Post on 19-Jan-2016
description
SMF/lab Ilmu Kedokteran Jiwa Referat
Fakultas Kedokteran Umum
Universitas Mulawarman
EFEK SAMPING OBAT ANTIDEPRESAN
Oleh:
Marhamah 04.45413.00203.09
Cininta Anisa Savitri 05.48840.00241.09
Zulhijrian Noor 05.48845.00246.09
Dwi Renti Astuti 06.55380.00323.09
Pembimbing:
dr. A. Dalidjo, Sp. KJ
Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik
SMF/lab Ilmu Kedokteran Jiwa
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
2011
BAB I
PENDAHULUAN
Antidepresan adalah kelompok obat-obat yang heterogen dengan efek
utama dan terpenting adalah untuk mengendalikan gejala depresi. Di samping itu
juga, digunakan untuk beberapa indikasi lain seperti gangguan cemas dan lain-
lain.
Jenis antidepresan adalah antidepresan trisiklik (ATS), inhibitor
monoamine oksidase (MAOI), inhibitor reuptake serotonin selektif (SSRI), dan
sekelompok antidepresan lain yang tidak termasuk tiga kelas pertama (Tabel
dibawah). Indikasi klinis utama untuk penggunaan antidepresan adalah penyakit
depresif mayor. Obat ini juga berguna dalam pengobatan gangguan panik,
gangguan ansietas lainnya dan enuresis pada anak-anak. Berbagai riset terdahulu
menunjukkan bahwa obat ini berguna untuk mengatasi gangguan defisit perhatian
pada anak-anak dan bulimia serta narkolepsi.
Depresi terjadi karena rendahnya kadar serotonin di pasca sinaps. Secara
umum, antidepresan bekerja pada system neurotransmitter serotonin dengan cara
meningkatkan jumlah serotonin di pasca sinaps.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Trisiklik dan Tetrasiklik
Antidepresan trisiklik dan tetrasiklik (lazim disingkat menjadi TCA)
merupakan terapi yang efektif untuk orang dengan suatu kisaran luas gangguan,
termasuk depresi, gangguan panic, gangguan ansietas menyeluruh, gangguan
stress pasca trauma, gangguan obsesif kompulsif, gangguan makan dan sindrom
nyeri. Dengan keterseediaan beberapa alternative yang kurang toksik saat ini,
termasuk selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI), bupropion (Wellbutrin),
nefazodone (Seizone), venlafaxine (Effexor), trazodone (Desyrel), dan mirtazipine
(Remeron), TCA tidak lagi digunakan secara luas untuk indikasi ini. Antidepresan
Trisiklik
Imipramin suatu derivat dibenzazepin, dan amitriptilin derivat
dibenzodikloheptadin, merupakan antidepresi klasik yang karena struktur
kimianya disebut sebagai antidepresi trisiklik. Kedua obat ini paling banyak
digunakan untuk terapi depresi; boleh dianggap sebagai pengganti penghambat
MAO yang tidak banyak digunakan lagi. Derivat dibenzazepin telah dibuktikan
dapat mengurangi keadaan depresi, terutama depresi endogen. Perbaikan
berwujud sebagai perbaikan suasana perasaan (mood), bertambahnya aktivitas
fisik, kewaspadaan mental, perbaikan nafsu makan, dan pola tidur yang lebih baik,
serta berkurangnya pikiran morbid. Obat ini tidak menimbulkan euphoria pada
orang normal. Golongan obat ini bekerja dengan menghambat ambilan kembali
neurotransmitor. Ada yang sangat sensitif terhadap norepinefrin, ada yang sensitif
terhadap serotonin dan ada pula yang sensitif terhadap dopamin. Tidak jelas
hubungan antara mekanisme penghambatan ambilan kembali katekolamin dengan
efek antidepresinya.
2.1.1. Kerja famakologis
Sebagian besar TCA diabsorbsi secara utuh dari pemberian secara oral,
dan terdapat metabolisme yang signifikan dari efek lintas pertama. Konsentrasi
2
plasma puncak terjadi dalam 2 hingga 8 jam, dan waktu parah TCA bervariasi dari
10 hingga 70 jam, notyptilin (Vivactile) bias memiliki waktu paruh yang lebih
lama. Waktu paruh yang lama memungkinkan semua senyawa ini diberikan sekali
sehari. Dibeikan 5 hingga 7 hari untuk mencapai konsentrasi plasma yang stabil.
Impiramine pamoate adalah bentuk depo obat untuk pemberian secara
intramuscular (im) indikasi penggunaan sediaan ini terbatas. TCA menyekat
ambilan kembali serotonin dan noepinefrin sera merupakan antagonis kompetitif
pada reseptor muskarinik asetilkolin, histamine H1, dan reseptor alfa 1, dan Beta
2 adrenegik.
a. Efek pada ogan dan sistem spesifik
Efek utama TCA adalah pada sistem saraf pusat, meskipun efek
antikolinergik obat ini memberikan kisaran efek samping yang berbeda dan
diperantarai oleh sistem saraf otonom. Selain efek ini, TCA memiliki efek
yang signifikan pada sistem kardiovaskular. Pada dosis terapeutik, obat ini
digolongkan sebagai obat anti aritmia tipe 1 A, karena mengakhiri fibrilasi
ventrikel dan dapat meningkatkan pasokan darah kolateral ke jantung yang
iskemik. Meskipun demikian, pada overdosis, obat ini sangat kardiotoksik
dan menyebabkan penurunan kontraktilitas, meningkatkan iritabilitas
miokardial, hipotensi serta takikardia.
2.1.2. Perhatian Dan Reaksi Samping
a. Efek Psikiatrik
Efek samping utama semua TCA dan anti depresan lain adalah
kemungkinan untuk mencetuskan episode manik pada pasien dengan dan tanpa
riwayat gangguan bipolar I. Klinisi harus mengamati efek ini pada pasien
dengan gangguan bipolar I, terutama jika mania yang dicetuskan zat pernah
menjadi masalah di masa lalu. Mengguanakan TCA dosis rendah pada \pasien
ini atau menggunakan agen seperti fluoxetine (Prozac) atau bupropion, yang
mungkin lebih kecil kemungkinannya untuk mencetuskan episode manik,
merupakan tindakan bijaksana. TCA juga dilapokan memicu gangguan
psikotik pada pasien yang rentan.
3
b. Efek Antikolinergik
Klinisi harus memperingatkan pasien bahwa efek antikolinergik lazim
terjadi tetapi pasien bisa mengalami toleransi terhadap efek ini dengan
berlanjutnya terapi. Amitryptiline (Elavil, Endep), imipramine, trimipramine
(Sumontil), dan doxepine merupakan obat yang paling bersifat antikolinergik,
amoxapine (Asendin), nortriptyline, dan maprotiline kurang bersifat
antikolinegik, dan desipramine merupakan yang paling kurang besifat
antikolinergik. Efek antikolinergik termasuk mulut kering, konstipasi,
penglihatan buram, dan retensi urine. Permen karet tanpa gula, permen, atau
tablet hisap befluorida dapat mengurangi gejala mulut kering. Bethanecol
(Uecholine), 25 hingga 50 mg tiga sampai empat kali sehari, dapat mengurangi
hesitensi urine dan dapat membantu pasien dengan impotensi jika obat
dikonsumsi 30 menit sebelum hubungan seksual. Glaukoma sudut sempit juga
dapat dipeburuk dengan obat antikolinergik, seta tercetusnya glaukoma
membutuhkan terapi gawat darurat dengan agen mikotik. TCA dapat
digunanakan pada pasien dengan glaukoma sudut sempit, dengan tetes mata
pilocarpine yang diberikan bersamaan. Efek antikolinerfik berat dapat
menimbulkan sindrom antikloinergik SSP dengan kebingungan dan delirium,
terutama jika TCA diberikan dengan antipsikotik atau obat antikolinergik.
Sejumlah klinisi mengguankan physostigmine (Antilirium) intramuskula atau
intravena sebagai alat diagnositk untuk mayakinkan adanya delirium
antikolinergik.
c. Sedasi
Sedasi adalah efek TCA yang lazim terjadi dan dapat diterima dengan
baik jika tidak dapat tidur merupakan suatu masalah. Efek sedatif TCA terjadi
akibat aktivitas serotonergik, kolinergik, dan histaminergik (H1). Amityptiline,
trimipramine, dan doxepin merupakan agen yang paling bersifat sedasi.
Imipramine, amoxapine, nortriptyline, dan maprotiline memiliki beberapa efek
sedasi dan desipramine serta protryptiline yang paling tidak bersifat sedasi.
4
d. Efek otonom
Efek otonom yang paling lazim, sebagian karena blokade Alfa 1
adrenergik, adalah hipotensi ortostatik, yang dapat mengakibatkan jatuh serta
cedera pada pasien yang mengalaminya. Nortryptiline mungkin merupakan
obat yang paling kecil kemungkinannnya untuk menimbulkan masalah
tersebut, dan beberapa pasien berespons terhadapfludrocortisone (Florinef)
0,05 mg dua kali sehari. Efek otonom yang mungkin lainnya adalah keringat
yang berlebihan, palpitasi, dan meningkatnya tekanan darah.
e. Efek jantung
Jika dibeikan dengan dosis terapeutik yang biasa, TCA dapat
menimbulkan takikardia, mendatarnya gelombang T, interval QT yang
memanjang, dan depresi segmen ST pada elektrokadiogram (EKG).
Imipiramine memili efek mirip quiinidine pada konsentrasi plasma terapeutik
dan dapat mengurangi jumlah kontraksi ventrikel prematu. Karena obat ini
memperpanjang waktu konduksi, penggunaannya pada pasien dengan defek
konduksi sebelumnya dikontraindikasikan. Pada pasien dengan riwayat
gangguan jantung, TCA harus dimulai dengan dosis rendah, dengan
peningkatan dosis secarra bertahap dan pengawasan fungsi jantung. Pada
konsentrasi plasma yang tinggi, seperti yang terjadi pada overdosis, obat
menjadi aritmogenik. Agen ini haus dihentikan beberapa hari sebelum operasi
bedah elektif karena dapat terjadi episode hipertensif selama pembedahan pada
pasien yang mendapatkan TCA.
f. Efek neurologis
Disamping sedasi yang dicetuskan oleh TCA dan kemungkinan
terjadinya delirium yang dicetuskan antikolinergik, dua trisiklik (desipramine
dan protriptyline) dikaitkan dengan stimulasi psikomotor. Kedutan mioklonik
serta tremor lidah dan ekstemitas atas lazim terjadi. Efek yang jarang
mencakup hambatan bicara, paratyesia, palsi peroneal dan ataksia.
5
Amoxapine bersifat unik didalam menimbulkan gejala parkinson,
akatisia, dan bahkan diskinesia, karena aktivitas penyekatandopaminergik dari
salah satu metabolitnya. Amoxapine juga dapat menimbulkan sindrom maligna
neuoleptik pada kasus yang jarang. Maprotiline dapat menimbulkan bangkitan
ketika dosis ditingkatkan terlalu cepat atau dipertahankan pada kadar tinggi
terlalu lama. Clomipramine dan amoxapine dapat lebih mengurangi ambang
bangkitan daripada obat lain di dalam golongkan ini. Meskipun demikian,
sebagai salah satu golongan obat, TCA memiliki risiko yang relatif rendah
untuk mencetuskan bangkitan kecuali pada pasien yang memang memiliki
risiko untuk bangkitan (contoh pasien dengan epilepsi atau lesi diotak).
Meskipun TCA tetap dapat digunakan pada pasien tersebut, dosis awal harus
lebih rendah dari biasanya, dan peningkatan dosis selanjutnya harus dilakukan
secara bertahap.
g. Efek Hematologis dan Alergik
Ruam Eksantematosa ditemukan pada 4 hingga 5 persen pasien yang
diterapi dengan maprotiline. Ikterik jarang terjadi. Agranulositosis,
leukositosis, leukopenia, dan eosinofilia adalah komplikasi terapi obat
tetrasiklik yang jarang terjadi. Meskipun demikian, seorang pasien yang
mengalami nyeri tenggorok atau demam selama beberapa bulan pertama terapi
dengan TCA, harus segera dilakukan hitung darah lengkap.
6
2.2. Monoamine oxidase (MAO) inhibitor (MAOI)
Monoamine oxidase (MAO) inhibitor (MAOI) adalah antidepresan dan
ansiolitik yang sangat efektif, tetapi obat ini lebih jarang digunakan daripada
antidepresan lain karena perhatian mengenai diet yang harus diikuti untuk
menghindari krisis hipertensi yang dicetuskan tiramin. MAOI meningkatkan
kadar neurotransmiter amin biogenik dengan menghambat degradasinya.
Degradasi amin biogenik—serotonin, norepinefrin, dan dopamine—terjadi hanya
melalui 2 mekanisme. Jalur yang lebih penting meliputi ambilan kembali
neurotransmiter prasinaps melalui molekul pengangkut spesifik, diikuti deaminasi
di mitokondria oleh enzim MAO. Meskipun demikian, MAOI umumnya dianggap
sama efektif dengan obat antidepresan lain. Molekul pengangkut ini dapat
diinhibisi, contohnya oleh antidepresan trisiklik dan selective serotonin reuptake
inhibitor (SSRI), yang merupakan obat antidepresan utama saat ini.
MAOI yang saat ini tersedia mencakup phenelzine (Nardil), isocarboxazid
(Marplan), tranylcypromin (Parnate) dan Seligiline (Eldepryl). Seligiline adalah
inhibitor selektif MAO tipe B (MAOB) yang digunakan untuk terapi parkinsonme.
Golongan inhibitor reversibel MAOA (RIMA) yang lebih baru, tidak tersedia di
Amerika Serikat (contoh, moclobemide [Aurorix, Manerix] atau befloxatone),
membutuhkan sedikit batasan diet. Sejumlah klinisi yakin kalau MAOI kurang
digunakan sebagai terapi antidepresan yang efektif.
2.2.1 Kerja Farmakologi
Phenelzine, tranylcypromine, dan isocarboxazid mudah diabsorpsi melalui
saluran gastrointestinal dan mencapai konsentrasi plasma puncak dalam 2 jam.
Waktu paruh plasma berkisar antara 2 sampai 3 jam; waktu paruh jaringan jauh
lebih lama. Karena obat ini menonaktifkan MAO secara ireversibel. efek
terapeutik dosis tunggal MAOI ireversibel dapat berlangsung selama 2 minggu.
RIMA moclobemide cepat diabsorpsi dan memiliki waktu paruh 0,5-3,5 jam.
Karena merupakan inhibitor yang reversible, moclobemide memiliki efek klinis
yang jauh lebih singkat setelah dosis tunggal dibandingkan dengan yang dimiliki
oleh MAOI ireversibel.
7
MAO adalah enzim yang ditemukan secara intraselular pada membrane
mitokondria luar, yang mendegradasi monoamine sitoplasmik, termasuk
norepinefrin, serotonin, dopamine, epinefrin dan tiramin. Terdapat dua.jenis
MAO, yaitu MAOA dan MAOB terutama memetabolisme norepinefrin, serotonin
dan epinefrin; dopamine dan tiramin dimetabolisme oleh MAOA dan MAOB.
MAOI bekerja di sistem saraf pusat (SSP), system saraf simpatik, hati, dan
saluran gastrointestinal. Pada dosis diatas 60 mg per hari, tranylcypromine dapat
menghambat ambilan kembali atau meningkatkan pelepasan dopamin dan
norepinefrin serta serotonin hingga tingkat yang lebih sedikit.
Ketika metabolisme gastrointestinal tiramin dari diet oleh MAO
dinonaktifkan oleh MAOI ireversibel. tiramin yang utuh dapat memasuki sirkulasi
dan mengeluarkan efek pressor yang poten sehingga menimbulkan krisis
hipertensi. Oleh karena itu, makanan yang mengandung tiramin harus dihindari
selama 2 minggu setelah dosis terakhir MAOI ireversibel untuk memungkinkan
sintesis ulang konsentrasi MAO yang adekuat. Sebaliknya, RIMA memiliki relatif
sedikit efektivitas inhibisi terhadap MAOB, dan karena reversibel, aktivitas normal
MAOA yang telah ada kembali dalam l6 hingga 48 jam sejak dosis terakhir RIMA.
Dengan demikian, pembatasan diet lebih longgar untuk RIMA dan berlaku hanya
untuk makanan yang mengandung tiramin konsentrasi tinggi, yang perlu dihindari
selama 3 hari setelah dosis terakhir RIMA.
2.2.2. Efek pada organ dan sistem spesifik
Efek utama MAOI di dalam psikiatri adalah pada SSP. Di samping
efeknya pada mood depresi, MAOI dikaitkan dengan potensi gangguan tidur dan
arsitektur tidur yang bermakna secara klinis. Penggunaan MAOI sering dikaitkan
dengan berkurangnya tidur serta insomnia dan kadang-kadang menyebabkan
mengantuk di siang hari. Lebih.jauh lagi. tidur pada pasien yang diterapi dengan
MAOI ditandai dengan sedikit berkurangnya tidur rapid eye movement (REM).
RIMA tidak berefek pada tidur, atau mungkin dapat memperbaiki tidur. Perhatian
penting lainnya ketika menerapi pasien dengan MAOI adalah sistem
kardiovaskular dan hati. MAOI lazim dikaitkan dengan hipotensi karena efeknya
8
pada tonus vascular yang dapat diperantarai secara sentral dan perifer. Pada kasus
yang jarang, penggunaan MAOI saja (tanpa tiramin) terkait dengan episode
hipertensi akut. Pada hati, phenelzine dan isocarboxazid menyebabkan kerentanan
yang signifikan terjadinya hepatoksisitas.
2.2.3. Perhatian Dan Reaksi Samping
Efek samping MAOI yang paling sering adalah hipotensi ortostatik,
insomnia, berat badan bertambah, edema, dan disfungsi seksual. Tampilan awal
tanda hipotensi ortostatik saat meningkatkan dosis secara bertahap dan berhati-
hati akan menentukan dosis maksimun yang dapat ditoleransi. terapi hipotensi
ortostatik mencakup menghindari kafein, asupan cairan 2 L per hari, penambahan
garam diet atau penyesuaian obat antihipertensi (jika dapat diterapkan), kaus kaki
penyangga. dan pada kasus yang berat, terapi dengan fludrocortisone (Florinef),
suatu mineralokortikoid, 0,1 sampai 0,2 mg per hari. Hipotensi ortostatik yang
terkait dengan penggunaan tranylcypromine biasanya dapat dibedakan dengan
membagi dosis harian.
Efek samping MAOI yang jarang terjadi, paling sering akibat
tranylcypromine, adalah krisis hipertensif spontan yang dicetuskan oleh bukan
tiramin, terjadi segera setelah pajanan pertama dengan obat. Orang yang
mengalami krisis ini harus benar-benar menghindari MAOI. Insomnia dan
aktivasi perilaku dapat diterapi dengan membagi dosis, tidak memberikan obat
setelah makan malam, dan menggunakan trazodone (Desyrel) atau hipnotik
benzodiazepine jika perlu. Pertambahan berat badan, edema, dan disfungsi seksual
sering tidak berespons terhadap terapi apapun dan dapat memerlukan penggantian
dengan agen lain. Ketika mengganti dari satu MAOI ke MAOI lain, klinisi harus
menurunkan dosis secara bertahap dan berhenti menggunakan obat pertama l0
hingga l4 hari sebelum mulai menggunakan obat kedua.
Parestesia, mioklonus, dan nyeri otot kadang-kadang ditemukan pada
orang yang diterapi dengan MAOI. Parestesia dapat disebabkan oleh defisiensi
pyridoxine yang dicetuskan oleh MAOI, yang dapat berespons dengan
penambahan pyridoxine. 50 sampai 150 mg per oral setiap hari. Kadang-kadang,
9
orang mengeluh merasa mabuk atau bingung, hal ini mungkin menunjukkan
bahwa dosisnya harus dikurangi dan kemudian ditingkatkan secara bertahap.
Laporan bahwa MAOI hydrazine menyebabkan efek hepatotoksik relatif tidak
lazim. MAOI tidak terlalu kardiotoksik dan tidak terlalu epileptogenik
dibandingkan obat trisiklik dan tetrasiklik.
Efek samping RIMA moclobemicle yang paling lazim adalah pusing,
mual, dan insomnia atau gangguan tidur. RIMA menimbulkan lebih sedikit efek
samping pada gastrointestinal dibandingkan SSRI. Moclobemide tidak memiliki
efek antikolinergik atau kardiovaskular, dan tidak mengganggu fungsi seksual.
MAOI harus digunakan dengan hati-hati oleh orang dengan penyakit
ginjal, penyakit kardiovaskular, atau hipertiroidisme. MAOI dapat mengubah
dosis agen hipoglikemik yang diperlukan oleh orang diabetik. MAOI terutama
mencetuskan mania pada orang yang berada di dalam fase depresi gangguan
bipolar I dan memicu dekompensasi psikotik pada orang dengan skizofrenia.
MAOI dikontraindikasikan selama kehamilan meskipun data mengenai risiko
teratogeniknya minimal. MAOI tidak boleh dikonsumsi oleh ibu menyusui karena
obat dapat rnelintasi ASI.
Krisis Hipertensi yang Dicetuskan Tiramin. Makanan yang kaya akan
tiramin (Tabel 32.3.20-l) atau amin simpatomimetik lain harus dihindari oleh
orang yang mengonsumsi MAOI ireversibel untuk menghindari risiko signifikan
terjadinya hipertensi yang berpotensi mengancam nyawa. Orang-orang harus
diperingatkan mengenai bahaya mengonsumsi makanan yang kaya akan tiramin
saat sedang mengonsumsi MAOI, dan mereka harus dinasihati untuk meneruskan
pembatasan diet selama 2 minggu setelah mereka berhenti terapi MAOI, untuk
memungkinkan tubuh meresintesis enzim. Pasien juga harus diperingatkan bahwa
sengatan lebah dapat menyebabkan krisis hipertensif. Tanda dan gejala prodormal
krisis hipertensif dapat mencakup sakit kepala, leher kaku, berkeringat, mual, dan
muntah. Jika tanda dan gejala ini muncul, pasien harus segera mencari terapi
medis. Krisis hipertensif yang dicetuskan MAOI harus diterapi dengan antagonis
α-adrenergik-contohnva phentolamine (Regitin) atau chlorpromazine (Thorazin)-
yang rnenurunkan tekanan darah dalam 5 menit. Diuretik untuk mengurangi
10
beban cairan serta antagonis reseptor β-adrenergik untuk mengendalikan
takikardia juga mungkin diperlukan. Penurunan tekanan darah secara tiba-tiba
dengan penggunaan nifedipine (Procardia) tidak dianjurkan, karena orang yang
mengelirukan sakit kepala akibat hipotensi ortostatik rebound yang dicetuskan
MAOI dengan sakit kepala karena krisis hipertensif sehingga mengonsumsi
nifedipine, akan memiliki risiko tinggi mengalami tanda dan gejala syok
hipotensif. MAOI tidak boleh digunakan oleh orang dengan tirotoksikosis atau
feokromositoma. Risiko krisis hipertensif yang dicetuskan tiramin relatif rendah
pada orang yang mengonsumsi RIMA, seperti moclobemide dan befloxatone.
Anjuran diet yang masuk akal untuk orang yang mengonsumsi RIMA adalah tidak
rnengonsumsi makanan yang mengandung tiramin selama periode waktu 1 jam
sebelum hingga 2 jam setelah mengonsumsi RIMA.
11
2.2.4. Interaksi Obat
Inhibisi MAO dapat menyebabkan interaksi yang berat dan bahkan fatal
dengan berbagai obat lain. Khususnya, kareina MAO berf'ungsi untuk
meningkatkan konsentrasi neurotransmitter amin biogenik intrasinaps, MAOI
tidak boleh diberikan bersamaan dengan obat yang memiliki efek serupa pada
neurotransmitter ini. Yang termasuk di sini adalah sebagian besar antidepresan
juga agen prekursor. Orang harus diminta untuk mengatakan pada dokter atau
dokter gigi lain yang mengobati mereka bahwa mereka sedang mengonsumsi
MAOI. MAOI dapat meningkatkan kerja depresan SSP, termasuk alkohol dan
barbiturat. MAOI tidak boleh diberikan bersama dengan obat serotonergik seperti
SSRI dan clomipramine (Anafranil) karena kombinasi ini dapat mencetuskan
sindrom serotonin. Gejala awal sindrom serotonin dapat mencakup tremor,
hipertonisitas, mioklonus, dan tanda-tanda otonom, yang dapat berkembang
menjadi halusinosis, hipertermia, dan bahkan kematian. Reaksi fatal terjadi jika
MAOI dikombinasikan dengan meperidine (Demerol) atau f'entanyl (Sublimaze).
Seperti yang telah disebutkan, ketika mengubah dari MAOI ireversibel
ke.jenis obat antidepresan lain, orang harus menunggu sedikitnya 14 hari setelah
dosis terakhir MAOI sebelum mulai menggunakan obat berikutnya untuk
memungkinkan pemulihan kembali MAO tubuh. Ketika mengganti dari
antidepresan ke MAOI, orang harus menunggu 10 sampai 14 hari atau 5 minggu
untuk fluoxetine [Prozac] sebelum mulai menggunakan MAOI untuk menghindari
interaksi obat. Sebaliknya, aktivitas MAO pulih sempurna 24 hingga 48 jam
setelah dosis terakhir RIMA.
Cimetidine (Tagamet) dan fluoxetine secara signifikan mengurangi
eliminasi moclobemide. Dosis terkecil fluoxetine dan moclobemide yang
diberikan bersamaan dapat ditoleransi, tanpa interaksi farmakodinamik atau
farmakokinetik yang signifikan.
12
2.3. Selective Serotonin ReUptake Inhibitor (SSRI)
Kelompok obat yang dibicarakan di sini secara luas dikenal sebagai
antidepresan. Obat ini, bersama dengan obat trisiklik dan tetrasiklik dan inhibitor
monoamin oksidase (MAOI), sering dianggap obat antidepresan mayor.
Walaupun gangguan depresif pada awalnya menrpakan indikasi untuk obat, obat
juga efektif untuk berbagai macam gangguan, termasuk gangguan makan,
gangguan panik, gangguan obsesif-kompulsif, dan gangguan kepribadian ambang.
Dengan demikian, terdapat kekeliruan menamakannya obat antidepresan. Inhibitor
ambilan kembali (reuptake) spesifik setonin (SSRI) memiliki sifat
farmakodinamik di mana mereka adalah inhibitor spesifik pada ambilan kembali
serotonin oleh neuron prasinaptik. Fluoxetine, SSRI pertama yang diperkenalkan
untuk pemakaian klinis di Amerika Serikat pada tahun 1988, ditemukan pada awal
tahun 1970-an. Sekarang, tiga SSRI tersedia di Amerika Serikat dan disetujui
untuk terapi depresi: fluoxetine (Prozac), paroxetine (Paxil), dan sertraline
(Zoloft). SSRI keempat, fluvoxamine, kemungkinan disetujui oleh Food and Drug
Administration (FDA) tidak lama lagi. Baik fluvoxamine dan SSRI kelima,
citalopram, memiliki pemakaian klinis yang luas di Eropa. Clomipramine
(Anafranil) adalah obat lain yang spesifik dalam kerjanya sebagai suatu inhibitor
ambilan kembali serotonin, tetapi karena kemiripan strukturalnya dengan obat
trisiklik yang digunakan untuk mengobati depresi, obat ini diklasifikasikan
bersama dengan obat trisiklik dan tetrasiklik (antidepresan). SSRI secara dramatic
telah mengubah pendekatan terapi untuk depresi karena mereka adalah sama
efektifnya dengan antidepresan yang lama dan disertai dengan sifat efek samping
yang pada umumnya lebih menyenangkan. Sejak diperkenalkan pada tahun 1988,
fluoxetine telah menjadi antidepresan yang paling banyak diresepkan di Amerika
Serikat.
2.3.1 Kerja Farmakologis
Farmakokinetik
Perbedaan utama antara SSRI yang tersedia terletak terutama pada sifat
farmakokinetiknya, teurtama waktu paruhnya. Fluoxetine memiliki waktu paruh
13
yang terpanjang, 2-3 hari; metabolit aktifnya memiliki waktu paruh 7-9 hari.
Waktu paruh SSRI lain adalah jauh lebih pendek, kira-kira 20 jam, dan SSRI
tersebut tidak memiliki metabolit aktif yang penting. Semua SSRI diabsorpsi baik
setelah pemberian oral dan memiliki efek puncaknya dalam rentang 4-8 jam.
Semua SSRI dimetabolisme oleh hati. Paroxetine dan fluoxetine dimetabolisme di
hati oleh P450 IID6, suatu subtipe enzim yang spesifik, yang menyatakan bahwa
klinisi harus berhati-hati dalam pemberian bersama obat lain yang juga
dimetabolisme oleh P450 IID6. Pada umumnya, makanan tidak memiliki efek
yang besar pada absorpsi SSRI; pada kenyataannya,pemberian SSRI dengan
makanan sering menurunkan insidensi gejala mual dan diare yang sering
berhubungan dengan pemakaian SSRI.
Farmakodinamik
SSRI memiliki dua ciri yang sama: Pertama, mereka memiliki aktivitas
spesifik dalam hal inhibisi ambilan kembali serotonin tanpa efek pada ambilan
kembali norepinefrin dan dopamin. Walaupun senyawa yang tersedia adalah
berbeda dalam potensi spesifiknya, perbedaan tersebut tidak menyebabkan
perbedaan klinis yang berarti. Kedua, SSRI pada intinya tidak memiliki sama
sekali aktivitas agonis dan antagonis pada tiap reseptor neurotransmiter. Tidak
adanya aktivitas pada reseptor antikolinergik, antihistaminergik, dan anti-
adrenergik α1 adalah dasar farmakologis untuk rendahnya insidensi efek
samping yang terlihat pada pemberian SSRI.
2.3.2. Efek Pada Organ Dan Sistem Spesifik
Selain efeknya pada sistem saraf pusat, SSRI memiliki efek minimal pada
organ dan sistem lain. Secara khusus, SSRI memiliki efek minimal pada tekanan
darah dan fungsi jantung, seperti yang dicerminkan oleh elektrokardiogram.
Sistem utama yang terpengaruh oleh SSRI adalah saluran gastrointestinal, dan
gejala mual, anoreksia, dan diare sering ditemukan pada pemberian SSRI.
Penurunan berat badan juga telah dilaporkan berhubungan dengan fluoxetine.
14
2.3.3. Perhatian Dan Reaksi Samping
Tiga perempat orang tidak memiliki efek samping pada dosis awal SSRI
yang rendah, dan dosis dapat ditingkatkan relative cepat (dengan peningkatan
setiap 1 sampai 2 minggu) pada kelompok ini. Seperempat sisanya, sebagian besar
efek sampingnya SSRI muncul dalam 1 hingga 2 minggu pertama, dan umumnya
menghilang atau pulih spontan jika obat diteruskan dengan dosis yang sama.
Meskipun demikian, 10-15% orang tidak akan mampu mentoleransi bahakan
dosis SSRI tetentu yang rendah dan dapat berhenti mengkonsumsi obat tersebut
setelah hanya beberapa dosis. Satu pendekatan untuk orang yang seperti ini adalah
dengan membagi dosis selama seminggu, dengan satu dosis setiap 2,3, atau 4 hari.
Beberapa orang dapat menoleransi SSRI yang berbeda atau golongan lain
antidepresan, seperti obat trisiklik atau salah satu agen yang lebih baru. Beberapa
orang tampak tidak mampu menoleransi bahkan dosis obat antidepresan yang
sangat kecil.
Karena terdapat kemungkinan yang tidak menguntungkan bahwa efek
samping dapat mengurangi kepatuhan, beberapa klinisi memberikan dosis kecil
selama 3 hingga 6 minggu pertama terapi dan kemudian meningkatnya secara
bertahap saat keuntungan terapeutik terlihat. Karena waktu paruh SSRI yang
panjang, terutama fluoxetine, dan bahkan waktu lebih lama yang diperlukan untuk
mndapatkan kentungan penuh dosis tertentu yang harus diperhitungkan,
peningkatan dosis secara tajam harus dihindari. Contohnya, dosis terendah dapat
memberikan keuntungan lebih dari 90% keuntungan dari dosis tertinggi, jika
waktu mencukupi. Pada sisi lain, efek samping sangat bergantung dosis dan dapat
diramalkan, serta meningkatkan dosis terlalu cepat dapat mencetuskan respons
aversif pada orang yang sensitive.
a. Disfungsi Seksual
Inhibisi seksual merupakan efek samping SSRI yang paling lazim
ditemukan dengan insiden antara 50 dan 80%. Semua SSRI tampak sama besar
kemungkinannya untuk menimbulkan disfungsi seksual. Keluhan yang paling
lazim adalah hambatan orgasme dan menurunnya libido, yang bergantung
dosis. Tidak seperti sebagian besar efek samping SSRI lain, inhibisi seksual
15
tidak pulih pada minggu-minggu pertama penggunaan tetapi biasanya berlanjut
selama obat dikonsumsi.
Terapi untuk disfungsi seksual yang ditimbulkan oleh SSRI mencakup
pengurangan dosis dan mengganti ke obat yang kurang menimbulkan disfungsi
seksual, seperti bupropion, obat tertentu seperti Yohimbine (Yocon),
cyproheptadine (Periactin), atau agonis reseptor dopamine, dan mengantagonis
efek samping seksual.
Laporan menjelaskan keberhasilan terapi pada disfungsi seksual yang
ditimbulkan SSRI dengan sildenafil (Viagra). Belum jelas mengapa sildenafil,
yang bekerja pada fase eksitasi siklus seksual, dapat melawan inhibisi fase
orgasme akibat SSRI. Mungkin, dorongan positif eksitasi seksual yang kuat
akibat sildenafil memungkinkan keadaan mental lebih konduktif untuk
mendapatkan orgasme. Amphetamine 5 mg juga dilaporkan memulihkan
anorgasmia. Injeksi alprostadil (Caverject) juga efektif.
b. Efek samping pada Gastrointestinal
Semua SSRI dapat menimbulkan efek samping pada gastrointestinal.
Keluhan gastrointestinal yang paling lazim adalah mual, diare, anoreksia,
muntah, dan dyspepsia. Data menunjukkan bahwa mual dan diare terkait dosis
dan bersifat singkat, biasanya pulih dalam beberapa minggu. Anoreksia paling
lazim terjadi akibat flouxetine, tetapi beberapa orang bertambah berat
badannya saat mengkonsumsi flouxetine. Hilangnya nafsu makan yang
ditimbulkan oleh flouxatine serta turunnya berat badan dimulai segera setelah
obat dikonsumsi dan memuncak pada 20 minggu, setelahnya berat badan
sering kembali ke awal.
Berat badan bertambah. Meskipun sebagian besar pasien awalnya
mengalamim penurunan berat badan, hingga sepertiga orang yang
megkonsumsi SSRI akan bertambah berat badannya, kadang-kadang lebih dari
10 kg. Paroxetine memiliki aktivitas antikolinergik dan merupakan SSRI yang
paling sering menyebabkan penambahan berat badan. Pada beberapa kasus,
16
penambahan berat badan terjadi akibat penggunaan obat itu sendiri atau
meningkatnya nafsu makan akibat mood yang lebih baik.
Sakit kepala. Insiden sakit kepala pada terapi dengan SSRi sebesar 18-
20%, hanya 1% lebih tinggi dibandingkan dengan angka placebo. Fluoxetine
adalah yang paling cenderung menyebabkan sakit kepala. Sebaliknya, semua
SSRI merupakan profilaksis yang efektif melawan migraine dan sakit kepala
tipe tension pada banyak orang.
c. Efek samping pada Sistem Saraf Pusat
Ansietas. Fluoxetine adalah SSRI yang paling besar kemungkinannya
untuk menimbulkan ansietas, terutama pada minggu-minggu pertama.
Meskipun demikian efek awal ini biasanya memberikan cara untuk
pengurangan keseluruhan ansietas setelah beberapa minggu. Meningkatnya
ansietas jauh lebih jarang disebabkan oleh SSRI lain, yang mungkin dapat
menjadi pilihan yang lebih baik jika sedasi diinginkan, seperti pada campuran
ansietas dan gangguan depresif.
Insomnia dan Sedasi. Efek utama SSRI pada insomnia dan sedasi
adalah perbaikan tidur karena terapi depresi dan ansietas. Meskipun demikian,
sebanyak seperempat orang yang mengkonsumsi SSRI memperlihatkan adanya
kesulitan tidur atau somnolen yang berlebihan. Flouxetine paling besar
kemungkinanna untuk menimbulkan insomnia sehingga seringnya diberikan
pada pagi hari. SSRI lain secara seimbang memiliki kecendrungan
menimbulkan insomnia serta somnolen, dan citalopram, escitalopram, dan
paroxetine lebih besar kemungkinannya menimbulkan somnolen dibandingkan
insomnia. Dengan paroxetine, orang biasanya melaporkan bahwa
mengkonsumsi obat sebelum istirahat tidur membantu mereka untuk tidur lebih
baik, tanpa somnolen residual di siang hari.
Insomnia yang dicetuskan SSRI dapat diterapi dengan benzodiazepine,
trazodone (Desyrel) (klinisi harus menjelaskan risiko terjadinya priapismus),
atau obat sedasi lain. Somnolen signifikan yang dicetuskan oleh SSRI sering
membutuhkan pergantian ke SSRI lain atau bupropion.
17
Mimpi yang jelas dan mimpi buruk. Minoritas orang yang
mengkonsumsi SSRI melaporkan adanya mimpi yang sangat nyata atau mimpi
buruk. Seseorang yang mengalami mimpi tersebut dengan salah satu SSRI bias
mendapatkan keuntungan terapeutik yang sama tanpa mengganggu bayangan
mimpi dengan mengganti menggunakan SSRI lain. Efek samping ini sering
pulih secara spontan selama beberapa minggu.
Bangkitan. Bangkitan dilaporkan pada 0,1 – 0,2% pasien yang diterapi
dengan SSRI, suatu insiden yang dapat dibandingkan dengan insiden yang
dilaporkan dengan antidepresan lain, dan tidak berbeda bermakna dengan
insiden dengan placebo. Bangkitan lebih sering terjadi pada dosis SSRI yang
lebih tinggi (louxetine 100 mg per hari atau lebih tinggi).
Gejala Ekstrapiramidal. Tremor ditemukan pada 5-10% orang yang
mengkonsumsi SSRI, suatu frekuensi 2-4 kali lebih tinggi dibandingkan yang
ditemukan pada placebo. SSRI dapat jarang menimbulkan akatisia, distona,
tremor, rigiditas roda pedati, tortikolis, opistotonus, gangguan melangkah, dan
bradikinesia. Kasus diskinesia tardive yang jarang juga telah dilaporkan. Orang
dengan penyakit Parkinson yang terkontrol dengan baik dapat mengalami
perburukan akibat gejala motorik ketika mereka mengkonsumsi SSRI. Efek
samping ekstrapiramidal sangat terkait dengan penggunaan fluoxetine,
terutama pada dosis lebih dari 40 mg per hari, tetapi dapat terjadi kapanpun
saat perjalanan terapi. Bruksisme juga telah dilaporkan yang berespons dengan
buspirone dosis kecil.
d. Efek Antikolinergik
Meskipun tidak dianggap memiliki aktivitas antikolinergik, SSRI
menyebabkan mulut kering pada 15-20% pasien. Meskipun demikian,
aktivitas antikolinergik SSRI mungkin hanya seperlima dari aktivitas
antikolinergik obat trisiklik.
18
e. Efek samping Hematologis
SSRI mempengaruhi fungsi trombosit dan dapat meningkatkan
kemungkinan terjadinya memar. Paroxetine dan flouxetine jarang
menyebabkan timbulnya neytropenia reversible, terutama jika diberikan
bersamaan dengan clozapine.
f. Gangguan Elektrolit dan Glukosa
SSRI jarang menyebabkan penurunan konsentrasi glukosa, sehingga
pasien diabetic harus dimonitor dengan teliti. Kasus hiponatremia yang
jarang dan terkait dengan SSRI serta sekresi hormone antidiuretik yang
tidak sesuai (SIADH) ditemukan pada pasien yang diterapi dengan diuretic
dan kekurangan air.
g. Reaksi Alergi dan Endokrin
SSRI dapat meningkatkan kadar prolaktin dan menyebabkan
mamoplasia serta galaktorea pada laki-laki dan perempuan. Perubahan
payudara bersifat reversible pada penghentian obat, tetapi dapat
membutuhkan waktu beberapa bulan.
Berbagai tipe ruam muncul pada kira-kira 4% pasien. Pada
sekelompok kecil pasien ini, reaksi alergi dapat menyeluruh dan meliputi
system paru, sehingga dapat (jarang) menimbulkan kerusakan fibrotic serta
dispnea. Terapi SSRI dapat dihentikan pada pasien dengan ruam akibat
obat.
h.Sindrom serotonin
Pemberian SSRI secara bersamaan dengan MAOI, L-tryptophan, atau
lithium dapat meningkatkan konsentrasi serotonin plasma hingga kadar
toksik, sehingga menimbulkan kumpulan gejala yang disebut sindrom
serotonin. Sindrom stimulasi berlebihan serotonin yang serius dan mungkin
fatal ini terdiri atas, dalam urutan timbulnya hingga memburuk: (1) diare,
(2) gelisah, (3) agitasi berat, hiperrefleksia, dan ketidakstabilan otonom
19
dengan kemungkinan fluktuasi cepat tanda vital, (4) mioklonus, bangkitan,
hipertrmia, menggigil yang tidak dapat dikendalikan, dan rigiditas, serta (5)
delirium, koma, status epileptikus, kolaps kardiovaskular, dan kematian.
Terapi sindrom serotonin terdiri atas menyingkirkan agen yang
menimbulkannya serta segera memberikan perawatan suportif yang
komprehensif dengan nitrogliserin, cyproheptadine (Periactin),
methysergide (Sansert), selimut pendingin, chlorpromazine (Thorazin),
dantrolene (Dantrium), benzodiazepine, antikonvulsan, ventilasi mekanis,
dan agen pembuat paralisis.
i. Putus Zat SSRI
Penghentian penggunaan SSRI secara tiba-tiba, terutama SSRI dengan
waktu paruh singkat, seperti paroxetine dan fluvoxamine, menyebabkan
timbulnya sindrom putus zat yang dapat mencakup pusing, lemah, mual,
sakit kepala, depresi rebound, ansietas, insomnia, konsentrasi buruk, gejala
pernapasan atas, parastesia, dan gejala mirip migraine. Gejala ini biasanya
tidak timbul sampai setelah sedikitya 6 minggu terapi dan biasanya pulih
spontan dalam 3 minggu. Orang yang mengalami efek samping sementara
pada minggu pertama mengkonsumsi SSRI lebih cenderung mengalami
sindrom penghentian zat.
Flouxatine merupakan SSRI yang paling kecil kemungkinannya
menyebabkan sindrom ini, karena waktu paruh metabolitnya lebih dari 1
minggu dan kadarnya secara efektif turun dengan sendirinya. Dengan
demikian, flouxatine telah digunakan pada beberapa kasus untuk menerapi
sindrom penghentian zat akibat penghentian SSRI lain.
20
2.4. Atipikal antidepressant
Atipikal antidepressant merupakan sekumpulan golongan anti depressant
yang bukan trisiklik ataupun monoamine oxidase inhibitor, yang bekerja secara
selektif pada sistem serotoninergik, terutama dengan cara menginhibisi reuptake
serotonin. Atipikal antidepresant terdiri dari bupropion, desvenlafaxine,
dulolextine, mirtazapine, trazodone, venlafaxine.
Bupropion bekerja sebagai norepinephrine-dopamine reuptake inhibitor
(NDRI). Berikatan secara selektif dengan dopamine transporter, akan tetapi efek
terhadap perilaku berhubungan dengan kerjanya menginhibisi reuptake
norepinephrine. Efek samping: pusing, insomnia, gangguan traktus GI, konstipasi,
mulut kering, tremor, sakit kepala, disfungsi seksual 10%, penurunan BB, rasa
cemas, dan kejang. Kejang merupakan efek samping paling kontroversial dari
bupropion. Efek samping ini lah yang menyebabkan penarikannya dari peredaran
pada awalnya. Kejadian kejang dihubungkan dengan dosis. Resiko kejang pada
dosis 100-300mg 0,1%, 300-450 mg 0,4%, dan 2% pada 600 mg. Kontraindikasi:
tidak boleh digunakan pada pasien dengan ambang kejang yang rendah seperti
pada epilepsi, alkohol, benzodiazepine withdrawal, anorexia nervosa, bulimia,
dan tumor otak aktif. Hindari pemakaian bersama MAOIs. Perhatian pada pasien
dengan keursakan hepar, penyakit ginjal, dan hipertensi yang parah. Perhatian
juga pada pemberian kepada pasien anak-anak dan remaja karena meningkatkan
resiko suicide. Interaksi obat: karena bupropion dimetabolisme menjadi
hydroxybupropion di CYP2B6, sehingga dapat terjadi interaksi dengan inhibitor
CYP2B6, seperti, paroxetine, sertraline, norfluoxetine, diazepam, clopidogrel,
orphenadrine. Obat-obat ini akan meningkatkan konsentrasi bupropion dan
menurunkan konsentrasi hydroxybuprobion dalam darah. Dapat terjadi pula
interaksi berupa penurunan konsentrasi bupropion dan peningkatan konsentrasi
hydroxybuprobion dalam darah oleh carbamazepine, clotrimazole, rifampicin,
ritonavir, dan obat-obatan lainnya yang berupa penginduksi CYP2B6.
Mirtazapine: bekerja sebagai histamine-1 antagonist (NaSSA).
Mirtazapine merupakan reseptor serotonin anagonis dan inhibitor norepinephrine
transporter, sehingga tidak menimbulkan serotonin sindrom. Efek
21
samping:pusing, penglihatan kabur, sedasi, somnolen, malaise, peningkatan nafsu
makan, mulut kering, konstipasi, peningkatan BB.
Venflaxine, Duloxetine, dan Desvenlafaxine: Merupakan serotonin
norepinephrine reuptake inhibitor (SNRI). Desvenlafaxine merupakan bentuk
sintetik dari metabolite aktif utama dari venlafaxine. Venlafaxine kadang juga
disebut sebagai serotonin-norepinephrine-dopamine reuptake inhibitor.
Mekanisme kerja dengan cara memblok transporter reuptake protein untuk
neurotransmitter penting yang mengatur mood, sehingga meningkatkan jumlah
neurotransmitter aktif pada sinaps. Efek samping: mual, pusign, insomnia,
hyperhidrosis,konstipasi, somnolen, penurunan nafsu makan, priapismus, night
terrors, cemas, keterlambatan ejakulasi, dan disfungsi seksual 30-10%. Efek
samping yag paling sering dilaporkan dan membuat orang berhenti meminum obat
adalah mual.Venflaxine dapat menyebabkan penurunan ambang kejang sehingga
penggunaan dengan obat penurun ambang kejang yang lain seperti bupropion dan
tramadol harus hati-hati. Penggunaan venflaxine pada wanita hamil dapat
meningkatkan kemungkinan kejadian abortus spontan. Obat-obat ini juga
sebaiknya tidak digunakan pada pasien dengan glaucoma.
Trazodone: obat ini bekerja sebagai serotonin antagonis dan reuptake
inhibitor (SARI). Trazodone di metabolisme oleh CYP3A4, penghambatan enzim
ini akan menyebabkan peningkatan kadar trazodone dalam darah. Salah satu
contoh penghambat CYP3A4 adalah jus grapefruit.Penggunaan pada wanita hamil
dan menyusui belum ada data yang mencukupi, sehingga pengunaannya hanya
apabila sangat diperlukan. Efek samping yang terjadi mirip dengan antidepressant
atipikal lainnya seperti pusing, priapismus, aritmia, dan lain-lain.
22
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian di atas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Anti depresan dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu trisiklik dan
tetrasiklik, Monoamine oxidase inhibitor (MAOI), Selective serotonin
reuptake inhibitor (SSRI) dan Atypical.
2. Efek samping obat antidepresi yang sering terjadi adalah sedasi, efek
antikolinergik, efek anti adrenergic-α dan efek neurotoksik.
23
DAFTAR PUSTAKA
Arozal W, Gan S. 2007. Obat-obatan Psikotropika dalam Farmakologi dann Terapi. Edisi 5. 171-177. Badan Penerbit FKUI: Jakarta
Ismail; Siste, 2010. Buku Ajar Psikiatri. BAB 14: Gangguan Depresi. Jakarta: FKUI. hal: 209-222
Kaplan and Saddock. 2010. Buku Ajar Psikiatri Klinis. EGC: Jakarta
Kaplan and Sadock's. 2010. Sinopsis Psikiatri. Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid dua. Bina Rupa AKsara: Tanggerang. Hal: 617-638
Kusumawardhani, A. 2010. Terapi fisik dan psikofarmaka dalam Buku Ajar Psikiatri Bab 28. Hal 356-357. Badan Penerbit FKUI: Jakarta
Maslim R. 2001. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Edisi Ktiga. Jakarta. Hal 23-30
Mutchler E. 1999. Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi. Edisi Kelima. Penerbit ITB: Bandung
24