Post on 30-Aug-2020
REFLEKSI KASUS
“EPILEPSI“
Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Departemen
Ilmu Bagian Saraf
Rumah Sakit Akademik UGM
Pembimbing:
dr. Fajar Maskuri, M.Sc, Sp.S
Disusun oleh :
Aldwin Edbert Demas 14/365531/KU/17185
KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU BAGIAN SARAF
RUMAH SAKIT AKADEMIK UGM
FAKULTAS KEDOKTERAN, KESEHATAN MASYARAKAT, DAN
KEPERAWATAN
2019
1
BAB I
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Bp. P
Tanggal Lahir : 4 September 1996 (22 tahun)
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Status perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Tukang Parkir
Alamat : Yogyakarta
No CM : 114xxx
Tanggal masuk RS : 8 April 2019 jam 11.00, pasien rawat jalan di poliklinik saraf
RSA UGM
B. Data Dasar
Dilakukan anamnesis pada tanggal 8 April 2019 pukul 11.30 WIB di poliklinik saraf
RSA UGM.
Keluhan Utama:
Pasien kontrol dengan epilepsi
Keluhan Tambahan:
Terkadang ada pandangan kabur atau mata kunang-kunang apabila sedang kecapekan
atau terlambat makan
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pada tahun 2015, pasien muncul kejang secara tiba-tiba saat sedang duduk-
duduk nongkrong. Kejang terjadi di seluruh bagian tubuh hingga pasien membentur-
benturkan badan ke aspal, dan mencakar bagian tubuh lainnya sehingga pasien babak
belur. Kejang berlangsung selama 5 menit dan pasien tidak sadar apa yang terjadi
selama kejang. Sesudah kejang selesai, pasien masih tidak sadar selama 10 menit.
Ketika pasien sadar pasien kebingungan dan tidak mengingat apa yang terjadi karena
sudah dikerumuni oleh banyak orang.
2 hari sesudah kejadian tersebut Os dibawa ke puskesmas setempat. Di pkm di
Dx dengan (?), dan diberikan obat selama sebulan (tidak tahu nama obat, ada 2-3
jenis). Selama 1 bulan perawatan, pasien masih muncul kejang 2-3x dalam 1 bulan
2
perawatan. Setelah 1 bulan pasien tidak ada perbaikan Os dirujuk ke RSUD
Wirosaban.
Pada tahun yang sama, Os dirujuk ke RSUD Wirosaban kemudian di scan dan
di EEG. Hasil (?), Dx (?). Pasien kemudian dirawat jalan dengan obat (?) selama
beberapa bulan. Kejang masih muncul 1-2x dalam satu bulan, kemudian pasien stop
kontrol. Selama tahun 2015-2017 pasien tidak pernah melakukan perawatan apapun
untuk kejangnya, tetapi kejang tetap muncul 1-2x per bulan dengan lama tidak pernah
lebih dari 30 menit.
Pada tahun 2017, mertua pasien mengajak Os ke praktik pribadi dr. Soni,
Sp.S, diberikan obat (?). Selama beberapa bulan kejang (-). Pada tahun 2019, Os stop
kontrol karena masalah pembiayaan (1juta/bulan) sehingga pergi mengurus BPJS
terlebih dahulu. Saat stop kontrol kejang kembali kambuh.
November 2018, Os mulai mengontrol kejangnya dengan BPJS di RSA UGM.
HMRS pasien tidak ada keluhan, riwayat kejang 1 bulan terakhir (-), hanya sesekali
merasa mata kunang-kunang dan pandangan kabur apabila terlalu capek atau
terlambat makan. Obat rutin??? diminum, keluhan yang disangkal: sakit kepala,
pusing berputar, demam, pingsan, gangguan BAB maupun gangguan BAK.
Riwayat Penyakit Dahulu:
1. Riwayat mengalami keluhan serupa sebelumnya: kejang sejak tahun 2015
2. Riwayat trauma sebelumnya : disangkal
3. Riwayat vertigo : disangkal
4. Riwayat penyakit paru : disangkal
5. Riwayat penyakit jantung : disangkal
6. Riwayat hipertensi : disangkal
7. Riwayat kejang : disangkal
8. Riwayat DM : disangkal
9. Riwayat stroke : disangkal
10. Riwayat rawat inap : disangkal
11. Riwayat alergi : disangkal
12. Riwayat mengkonsumsi obat-obatan : disangkal
13. Riwayat Keganasan : disangkal
3
Riwayat Penyakit Keluarga :
1. Riwayat keluhan serupa pada keluarga : disangkal
2. Riwayat hipertensi : disangkal
3. Riwayat diabetes mellitus : disangkal
4. Riwayat jantung : disangkal
5. Riwayat stroke : disangkal
Riwayat Sosial, Ekonomi, Pribadi :
Pasien laki-laki berusia 22 tahun, bekerja sebagai tukang parkir. Pekerjaan pasien
sehari-hari dihabiskan dengan bekerja sebagai tukang parkir dan mengurus rumah.
Kebiasaan makan pasien sehari-hari teratur. Pasien memiliki tattoo di tangan dan di wajah
(badan tidak diperiksa). Pasien menggunakan BPJS, kesan ekonomi menengah kebawah.
Anamnesis Sistem
Sistem serebrospinal : Riwayat kejang berulang (+), Pandangan kabur (-/-), mata
kunang-kunang (-/-), nyeri kepala (-), kelemahan anggota gerak
kanan (-), pingsan (-) riwayat vertigo (-).
Sistem kardiovaskular : riwayat hipertensi (-), riwayat penyakit jantung (-)
Sistem respirasi : sesak nafas (-), batuk (-)
Sistem gastroinstestinal : mual (-), muntah (-), BAB (+) normal tidak ada keluhan
Sistem musculoskeletal : kelemahan anggota gerak (-)
Sistem neurologi : kelemahan anggota gerak (-), kesemutan (-), baal (-), tidak
dapat bicara (-), perot (-), penglihatan ganda (-), telinga
berdenging (-)
Sistem integument : ruam (-)
Sistem urogenital : BAK (+) normal, tidak ada keluhan
C. Resume Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis. Bp. P, laki-laki berusia 22 tahun datang ke
poliklinik saraf RSA UGM untuk kontrol kejang berulang. Kini pasien tidak memiliki
keluhan (-), riwayat kejang 1 bulan terakhir (-), hanya merasa pandangan kabur dan mata
kunang-kunang apabila terlalu capek atau terlambat makan. Pasien dikontrol rutin dengan
clonazepam 1x2mg dan topamax 1x25mg kini datang karena ingin melanjutkan obat.
4
DISKUSI IDari data anamnesis pada pasien didapatkan adanya adanya suatu riwayat kejang yang
terjadi berulang selama 4 tahun terakhir. Kejang seringkali dicampur-adukkan definisinya
dengan bangkitan dan epilepsi terutama pada masyarakat awam. Kejang (seizure) dibagi
menjadi 2 jenis yaitu epileptic seizure dan non-epileptic seizure. Pada anak-anak terdapat
juga kejang oleh karena demam, dan dikenal sebagai febrile seizure. Pembagian dan
pemahaman mengenai perbedaan dari kedua jenis kejang ini penting karena akan mengarah
ke identifikasi etiologi, diagnosis dan tatalaksana yang berbeda.
“Epileptic seizure is defined conceptually as a transient occurrence of signs and/or
symptoms due to abnormal excessive or synchronous neuronal activity in the brain.”
– ILAE 2005
Berdasarkan International League Against Epilepsy (ILAE), kejang epileptic
merupakan munculnya tanda dan/atau gejala yang berhubungan dengan aktivitas neuronal di
otak yang berlebihan atau synchronous. Kejang non-epileptik merupakan kejang yang tidak
berhubungan dengan aktivitas neuronal di otak. Epilepsi sendiri merupakan suatu diagnosis
ketika pada seorang pasien ditemukan (1) gejala kejang epileptik (ada peningkatan aktivitas
neuronal di otak), disertai dengan (2) kecenderungan untuk terjadi kejang epileptik yang
berulang. Epilepsi ditegakkan sebagai diagnosis apabila memenuhi syarat:
1. Terjadi minimal 2 kejang yang tidak dipicu / reflex seizures dengan rentang waktu
antara 1 kejang dengan kejang berikutnya >24 jam
2. Terjadi 1 kejang yang tidak dipicu / reflex seizure dengan kemungkinan terjadi
kejang lagi >60% dalam 10 tahun kedepan (dapat diukur dengan EEG (epileptiform
activity), atau potential epileptogenic abnormality pada brain imaging), atau
3. Terdapat sindrom epilepsi
PERUBAHAN TERMINOLOGI DAN KLASIFIKASI KEJANG
Sejak tahun 1981, ILAE telah melakukan berbagai revisi mengenai klasifikasi,
terminologi dan definisi mengenai kejang epileptik dan epilepsi itu sendiri. Pada tahun 2017,
ILAE mengeluarkan klasifikasi dan terminologi diagnostik baru mengenai kejang. Pada
gambar dibawah ini dapat diamati perbedaan terminologi pada tahun 1981 (old) dengan
terminologi yang baru 2017 (new).
5
Beberapa perubahan yang dilakukan antara lain:
1. Kejang parsial kini diubah menjadi fokal.
2. Kejang yang dulunya disebut generalized
dapat diartikan sebagai (1) generalized
seizure, maupun (2) kejang parsial yang
meluas menjadi generalized seizure. Kini
kejang dengan definisi (2) diubah
terminologinya menjadi focal to bilateral
tonic-clonic.
3. Penambahan unknown onset location
4. Perubahan terminologi terkait kesadaran
pasien selama kejang dari simple menjadi
aware, dan complex menjadi impaired
awareness.
Apabila
dalam setting
klinis, seorang
klinisi
menghadapi
pasien dengan
kejang epileptik,
maka yang
terlebih dahulu
harus
diklasifikasikan
adalah jenis
kejangnya.
Apakah lokasi
kejang tersebut
bersifat fokal atau
generalized. Apabila pasien menunjukkan gejala yang mengarah ke kejang fokal, maka
6
klasifikasi pertama harus melibatkan kondisi pasien apakah pasien sadar selama kejang atau
terdapat gangguan kesadaran (mis. Focal impaired awareness seizure). Dalam situasi dimana
kesadaran pasien tidak bisa atau sulit dinilai (tidak ada informasi yang jelas) maka penulisan
status kesadaran dapat diabaikan.
Klasifikasi selanjutnya berkaitan dengan gejala yang paling pertama muncul (sekalipun
bukan gejala yang paling khas). Gejala dapat berupa gejala motorik (atonic, clonic,
hiperkinetik, tonik, dsb) maupun gejala non-motorik (otonom, perilaku, kognisi, dsb). Setelah
itu, pada penulisan karakteristik kejang dapat ditambahkan gejala-gejala penyerta lainnya.
Contoh penulisan antara lain focal impaired awareness autonomic seizure with left face
numbness and anxiety.
Dalam mengklasifikasikan generalized seizure, “aware” dan “impaired awareness”
tidak perlu dituliskan karena pada kejang umum, pasien cenderung akan mengalami
gangguan kesadaran, sehingga pembagian klasifikasi pada generalized seizure lebih
mengarah ke motor atau non-motor.
KLASIFIKASI EPILEPSI
Setelah melakukan klasifikasi jenis kejang, klinisi harus berusaha untuk menidentifikasi
tipe epilepsi pasien dan apabila memungkinkan, sindrom epilepsinya juga. Pasien yang tidak
memenuhi kriteria untuk epilepsi hanya perlu diklasifikan sampai ke tahap jenis kejang dan
tidak perlu diklasifikasikan lebih lanjut.
Tipe epilepsi dibagi menjadi 4 yakni fokal, generalized, combined generalized & focal,
dan unknown. Penggolongan pasien ke salah satu tipe epilepsi ini harus memperhatikan
setiap jenis bangkitan yang terjadi selama pasien dalam proses perawatan. Sindrom epilepsi
merupakan kumpulan fitur yang muncul bersamaan. Fitur-fitur ini antara lain jenis kejang,
7
temuan pada EEG, temuan pada imaging, usia, pemicu, dan terkadang prognosis. Beberapa
sindroma epilepsi ini memiliki nama yang cukup dikenal, sekalipun ILAE belum pernah
secara formal mengeluarkan daftar sindrom epilepsi.
Neonatal Period Adolescence – Adult
Benign Familial neonatal epilepsy (BFNE) Juvenile absence epilepsy (JAE)
Early myoclonic encephalopathy (EME) Juvenile myoclonic epilepsy (JME)
Ohtahara Syndrome Epilepsy with generalized tonic-clonic
seizures alone
Infancy Progressive myoclonus epilepsies (PME)
Epilepsy of infancy with migrating focal seizures Autosomal dominant epilepsy with auditory
features (ADEAF)
West syndrome Other familial temporal lobe epilepsies
Myoclonic epilepsy in infancy (MEI) Less specific age relationship
Benign infantile epilepsy Familial focal epilepsy with variable foci
(childhood to adult)
Benign familial infantile epilepsy Reflex epilepsies
Dravet syndrome Distinctive constellations
Myoclonic encephalopathy in nonprogressive
disorders
Medial temporal lobe epilepsy with
hippocampal sclerosis (MTLE with HS)
Childhood Rasmussen syndrome
Febrile Seizures plus (FS+) Gelastic seizured with hypothalamid hamartoma
Panayiotopoulos syndrome Hemiconvultion-hemiplegia-epilepsy
Epilepsy with myoclonic atonic (previously astatic)
seizures
Benign epilepsy with centrotemporal spikes (BECTS)
Autosomal-dominant nocturnal frontal lobe epilepsy
(ADNFLE)
Late onset childhood occipital epilepsy (Gastaut type)
Epilepsy with myoclonic absences
Lennox-Gastaut syndrome
Epileptic encephalopaty with continous spike-and-
wave during sleep (CSWS)
Landau-Kleffner syndrome
Childhood absence epilepsy
ETIOLOGI EPILEPSI
8
Sejak kontak pertama dengan pasien, klinisi disarankan untuk mulai menggali
mengenai etiologi dari kejang epilepsi tersebut. ILAE mengkategorikan etiologi epilepsi
menjadi 6 kelompok yakni: (1) struktural, (2) genetik, (3) infeksi, (4) Metabolik, (5) Immune,
(6) unknown
1. Etiologi Struktural: dapat ditemukan dengan brain imaging dan dapat disesuaikan
lokasi gangguan struktural tersebut dengan hasil bacaan dari EEG dan tampakan
klinis
2. Etiologi Genetik: dapat dilakukan dengan gene mapping (jarang). Menurut ILAE,
riwayat keluarga (+) dengan tampakan EEG khas cukup untuk mengklasifikasikan
etiologi epilepsi sebagai faktor genetik sekalipun tanpa analisis molekular.
3. Etiologi Infeksi: infeksi akut tidak bisa diklasifikasikan sebagai penyebab dari
epilepsi (epilepsi: reccurent unprovoked seizure) karena infeksi justru sebagai
provokator terjadinya kejang. Contoh epilepsi dengan infeksi sebagai etiologi
adalah kejang post-terapi meningitis, atau perubahan struktural otak oleh karena
neurocysticercosis, dsb.
4. Etiologi metabolik: gangguan metabolik akut tidak bisa dianggap sebagai penyebab
dari epilepsi (dengan alasan yang sama pada etiologi infeksi). Gangguan metabolik
yang menyebabkan epilepsi cenderung bersifat genetik misalkan pyridoxine-
dependent seizures dan cerebral folate deficiency.
5. Etiologi Immunitas: cenderung mengarah ke auto-immune
6. Unknown: cenderung digunakan pada pasien dengan etiologi yang belum jelas.
STATUS EPILEPTIKUS
Status epileptikus (SE) merupakan suatu kondisi kegawatdaruratan medis yang
didefinisikan sebagai kejang kontinuu ≥5 menit atau 2 atau lebih kejang serupa tanpa
perbaikan kesadaran diantara keduanya. ILAE mengajukan definisi SE sebagai berikut:
” SE is a condition resulting either from the failure of the mechanisms responsible for
seizure termination or from the initiation of mechanisms which lead to abnormally prolonged
seizures (after time point t1). It is a condition that can have long‐term consequences (after
time point t2), including neuronal death, neuronal injury, and alteration of neuronal
networks, depending on the type and duration of seizures.”
9
Pada pasien ini, ditemukan adanya riwayat kejang berulang sejak tahun 2015 dan
terjadi 2-3x setiap bulannya. Jenis kejang yang dialami pasien ini merupakan kejang seluruh
tubuh tanpa disadari oleh pasien. Kejang dimulai dengan pasien jatuh terlebih dahulu
kemudian seluruh bagian tubuh mengalami konvulsi sehingga berkontraksi dan relaksasi
dengan cepat dan terus menerus sehingga berdasarkan ILAE, kejang pasien ini dikategorikan
sebagai generalized tonic-clonic seizure. Oleh karena kejang tersebut tidak dipicu oleh
rangsangan apapun dan kejadiannya terjadi >2x dalam 1 tahun, maka pasien ini sudah dapat
ditegakkan diagnosisnya sebagai epilepsi.
D. DIAGNOSIS SEMENTARA
a. Diagnosis klinis
Riwayat epilepsi dengan generalized tonic-clonic seizure terkontrol
b. Diagnosis Topik
Susp. Cortex cerebrii
c. Diagnosis Etiologi
Idiopathic
E. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 8 April 2019 pukul 11.00 WIB
E.1 Pemeriksaan Umum
a. Kesan umum : Compos mentis, E4M6V5
10
b. Tanda-Tanda Vital :
Tekanan darah : 120/60 mmHg
Frekuensi nadi :71x/menit, reguler, isi cukup, kuat angkat
Frekuensi nafas :18 x/menit, regular
Suhu tubuh : 36,4 °C
Saturasi : 98 %
E.2 Pemeriksaan Umum
a. Kepala
Bentuk kepala normocephal, rambut hitam, terdistribusi merata, tidak
mudah dicabut, tampak tattoo meluas di daerah dahi (+)
b. Leher
Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening pada leher. Kaku kuduk (-),
burdzinsky I (-)
c. Wajah
Raut muka pasien baik dan tidak terdapat kelainan facies.
d. Mata
Edema palpebra (-/-), alis mata hitam dan tersebar merata, konjungtiva anemis (-/-),
sklera ikterik (-/-)
e. Telinga
AD: Bentuk telinga normal, membran timpani tidak dinilai, nyeri tekan (-).
AS: Bentuk telinga normal, membrane timpani tidak dinilai, nyeri tekan (-)
f. Hidung
Bentuk hidung normal. Tidak tampak deviasi. Tidak tampak adanya sekret. Tidak
tampak nafas cuping hidung.
g. Mulut
Mukosa gusi dan pipi tidak hiperemis, ulkus (-) , perdarahan gusi (-), sianosis (-),
Perot (-), hipersalivasi (-).
h. Thoraks
i. Pulmo :
1. Inspeksi : Normochest, gerak dada simetris, retraksi suprasternal dan
supraclavicula (-)
2. Palpasi : Taktil fremitus sama pada paru kanan dan kiri
3. Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
4. Auskultasi: Suara nafas vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
11
Kesan: Paru dalam batas normal
ii. Cor :
1) Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
2) Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
3) Perkusi : Batas kanan bawah:ICS 5 mid axilaris anterior sinistra
Batas kanan atas: ICS 3 mid clavicularis sinistra
Batas kanan bawah: ICS 4 parasternal dekstra
Batas kanan atas: ICS 2 parasternal dekstra
4) Auskultasi: S1-S2 reguler, intensitas normal, murmur (-), gallop (-).
Kesan : Jantung dalam batas normal
i. Abdomen
1) Inspeksi : Datar, supel.
2) Auskultasi: Bising usus (+), normal (2-6 x menit)
3) Perkusi : Timpani di semua kuadran abdomen
4) Palpasi : Dinding perut supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan
(-), turgor baik
j. Ekstremitas
Simetris, sianosis (-/-), akral hangat (+/+), CRT<2detik, tampak tattoo pada seluruh
bagian tangan (+)
E3. Neurobehaviour
Status Psikiatri
a. Tingkah Laku : Normoaktif
b. Perasaan Hati : Normotimik
c. Orientasi : Baik
d. Kecerdasan : Dalam batas normal
e. Daya Ingat : Dalam batas normal
Status Neurobehaviour
a. Sikap tubuh : Simetris
b. Gerakan Abnormal : Tidak ada
c. Cara berjalan : normal gait
d. Ekstremitas : dalam batas normal
12
E4. Status Neurologis
Nervus Pemeriksaan Kanan Kanan
N. I. Olfaktorius
Daya penghidu TDN TDN
N. II. Optikus
N. II. Optikus
Daya penglihatan N N
Pengenalan warna N N
Lapang pandang N N
N. III. Okulomotor
N. III. Okulomotor
Ptosis - -
Gerakan mata ke medial + +
Gerakan mata ke atas + +
Gerakan mata ke bawah + +
Ukuran pupil 3 mm 3 mm
Bentuk pupil Bulat Bulat
Refleks cahaya langsung + +
N. IV. Troklearis
N. IV. Troklearis
Strabismus divergen - -
Gerakan mata ke lat-bwh - -
Strabismus konvergen - -
N. V. Trigeminus
N. V. Trigeminus
Menggigit N N
Membuka mulut N N
Sensibilitas muka N N
Refleks kornea + +
Trismus - -
N. VI. Abdusen
Gerakan mata ke lateral N N
Strabismus konvergen - -
N. VII. Fasialis
N. VII. Fasialis Kedipan mata + +
Lipatan nasolabial - -
13
Sudut mulut Dbn Dbn
Mengerutkan dahi Dbn Dbn
Menutup mata - +
Meringis Normal Normal
Menggembungkan pipi Normal Normal
Daya kecap lidah 2/3 ant TDN TDN
N. VIII.
Vestibulokoklearis
N. VIII.
Vestibulokoklearis
Mendengar suara bisik Dbn Dbn
Tes Rinne Tdk dilakukanTdk
dilakukan
Tes Schwabach Tdk dilakukanTdk
dilakukan
N.IX (GLOSSOFARINGEUS) Keterangan
Arkus Faring Simetris
Daya Kecap 1/3 Belakang TDN
Reflek Muntah TDN
Sengau TDN
Tersedak TDN
N. X (VAGUS) Keterangan
Arkus faring Dalam batas normal
Reflek muntah TDN
Bersuara Dalam batas normal
Menelan Dalam batas normal
N. XI (AKSESORIUS) Keterangan
Memalingkan Kepala Dalam batas normal
Sikap Bahu Dalam batas normal
Mengangkat Bahu Dalam batas normal
Trofi Otot Bahu Tidak
14
N. XII (HIPOGLOSUS) Keterangan
Sikap lidah Tidak ada deviasi
Artikulasi Normal
Tremor lidah Tidak ada tremor
Menjulurkan lidah Tidak ada deviasi
Kekuatan lidah Dalam batas normal
Trofi otot lidah Dalam batas normal
Fasikulasi lidah Dalam batas normal
E.5 Fungsi Motorik
Gerakan
Kekuatan
E.6 Refleks Fisiologis
Refleks Biceps Normal Normal
Refleks Triceps Normal Normal
Refleks ulna dan radialis Normal Normal
Refleks Patella Normal Normal
Refleks Achilles Normal Normal
E.7 Refleks Patologis
Babinski - -
Chaddock - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaeffer - -
15
bebas
bebas
bebas
bebas
5/5/5
5/5/5 5/5/5
5/5/5
normalTonus
normal
normal
normal
Trofi eutrofi
eutrofi
eutrofi
eutrofi
Mendel Bachterew - -
Rosollimo - -
Gonda - -
Hofman Trommer - -
E.8 Fungsi Sensorik
Kanan Kanan
Rasa nyeri Terasa Terasa
Rasa raba Terasa Terasa
Rasa suhu Terasa Terasa
Propioseptif Terasa Terasa
E.9 Rangsang Meningeal
Kaku kuduk : negatif
Kernig sign : negatif
Pemeriksaan Brudzinski : : negatif
Brudzinski I : negatif
Brudzinski II : negatif
Brudzinski III : TDN
Brudzinski IV : TDN
E.10 Fungsi Luhur
a. Fungsi Luhur: normal
b. Fungsi Vegetatif: BAK lancar dengan pispot, BAB belum selama perawatan
F. Diagnosis Akhir
Diagnosis klinis : Riwayat epilepsi dengan generalized tonic-clonic seizure terkontrol
Diagnosis topis : susp. Cortex cerebrii
Diagnosis etiologi : Idiopathic
G. Tatalaksana
G.1 Non Medikamentosa
16
Edukasi keluarga mengenai penyakitnya:
Diagnosis pasien
Tatalaksana yang akan dilakukan
Prognosis dari penyakit yang diderita pasien
G.2 Medikamentosa
Tab. Asam Folat 1x1mg
Tab. Clonazepam 1x2mg
Tab. Topamax 1x25mg
H. Plan
Lacak hasil pemeriksaan EEG, kontrol apabila hasil sudah keluar
I. Prognosis
1. Death : Dubia ad bonam
2. Disease : Dubia ad bonam
3. Dissability : Dubia ad bonam
4. Discomfort : Dubia ad bonam
5. Dissatisfaction: Dubia ad bonam
6. Distutition : Dubia ad bonam
17
DISKUSI IIPILIHAN TERAPI UNTUK EPILEPSI
Kemunculan satu episode kejang tidak selalu berarti pasien tersebut membutuhkan
inisiasi terapi dengan obat antiepilepsi, dan keputusan untuk menginisiasi terapi antiepilepsi
jangka panjang memerlukan konsultasi dengan klinisi yang terspesialisasi terkait tatalaksana
kejang.
Orang Dewasa dengan Risiko Tinggi Kejang Berulang
Orang dewasa dengan resiko tinggi terjadinya kejang berulang (pasien-pasien yang
memenuhi kriteria untuk diagnosis epilepsi) harus diberikan terapi dengan obat antiepilepsi.
Menginisiasi terapi antiepilepsi setelah kejang pertama menurunkan absolute risk untuk
terjadi kejang berulang sebesar 35% dalam 2 tahun kedepan.
Orang Dewasa dengan Risiko Rendah Kejang Berulang
Penundaan terapi pada orang dewasa yang hanya mengalami satu episode kejang tanpa
risiko kejang berulang yang tinggi merupakan pilihan yang dapat dipertimbangkan.
Penundaan terapi antiepilepsi tidak mempengaruhi kejadian kejang berulang pada pasien
tersebut. Pertimbangan ini dilakukan karena kejadian efek samping penggunaan obat
antiepilepsi bisa mencapai 30-50% pada pasien pengguna obat antiepilepsi. Gangguan/efek
samping yang sering ditemui antara lain gangguan kognitif ringan maupun dampak ke
tingkah laku.
Anak-anak
Pada anak-anak yang mengalami kejang (kecuali kejang demam), risiko terjadinya
kejang berulang setelah kejang pertama >20% pada tahun pertama dan >50% dalam 10 tahun
kedepan. Apabila anak tersebut tidak memiliki faktor risiko tersebut, maka penggunaan obat
antiepilepsi dapat ditunda dan diberikan apabila terjadi kejang kedua.
Terdapat beberapa jenis terapi yang dapat diberikan pada pasien dengan epilepsi, yakni
penggunaan obat-obatan medikamentosa, dan intervensi bedah.
OBAT ANTI-EPILEPSI
Tatalaksana awal pada pasien epilepsi adalah dengan pemberian monoterapi sesuai
indikasi, dan terapi kombinasi baru diberikan apabila kejang tidak terkontrol dengan
pemberian monoterapi.
18
19
INTERVENSI BEDAH
Intervensi bedah dapat dipertimbangkan apabila bangkitan tetap terus terjadi sekalipun
sudah dilakukan manajemen optimal dengan obat antiepilepsi. Terdapat hingga 30% pasien
yang tetap mengalami kejang sekalipun rutin mengkonsumsi obat-obatan anti epilepsy.
Reseksi fokus bangkitan di otak pada pasien yang sesuai dapat mengurangi frekuensi atau
mengeliminasi kemungkinan terjadi bangkitan kedepannya dan meningkatkan kualitas hidup
pasien. Bebas dari bangkitan dicapai oleh 76% pasien setelah reseksi.
Salah satu efek samping dari dilakukannya reseksi fokus bangkitan di otak adalah
defisit kognisi. Resekti pada temporal kiri sering diasosiasikan dengan defisit memori verbal
(44%) dan defisit penamaan (34%). Defisit memori verbal juga sering ditemukan pada pasien
yang dilakukan operasi reseksi lobus temporal kanan (20%). Efek samping lain berupa defisit
neurologis (5%), komplikasi medis (mis. Infeksi intraserebral, hydrocephalus; 1.5%),
kebocoran CSF (8.5%), meningitis aseptik (3.6%), dan infeksi bakteri noncerebral (3%).
Problema lain seperti perdarahan, pneumonia dan DVT tidak umum ditemukan (2.5%).
20
DAFTAR PUSTAKA
Falco-Walter, J.J., Scheffer, I.E. and Fisher, R.S., 2018. The new definition and classification of seizures and epilepsy. Epilepsy Research, 139, pp.73-79.
Goldenberg, M.M., 2010. Overview of drugs used for epilepsy and seizures: etiology, diagnosis, and treatment. Pharmacy and Therapeutics, 35(7), p.392.
Trinka, E., Cock, H., Hesdorffer, D., Rossetti, A.O., Scheffer, I.E., Shinnar, S., Shorvon, S. and Lowenstein, D.H., 2015. A definition and classification of status epilepticus–Report of the ILAE Task Force on Classification of Status Epilepticus. Epilepsia, 56(10), pp.1515-1523.
21