Post on 03-Jan-2016
description
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Sri Astuti Suparmanto (1994), prevalensi asma pada anak Indonesia cukup
tinggi. Meski demikian pemerintah belum memiliki data yang rinci untuk tiap wilayah.Hanya
memiliki data pada anak sekolah di beberapa kota besar seperti Medan, Palembang, Jakarta,
Bandung, Semarang, Yogyakarta dan Denpasar. Prevalensi pada anak SD berkisar antara
3,7%-16,4% sedangkan pada anak SMP di Jakarta 5,8%. Berdasarkan Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) tahun 1996, penyakit-penyakit yang menyebabkan sesak napas
seperti bronchitis, emfisema dan asma merupakan penyebab kematian ke-7 di Indonesia.
WHO memperkirakan antara 100-150 juta penduduk di dunia penyandang asma dan
diperkirakan jumlahnya terus bertambah sekitar 180.000 setiap tahunnya. Asma terdapat dan
tersebar di seluruh tempat di dunia dengan kekerapan bervariasi. Kekerapan yang paling
tinggi ditemukan di negara-negara Anglo-Saxon yakni 17-20%. Di Indonesia belum ada
survei nasional, tetapi penelitian yang dilakukan oleh beberapa institusi menunjukkan
kekerapan antara 2-7% (Van, 2004).
Selama terjadi serangan asma, perubahan dalam paru-paru secara tiba-tiba menjadi
jauh lebih buruk, di mana ujung saluran napas mengecil, dan aliran udara yang melaluinya
menjadi sangat jauh berkurang sehingga bernapas menjdi sangat sulit. Perubahan saluran
napas yang terjadi pada asma menyebabkan dibutuhkan usaha yang jauh lebih keras untuk
memasukkan dan mengeluarkan udara dari paru-paru, yang selanjutnya akan membuat orang
dengan asma tersebut menjadi sesak napas/kesulitan bernapas, sesak dada, mengeluarkan
bunyi wheezing, ataupun batuk. Akhir-akhir ini pun dilaporkan adanya peningkatan
prevalensi morbiditas dan moratitas asma di seluruh dunia terutama di daerah perkotaan dan
industri. Disebabkan penderita asma ringan dan periodik tidak menyadari mengidap asma
dan menduganya sebagai penyakit pernapasan lain atau batuk biasa. Gangguan batuk dan
sesak dialami bila ada rangsangan seperti angin malam yang dingin, flu atau iritasi bahan
polutif seperti rokok atau asap hingga diduganya semata-mata terjadi akibat rangsangan
tersebut. Pemikiran timbul bila napas telah berbunyi atau mengi dan mengganggu kegiatan
sehari-hari. Padahal pada saat tersebut mungkin telah terdapat gangguan lanjut berupa
emfisema yang merupakan gangguan faal paru hingga perlu menggunakan obat asma secara
kontinyu.
Prevalensi yang tinggi menunjukkan bahwa pengelolaan asma belum berhasil.
Berbagai faktor menjadi sebab dari keadaan yaitu berbagai kekurangan dalam hal
pengetahuan tentang asma, kelaziman melakukan diagnosis yang lengkap atau evaluasi pre
terapi, sistimatika dan pelaksanaan pengelolaan, upaya pencegahan dan penyuluhan dalam
pengelolaan asma. Mengingat hal tersebut pengelolaan asma yang terbaik haruslah dilakukan
pada saat dini dengan berbagai tindakan pencegahan agar penderita tidak mengalami
serangan asma. Untuk meningkatkan pengelolaan asma yang baik hal-hal tersebut harus
dipahami dan dicarikan pemecahannya (Zul Dahlan, 2005).
Musik sendiri merupakan salah satu cabang kesenian yang dibutuhkan secara
universal. Selain berfungsi untuk memberikan kenikmatan estetis dan memberikan hiburan
atau relaksasi, music juga digunakan sebagai media ekspersi diri, memelihara kontinuitas
budaya, dan sebagai media pendidikan serta pembelajaran. Namun, lebih dari itu, music juga
sering digunakan sebagai media terapeutik (penyembuhan).
Keberadaan music sebagai media terapi pada masyarakat merupakan satu fenomena
yang menarik untuk dikaji. Karena asma merupakan kondisi jangka panjang, atau kronis,
asma memerlukan penanganan yang bersifat kontinu. Walaupun asma tidak dapat
disembuhkan, terdapat beberapa terapi asma efektif yang membantu untuk mengontrol
gejala. Untuk itulah saya melakukan analisis terhadap beberapa jurnal untuk mengetahui
efektifitas terappi music terhadap orang dengan asma.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana efektifitas penggunaan terapi music pada orang asma?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui efektifitas penggunaan terapi music pada orang asma
1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari makalah yang kami susun adalah:
1. Bagi masyarakat
Masyarakat mendapatkan gambaran tentang bagaimana efektifitas terapi music terhadap
orang dengan asma dan gangguan pernapasan lainnya.
2. Bagi penulis
Meningkatkan kemampuan untuk menganalisis, mengidentifikasi, dan mengembangkan
berbagai teori khususnya tentang terapi musik.
3. Bagi institusi pendidikan
Dapat dijadikan sumber referensi untuk penatalaksanaan asma dan gangguan penapasan
lain dengan menggunakan terapi musik.
BAB II
KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1 Pengertian Asma
Berikut merupakan beberapa define menurut sumber-sumber terkait:
a. Menurut Jan Tamboyang (2000), asma adalah obstruksi jalan nafas akut, episodic yang
diakibatkan oleh rangsangan yang tidak menimbulkan respons pada orang sehat. Asma
telah didefinisikan sebagai gangguan yang dikarakteristikkan oleh paroksisme rekurens
mengi dan dispnea yang tidak disertai oleh penyakit jantung atau penyakit lain.
b. Menurut Smeltzer dan Bare (2002), asma adalah penyakit jalan nafas obstruksi
intermittean, reversible dimana trakea dan bronki berespon dalam secara hiperaktif
terhadap stimuli tertentu.
c. Asma adalah suatu penyakit yang dikarakteristikkan dengan adanya respons yang
berlebihan dari trakea dan bronki terhadap rangsangan dan bermanifestasi dengan
penyebaran penyempitan saluran nafas yang beratnya dapat berubah secara spontan atau
sebagai hasil dari terapi. Secara klinik, asma bronchial ini ditandai dengan serangan
spasme bronkus hebat dengan batuk, mengi, dan dispnea (Sfat Pengajar Departemen
Farmakologi FK Universitas Sriwijaya, 2009).
d. Menurut Patrick Davey (2005), asma merupakan keadaan inflamasi kronis yang
menyebabkan obstruksi saluran pernafasan reversible dan gejala berupa batuk, mengi,
dada terasa terikat, dan sesak nafas.
e. Menurut Ngastiyah (2005), asma pada anak adalah gangguan pernafasan yang disertai
berbagai gejala hambatan aliran udara dalam saluran nafas paru berupa tarikan nafas
pendek, dan serangan batuk berulang. Asma merupakan penyakit keturunan yang
penyebabnya masih belum jelas.
Jadi dapat disimpulkan bahwa asma merupakan terjadinya obstruksi atau
penyempitan pada saluran napas yang berespons berlebihan pada rangsangan tertentu disertai
gejala yang berbeda-beda pada setiap orangnya dengan etiologi yang masih belum dapat
dipastikan.
2.2 Epidemiologi
Menurut Patrick Davey (2005), Asma adalah penyebab tunggal terpenting untuk
morbiditas penyakit pernafasan dan menyebabkan 2000 kematian/tahun. Prevalensinya,
sekarang sekitar 10-15%, semakin meningkat di masyarakat Barat. Insidensi mengi tertinggi
pada anak-anak (satu dari tiga anak mengalami mengi dan satu dati tujuh anak sekolah
terdiagnosis asma).
Masalah epidemiologi pada penyakit asma saat ini adalah mengenai morbiditas dan
mortalitas asma yang relative tinggi. Di dunia meliputi Inggris sekitar 2,5 juta penderita asma
bronkiale yang perlu pengobatan dan pengawasan rutin, 10% anak-anak dan 7% dewasa
(Crockett A, 1997). Di Amerika serikat diperkirakan 9,5 juta penduduk menderita asma, di
Jerman 9 juta penduduk, cemas yang berhubungan dengan sulit bernafas dilaporkan sebagai
diiagnosa yang sering ditangani (50%-74%) (Carpenito, 2000).
Fatality rate asma adalah 2,5 per 100.000, dengan factor kontribusi berupa terapi yang
tidak sempurna dan terlambatnya memulai pengobatan dengan bronkodilator dan adrenal
kortikosteroid. Di Indonesia, menurut survey Kesehatan Rumah Tangga tahun 1985-1986
melaporkan bahwa penyakit Asma, Emfisema, dan Bronkopneumonia merupakan penyakit
dengan morbiditas kedua setelah ISPA (infeksi saluran pernapasan atas), sedangkan BPS
(Biro Pusat Statistik) Jakarta menyatakan bahwa Indikator Kesejahteraan Rakyat 1985-1986
maka pneumonia, PPOM, Asma (0,5%) menempati urutan ketiga dari urutan mortilitas
penyakit di Indonesia (Sfat Pengajar Departemen Farmakologi FK Universitas Sriwijaya,
2009).
2.3 Patofisiologi (Price dan Wilson, 2005; Baratawidjaja, et al, 2006; Bernstein, 2003; Eapen, et
al, 2002; Gotzsche, et al, 2000; dan National Institutes of Health, 2007)
Istilah asma berasal dari kata Yunani yang artinya ‘terengah-engah’ atau serangan
napas pendek. Sekarang ini, asma hanya ditujukan pada keadaan yang menunjukkan respons
abnormal saluran napas terhadap berbagai rangsangan yang menyebabkan penyempitan
saluran napas yang meluas. Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor,
antara lain alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma
dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis
didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri
dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan
untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut
atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada
interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang
menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen
kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel
ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang
dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu
akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang
kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan
inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera
yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons
terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos
bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan allergen dan bertahan
selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti
eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam
patogenesis asma.
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen,
makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal
menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast
dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen
masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel
bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi
tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut
dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen
vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P,
neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang
menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi
lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas bronkus
tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter objektif beratnya
hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus
tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen,
maupun inhalasi zat nonspesifik.
2.4 Etiologi
Walaupun prevalensi kejadian asma pada populasi tidak kecil, etiologi asma belum
dapat ditetapkan dengan pasti. Tampaknya terdapat hubungan antara asma dengan alergi.
Pada sebagian besar penderita asma, ditemukan riwayat alergi, selain itu serangan asmanya
juga sering dipicu oleh pemajanan terhadap allergen. Pada pasien yang mempunyai
komponen alergi, jika ditelusuri ternyata sering terdapat riwayat asma atau alergi pada
keluarganya. Hal ini menimbulkan pendapat bahwa terdapat factor genetic yang
menyebabkan seseorang menderita asma. Factor genetic yang diturunkan adalah
kecenderungan memproduksi antibody jenis IgE yang berlebihan. Seseorang yang
mempunyai predisposisi memproduksi IgE berlebihan disebut mempunyai sifat atopik,
sedangkan keadaannya disebut atopi. Namun, ada penderita asma yang tidak atopic dan juga
serangan asmanya tidak dipicu oleh pemajanan terhadap allergen. Pada penderita ini, jenis
asmanya disebut idiosinkratik; biasanya serangan asmanya didahului oleh infeksi saluran
pernapasan bagian atas (R. Darmanto Djojodibroto, 2009).
Menurut Mary E. Muscari (2005), etiologi asma diantaranya:
a. Asma biasanya terjadi akibat trakea dan bronkus yang hiperresponsif terhadap iritans.
Alergi mempengaruhi keberadaan maupun tingkat keparahan asma, dan atopi atau
predisposisi genetic untuk perkembangan respons IgE-mediated terhadap allergen udara
yang umum merupakan factor predisposisi terkuat untuk berkembangnya asma
b. Iritans umum antara lain:
- Pajanan allergen (pada orang yang tersensitisasi). Allergen yang umum antara lain:
Debu
Jamur
Bulu binatang
- Infeksi virus
- Iritans, antara lain:
Polusi udara
Asap
Parfum
Sabun deterjen
- Jenis makanan tertentu (terutana zat yang ditambahkan dalam makanan)
- Perubahan cepat suhu ruangan
- Olahraga
- Stress psikologis
Menurut Behrman, dkk (2000), asma merupakan gangguan kompleks yang
melibatkan factor autonom, imunologis, infeksi, endokrin dan psikologis dalam berbagai
tingkat pada berbagai individu. Asma dapat disebabkan oleh kelainan fungsi reseptor adenilat
siklase adrenergic-β, dengan penurunan respons adrenergic. Laporan penurunan jumlah
reseptor adrenergic-β pada leukosit penderita asma dapat member dasar structural
hiporesponsivitas terhadap agonis-β. Cara lain, bertambahnya aktivitas kolinergik pada jalan
nafas diusulkan sebagai defek pada asma, kemungkinan diakibatkan oleh beberapa kelainan
pada reseptor iritan, baik intrinsic ataupun didapat; yang pada penderita asma agaknya
mempunyai nilai ambang yang rendah dalam responsnya terhadap rangsangan, daripada
individu normal. Tidak ada teori yang cocok dengan semua data. Pada penderita-penderita
perseorangan biasanya sejumlah factor turut membantu aktivitas proses asmatis pada
berbagai tingkat.
2.5 Tanda dan Gejala
Menurut Smletzer dan Bare (2002), Tiga gejala umum asma adalah batuk, dyspnea,
dan mengi. Pada beberapa keadaan, batuk mungkin merupakan satu-satunya gejala. Serangan
asma seringkali terjadi pada malam hari. Penyebabnya tidak dimengerti dengan jelas, tetapi
mungkin berhubungan dengan variasi sirkadian, yang mempengaruhi ambang reseptor jalan
nafas. Serangan asma biasanya bermula mendadak dengan batuk dan rasa sesak dalam dada,
disertai dengan pernafasan lambat, mengi, laborious. Ekspirasi selalu lebih susah dan panjang
dibandingkan inspirasi, yang mendorong pasien untuk duduk tegak dan menggunakan otot-
otot aksesori pernafasan. Jalan nafas yang tersumbat menyebabkan dispnea. Batuk pada
awalnya susah dan kering tetapi segera menjadi lebih kuat. Sputum, yang terdiri atas sedikit
mucus mengandung masa gelatinosa bulat, kecil yang dibatukan dengan susah payah. Tanda
selanjutnya termasuk sianosis sekunder terhadap hipoksia hebat, dan gejala-gejala retensi
karbondioksida, termasuk berkeringat, takikardia, dan pelebaran tekanan nadi.
Beberapa tanda peringatan awal mungkin dideteksi hanya oleh yang bersangkutan.
Sedang tanda peringatan awal yang lain lebih mungkin terlihat oleh orang lain. Tapi yang
paling bisa diandalkan sebagai tanda peringatan awal adalah penurunan dari angka prestasi
penggunaan “Peak Flow Meter”. Beberapa contoh tanda peringatan awal adalah perubahan
dalam pola pernapasan, bersin-bersin, perubahan suasana hati (moodiness) hidung mampat
atau hidung ngocor, batuk, gatal-gatal pada tenggorokan, merasa capai, lingkaran hitam di
bawah mata, susah tidur, turunnya toleransi tubuh terhadap kegiatan olahraga,
kecenderungan penurunan prestasi dalam penggunaan Peak Flow Meter. Hal-hal di atas
menunjukkan bahwa perubahan telah terjadi pada saluran pernapasan, dan aliran udara
terhambat. Penderita asma mengalami beberapa atau semua gejala di atas pada suatu
serangan. Tindakan penanganan harus dilakukan untuk mengatasi gelaja-gejala tersebut agar
tidak menjadi lebih buruk (Vitahealth, 2006).
2.6 Komplikasi
Menurut Smletzer dan Bare (2002), komplikasi asma dapat mencangkuo status
asmatikus, fraktur iga, pnemonia dan atelektasis. Obstruksi jalan napas, terutama episode
asmatik akut, sering mengakibatkan hipoksemia membutuhkan pemberian oksigen dan
pemantaun gas darah arteri. Cairan diberikan karena individu dengan asma mengalami
dehidrasi akibat diaforesis dan kehilangan cairan tidak kasat mata dengan hiperventilasi.
2.7 Pengobatan
Menurut Smletzer dan Bare (2002), terdapat lima kategori pengobatan yang
digunakan dalam mengobati asma, yaitu sebagai berikut:
a. Agonis beta
Agonis beta adalah medikasi awal yang digunakan dalam mengobati asma karena agen
ini mendilatasi otot otot polos bronkial. Agens adrenergik juga meningkatkan gerakan
siliaris, menurunkan mediator kimiawi anafilaktik dan menguatkan efek bronkodilatasi
dan kortikosteroid. Agens adrenergik yang paling umum digunakan adalah epinefrin,
albuterol, metaprterol, isoproterol, isoetharine dan terbutaline. Obat obat tersebut
biasanya diberikan secara pareteral atau melalui inhalasi. Jalur inhalasi adalah jalur
pilihan karena cara ini mempengaruhi bronkiolus secara langsung dan mempunyai efek
samping yang lebih sedikit.
b. Metilsalin
Metilsalin seperti aminofilin dan teofilin, digunakan karena mempunyai efek
bronkodilatasi. Agen ini merilekskan otot otot bronkus, meningkatkan gerakan mukus
dalam jalan nafas, dan meningkatkan kontraksi diafragma. Aminofilin diberikan secara
intavena. Teofilin diberikan per oral. Metilsalin tidak diberikan dalam selatan akut karena
awitannya lebih lambat dibanding agonis beta. Ada beberapa faktor yang mengganggu
metabolisme metilsalin, terutama teofilin, termasuk merokok, gagal jantung, penyakit
hepar kronis, kontraseptif oral, eritromisin dan simetidin. Harus sangat hati hati ketika
memberikan medikasi ini secara intravena,. Jika obat ini diberikan secara cepat dapat
terjadi takikardi atau disritmia jantung.
c. Antikolinergik
Antikolinergik seperti atropin tidak pernah dalam riwayatnya digunakan untuk
pengobatan rutin asma karena efek samping sistemikny, seperti kekeringan pada mulut,
penglihatan mengabur, berkemih, anyang anyangan, palpitasi dan flusing. Bagaimanapun
deprovat amonium kuartenari, seperti atropin metilnitrat dan ipratropium bromida telah
menunjukan efek bronkodilator yang sangat baik dengan efek samping sistemik minimal.
Agen ini diberikan melalui inhalasi. Antikolinergik secara khusus mungkin bermanfaat
terhadap asmatik yang bukan kandidat untuk agonis beta dan metilsalin karena penyakit
jantung yang mendasari.
d. Kortikosteroid
Kortikosteroid penting dalam pengobatan asma. Medikasi ini mungkin diberikan secara
intavena, oral atau melalui inhalasi. Mekanisme kerjanya belum jelas. Bagaimanapun,
medikasi ini diduga mengurangi inflamasi dan bronkokonstriktor. Kortikosteroid
mungkin diberikan untuk serangan asmatik akut yang tidak membrikan respons terhadap
terapi bronkodilator. Kortikosteroid telah terbukti efektif dalam pengobatan asma dan
PPOM. Penggunaan kortikosteroid jangka panjang dapat mengakibatkan terjadinya efek
samping yang serius termasuk ulkus peptikum, osteoporosis, supresi adrenal, miopati
serenoid dan katarak.
Kortikosteroid yang dihirup mungkin efektif dalam mengobati pasien dengan asma
tergantung steroid. Keuntungan utama dari metode pemberian ini adalah mengurangi efek
kortikosteroid pada sistem tubuh lainnya. Iritasi tenggorok, batuk, mulut kering,suara
parau dan infeksi jamur pada mulut dan tenggorok dapat terjadi. Pasien diinstruksikan
untuk membilas mulut dan berkumur segera setelah menghirup kortikosteroid untuk
mengurangi insiden infeksi jamur. Pasien diinstruksikan untuk melaporkan insiden
kemerahan atau bercak keputihan dalam mulut. Penurakaran kortikosteroid sistemik
menjadi hirup membuat pasien beresiko terhadap insufiensi adrenal. Oleh karena itu,
prosesnya harus dilakukan secara bertahap dan dibawah supervisi yang ketat.
e. Inhibitor sel mast
Natrium klomorin, suatu inhibitor sel mast, adalah bagian integral dari pengobatan asma.
Medikasi ini diberikan melalui inhalasi. Medikasi ini mencegah pelepasan mediator
kimiawi analilaktik, dengan demikian mengakibatkan bronkodilatasi dan penurunan
inflamasi jalan nafas. Natrium kromolin sangat bermanfaat diberikan antar serangan atau
sementara asma dalam remisi. Obat ini dapat mengakibatkan pengurangan penggunaan
medikasi lain dan perbaikan menyeluruh dalam gejala.
2.8 Pencegahan
Menurut Smletzer dan Bare (2002), pasien dengan asma kambuhan harus menjalani
pemeriksaan mengidentifikasi substansi yang mencetuskan terjadinya serangan. Penyebab
yang mungkin saja bantal, kasur, pakaian jenis tertentu, hewan peliharaan, kuda, detergen,
sabun, makanan tertentu, jamur dan serbuk sari. Jika serangan berkaitan dengan musim,
maka serbuk sari dapat menjadi dugaan kuat. Upaya harus dibuat untuk menghindari agen
penyebab kapan saja memungkinkan.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Efektifitas
Berdasarkan jurnal Music Therapy to Manage Asthma oleh Robert Eley dan Don
Gorman (2008), menyebutkan bahwa music dapat meningkatkan fungsi pernapasan.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat efektifitas pengajaran bermain Didgeridoo (alat music
tiup khas Aborigin) dan bernyanyi untuk orang Aborigin. Memainkan alat music tiup mirip
dengan bernyanyi, dalam arti bahwa keduanya membutuhkan mekanisme fisiologis untuk
mengontrol pernapasan dan melatih otot-otot perut untuk membantu diafragma saat bernapas.
Penggunaan alat music tiup dalam hal ini lebih bermakna hasilnya daripada bukan alat music
tiup. The Louis Armstrong Department of Music Therapy, dalam jurnalnya menyebutkan
bahwa dibandingkan dengan 10 anak dengan asma yang memainkan instrument non-tiup,
delapan remaja asm ayang bermain dengan alat music tiup menunjukkan gejala asma yang
lebih sedikit, memiliki peningkatan rasa kesejahteraan, dan kurang rentan terhadap
perubahan emosional.
Robert dan Don menggunakan Aborigin sebagai populasi, dengan intervensi bermain
Didgeridoo bagi laki-laki dan bernyanyi untuk yang perempuan. Hal ini dikarenakan
bukanlah suatu yang lazim bagi perempuan Aborigin untuk bermain Didgeridoo, jadi
bernyanyi adalah alternative yang dirasa cukup tepat. Latihan ini dilakukan setiap minggu
selama 6 bulan. Partisipasinya ditargetkan pada anak-anak SMP, SMA, dan dewasa.
Intervensi pada anak-anak SMP dan SMA berlangsung di sekolah mereka, dan pelajaran bagi
yang dewasa diadakan di tempat pelayanan medis local. Dalam penelitiannya, status
pernapasan dan kualitas hidup mereka ditentukan melalui penilaian klinis dan kuisioner.
Puncak aliran inspirasi dicatat dua kali sehari oleh para peserta dengan menggunakan Peak
Flow Meter. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa fungsi pernapasan meningkat
secara signifikan pada anak-anak tersebut. Hal ini disebabkan , pada saat bernyanyi atau
bermain alat music tiup, tubuh akan melepaskan endorphin pada mood dan terjadi
peningkatan aliran udara dan oksigenasi dari darah yang berhubungan dengan pergerakan
kepala dan leher.
Signe Dalgaard-Nielsen (2013) dalam jurnalnya yang berjudul Music Therapy at a
Respiratory Medicine Clinic : An Inquiry into the Experiences of Patients and Staff
menyatakan bahwa untuk pasien dengan penyakit paru-paru setiap harinya dapat menjadi
perjuangan hanya untuk bernapas dan mereka sering menderita dyspnea, perasaan tidak
mampu bernapas cukup untuk bertahan hidup atau untuk mengurus tugas sehari-hari.
Oksigen dan bernapas sangat penting untuk kelangsungan hidup kita, maka tidak
mengherankan bahwa perasaan dyspnea/sesak/sulit bernapas dapat menyebabkan kecemasan
dan kepanikan. Nielsen melakukan penelitian terhadap pasien yang berada dalam bangsal
rumah sakit. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mengeksplorasi apakah dan
bagaimana terapi musik selama rawat inap dapat membantu pasien dengan gangguan paru-
paru berhubungan dengan aspek psikologisnya dan bagaimana pasien dan staf menanggapi
kehadiran terapi intern musik di bangsal. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut,
peneliti melakukan penyelidikan hermeneutik menggunakan metode kualitatif seperti kajian
literatur, studi wawancara menggunakan analisis tematik, dan analisis deskriptif dari survei
kuesioner. Data dalam penelitian ini terdiri dari dua survei kuesioner, untuk staf dan masing-
masing pasien, yang dilakukan selama bulan, serta dua studi wawancara, termasuk
wawancara dengan dua pasien yang menerima terapi musik individu selama rawat inap
mereka , dan tiga anggota staf dari klinik medis pernapasan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terapi musik selama rawat inap dapat membantu
beberapa pasien dengan penyakit paru-paru untuk mengatasi stres emosional memiliki
penyakit yang serius, untuk mengurangi rasa sakit, menangani informasi yang diberikan oleh
staf medis, dan melalui relaksasi mendapatkan perasaan untuk dapat bernapas lebih bebas.
Kedua pasien yang diwawancarai terapi musik mengatakan bahwa terapi music membantu
mereka, dan merasa bahwa dengan terapi musik memiliki dampak positif pada suasana di
bangsal. Melalui survei kuesioner itu menunjukkan bahwa banyak pasien dan staf berpikir
terapi musik lingkungan menjadi pengalaman yang menyenangkan. Studi ini memberikan
bantalan bahwa pengobatan psikodinamik, seperti terapi musik, mungkin memiliki tempat di
bangsal medis.
Menurut David Aldridge, dalam jurnalnya yang berjudul Music Therapy Research: A
Review of References in the Medical Literature, menyebutkan bahwa pengaruh musik pada
jantung dan tekanan darah telah menjadi tema favorit sepanjang sejarah. Berbagai kelompok
kompetensi musik menanggapi dalam kaitannya dengan volume, melodi, ritme, pitch dan
jenis musik. Minat musik merupakan faktor penting yang mempengaruhi respon. Melody
menghasilkan efek yang paling ditandai dalam kelompok musik. Volume menghasilkan efek
yang paling jelas dalam kelompok moderat musik. Secara umum, mendengarkan musik
disertai dengan naiknya tekanan darah pendengarnya. Jika musik menghasilkan efek
fisiologis dan psikologis, pada orang sehat sebagai pendengar maka dapat diasumsikan
bahwa orang dengan berbagai penyakit merespon musik dengan cara tertentu. Sebuah
hipotesis tertentu, yang belum dibuktikan secara empiris, adalah bahwa orang dengan
penyakit yang dikenal menanggapi musik dengan cara yang dimediasi oleh penyakit itu. Oleh
karena itu, kita mungkin menemukan bahwa parameter musik bermain improvisasi dibatasi
oleh penyakit. Juga, dalam hal terapi musik, jika musik yang diketahui mempengaruhi
parameter fisiologis seperti denyut jantung atau tekanan darah, maka mungkin musik dapat
digunakan terapi untuk pasien yang memiliki masalah dengan penyakit jantung atau
hipertensi.
Detak jantung manusia bisa akan bervariasi pada kisaran tertentu dengan entrainment
dari ritme sinus dengan stimulus auditori eksternal yang mungkin bertindak melalui
mekanisme kontrol saraf, dan dihasilkan dari sistem saraf ke pusat jantung otak. Klik
terdengar dimainkan untuk subjek pada waktu yang tepat dalam siklus jantung. Ketika itu
datang dalam kisaran kritis maka denyut jantung dapat meningkat atau menurun hingga 12%
selama periode waktu hingga 3 menit. Perpanjangan dari premis ini, bahwa ritme musik
adalah alat pacu jantung, dalam hal efek yang dirasakan ritme pada pola pernafasan, pola
yang melayani fungsi metabolik dan perilaku. Jalur pernapasan metabolisme berada dalam
formasi reticular dibawah pons dan medula, sedangkan jalur pernapasan terutama berada
dalam struktur otak depan limbik yang menyebabkan vokalisasi dan perilaku yang kompleks.
David juga menyebutkan terdapat hubungan antara hipotalamus dan generator pola
tulang belakang yang mampu bersinkronisasi ketika terdapat kegiatan pernapasan dan
lokomotor. Oleh karena itu, hipotesis Haas adalah bahwa kegiatan musik ritmis eksternal,
dalam hal ini mendengarkan rekaman musik, akan memiliki pengaruh pada pola pernapasan
sambil menjaga perubahan metabolik dan rangsangan aferen (yaitu tidak ada gerakan
motorik kasar). Dua puluh subjek yang terlibat dalam percobaan ini, empat di antaranya
musisi berpengalaman dan berlatih musisi, enam telah resmi musik pelatihan tetapi tidak lagi
memainkan alat musik dan sisanya sepuluh tidak memiliki pelatihan musik. Data pernapasan
termasuk frekuensi respirasi dan volume aliran udara dikumpulkan bersama denyut jantung
dan CO2 end-tidal. Subyek mendengarkan satu set metronom pada 60b.p.m. Subyek
kemudian secara acak disajikan dengan empat kutipan music. Tidak ada perubahan berarti
dalam denyut jantung selama percobaan, tapi ada perubahan berarti dalam frekuensi
pernapasan dan penurunan yang signifikan dalam koefisien variasi untuk semua parameter
pernapasa. Untuk mata pelajaran non-musik dilatih ada sedikit koordinasi antara pernapasan
dan irama musik, sedangkan untuk musisi terlatih ada kopling pernapasan dan irama. Untuk
penyanyi memiliki strategi paru yang lebih efisien daripada musisi yang tidak terlatih,
bahkan ketika berbicara. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tampaknya penting dalam
sinkronisasi respirasi dan aktivitas motorik lainnya. Ini adalah aspek organisasi peristiwa
perilaku yang tampaknya menjadi aspek penting dari musik dan pusat terapi music.
Hans-Joachim Trappe (2012) dalam jurnalnya Music and Medicine: The Effects of
Music On the Human Being, manambahkan bahwa mendengarkan musik, mungkin tidak
hanya membantu untuk bersantai di akhir hari yang menegangkan. Hal ini juga bisa
menurunkan tekanan, denyut jantung darah dan meningkatkan variabilitas denyut jantung.
Gagasan bahwa musik memiliki efek pada denyut jantung, tekanan darah dan sistem
kardiovaskular telah banyak dilaporkan. Nada minor meningkatkan denyut jantung dan
menurunkan tekanan darah, sedangkan musik "aduk" meningkat tekanan darah dan denyut
jantung. Musik yang cepat menyebabkan peningkatan tekanan darah, denyut jantung dan laju
pernapasan, dan sensitivitas baroreflex berkurang. Musik lambat, di sisi lain, menyebabkan
penurunan yang signifikan dalam denyut jantung dan frekuensi pernapasan dibandingkan
dengan baseline. Tanggapan secara kualitatif serupa dalam musisi dan nonmusicians dan
tampaknya tidak terpengaruh oleh preferensi musik, meskipun musisi tidak menanggapi
lebih. Dalam beberapa tahun terakhir, musik telah semakin banyak digunakan sebagai alat
terapi dalam pengobatan penyakit yang berbeda. Telah terbukti bahwa terapi musik tidak
hanya mengurangi tekanan darah, denyut jantung dan kecemasan pasien tetapi memiliki efek
yang signifikan pada kejadian masa depan, termasuk reinfarction dan kematian, pada pasien
sindrom koroner akut yang menjalani revaskularisasi. Dalam hal ini musik juga
mempengaruhi fungsi endotel dan dalam penelitian ini aliran arteri brakialis meningkat 26%
selama fase musik yang membangkitkan sukacita dibandingkan dengan baseline (p <0,002).
Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan Trappe menyebutkan bahwa musik tidak
hanya meningkatkan kualitas hidup, tetapi juga mempengaruhi perubahan denyut jantung
(HR) dan variabilitas denyut jantung (HRV). Sebuah modulasi lebih besar SDM dan HRV
ditunjukkan selama pertunjukan musik dibandingkan dengan mendengarkan musik. Musik
secara signifikan mengurangi tingkat kecemasan untuk pasien dalam pengaturan pra operasi
dibandingkan dengan midazolam (STAI-X-1 skor 36) (p <0,001). Mendengarkan musik
sambil beristirahat di tempat tidur setelah operasi jantung terbuka menyebabkan perbedaan
yang signifikan dalam tingkat kortisol antara musik (484,4 mmol / l) dan kelompok non-
musik (618,8 mmol / l) (p <0,02).
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari berbagai paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa terapi music memberikan
pengaruh yang positif terhadap orang dengan asma dan gangguan respirasi lainnya. Terapi
music ini berpengaruh terhadap tekanan darah, ritme, dan pola napas penggunanya. Sebagai
perawat, diharapkan untuk mengembangkan lebih lanjut proses terapi music, khususnya
dalam pemanfaatan media music sebagai modalitas penanganan orang dengan gangguan
respirasi.
DAFTAR PUSTAKA
Aldridge, David. Music Therapy Research: A Review of References in the Medical Literature.
Chair of Qualitative Research in Medicine. University Witten Herdecke. Diakses pada
tanggal 27 Juni 2013. Available at http://mustherapy.narod.ru/mtreview.pdf.
Baratawidjaja, K.G., Soebaryo, R.W., et al. 2006. Allergy and Asthma, The scenario in
Indonesia. In: Shaikh WA. Mumbai: Vicas Medical Publishers.
Bernstein, J.A. 2003. Asthma In Handbook of Allergic Disorders. Philadelphia: Lipincott
Williams & Wilkins.
Carpenito, Linda Juall. 2000. Buku Saku Diagnosa Kperawatan. Edisi 8. Jakarta:Penerbit buku
kedokteran EGC.
Davey, Patrick. 2005. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga.
Djojodibroto, R. Darmanto. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Eapen, S.S., dan Busse, W.W. 2002. Asthma in Inflammatory Mechanisms in Allergic Diseases.
USA: Marcel Dekker.
Eley, R., dan Gorman, D. 2008. Music Therapy to Manage Asthma. Volume 23. Aboriginal and
Islander Health Worker Journal. Australia: Centre for Rural and Remote Area Health
University of Southern Queensland. Diakses pada tanggal 27 Juni 2013. Available at
reseachhttp://eprints.usq.edu.au/3553/3/Eley_Gorman_2007_Pubrversion.pdf.
Gotzsche CP. House Dust Mite Control Measures for Asthma: Systematic Review In European
Journal of Allergy And Chronic Urticaria. Volume 63.
Jan Tambayong. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Muscari, Mary E. 2005.Panduan Belajar Keperawatan. Pediatrik Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
National Institutes of Health. 2007. Global Strategy for Asthma Management and Prevention.
Nielson, Signe Dalgaard. 2013. Music Therapy at a Respiratory Medicine Clinic : An Inquiry
into the Experiences of Patients and Staff. Denmark: Master's thesis in music therapy
Department of Communication. Diakses pada tanggal 27 Juni 2013. Available at
http://projekter.aau.dk/projekter/files/76945629/Forside_speciale.pdf.
Nelson, Behrman, Kliegman & Arvin. 2000. Ilmu kesehatan Anak Nelson. Vol 1 E/15. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Price, S.A., dan Wilson, L.M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi
6. Volume 2. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C.,Bare, Brende G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Edisi.8. Volume1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sri Astuti Suparmanto. 1994. Dirjen Pelayanan Medik (Yanmed) Departemen Kesehatan.
Jakarta.
Staf Pengajar Departemen Farmakologi FK Universitas Sriwijay. 2009. Kumpulan Kuliah
Farmakologi. Ed.2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
The Louis Armstrong Department of Music Therapy, Beth Israel Medical Center.
http://www.wehealny.org/services/bi_musictherapy/AIP.html.
Trappe, Hans-Joachim. 2012. Music and Medicine: The Effects of Music On the Human Being.
Department of Cardiology and Angiology. University of Bochum. Germany: Applied
Cardiopulmonary Pathophysiology. Diakses pada tanggal 27 Juni 2013. Available at
http://www.applied-cardiopulmonary-pathophysiology.com/fileadmin/downloads/acp-2012-
2_20120517/03_trappe.pdf.
Van. 2004. Penyakit Asma Banyak Diderita oleh Anak-Anak. Jakarta: Sinar Harapan.
Vitahealth. 2006. Asma: Informasi Lengkap untuk Penderita & Keluarganya. Jakarta: Gramedia.
Zul Dahlan 2005. Masalah Asma di Indonesia dan Penaggulangannya. Bandung: Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran.