji-siji yen nyurtanah, telu-telu telung ari, pitu loro pitung dina, lima-lima
kawandesi, loro lima nyatusi, papat-papat pendhakipun, kanem lawan kalima
wilujengan sewu ari, den pratitis dino taun sasi tanggal”
Artinya, satu-satu untuk nyurtanah, tiga-tiga untuk tiga hari, tujuh dua untuk tujuh hari,
lima-lima untuk empat puluh hari, dua lima untuk seratus hari, empat-empat untuk satu
tahun, enam lima untuk seribu hari, perhatikan secara teliti hari, tahun, bulan dan
tanggalnya.
Tujuan singkatnya adalah untuk mengantarkan langkah orang mati tersebut dalam
perjalanannya menuju kesempurnaan baik jiwa maupun raganya.
1) Upacara prosesi selamatan pada hari pertama disebut Ngesur / Njur Tanah. Acara
syukuran yang dilakukan biasanya setelah jenazah diberangkatkan di pemakaman
dengan menyediakan buceng ungkur-ungkur yang artinya keluarga berharap yang
meninggal dengan ikhlas meninggalkan alam dunia ini dan menuju alam akhirat
dengan penuh keikhlasan dan dimudahkan jalannya dan tempat kuburnya.
Sedangkan yang ditinggalkan semoga dapat melupakan yang meninggal dan
menghilangkan rasa berkabungnya dan selanjutnya segera dapat mengurus keluarga
yang ditinggalkan (masing hidup di dunia). Cara menentukannya dengan rumus
nojisarji (dino kesiji pasaran kesiji).
2) Nelung dina atau selamatan setelah tiga hari kematian, cara menentukan waktu
selamatan hari dan pasaran nelung dina digunakan rumus nolusarlu, yaitu hari ketiga
dan pasaran ketiga. Tujuannya untuk menyempurnakan nafsu yang ada dalam jasad
manusia yang berasal dari bumi, api, air dan angin.
Kondisi jasad / mayat : mulai membengkak (ngabuh-abuhi)
Kondisi arwah : masih berada di sekitar rumah (ngubeng omah)
3) Mitung dina atau selamatan setelah tujuh hari kematian, Cara menentukan waktu
selamatan hari dan pasaran mitung dina digunakan notusaro, yaitu hari ke ketujuh
dan pasaran kedua. Tujuannya untuk menyempurnakan kulit dan rambutnya.
Kondisi jasad / mayat : mulai meletus / mengeluarkan gas dari dalam tubuh
(mbledos)
Kondisi arwah : masih berada di sekitar rumah (ngubeng omah)
4) Matangpuluh dina atau selamatan setelah 40 hari kematian, Cara menentukan
waktu selamatan hari dan pasaran matangpuluh dina digunakan rumus nomasarma,
yaitu hari kelima dan pasaran kelima. Tujuannya untuk menyempurnakan anggota
tubuh yang merupakan titipan dari kedua orang tua, yaitu ; darah, daging, sungsum,
tulang dan otot.
Kondisi jasad / mayat : mulai proses pembusukan (mbosoki)
Kondisi arwah : mulai menjauh dari rumah, namun kadang – kadang masih kembali
ke rumah (ngedohi omah)
5) Nyatus dina atau selamatan setelah 100 hari kematian, Cara menentukan waktu
selamatan hari dan pasaran digunakan rumus perhitungan hari norosarma, yaitu hari
kedua dan pasaran kelima. Tujuannya untuk menyempurnakan badan / jasadnya.
Kondisi jasad / mayat : mulai mengering dari cairan tubuh (ngesat – ngesati)
Kondisi arwah : mulai terputus hubungan dengan keluarga
6) Mendhak sepisan atau selamatan setelah satu tahun kematian, Cara menentukan
waktu selamatan hari dan pasaran mendhak pisan digunakan rumus nopatsarpat
yaitu hari keempat dan pasaran keempat. Tujuannya merupakan selamatan telah
sempurnanya kulit daging dan semua isi perut.
Kondisi jasad / mayat : daging sudah habis tinggal tulang belulang
Kondisi arwah : sudah mulai menjauh dari keluarga
7) Mendhak pindho atau selamatan setelah dua tahun kematian, Cara menentukan
waktu selamatan hari dan pasaran mendhak pindho digunakan rumus norosarpat,
yaitu hari kedua dan pasaran keempat. Tujuannya merupakan selamatan setelah
sempurnanya semua anggota badan selain tulangnya.
Kondisi jasad / mayat : antara persendian sudah mulai terlepas (balung gonggang)
Kondisi arwah : mulai menjauh dari rumah
8) Nyewu atau selamatan setelah seribu hari kematian, Cara menentukan waktu
selamatan hari dan pasaran seribu hari (nyewu) digunakan rumus nonemsarma yaitu
hari keenam dan pasaran kelima. Tujuannya selamatan itu, karena telah
sempurnanya jasad manusia termasuk bau dan rasanya. Sehingga manusia yang
meninggal itu telah menyatu dengan tanah yang merupakan asal muasalnya.
Kondisi jasad / mayat : tulang belulang ada yang mengumpul menjadi satu diatas
atau ditengah atau dibawah, adapula tulang belulang tetap membujur, ada juga
tulang belulang yang berserakan (morat marit). Ini merupakan fenomena yang
belum bisa terkuak dari ketiga perbedaan ini.
Kondisi arwah : menempati alam yang semestinya sesuai dengan ilmu pengetahuan,
tingkah laku dan amal perbuatannya selama hidup di dunia.
Untuk lebih rincinya dalam menentukan hari selamatan adalah sebagai berikut:
Seandainya meninggal jatuh pada hari Senin Kliwon, untuk selamatan 3 hari, harinya
= yang ke-3 (hari ke-3 sesudah Senin yaitu hari Rabu). Untuk pasaran, pasaran ke-3
sesudah hari Kliwon yaitu pasaran Pahing, jadi selamatan 3 hari jatuh pada hari Rabu
Pahing. Demikian dan seterusnya seperti yang disebutkan dalam Pupuh Sinom. Khusus
selamatan 1000 hari ada pedoman lain lagi berwujud singkatan Sidurro, artinya sasine
mundur loro dan Tanggale Durmo artinya tanggale mundur limo. Seandainya
meninggal tanggal 19 Suro, maka selamatan 1000 hari sebagai berikut: Tanggal 19
dikurangi 5, jadi jatuh pada tanggal 14. Untuk bulan; bulan Suro mundur 2 bulan ke
belakang, jatuh pada bulan Dulkangidah. Jadi, 1000 harinya jatuh pada tanggal 14
bulan Dulkangidah.
Tabel Menghitung Hari / Dino Selamatan
Kematian 3 hari 7 hari 40 hari 100 hari 1 tahun 2 tahun 1000 hari
1 2 3 4 5 6 7 8
Akad
Senen
Selasa
Rebo
Kemis
Jum’at
Sabtu
Selasa
Rebo
Kemis
Jum’at
Sabtu
Akad
Senen
Sabtu
Akad
Senen
Selasa
Rebo
Kemis
Jum’at
Kemis
Jum’at
Sabtu
Akad
Senen
Selasa
Rebo
Senen
Selasa
Rebo
Kemis
jum’at
Sabtu
Akad
Rebo
Kemis
Jum’at
Sabtu
Akad
Senen
Selasa
Selasa
Rebo
Kemis
Jum’at
Sabtu
Akad
Senen
Jum’at
Sabtu
Akad
Senen
Selasa
Rebo
Kemis
Tabel Menghitung Hari Pasaran
Kematian 3 hari 7 hari 40 hari 100 hari 1 tahun 2 tahun 1000 hari
1 2 3 4 5 6 7 8
Kliwon
Legi
Paing
Pon
Wage
Paing
Pon
Wage
Kliwon
Legi
Legi
Paing
Pon
Wage
Kliwon
Wage
Kliwon
Legi
Paing
Pon
Wage
Kliwon
Legi
Paing
Pon
Pon
Wage
Kliwon
Legi
Paing
Wage
Kliwon
Kliwon
Legi
Paing
Wage
Kliwon
Legi
Paing
Pon
Contoh jika meninggalnya pada hari Selasa Legi, maka: Selamatan 3 harinya jatuh pada
Kamis Pon (kolom 1 hari Selasa diurut ke kolom 2) jatuh hari Kamis. Hari Pasaran
Legi (kolom 1 diurut ke kolom 2). Jatuh pada Pasaran Pon. Jadi jatuh pada hari Kamis
Pon, Selamatan 7 hari jatuh pada hari Senin Pahing (kolom 3), Selamatan 40 hari jatuh
pada hari Sabtu Kliwon (kolom 4). Selamatan 100 hari jatuh pada hari Rabu Kliwon
(kolom 5), Selamatan 1 Tahun atau pendak 1 jatuh pada hari Jum’at Wage (kolom 6),
Selamatan 2 Tahun atau pendak 2 jatuh pada hari Kamis Kliwon (kolom 7), Selamatan
1000 hari jatuh pada hari Akad Kliwon (kolom 8),
DAFTAR PUSTAKA
Foster dan Anderson, 1986. Antropologi Kesehatan, Jakarta, Universitas Indonesia.
Harya Tjakraningrat, 2005. Kitab Primbon “Lukmanakim Adammakna, Yogyakarta,
Soemodjojo Mahadewa.
Koentjaraningrat, 1984. Kebudayaan Jawa,Jakarta, Balai Pustaka.
Soekidjo Notoatmodjo, 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Jakarta, PT Rineka
Cipta.
Soemadyah Noeradyo Siti Woerjan, 1980. Kitab Primbon “Betaljemur Adammakna”,
Yogyakarta, Soemodjojo Mahadewa.
Imam Sunarno, 2012. Konsep Sehat Menurut Perspektif Budaya Jawa, Disertasi, Surabaya,
Zoetmulder Petrus Josephus, 1990. Manunggaling Kawula Gusti “Pantheisme dan Monisme
dalam Sastra Suluk Jawa”, Jakarta , Gramedia Pustaka Utama.