Post on 24-Dec-2015
description
EFEK SAMPING OBAT ANTI TUBERKULOSIS PADA ANAK DAN
PENANGGULANGANANNYA
Hansel Mohamed Asri
Dr Melani R Mantu, Sp.A
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan
BAB II ISI
2.1 Diagnosis dan Pengobatan TB pada Anak
2.2 Jenis, Sifat, Dosis dan Efek Samping OAT
2.3 Penanggulanganan Efek Samping OAT
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala karena atas rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Efek Samping
Obat Anti Tuberkulosis Pada Anak dan Penanggulanganannya”. Referat ini disusun berdasarkan
telaah pustaka yang dilakukan penulis yang bersumber dari textbook, guidelines terbaru dan
referensi ilmiah lainnya.
Kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT, oleh karena itu penulis menerima segala saran dan
kritik yang membangun demi perbaikan secara khusus pada aspek penulisan referat ini maupun
secara keseluruhan pada proses pengerjaan referat ini. Akhirnya penulis berharap semoga referat
ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca.
Jakarta, Desember 2014
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang dapat menyerang berbagai organ tubuh, namun
sebagain besar menyerang paru. Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat
terbesar, khususnya di negara berkembang. Beberapa fakta menunjukkan hal ini antara lain:1
1. Indonesia merupakan Negara dengan jumlah pasien TB terbanyak ke-4 di dunia setelah
India, Cina dan Afrika Selatan. Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,8% (tahun
2008) dari total jumlah pasien TB di dunia
2. Data yang didapat dari WHO (World Health Organization) pada tahun 2002, terdapat 22
negara di dunia yang memiliki jumlah penderita TB terbesar di dunia.
3. Tahun 2004 tercatat 211.753 kasus baru tuberkulosis di Indonesia, dan diperkirakan
sekitar 300 kematian terjadi setiap hari. Setiap tahunnya kasus baru tuberkulosis bertambah
seperempat juta.
4. Penemuan kasus BTA positif (case detection rate, CDR) mengalami peningkatan selama
periode 2003-2006 dan tahun 2007 menunjukkan penurunan di bawah target global (70%).
Angka penemuan kasus TB paru tahun 2003 sebesar 42%, tahun 2005 sebesar 54%, tahun 2006
sebesar 76% yang berarti mencapai target global, namun pada tahun 2007 kembali menurun
sebesar 69%.
Dengan penanganan yang tepat, TB merupakan penyakit yang dapat disembuhkan. Pemerintah
juga telah menetapkan pedoman diagnosis dan penatalaksanaan tuberkulosis. Pengobatan TB
memakan waktu yang cukup lama dan rentan untuk timbulnya efek samping. Sebagian besar
pasien TB, dalam perjalanan pengobatannya tidak selalu dijumpai adanya efek samping. Tetapi
pada beberapa pasien didapatkan efek samping yang dirasakan memberat. Penting bagi pasien
untuk dimonitoring atau dipantau selama pengobatan terhadap efek samping yang mungkin
timbul sehingga dapat dideteksi secara dini dan dilakukan tindakan untuk mengurangi efek
samping tersebut.
1.2 Tujuan
1.2.1 Mengetahui dan mengenali gejala dari efek samping OAT
1.2.2 Mengetahui penanganan dari efek samping OAT pada anak
BAB II ISI
2.1 Diagnosis dan Pengobatan TB pada Anak
Diagnosis TB anak ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat dan teliti (termasuk riwayat
kontak dengan pasien TB dewasa), pemeriksaan fisis termasuk analisis terhadap kurva
pertumbuhan serta hasil pemeriksaan penunjang uji tuberkulin, radiologi, serta pemeriksaan
sputum BTA bila memungkinkan.)
Pada anak, batuk bukan merupakan gejala utama TB. Pada anak sangat sulit sekali mengambil
sampel dahak, maka diagnosis TB anak dapat menggunakan criteria lain yaiotu denganb
menggunakan system pembobotan (scoring system). Apabila diagnosis hanya ditegakkan
berdasarkan gejala klinis dan foto toraks atau laboratorium saja, sering terjadi misdiagnosis,
underdiagnosis atau overdiagnosis.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah membuat program Pedoman Nasional Tuberkulosis
Anak (PNTA) yaitu pembobotan (scoring system) yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda
klinis yang dijumpai.
Tabel 1. Sistem pembobotan (scoring system) untuk diagnosis TB pada anak
Parameter 0 1 2 3
Kontak TB Tidak jelas Laporan
keluarga, BTA
tidak jelas
BTA (+)
Uji Tuberkulin Negatif Positif (≥ 10
mm, atau ≥ 5
mm pada
keadaan
imunosupresi)
Berat badan
/keadaan gizi
Bawah garis
merah (KMS)
atau BB/U <
80%
Klinis gizi
buruk (BB/U <
60%)
Demam tanpa
sebab jelas
> 2 minggu
(jelas)
Batuk* > 3 minggu
Pembesaran
kelenjar limfe
coli, aksila,
inginal,
> 1cm, jumlah
> 1, tidak nyeri
Pembengkakan
tulang/sendi
panggul, lutut
Ada
pembengkakan
Foto toraks Normal / tidak
jelas
Kesan TB
Catatan:
• Diagnosis dengan system scoring ditegakkan oleh dokter
• Gejala batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya
seperti : asma, sinusitis dan lain-lain
• Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat langsung
didiagnosis tuberkulosis
• Berat badan dinilai saat pasien datang
• Foto toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
• Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi local timbul < 7 hari setelah penyuntikan)
harus dievaluasi dengan system scoring TB anak.
• Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6 (skor maksimal 13)
• Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.
Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 (≥6) didiagnosis sebagai TB anak dan
ditatalaksana dengan OAT (obat anti tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis
kecurigaan kea rah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnosis lainnya sesuai indikasi,
seperti :
• Pemeriksaan mikrobiologi spesimen bilasan lambung, cairan pleura, cairan serebrospinal,
cairan ascites atau spesimen lain.
• Pemeriksaan patologi anatomi dengan spesimen hasil operasi dan atau biopsy.
• Pemeriksaan pencitraan di luar paru sesuai indikasi jika perlu menggunakan CT-Scan.
• Pemeriksaan lain seperti funduskopi.
Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam waktu minimal
6 bulan. Terapi TB anak dibagi menjadi 2 tahap, intensif dan lanjutan. Pada tahap intensif selama
2 bulan awal, mulai bulan ketiga dan selanjutnya merupakan tahap lanjutan. Pada tahap intensif
diberikan paduan >3 OAT. Sedangkan pada tahap lanjutan diberikan paduan 2 obat H dan R.
Pemberian OAT pada anak dilakukan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun tahap
lanjutan, Dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.
Tabel 2. Dosis Obat Anti-Tuberkulosis pada anak
Obat Dosis Harian
(mg/KgBB/hari)
Dosis maksimal
(mg per hari)
Isoniazid (H) 5-15* 300
Rifampisisn ** (R) 10-20 600
Pyrazinamide (z) 15-40 2000
Streptomisin (S) 15-40 1000
Catatan:
* Bila Isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10 mg/Kg?
BB/hari
** Rifampisisn tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena bioavailabilitas
rifampisin dapat terganggu. Rifampisisn dapat diabsorbsi dengan baik melaui sistem
gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan).
Obat Kombinasi Dosis tetap (KDT)
Obat KDT untuk anak terdiri dari KDT tahap intensif dan KDT tahap lanjutan. Satu tablet KDT
tahap intensif berisi isoniazid 50 mg, rifampisisn 75 mg, dan pirazinamid 150 mg. Sedangkan
satu tablet KDT berisi isoniazid 50 mg dan rifampisin 75 mg.
Tabel 3. Dosis OAT anak dalam bentuk KDT
Berat Badan (kg) KDT Tahap intensif H50,
R75, Z150 2 bulan, tiap
hari
KDT tahap lanjutan H50,
R75 4 bulan, Tiap Hari
05-09 1 tablet 1 tablet
10-14 2 tablet 2 tablet
15-19 3 tablet 3 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet
Catatan:
• Bayi dengan berat badan kurang dari 5 Kg dirujuk ke RS
• Anak dengan BB > 33 Kg, diberikan obat lepas dengan dosis sesuai tabel 1
• Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
• Obat KDT dapat diberikan dengan cara ditelan secara utuh, dikunyah (chewable), atau
dilarutkan dalam air (dispersable).
2.2 Jenis, Sifat, Dosis dan Efek Samping OAT
1. Isoniazid (INH)
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan,
rasa terbakar di kaki dannyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin
dengan dosis terendah 10 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan
tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin
(syndrom pellagra). Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul
pada kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT
dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus.
Insidens dan derajat keparahan reaksi isoniazid yang merugikan berkaitan dengan dosis
dan lama pemberiannya
A. Reaksi Imunologis
Demam dan ruam pada kulit sesekali dijumpai. Telah dilaporkan terjadi lupus
ertitematosus sistemis yang dipicu oleh obat
B. Toksisitas langsung
Hepatitis yang terinduksi isoniazid merupakan efek toksik utama yang paling
sering terjadi. Hal ini berbeda dengan sedikit peningkatan pada aminotransferasi hati
(hingga tiga atau empat kali nilai normal), yang tidak membutuhkan penghentian obat
dan dijumpai pada 10-20% pasien, yang biasanya asimtomatik. Hepatitis klinis yang
disertai hilangnya nafsu makan, mual, muntah, ikterus dan nyeri kuadran kanan atas
terjadi pada 1% resipien isoniazid dan dapat mematikan, terutama jika obat tidak segera
dihentikan. Terdapat bukti, histologis terjadinya kerusakan dan nekrosis hepatoselular.
Risiko hepatitis bergantung pada usia, dan jarang terjadi pada usia di bawah 20 tahun,
sebesar 0,3% pada pasien berusia 21-35 tahun, 1,2% pada pasien berusia 36-50 tahun,
dan 2,3% pada pasien berusia 50 tahun atau lebih. Risiko hepatitis lebih besar pada
pecandu alcohol dan kemungkinan selama kehamilan serta pada masa pascapersalinan.
Timbulnya hepatitis akibat isoniazid menjadi kontraindikasi bagi pelanjutan pemberian
obat tersebut.
Neuropati perifer diamati pada 10-20% pasien yang mendapat dosis lebih besar
dari 5 mg/kg/hari tetapi jarang dijumpai pada pemberian dosis dewasa standar sebesar
300 mg. Keadaaan ini lebih sering dijumpai pada asetilator lambat dan pasien dengan
keadaan kondisi presdiposisi, seperti malnutrisi, alkoholisme, diabetes, AIDS dan uremia.
Neuropati terjadi akibat defisiensi relatif piridoksin. Isoniazid meningkatkan ekskresi
piridoksin, dan toksisitas ini cepat dipulihkan melalui pemberian piridoksin dengan dosis
serendah 10 mg/hari. Toksisitas sistem saraf pusat, yang lebih jarang ditemui, meliputi
hilangnya daya ingat, psikosis dan kejang. Kesemuanya ini juga berespons terhadap
piridoksin.
Berbagai rekasi lain meliputi kelainan hematologis, tercetusnya anemia defisiensi
piridoksin, tinitus dan keluhan saluran cerna. Isoniazid dapat menurunkan metabolisme
fenitoin sehingga meningkatkan toksisitasnya dalam darah.
2. Rifampisin
Rifampin memunculkan warna jingga yang tidak berbahaya pada urin, keringat, air mata
dan lensa kontak (lensa yang lunak dapat terwarnai secara permanen).
A. Reaksi Imunologis
Efek samping meliputi ruam dan demam.
B. Toksisitas Langsung
Efek samping yang sesekali mucul meliputi trombositopenia dan nefritis. Rifampin dapat
menimbulkan ikterus kolestatik dan sesekali hepatitis. Rifampin sering menyebabkan
proteinuria rantai-ringan. Jika diberikan kurang dari dua kali seminggu, rifampin
menyebabkan sindrom seperti flu yang ditandai dengan demam, mengigil, mialgia, anemia
dan trombositopenia, dan terkadang terkait dengan nekrosis tubular akut. Rifampin sanagt
menginduksi kebanyakan isoform sitokrom P450 ( CYP 1A2, 2C9, 2C19, 2D6, dan 3A4)
yang meningkatkan eliminasi berbagai obat lain seperti metadon, antikoagulan, siklosporin,
beberapa antikonvulsan, penghambat protease, beberapa penghambat reverse transciptase
nonnukleosida, kontrasepsi, dan obat lain. Pemberian rifampin menurunkan kadar semua
obat tersebut dalam serum. Efek lain seperti timbul sindrom seperti flu yang ditandai dengan
demam, mengigil, mialgia, anemia dan trombositopenia, dan terkadang terkait dengan
nekrosis tubular akut.
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simptomatik
ialah :
- Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
- Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang kadang diare
- Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
- Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan
penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus
- Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini
terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya
telah menghilang
- Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
3. Pirazinamid
Efek samping utama pirazinamid meliputi hepatotoksisitas (pada 1-5% penderita),
General
Demam, porphyry, dysuria jarang dilaporkan. Hiperurisemia dialami oleh semua
penggunanya dan tidak menjadi alasan penghentian terapi. Hiperurisemia dapat
mencetuskan artritis pirai akut.
Gastrointestinal
Efek samping utama adalah reaksi hati. Hepatotoksisitas tampaknya berhubungan dengan
dosis, dan dapat muncul kapan saja selama terapi. Gangguan GI termasuk mual, muntah
dan anoreksia juga telah dilaporkan.
Hematologi dan limfatik
Trombositopenia dan anemia sideroblastik dengan erythroid hiperplasia, vakuolasi dari
eritrosit dan konsentrasi besi serum meningkat j arang terjadi pada penggunaan obat ini.
Efek samping pada mekanisme pembekuan darah juga jarang dilaporkan.
Efek lainnya
Arthralgia dan milagia ringan dilaporkan sering terjadi. Reaksi hipersensitivitas termasuk
ruam, urtikaria, pruritus juga telah dilaporkan. Demam, timbulnya jerawat,
fotosensitifitas, porfiria, disuria dan nefritis interstisial telah dilaporkan jarang terjadi.
4. Etambutol
Hipersensitivitas terhadap etambutol jarang terjadi. Efek samping yang paling sering
terjadi adalah neuritis retrobulbar, yang menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan dan
buta warna merah-hijau. Efek samping yang terkait dosis ini lebih sering terjadi pada dosis
25 mg/kg/hari yang diberikan selama beberapa bulan. Pada dosis 15mg/kg/hari atau kurang,
gangguan penglihatan sangat jarang terjadi. Pemeriksaan ketajaman visual secara teratur
sebaiknya dilakukan jika dosis sebesar 25 mg/kg/hari digunakan. Etambutol relatif
dikontraindikasikan pada anak yang terlalu muda untuk dapat diperiksa ketajaman
penglihatan dan diskriminasi warna merah-hijaunya. Gangguan penglihatan akan kembali
normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan.
Ocular
Efek samping pada bagian penglihatan termasuk penurunan ketajaman penglihatan
(termasuk irreversible blindness), Optic neuropathy (termasuk neuritis optic atau
retrobulbar neuritis), scotoma, dan buta warna.
Karakteristik toksisitas penglihatan pada pemberian ethambutol
Secara klasik, toksistas berhubungan dengan dosis dan lama pemberian, dan bersifat
reversibel ketika obat dihentikan.
o Dose-related
Insidens retrobulbar neuritis akibat ethambutol dilaporkan bervariasi antara 18%
pasien yang menerima lebih dari 35 mg/kg per hari, 5-6% dengan 25mg/kg per
hari dan kurang dari 1% dengan 15 mg/kg per hari dari ethambuthol HCL dengan
pemberian lebih dari 2 bulan. Belum ada dosis aman yang dilaporkan, dengan
toksisitas dilaporkan pada dosis yang lebih rendah dari 12,3 mg/kg per hari.
o Duration-related
Manifestasi dari gangguan penglihatan biasanya terlambat dan umumnya tidak
berkembang sampai setidaknya 1,5 bulan setelah pengobatan. Mean Interval
antara onset terapi dengan efek samping dilaporkan pada 3 sampai 5 bulan.
Manifestasi gangguan setelah 12 bulan pemberian obat juga dilaporkan terjadi.
Perlu diperhatikan bahwa laporan ini menunjukkan sebagian kecil dari pasien
yang diterapi dengan eksternal validitas yang tidak diketahui.
Retrobulbar neuritis menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan dan
penurunan penglihatan warna merah dan hijau biasa terjadi pada terapi dengan
ethambutol dam memerlukan monitoring secara berkala terhadap ketajaman penglihatan
dan perbedaan warna. Optic neuritis sering terjadi pada pemberian dosis lebih dari 15
mg/kg/hari. Pemberian terapi sebaiknya dihentikan, ketika didapatkan tanda gangguan
pada penglihatan. Kerusakan dapat mengenai pada saraf perifer maupun sentral dari
nervus optikus. Scotoma juga sering terjadi. Kerusakan biasanya terjadi setelah 2 bulan
pemberian terapi bahkan dapat lebih cepat terjadi. Faktor predisposisi termasuk
penurunan fungsi renal, diabetes, dan kejadian optic neuritis sebelumnya akibat
penggunaan alkohol atau tembakau. Walaupun gangguan penglihatan tersebut bersifat
reversibel setelah beberapa bulan penghentian ethambutol, kasus kebutaan yang
irreversibel dan kerusakan penglihatan juga telah ada dilaporkan.
Toksisitas terhadap penglihatan dapat lebih parah pada pasien dengan kerusakan
renal, yang dicurigai akibat adanya penumpukan obat di dalam tubuh.
Metabolik
Efek samping pada metabolik meliputi hiperurisemia dan faktor presipitasi dari terjadinya
gout. Hiperurisemia telah dilaporkan pada lebih dari 66% pasien yang menerima terapi
dan tidak tergantung pada dosis. Biasanya, lebih menuju kepada arthralgia sendi dan gout
arthritis setelah 1 sampai 2 bulan terapi. Gejala biasanya menghilang setelah 15 hari sejak
obat dihentikan.
Hepatic
Efek samping termasuk toksisitas liver. Peningkatan sementara dan asimptomatik dari
LFT terjadi pada 10% pasien. Jaundice jarang dilaporkan terjadi. Peningkatan LFT,
biasanya tanpa perubahan dari bilirubin, terjadi pada 10% pasien yang diterapi dengan
ethambutol. Peningkatan ini menghilang secara spontan ketika pemberian obat
dihentikan. Jaundice asimptomatik juga jarang terjadi pada pemberian terapi ethambutol
Hipersensitivitas
Efek samping hipersensitivitas termasuk reaksi anafilaktik/anafilaktoid. Reaksi
hipersensitifitas termasuk demam, dan reaksi pada kulit (rash, dermatitis exfoliatif),
lichen-planus reaction, dan toxic epidermal necrolysis. Reaksi hipersensitifitas
ditunjukkan dengan demam (spiking fever), rash, mual, hipotensi, dan eosinofilia.
Lichen-planus-like reactions termasuk hiperpigmentasi dan desquamasi jarang dilaporkan
terjadi, sama seperti toxic epidermal necrolysis.
Hematology
Efek samping pada hematologis termasuk trombositopenia, leucopenia dan neutropenia.
Respiratory
Efek samping pada saluran pernafasan termasuk pulmonary infiltrates dengan atau tanpa
eosinofilia
Gastrointestinal
Keluhan pada gastrointestinal jarang pada pemberian terapi ethambutol dan biasa
berhubungan dengan reaksi hipersensitifitas. Pseudomembranous colitis dilaporkan
terjadi ketika ethambutol diberikan bersamaan dengan rifampin dan isoniazid. Efek
samping yang lain termasuk mual, muntah, nyeri abdomen, anorexia.
Nervous system
Efek samping termasuk sakit kepala, pusing berputar, dan rasa tebal serta kesemutan pada
ekstremitas akibat peripheral neuritis.
Psychiatric
EFek samping termasuk gangguan menta, disorientasi dan halusinasi.
Dermatologic
Efek samping meliputi dermatitis, erythema multiforme, dan pruritus.
Musculoskeletal
Efek samping termasuk gangguan sendi
Renal
Efek samping pada renal jarang terjadi seperti reversible renal insufficiency. Terjadi
gangguan pada renal meliputi peningkatan kreatinin serum dan idiosyncratic interstitial
nephritis.
5. Streptomisin
Reaksi Simpang Aminoglikosida secara umum
Semua aminoglikosida bersifat ototoksik dan nefrotoksik. Ototoksisitas dan nefrotoksisitas
lebih mungkin dijumpai bila terapi dilanjutkan selama lebih dari 5 hari, pada dosis yang lebih
tinggi, pada lansia, dan pada keadaan insufisiensi ginjal. Penggunaan aminoglikosida secara
bersamaan dengan diuretik kuat (misalnya furosemid, asam etakrinat) atau antimikroba
laninnya yang bersifat nefrotoksik (misalnya, vankomisin atau amfoterisin) dapat
memperparah nefrotoksisitas dan harus dihindari bila memungkinkan. Ototoksisitas dapat
bermanifestasi sendiri baik berupa kehilnagan pendengaran, yang awalnya menimbulkan
tinnitus, atau berupa kerusakan vestibular yang ditandai adanya vertigo, ataksia, dan
hilangnya keseimbangan. Nefrotoksisitas menyebabkan peningkatan kadar kreatinin dalam
serum atau penurunan clearance kreatinin meskipun indikasi paling awal terjadinya toksistas
seringkali berupa peningkatan kadar terendah (trough) aminoglikosida serum. Neomisin,
kanamisin dan amikasin adalah obat-obat yang paling bersifat ototoksik. Streptomisin dan
gentamisin paling bersifat vestibulotoksik. Neomisin, tobramisin, dan gentamisin paling
bersifat nefrotoksik.
Pada dosis yang sangat tinggi, aminoglikosida dapat menimbulkan efek yang mirip
kurare dengan blokade neuromuskular yang menimbulkan paralisis pernafasan. Paralisis
tersebut biasanya bersifat reversibel dengan pemberian kalsium glukonat (diberikan segera)
atau neostigmin. Hipersensitivitas tidak sering terjadi.
Reaksi Simpang Streptomisin
Demam, ruam, kulit, dan manifestasi alergi lainnya dapat terjadi akibat hipersensitivitas
terhadap streptomisin. Hal ini paling sering terjadi akibat paparan yang lama dengan obat ini,
baik pada pasien yang menjalani pengobatan dalam jangka panjang (misalnya tuberkulosis)
maupun pada petugas media yang bertugas menangani obat ini. Desensitisasi kadang-kadang
berhasil.
Rasa nyeri di tempat suntikan biasa terjadi tetapi tidak hebat. Efek toksik yang paling
serius pada penggunaan streptomisin adalah gangguan vestibular, berupa vertigo dan
hilangnya keseimbangan. Frekuensi dan keparahan gangguan ini berhubungan langsung
dengan umur, pasien, kadar obat dalam darah, dan lama pemberian. Disfungsi vestibular
dapat terjadi setelah beberapa minggu dengan kadar obat yang relatif rendah dalam darah.
Toksisitas vestibular cenderung bersifat ireversibel. Streptomisin yang bdiberikan selama
kehamilan dapat menyebabkan ketulian pada neonates sehingga penggunaannya pada kasus
ini relatif dikontraindikasikan.
2.3 Penanggulanganan Efek Samping OAT
Efek Samping Kemungkinan Penyebab
Tatalaksana
Minor OAT TeruskanTidak nafsu makan, mual,
sakit perutRifampisin Obat diminum malam
sebelum tidurNyeri sendi Pyrazinamid Beri aspirin /allopurinol
Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki
INH Beri vitamin B6 (piridoksin) 1 x 100 mgperhari
Warna kemerahan pada air seni
Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu diberi apa-apa
Mayor Hentikan Obat
Gatal dan kemerahanpada kulit
Semua jenis OAT Beri antihistamin &dievaluasi ketat
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikanGangguan keseimbangan (vertigo dan nistagmus)
Streptomisin Streptomisin dihentikan
Ikterik / Hepatitis ImbasObat (penyebab lain
disingkirkan)
Sebagian besar OAT Hentikan semua OATSampai ikterik menghilang
dan boleh diberikanhepatoprotektor
Muntah dan confusion(suspected drug-induced
pre-icteric hepatitis)
Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT &lakukan uji fungsi hati
Gangguan penglihatan Ethambutol Hentikan ethambutolKelainan sistemik,termasuk syok dan
purpura
Rifampisin Hentikan Rifampisin
Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan dulu
kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil meneruskan OAT dengan
pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien menghilang, namun pada sebagian
pasien malah menjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT.
Tunggu sampai kemerahan tersebut menghilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat,
pasien perlu dirujuk.
Pada unit pelayanan kesehatan rujukan (UPK Rujukan) penanganan kasus-kasus efek samping
obat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka pemberian kembali
OAT harus dengan cara “drug challenging” dengan menggunakan obat lepas. Hal ini
dimaksudkan untuk menentukan obat mana yang merupakan penyebab dari efek samping
tersebut.
Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau karena
kelebihan dosis. Untuk membedakannya, semua OAT dihentikan dulu kemudian diberi
kembali sesuai prinsip dechallenge-rechallenge. Bila dalam proses rechallenge yang
dimulai dengan dosis rendah sudah timbul reaksi, berarti hepatotoksisitas karena reaksi
hipersensitivitas.
Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui, misalnya
pirasinamid atau etambutol atau streptomisin, maka pengobatan TB dapat diberikan lagi
tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti obat tersebut dengan obat lain. Lamanya
pengobatan mungkin perlu diperpanjang, tapi hal ini akan menurunkan risiko terjadinya
kambuh.
Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan) terhadap
Isoniasid (INH) atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis OAT yang paling
ampuh sehingga merupakan obat utama (paling penting) dalam pengobatan jangka
pendek. Bila pasien dengan reaksi hipersensitivitas terhadap Isoniasid (INH) dan atau
Rifampisin tersebut HIV negatif, mungkin dapat dilakukan desensitisasi. Namun, jangan
lakukan desensitisasi pada pasien TB dengan HIV positif sebab mempunyai risiko besar
terjadi keracunan yang berat.
Dari semua lini pertama pengobatan TB, isoniazid , pyrazinamide dan rifampisin dapat
mengakibatkan kerusakan pada hati. (drug induced-hepatitis), sebagai tambahan rifampisin dapat
mengakibatkan jaundice yang asimptomatik tanpa ada buktinya nyata telah terjadinya hepatitis.
Sangat penting untuk menyingkirkan kemungkinan lain dari penyebab hepatitis selain dari akibat
regimen pengobatan TB.
Manajemen hepatitis akibat pengobatan TB tergantung dari :
Fase pengobatan; pasien dalam pengobatan fase intensif atau fase lanjutan.
Keparahan dari penyakit hati
Keparahan dari TB
Kemampuan dari unit kesehatan untuk menangani efek samping dari OAT.
Bila diperkirakan penyebab dari gangguan hati adalah disebabkan karena obat anti-TB,
semua obat TB tersebut harus dihentikan pemberiannya. Jika penyakit TB sangat berat dan
diperkirakan tidak aman untuk menghentikan pengobatan TB, regimen nonhepatotoksik yang
terdiri dari streptomycin, ethambutol, dan fluoroquinolone dapat mulai diberikan.
Bila pengobatan TB telah dihentikan. Perlu untuk menunggu fungsi hati kembali normal dan
gejala klinis (seperti mual, nyeri abdomen) menghilang sebelum memberikan kembalin obat anti-
TB. Jika tidak memungkinkan melakukan tes fungsi hati, dianjurkan untuk menunggu setidaknya
2 minggu setelah menghilangnya jaundice dan tenderness pada abdomen bagian atas sebelum
memulai pengobatan TB. Jika gejala dan tanda tidak menghilang dan penyakit hati bertambah
parah, pemberian regimen nonhepatotoksik yang terdiri dari streptomycin, ethambutol, dan
fluoroquinolone dapat mulai diberikan (atau dilanjutkan) selama total 18-24 bulan.
Ketika drug-induced hepatitis menghilang, obat dapat diberikan kembali satu persatu.
Jika gejala muncul kembali atau LFT menjadi abnormal setelah obat diberikan. Obat terakhir
yang ditambahkan harus dihentikan. Beberapa ahli menganjurkan untuk memulai dengan
rifampisin karena hampir sedikit samadengan isoniazid atau pyrazinamid dalam menyebabkan
hepatotoksik dan merupakan agen yang paling efektif. Setelah 3-7 hari, isoniazid dapat mulai
diberikan. Pada pasien yang pernah mengalami jaundice dan tahan terhadap pemberian kembali
dari rifampisin dan isoniazid, dianjurkan untuk menghindari pyrazinamide
Regimen alternative tergantung dari obat mana yang berimplikasi menyebabkan hepatitis.
Jika rifampisin berimplikasi, regimen yang dianjurkan adalah tanpa rifampisin dengan 2
bulan isoniazid, ethambutol dan streptomycin diikuti dengan 10 bulan isoniazid dan
ethambutol
Jika isoniazid tidak dapat digunakan, 6-9 bulan dari rifampisin, pyrazinamide dan
ethambutol dapat dipertimbangkan.
Jika pyrazinamide dihentikan sebelum pasien menyelesaikan fase intensif, total terapi
dari isoniazid dan rifampisin dapat diperpanjang hingga 9 bulan.
Bila isoniazid maupun rifampisin tidak dapat digunakan, regimen nonhepatotoksik yang
terdiri dari streptomycin, ethambutol, dan fluoroquinolone dapat dilanjutkan selama total
18-24 bulan.
Pemberian kembali obat secara satu persatu merupakan pendekatan yang optimal, terutama
jika hepatitis pasien sudah berat. Program nasional kontrol TB menggunakan tablet FDC yang
terbatas untuk setiap unit obat TB terpisah yang digunakan untuk pengobatan dengan pendekatan
diatas. Bagaimanapun, jika, suatu unit kesehatan di suatu daerah tidak memiliki anti TB secara
terpisah, (single anti TB-drugs) pengalaman klinis pada daerah dengan sumber daya terbatas
telah menunjukkan kesuksesan dengan menggunakan pendekatan sebagai berikut, baik
tergantung hepatitis dengan jaundice yang terjadi pada fase intensif atau lanjutan.
Bila hepatitis dengan jaundice terjadi pada fase intensif dari pengobatan TB dengan
isoniazid, rifampisin, pyrazinamid, dan ethambuthol; ketika hepatitis menghilang, ulangi
kembali semua obat kecuali ganti pyrazinamid dengan streptomycin untuk menyelesaikan
2 bulan dari permulaan terapi, diikuti rifampisin dan isoniazid selama 6 bulan pada fase
lanjutan.
Bila hepatitis dengan jaundice terjadi pada fase lanjutan, ketika hepatitis menghilang,
ulangi kembali isoniazid dan rifampisin untuk menyelesaikan 4 bulan dari terapi lanjutan.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
1. DEPKES RI, 2010, Panduan Tatalaksana Tuberkulosis.Jakarta
2. WHO,2010,Guidelines for the treatment of Tuberculosis Fourth edition.Geneva
3. Dahlan, Z. Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis.Tinjauan Kepustakaan.
Cermin Dunia Kedokteran No.115.1997;8-12
4. Depkes RI. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Tuberkulosis. Direktorat Bina
Farmasi Komunitas Dan Klinik Direktorat Jenderal.
5. Katzung, 2004. Farmakologi Klinik Edisi 4. EGC. Jakarta.
6. RYC Chan, et al, 2006. Ocular toxicity of ethambutol: review article. Hong Kong
Med J Vol 12 No 1 February 2006.
7. DEPKES RI. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosi.