Post on 10-Aug-2015
Vincentius Baskhara Sunarno ( 112010101046 )
ESOFAGITIS KOROSIF
Definisi
Esofagitis Korosif ialah peradangan di esofagus yang disebabkan oleh luka bakar
karena zat kimia yang bersifat korosif misalnya asam kuat, basa kuat dan zat organik. Zat
kimia yang tertelan dapat bersifat toksik atau korosif. Zat kimia yang bersifat korosif akan
menimbulkan kerusakan pada saluran yang dilaluinya, sedangkan zat kimia yang bersifat
toksik hanya menimbulkan gejala keracunan bila telah diserap oleh darah.
Esofagitis korosif adalah kerusakan esofagus yang terdiri dari kerusakan epitel
mukosa saja sampai kerusakan seluruh dinding esofagus karena bahan kimia yang termakan
atau terminum.
Etiologi
Bahan kimia asam atau basa kuat merupakan bahan yang sering menyebabkan
terjadinya esofagitis korosif. Basa kuat (alkali) merupakan penyebab tersering (70%)
diantaranya sodium hidroksi, pottasium hidroksi dan ammonium hidroksi. Basa kuat
menyebabkan terjadinya nekrosis mencair (liquifactum necrosis).
Penyebab esofagitis 20% nya adalah asam kuat yang bila tertelan akan menyebabkan
nekrosis menggumpal (coagulation necrosis). Bahan- bahan tersebut diantaranya
hidroklorida, sulfur, oksalat, dan asam nitrat.
Zat organik misalnya lisol dan karbol biasanya tidak menyebabkan kelainan yang
hebat, hanya terjadi edema di mukosa atau submukosa. Asam kuat menyebabkan kerusakan
pada lambung lebih berat dibandingkan dengan kerusakan di esofagus, sedangkan basa kuat
menimbulkan kerusakan di esofagus lebih berat dari pada lambung.
Epidemiologi
Angka kejadian esofagitis korosif tertelan asam kuat, basa kuat, cairan pemutih masih
jarang ditemukan maupun dilaporkan di Indonesia. Berbeda halnya di Afrika, di Nigeria
misalnya dilaporkan antara tahun 1986 s/d 1991 (5 tahun) 73 kasus striktur esofagus karena
bahan korosif, yang pada umumnya terjadi pada orang dewasa yang ingin bunuh diri. Anak di
bawah 5 tahun dilaporkan sering tertelan zat yang bersifat korosif akibat ketidaksengajaan
dan kelalaian. Sedangkan pada remaja dan dewasa dilaporkan kasus cukup sering pada
remaja sebagai percobaan bunuh diri. Tidak ada perbedaan jenis kelamin dan ras yang
mempengaruhi terjadinya esofagitis korosif.
Patofisiologi
Zat-zat korosif yang tertelan tersebut menyebabkan cedera akut serta kronis. Pada fase
akut, derajat dan perluasan lesi tegantung pada beberapa faktor diantaranya sifat zat-zat
kaustik, konsentrasinya, jumlah yang tertelan dan waktu kontak zat dengan jaringan. Asam
dan alkali mempengaruhi jaringan dengan cara yang berbeda. Alkali menguraikan jaringan
sehingga penetrasinya lebih dalam yang menyebabkan terjadinya nekrosis mencair
(liquifactum necrosis) secara histologik dinding esofagus sampai lapisan otot seolah-olah
mencair. Asam menyebabkan nekrosis koagulasi yang membatasi penetrasinya, secara
histologik dinding esofagus sampai lapisan otot seolah-olah menggumpal.
Uji coba pada binatang memperlihatkan bahwa terdapat korelasi antara dalamnya lesi
dengan konsentrasi larutan sodium hidroksida. Sodium hidroksida 3,8 % yang kontak dengan
jaringan selama 10 detik, menyebabkan nekrosis mukosa dan submukosa tapi belum
mengenai lapisan otot, sedangkan konsentrasi 22,5 % mengakibatkan terjadinya penetrasi
seluruh dinding esofagus dan kedalaman jaringan periesofagus. Kekuatan kontraksi esofagus
bervariasi menurut area esofagus, yang melemah pada bagian otot halus-lurik (tengah
esofagus) sehingga pembersihan di daerah ini dapat lebih lambat dan zat kaustik dapat
melakukan kontak dengan mukosa lebih lama. Hal inilah yang menjelaskan mengapa
esofagus lebih sering terkena dan berpengaruh lebih berat di bagian ini daripada bagian yang
lebih bawah.
Pada pemeriksaan histologis dapat memperlihatkan infiltrasi sel polimorfonuklear,
thrombosis pembuluh darah, jaringan granulasi invasi bakteri pada luka bakar derajat 2 dan 3,
jaringan fibrosa, deposisi kolagen, dan striktur dapat terbentuk.
Lesi yang disebabkan oleh larutan alkali terjadi dalam 3 fase, yaitu fase nekrosis
akut, fase ulserasi dan granulasi dan fase pembentukan jaringan parut. Fase nekrosis akut
berlangsung 1-4 hari setelah kontak. Selama periode ini, koagulasi protein-protein intraselular
menyebabkan nekrosis sel dan jaringan sekitarnya mengalami peradangan hebat. Fase
ulserasi dan granulasi di mulai 3-5 hari setelah kontak. Selama periode ini jaringan nekrosis
superfisial mengelupas, meninggalkan dasar berulkus yang mengalami peradangan akut serta
jaringan bergranulasi yang mengisi defek yang ditinggalkan oleh mukosa yang terlepas. Fase
ini berlangsung 10-12 hari dan pada periode ini esofagus berada dalam keadaan yang paling
rentan. Fase yang terakhir adalah fase pembentukan jaringan parut (sikatrik) yang di mulai
pada minggu ke tiga setelah kontak dengan agen korosif. Jaringan parut yang terbentuk
sebelumnya mulai berkontraksi menyebabkan penyempitan esofagus. Terjadinya
perlengketan antara area-area granulasi menyebabkan terbentuknya striktur. Selama periode
inilah hendaknya dilakukan usaha untuk mengurangi pembentukan striktur.
Gambaran Klinis
Keluhan dan gejala yang timbul akibat tertelan zat korosif tergntung pada jenis zat
korosif, konsentrasi zat korosif, jumlah zat korosif, lamanya kontak dengan dinding esofagus,
sengaja diminum atau tidak dan dimuntahkan atau tidak.
Secara umum keluhan dan gejala yang dapat ditemukan diantaranya nyeri didalam
mulut dan regio substernal, hipersaliva, nyeri saat menelan, dan disfagia. Sedangkan demam
dan perdarahan dapat terjadi serta sering diiringi dengan muntah.
Esofagitis korosif dibagi dalam 5 bentuk klinis berdasarkan beratnya luka bakar yang
ditemukan yaitu:
1. Esofagitis korosif tanpa ulserasi
Pasien mengalami gangguan menelan yang ringan. Pada esofagoskopi tampak mukosa
hiperemis tanpa disertai ulserasi.
2. Esofagitis korosif dengan ulserasi ringan
Pasien mengeluh disfagia ringan, pada esofagoskopi tampak ulkus yang tidak dalam
yang mengenai mukosa esofagus saja.
3. Esofagitis korosif ulserasif sedang
Ulkus sudah mengenai lapisan otot. Biasanya ditemukan satu ulkus atau lebih
(multiple).
4. Esofagitis kororsif ulseratif berat tanpa komplikasi
Terdapat pengelupasan mukosa serta nekrosis yang letaknya dalam, dan telah
mengenai seluruh lapisan esofagus. Keadaan ini jika dibiarkan akan menimbulkan striktur
esofagus.
5. Esofagitis korosif ulseratif berat dengan komplikasi
Terdapat perforasi esofagus yang dapat menimbulkan mediastinitis dan peritonitis.
Kadang-kadang ditemukan tanda-tanda obstruksi jalan nafas atas dan gangguan
keseimbangan asam dan basa.
Berdasarkan gejala klinis dan perjalanan penyakitnya esofagitis korosif dibagi dalam
3 fase yaitu akut, fase laten (intermediate) dan fase krronik (obstructive).
a.Fase Akut
Keadaan ini berlangsung 1-3 hari. Pada pemeriksaan fisik ditemukan luka bakar di
daerah mulut, bibir, faring dan kadang-kadang disertai perdarahan. Gejala yang ditemukan
pada pasien adalah disfagia yang hebat, odinofagia serta suhu badan yang meningkat. Gejala
klinis akibat tertelan zat organik dapat berupa perasaan terbakar di saluran cerna bagian atas,
mual, muntah, erosi pada mukosa, kejang otot, kegagalan sirkulasi dan pernapasan.
b.Fase Laten (intermediate)
Berlangsung selama 2-6 minggu. Pada fase ini keluhan pasien berkurang, suhu badan
menurun. Psien merasa ia telah sembuh, sudah dapat menelan dengan baik akan tetapi
prosesnya sebetulnya masih berjalan terus dengan membentuk jaringan parut (sikatriks).
c.Fase Kronis (obstructive)
Setelah 1-3 tahun akan terjadi disfagia lagi oleh karena telah terbentuk jaringan parut,
sehingga terjadi striktur esofagus.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dari adanya riwayat tertelan zat korosif atau zat organik, gejala
klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologik, pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan esofagoskopi.
1. Anamnesis
Adanya riwayat tertelan zat korosif atau zat organik merupakan salah satu faktor
utama ditegakkannya diagnosis esofagitis korosif. Keluhan dan gejala yang biasanya
dikeluhkan oleh penderita diantaranya nyeri didalam mulut dan regio substernal, hipersaliva,
nyeri saat menelan, dan disfagia. Sedangkan demam dan perdarahan dapat terjadi serta
sering diiringi dengan muntah.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik tidak banyak yang ditemukan, kecuali kerusakan di mukosa
mulut berupa bercak keputihan, udema dan luka.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Peranan pemeriksaan laboratorium sangat sedikit, kecuali bila terdapat tanda-tanda
gangguan elektrolit, diperlukan pemeriksaan elektrolit darah.
b. Pemeriksaan Radiologi
- Foto Thorax Postero-Anterior dan Lateral, untuk mendeteksi adanya mediastinitis atau
aspirasi pneumonia.
- Esofagogram (rontgen esofagus dengan kontras barium), pemeriksaan esofagogram tidak
banyak menunjukkan kelainan pada stadium akut. Bila dicurigai adanya perforasi akut
esofagus atau lambung serta ruptur esofagus akibat trauma tindakan, esofagogram perlu
dibuat. Esofagogram perlu dilakukan setelah minggu kedua untuk melihat ada tidaknya
striktur esofagus dan dapat diulang setelah 2 bulan untuk evaluasi.
Striktur esofagus pada pemeriksaan
esofagogram
Tampak gambaran mediastinitis dengan pemeriksaan esofagogram
c. Pemeriksaan Esofagoskopi
Esofagoskopi diperlukan untuk melihat adanya luka bakar di esofagus. Pada
esofagoskopi akan tampak mukosa yang hiperemis, edema dan kadang-kadang ditemukan
ulkus. Esofagoskopi biasanya dilakukan pada hari ke tiga setelah kejadian atau bila luka
bakar di bibir, mulut dan faring sudah tenang. Berikut derajat esofagitis korosif yang dilihat
dari esofagoskopi:
Tabel 1. Derajat esofagitis korosif yang dilihat dengan esofagoskopi
Derajat Klinis
I Hiperemia mukosa dan udema
II Perdarahan terbatas, eksudat, ulserasi dan pseudomembran
III Pengelupasan mukosa, ulkus dalam dan perdarahan masif, obstruksi lumen
Esofagitis korosif
Ulserasi di daerah esofagus
Perdarahan pada esofagus karena penggunaan alkohol yang lama
Ulkus dan erosi pada esofagus
Striktur pada distal esofagus
Penatalaksanaan
Terapi pada esofagitis korosif berusaha untuk mengatasi dampak cedera dini maupun
lanjutan. Terapi segera adalah dengan membatasi luka bakar dengan menelan zat penetralisir
dalam 1 jam pertama. Larutan alkali dapat dinetralkan dengan cuka, jus lemon, atau jeruk.
Sedangkan zat asam dapat dinetralkan dengan susu, putih telur, atau antasida. Zat-zat emetik
dikontraindikasikan karena vomitus dapat menambah kontak zat kaustik dengan esofagus dan
dapat berperan terjadinya perforasi jika terlalu kuat. Hipovolumia di koreksi dan diberikan
antibiotikaa spektrum luas untuk mencegah komplikasi infeksius. Jika terdapat gangguan
keseimbangan elektrolit diberikan infus aminofusin 600 2 botol, glukosa 10% 2 botol, Nacl
0,9% + Kcl 5 Meq/liter 1 botol. Jika diperlukan, selang makan melalui jejunostomi dapat
dimasukkan untuk memberikan nutrisi. Pemberian makan melalui oral dapat dimulai saat
disfagia dari fase awal telah berkurang.
Untuk mencegah infeksi diberikan antibiotik selama 2-3 minggu atau 5 hari bebas
demam. Biasanya diberikan penisilin dosis tinggi 1 juta - 1,2 juta unit/hari. Pemberian
kortikosteroid untuk mengurangi inflamasi, edema, dan mencegah terjadinya pembentukan
fibrosis yang berlebihan. Kortikosteroid harus diberikan sejak hari ke pertama dengan dosis
200-300 mg sampai hari ke tiga. Setelah itu dosis diturunkan perlahan-lahan tiap 2 hari
(tapering off). Dosis yang dipertahankan (maintenance dose) adalah 2x50 mg/hari. Analgetik
diberikan untuk mengurangi rasa nyeri. Morfin dapat diberikan, jika pasien merasa sangat
kesakitan.
Perluasan nekrosis di esofagus sering memicu perforasi dan paling baik jika dilakukan
reseksi. Jika terdapat perluasan yang melibatkan gaster, esofagus hampir selalu mengalami
nekrosis atau mengalami luka bakar berat sehingga diperlukan gastrektomi total serta
esofagektomi sub total. Adanya udara di dinding esofagus merupakan tanda nekrosis otot dan
perkiraan terjadinya perforasi sehingga perlu dilakukan esofagektomi. Penggunaan stent
esofagus intraluminal dapat dilakukan pada pasien yang saat di operasi tidak terdapat bukti
perluasan nekrosis esofagogastrika. Pada pasien seperti ini, biopsi dinding gaster posterior
hendaknya dilakukan untuk menyingkirkan cedera tersembunyi. Apabila secara histologis
diragukan, dilakukan pemeriksaan kedua setelah 36 jam. Jika stent dimasukkan, posisi stent
tetap dipertahankan selama 21 hari dan di lepas setelah diyakinkan dengan esofagogram
barium. Esofagoskopi hendaknya dilakukan dan jika terdapat striktur, segera dilakukan
dilatasi.
Pemeriksaan esofagoskopi tidak boleh dipaksa bila terdapat ulkus karena ditakutkan
terjadi perforasi. Pada keadaan demikian sebaiknya dipasang pipa hidung lambung (pipa naso
gaster) dengan hati-hati dan terus menerus selama 6 minggu. Setelah 6 minggu esofagoskopi
di ulang kembali. Pada fase kronik biasanya sudah terdapat striktur esofagus. Untuk ini
dilakukan dilatasi dengan bantuan esofagoskop. Dilatasi dilakukan sekali seminggu, bila
keadaan pasien lebih baik dilakukan sekali 2 minggu. Setelah sebulan, sekali 3 bulan dan
demikian seterusnya sampai pasien dapat menelan makanan biasa. Jika selama 3 kali dilatasi
hasilnya kurang memuaskan sebaiknya dilakukan reseksi esofagus dan dibuat anastomosis
ujung ke ujung.
Setelah fase akut dilewati, lakukan pencegahan dan penatalaksanaan striktur. Dilatasi
antegrade dengaan bougi Hurst atau maloney dan dilatasi retrograde dengan bougie Tucker
telah memberikan hasil yang memuaskan. Pengalaman dengan dilatasi dini yang dimulai saat
fase akut pada 1079 paien memberikan hasil yang sempurna pada 78%, baik pada 13%, dan
buruk pada 2%, dan 55 pasien meninggal saat terapi. Sebagai perbandingan, pengalaman
dengan 333 pasien yang strikturnya dilatasi menunjukkan bahwa hanya 21% yang
mempunyai hasil sempurna, 46% baik, 6% buruk, dan 3 meninggal saat proses korosif
berlangsung. Lumen yang kuat hendaknya dicapai kembali dalam waktu 6 bulan hingga 1
tahun. Bila selama perjalanan terapi, lumen yang adekuat tidak dapat dicapai atau
dipertahankan, harus digunakan bougie yang lebih kecil, intervensi operatif diindikasikan bila
terdapat :
1. Stenosis total dimana semua tindakan di atas telah gagal untuk membentuk lumen
2. Irregulitas yang berarti dan pembentukan striktur pada pemeriksaan barium
3. Pembentukan reaksi periesofageal yang berat atau mediastinitis
4. Terdapat fistula
5. Ketidakmampuan berdilatasi
6. Pasien yang tidak mampu atau tidak mau menjalani perpanjangan periode dilatasi.
Operasi rekonstruksi dan reseksi perlu dilakukan bila terdapat fistel stenosis total,
stenosis tidak teratur pada beberapa tempat atau dilatasi tidak dapat dilakukan tanpa
komplikasi perforasi. Saat ini, lambung, jejunum, dan kolon merupakan organ yang
digunakan untuk mengganti esofagus melalui rute mediastinum posterior maupun rute
retrosternal. Rute retrosternal dipilih ketika terdapat riwayat esofagektomi sebelumnya atau
bila terdapat fibrosis yang luas di mediastinum posterior. Ketika semua faktor telah
dipertimbangkan, pilihan lain sebagai pengganti esofagus adalah kolon, lambung , ataupun
jejunum. Graft jejunum bebas berdasarkan arteri tiroid superior telah memberikan hasil yang
sempurna. Metode yang dipilih harus dipertimbangkan, kesalahan dalam memutuskan
tindakan dan teknik operasi dapat menyebabkan komplikasi serius bahkan fatal. 1,7
Hal yang penting dalam merencanakan operasi adalah pemilihan lokasi anastomosis
proksimal, apakah esofagus servikal, sinus piriformis, atau faring posterior. Lokasi
anastomosis tergantung pada perluasan faring dan kerusakan esofagus servikal yang
ditemukan. Pada saat esofagus servikal hancur dan sinus piriformis tetap terbuka,
anastomosis dapat dilakukan di hipofaring. Ketika sinus piriformis benar-benar mengalami
stenosis, digunakan pendekatan transglotika untuk melakukan anastomosis terhadap dinding
orofaring posterior. Dapat dilakukan eksisi striktura supraglotika dan elevasi serta pemiringan
laring ke anterior. Pada kedua keadaan ini pasien harus belajar menelan kembali,
penyembuhannya yang lama serta membutuhkan beberapa kali dilatasi dengan endoskopi dan
sering dilakukan operasi ulang.
Penatalaksanaan bypass esofagus yang rusak setelah terjadinya cedera masih
menimbulkan masalah. Bila esofagus masih dipertahankan untk menghindari rusaknya nervus
vagus, harus dipertimbangkan pembentukan ulserasi dari refluks gastroesofageal atau
pembentukan karsinoma. Namun, meninggalkan esofagus yang rusak ditempatnya dapat
menyebabkan obstruksi multiple dan selanjutnya pembentukan abses mediastinum bertahun-
tahun kemudian. Pada umumnya sebagian besar ahli bedah menyarankan esofagus hendaknya
diangkat kecuali terdapat resiko operatif yang cukup tinggi.
Penggunaan segmen kolon untuk mengganti fungsi esofagus yang mengalami striktur
akibat zat korosif memberikan hasil yang baik. Penderita dapat menelan makanan secara
normal dan dapat melakukan pekerjaan sehari-hari secara normal dalam waktu yang tidak
terlalu lama. Penggunaan transposisi kolon merupakan salah satu pilihan pembedahan untuk
mengganti fungsi esofagus akibat striktur esofagus yang tidak membaik secara konservatif.