KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

90
KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) Oleh: Abdul Basit NIM. 108034000018 PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H./2014 M.

Transcript of KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

Page 1: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Oleh:

Abdul Basit

NIM. 108034000018

PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1435 H./2014 M.

Page 2: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)

Oleh:

Abdul Basit

NIM. 108034000018

Pembimbing:

Dr. M. Suryadinata, MA

NIP. 19600908 198903 1 005

PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1435 H./2014 M.

Page 3: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

i

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 21 Agustus 2014

Abdul Basit

Page 4: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

ii

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah diuji pada Sidang Terbuka pada:

Hari, tanggal : Kamis, 21 Agustus 2014

Pukul : 14. 00-15.30 WIB

Pembimbing : Dr. M. Suryadinata, MA

Ketua Sidang : Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA

Sekretaris : Jauhar Azizy, MA

Tim Penguji : 1. Dr. Abd. Moqsith, MA

2. Jauhar Azizy, MA

Page 5: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

iii

PERSETUJUAN PARA PENGUJI

Skripsi berjudul “KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN PERSPEKTIF IBN

KATHĪR” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, pada 21 Agustus 2014. Skripsi ini telah diterima

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) pada

Program Studi Tafsir-Hadis.

Jakarta, 01 Oktober 2014

Sidang Munaqasyah,

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA Jauhar Azizy, MA

NIP. 19711003 199903 2 001 NIP. 19820821 200801 1 012

Anggota,

Penguji I Penguji II

Dr. Abd. Moqsith, MA Jauhar Azizy, MA

NIP. 19710607200501 1 002 NIP. 19820821 200801 1 012

Pembimbing,

Dr. M. Suryadinata, MA

NIP. 19600908 198903 1 005

Page 6: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

iv

ABSTRAK

Abdul Basit, “Kematin dalam al-Qur’an Perspektif Tafsir Ibn Kathīr”.

Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2014.

Kematian adalah keluarnya atau terpisahnya ruh dari jasad. Di

dalam kehidupan makhluk yang bernafas pastilah akan bertemu dengan

yang namanya kematian. Akan tetapi sepertinya banyak yang seakan-akan

tidak peduli dengan kematian.

Kematian bagi manusia sebagai makhluk yang berfikir dianggap

sesuatu hal yang menakutkan dan menyeramkan. Karena manusia berfikir

bahwa kalau sudah menemui ajal atau kematian pastilah semua

kesenangan dan semua hal-hal yang mengenakan di dunia akan

ditinggalkan, pemikiran yang seprti itu adalah merupakan pemikiran bagi

manusia yang tidak percaya dengan keimanan ataupun ketaqwaan dan juga

manusia yang hanya mementingkan kepentingan duniawi.

Di zaman ini banyak sekali manusia yang tidak memikirkan mati

sesudah hidup, Karena godaan kehidupan dunia, seperti pergaulan/tata

cara berpakaian/kedudukan/pangkat/jabatan dan uang, padahal semua

orang akan mengalami kematian cepat ataupun lambat ini hanya masalah

waktu saja. Supaya untuk meraih kematian yang khusnul khatimah kita

harus selalu mengingat mati dengan cara melakukan amal kebaikan.

Mengingat Kematian tidak berarti bahwa kita tidak boleh bekerja untuk

memenuhi keperluan hidup di dunia, tetapi dalam mencari

harta/pergaulan/tata cara berpakaian/mencari jabatan, tidak melakukan

perbuatan yang haramkan oleh Allah.

Dalam menyusun Skripsi ini penulis memfokuskan/memakai

dengan motode argumentasi dan juga menggunakan penelitian

Kepustakaan (Library Research). Buku rujukan yang paling utama adalah

Tafsīr al-Qur’ān al-Aẓīm Karya Ibn Kathīr dan juga sebagai buku yang

membantu yaitu Tesis, Majalah, Web dan dari artikel. Skripsi ini

diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam mengembangkan ilmu

pengetahuan, khususnya mengenai kematian. Selain itu skripsi ini

diharapkan mampu meningkatkan kadar keimanan dan ketakwaan manusia

sehingga dengan keimanan dan ketakwaan tersebut manusia mampu

menghadapi kematian dengan khusnul khatimah.

Page 7: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

v

KATA PENGANTAR

Alḥamdulillāh Rabb al-Ālamin

Allahumma Ṣalli ‘alā Muḥammad wa ‘alā Āli Muḥammad

Dengan penuh kesadaran diri dan segala kerendahan hati, bahwa Allah-lah

pemilik kesempurnaan, dan saya hanya manusia biasa yang penuh akan

kekhilafan yang mencoba untuk memahami setiap perintah-Nya.

Segala puji dan syukur kepada Allah, Sang Pencipta, karena Dialah saya

ada di dunia ini, dan karena Dialah saya selalu bersemangat dalam hidup.

Shalawat serta salam teruntuk Nabi Muhammad saw, yang telah

mengajarkan suatu kebenaran yang telah beliau jalankan, dan terbukti akan

kehebatan Allah swt.

Melalui upaya dan usaha yang melelahkan, akhirnya dengan limpahan

karunia-Nyalah, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.

Berbagai kesulitan, cobaan dan hambatan yang penulis rasakan dalam penyusunan

skripsi ini, alḥamdulillāh dapat teratasi berkat tuntunan serta bimbingan-Nya dan

bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ungkapan

rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, selaku Rektor UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para pembantu Dekan.

Page 8: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

vi

3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis.

Bapak Jauhar Azizy, MA., selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis.

4. Dr. M. Suryadinata, MA., mencakup juga sebagai dosen pembimbing

skripsi atas bimbingan dan arahannya dalam proses penyelesaian skripsi

ini.

5. Bapak Dr. Abd. Moqsith, MA., dan Jauhar Azizy, MA., selaku dosen

penguji atas arahan perbaikan skripsi.

6. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin yang telah memberikan didikasinya

mendidik penulis, memberikan ilmu, pengalaman, serta pengarahan

kepada penulis selama masa perkuliahan.

7. Kepada Ayahanda saya (Alm) H. Abdul Karim bin H. Abdul Hamid

Hasyim, Ibunda saya Hj.Choiriyah binti KH. Abdurrahim Shofa, Ayah

angkat saya Bapak Endang bin H. Atmaja, Umi angkat saya Umi Nunung

binti H. Elang yang tak henti mendo’akan saya, mendidik saya, sampai

saya dapat berpijak pada diri saya sendiri.

8. Segenap pimpinan dan karyawan perpustakaan. Yang telah melayani

penulis dalam mempergunakan buku-buku dan literatur yang penulis

butuhkan selama penyusunan skripsi ini.

9. Tak lupa pula kepada segenap karyawan Perpustakaan Utama,

Perpustakaan FUF UIN, Perpustakaan Umum Iman Jama, Perpustakaan

Umum PSQ, Perpustakaan Pascasarjana UIN dan Perpustakaan LIPI.

10. Kepada Abang dan Kakak saya yang telah memberikan motivasi dan

dorongan semangat kepada saya.

Page 9: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

vii

11. Kepada Saudara-saudara saya yang tidak dapat saya sebutkan namanya

satu persatu, yang telah membantu saya dalam penulisan skripsi ini dan

telah memberikan pemikirannya serta masukannya dan atau kritikannya

dalam penulisan skripsi ini.

12. Seluruh keluarga besar Tafsir Hadis angkatan 2008 yang selalu

memberikan warna-warni indahnya persahabatan.

13. Kepada pihak-pihak yang turut membantu dan berperan dalam proses

penyelesaian skripsi ini, namun tidak luput untuk penulis sebutkan, tanpa

mengurangi rasa terimakasih penulis.

Harapan penulis semoga skripsi ini sedikit banyak dapat bermanfaat bagi

para pembaca dan semoga Allah swt selalu memberkahi dan membalas semua

kebaikan pihak-pihak yang turut serta membantu penyelesaian skripsi ini.

Āmīn yā Rabb al-Ālamīn.

Ciputat, 20 September 2014

Abdul Basit

Page 10: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

viii

PEDOMAN TRANSLITERASI

A. Konsonan

gh ═ غ r ═ ر ’ ═ ء

f ═ ف z ═ ز b ═ ب

q ═ ق s ═ س t ═ ت

k ═ ك sh ═ ش th ═ ث

l ═ ل ṣ ═ ص j ═ ج

m ═ م ḍ ═ ض ḥ ═ ح

n ═ ن ṭ ═ ط kh ═ خ

w ═ و ẓ ═ ظ d ═ د

h ═ ة/ه (ayn) ‘ ═ ع dh ═ ذ

y ═ ي

B. Vokal dan Diftong

Vokal Pendek Vokal Panjang Diftong

═ a ا— ═ ā ى ═ ī

═ i ى— ═ á وو ═ aw

═ u و— ═ ū يو ═ ay

C. Keterangan Tambahan

1. Kata sandang ال (alif lam maʽrifah) ditransliterasi dengan al-, misalnya

al-dhimmah. Kata sandang (الذمة) al-āthār dan (الآثار) ,al-jizyah (الجزية)

ini menggunakan huruf kecil, kecuali bila berada pada awal kalimat.

Page 11: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

ix

2. Tashdīd atau shaddah dilambangkan dengan huruf ganda, misalnya al-

muwaṭṭaʽ.

3. Kata-kata yang sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia, ditulis

sesuai dengan ejaan yang berlaku, seperti al-Qur’an, hadis dan lainnya.

Page 12: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................

TIM PENGUJI SKRIPSI .....................................................................................

PERSETUJUAN PARA PENGUJI .....................................................................

ABSTRAK ..............................................................................................................

KATA PENGANTAR ...........................................................................................

PEDOMAN TRANSLITERASI ...........................................................................

DAFTAR ISI ..........................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................

A. Latar Belakang Masalah .......................................................................

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...................................................

C. Tujuan Penulisan ..................................................................................

D. Metode Penelitian .................................................................................

1. Metode Pengumpulan Data..............................................................

2. Metode Pembahasan ........................................................................

3. Teknik Penulisan .............................................................................

E. Tinjauan Pustaka ..................................................................................

F. Sistematika Penulisan ...........................................................................

BAB II TEMA-TEMA KEMATIAN DALAM AYAT AL-QUR’AN ...............

A. Ketentuan yang Pasti QS. 4: 78, dan QS. 23: 15 ..................................

B. Tiap-tiap Umat Mempunyai Ajal yang Pasti QS. 7: 34, QS. 10: 49,

QS. 15: 5, QS. 16: 61, QS. 17: 58, dan QS. 35: 45 ..............................

i

ii

iii

iv

v

viii

x

1

1

6

7

7

7

8

8

9

11

13

13

19

Page 13: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

xi

C. Sesaat Menjelang Mati QS. 50: 19, dan QS. 56: 83-87 ........................

D. Cobaan-cobaan QS. 67: 2 .....................................................................

BAB III PENGERTIAN DAN PENDAPAT ULAMA TENTANG

KEMATIAN .....................................................................................

A. Makna Kematian ..................................................................................

1. Pengertian Kematian Menurut Kebahasaan .....................................

2. Sebab Perubahan Keadaan pada Saat Kematian ..............................

B. Tanda-tanda Kematian ..........................................................................

C. Cara Menghadapi Kematian dengan Bertobat ......................................

BAB IV KEMATIAN MENURUT IBN KATHĪR .............................................

A. Kematian dalam Pandangan Ibn Kathīr ................................................

B. Ayat-ayat Kematian ..............................................................................

1. QS. al-Nisa’ [4]: 78 .........................................................................

2. QS. Ali ‘Imran [3]: 185 ...................................................................

3. QS. Ali ‘Imran [3]: 156-158 ............................................................

4. QS. al-Jumu’ah [62]: 5-8 .................................................................

BAB V PENUTUP .................................................................................................

A. Kesimpulan ...........................................................................................

B. Saran-saran ...........................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................

27

30

31

31

31

37

39

43

47

47

48

48

59

65

68

73

73

73

75

Page 14: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berbicara mengenai kematian bukanlah suatu hal yang mudah karena di

samping pengetahuan manusia tentang hal tersebut sangat terbatas. Hidup dan

menghembuskan nafas itu adalah satu hakikat yang sulit dibantah dan hampir

tidak diperdebatkan oleh manusia.1

Sedangkan manusia terkadang tidak sadar setelah tidak menghembuskan

nafas, akan mengalami suatu proses yaitu kematian, yang mana proses itu

terkadang tidak diperhatikan oleh sekalian manusia dan terkadang bahkan

dilupakan.2

Sebagai seorang Muslim yang beriman, mereka harus percaya akan adanya

kematian yang selalu setia menunggunya. Banyak orang yang beranggapan bahwa

kematian hanyalah sebatas kelenyapan semata dan tidak ada hari kebangkitan

(pembalasan amal) setelahnya. Seperti halnya kaum Humanis di Barat, mereka

tidak percaya bahwa setelah kematian akan ada pembalasan atas amal kebaikan

dan kejahatan.3 Bagi mereka, kematian sama halnya dengan matinya hewan atau

keringnya dedaunan maupun tanaman. Mereka meyakini kematian pasti datang

menjemput, tetapi tidak mempercayai akan kehidupan selanjutnya yaitu akhirat.

Begitu besar perhatian al-Qur‟an dalam menerangkan fenomena kematian.

Sebagaimana tercatat, bahwa al-Qur‟an berbicara tentang kematian kurang lebih

1 M. Quraish Shihab, Menjemput Maut Bekal Perjalanan menuju Allah SWT

(Tanggerang: Lentera Hati, 2005) h. 18 2 M. Quraish Shihab, Menjemput Maut Bekal Perjalanan menuju Allah SWT, h. 19

3 Qomaruddin SF. dalam Alwi Shihab, Zikir Sufi-Menghampiri Ilahi dengan Tasawuf,

(Jakarta: Serambi, 2003), h. 145.

Page 15: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

2

sebanyak 300 ayat. disamping itu pula ada juga hadis Nabi saw. baik yang shahih

maupun dhaif.4 Salah satu hadis Nabi yang penulis paparkan tentang kematian

adalah:

ا ال ك ل ما ا ك اكا نك ل ك سا ك ك م كاام ك ا نك ل ك ا ك ل ال ك ي س

“Orang yang cerdas ialah orang yang mengendalikan dirinya dan bekerja

untuk kehidupan setelah kematian.” (HR. al-Tirmidhī)5

Dengan adanya skripsi yang sederhana ini, penulis akan mencoba

membahas beberapa ayat al-Qur‟an yang memiliki hubungan erat tentang perihal

kematian. Di antara beberapa surat dan ayat yang akan penulis bahas tentang

tema-tema kematian adalah: QS. al-Nisā‟ [4]: 78; QS. Āli „Imrān [3]: 185, dan

156-158; QS. al-Jumu‟ah [62]: 5-8.

Kematian sebuah kata yang sederhana tetapi mengandung banyak makna

yang sangat dalam. Di dalam kehidupan makhluk yang bernyawa pastilah akan

bertemu dengan yang namanya kematian. Akan tetapi sepertinya mereka banyak

yang seakan-akan tidak peduli (tidak mau berfikir untuk mempersiapkan diri)

bertemu dengan kematian. Bagi sebagian manusia menganggap seolah-olah

kematian merupakan sesuatu hal yang menakutkan dan menyeramkan. Karena

manusia berfikir bahwa jika sudah menemui ajal atau kematian pastilah semua

kesenangan dan semua hal-hal yang meng-enakkan di dunia akan ditinggalkan.

Pemikiran yang seperti itu adalah merupakan pemikiran bagi manusia yang

memiliki keimanan dan ketaqwaan yang sangat tipis dan juga manusia yang hanya

mementingkan kehidupan duniawi semata. Akan tetapi akan berbeda bagi

4 M. Qurais Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, (Mizan: Bandung, 2007), h.

5 Muḥammad bin „Isā Abū „Isā Tirmidhī Salimī, Jāmi‟ al-Ṣaḥīḥ Sunan Tirmidhī, juz 9,

nomor 2647, (Beirut: tth), h. 337

Page 16: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

3

manusia yang berfikir dengan kesadaran dan keimanannya, pastilah mereka akan

selalu memikirkan dan memaknai arti sebuah kematian dengan segala upaya

untuk bisa mengambil pelajaran dan mempersiapkannya secara lebih matang dan

mendalam.

Melalui proses kematian, manusia di-ingatkan akan keberadaannya di

alam dunia ini. Ternyata jika direnungkan, kehidupan ini hanyalah sebatas

persinggahan. Dikatakan persinggahan karena waktu kesempatan hidup yang

tersedia untuk mereka hanya sementara. Tiap-tiap manusia tidak akan pernah tahu

kapan-kah waktu kesempatan hidup ini akan berakhir. Tidak ada satu pun manusia

di alam dunia ini yang dapat hidup kekal abadi. Karena yang hidup kekal abadi

hanyalah Allah swt, dan semua yang bernama makhluk apapun itu pasti akan

rusak binasa (menghadapi kematian).6

Penulis menganalisa bahwa orang yang terjerumus ke dalam kesibukan di

dunia, yang terpedaya oleh kemewahan dunia, dan yang lebih menyukai

kenikmatan yang diperoleh dengan perantaraan dunia pasti hatinya tidak ingat

akan kematian. Yang dapat disimpulkan bahwa dikodratkan dalam penciptaan di

dunia untuk beribadah dan mengabdi kepada Allah swt.

Jika ada seseorang yang membahas kepada mereka mengenai kematian

kemudian dia benci dan berpaling dari kematian dan bertambah jauhlah dari Allah

swt jika dia diingatkan kematian, maka dia akan menjadi orang yang celaka.

Biasanya orang tersebut akan berbuat yang sewenang-wenangnya dengan kata lain

mempunyai sifat-sifat yang tidak terpuji.

6 Imām al-Qurṭubī, Al-Tadhkirah fī Aḥwal al-Mauta wa „Umur al-Akhirah, (Beirut

Lebanon: Dār el-Marefah, 1996) h. 14.

Page 17: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

4

Adapun di antara orang-orang yang baik ialah bagi orang yang selalu

mengingat kematian, sebab dengan mengingat mati orang tersebut di arahkan

untuk selalu mengerjakan perbuatan yang terpuji dan menjauhi perkara yang

tercela atau menyebabkan murka Allah swt.7

Sebagaimana penulis mengambil salah satu ayat kematian dari

pembahasan skripsi ini yaitu firman Allah swt dalam QS. al-Nisā‟ [4]: 78.

Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu,

Kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh” (QS. al-Nisā‟

[4]: 78)

Seluruh manusia yang memegang teguh ajaran agama Islam diperintahkan

untuk senantiasa ingat kepada kematian agar mempersiapkan bekal untuk hidup

setelah mati semaksimal mungkin. Karena kematian itu pasti akan mendatangi

makhluk yang bernyawa sekalipun mereka bersembunyi di tempat yang kokoh

tetap akan diterobos oleh mati.

kematian merupakan kejadian yang sangat berat dan paling menakutkan

serta mengerikan. Padahal kematian itu pasti akan dialami oleh setiap makhluk

yang bernyawa. Apabila kematian sudah dikatakan suatu peristiwa yang paling

menakutkan serta akan dialami oleh setiap manusia. Maka melupakan mati atau

tidak pernah ingat mati sekalipun, dikatakan orang yang sangat bodoh dan

merupakan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan sama sekali.

Seseorang yang tidak pernah mengingat mati sedang dia pasti akan

mengalaminya, berarti ia akan menempuh kejadian yang hebat secara membabi

7 Imām al-Qurṭubī, Al-Tadhkirah fī Aḥwal al-Mauta wa „Umur al-Akhirah, h. 15.

Page 18: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

5

buta. Ibarat orang yang berpergian jauh disuatu daerah yang tidak pernah

dipelajari sebelumnya dan tidak pernah dipikir sebelumnya dalam keadaan yang

gelap gulita pula. Maka sudah pasti dia tidak akan dapat melangkah atau berjalan

ke alam yang gelap gulita itu dan dia pasti akan mempunyai perasaan yang gentar,

takut, bingung, dan tidak tahu jalan apa yang harus dilakukan.

Allah menghendaki kebaikan pada seseorang kalau orang itu sendiri suka

berbuat baik, sehingga orang itu senantiasa terpelihara dalam kebaikan sampai

akhir hayatnya dan meninggal dengan cara khusnul khatimah. Sebaliknya Allah

menghendaki seseorang berbuat keburukan dan kejahatan kalau orang itu sendiri

suka berbuat buruk. Sehingga dia terus menerus berbuat buruk sampai akhir

hayatnya dan meninggal dengan cara su‛ul khatimah.

Makhluk-Nya tidak hanya manusia saja melainkan malaikat yang baik

yang diperintahkan oleh Allah untuk dilaksanakannya dan segala perbuatan

mereka juga akan merasakan kematian. Semua mahluk-Nya tidak akan kekal di

dunia ini kecuali Allah semata.

Dengan latar belakang yang telah penulis paparkan di atas, penulis

mencoba untuk mengkaji “Kematian dalam Al-Qur’an: Perspektif Ibn Kathīr”

Hal ini merupakan sebuah kekaguman penulis kepada seorang tokoh ahli tafsir

yaitu Ibn Kathīr8 sebagai al-Ḥafiẓ, al-Muḥaddīth, al-Faqih, al-Mu‟arrikh, al-

8 Nama lengkap Ibn Kathīr adalah Ismāil bin „Amr al-Quraisy bin Kathīr al-Baṣrī al-

Dimashqī „Imad al-Dīn Abul Fidā al-Ḥafiẓ al-Muḥaddīth al-Shāfi‟ī. Ia terkenal dengan panggilan

Ibn Kathīr „Imad al-Dīn al-Fidā‟. Ibn Kathīr lahir di Bashra tahun 700 H/1300 M dan meninggal

pada hari kamis 26 Sya‟ban tahun 774 H/1373 M di Damaskus, beberapa tahun setelah menulis. Ia

dikuburkan di pemakaman sufi di samping makam Gurunya Ibn Taimīyah berdasarkan wasiatnya.

Lihat „Umar Riḍā Kabalah, Mu‟jam al-Mu‟allifīn (Beirut, Maktabah al-Mutsannā Dār Iḥyā al-

Turāth al-„Arābī, 1376 H/ 1957 M). jilid I, h. 283-284 dan Ibn Kathīr, al-Bidāyah Wa al-Nihayah

(Beirut Libanon, Dār al-Kutūb al-„Ilmīyah). Jilid I, h. 2.

Karya monumental Ibn Kathīr adalah:

Page 19: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

6

Mufassīr dan juga dari terjemahan Kitab Tafsīr Ibn Kathīr dapat di pahami dari

penafsiran ayat al-Qur‟an yang jelas dan mudah dimengerti.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar pembahasan dalam skripsi ini terarah maka penulis membatasi ayat-

ayat tentang kematian dalam skripsi ini dari sudut pandang kitab tafsir terjemahan

al-Qur‟ān al-„Aẓīm karya Imām Ibn Kathīr.

Dalam al-Qur‟an terdapat beberapa surat dan ayat yang membahas tentang

tema-tema kematian antara lain QS. al-Baqarah [2]: 94, 95, 96, 110, 223, 243 dan

281; QS. Āli „Imrān [3]: 156-158 dan 185; QS. al-Nisā‟ [4]: 78; QS. al-An‟ām

[6]: 47; QS. al-A‟rāf [7]: 185; QS. al-Ḥijr [15]: 99; QS. al-Naḥl [16]: 70; QS. al-

Kahfī [18]: 7; QS. al-Anbiyā‟ [21]: 34 dan 35; QS. al-Mu‟minūn [23]: 15 dan 99;

QS. al-Qaṣaṣ [28]: 88; QS. al-Ankabūt [29]: 57; QS. al-Aḥzāb [33]: 16; QS. al-

Zumar [39]: 30; QS. Qāf [50]: 19; QS. al-Raḥmān [55]: 26; QS. al-Ḥashr [59]: 18;

QS. al-Jumu‛ah [62]: 5-8; QS. al-Munāfiqūn [63]: 10; QS. Nūḥ [71]: 4 dan 18;

QS. al-Muddaththīr [74]: 47; QS. al-Qiyāmah [75]: 26, 27, 28, 29 dan 30; QS.

„Abasa [80]: 21; QS. al-Takāthur [102]: 2.

Dari beberapa ayat di atas yang membahas tentang tema-tema kematian

penulis hanya membatasi dari beberapa ayat yang mengangkat tema-tema

kematian dalam al-Qur‟an yaitu QS. al-Nisā‟ [4]: 78; QS. Āli „Imrān [3]: 185, dan

156-158; QS. al-Jumu‟ah [62]: 5-8.

a. Al-Bidayah wa al-Nihayah, dalam bidang sejarah, merupakan rujukan terpenting bagi

para sejarawan, sebanyak 14 jilid.

b. Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm yang lebih dikenal dengan nama Tafsīr Ibn Kathīr,

pengaruhnya sangat besar dan sampai sekarang kitab tafsir ini masih banyak

digunakan sebagai rujukan. Tafsir ini masuk dalam kategori bi al-ma‟tsur. Menurut

Al-Zhahabi tidak memiliki corak.

Page 20: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

7

Dalam skripsi ini penulis dapat menetapkan dengan mengajukan

pertanyaan yaitu:

- Bagaimana penafsiran Ibn Kathīr terhadap ayat-ayat kematian?

C. Tujuan Penulisan

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui sejauh mana al-Qur‟an membicarakan tentang kematian

yang di firmankan Allah swt dan ditafsirkan oleh Ibn Kathīr.

2. Mengetahui penafsiran yang diberikan oleh Ibn Kathīr terhadap ayat-

ayat yang berkaitan dengan kematian secara umum dan menjelaskan

tentang makna kematian, cara mati, tanda-tanda kematian serta cara

menghadapi kematian.

3. Dalam rangka memenuhi syarat-syarat kelulusan dan memperoleh

gelar Sarjana Theologi Islam dari Fakultas Ushuluddin khususnya

jurusan Tafsir Hadis Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

D. Metode Penelitian

1. Metode Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengadakan penelitian kepustakaan

(Library Research) dalam rangka penggalian data dengan membaca dan meneliti

(literatur) bahan-bahan yang telah tertulis.

Page 21: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

8

Adapun sumber primer penulis merujuk pada kitab tafsir al-Qur‟ān al-

Aẓīm karya Imām Ibn Kathīr,9 dan juga sumber sekunder penulis merujuk Lubāb

al-Tafsīr min Ibn Kathīr karya „Abdullāh bin Muḥammad bin „Abd al-Raḥmān

bin Isḥāq Āl al-Sheikh,10

Taisir al-Alīy al-Qādī li Ikhtiṣarī Tafsīr Ibn Kathīr karya

Muḥammad Nasib al-Rifā‟i,11

Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr karya Ibn Kathīr12

merujuk kepada buku-buku yang berkaitan dengan topik kematian dan sumber

informasi lainnya.

2. Metode Pembahasan

Bahan-bahan tersebut yang berkaitan dengan penulisan dalam skripsi ini

diseleksi dan diklasifikasi sesuai dengan pokok bahasannya. Karena itulah,

pembahasan dalam skripsi ini menggunakan metode Argumentatif.

Metode argumentatif digunakan untuk mendapatkan sebuah gagasan yang

dikemukakan oleh Ibn Kathīr dalam kitab terjemahan tafsir al-Qur‟ān al-Aẓīm

sehingga nantinya pembahasan akan menjadi jelas dan terarah.

3. Teknik Penulisan

Sedangkan teknik penulisan skripsi ini didasarkan pada buku “Pedoman

Akademik Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta Tahun 2008 untuk Skripsi, Tesis dan Disertasi.

9 Al-Imām Abū al-Fida Ismā‟il Ibn Kathīr al-Dimashqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Azīm, terj.

Bahrun Abu Bakar, dkk. (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000) 10

„Abdullāh bin Muḥammad bin „Abd al-Raḥmān bin Isḥāq Āl al-Sheikh, Lubāb al-

Tafsīr min Ibn Kathīr,, terj. Abdul Ghaffar (Bogor: Pustaka Imam al-Syafi‟i, 2001) 11

Muḥammad Nasib al-Rifā‟i, Taisīr al-Alīy al-Qādī li Ikhtiṣāri Tafsīr Ibn Kathīr, terj,

Syihabuddin, Ringkasan Tafsir Ibn Katsir (Bandung: Gema Insani Press, 1999) 12

Ibn Kathīr, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr, terj. H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy,

Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1994).

Page 22: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

9

E. Tinjauan Pustaka

Dari penelusuran yang penulis lakukan, terdapat beberapa karya-karya

terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Di antara karya tersebut adalah:

Skripsi; Umar Ubaidillah dengan judul “Pengisahan Nabi Yusuf dalam al-

Qur‟an dan Injil (Analisis Perbandingan Tafsir Ibn Kathīr dan Cerita-cerita al-

Kitab)”, ia menjelaskan terdapat beberapa persamaan dan perbedaan dalam kisah

Yusuf baik dalam tafsir Ibn Kathīr dan cerita-cerita al-Kitab. Di antara

persamaannya adalah kedua kitab menjelaskan mimpi Nabi Yusuf. Namun

perbedaannya dalam cerita-cerita menjelaskan Nabi Ya‟qūb tidak melarang

menceritakan mimpinya pada saudaranya sedangkan dalam tafsir Ibn Kathīr Nabi

Ya‟qūb melarang.

Persamaan lainnya, kedua kitab ini mengisahkan pelemparan Yūsuf ke

dalam sumur. Namun, berbeda dalam penutupan sumur setelah Yūsuf

dilemparkan. Tafsir Ibn Kathīr mengisahkan bahwa sumur tidak ditutup dengan

batu, sedangkan dalam cerita-cerita al-Kitab sumur tersebut ditutup dengan batu.

Alur pengisahan Nabi Yūsuf dalam kitab Injil lebih panjang dari pada di dalam

kitab al-Qur‟an. Karena dalam injil /cerita-cerita al-Kitab, kisah nabi Yūsuf ini

merupakan bagian dari sebuah sejarah. Sedangkan dalam al-Qur‟an kisah Nabi

Yūsuf tidak menjadi bagian dari hubungan sejarah yang berkelanjutan.13

Skripsi; Haromain dengan judul “Kiamat dalam Kajian Imam Ibn Kathīr

(Kajian Tematik Ayat-ayat Kiamiat dalam Kitab Tafsir al-Qur‟ān al-„Aẓīm)”,

dalam skripsi ini, ia menjelaskan bagaimana Ibn Kathīr ketika menjelaskan ayat-

13

Umar Ubaidillah, “Pengisahan Nabi Yusuf dalam al-Qur‟an dan Injil (Analisis

Perbandingan Tafsir Ibn Kathīr dan Cerita-cerita al-Kitab)” (Skripsi Tafsir Hadis Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, 2013).

Page 23: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

10

ayat tentang kiamat. Ibn Kathīr menjelaskan proses terjadinya hari kiamat dengan

beragumentasi hadis, karena tafsir karyanya merupakan kitab tafsir dengan

sumber al-Qur‟an dan Hadis dalam menafsirkan beberapa ayat.14

Skripsi; Irfan Abdurrahmat dengan judul “Penggambaran Malaikat dalam

al-Qur‟an (Studi Perbandingan antara Penafsiran Ibn Kathīr dan Hamka)”, ia

menjelaskan tentang hakikat malaikat penafsiran Ibn Kathīr adalah hamba Allah

yang sangat dimulyakan di sisi-Nya yang menempati kedudukan yang tinggi serta

memiliki tingkat kemuliaan yang luhur. Sedangkan menurut Hamka, malaikat

adalah hamba-hamba Allah yang bertambah tinggi perhambaannya, bertambah

pula kemuliaannya, dan selalu setia melaksanakan perintah. Kemulian ini dilihat

dari penugasan malaikan oleh Allah sebagai duta-duta istimewa dalam

memelihara dan mengatur wahyu.15

Skripsi; Mohamad Yasir dengan judul “Kualitas Hadis dalam Tafsir Ibn

Kathīr: Studi Kritik Sanad dan Matan Hadis dalam Surat Yasin”, ia menemukan

hadis pertama, kedua dan keempat tidak memenuhi kriteria ke-shahih-an sanad,

hanya hadis yang ketiga yang memenuhi kriteria ke-shahih-an sanad. Dari segi

matan ia menemukan hadis ketiga yang memenuhi kriteria ke-shahih-an sanad dan

ia menyimpulkan bahwa hadis ini berkualitas shahih karena telah memenuhi

kriteria ke-shahih-an matan.16

14

Haromain, “Kiamat dalam Kajian Imam Ibn Kathīr (Kajian Tematik Ayat-ayat Kiamiat

dalam Kitab Tafsir al-Qur‟an al-Azim)” (Skripsi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatulah Jakarta, 2009). 15

Irfan Abdurrahmat, “Penggambaran Malaikat dalam al-Qur‟an (Studi Perbandingan

antara Penafsiran Ibn Kathīr dan Hamka)” (Skripsi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatulah Jakarta, 2011). 16

Mohamad Yasir, “Kualitas Hadis dalam Tafsir Ibn Kathīr; Studi Kritik Sanad dan

Matan Hadis dalam Surat Yasin” (Skripsi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatulah Jakarta, 2010).

Page 24: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

11

Tesis; Zarkasi dengan judul “Al-Maut dalam al-Qur‟an Kajian Tafsir

Tematik”, ia mengkaji al-maut dalam perspektif al-Qur‟an. Menurutnya

penciptaan al-maut dan ketetapan bagi makhluk adalah dalil yang jelas tentang

ketauhidan Allah dalam uluhiyyah dan rububiyyah-Nya. Hal ini dapat dijelaskan

bahwa perbedaan antara khaliq dan makhluq adalah kematian. Oleh karenanya

makhluk tidak lazim menuhankan jiwa yang tertimpa kematian.17

Dari data yang penulis lacak, mungkin masih banyak lagi tulisan akademis

yang belum penulis ketahui, namun ternyat yang membahas tentang kematian

dalam penafsiran Ibn Kathīr secara khusus belum ada.

F. Sistematika Penulisan

Untuk lebih memudahkan dalam melakukan penelitian kepustakaan (library

research) ini, dalam

Dalam BAB I berisi pendahuluan yang dimulai dengan menjelaskan istilah-

istilah kunci yang termuat dalam judul skripsi ini. Selanjutnya membahas latar

belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan,

metodelogi penelitian, tinjauan kepustakaan dan sistematika penulisan. Dengan

harapan pembaca mendapatkan gambaran yang jelas mengenai latar belakang

penulisan hingga manfaat penelitian kepustakaan dalam al-Qur‟an perspektif Ibn

Kathīr.

Dalam BAB II ini menjelaskan Tema-tema Kematian dalam Ayat al-

Qur‟an. Pembahasannya tentang ketentuan yang pasti, tiap-tiap umat mempunyai

ajal yang pasti, sesaat menjelang mati, dan cobaan-cobaan.

17

Zarkasi, “Al-Maut dalam al-Qur‟an Kajian Tafsir Tematik” ( Tesis Tafsir Hadis

Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008).

Page 25: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

12

Dalam BAB III ini menjelaskan Pengertian dan Pendapat Ulama tentang

Kematian. Pembahasannya mengacu pada makna kematian dilihat dari pengertian

secara kebahasaan, sebab perubahan keadaan pada saat kematian, tanda-tanda

kematian, dan cara menghadapi kematian dengan bertobat.

Dalam BAB IV merupakan bagian inti dari penelitian skripsi ini. Yaitu

menjelaskan Kematian menurut Ibn Kathīr. Adapun yang akan dijelasan tentang

pandangan kematian menurut Ibn Kathīr dan penafsirannya.

Dalam BAB V adalah bab terakhir yang berisi kesimpulan-kesimpulan dari

hasil penelitian yang penulis lakukan dan ditambah juga dengan saran-saran yang

ditujukan untuk para pembaca skripsi ini.

Page 26: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

13

BAB II

TEMA-TEMA KEMATIAN DALAM AYAT AL-QUR’AN

Pada bab ini, penulis mengambil beberapa surat dan ayat tentang tema-

tema kematian yang dijadikan pembahasan, kemudian menguraikannya dengan

penafsiran Ibn Kathīr dan mufassir lain. Surat dan ayat yang akan dibahas yaitu

QS. al-Nisā‟ [4]: 78, QS. al-Mu‟minūn [23]: 15, QS. al-A‟rāf [7]: 34, QS. Yūnus

[10]: 49, QS. al-Ḥijr [15]: 5, QS. al-Naḥl [16]: 61, QS. al-Isrā‟ [17]: 58, QS. Fāṭir

[35]: 45, QS. Qāf [50]: 19, QS. al-Wāqi‟ah [56]: 83, 84, 85, 86 dan 87, QS. al-

Mulk [67]: 2.

A. Ketentuan Yang Pasti

1. (QS. al-Nisā’ [4]: 78)1

Ibn Kathīr menafsirkan maksud dari QS. al-Nisā‟ [4]: 78 yaitu kalian pasti

akan mati, dan tidak ada seorang pun dari kalian yang selamat dari maut, adalah

sama maknanya dengan yang disebutkan di dalam ayat lain yaitu QS. al-Raḥmān

[55]: 26, QS. Āli „Imrān [3]: 185, dan QS. al-Anbiyā [21]: 34, maknanya yaitu

setiap orang pasti akan mati.

1 (QS. al-Nisā‟ [4]: 78)

“Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, Kendatipun kamu di

dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan,1 mereka

mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana

mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah:

"Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik)

Hampir-hampir tidak memahami pembicaraan1 sedikitpun”? (QS. al-Nisā‟ [4]: 78)

Page 27: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

14

Tiada sesuatu pun yang dapat menyelamatkan dia dari kematian, baik dia

ikut dalam berjihad ataupun tidak ikut berjihad. Karena sesungguhnya umur

manusia itu ada batasnya dan mempunyai ajal yang telah ditentukan serta

kedudukan yang telah ditetapkan baginya.2 Sayyid Quṭb menjelaskan dalam

karyanya Tafsīr fī Ẓilāl al-Qur‟ān, kematian menurutnya adalah suatu kepastian

yang sudah ditentukan waktunya, dan tidak ada hubungannya dengan

perlindungan tempat yang dapat melindungi seseorang atau tidak dapat

melindungi. Kalau demikian, kematian juga tidak dapat ditunda dengan

ditundanya tugas perang, dan tidak dapat pula dimajukan dengan dimajukkanya

tugas jihad sebelum waktunya.3

Kematian dan peperangan adalah dua urusan yang berbeda, dan tidak ada

hubungan di antara keduanya. Hubungan yang ada hanyalah antara kematian dan

ajal (umur), antara waktu yang ditakdirkan Allah dan habisnya waktu itu. Selain

itu, tidak ada hubungan lain. Oleh karena itu, tidak ada artinya manusia

menginginkan diundurkannya kewajiban perang, dan tidak ada artinya takut

kepada manusia baik dalam peperangan maupun di luar peperangan.

Dengan sentuhan kedua ini, manhaj Qur‟ani mengobati semua lintasan

yang melintas dalam pikiran mengenai urusan itu, dan mengobati semua

ketakutan dan kegentaran yang ditimbulkan oleh pandangan yang tidak mantap.4

Menurut pendapat lain yang dimaksud lafaz dari بروج ialah bintang-

bintang yang ada di langit. Pendapat ini disampaikan Ibn Kathīr, tetapi lemah.

2 „Abdullāh bin Muḥammad bin „Abd al-Raḥmān bin Isḥāq Āl al-Sheikh, Lubāb al-Tafsīr

min Ibn Kathīr, terj. Abdul Ghaffar (Bogor: Pustaka Imam al-Syafi‟i, 2001), cet. 1, h. 356. 3 Sayyid Quṭb, Tafsīr fi Ẓilāl al-Qur‟ān, terj. As‟ad Yasin, et. all., (Jakarta: Gema Insani,

2008), juz IV, h. 31. 4 Sayyid Quṭb, Tafsīr fi Ẓilāl al-Qur‟ān, juz IV, h. 32.

Page 28: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

15

Pendapat yang shahih ialah yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengannya

adalah benteng yang kuat. Dengan kata lain, tiada guna sikap waspada dan

berlindung di tempat yang kokoh dari ancaman maut.

Menurut pendapat ulama lain yang di sampaikan oleh Ibn Kathīr yaitu

kemakmuran dan rezeki yang berlimpah berupa buah-buahan, hasil pertanian dan

lain-lainnya. Yang merupakan musim paceklik (kekurangan), kekeringan, dan

rezeki yang kering, atau tertimpa kematian anak atau tidak mempunyai

penghasilan atau lain-lainnya yang merupakan bencana.

Yang dimaksud dengan kata حسنة dalam QS. al-Nisā‟ ayat 78 yaitu

kemakmuran dan kesuburan yang membuat ternak mereka berkembang biak

dengan pesatnya. Begitu juga dengan kuda mereka dan keadaan mereka yang

menjadi membaik serta istri-istri mereka yang melahirkan anak-anaknya.5

Kata سيئة dalam QS. al-Nisā‟ ayat 78 menjelaskan yaitu tentang kekeringan

dan bencana yang menimpa harta mereka. Maksud dari semuanya yaitu adalah

atas ketetapan dan takdir Allah, Dia melakukan keputusan-Nya terhadap semua

orang baik terhadap orang yang bertakwa maupun terhadap orang yang durhaka,

dan orang mukmin maupun terhadap orang kafir tanpa pandang bulu.6

Bahwa semua musibah yang datang terhadapnya berawal yang diberikan

semuanya dari Allah swt yaitu merupakan kebaikan atau keburukan. Kemudian

dari pada itu banyak yang mengingkari, mereka yang mengatakan demikian yang

5 „Abdullāh bin Muḥammad bin „Abd al-Raḥmān bin Isḥāq Āl al-Sheikh, Lubāb al-Tafsīr

min Ibn Kathīr, cet. 1, h. 357. 6 „Abdullāh bin Muḥammad bin „Abd al-Raḥmān bin Isḥāq Āl al-Sheikh, Lubāb al-Tafsīr

min Ibn Kathīr, cet. 1, h. 357.

Page 29: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

16

timbul dari keraguan dan kebimbangan mereka serta minimnya pemahaman dan

ilmu mereka yang diliputi kebodohan dan aniaya.7

Sesungguhnya ayat di atas sudah sangat jelas maknanya namun demikian

penulis menarik kesimpulan dari QS. al-Nisā‟ 78 bahwa setiap makhluk yang

hidup di dunia ini mempunya batas umur yang ditentukan oleh Allah swt dan

tidak ada yang selamat dari genggaman maut. Baik makhluk itu bersembunyi

dalam benteng atau pun bersembunyi dari tempat yang sunyi yang terhindar dari

keramaian makhluk lainnya pasti maut itu akan menjemputnya.

2. (QS. Al-Mu’minūn [23]: 15)8

Pada penafsiran QS. al-Mu‟minūn [23]: 12-15, Ibn Kathīr menjelaskan

ayat yang menceritakan bagaimana manusia itu diciptakan yang berasal dari

saripati tanah yaitu Adam, namun keturunannya diciptakan dari air mani yang

tersimpan dalam tempat yang kokoh yang sudah bercampur dengan cairan seorang

wanita yaitu ovum.

7 „Abdullāh bin Muḥammad bin „Abd al-Raḥmān bin Isḥāq Āl al-Sheikh, Lubāb al-Tafsīr

min Ibn Kathīr, cet. 1, h. 357. 8 (QS. al-Mu‟minūn [23]: 12-15)

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari

tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang

kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal

darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang

belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan

Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling

baik. Kemudian, sesudah itu, Sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. (QS.

al-Mu‟minūn [23]: 12-15)

Page 30: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

17

Setelah melewati suatu masa tertentu dijadikan air mani itu segumpal

darah, kemudian dari segumpal darah itu menjadi segumpal daging dan dari

segumpal daging itu terciptalah tulang belulang yang berbentuk kepala tangan dan

kaki, kemudian dibungkusnya tulang-tulang itu dengan daging, otot dan urat-urat,

maka terciptalah suatu makhluk yang berbentuk lain dan Allah meniupkan roh

terhadapnya. Kemudian Allah memberikan sarana berupa pendengaran,

penglihatan, penciuman, suara, pikiran dan gerak, sehingga lengkaplah ia menjadi

manusia yang utuh, sempurna sebagai makhluk Allah yang pilihan dan termulia.

Kemudian kami jadikan dia makhluk yang berbentuk lain, janin yang lahir

dari perut ibunya sebagai bayi tumbuh menjadi balita kemudian balita itu menjadi

remaja lalu menjadi manusia lanjut usia dan akan sampai akhir dari kehidupan

yaitu kematian. Itulah penjelasan sebuah perjalanan dari kehidupan yang berawal

dari saripati tanah yaitu proses penciptaan lalu kembali lagi kepada tanah yaitu

kematian.9 Menurut Sayyid Quṭb, kematian adalah akhir dari kehidupan dunia.

Dan, kehidupan di alam barzah merupakan jembatan antara dunia dan akhirat.

Dengan demikian, ia hanya merupakan fase dari kehidupan, bukan akhir dari

kehidupan itu. Kemudian kebangkitan merupakan fase akhir dari pertumbuhan itu.

Setelah itu dimulailah kehidupan sempurna yang bersih dari segala kekurangan

hidup duniawi, dan dari kebutuhan akan daging dan darah, dari rasa takut dan

gelisah, dan dari perubahan dan pertumbuhan. Karena, ia merupakan fase puncak

kesempurnaan yang telah ditentukan atas manusia.

9 Ibn Kathīr, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr, terj. H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy,

Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1994), h. 400-401.

Page 31: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

18

Hal itu akan terjadi hanya bagi orang yang menempuh jalan yang

sempurna. Jalan yang telah digambarkan oleh paragraf pertama dari surat ini,

yaitu jalan orang-orang yang beriman. Sedangkan, orang-orang yang terjerumus

dalam fase kehidupan dunia ke tingkat binatang, maka dia dalam kehidupan

akhirat akan terjerumus sedalam-dalamnya. Maka, hancurlah kemanusiaannya dan

menjadi bahan bahan neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Dan,

manusia yang seperti ini sama persis dengan batu.10

Dalam al-Qur‟an QS. al-Mu‟minūn [23]: 15 penulis tidak mendapati

penjelasan yang panjang lebar. Penulis berkesimpulan bahwa antara QS. al-

Mu‟minūn [23]: 15 dengan ayat sebelumnya memiliki pertalian yang saling

berkaitan.

Oleh karena itu, penulis mencoba menarik kesimpulan dari al-Qur‟an QS.

al-Mu‟minūn [23]: 15 yang menyatakan proses terjadinya manusia dari awal

diciptakan, proses pembentukan tulang, daging dan saraf sehingga menjadikan

satu makhluk yang sempurna dalam bentuk yang beraneka ragam perbedaan.

Kemudian manusia tersebut menjadikan dewasa dan akhirnya manusia juga akan

menghadapi suatu kematian. Itulah perjalanan kehidupan yang berawal dari

saripati tanah lalu kembali kepada tanah lagi.

10

Sayyid Quṭb, Tafsīr fi Ẓilāl al-Qur‟ān, juz XVIII, h. 167.

Page 32: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

19

B. Tiap-tiap Umat Mempunyai Ajal yang Pasti

1. (QS. Al-A’rāf [7]: 34)11

Ibn Kathīr menjelaskan QS. al-A‟rāf [7]: 34 yakni bagi tiap-tiap kurun dan

generasi terdapat batasan waktu yang telah ditakdirkan bagi mereka. Kemudian

Allah swt memperingatkan kepada umat manusia bahwa Dia akan mengutus

Rasul-rasul-Nya kepada mereka yang akan membacakan atau mengabarkan

kepada mereka ayat-ayat-Nya, membawa berita gembira dan peringatan.12

Berbeda pandangan Sayyid Quṭb dalam penjelasan QS. al-A‟rāf [7]: 34 adalah

sebuah hakikat yang mendasar dari hakikat-hakikat akidah ini, yang disampaikan

ke senar hati yang lalai – yang tidak mau ingat dan bersyukur – supaya sadar,

sehingga tidak teperdaya oleh lamanya kehidupan.

Apa yang dimaksud dengan ajal di sini boleh jadi ajal tiap-tiap generasi

manusia yang berupa kematian yang memutuskan kehidupan sebagaimana yang

terkenal itu, dan boleh jadi ajal setiap umat dalam arti masa tertenut kekuatan dan

kekuasaannya di muka bumi. Baik yang ini maupun yang itu, semuanya sudah

ditentukan waktunya. Mereka tidak dapat memajukannya dan memundurkannya.13

Kesimpulan dari QS. al-A‟rāf [7]: 34 setiap manusia atau makhluk

lainnya mempunyai keterbatasan waktu untuk hidupnya yang berbeda dan itu

pasti akan terjadi. Lalu Allah mengutus para Rasul-rasulnya untuk

11

(QS. Al-A‟rāf [7]: 34)

“tiap-tiap umat mempunyai batas waktu maka apabila telah datang waktunya mereka

tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.”

(QS. Al-A‟rāf [7]: 34) 12

Al-Imām Abū al-Fida Ismā‟il Ibn Kathīr al-Dimashqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Azīm, terj.

Bahrun Abu Bakar, dkk. (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000), h. 296-297. 13

Sayyid Quṭb, Tafsīr fi Ẓilāl al-Qur‟ān, juz VIII, h. 308.

Page 33: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

20

memberitahukan dan mengabarkan ayat-ayat Allah yang diturunkan untuk hamba-

Nya dalam hal berupa kabar gembira maupun suatu peringatan.

2. (QS. Yūnus [10]: 49)14

Sebelum ayat 49 dalam QS. Yūnus penulis akan membahas ayat

sebelumnya terlebih dahulu, yakni dari ayat 48 yang menggambarkan tentang

sikap orang-orang kafir dan musyrik yang bertanya-tanya bila datangnya siksaan

Allah yang telah dijanjikan di dalam al-Qur‟an. Kemudian berlanjut ke ayat 49

bahwa Allah swt menyuruh Rasul-Nya dan Rasul-Nya menjawab, “Aku tidak

berdaya mendatangkan mudharat bagi diri aku sendiri, dan aku tidak mengetahui

selain apa yang telah diberitahukan oleh Allah kepada para Nabi. Aku hanya

hamba-Nya dan Rasul-Nya dan aku telah memberitahukan kepada manusia bahwa

hari kiamat itu pasti akan tiba, namun Allah tidak mengungkapkan kepada para

Nabi saatnya dan harinya yang pasti. Akan tetapi Allah telah menentukan dan

menetapkan ajal bagi tiap umat yang tidak dapat dilampauinya atau

dimajukannya.15

Sayyid Quṭb menjelaskan ajal itu kadang-kadang berakhir dengan

kehancuran secara indrawi, seperti dibabat habisnya sebagian umat terdahulu. Ajal

14

(QS. Yūnus [10]: 49)

“Katakanlah: "Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak (pula)

kemanfaatan kepada diriku, melainkan apa yang dikehendaki Allah". tiap-tiap umat

mempunyai ajal. apabila telah datang ajal mereka, Maka mereka tidak dapat

mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukan(nya).” (QS. Yūnus

[10]: 49) 15

Ibn Kathīr, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr, terj. H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy,

Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, h. 220-221.

Page 34: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

21

kadang-kadang berakhir dengan kehancuran secara maknawi, mengalami

kerusakan dan hilang dari peredaran, seperti yang terjadi pada beberapa bangsa.

Mungkin untuk sementara waktu kemudian kembali lagi, dan mungkin dalam

kondisi seperti itu secara terus-menerus sehingga hilang pamornya dan hilang pula

wujudnya sebagai umat (bangsa), meskipun pribadi-pribadinya masih ada.

Semua itu terjadi sesuai dengan sunnah Allah yang tidak akan pernah

berganti, tidak akan berbenturan, tidak serampangan, tidak zalim, dan tidak pilih

kasih. Maka, bangsa-bangsa yang melakukan hal-hal yang menjadikan mereka

hidup (eksis), niscaya mereka akan eksis. Namun, bangsa yang menyimpang dari

sebab-sebab itu, niscaya mereka aka menjadi lemah, lenyap (pamornya), atau

mati, sesuai dengan penyimpangannya.16

Kesimpulan dari QS. Yūnus [10]: 49 Allah swt mengutus seorang Rasul

untuk menyampaikan kabar gembira atau suatu peringatan dari ayat-ayat Allah

yang di turunkan untuk hamba-Nya. Lalu Rasul tidak kuasa mengabarkan dari

ayat-ayat Allah yang berupa kapan waktu yang pasti terjadinya kiamat dan kapan

makhluk yang ada di dunia ini akan mengalami kematian itu.

3. (QS. al-Hijr [15]: 5)17

Bahwa Allah tidak membinasakan suatu kota dengan penduduknya

melainkan sesudah cukup alasan yang menjadikan mereka patut mendapatkan

azab dan sesudah pula usai masa yang telah ditetapkan bagi kebinasaan mereka.

16

Sayyid Quṭb, Tafsīr fi Ẓilāl al-Qur‟ān, juz XI, h. 136. 17

(QS. al-Hijr [15]: 5)

“Tidak ada suatu umatpun yang dapat mendahului ajalnya, dan tidak (pula) dapat

mengundurkan (Nya).” (QS. al-Hijr [15]: 5)

Page 35: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

22

Tidaklah suatu umat dapat mendahului masa binasanya atau menangguhkannya ke

suatu masa yang lain. Ayat ini merupakan peringatan yang keras kepada orang-

orang Quraisy agar mereka menghentikan syirik mereka yang akan menyebabkan

kebinasaan dan kehancuran mereka.18

Maka, janganlah (meminta) kemunduran

siksa untuk mereka pada suatu saat. Karena, hal itu adalah sunnatullah yang

berlaku pada jalannya yang ditentukan, dan mereka pasti akan mengetahuinya.

Demikianlah kitab ketentuan masa yang ditetapkan dan ajal yang

ditentukan, yang diberikan Allah bagi negeri-negeri dan bangsa-bangsa, agar

mereka berkarya. Atas dasar karya dan perbuatannya, mereka tetap ingat tempat

kembali mereka. Jika bangsa-bangsa dan negeri itu beriman dan berbuat baik,

melakukan perbaikan dan menegakkan keadilan, niscaya Allah akan

memanjangkan usia (kejayaan) bangsa dan negeri itu, sampai ia menyimpang dari

asas-asas tersebut dan tak ada lagi kebaikan yang diharapkan. Saat itulah sampai

ajalnya, hilang eksistensinya, kemungkinan binasa sebinasa-binasanya atau

melemah secara bertahap.19

Kesimpulan dari QS. al-Hijr [15]: 5 bahwa Allah swt tidak akan

memberikan suatu azab di dunia ini melainkan orang-orang yang berbuat syirik

ataupun kezhaliman yang sudah melampaui batas yang dapat diampuni oleh

Allah.

18

Ibn Kathīr, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr, terj. H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy,

Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, h. 510-511. 19

Sayyid Quṭb, Tafsīr fi Ẓilāl al-Qur‟ān, juz XIV, h. 124.

Page 36: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

23

4. (QS. al-Naḥl [16]: 61)20

Dalam firman-Nya ini, Ibn Kathīr menjelaskan sifat-sifat kasih sayang-

Nya terhadap hamba-hamba-Nya walaupun mereka telah melakukan kezhaliman

dan penganiayaan.21

Allah swt masih memberikan kesempatan agar mereka

kembali ke jalan yang benar, dengan menangguhkan pembalasan-Nya dan azab

siksa-Nya.

Karena jika Allah hendak menjatuhkan hukuman-Nya yang setimpal

dengan perbuatan hamba-hamba-Nya yang durhaka itu, niscaya binasalah semua

yang ada di atas bumi ini dan tidak ditinggalkan sesuatu makhluk pun, akan tetapi

bila waktu yang ditentukan tiba, maka tiada suatu kekuatan pun yang dapat

mengundurkannya barang sesaat pun atau mendahulukannya.22

Pandangan Sayyid

Quṭb bahwa Allah telah menciptakan mahkluk bernama manusia dan

melimpahkan untuknya berbagai nikmat-Nya. Tetapi, manusia sendiri yang

berbuat kerusakan dan berbuat zalim di muka bumi, menyimpang dari ajaran

Allah dan menyekutuhkan-Nya, mereka saling menindas dan berbuat aniaya

kepada makhluk lainnya. Sekalipun demikian, Akkah tetap berlaku arif dan kasih

20

(QS. al-Naḥl [16]: 61)

“Jikalau Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya tidak akan

ditinggalkan-Nya di muka bumi sesuatupun dari makhluk yang melata, tetapi Allah

menangguhkan mereka sampai kepada waktu yang ditentukan. Maka apabila telah tiba

waktunya (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya

barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukannya.” (QS. al-Naḥl [16]: 61) 21

Ibn Kathīr, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr, terj. H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy,

Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, h. 572. 22

Ibn Kathīr, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr, terj. H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy,

Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, h. 573.

Page 37: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

24

sayang kepadanya. Dia menangguhkan siksa atasnya, tetapi Dia tidak

membiarkannya.

Inilah sifat kebijaksanaan beriring dengan sifat kuat, dan sifat kasih sayang

bersanding dengan sifat adil. Tetapi, sayang dan kebijaksaan Allah, sehingga

Allah menyiksa manusia atas dasar keadailan dan kekuatan-Nya. Yaitu, sesudah

waktu yang ditentukan oleh Allah dengan kebijaksaan dan kasih sayang-Nya itu

tiba, “Maka, apabila telah tiba waktu yang ditentuak bagi mereka, maka tidaklah

mereka dapat mengudurkannya barang sesaat pun dan tidak pula

mendahulukannya.23

Kesimpulan dari QS. al-Naḥl [16]: 61 walaupun hamba-Nya telah

melakukan kezhaliman yang sangat berat atau besar Allah akan tetap

memaafkannya karena Allah mempunyai sifat kasih sayangnya yang besar yang

melebihi kemurkaannya kepada hamba-Nya yang berbuat kesalahan.

5. (QS. al-Isrā’ [17]: 58)24

Dalam penafsiran QS. al-Isrā‟ [17]: 58, Ibn Kathīr menerangkan bahwa

ayat ini menjelaskan dan memperingatkan, bahwa Allah telah menentukan dan

menggariskan di dalam Lauḥ Maḥfūẓ-Nya.

23

Sayyid Quṭb, Tafsīr fi Ẓilāl al-Qur‟ān, juz XIV, h. 191. 24

(QS. al-Isrā‟ [17]: 58)

“Tak ada suatu negeripun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami

membinasakannya sebelum hari kiamat atau Kami azab (penduduknya) dengan azab

yang sangat keras. yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab (Lauh Mahfuzh).” (QS.

al-Isrā‟ [17]: 58)

Page 38: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

25

Tiada suatu negeri yang penduduknya durhaka, melakukan kemaksiatan

dan kezhaliman, melainkan akan dibinasakan negeri itu dengan seluruh

penduduknya atau melimpahkan azab yang sangat keras atasnya,25

dan Allah juga

berfirman dalam QS. al-Ṭalāq [65]: 9.

“Maka mereka merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya, dan

adalah akibat perbuatan mereka kerugian yang besar.” (QS. al-Ṭalāq

[65]: 9)

Sayyid Quṭb juga memberi penjelasan bahwa sesungguhnya Allah semata

yang berkuasa mengatur nasib para hambanya. Jika Allah menghendaki, maa Dia

merahmati mereka; dan jika menghendaki lain, maka Dia mengazab mereka.

Sesungguhnya Tuhan-tuhan mereka yang mereka seru selain Allah itu tidak

memiliki kekuasaan untuk menghilangkan marabahaya dari mereka dan

memindahkannya kepada orang lain, selain mereka.

Sekarang rangkaian ayat-ayat dalam surat ini berlanjut kepada penjelasan

tentang nasib akhir yang akan dialami umat manusia seluruhnya, sebagaimana

yang telah ditakdirkan Allah dan sesuai dengan ilmu dan qadha-Nya. Yaitu,

berkahirnya negara-negara dan kehancurannya sebelum datangnya hari kiamat.

Atau, turun azab atas sebagian negeri-negeri itu jika ia melakukan dosa yang

menyebabkan turunya azab itu. Sehingga, tak ada satu negeri pun yang ada

kecuali akan menemui ajalnya, dengan sendirinya atau hancur karena turunnya

azab kepadanya.26

25

Ibn Kathīr, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr, terj. H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy,

Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, h. 60. 26

Sayyid Quṭb, Tafsīr fi Ẓilāl al-Qur‟ān, juz XV, h. 296.

Page 39: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

26

Kesimpulan dari QS. al-Isrā‟ [17]: 58, surat ini menjelaskan kepada

hamba-Nya bahwa Allah swt sebelumnya sudah menentukan ketentuan-ketentuan

yang ada di dunia ini. Baik itu berupa musibah, bencana, kesenangan, kesedihan

dan ajal di dalam Lauḥ Maḥfūẓ-Nya.

6. (QS. Faṭir [35]: 45)27

Kalau Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya dan ulahnya, niscaya

binasalah semua manusia di permukaan bumi ini, akan tetapi Allah

menangguhkan penyiksaan mereka sampai waktu yang telah ditentukan, yaitu hari

kiamat yang mana mereka akan dihisab dan dibalas masing-masing menurut amal

perbuatannya selama hidup di dunia. Dan Allah Maha Mengetahui keadaan

hamba-hamba-Nya.28

Kesimpulan dari QS. al-Faṭir [35]: 45 jikalau Allah ingin mengazab

hamba-Nya di dunia entah itu dari perbuatan atau tingkah laku manusia yang

sudah melampaui batas, niscaya pasti akan binasa semua yang ada di muka bumi

ini. Tetapi Allah menunda azab tersebut sampai pada hari kiamat nanti yang mana

amal perbuatannya akan dihisab.

27

(QS. Faṭir [35]: 45)

“Dan kalau Sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak

akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu mahluk yang melatapun27

akan tetapi

Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu; Maka apabila

datang ajal mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha melihat (keadaan) hamba-

hamba-Nya.” (QS. Faṭir [35]: 45) 28

Ibn Kathīr, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr, terj. H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy,

Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, h. 394-395.

Page 40: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

27

C. Sesaat Menjelang Mati

1. (QS. Qāf [50]: 19)29

Datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu lari

darinya. Yang diajak oleh ayat ini adalah manusia, apakah dia seorang mukmin

ataukah seorang kafir. Ibn Kathīr menjelaskan bahwasanya manusia itu tidak

dapat melarikan diri dari kematian, ke mana pun dia akan berlari. Karena dia pasti

akan bertemu dengan kematian itu.30

Berbeda Sayyid Quṭb, kematian merupakan

sesuatu yang diupayakan manusia untuk dihindari atau dujauhkan dari benaknya.

Namun, bagaimana mungkin hal itu berhasil. Kematian senantiasa mencari. Ia

tiada bosannya mencari, tidak pernah terlambat melangkah, dan tidak

mengingkari janji. Sakratul maut bagaikan rombongan kafilah yang merambat di

seluruh persendian. Sementara itu, pemandangan terbentang dan manusia

mendengar, “Itulah yang kamu selalu lari dari padanya.”31

Kematian mengguncangkan raganya, padahal sebelumnya dia berada

dalam alam kehidupan. Mengapa dikatakan demikian, padahal dia tengah

menghadapi sakaratul maut? Dalam hadis sahih ditegaskan bahwa setelah

Rasulullah sadar dari pingsan karena menghadapi sakaratul maut, beliau

mengusap keringat dari wajahnya seraya bersabda, “Sebhanallah! Kematian itu

memiliki beberapa hal yang memabukkan.” Beliau bersabda demikian, padahal

29

(QS. Qāf [50]: 19)

“Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari

daripadanya.” (QS. Qāf [50]: 19) 30

Muḥammad Nasib al-Rifā‟i, Taisīr al-Alīy al-Qādī li Ikhtiṣāri Tafsīr Ibn Kathīr, terj,

Syihabuddin, Ringkasan Tafsir Ibn Katsir (Bandung: Gema Insani Press, 1999), h. 454-455. 31

Sayyid Quṭb, Tafsīr fi Ẓilāl al-Qur‟ān, juz XXVI, h. 23.

Page 41: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

28

dirinya memilih menjadi teman di kalangan malaikat yang tinggi dan merindukan

perjumaan dengan Allah. Lalu, bagaimana manusia selainnya?

Perhatikanlah kata al-ḥāqq pada ungkapa, “Dan datanglah sakaratul mau

yang sebenar-benarnya.” Kata itu mengisyaratkan bahwa diri manusia melihat

kebenaran yang utuh dalam sakaratul maut tanpa hijab. Dia memahami apa yang

semula tidak diketahuinya dan yang diingkarinya. Namun, pemahaman ini diraih

setelah hilangnya kesempatan, yaitu tatkala pengliahatan tidak berguna,

pemahaman tidak bermanfaat, tobat tidak diterima, dan keimanan tidak

dipertibangkan. Kebenaran itulah yang dahulu mereka dustakan, sehingga mereka

pun berakhir dalam perkara kacau-balau. Tatkala mereka memahami dan

membenarkannya, pemahaman itu tidak lagi berguna dan bermanfaat sedikit

pun.32

Kesimpulan dari QS. Qāf [50]: 19 penulis melihat adanya kesamaan

dengan kesimpulan QS. al-Nisā‟ ayat 78 bahwasanya manusia tidak akan mampu

melarikan diri dari kematian dan tidak akan dapat bersembunyi walaupun berada

di dalam benteng karena sesuai dengan firman-Nya bahwa setiap yang bernyawa

pasti akan mengalami kematian dan maut akan mendatangi mereka sesuai dengan

ketetapan dari-Nya.

32

Sayyid Quṭb, Tafsīr fi Ẓilāl al-Qur‟ān, juz XXVI, h. 23-24.

Page 42: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

29

2. (QS al-Wāqi’ah [56]: 83-87)33

Ibn Kahīr menafsirkan ayat di atas dengan munasabah ayat lain sebagaima

permasalahan yang menyangkut nyawa sudah sampai dikerongkongan yaitu

ketika sakaratul maut tiba, sebagaimana firman-Nya, “sekali-kali jangan. Apabila

nafas telah mendesak sampai ke kerongkongan dan dikatakan, „siapakah yang

dapat menyembuhkan.‟ Dan dia yakin itulah saat perpisahan dengan dunia. Dan

bertaut antara betis yang satu dan betis yang lain. Kepada Tuhanmulah pada hari

itu kamu dihalau. “(QS. al-Qiyāmah [75]: 26-30)” Selain ayat di atas Ibn Kathīr

juga menafsirkan ayat dengan permasalahan yang sama, hal ini bisa disebutkan

dalam firman Allah swt, “padahal kamu ketika itu melihat,” yaitu melihat

kehadiran malaikat maut dan apa yang dibawanya. “Dan kami lebih dekat

kepadanya dari pada kamu,” yaitu kami lebih dekat kepada para malaikat kami,

“tetapi kamu tidak melihat” mereka. Hal ini seperti firman-Nya, “sehingga apabila

datang kematian kepada salah satu seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh

malaikat-malaikat kami dan malaikat-malaikat kami itu tidaklah melalaikan

kewajibannya. (QS. al-An‟ām [6]: 61).

Dalam penafsiran Ibn Kathīr, bahwasanya orang yang sudah dalam

sakratul maut tidak ada satu pun yang dapat menyembuhkannya baik itu Nabi

33

(QS. al-Wāqi‟ah [56]: 83-87)

“Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, Padahal kamu ketika itu

melihat, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. tetapi kamu tidak melihat,

Maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah)? kamu tidak mengembalikan nyawa

itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar?” (QS. al-Wāqi‟ah

[56]: 83-87)

Page 43: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

30

maupun Rasul. Mereka yang sedang merasakan sakratul maut itu bagaikan kulit

yang sedang diseseti, dan mereka yang sedang mengalami sakratul maut itu pasti

melihat malaikat maut tersebut.

D. Cobaan-cobaan

1. (QS. al-Mulk [67]: 2)34

Di dalam QS. al-Mulk [67]: 2 menjelaskan bahwa Allah swt berfirman

“Yang menjadikan mati dan hidup.” Ayat ini menjadi dalil bagi orang yang

beranggapan kematian itu adalah sesuatu yang wujud karena dia adalah makhluk.

Adapun maknanya adalah sesungguhnya Dialah yang telah mewujudkan semua

makhluk dari yang asalnya tidak ada dengan tujuan menguji mereka siapakah

diantara mereka yang paling bagus amalnya namun paling baik amalnya.35

Meskipun demikian Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang

bertaubat dan kembali kepada Allah setelah sebelumnya melakukan maksiat dan

durhaka kepada perintah Allah.

Kesimpulan dari QS. al-Mulk [67]: 2 yakni bahwa Allah Maha

Mengetahui segala-galanya yang mengetahui untuk apa manusia itu diciptakan

dan diturunkan ke muka bumi dengan tujuan memberikan ujian kepada mereka,

adakah diantara manusia yang paling bagus amalnya atau tidak, dan juga tujuan

hidup mereka di dunia ini yaitu untuk beribadah dan berbakti kepada Allah swt.

34

(QS. al-Mulk [67]: 2)

Artinya: “yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara

kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. al-

Mulk [67]: 2) 35

Muḥammad Nasib al-Rifā‟i, Taisīr al-Alīy al-Qādī li Ikhtiṣāri Tafsīr Ibn Kathīr, h. 762.

Page 44: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

31

BAB III

PENGERTIAN DAN PENDAPAT ULAMA TENTANG KEMATIAN

A. Makna Kematian

1. Pengertian Kematian Menurut Kebahasaan

Sebelum menggali petunjuk al-Qur‟an tentang kematian, dan untuk

memahami makna kematian yang Allah telah tetapkan bagi makhluk-Nya,

diperlukan pemahaman tentang arti kematian menurut kebahasaan dalam

pandangan ulama.

Kehidupan dan kematian bertentangan seperti pertentangan cahaya dan

kegelapan, dingin dan panas. Karena itu kamus-kamus bahasa Arab

mendefiniskan salah satu dari keduanya dengan lawan kata bagi yang lain.

Pengertian al-maut atau mawatan atau muwat menurut bahasa Arab, berasal dari

kata مات يموت موتا yang berarti lawan kata dari hayat (hidup). Sedangkan menurut

al-Azharī dari al-Lathī; bahwa al-maut merupakan makhluk Allah swt. Sibawih

mengelompokkan al-maut ke dalam fi‟il mu‟tal yang aslinya adalah ووتم menurut مم

wazan لم يمفعل . فمعو1

Aḥmad Idrīs Ibn Zakariyyā mengartikan kata al-maut secara bahasa

sebagai “Hilangnya kekuatan dari sesuatu, dan hilang itu berarti mati; lawan

katanya adalah hidup (ḥayy). Ia mendasari pengertian ini kepada kandungan

makna sebuah hadis: “Siapa yang memakan (buah) dari kayu yang tidak baik ini,

1 Muḥammad Ibn Mukram Ibn Manẓūr al-Afriqī al-Miṣrī, Lisān al-„Arāb (Beirut: Dār

Ṣādir, tt), Jilid 6, h. 4294.

Page 45: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

32

jangan dekati masjid kami. Jika dipaksa juga memakannya, maka kekuatannya

hendaknya dimatikan (dihilangkan).”2

Al-Jurjānī memberikan pengertian al-maut dalam ta‟rīfāt-nya dengan:

memaksa dan memalingkan hawa nafsu dari semua keinginannya, maka

barangsiapa yang mematikan hawa nafsunya maka sungguh ia telah hidup dengan

petunjuk Allah swt.3 Lebih lanjut al-maut dibagi menjadi 4 macam, sebagai

berikut:

a. Al-maut al-abyaḍ; adalah lapar, karena lapar menerangi batin dan

memutikan wajah hati, barangsiapa mati perutnya maka hidup

kecerdasannya.

b. Al-maut al-aḥmar; adalah memalingkan keinginan nafsu.

c. Al-maut al-aḥḍar; adalah berpakaian dengan baju tambalan yang tak

berharga, karena hidupnya penuh dengan sifat qana‟ah (merasa cukup

dengan apa yang dikaruniakan swt).

d. Al-maut al-aswad; sabar menghadapi perlakuan mahluk, dan lebur ke

dalam kekuasaan Allah swt karena menyaksikan siksaan darinya, dan

melihat leburnya af‟āl dalam af‟āl Kekasihnya Allah swt.4

Berbeda dari Muḥammad Ismā‟il Ibrāhīm, ia mengartikan kata al-maut

sebagai “terpisahnya kehidupan dari sesuatu, lalu menjadi mati. Bumi dapat

dikatakan mati jika sunyi dari kehidupan, sehingga ia menjadi vakum. Sementara

al-Asfahanī membagi arti mati secara bahasa menjadi limabagia, yakni: a)

2 Abū Ḥusain Aḥmad Ibn Faris Ibn Zakariyyā, Mu‟jam al-Muqāyīs fī al-Lughah (Beirut:

Dār al-Fikr, 1994), h. 968. 3 Muḥammad bin „Alī al-Jurjānī, Kitāb al-Ta‟rīfāt (Beirut: Dār al-Kitāb al-„Arābī, 1996),

cet. 3, h. 304. 4 Muḥammad bin „Alī al-Jurjānī, Kitāb al-Ta‟rīfāt, h. 304.

Page 46: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

33

hilangnya kekuatan hidup pada makhluk (QS. al-Rūm [30]: 19,5 QS. Qāf [50]:

11);6 b) hilangnya kekuatan rasa (h issiyah), seperti ucapan Mariam ketika akan

melahirkan Nabi „Isā as: “Celakalah diriku, lebih baik aku mati sebelum ini” (QS.

Maryam [19]: 23);7 c) hilangnya kekuatan akal (bodoh), seperti QS. al-An‟ām [6]:

122);8 d) munculnya ketakutan yang menggerogoti hidup seperti bahaya kematian,

tetapi belum datang juga (QS. Ibrāhīm [14]: 17);9 e) tidur dalam (QS. al-Zumar

5 QS. al-Rūm [30]: 19

“Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang

hidup dan menghidupkan bumi sesudah matinya. dan seperti Itulah kamu akan

dikeluarkan (dari kubur)” 6 QS. Qāf [50]: 11

“untuk menjadi rezki bagi hamba-hamba (Kami), dan Kami hidupkan dengan air itu

tanah yang mati (kering). seperti Itulah terjadinya kebangkitan.” 7 QS. Maryam [19]: 23

“Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon

kurma, Dia berkata: "Aduhai, Alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi

barang yang tidak berarti, lagi dilupakan".” 8 QS. al-An‟ām [6]: 122

“dan Apakah orang yang sudah mati kemudian Dia Kami hidupkan dan Kami berikan

kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu Dia dapat berjalan di tengah-

tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam

gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami

jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.” 9 QS. Ibrāhīm [14]: 17

“diminumnnya air nanah itu dan hampir Dia tidak bisa menelannya dan datanglah

(bahaya) maut kepadanya dari segenap penjuru, tetapi Dia tidak juga mati, dan

dihadapannya masih ada azab yang berat.”

Page 47: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

34

[39]: 42).10

Khusus untuk kematian binatang, al-Qur‟an menggunakannya dengan

kata al-maitah QS. al-Mā‟idah [5]: 3.1112

Secara istilah, al-Qur‟an tidak mendefinisikan kata maut dalam arti

kematian secara biologis. Dari sudut ini kematian manusia tidak ada

perbedaannya dengan kematian makhluk lain. Jadi kata maut, sebagaimana

dikemukakan oleh al-Asfahanī, dikhususkan kepada manusia, karena dikaitkan

dengan kehidupan yang abadi di akhirat kelak. Menurutnya, kematian merupakan

akhir dari kehidupan di dunia dan merupakan tanda menuju kebahagiaan yang

10

QS. al-Zumar [39]: 42

“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang

belum mati di waktu tidurnya; Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan

kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan.

Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi

kaum yang berfikir.”

11

H. Abuddin Nata, et al., Ensklopedi al-Qur‟an (Jakarta: Yayasan Bimantara, 1997), h.

263. 12

QS. al-Mā‟idah [5]: 3

“diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang

disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang

ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan

(diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi

nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan.

pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab

itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah

Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku,

dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena

kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi

Maha Penyayang.”

Page 48: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

35

abadi. Mati berarti perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain, sehingga

merupakan awal kehidupan yang baru bagi manusia. Manusia dalam

kehidupannya di dunia dan dalam kematiannya mirip dengan telur dan anak ayam.

Kesempurnaan wujud anak ayam meninggalkan tempatnya selama di dalam telur.

Demikian juga manusia, kesempurnaan hidupnya hanya dapat dicapai melalui

perpindahannya dari tempat ia hidup di dunia menuju kehidupan yang abadi di

akhirat, maka terlebih dahulu ia akan menempuh kematian.13

Sedangkan

pandangan Ibn Kathīr, kematian menurutnya adalah segala sesuatu yang ada di

bumi itu binasa dan zat yang kekal hanyalah Allah yang mempunyai kebesaran

dan kemuliaan.14

Sebagian lainya menyangka bahwa mati menyerang manusia dan mulai

dari kubur hingga saat dibangkitkan dari kubur tidak ada pahala atau siksa.

Sebagian lainnya berpendapat bahwa jiwa manusia tidak mati, pahala atau siksa

akan ditimpakan atas jiwa, bukannya atas raga, sehingga mereka mempunyai

pendapat bahwa kebangkitan fisik tidak akan terjadi nanti pada hari kiamat. Ini

semua adalah pendapat yang tak berdasar dan jauh dari kebenaran yaitu dari al-

Qur‟an dan Hadis.15

Kedua paragraf di atas sudah barang tentu dapat kita pahami sebagai

pendapatnya orang yang tidak beriman. Mengapa demikian? hal tersebut dapat

kita perhatikan dari pandangan mereka terhadap makna kematian itu sendiri.

Sesungguhnya makna kematian menurut ayat-ayat al-Qur‟an dan Hadits

adalah berpisahnya ruh dengan jasad untuk sementara waktu yang telah

13

H. Abuddin Nata, et al., Ensklopedi al-Qur‟an, h. 263. 14

Ibn Kathīr, Tafsir Ibn Kathīr, Jilid 1, h. 628. 15

Imam al-Ghazali, Ihyā „Ulum al-Dīn, terj. Purwanto. (Bandung: Marja, 2007), h. 93.

Page 49: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

36

ditentukan oleh Allah swt atau juga perubahan keadaan, bahwa ketika jiwa

terpisah dari raga, maka ia akan menerima pahala dan siksa, dan bahwa

terpisahnya nyawa dari badan berarti hilangnya kekuatan dan daya nyawa atas

badan.16

Hakikat mati bukan berarti ketiadaan semata-mata atau kehancuran

keseluruhan dan kehilangan sepenuhnya. Tetapi masih ada hubungannya selepas

itu. Sidi Gazalba17

menyatakan kematian ialah terhentinya jasmani berfungsi,

yakni nafas, jalan darah, gerak, fikiran, perasaan dan tenaga.

Mati berbeda dengan tidur, karena tidur adalah terputusnya roh sementara

dengan hubungan lahiriah, Allah berfirman:

“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa

(orang) yang belum mati di waktu tidurnya; Maka Dia tahanlah jiwa

(orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa

yang lain sampai waktu yang ditetapkan.18

Sesungguhnya pada yang

demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang

berfikir.” (QS. al-Zumar [39]: 42)

Manusia menganggap kematian adalah sesuatu yang menakutkan. Namun,

keadaan sebenarnya mengenai kehidupan di alam barzakh hanya diketahui oleh

Allah sendiri. Kemudian Allah memberikan gambaran melalui nas al-Qur‟an dan

16

Imām al-Ghazālī, Iḥyā „Ulūm al-Dīn, terj. Purwanto. (Bandung: Marja, 2007), h. 94. 17

gus-aam.blogspot.com/2012/.../makna-kematian-menurut-sains-filosof.ht...‎ diakses

pada hari selasa tanggal 28 januari 2014 18

Maksudnya: orang-orang yang mati itu rohnya ditahan Allah sehingga tidak dapat

kembali kepada tubuhnya; dan orang-orang yang tidak mati hanya tidur saja, rohnya dilepaskan

sehingga dapat kembali kepadanya lagi.

Page 50: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

37

nabi menjabarkan kembali perkara yang masih kurang jelas dari ayat-ayat al-

Qur‟an yang menjadi hadis nabi. Manusia mulai diingatkan agar mempersiapkan

diri untuk menempuhnya dengan jalan memperbanyak amalan kebajikan dan

menjauhi kemungkaran agar terjamin keselamatannya kelak.19

2. Sebab Perubahan Keadaan pada Saat Kematian

Ada dua sebab sehingga perubahan keadaan ini terjadi.

Sebab pertama adalah bahwa seluruh anggota tubuh seorang manusia,

telinga, hidung, mata, lidah, dan sebagainya direnggut atau diambil dari jiwanya

pada saat ajal dan ia berpisah dari semua sanak-saudara dan sahabatnya, dan dari

semua harta benda yang dimilikinya. Jadi, ada rasa sedih, sakit, dan pedih pada

saat berpisah dengan semua yang dicintai dari dunia ini. Pada saat perpindahan ke

alam lain yang ia merasakan kesedihan, kesakitan, dan kepedihan berpisah dalam

bentuk yang lebih hebat. Dengan demikian, terdapat perubahan keadaan pada saat

seseorang mengalami kematian.

Sebab kedua adalah bahwa hakikat atau sifat hakiki dari segala sesutu

terungkap dan tersingkap kehadapan seseorang setelah ia mati, sehingga apapun

yang selama hidup di dunia ini tersembunyi darinya sebagaimana yang tidak

terungkap dan tersingkap bagi seseorang yang tidur, dapat terungkap dan

tersingkap saat ia tidak tidur. Saat ini, maksudnya ketika manusia hidup di dunia

ini, ia dapat diibaratkan seperti dalam keadaan tidur, dan ketika mati, mereka

diibaratkan seperti bangun dari tidurnya. Yang pertama-tama tampak dan

diperlihatkannya adalah amal perbuatannya. Jika di hadapannya sesuatu yang

19

http://evisyari.wordpress.com/2008/07/13/mati/

Page 51: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

38

membawa mudharat baginya misalnya perbuatan dosa dan jika sesuatu di

hadapannya membawa manfaat misalnya perbuatan baik dan taat.20

Penjelasan dari kalimat tersebut di atas adalah selama masih hidup di

dunia semua amal perbuatan manusia yang baik ataupun buruk belum akan di

tampakkan kepadanya selama masih hidup. Kemudian baru akan ditampakkan

segala amal perbuatan tersebut ketika sedang mengalami sakaratul maut. Apabila

amal perbuatannya baik maka ketika sakaratul maut akan merasakan mudah dan

cepat. Sebaliknya, apabila amal perbuatannya buruk maka akan merasakan

kesulitan ketika sakaratul maut.

Kesibukan duniawi selama hidup di dunialah yang menyebabkan

seseorang tidak menyaksikan segala amal perbuatannya di dunia. Maka tatkala

kesibukan-kesibukan tersebut terhenti karena datangnya kematian, semua amal

perbuatan seseorang diperlihatkan ke-hadapannya. Allah swt berfirman:

"Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai

penghisab terhadapmu". (QS. al-Isrā‟ 14)

Menurut pandangan penulis, makna dari penggalan ayat di atas adalah

bahwa semua amal perbuatan manusia akan ditampak-kan kepadanya pada saat

jiwanya terpisah dari tubuhnya sebelum dikuburkan. Rasa sakit dan pedih muncul

saat seseorang berpisah dari dunia yang selama ini begitu menyibuk-kan dan

menyenangkannya, yang pada hakikat sesungguhnya dalam kaca mata orang

beriman dunia ini adalah tempat yang fana. Pada saat itulah, yang diinginkan

20

Imām al-Ghazālī, Iḥyā „Ulūm al-Dīn, terj. Purwanto. (Bandung: Marja, 2007), h. 95.

Page 52: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

39

sesungguhnya adalah perbekalan berupa kebaikan yang diperlukan guna

mengantarkannya ke tempat yang dicita-citakannya yang memberikan

kebahagiaan.

Dengan demikian dirinya terbebas dari rasa sakit dan pedih sebelum saat

kematiannya datang. Setelah seseorang dikuburkan, jiwanya dikembalikan pada

tubuhnya, sehingga ia dapat merasakan pedihnya hukuman dan nikmatnya pahala.

Kadang-kadang seseorang diampuni dari dosa dan kekhilafan yang dilakukannya

di dunia.21

B. Tanda-tanda Kematian

Tanda-tanda kematian menurut ulama adalah benar dan nyata, hanya

amalan dan ketakwaan seseorang saja yang akan dapat membedakan kepekaan

kita kepada tanda-tanda ini. Rasulullah saw diriwayatkan, masih mampu

memperlihatkan dan menceritakan kepada keluarga dan sahabat secara langsung

akan kesukaran menghadapi sakaratul maut dari awal hingga akhir hayat baginda.

Imām al-Ghazālī diriwayatkan memperolehi tanda-tanda ini sehingga

beliau mampu mempersiapkan dirinya untuk menghadapi sakaratul maut secara

sendirian. Ia menyediakan dirinya segala persiapan termasuk mandinya, wudhu

serta kafannya, hanya ketika sampai bagian tubuh dan kepala saja ia telah

memanggil saudaranya yaitu Imām Aḥmad Ibn Ḥanbal untuk menyambung tugas

21

Imam al-Ghazali, Ihyā „Ulum al-Dīn, terj. Purwanto. (Bandung: Marja, 2007), h. 96.

Page 53: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

40

tersebut. Ia wafat ketika Imām Aḥmad bersedia untuk mengkafankan bagian

mukanya.22

Adapun riwayat-riwayat ini memperlihatkan kepada seseorang

sesungguhnya Allah swt tidak pernah berlaku dhalim kepada hamba-Nya. Tanda-

tanda yag diberikan adalah untuk menjadikan umat Islam supaya dapat bertobat

dan selalu siap dalam perjalanan menghadap Allah swt.

Walau bagaimanapun, semua tanda-tanda ini akan berlaku kepada orang-

orang Islam saja, sedangkan orang-orang kafir yaitu orang yang menyekutukan

Allah, nyawa mereka ini akan dicabut tanpa peringatan sesuai dengan kekufuran

mereka kepada Allah swt.

Adapun tanda-tanda ini terdiri beberapa keadaan:

1. 100 hari sebelum hari kematian

Ini adalah tanda pertama dari Allah swt kepada hambanya dan hanya akan

disadari oleh mereka-mereka yang dikehendakinya. Walau bagaimanapun semua

orang Islam akan mendapat tanda ini, hanya apakah mereka sadar atau tidak saja.

Tanda ini akan berlaku lazimnya setelah waktu asar. Seluruh tubuh mulai

dari ujung rambut sampai ke ujung kaki akan mengalami getaran seakan-akan

menggigil.

Contohnya sepeti gaging sapi atau kambing yang baru disembelih, di mana

jika diperhatikan dengan teliti akan mendapati daging tersebut seakan-akan

bergetar. Tanda ini rasanya nikmat, dan bagi mereka yang sadar dan berdetak di

22

Rijal Ridwan, “Tanda-tanda Akan Datangnya Kematian”, artikel ini diakses pada 12 28

Agustus 2014 dari http://rijalridwanullah.blogspot.com/2013/02/tanda-tanda-akan-datangnya-

kematian.html

Page 54: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

41

hatinya bahwa mungkin ini adalah tanda kematian maka getaran ini akan berhenti

dan hilang setelah sadar akan kehadiran tanda ini.

Bagi mereka yang tidak diberi kesadaran atau mereka yang hanyut dengan

kenikmatan tanpa memikirkan soal kematian, tanda ini akan lenyap bagitu saja

tanpa ada manfaat. Bagi yang sadar dengan kehadiran tanda ini maka ini adalah

peluang terbaik untuk memanfaatkan masa yang ada untuk mempersiapkan diri

dengan amalan dan urusan yang akan dibawa atau ditinggalkan sesudah mati.23

2. 40 hari sebelum hari kematian

Tanda ini juga akan terjadi sesudah waktu asar. Bagian pusat seseorang

akan berdenyut-denyut atau berdetak-detak. Pada ketika ini daun yang tertulis

nama akan gugur dari pohon yang letaknya di atas arsyh Allah swt. Maka

malaikat maut akan mengambil daun tersebut dan mulai membuat persediannya

ke atas antaranya adalah ia akan mulai mengikuti sepanjang waktu.

Akan terjadi malaikat maut ini akan memperlihatkan wajahnya sekilas dan

jika ini akan terjadi, mereka yang terpilih ini akan merasakan seakan-akan

bingung sekitika. Adapun malaikat maut ini wujudnya cuma seorang tetapi

kuasanya untuk mencabut nyawa adalah bersamaan dengan jumlah nyawa yang

akan dicabutnya.24

23

Rijal Ridwan, “Tanda-tanda Akan Datangnya Kematian”, artikel ini diakses pada 28

Agustus 2014 dari http://rijalridwanullah.blogspot.com/2013/02/tanda-tanda-akan-datangnya-

kematian.html 24

Rijal Ridwan, “Tanda-tanda Akan Datangnya Kematian”, artikel ini diakses pada 28

Agustus 2014 dari http://rijalridwanullah.blogspot.com/2013/02/tanda-tanda-akan-datangnya-

kematian.html

Page 55: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

42

3. 7 hari sebelum kematian

Adapun tanda ini akan diberikan hanya kepada mereka yang diuji dengan

musibah sakit di mana orang sakit yang tidak makan secara tiba-tiba dia berselera

untuk makan.25

4. 3 hari sebelum hari kematian

Pada masa ini akan terasa denyutan di bagian tengah dahi kita yaitu di

antara dahi kanan dan dahi kiri. Jika tanda ini dapat diketahui / dipahami maka

berkuasalah seseorang setelah itu supaya perut tidak mengandung banyak najis.

Dan ini akan memudahkan urusan orang yang akan memandikan orang mati

nanti.26

Ketika ini juga mata hitam seseorang tidak akan bersinar lagi dan bagi

orang yang sakit hidungnya akan perlahan-lahan turun. Dan ini dapat diketahui

jika seseorang melihatnya dari bagian sisi. Telinganya akan layu di mana bagian

ujungnya akan berangsur-angsur masuk ke dalam. Telapak kakinya yang terlunjur

akan perlahan-lahan jatuh ke depan dan sukar ditegakkan.27

25

Rijal Ridwan, “Tanda-tanda Akan Datangnya Kematian”, artikel ini diakses pada 28

Agustus 2014 dari http://rijalridwanullah.blogspot.com/2013/02/tanda-tanda-akan-datangnya-

kematian.html 26

Rijal Ridwan, “Tanda-tanda Akan Datangnya Kematian”, artikel ini diakses pada 28

Agustus 2014 dari http://rijalridwanullah.blogspot.com/2013/02/tanda-tanda-akan-datangnya-

kematian.html 27

Rijal Ridwan, “Tanda-tanda Akan Datangnya Kematian”, artikel ini diakses pada 28

Agustus 2014 dari http://rijalridwanullah.blogspot.com/2013/02/tanda-tanda-akan-datangnya-

kematian.html

Page 56: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

43

5. 1 hari sebelum hari kematian

Akan berlaku sesudah waktu asar di mana seseorang akan merasakan satu

denyutan di sebelah belakang yaitu di bagian ubun-ubun di mana ini menandakan

tidak akan sempat untuk menemui waktu asar keesokan harinya.28

6. Tanda akhir

Akan berlaku keadaan di mana seseorang akan merasakan satu keadaan

dingin di bagian pusat dan akan turun ke pinggang dan seterusnya akan naik ke

bagian khalkum. Ketika ini hendaklah kita terus mengucap kalimat syahadat dan

berdiam diri dan menantikan kedatangan malaikat maut untuk menjemput

seseorang kembali kepada Allah swt yang telah menghidupkan dari sekarang akan

mematikan pula.29

C. Cara Menghadapi Kematian dengan Bertaubat

Tobat berasal dari kata taba-yatubu yang berarti kembali dari perbuatan

maksiat kepada Allah swt.30

Sedangkan dalam arti kata lain bermakna menyesal.31

Dari sekian kata tobat yang muncul dalam al-Qur‟an, pada pokoknya dirujukan

kepada dua kelompok. Pertama, tobat yang mengacu kepada arti tobat manusia

(meninggalkan perbuatan buruk). Kedua, kata tobat yang mengacu kepada arti

28

Rijal Ridwan, “Tanda-tanda Akan Datangnya Kematian”, artikel ini diakses pada 28

Agustus 2014 dari http://rijalridwanullah.blogspot.com/2013/02/tanda-tanda-akan-datangnya-

kematian.html 29

Rijal Ridwan, “Tanda-tanda Akan Datangnya Kematian”, artikel ini diakses pada 12 28

Agustus 2014 dari http://rijalridwanullah.blogspot.com/2013/02/tanda-tanda-akan-datangnya-

kematian.html 30

Louis Makluf, al-Munjid fī al-Lughah Wa al-A‟lām, (Beirut: Dār al-Syuruq, 1987), cet

ke-34, h. 66 31

Atabik Ali dan Ahmad Zudhi Muhdlor, Kamus al-Ashri: Arab-Indonesia, (Yogyakarta:

Yayasan Ali Maksum, 1996), cet ke-2, h. 379.

Page 57: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

44

tobat Allah (Allah mengampuni dosa manusia).32

Sebagaimana dalam al-Qur‟an

menggambarkan,

“Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah

mereka beriman, serta mereka telah mengakui bahwa Rasul itu

(Muhammad) benar-benar rasul, dan keterangan-keteranganpun telah

datang kepada mereka? Allah tidak menunjuki orang-orang yang zalim.

mereka itu, balasannya Ialah: bahwasanya la'nat Allah ditimpakan

kepada mereka, (demikian pula) la'nat Para Malaikat dan manusia

seluruhnya, mereka kekal di dalamnya, tidak diringankan siksa dari

mereka, dan tidak (pula) mereka diberi tangguh, kecuali orang-orang

yang taubat, sesudah (kafir) itu dan Mengadakan perbaikan. karena

Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.

Āli-Imrān [3]: 86-89)

Kebanyakan ulama menjelaskan tobat dengan arti meninggalkan dosa

dalam segala bentuknya, menyesali dosa yang pernah dilakukan, dan bertekad

untuk tidak melakukan dosa lagi. Inilah pengertian tobat yang paling umum dan

sering dipakai di kalangan para ulama. Tetapi, dalam buku-buku yang

membicarakan masalah tasawuf, dikatakan bahwa tobat manusia tidak saja

32

Burhan Djamaluddin, konsepsi taubat: pintu pengampunan dosa besar, dosa syirik

masih terbuka, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1996), cet ke-1, h. 1.

Page 58: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

45

terbatas pada kembali dari dosa kepada yang benar. Lebih dari itu, tobat adalah

kembali dari yang benar kepada yang lebih benar.33

Terlepas dari perbedaan pendapat dalam memberikan penjelasan dari

pengertian tobat secara umum. Rumusan tobat sebagaimana dipaparkan oleh para

ulama, berarti bahwa tobat akan datang dari pihak manusia. Itu pun terbatas pada

tobat manusia yang beriman kepada Allah dengan cara meninggalkan dosa dan

tobat manusia tidak beriman dengan cara meninggalkan kekafiran menuju

keimanan.

Jadi, pada dasarnya pembicaraan mengenai tobat adalah pembicaraan

mengenai pengampunan Allah atas dosa manusia, yaitu kepada siapa saja

pengampunan hanya diperuntukkan bagi orang mukmin yang bertobat dengan

cara meninggalkan dosa atau bagi orang yang kafir yang bertobat dengan cara

meninggalkan kekafiran.

Dalam buku lain disebutkan bahwa tobat adalah perasaan hati kecil yang

merupakan penyesalan atas segala yang telah terjadi, kemudian mengharapkan

ampunan Allah swt dengan menjauhi segala perbuatan dosa dan selalu berbuat

kebaikan. Dengan berbuat baik inilah tobat seseorang dan seluruh penyesalannya

akan diterima oleh Allah swt. Apabila bertobat hanya sekedar mengisi

kekosongan saja dan tidak mengerjakan apa yang diperintahkan Allah, maka dia

tidak dikatakan bertobat, terkecuali kalau dia benar-benar kembali kepada Allah

33

Burhan Djamaluddin, konsepsi taubat pintu pengampunan dosa besar, h. 3.

Page 59: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

46

swt dan berusaha meninggalkan dari apa yang dilarang Allah dan menanamkan

makna tobat di dalam dirinya.34

34

Shaleh Ghanim as-Sadlani, Bagaimana Seharusnya Kita Bertobat, (Jakarta: Firdaus,

1992), h. 5-6.

Page 60: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

47

BAB IV

KEMATIAN MENURUT IBN KATHĪR

Pada bab ini akan dijelaskan tentang kematian menurut pandangan Ibn

Kathīr dalam beberapa surat dan ayat yang yang dijadikan sampel terkait dengan

kematian, hanya saja pembahasannya kali ini berbeda dalam bab tiga. Surat dan

ayat yang akan dibahas yaitu QS. al-Nisā‟ [4]: 78; QS. Āli „Imrān [3]: 185, dan

156-158; QS. al-Jumu‟ah [62]: 5-8.

A. Kematian dalam Pandangan Ibn Kathīr

Ibn Kathīr menjelaskan pandangan tentang kematian, menurutnya

kematian adalah tidak seorang pun manusia yang selamat dari maut. Ibn Kathīr

menyebutkan perihalnya sama dengan yang disebutkan di dalam ayat lain, yaitu

firman-Nya: ا فا ػي -Semua yang ada di bumi itu akan binasa.” (QS. al“ مو

Raḥmān: 26). ت ”.Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati“ مو فس ذائقة اى

(QS. Āli „Imrān: 185). يل اىلي ا ؼيا ى “Kami tidak menjadikan hidup

abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu.”(QS. al-Anbiyā: 34).1

Pandangan Ibn Kathīr lain menjelaskan bahwa semua makhluk secara umum baik

manusia, hewan, jin, malaikat dan segalah sesuatu yang berjiwa pasti akan

merasakan mati. Hanya Allah sendirilah yang Hidup Kekal dan tidak mati. Hanya

Allah sematalah Yang Maha Esa lagi Maha perkasa Yang Kekal Abadi. Dengan

demikian, berarti Allah Yang Maha akhir, sebagaimana Dia Maha Pertama

1 Al-Imām Abū al-Fida Ismā‟il Ibn Kathīr al-Dimashqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Azīm, terj.

Bahrun Abu Bakar, dkk. (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000), juz 5, h. 322-323.

Page 61: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

48

(Akhirnya Allah tidak ada kesudahannya dan Permulaan Allah tidak ada

awalnya).

B. Ayat-ayat Kematian

1. QS. al-Nisā’ [4]: 78

Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu,

Kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh, dan jika

mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi

Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan:

"Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya

(datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik)

Hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun? (QS.al-Nisā‟

[4]: 78)

Ibn Kathīr menjelaskan bahwa kalian pasti akan mati, dan tiada seorang

pun dari kalian yang selamat dari maut. Dalam pembahasan ayat ini, Ibn Kathīr

menyebutkan perihalnya sama dengan yang disebutkan di dalam ayat lain, yaitu

firman-Nya: ا فا ػي -Semua yang ada di bumi itu akan binasa.” (QS. al“ مو

Raḥmān: 26). ت ”.Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati“ مو فس ذائقة اى

(QS. Āli „Imrān: 185). يل اىلي ا ؼيا ى “Kami tidak menjadikan hidup

abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu.”(QS. al-Anbiyā: 34).2

2 Al-Imām Abū al-Fida Ismā‟il Ibn Kathīr al-Dimashqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Azīm, terj.

Bahrun Abu Bakar, dkk. (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000), juz 5, h. 322-323.

Page 62: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

49

Makna yang dimaksud ialah setiap orang pasti akan mati, tiada sesuatu

pun yang dapat menyelamatkan dia dari kematian, baik dia ikut dalam berjihad

ataupun tidak ikut berjihad. Karena sesungguhnya umur manusia itu ada batasnya

dan mempunyai ajal yang telah ditentukan serta kedudukan yang telah ditetapkan3

baginya. Seperti yang dikatakan oleh Khālid Ibn al-Walīd ketika menjelang

kematiannya di atas tempat tidurnya:

فاا م ا ت م ا ٬ىق ح ف أػضائ ئل ػض ا

ة اىل اا ٬ ؼة أ ث أػ ت ػي ف ا ف ا ا أا أ .

Sesungguhnya aku telah mengikuti perang anu dan perang anu, dan tiada

suatu anggota tubuhku melainkan padanya terdapat luka karena tusukan

atau lemparan panah. Tetapi sekarang aku mati di atas tempat tidurku,

semoga mata orang-orang yang pengecut tidak dapat tidur.

Ibn Kathīr menjalanjutkan penafsiran pada firman Allah swt.: ح ف م ى

ي , “kendatipun kalian di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” Yakni

benteng yang kuat, kokoh, lagi tinggi. Ia menyebutkan pendapat lain, yang

dimaksud dengan burūj ialah bintang-bintang yang ada di langit. Pendapat ini

dikatakan oleh al-Saddī, tetapi lemah. Pendapat yang sahih ialah yang mengatakan

bahwa yang dimaksud dengannya adalah benteng yang kuat. Dengan kata lain,

tiada gunanya sikap waspada dan berlindung di tempat yang kokoh dari ancaman

maut. Seperti yang dikatakan oleh seorang penyair (Jahiliah), yaitu Zuhair Ibn

Abū Salmā:

اا ليي أ اا اىلي ا ى اا ي اا أ اا اى

Barang siapa yang takut terhadap penyebab kematian, niscaya dia akan

didapatkannya sekalipun dia naik ke langit yang tinggi dengan memakai

tangga.

3 Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 5, h. 323.

Page 63: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

50

Kemudian menurut pendapat yang lain, al-mushayyadah sama artinya

dengan al-mashīdah. Sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya: ص

ي “dan istana yang tinggi.” (QS. al-Ḥājj: 45). Menurut pendapat yang lainnya

lagi, di antara keduanya terdapat perbedaan, yaitu: Kalau dibaca al-mushayyadah4

dengan memakai tashdīd artinya yang ditinggikan, sedangkan kalau dibaca takhfīf

(tanpa tashdīd) artinya yang dibangun dengan memakai batu kapur.5

Ibn Kathīr menceritakan sebuah kisah. Ia mengutip pendapat Ibn Jarīr dan

Ibn Abū Ḥātim sehubungan dengan ayat ini mengetengahkan sebuah kisah

panjang dari Mujahid, bahwa zaman dahulu terdapat seorang wanita yang sedang

melahirkan, lalu si wanita itu memerintahkan kepada pelayannya untuk mencari

api.

Ketika si pelayan keluar, tiba-tiba ia bersua dengan seorang lelaki yang

sedang berdiri di depan pintu (entah dari mana datangnya). Lalu lelaki itu

bertanya, “Apakah wanita itu telah melahirkan bayinya?” Si pelayan menjawab,

“Ya, seorang bayi perempuan.” Selanjutnya lelaki itu berkata, “Ingatlah,

sesungguhnya bayi perempuan itu kalau sudah dewasa nanti akan berbuat zina

dengan seratus orang laki-laki, kemudian ia dikawini oleh pelayan si wanita itu,

dan kelak matinya disebabkan oleh laba-laba.”

Mujahid melanjutkan kisahnya, bahwa pelayan itu kemudian kembali ke

dalam rumah dan dengan serta-merta ia merobek perut si bayi dengan pisau

hingga menganga lebar, lalu ia pergi melarikan diri karena ia merasa yakin bahwa

bayi itu telah mati. Melihat hal itu ibu si bayi segera mengobati luka tersebut

4 Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 5, h. 324.

5 Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 5, h. 325.

Page 64: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

51

dengan menjahitnya. Lama-kelamaan luka si bayi sembuh dan ia tumbuh hingga

remaja. Setelah dewasa, ia menjadi wanita yang tercantik di kotanya.6

Sedangkan si pelayan yang kabur tadi pergi menjelajahi semua daerah, dan

akhirnya ia menjadi penyelam, lalu berhasil memperoleh harta yang berlimpah

(dari dalam laut). Dengan bekal harta itu ia menjadi orang yang paling kaya, lalu

ia kembali ke negerinya semula dan benuaksud untuk kawin. Untuk itu ia berkata

kepada seorang nenek, “Aku ingin kawin dengan wanita yang paling cantik di

kota ini.” Si nenek berkata, “Di kota ini tidak ada wanita yang lebih cantik dari si

Fulanah.” Ia berkata, “Kalau demikian pergilah kamu untuk melamarnya buatku.”

Si nenek akhirnya berangkat ke rumah wanita yang dimaksud, dan ternyata si

wanita itu menyetujui lamarannya.

Ketika akan menggaulinya, ia sangat terpesona dengan kecantikan istrinya

itu. Maka si istri itu bertanya kepadanya mengenai asal-usulnya. Lalu ia

menceritakan kepada istrinya semua yang pernah ia7 alami hingga menyangkut

masalah bayi perempuan tadi. Maka si istri menjawab, “Akulah bayi perempuan

itu,” lalu si istri memperlihatkan bekas robekan yang ada pada penitnya, hingga ia

percaya dengan bukti tersebut. Ia berkata, “Jika dulu engkau benar-benar bayi

tersebut, sesungguhnya ada seorang lelaki (barangkali malaikat) yang

memberitahukan kepadaku tentang dua perkara yang merupakan suatu keharusan

akan menimpamu. Salah satunya ialah bahwa engkau telah berbuat zina dengan

seratus orang laki-laki.” Si istri menjawab, “Memang aku telah berbuat itu, tetapi

aku lupa dengan berapa banyak lelaki aku melakukannya.” Si suami menjawab,

6 Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 5, h. 325.

7 Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 5, h. 325.

Page 65: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

52

“Jumlah mereka adalah seratus orang laki-laki.” Si suami melanjutkan kisahnya,

“Hal yang kedua ialah engkau akan mati karena seekor laba-laba.” Karena si

suami sangat mencintai istrinya, maka ia membangunkan untuk si istri sebuah

gedung yang kokoh lagi tinggi untuk melindunginya dari penyebab tersebut.

Tetapi pada suatu hari ketika mereka sedang asyik masyuk, tiba-tiba ada seekor

laba-laba di atap rumah.

Lalu ia memperlihatkan laba-laba itu kepada istrinya. Maka si istri berkata,

“Inikah yang engkau takutkan akan menyerang diriku? Demi Allah, bahkan

akulah yang akan membunuhnya.”

Para pembantu menurunkan laba-laba itu dari atap ke bawah, kemudian si

istri dengan sengaja mendekatinya dan menginjaknya dengan jempol kakinya

hingga laba-laba itu mati seketika itu juga.

Akan tetapi, takdir Allah berjalan sesuai dengan kehendak-Nya. Ternyata

ada sebagian dari racun laba-laba itu yang masuk ke dalam kuku jari kakinya dan

terus menembus ke dagingnya, hingga kaki si wanita itu menjadi hitam dan

membusuk; hal tersebutlah yang mengantarkannya kepada kematian.8

Dalam pembahasan ini Ibn Kathīr mengetengahkan sebuah kisah tentang

Raja al-Ḥaḍar yang bernama Saṭīrun, ketika ia diserang oleh Raja Sabūr yang

mengepung bentengnya. Akhirnya Sabūr dapat membunuh semua orang yang ada

di dalam benteng sesudah mengepungnya selama dua tahun. Sehubungan dengan

kisah ini orang-orang Arab merekamnya ke dalam syair-syair mereka, yang antara

lain mengatakan:

8 Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 5, h. 325-326.

Page 66: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

53

اىلا ئذ د ـ ـية جل اى ا اىحض ئذ ا أخ مـ ذ ا ف ـا فييطي ي ميـ ا ييـ ا ا ـاد

لـ ف ا يل ػ ف اد اىـ ـ أ اى ج ى

Raja Al-Ḥaḍar, ketika membangun negerinya dan Sungai Tigris

dialirkannya menuju negerinya, begitu pula Sungai Khabūr, ia

membangun istananya dengan memakai batu marmar dan lantainya

memakai keramik yang indah lagi anggun.9 Di atas puncak istananya

yang tinggi itu banyak burung merpati bersarang. Tangan-tangan

kematian tidak ditakuti oleh benteng yang kokoh lagi tinggi itu. Akan

tetapi, si raja binasa dalam membela bentengnya yang kini menjadi

reruntuhan yang ditinggalkan.

Ketika „Alī masuk menemui „Uthmān, ia mengatakan, “Ya Allah,

persatukanlah umat Muhammad.” Kemudian „Alī mengucapkan syair berikut:

ـا ؼا ا ف اى د ذا ع ىؼـاد ى ا زا ت ل ق ػز أ اى

ؼا لا ا أج اىل اه ف غيق اىحص و اىحص ث أ

Aku melihat bahwa maut tidak menyisakan seorang yang perkasa pun, dan

tidak pernah memberikan perlindungan kepada pemberontak di negeri ini

dan kawasan ini. Penduduk benteng tinggal dengan aman, sedangkan

pintu benteng dalam keadaan tertutup kemegahan dan tingginya

menyamai bukit-bukit.

Ibn Hishām mengatakan bahwa Kisrā Sabūr —yang dijuluki Ẓū al-Aktāf—

yang membunuh Saṭīrun, Raja al-Ḥaḍar. Tetapi di lain kesempatan Ibn Hishām

mengatakan pida bahwa sesungguhnya orang yang membunuh Raja al-Ḥaḍar

adalah Sabūr Ibn Ardshīr Ibn Babik, generasi pertama Raja Banī Sasān; dia

pulalah yang mengalahkan raja-raja Ṭawāif dan mengembalikan kekuasaan

kepada kekaisarannya.

Adapun Sabūr yang dijuluki Ẓū al-Aktāf, dia bani muncul jauh sesudah itu.

Demikianlah menunit riwayat yang diketengahkan oleh al-Suhailī. Ibn Hishām

menceritakan bahwa Sabūr mengepung benteng Saṭīrun selama dua tahun.

9 Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 5, h. 327.

Page 67: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

54

Peperangan itu terjadi karena Saṭīrunlah yang memulainya; Satimn menyerang

negeri Sabūr di saat Raja Sabūr sedang bepergian ke Irak.

Pada suatu hari putri Raja Saṭīrun bernama Nadirah naik ke atas benteng,

lalu ia melihat-lihat, dan pandangan matanya tertuju ke arah Raja Sabūr yang

memakai pakaian kebesaran yang terbuat dari kain sutra, di atas kepalanya

terdapat mahkota terbuat dari emas murni yang bertatahkan intan dan berbagai

macam batu permata yang amat langka.

Hati si putri terpikat, lalu ia menyusup menemuinya dan mengatakan

kepadanya, “Jika aku bukakan pintu benteng ini, maukah kamu memperistri

diriku?” Maka Raja Sabur menjawab, “Ya.”

Pada sore harinya Raja Saṭīrun minum khamr hingga mabuk, dan sudah

menjadi kebiasaannya bila hendak tidur ia mabuk terlebih dahulu. Maka putrinya

mengambil kunci pintu gerbang benteng dari bawah bantal ayahnya. Setelah itu

kunci tersebut ia kirimkan kepada Raja Sabūr melalui seorang bekas budaknya,

maka Raja Sabūr dapat membuka benteng tersebut.

Menurut riwayat yang lain, si putri menunjukkan kepada mereka sebuah

rajah yang berada di dalam benteng itu. Benteng tersebut tidak akan dapat dibuka

sebelum diambil seekor burung merpati abu-abu, lalu kedua kakinya dibasahi

dengan kotoran darah haid seorang gadis yang bermata biru, kemudian baru

dilepaskan terbang. Apabila burang merpati itu hinggap di atas tembok benteng,

maka tembok benteng itu akan runtuh dan terbukalah pintu gerbangnya.

Raja Sabūr melakukan hal tersebut. Setelah pintu gerbang benteng terbuka,

maka Sabūr membunuh Raja Saṭīrun dan berlaku sewenang-wenang kepada

Page 68: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

55

penduduk benteng, lalu merusaknya hingga menjadi puing-puing. Kemudian ia

berangkat bersama putri tersebut yang telah ia kawini.10

Tersebutlah bahwa di suatu malam hari ketika si putri telah berada di atas

peraduannya, tiba-tiba ia gelisah, tidak dapat tidur.11

Hal ini membuat resah si

raja, lalu ia mengambil sebuah lilin dan memeriksa tempat tidur istrinya, ternyata

ia menjumpai selembar daun pohon as (yang pada zaman itu sebagai kertas).

Raja Sabūr berkata kepadanya, “Rupanya inilah yang menyebabkan kamu

tidak dapat tidur. Apakah yang telah dilakukan oleh ayahmu di masa lalu?” Ia

menjawab, “Dahulu ayahku menghamparkan kain sutra kasar buat permadaniku

dan memakaikan kepadaku kain sutra yang indah-indah, serta memberiku makan

sumsum dan memberiku minuman khamr.”

Al-Ṭabarī menceritakan bahwa dahulu ayah si putri memberinya makan

sumsum dan zubdah serta madu yang bermutu tinggi, dan memberinya minum

khamr. Al-Ṭabarī menceritakan pula, bahwa Raja Sabūr dapat melihat sumsum

betisnya (karena kecantikannya dan keindahan tubuhnya).

Raja Sabūr akhirnya berkata, “Ternyata jasa ayahmu itu dibalas olehmu

dengan air tuba, dan engkau pun pasd akan lebih cepat melakukan hal yang sama

terhadap diriku.”

Raja Sabūr akhirnya memerintahkan agar permaisurinya itu ditangkap, lalu

gelungan rambutnya diikatkan ke buntut kuda, kemudian kudanya dihardik untuk

lari sekencang-kencangnya, hingga matilah ia diseret kuda.

10

Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 5, h. 328. 11

Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 5, h. 328.

Page 69: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

56

جص لة ا “dan jika mereka memperoleh kebaikan.” (QS. al-Nisā‟:

78). Yaitu kemakmuran dan rezeki yang berlimpah berupa buah-buahan, hasil

pertanian, banyak anak, dan lain-lainnya berupa rezeki. Demikianlah menurut

pendapat Ibn Abbās, Abū al-Aliyah, dan al-Saddī.12

ة ئ جص ػ ىا اذ mereka mengatakan, “Ini adalah dari sisi ,ق

Allah,” dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana. (QS. al-Nisā‟: 78). Berupa

paceklik, kekeringan, dan rezeki yang kering, atau tertimpa kematian anak atau

tidak mempunyai penghasilan atau lain-lainnya yang merupakan bencana.

Demikianlah menurut pendapat Abū al-Aliyah, dan al-Saddī.

ك ػ ىا اذ mereka mengatakan, “Ini (datangnya) dari sisi kamu ,ق

(Muhammad).” (QS. al-Nisā‟: 78). Yakni dari sisi kamu, disebabkan kami

mengikuti kamu dan memasuki agamamu. Seperti makna yang terkandung di

dalam firman-Nya yang menceritakan perihal kaum Fir‟aun, yaitu: اىحلة فاذا ااج

ؼ ي ا ي ة يطي جص ئ ا ىا Kemudian apabila datang kepada , اى

mereka kemakmuran, mereka berkata, "Ini adalah karena (usaha) kami." Dan jika

mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa

dan orang-orang yang mengikutinya. (QS. al-A‟rāf: 131). Juga semakna dengan

apa yang terkandung di dalam firman-Nya: ؼ ػي اىياا , Dan di

antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi. (QS. al-

Ḥājj: 11), hingga akhir ayat. Demikian pula yang dikatakan oleh orang-orang

munafik, yaitu mereka yang masuk Islam lahiriahnya, sedangkan hati mereka

benci terhadap Islam. Karena itulah bila mereka tertimpa bencana, maka mereka

12

Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 5, h. 329.

Page 70: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

57

kaitkan hal itu dengan penyebab karena mengikuti Nabi saw. Al-Saddī

mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: جص لة ا , “dan jika mereka

memperoleh kebaikan.” (QS. al-Nisā‟: 78).

Kemudian Ibn Kathīr menjelaskan kata al-ḥasanah ialah kemakmuran dan

kesuburan yang membuat ternak mereka berkembang biak dengan pesatnya—

begitu pula ternak kuda mereka— dan keadaan mereka menjadi membaik serta

istri-istri mereka melahirkan anak-anaknya.

ة ئ جص ػ ىا اذ mereka mengatakan, “Ini adalah dari sisi ,ق

Allah,” dan kalau mereka tertimpa sesuatu bencana. (QS. al-Nisā‟: 78). Yang

dimaksud dengan sayyi-ah ialah kekeringan (paceklik) dan bencana yang

menimpa harta mereka; maka mereka melemparkan kesialan itu kepada Nabi

Muhammad saw., lalu mereka mengatakan, “Ini gara-gara kamu.” Dengan kata

lain, mereka bermaksud bahwa karena kami meninggalkan agama kami dan

mengikuti Muhammad, akhirnya kami tertimpa bencana ini. Maka Allah swt.

menurunkan firman-Nya: ػ Katakanlah, “Semuanya (datang) dari , و مول

sisi Allah.” (QS. al-Nisā‟: 78)

Adapun firman Allah Swt.: ػ Katakanlah, “Semuanya , و مول

(datang) dari sisi Allah.” (QS. al-Nisā‟: 78). Maksudnya, semuanya itu adalah

atas ketetapan dan takdir Allah, Dia melakukan keputusan-Nya terhadap semua

orang, baik terhadap orang yang bertakwa maupun terhadap orang yang durhaka,

dan baik terhadap orang mukmin maupun terhadap orang kafir, tanpa pandang

bulu.13

13

Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 5, h. 331.

Page 71: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

58

Ibn Kathīr merujuk sebuah riwayat „Alī Ibn Abū Ṭalḥah meriwayatkan

dari Ibn Abbās sehubungan dengan firman-Nya: ػ ,Katakanlah , و مول

“Semuanya (datang) dari sisi Allah.” (QS. al-Nisā‟: 78). Yaitu kebaikan dan

keburukan itu semuanya dari Allah. Hal yang sama dikatakan oleh al-Ḥasan al-

Baṣrī. Kemudian Allah swt. berfirman, mengingkari mereka yang mengatakan

demikian yang timbul dari keraguan dan kebimbangan mereka, minimnya

pemahaman dan ibnu mereka yang diliputi dengan kebodohan dan aniaya, yaitu:

ثاا فق لناد اه اؤلا اىق Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) ,ف

hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun. (QS. al-Nisā‟: 78).

Sehubungan dengan firman-Nya: ػ Katakanlah, “Semuanya , و مول

(datang) dari sisi Allah.” (QS. al-Nisā‟: 78) terdapat sebuah hadis garib yang

diriwayatkan oleh al-Ḥāfiẓ Abū Bakr al-Bazzār. Telah menceritakan kepada kami

al-Sakan Ibn Sa„īd, telah menceritakan kepada kami „Umar Ibn Yūnus, telah

menceritakan kepada kami Ismā‟il Ibn Ḥammad, dari Muqāḍ Ibn Ḥayyān, dari

„Amr Ibn Shu‟aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang telah menceritakan, “Ketika

kami sedang duduk di sisi Rasulullah saw., datanglah Abū Bakr bersama dua

kabilah, suara mereka kedengaran amat gaduh. Lalu Abū Bakr duduk di dekat

Nabi saw. dan „Umar pun duduk di dekat Abū Bakr. Maka Rasulullah saw.

bertanya, „Mengapa suara kamu berdua kedengaran gaduh?‟ Seorang lelaki

memberikan jawaban, „Wahai Rasulullah, Abū Bakr mengatakan bahwa semua

kebaikan dari Allah dan semua keburukan dari diri kita sendiri.‟14

Rasulullah saw.

14

Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 5, h. 332.

Page 72: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

59

bersabda, „Lalu apakah yang kamu katakan, hai „Umar?‟ „Umar menjawab, „Aku

katakan bahwa semua kebaikan dan keburukan dari Allah.‟

Rasulullah saw. bersabda, „Sesungguhnya orang yang mula-mula

membicarakan masalah ini adalah Jibrīl dan Mikāil. Mikāil mengatakan hal yang

sama seperti apa yang dikatakan olehmu, hai Abū Bakr. Sedangkan Jibrīl

mengatakan hal yang sama seperti apa yang dikatakan olehmu, hai „Umar.‟ Nabi

saw. melanjutkan kisahnya, „Penduduk langit pun berselisih pendapat

mengenainya. Jika penduduk langit berselisih, maka penduduk bumi pun

berselisih pula. Lalu keduanya mengajukan permasalahannya kepada Malaikat

Isrāfil. Maka Isrāfil memutuskan di antara mereka dengan keputusan bahwa

semua kebaikan dan semua keburukan berasal dari Allah.‟

Kemudian Rasulullah saw. berpaling ke arah Abū Bakr dan „Umar, lalu

bersabda, „Ingatlah keputusanku ini olehmu berdua. Seandainya Allah

berkehendak untuk tidak didurhakai, niscaya Dia tidak akan menciptakan iblis.‟

Shaikh al-Islām Taqīy al-Dīn Abū al-Abbās Ibn Taimiyah mengatakan bahwa

hadis ini mawḍū‟ lagi buatan, menurut kesepakatan ahli ma‟rifah (para ulama).15

2. QS. Āli ‘Imrān [3]: 185

15

Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 5, h. 333.

Page 73: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

60

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada

hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan

dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia telah

beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang

memperdayakan.( QS. Āli „Imrān [3]: 185).

Pada surat ini, Ibn Kathīr menjelaskan bahwa Allah swt. memberitahukan

kepada semua makhluknya secara umum. bahwa setiap yang berjiwa pasti akan

merasakan mati. Perihalnya sama dengan firman Allah swt. yang mengatakan: مو

ا فا ػي , اام ا ل ذاىل ه ق “Semua yang ada di bumi itu akan binasa.

Tetap kekal Zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. al-

Raḥmān [55]: 26-27).

Hanya Dia sendirilah yang Hidup Kekal dan tidak mati, sedangkan jin dan

manusia semuanya mati, begitu pula para malaikat umumnya dan para malaikat

pemangku Arasy. Hanya Allah sematalah Yang Maha Esa lagi Maha perkasa

Yang Kekal Abadi. Dengan demikian, berarti Allah Yang Maha akhir,

sebagaimana Dia Maha Pertama (Akhirnya Allah tidak ada kesudahannya dan

Permulaan Allah tidak ada awalnya).

Ayat ini merupakan belasungkawa kepada semua manusia, karena

sesungguhnya tidak ada seorang pun di muka bumi ini melainkan pasti mati.

Apabila masa telah habis dan nuṭfah yang telah ditakdirkan oleh Allah

keberadaannya dari sulbi Adam telah habis, serta semua makhluk habis, maka

Allah melakukan hari kiamat dan membalas semua makhluk sesuai dengan amal

perbuatannya masing-masing,16

yang besar, yang kecil, yang banyak, yang

sedikit.serta yang tua dan yang muda, semuanya mendapat balasannya. Tiada

seorang pun yang dianiaya barang sedikit pun dalam penerimaan pembalasannya.

16

Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 4, h. 339.

Page 74: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

61

Karena itulah maka Allah Swt. berfirman: ة اىقا م أ في ا ج ئي , Dan

sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahala kalian. (QS. Āli

„Imrān [3]: 185).

Ibn Abū Ḥatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami „Abd. al-

„Azīz al-Uwaisī, telah menceritakan kepada kami „Alī Ibn Abū „Alī al-Hashīmī,

dari Ja‟far Ibn Muḥammad „Alī Ibn al-Ḥusain, dari ayahnya, dari „Alī Ibn Abū

Ṭālib ra. yang menceritakan bahwa ketika Nabi saw. wafat, dan belasungkawa

berdatangan, maka datanglah kepada mereka seseorang yang mereka rasakan

keberadaannya, tetapi mereka tidak dapat melihat ujudnya. Orang tersebut

mengatakan:

ماج ة ث و اى أ ن ػي ت )اىلي ا . مو فس ذائقة اى ئي ة اىقا م ا ف ة (ج ص مو ي ف ػزااا مو . ئ خيفاا

مو فائث , اىل ا د ما ا: ا, ف الله فثق ئيا فا , صاا ي اى فا

اا اىثي ماج , ة ن ػي اىلي .

Semoga keselamatan terlimpah kepada kalian, hai Ahl al-Bait. Begitu pula

rahmat Allah dan berkahnya, tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.

Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahala

kalian. Sesungguhnya belasungkawa dari setiap musibah itu hanyalah

kepada Allah, dan hanya kepada-Nya memohon ganti dari setiap yang

telah binasa, dan hanya kepada-Nya meminta disusulkan dari setiap yang

terlewatkan. Karena itu, hanya kepada Allah-lah kalian percaya, dan

hanyakepada-Nyalah kalian berharap, karena sesungguhnya orang yang

tertimpa musibah itu ialah orang yang terhalang tidak mendapat pahala.

Dan semoga keselamatan terlimpah kepada kalian, begitu pula rahmat

Allah dan berkah-Nya.17

Ja‟far Ibn Muḥammad mengatakan, telah menceritakan kepadaku ayahku,

bahwa „Alī Abū Ṭālib berkata. “Tahukah kalian, siapakah orang ini?” „Alī

mengatakan pula, “Dia adalah al-Khiḍir as.” Firman Allah Swt.: اىيا ز زح ػ ف

17

Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 4, h. 340-341.

Page 75: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

62

ادخو اىلية فق فاز , Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam

surga, maka sungguh ia lelah beruntung. (QS. Āli „Imrān [3]: 185).

Artinya, barang siapa yang dijauhkan dari neraka dan selamat darinya serta

dimasukkan ke dalam surga, berarti ia sangat beruntung. Ibn Abū Ḥatim

mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada

kami Muḥammad Ibn „Abdullāh al-Anṣārī, telah menceritakan kepada kami

Muḥammad Ibn „Amr Ibn Alqamah, dari Abū Salamah, dari Abū Hurayrah yang

mengatakan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: ا اى ف اىلية خ ضغ

ا ا ف , ح ادخو اىلية فق فاز)ا ؤا ا اىيا ز زح ػ Tempat sebuah cemeti di“ , (ف

dalam surga lebih baik daripada dunia dan apa yang ada di dalamnya. Bacalah

oleh kalian jika kalian suka, yaitu firman-Nya, “Barang siapa dijauhkan dari

neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguhlah ia lelah beruntung.”

(QS. Āli „Imrān [3]: 186).

Hadis ini ditetapkan di dalam kitab Ṣaḥīḥain melalui jalur lain tanpa

memakai tambahan ayat. Telah diriwayatkan pula oleh Ibn Abū Ḥatim serta Ibn

Ḥibbān di dalam kitab Ṣaḥīḥ-nya dan Imām Ḥakīm18

di dalam kitab Mustadrak-

nya tanpa memakai tambahan ini melalui hadis Muḥammad Ibn „Amr.

Telah diriwayatkan pula dengan memakai tambahan ini oleh Ibn

Murdawaih melalui jalur yang lain. Untuk itu Ibn Murdawaih menceritakan, telah

menceritakan kepada kami Muḥammad Ibn Aḥmad Ibn Ibrāhīm, telah

menceritakan kepada kami Muḥammad Ibn Yaḥyā, telah menceritakan kepada

kami Ḥumaid Ibn Mas‟adah, telah menceritakan kepada kami „Amr Ibn „Alī, dari

18

Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 4, h. 341.

Page 76: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

63

Abū Ḥāzim, dari Sahl Ibn Sa‟d yang menceritakan bahwa Rasulullah saw. pernah

bersabda: ا اف ا اى ف اىلية خ أ م ضغ Sesungguhnya tempat sebuah“ ,ى

cemeti seseorang di antara kalian di dalam surga lebih baik daripada dunia ini

dan semua yang ada di dalamnya.”

Sahl Ibn Sa‟d melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu beliau saw.

membacakan firman-Nya: ادخو اىلية فق فاز اىيا ز زح ػ Barang siapa“ ,ف

dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga,maka sungguh ia telah

beruntung.” (QS. Āli „Imrān [3]: 185). Dalam pembahasan yang lalu sehubungan

dengan firman-Nya: لي ح أ ي ئلي ج لج , dan janganlah sekali-kali kalian mati

melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS. Āli „Imrān [3]: 102)

Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Wakī‟ Ibn al-Jarraḥ di dalam kitab

tafsirnya, dari al-A‟māsī Ibn Zaid Ibn Wahb, dari „Abd. al-Raḥmān iIbn „Abdū

Rabb al-Ka‟bah, dari „Abdullāh Ibn „Amr Ibn al-Aṣ yang menceritakan bahwa

Rasulullah saw. pernah bersabda: خو اىلية اىيا ز زح ػ أ ي ػ يح . فيح م

ااخ اى الله إ , إج ئى ا ح ا اىأج ئى اىياا . , Barang siapa yang ingin

dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka hendaklah ia mati

sedang ia dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari kemudian. Dan

hendaklah ia memberikan kepada orang-orang apa yang ia suka bila diberikan

kepada dirinya sendiri. Imām Aḥmad meriwayatkannya di dalam kitab

musnadnya dari Waki‟ dengan lafaz yang sama.19

Firman Allah Swt.: حاع اىغ ا ئلي ا اىحا اى , Kehidupan dunia itu tidak

lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. (QS. Āli „Imrān [3]: 185).

19

Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 4, h. 343.

Page 77: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

64

Makna ayat ini mengecilkan perkara duniawi dan meremehkan urusannya. Bahwa

masalah duniawi itu adalah masalah yang rendah, pasti lenyap, sedikit, dan pasti

rusak. Seperti yang diungkapkan oleh Allah swt. dalam ayat yang lain, yaitu

firman-Nya: ا ق ي ااخ خ ا اىحا اى Tetapi kamu (orang-orang kafir)“ , و جإث

memilih kehidupan duniawi. Sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan

lebih kekal.” (QS. al-A‟lā: 16-17).20

Juga firman: ا حاا اىحا اى ئ ف ح ج ا ا

ا ق ي خ ا ػ حا ز , “Dan apa saja yang diberikan kepada kalian, maka itu

adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya, sedangkan apa yang di sisi

Allah adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. al-Qaṣaṣ: 60).

Dan dalam sebuah hadis disebutkan: س ا م ا غ ا ف ااخ ئلي م ا اى

, ا ؼ ف اى ج غ ئى ظ في , “Demi Allah, tiadalah dunia ini dalam kehidupan di

akhirat, melainkan sebagaimana seseorang di antara kalian mencelupkan jari

telunjuknya ke dalam laut, maka hendaklah ia melihat apa yang didapat olehnya

dari laut itu.”

Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: ا ا اىحا اى

حاع اىغ Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang“ ,ئلي

memperdayakan.” (QS. Āli „Imrān [3]: 185). Bahwa kehidupan duniawi itu

merupakan kesenangan yang akan ditinggalkan; tidak lama kemudian, demi Allah

yang tidak ada Tuhan selain Dia, pasti menyurut dan hilang dari pemiliknya.

Karena itu, ambillah dari kehidupan ini sebagai sarana untuk taat kepada Allah,

jika kalian mampu dan tidak ada kekuatan (untuk melakukan ketaatan) kecuali

berkat pertolongan Allah swt.

20

Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 4, h. 343.

Page 78: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

65

3. QS. Āli ‘Imrān [3]: 156-158

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang

kafir (orang-orang munafik) itu, yang mengatakan kepada saudara-

saudara mereka apabila mereka Mengadakan perjalanan di muka bumi

atau mereka berperang: "Kalau mereka tetap bersama-sama kita tentulah

mereka tidak mati dan tidak dibunuh." akibat (dari Perkataan dan

keyakinan mereka) yang demikian itu, Allah menimbulkan rasa penyesalan

yang sangat di dalam hati mereka. Allah menghidupkan dan mematikan.

dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan. Dan sungguh kalau kamu

gugur di jalan Allah atau meninggal, tentulah ampunan Allah dan rahmat-

Nya lebih baik (bagimu) dari harta rampasan yang mereka kumpulkan.

Dan sungguh jika kamu meninggal atau gugur, tentulah kepada Allah saja

kamu dikumpulkan. (QS. Āli „Imrān [3]: 156-158)

Ibn Kathīr menjelaskan ayat di atas bahwa Allah swt. melarang hamba-

hamba-Nya yang mukmin meniru orang-orang kafir dalam akidah mereka yang

rusak. Hal tersebut diketahui melalui ucapan mereka terhadap saudara-saudara

mereka yang mati dalam perjalanan dan yang mati dalam peperangan. Seandainya

mereka yang mati itu tidak melakukan hal tersebut, niscaya mereka tidak akan

tertimpa apa yang menimpa mereka.21

Untuk itu Allah swt. berfirman: ا اىي أ

ا خ ا ا اى ا مف ا لجنا ماىي Hai orang-orang yang beriman, janganlah“ ,اا

21

Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 4, h. 239.

Page 79: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

66

kamu seperti orang-orang kafir (orang-orang munafik) itu, yang mengatakan

kepada saudara-saudara mereka” (QS. Āli „Imrān: 156)

Yakni perihal saudara-saudara mereka. ئذا ض ا ف اا, “apabila

mereka mengadakan perjalanan di muka bumi.” (QS. Āli „Imrān: 156).

Maksudnya, mereka melakukan perjalanan untuk niaga atau tujuan lainnya. ا ما أ

atau mereka berperang.” (QS. Āli „Imrān: 156) yaitu mereka berada dalam“ ,غزا

peperangan. ا اػ ما Kalau mereka tetap bersama-sama kita”. (QS. Āli“ ,ى

„Imrān: 156) yakni tetap tinggal di dalam kota. ا ا حي ا اج ا , “tentulah mereka

tidak mati dan tidak dibunuh.” (QS. Āli „Imrān: 156) yakni mereka tidak mati

dalam perjalanan dan tidak terbunuh dalam peperangan.22

Firman Allah Swt.: Sebagai akibat dari hal itu“ ,ىلؼو ذاىل ل ا ف ي

Allah menimbulkan rasa penyesalan yang sangat di dalam hati mereka. (QS. Āli

„Imrān: 156). Artinya, Allah menimbulkan keyakinan ini dalam hati mereka agar

penyesalan mereka makin bertambah terhadap orang-orang mereka yang mati dan

terbunuh.

Kemudian Allah menjawab mereka melalui firman-Nya: ث ح ,

“Allah menghidupkan dan mematikan.” (QS. Āli „Imrān: 156). Yakni semua

makhluk berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, dan hanya kepada Allah-

lah urusan itu dikembalikan. Tidak ada seorang pun yang hidup dan tidak ada

seorang pun yang mati kecuali berdasarkan kehendak dan takdir-Nya. Tidak

ditambahkan pada umur seseorang, tidak pula dikurangi sesuatu dari usianya

kecuali dengan keputusan dan takdir Allah. ص ي ا جؼ , “Dan Allah melihat

22

Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, Juz 4, h. 239.

Page 80: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

67

apa yang kalian kerjakan.” (QS. Āli „Imrān: 156). Yaitu pengetahuan dan

penglihatan Allah menembus semua makhluk-Nya, tidak ada sesuatu pun yang

samar dari perkara mereka bagi Allah.23

Firman Allah swt.: ؼ ا ل ي ة خ غف ى ح و أ ف ى حيح ,

“Dan sungguh kalau kalian gugur di jalan Allah atau meninggal, tentulah

ampunan Allah dan rahmat-Nya lebih baik (bagi kalian) daripada harta

rampasan yang mereka kumpulkan. (QS. Āli „Imrān: 157). Ayat ini mengandung

makna yang menunjukkan bahwa mati terbunuh di jalan Allah merupakan sarana

untuk memperoleh rahmat Allah, ampunan, dan rida-Nya. Hal ini jelas lebih baik

daripada tetap hidup di dunia dan mengumpulkan semua perbendaharaannya yang

fana itu.24

Kemudian Allah swt. memberitakan bahwa semua orang yang mati atau

terbunuh, tempat kembali dan kepulangannya hanyalah kepada Allah swt. Lalu

Allah akan memberikan balasan kepadanya sesuai dengan amal perbuatannya.

Jika amal perbuatannya baik, maka balasannya baik pula; dan jika amal

perbuatannya buruk, maka balasannya buruk pula. Untuk itu Allah Swt.

berfirman: ى جح ا حيح أ ح ى ,“Dan sungguh jika kalian meninggal atau

gugur, tentulah kepada Allah saja kalian dikumpulkan.” (QS. Āli „Imrān: 158).25

23

Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, Juz 4, h. 240. 24

Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, Juz 4, h. 241. 25

Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, Juz 4, h. 242.

Page 81: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

68

C. QS. al-Jumu’ah [62]: 5-8

“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat,

kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa

Kitab-Kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang

mendustakan ayat-ayat Allah itu. dan Allah tiada memberi petunjuk

kepada kaum yang zalim. Katakanlah: "Hai orang-orang yang menganut

agama Yahudi, jika kamu mendakwakan bahwa Sesungguhnya kamu

sajalah kekasih Allah bukan manusia-manusia yang lain, Maka

harapkanlah kematianmu, jika kamu adalah orang-orang yang benar".

Mereka tiada akan mengharapkan kematian itu selama-lamanya

disebabkan kejahatan yang telah mereka perbuat dengan tangan mereka

sendiri. dan Allah Maha mengetahui akan orang-orang yang zalim.

Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, Maka

Sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan

dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang

nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan". (QS.

al-Jumu‟ah [62]: 5-8).

Ibn Kathīr menafsirkan ayat di atas bahwa Allah seraya mencela orang-

orang Yahudi yang telah diberikan kitab Taurat dan dibebankan kepada mereka

untuk diamalkan, namun mereka tidak mengamalkannya. Hal itulah yang

menjadikan mereka diberi perumpamaan seperti keledai yang mengangkut kitab-

Page 82: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

69

kitab yang tebal.26

Yakni seperti keledai membawa kitab, di mana ia tidak

mengetahui isinya. Ia hanya memikul dengan pikulan inderawi, tidak memahami

kandungan yang terdapat di dalamnya. Demikian juga dengan orang-orang

Yahudi yang memegang kitab Taurat yang telah diberikan kepada mereka, lalu

mereka menghafalnya secara harfiyah tetapi sama sekali tidak memahaminya serta

tidak mengamalkan makna yang terkandung di dalamnya. Bahkan mereka

menakwilkan menyelewengkan, dan merubahnya. Mereka sebenarnya lebih parah

dari pada keledai, sebab keledai itu tidak mempunyai pemahaman sama sekali

terhadap kitab yang dipikulnya, sedangkan mereka sebenarnya mempunyai

pemahaman tetapi tidak dipakai untuk memahaminya. Oleh karena itu, Allah swt

berfirman dalam surat yang lain. ( اىغافي ى ل أضول أ و ؼا ى ل ماا mereka itu“ (ا

sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-

orang yang lalai.” (QS. al-A‟rāf [7]: 179).

Ibn Kathīr merujuk sebuah riwayat Imām Aḥmad ra. meriwayatkan dari

Ibn Abbās, ia berkata:

مام يطب ف هو كمثل المار يمل أسفار واللذي ي قول له من تكلم ي وم المعة وال ل له عة , أ

Barangsiapa bercakap-cakap pada hari jum‟at sedang imam sedang

berkhutbah, maka dia seperti keledai yang tengah membawa kitab yang

tebal. Dan orang yang mengatakan: diamlah kamu, kepada orang lain,

maka tidak ada (pahala shalat) jum‟at (yang sempurna) baginya.27

Kemudian Allah swt berfirman:. د ىاا لله أ أين ح زػ ا ئ اد ا اىي و اأ

اد ح م ت ئ ا اى ي katakanlah: hai orang-orang yang menganut“ ,اىياا فح

agama Yahudi, jika kamu mendakwakan bahwa sesungguhnya kamu sajalah

26

Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 62, h. 6. 27

Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 62, h. 6.

Page 83: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

70

kekasih Allah, bukan manusia-manusia yang lain, maka harapkanlah

kematiannmu jika kamu adalah orang-orang yang benar.” ( QS. al-Jumu‟ah [62]:

6). Maksudnya, jika kalian mengaku bahwa kalian berada dalam petunjuk

sedangkan Muhammad dan para sahabatnya sesat. Maka berdo‟alah supaya lekas

mati di antara dua golongan yang ada, jika anggapan kalian benar.

Allah swt berfirman: ث أ ا ي ا أ ا ي ي ل ح , “mereka tidak akan

mengharapkan kematian itu selama-lamanya disebabkan kejahatan yang telah

mereka perbuat dengan tangan mereka sendiri”. Yakni kekufuran, kezaliman,

dan kejahatan yang telah mereka kerjakan. اىظياى ػي , “dan Allah maha

mengetahui orang-orang yang zalim”. Pembahasan masalah ini sudah

diterangkan dalam surat al-Baqarah ayat 94 mengenai mubaḥalah28

dengan orang-

orang Yahudi, di mana Dia berfirman: د خاىصةا ا ااخ ػ اى ي ماث ىن و ئ

اد ح م ت ئ ا اى ي Katakanlah: "Jika kamu (menganggap bahwa)“ ,اىياا فح

kampung akhirat (surga) itu khusus untukmu di sisi Allah, bukan untuk orang

lain, Maka inginilah kematian(mu), jika kamu memang benar.” (QS. al-Baqarah

[2]: 94).

Sebagaimana murbaḥalah dengan orang-orang Nasrani juga telah

dikemukakan dalam surat Āli „Imrān ayat 61,29

di mana Allah berfiman: ل ا ي ف

و ي ح ث فلن أ فلا أ لاام لااا أ اام ا ع أ ااا فقو جؼاى اىؼي ا ااك ؼ ف

Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah“ ,فلؼو ىيؼث ػي اىناذ

datang ilmu (yang meyakinkan kamu), Maka Katakanlah (kepadanya): "Marilah

28

Mubaḥalah ialah masing-masing pihak di antara orang-orang yang berbeda pendapat

(berselisih) berdoa kepada Allah dengan sungguh-sungguh, agar Allah menjatuhkan laknat kepada

pihak yang berdusta. Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 62, h. 6. 29

Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 62, h. 6.

Page 84: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

71

kita memanggil anak-anak Kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri Kami dan

isteri-isteri kamu, diri Kami dan diri kamu; kemudian Marilah kita bermubahalah

kepada Allah dan kita minta supaya la'nat Allah ditimpakan kepada orang-orang

yang dusta.” (QS. Āli „Imrān [3]: 61).30

Serta mubahalah dengan orang-orang

Musyrik dalam surat Maryam: ا ا حي ئذا أ ا ا د ى اى ي ىة في ف اىضي ما و

ا ا أضؼف نااا ي ل اػة فلؼي ا اىلي ي ئ ا اىؼ اا ي ئ ػ ا , “Katakanlah:

"Barang siapa yang berada di dalam kesesatan, Maka Biarlah Tuhan yang Maha

Pemurah memperpanjang tempo baginya; sehingga apabila mereka telah melihat

apa yang diancamkan kepadanya, baik siksa maupun kiamat, Maka mereka akan

mengetahui siapa yang lebih jelek kedudukannya dan lebih lemah penolong-

penolongnya". (QS. Maryam [19]: 75)

Ibn Kathīr merujuk lagi sebuah riwayat Imām Aḥmad yang riwayatannya

dari Ibn Abbās, ia berkata: “Abū Jahal semoga Allah melaknatnya berkata: Jika

aku melihat Muhammad berada di dekat Ka‟bah, pastilah aku akan

mendatanginya dan menginjak lehernya, maka Rasulullah saw lanjut Ibn Abbās,

bersabda:31

ث نا ف رات عن عبد الكريم عن عكرمة عن ابن ث نا إساع ل بن يزيد الرقي أبو يزيد حد حدعباس قال قال أبو جهل لئن رأي رسول الله صلى الله عل ه وسلم ي لي عند الكعبة لت نه حت أطأ على عنقه قال ف قال لو ف عل لخذته الملئكة ع ا ا ولو أن ال هود تن وا الموت لماتوا ورأوا مقاعدهم ف النار ولو خرج الذين ي باهلون رسول الله صلى الله عل ه

وسلم لرجعوا دون ما و أهل

30

Mubaḥalah ialah masing-masing pihak di antara orang-orang yang berbeda Pendapat

mendoa kepada Allah dengan bersungguh-sungguh, agar Allah menjatuhkan la'nat kepada pihak

yang berdusta. Nabi mengajak utusan Nasrani Najran bermubahalah tetapi mereka tidak berani dan

ini menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw. 31

Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 62, h. 7.

Page 85: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

72

“Kalau saja dia berani melakukan hal itu, pastilah dia ditindak oleh para

malaikat dengan terang-terangan. Kalau saja orang-orang Yahudi itu

mengangankan kematian, pastilah mereka mati seketika itu juga dan akan

melihat tempat mereka di neraka dan kalau saja orang-orang yang

bermubahalah dengan Rasulullah itu keluar, pastilah mereka pulang

tanpa melihat lagi keluarga dan harta (mereka).” [HR. al-Bukhārī, al-

Tirmidhī, dan al-Nasā‟i]

Firman Allah swt selanjutnya: ئى ي ج د ث ن فاي جف ت اىي ي اى و ئ

ي جؼ ح ا م اد ف ن اى اىغ Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang ,ػاى

kamu lari daripadanya, Maka Sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu,

kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib

dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan".

(QS. al-Jumu‟ah [62]: 8). Penggalan ayat ini sama seperti firman-Nya dalam surat

al-Nisa‟ berikut ini: ي ف ح م ى ت اى ا من ا جن di mana saja kamu“ ,أ

berada, kematian akan mendapatkan kamu, Kendatipun kamu di dalam benteng

yang Tinggi lagi kokoh,” (QS. al-Nisā‟ [4]: 78).32

32

Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 62, h. 8.

Page 86: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

73

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari rumusan masalah sebagaimana pemilihan ayat-ayat penulis bisa

menyimpulkan skripsi ini adalah Ibn Kathīr menafsirkan tentang kematian.

Menurutnya, bahwa setiap umat manusia akan mengalami kematian tidak satupun

yang akan selamat atau terhindar dari maut (QS.al-Nisā’ [4]: 78). Juga Ibn Kathīr

menjelaskan bahwa Allah swt. memberitahukan kepada semua makhluknya secara

umum. bahwa setiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati (QS. Āli ‘Imrān [3]:

185). Namun sisi lain, ada pesan yang harus diperhatikan bagi orang Mukmin

adalah supaya tidak meniru orang-orang kafir dalam akidah mereka yang rusak.

Seandainya mereka melakukan demikian niscaya mereka akan tertimpa apa yang

menimpa mereka yaitu azab (QS. Āli ‘Imrān [3]: 156-158)

Ibn Kathīr juga menggambarkan apabila suatu kaum melakukan

kezhaliman dan penganiayaan, Allah memberikan kesempatan agar mereka

kembali ke jalan yang benar. Namun apabila suatu penduduk negeri melakukan

kemasiatan dan kezhaliman, maka Allah akan membinasakan negeri itu dengan

azab yang sangat keras. Dengan demikian sakaratul maut datang dengan sebenar-

benarnya sehingga manusia itu tidak dapat melarikan diri dari kematian, ke

manapun ia akan berlari. Karena ia pasti akan bertemu dengan kematian itu.

B. Saran-saran

Setelah mengambil kesimpulan dalam skripsi ini, maka penulis

menawarkan beberapa saran yang mungkin berguna dalam kehidupan sehari-hari.

Page 87: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

74

Sehingga apa yang terkandung dalam skripsi ini benar-benar dapat memberikan

sumbangan dalam menciptakan ketenangan baik lahir maupun batin. Tentulah di

dalam konsep karya ini masih banyak dijumpai kelemahan di sana-sini. Oleh

karena itu bagi penyusun merasa perlu untuk memberikan saran-saran yang

berkaitan dengan skripsi ini.

Perlunya setiap insan manusia mengingat akan mati karena dengan

mengingatnya senantiasa manusia tidak akan melanggar apa yang dilarang oleh

Allah dalam menjalani kehidupan ini. Kematian juga dapat kita jadikan tolak ukur

diri kita untuk selalu taat dan beriman kepada Allah. Kemudian dengan mengingat

kematian juga menjadikan nasihat agar kita tidak mudah terpeleset dalam

keburukan sikap dan tingkah laku. Kita sering kali begitu mudah melupakan

kematian. Padahal, kematian tak pernah melupakan kita. Kematian ibarat jalan

yang akan dilalui oleh setiap manusia. Hanya saja kapan peristiwa itu terjadi tak

ada yang tahu kecuali Allah swt.

Penelitian ini tidak sampai disini saja oleh karena itu masih banyak

kemungkinan yang akan diteliti di kemudian hari dengan penulis lainya, sebagai

proses dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Akhir kata semoga skripsi ini

yang sederhana dan jauh dari kesempurnaan ini dapat menjadi sumbangan bagi

dunia ilmu pengetahuan dan semoga bermanfaat bagi penyusun, pembaca serta

yang mengoreksinya, Aamiin...

Page 88: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

75

DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar, Bahrun. Tafsir Ibnu Katsir, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2000.

Abuddin Nata. Ensiklopedi al-Qur’an, Jakarta: Yayasan Bimantara PT. Intermasa,

1997.

Aḥmad bin Sha’ib Abū ‘Abd al-Raḥmān Nasā’i. al-Mujtabī Minassunan, juz 4,

Beirut: 1824.

Anis, Ibrāhīm. al-Mu’jam al-Wāsiṭ, Beirut: Dar el-Fikr, tth.

Ash Shiddieqy, Hasbi. Ilmu ilmu al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1972.

As-Sadlani, Shaleh Ghanim. bagaimana seharusnya kita bertobat, Jakarta:

Firdaus, 1992.

Bahreisy, Salim. Tafsir Ibnu Katsir, Malaysia: Victory Agencie, 1988.

---------------. Tafsir Ibnu Katsir, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1990.

Baidan, Nashiruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Cet II, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2000.

---------------. Rekonstruksi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa,

2000.

Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. Ensiklopedia Islam, Cet III, Jakarta : Ichtiar

Baru Van Hoe Ve, 1994.

Djamaluddin, Burhan. Konsepsi Taubat: Pintu Pengampunan Dosa Besar, Dosa

Syirik Masih Terbuka, Surabaya: Dunia Ilmu, 1996.

Faudah, Maḥmūd Basunī. Tafsir-tafsir al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi

Tafsir, diterj. H.M. Mochtar Zoerni, Abdul Qodir Hamid dari kitab al-

Tafsīr wa Manahijuhu, Bandung: Penerbit Pustaka, 1987.

Ghaffar, Abdul. Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir (Lubabut Tafsir Min Ibnu Katsir),

Cet 1, Bogor: Pustaka asy-Syafi’i, 1994.

al-Ghazālī, Imām. Taubat Nasuha, Gresik: Putra Pelajar, 1998.

Ghofur, Saiful Amin. Profil Para Mufassir al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Insani

Madani, 2008.

Page 89: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

76

Hamid, Zeid. Imam Al-Ghazali Mukhtasor Ihya Ulumuddin, Jakarta: CV. Pustaka

Amani, 1986.

Ḥawwā, Sa‛īd, Induk Pensucian Diri, Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD,

1992.

Kabalah, ‘Ūmar Riḍā. Mu’jam al-Mu‛allifīn. 1 jilid, Beirut: Maktabah al-

Muthanna-Dār Iḥyā al-Turāth al-‘Arābī, 1376 H/ 1957 M.

Karim, Maulana Fazlul. Ihya Ulumuddin, Bandung: Marja, 2001.

Kathīr, Ibn. al-Bidayah Wa al-Nihayah, 1 jilid, Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

--------------. Tafsir al-Qur’an al-Adzim, 1 jilid, Cet I, Beirut: Dār al-Fikr, 1997.

Khātib, Muḥammad ‘Ajjaj. Uṣūl al-Ḥadīth, Beirut: Dār al-Fikr, 1409 H.

Makluf, Louis. al-Munjid Fī al-Lughah Wa Al-A’lām, Beirut: Dār al-Shurūq,

1987.

Maswan, Nur Faizin. Kajian Deskriptif Tafsir Ibnu Katsir, Yogyakarta: Menara

Kudus, 2000.

Muhdlor, Ahmad Zudhi. Kamus al-Ashri: Arab-Indonesia, Yogyakarta: Yayasan

Ali Maksum, 1996.

Qaṭṭān, Mannā Khalīl. Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, diterj Mudzakir, AS.Cet. V,

Jakarta : PT. Pustaka Litera Antar Nusa, 2000.

Qomaruddin. Zikir Sufi-Menghampiri Ilahi dengan Tasawuf, Jakarta: Serambi,

2003.

al-Qurṭubī, Imām. al-Tadzkirah Fī Aḥwāl al-Mawta wa ‘Umūr al-Akhirah, Beirut

Lebanon: Dār el-Marefah, 1996.

Rahman, Fatchur. Ikhtisar Mushthalah al-Hadis, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1981.

---------------. Ikhtishar Mushthalahul Hadits, Cet. I, Bandung: al-Ma’arif, 1974.

Rifa’i, M. Nasib. Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta:

Gema Insani Press, 1999.

Salimī, Tirmidhī, Muḥammad bin ‘Isā Abū ‘Isā. Jāmi’ al-Ṣaḥīḥ Sunan Tirmidhī,

Beirut, tth.

Page 90: KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR

77

Sa‛id bin Muḥammad Dāib Ḥawwā. al-Mustakhlaṣ fī Tazkiyat al-Anfūs, Jakarta:

Robbani Press, 1999.

Shihab, M. Quraish. Menjemput Maut Bekal Perjalanan menuju Allah SWT,

Tanggerang: Lentera Hati, 2005.

Shihab, M. Qurais. Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2007.

Zuhri, Muhammad. Terjemah Ihya Ulumuddin, Jilid IX, Semarang: CV. Asy

Syifa, 1994.

http://evisyari.wordpress.com/2008/07/13/mati/

http://yusuf-batam.blogspot.com/2012/11/download-tafsir-ibnu-katsir-lengkap-

30.html

gus-aam.blogspot.com/2012/.../makna-kematian-menurut-sains-filosof/