Post on 18-Jan-2016
BAB I
LATAR BELAKANG
Dalam beberapa dekade terakhir telah terjadi perkembangan pesat inovasi teknologi yang
berpengaruh besar terhadap pelayanan kesehatan. Sebagai contoh, dalam beberapa tahun terakhir
terjadi terobosan di bidang antivirus, bioteknologi, pencitraan diagnostik, diagnostik molekuler,
penggantian organ dan jaringan, teknik bedah, perawatan luka teknologi komputer, yang
semuanya diharapkan dapat memperbaiki pelayanan kesehatan dan memperbaiki keadaan pasien,
(Murti, 2005).
Tetapi di sisi lain perkembangan, difusi, dan penggunaan teknologi kesehatan
memberikan implikasi/ akibat yang luas di bidang medis, sistem pelayanan kesehatan, sosial,
ekonomi, etika, dan hukum. Sebagai contoh, penggunaan teknologi baru dapat menyebabkan
meroketnya biaya pelayanan kesehatan. Pengembangan teknologi baru bisa memberikan
implikasi etika, berkaitan dengan potensi terjadinya malpraktik, dan sebagainya.
Teknologi kesehatan adalah suatu intervensi dalam bentuk apapun yang digunakan untuk
promosi kesehatan, mencegah, mendiagnosis, atau untuk penatalaksanaan suatu kasus penyakit
maupun untuk rehabilitasi medis ataupun perawatan jangka panjang. Penilaian suatu teknologi
adalah suatu kebijakan yang komprehensif dalam mengevaluasi dampak teknis, ekonomi, dan
sosial dari suatu aplikasi teknologi.
Dalam melaksanakan pelayanan kesehatan yang maksimal, ada beberapa hal penting
yang harus senantiasa dipikirkan, seperti: hal–hal apa yang dapat kita lakukan untuk
memaksimalkan pelayanan kesehatan tersebut, opsi–opsi/ pilihan yang ada dalam memutuskan
tindakan dalam pelayanan kesehatan, adanya panduan pelayanan medis yang tepat, penerapan
apa yang harus dilakukan dan adanya penjaminan mutu dengan adanya audit klinis.
Karena adanya konflik antara keterbatasan dalam sumber daya pembiayaan kesehatan
dengan kebutuhan pelayanan yang tidak terbatas, maka pihak pembayar, dalam hal ini
Pemerintah dan BPJS akan dipaksa untuk melakukan rasionalisasi dan penentuan prioritas.
Tantangan terbesar dalam proses rasionalisasi dan penentuan prioritas adalah memastikan bahwa
kedua kebijakan yang diambil tersebut tidak akan mengurangi mutu pelayanan maupun benefit
peserta. Oleh sebab itu, harus dilakukan evaluasi terhadap teknologi kesehatan dan benefit yang
tercakup sehingga biaya pelayanan kesehatan dikeluarkan untuk teknologi kesehatan yang
1
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi peserta namun tetap pada kerangka biaya yang
ekonomi, (BPJS, 2014).
Technology Assessment (2002) mendefinisikan HTA ―a multidisciplinary field of
policy analysis. It studies the medical, social, ethical, and economic implications of
development, diffusion, and use of health technology”. HTA adalah “a form of policy research
that systematically examines the short- and long-term consequences, in terms of health and
resource use, of the application of a health technology, a set of related technologies or a
technology related issue” (Hensall et al., 1997).
Jadi intinya, HTA merupakan suatu riset kebijakan multidisipliner yang meneliti dengan
sistematis dan melaporkan karakteristik, efek, dan dampak pengembangan dan penggunaan
aneka teknologi kesehatan dalam sistem pelayanan kesehatan, meliputi karakteristik teknis,
keamanan, efikasi dan efektivitas, dampak ekonomis, sosial, legal (hukum), etika, politik, baik
yang disengaja atau tidak disengaja, dampak jangka pendek maupun panjang, (Murti, 2005)
HTA menghasilkan temuan yang dapat menambah pengestahuan tentang hubungan
antara intervensi pelayanan kesehatan dan hasilnya. Pengetahuan ini dapat digunakan untuk
mengembangkan dan memperbaiki berbagai standar dan pedoman untuk meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan, termasuk panduan praktis, standar manufaktur, standar laboratorium klinis,
laporan kejadian yang merugikan, standar desain arsitektur dan fasilitas, dan kriteria, penerapan,
dan kebijakan lain yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan.
2
BAB II
KONSEP DASAR TEORI
1. Definisi Health Technology Assessment
"HTA is a multidisciplinary process that summarizes information about the
medical, social, economic and ethical issues related to the use of a health technology in a
systematic, transparent, unbiased, robust manner. Its aim is to inform the formulation of
safe, effective, health policies that are patient focused, and seek to achieve best value"
(EUnetHTA 2007). Even though the assessment of ethical aspects of a health technology
is listed as one of the objectives of a HTA process, in practice, the integration of these
dimensions into reports remains limited. The article is focused on four points: 1. the HTA
concept; 2. the difficult HTA-ethics relationship; 3. the ethical issues in HTA; 4. the
methods for integrating ethical analysis into HTA, (Sacchini, Virdis, Refolo,
Pennacchini, & de Paula, 2009).
Health Technology Assessment (HTA) adalah analisis multidisiplin mengenai
suatu kebijakan mengenai implikasi medis, sosial, etik dan ekonomi dari pengembangan,
difusi dan pemakaian dari suatu teknologi kesehatan.
HTA adalah analisis terstruktur suatu teknologi kesehatan, serangkaian teknologi
atau penggunaan teknologi untuk memberikan masukan dalam pembuatan suatu
keputusan/ kebijakan. Hal ini meliputi keamanan, efikasi, manfaat, biaya dan efektifitas
biaya, implikasi organisasi ,faktor sosial dan kerangka etis.
HTA adalah analisis terstruktur terhadap suatu teknologi kesehatan suatu atau
suatu kelompok teknologi kesehatan issue terkait teknologi kesehatan yang ditujukan
untuk memberi masukan bagi pembuatan keputusan dalam menyusun kebijakan
pelayanan kesehatan (US Office of Technology Assessment, 1994)
HTA juga merupakan evaluasi sistematis dari suatu efek teknologi kesehatan
meliputi pemakaian dan ketersediaan sumber daya dan aspek lainnya seperti ekuitas.
2. Tujuan Health Technology Assessment
a. Tujuan Umum
Untuk membantu pembuatan kebijakan mengenai suatu teknologi dalam pelayanan
kesehatan dalam rangka menjaga dan mengendalikan mutu pelayanan kesehatan
secara komprehensif.
3
b. Tujuan Khusus
Tujuan khusus HTA adalah untuk melakukan pelayanan kesehatan bagi masyarakat
meliputi pencegahan, diagnosis, penatalaksanaan dan rehabilitasi medis suatu kasus
penyakit yang berkualitas dan berdasarkan bukti ilmiah terkini (evidence based).
Menurut (Murti, 2005), HTA bertujuan memberikan informasi yang diperlukan
untuk pengambilan keputusan dalam sistem pelayanan kesehatan di tingkat nasional,
regional, maupun lokal, bertalian dengan: (1) Penggunaan teknologi kesehatan; (2)
Pendanaan teknologi; (3) Pengadaan teknologi; (4) Penentuan inklusi dan ekslusi
teknologi dalam paket pelayanan kesehatan; (5) Perijinan pemasaran; (6) Petunjuk
untuk praktik kesehatan yang terbaik; (7) Organisasi penyediaan pelayanan
kesehatan; (8) Disinvestasi (penghentian investasi) terhadap teknologi kesehatan yang
tidak efektif; (9) Pendanaan/ investasi riset teknologi kesehatan.
3. Sasaran Health Technology Assessment
Seluruh teknologi kesehatan dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan bagi peserta
BPJS, meliputi: pelayanan obat, alat/mesin untuk menegakkan diagnosa dan reagensia
yang dipakai dalam pemeriksaan laboratorium, prosedur tindakan medis dan
pembedahan/operasi, alat kesehatan misalnya: stent dan prostetik lainnya, sistem
Manajemen Medik misalnya One Day Surgery dan sistem pendukung dalam pelayanan
kesehatan misalnya rekam medik yang terkomputerisasi.
Informasi yang diberikan oleh HTA digunakan oleh aneka pengguna (user)
sebagai berikut: (1) Pembuat kebijakan kesehatan (regulator) baik pemerintah ataupun
parlemen, (2) Perencana program kesehatan; (3) Manajer dan administrator pelayanan
kesehatan (misalnya, manajer rumah sakit), (4) Pembayar pelayanan kesehatan
(perusahaan asuransi), (5) Industri manufaktur/ produsen teknologi (memperbaiki atau
menghentikan produk yang bermasalah); (6) Klinisi dan tenaga kesehatan profesional
lainnya, (7) Pasien, (8) Lembaga advokasi pasien, (9) Warga masyarakat umum; (10)
Lembaga riset HTA.
4
4. Ruang Lingkup Health Technology Assessment
HTA adalah kajian suatu teknologi kesehatan yang meliputi kualitas, keamanan
klinis , performa teknis, efikasi, efektivitas, implementasi, analisis dampak ekonomis,
efisiensi, dampak pada etika sosial dan aspek legal.
5. Mekanisme Pelaksanaan HTA
a. Health Technology Assessment harus dilakukan dikarenakan beberapa hal yaitu:
perkembangan inovasi teknologi yang tumbuh pesat, biaya yang terbatas dan
cenderung berkurang serta pentingnya skala prioritas dalam pengambilan keputusan
yang seharusnya memprioritaskan pada teknologi kesehatan yang relevan dan sangat
diperlukan. Evidence Based HTA menghasilkan bukti, menyediakan bukti dan
memanfaatkan bukti.
b. HTA dilakukan pada suatu teknologi kesehatan baik yang sudah tercakup dalam
benefit maupun yang akan diajukan untuk dicakup. Karena banyaknya teknologi
kesehatan yang harus dilakukan pengujian (assessment) maka dilakukan penentuan
prioritas untuk teknologi dengan kriteria sebagai berikut:
1) Teknologi dengan utilisasi atau kemungkinan utilisasi yang tinggi
2) Berisiko tinggi sehingga kemungkinan akan menghasilkan dampak medis, sosial
dan etis yang signifikan
3) Berisiko biaya yang tinggi
4) Variabilitas yang tinggi
c. HTA diselenggarakan oleh Tim Nasional yang independen yang dibentuk oleh
Menteri Kesehatan dan terdiri dari para pakar di bidangnya. Tim HTA terdiri dari 3
kelompok kerja (Pokja) yaitu Pokja Alat Kesehatan, Pokja Obat, dan Pokja Prosedur
sesuai Kepmenkes No: 423/Menkes/SK/XII/2012. Tugas Pokja dalam Tim HTA
adalah melaksanakan perumusan, identifikasi, kriteria, formulasi, konsep, program
kegiatan dan kebijakan serta evaluasi di bidang pengkajian teknologi pada alat
kesehatan, obat dan prosedur. Fungsi Pokja adalah sebagai berikut :
1) Perumusan identifikasi topik kajian berdasarkan EBP (evidence based practice)
2) Penetapan kriteria penapisan teknologi medik yang meliputi teknik/prosedur
peralatan kedokteran dan reagensia
5
3) Perumusan rancangan kebijakan di bidang produksi dan penggunaan alat
kesehatan serta reagensia melalui penapisan teknologi medic
4) Pembuatan formulasi hasil kajian di bidang alat kesehatan dan reagensia kepada
Menkes.
d. Metode dalam penyelenggaraan HTA antara lain studi literatur, percobaan klinis,
studi epidemiologi dan observasi, analisis biaya, perumusan konsensus, pendapat ahli
dan meta analisis.
e. HTA dilaksanakan dengan menggunakan konsep ekonomi kesehatan. Beberapa
teknik analisa ekonomi kesehatan yang digunakan dalam HTA adalah:
1) Cost Minimization Analysis (CMA)
2) Cost Effectiveness Analysis (CEA)
3) Cost Utilization Analysis (CUA)
4) Cost Benefit Analysis (CBA)
f. Materi pengkajian HTA dari suatu teknologi kesehatan, antara lain :
1) Kinerja Teknologi yang akan menggambarkan seberapa signifikan teknologi
tersebut akan berdampak dalam proses penatalaksanaan penyakit dalam pelayanan
kesehatan peserta BPJS Kesehatan.
2) Kualitas ketepatan dari teknologi kesehatan terdiri dari: ketepatan komponen alat,
standar komponen alat, evaluasi terhadap komponen alat, dan evaluasi serta
monitoring ketika suatu alat teknologi kesehatan sedang beroperasi.
3) Keamanan klinis pada saat melakukan tindakan medis bagi pasien,
operator/administrator dan lingkungan
4) Performa Teknis saat teknologi kesehatan tersebut digunakan dalam
pelayanankesehatan.
5) Efikasi yaitu memastikan bahwa suatu teknologi kesehatan telah berfungsi
sebagaimana mestinya, berfungsi sebaik mungkin dan lebih baik dari pada
teknologi sebelumnya. Atau teknologi tersebut memberikan hasil dan khasiat
sebagaimana yang diinginkan.
6) Efektivitas yaitu memastikan tingkat keberhasilan suatu teknologi kesehatan
dalam menghasilkan efikasinya. Hal ini antara lain berkaitan dengan secepat apa
6
bisa menyembuhkan, berapa banyak pasien yang bisa diselamatkan dan sebanyak
apa kenaikan harapan hidup yang bisa diperoleh.
7) Implementasi suatu kebijakan HTA dimana suatu teknologi kesehatan
direkomendasikan, hal ini disesuaikan dengan kemampuan finansial BPJS dengan
tetap mengutamakan kebutuhan medis peserta.
8) Analisis dampak ekonomis dengan menggunakan teknik analisa ekonomi
kesehatan di atas.
9) Dampak efisiensi dalam pelayanan kesehatan yang dihasilkan oleh teknologi
kesehatan.
10) Etika Sosial yaitu dampak sosial ketika suatu teknologi kesehatan dijalankan/
diimplementasikan.
11) Aspek legal yaitu tinjauan dari segi hukum atas penggunaan teknologi kesehatan
g. Health Technology Assessment menghasilkan sebuah rekomendasi dengan hirarki
sebagai berikut:
Bentuk Kajian HTA Level Rekomendasi
Meta-analisis dari sebuah uji klinis acak (RCT
I A
Uji klinis acak yang besar
Uji klinis acak yan kecil II B
Uji klinis yang tidak acak
Studi observasi III C
Laporan Kasus
Konsesunsus IV D
Penjelasan:
Kajian pada level I merupakan kajian yang paling valid dan sangat bermakna dalam
kajian HTA dan semakin menurun tingkatannya pada level II dan III. Sehingga suatu
teknologi kesehatan dengan Rekomendasi A adalah sangat direkomendasikan kemudian
urutan selanjutnya adalah teknologi kesehatan dengan rekomendasi B
7
h. Alur proses penyelenggaraan HTA adalah sebagai berikut:
8
Usulan Topik HTA
Identifikasi Topik
Need Assessment
Priotity Setting
Penetapan Ruang Lingkup, Skala dan Cara Oenilaian
Retrieval Of Evidance
Pengumpulan Data Primer
Analisis Bukti
Sintesis Bukti
Analisa dampak financial
Disseminasi dan Implementasi
Formulasi temuan dan rekomendasi
Monitoring dan FeedbackUsulan Topik Kajian HTA
Organisasi/Perhimpunan Profesi Kedokteran
Proses ini dilakukan oleh Tim Nasional HTA
BPJS Kesehatan
Diajukan Ke Menkes dan disahkan dalam SK Menkes
BPJS Kesehatan
6. Penggunaan Hasil Kajian HTA
a. Hasil kajian HTA disahkan dengan ketetapan Menteri Kesehatan dan dilengkapi
dengan batasan–batasan/kriteria/situasi dan kondisi dalam penggunaan teknologi
kesehatan yang dimaksud. Hal ini ditujukan agar teknologi kesehatan yang dilakukan
sesuai dengan indikasi medis dan rasional.
b. Ketetapan Menteri Kesehatan atas hasil kajian HTA dimaksudnya untuk memastikan
bahwa pelaksanaan kajian telah mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku dan
memastikan independensi evaluator.
c. Penjaminan pelayanan teknologi kesehatan oleh BPJS adalah sebagai berikut:
1) Hasil kajian HTA yang telah disahkan oleh Menteri Kesehatan digunakan oleh
BPJS sebagai pertimbangan untuk menambah atau mengubah cakupan benefit
pelayanan kesehatan.
2) Hasil kajian yang menjadi prioritas untuk ditindaklanjuti oleh BPJS adalah kajian
yang menggunakan evidence level I/rekomendasi A.
3) Jika kajian HTA sebagaimana yang disahkan oleh Menteri Kesehatan belum
dilakukan analisa dampak ekonomi, maka BPJS selanjutnya akan menggunakan
hasil kajian tersebut sebagai dasar analisa ekonomi selanjutnya.
4) Analisa dampak ekonomi tersebut akan digunakan oleh BPJS sebagai
pertimbangan untuk dicakup tidaknya suatu intervensi kesehatan dengan
mempertimbangkan willingness to pay dan kemampuan financial BPJS.
5) Implementasi suatu teknologi kesehatan yang telah sah direkomendasikan dan
telah diputuskan untuk dijamin oleh BPJS Kesehatan dapat berupa Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) dan/atau Panduan Praktik Klinis
(PPK) yang telah disesuaikan dengan setiap RS dan/atau fasilitas kesehatan yang
bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
7. Peraturan Menteri Kesehatan Dalam Pelayanan Kesehatan dibidang HTA
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2013
Tentang Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional, terdapat peraturan yang
melibatkan Tim HTA yakni pada pasal 34 yang berbunyi :
(1) Penilaian teknologi kesehatan (health technology assessment) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 ayat (1) huruf a dilakukan dalam rangka pengembangan penggunaan
9
teknologi dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan untuk peningkatan mutu dan
efisiensi biaya serta penambahan Manfaat jaminan kesehatan.
(2) Penilaian teknologi kesehatan (health technology assessment) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan berdasarkan usulan dari asosiasi fasilitas kesehatan,
organisasi profesi kesehatan, dan BPJS Kesehatan.
(3) Penilaian teknologi kesehatan (health technology assessment) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh Tim Health Technology Assessment (HTA) yang
dibentuk oleh Menteri.
(4) Tim Health Technology Assessment (HTA) sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
bertugas melakukan penilaian terhadap pelayanan kesehatan yang dikategorikan
dalam teknologi baru, metode baru, obat baru, keahlian khusus, dan pelayanan
kesehatan lain dengan biaya tinggi.
(5) Tim Health Technology Assessment (HTA) memberikan rekomendasi kepada Menteri
mengenai kelayakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) untuk
dimasukkan sebagai pelayanan kesehatan yang dijamin.
(6) Pelayanan kesehatan yang dijamin sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan
oleh Menteri
(Kemenkes, 2013)
8. Evidance Based Dan HTA
a. Persamaan Evidance Based Dan HTA
EBM dan HTA memiliki kesamaan dan perbedaan (Hollowing dan Jarvik, 2007).
Persamaannya, baik EBM maupun HTA bertujuan meningkatkan penggunaan
pelayanan medis berbasis bukti ilmiah. Dengan demikian EBM dan HTA diharapkan
memberikan dampak kepada status kesehatan pasien yang lebih baik (kelangsungan
hidup dan morbiditas), dan selanjutnya secara makro meningkatkan efektivitas dan
efisiensi investasi/pengeluaran kesehatan dari produk domestik bruto (PDB).
Dalam praktik EBM, klinisi melakukan penilaian kritis (critical appraisal) bukti
riset, menyangkut aspek validitas, kepentingan, dan kemampuan penerapan bukti-
bukti (disingkat ―VIA‖). Demikian pula dalam HTA, peneliti HTA melakukan
penilaian terhadap teknologi kesehatan, dan memberikan bukti-bukti yang valid (tidak
10
bias) tentang karakteristik, efikasi, efektivitas, keamanan, cost-effectiveness, dan
aneka dampak penggunaan teknologi kesehatan.
b. Perbedaan Evidance Based Dan HTA
Perbedaan EBM dan HTA terletak pada cara yang berbeda untuk mencapai tujuan
(yang sama) tersebut. EBM diterapkan oleh klinisi dan tenaga kesehatan profesional
lainnya, baik secara individual atau dalam tim pelayanan kesehatan. EBM
memberikan keterampilan kepada para klinisi dan tenaga kesehatan profesional
lainnya dalam menggunakan buktibukti ilmiah terbaik untuk pengambilan keputusan
klinis yang lebih baik pada praktik klinis individu pasien atau sekelompok pasien.
Jika sebagian besar klinisi dan tenaga kesehatan profesional menerapkan EBM, maka
praktik tersebut akan meningkatkan hasil klinis yang diinginkan pasien, dan
meningkatkan efektivitas dan efisiensi investasi/ pengeluaran kesehatan di tingkat
makro.
Di pihak lain, HTA dilakukan oleh peneliti HTA. HTA memberikan informasi
kepada pembuat kebijakan maupun administrator dalam sistem pelayanan kesehatan,
baik di tingkat nasional, regional, dan lokal, yang berhubungan dengan pengadaan,
pendanaan, atau penggunaan yang tepat teknologi kesehatan, dan disinvestasi
teknologi yang tidak efektif. Informasi tentang teknologi kesehatan digunakan untuk
memutuskan apakah akan mengadakan/ tidak mengadakan, mendanai/ tidak
mendanai, menggunakan/ tidak menggunakan teknologi kesehatan pada sistem
pelayanan kesehatan untuk populasi pasien. Jika pembuat kebijakan dan pengambil
keputusan hanya mengadakan, mendanai, dan menggunakan teknologi kesehatan
yang terbukti secara ilmiah bermanfaat dan costeffective, maka keputusan itu akan
meningkatkan hasil kilinis yang diinginkan pada populasi pasien, dan meningkatkan
efektivitas dan efisiensi investasi/ pengeluaran kesehatan di tingkat makro.
HTA dibutuhkan dalam EBM, karena HTA merupakan produsen bukti dan EBM
pengguna bukti. Agar HTA dapat digunakan dengan optimal oleh klinisi dalam
praktik EBM, maka bukti HTA perlu terkini (up-to-date), aksesibel, relevan, dan
benar (valid) (Chantler, 2004,dikutip Hollowing dan Jarvik, 2007).
11
BAB III
HTA DALAM PELAYANAN KEBIDANAN
1. Penerapan Health Technology Assessment (HTA) dalam Kebidanan
a. Permasalahan Kebidanan yang berhubungan dengan majunya teknologi kesehatan
Teknologi kesehatan terus berkembang dan digunakan tetapi, apakah selalu
sebagai solusi dalam menyelesaikan masalah kedokteran / kebidanan?. Marsden Wagnen,
MD mengatakan dalam Midwifery Today tahun 2000, pertengahan abad ke-20 jumlah
kematian bayi dalam proses kelahiran menurun .- karena kemajuan ilmu kedokteran tapi
terutama karena kemajuan sosial seperti berkurangnya kemiskinan, nutrisi dan
lingkungan yang lebih baik, dan paling utama adalah keberhasilan program KB,
(Nurjasmi, 2014)
Pelayanan kesehatan juga memberikan kontribusi dalam penurunan kematian bayi
dengan penemuan antibiotic dan kemampuan memberikan transfusi darah yang aman
tidak ada bukti karena intervensi teknologi tinggi.
50% – 80% kelahiran di banyak rumah sakit Amerika melibatkan satu atau lebih
prosedur bedah/medical model. Prosedur tersebut meliputi obat-obatan untuk memulai
atau mempercepat persalinan, rutin episiotomy, forceps, vacuum extractor dan operasi
Caesar. Pada kenyataannya, prosedur bedah ini diperlukan hanya 20% dari semua
kelahiran.
WHO mengatakan bahwa analgesia epidural adalah salah satu contoh yang paling
mencolok dari medikalisasi persalinan normal. yang, mengubah proses fisiologis menjadi
medical model.
Penelitian lain yang dilakukan oleh dokter kandungan Jose Villar di Amerika
Selatan dan Meksiko, yg melibatkan 120 rumah dengan jumlah kelahiran 97.000 bayi.
Sepertiga dari responden memilih melahirkan dengan cara caesaria. Salah satu alasan
yang mencengangkan tindakan Caesar dipilih untuk sekedar meniru perilaku para
selebriti permintaan caesar di sejumlah Negara berkembang melonjak pesat.
Di Indonesia angka kejadian SC sekitar 30% di tahun 2002. Di RSCM sebagai
rumah sakit pusat rujukan mempunyai angka kejadian rata-rata 41,2% dengan 18 %
diantaranya adalah kasus seksio sesarea elektif. WHO menetapkan standar rata-rata
12
section caesarea di sebuah Negara sekitar 5-15 %. RS pemerintah 11 % dan RS swasta
lebih dari 30% (Gibbson L. etall, 2010).
Pemeriksaan dini dan teratur dalam masa kehamilan akan sangat membantu dalam
mempersiapkan proses melahirkan yang aman dan nyaman bagi sang ibu. Seorang ibu
harus bijaksana untuk memilih melakukan tindakan operasi bila dapat melahirkan secara
alamiah, hanya karena khawatir akan sakit saat proses melahirkan. Perlu diingat bahwa
tindakan sectio caesar harusmenjadi pilihan terakhir dalam memutuskan proses
melahirkan yang akan dilakukan dengan indikasi yang jelas, (Nurjasmi, 2014).
b. Aplikasi konsep profesi dalam praktek kebidanan
Standar Praktek Kebidanan dikembangkan dari Filosofi dan Kode Etik bidan yang
membentuk kerangka fikir dan kerangka kerja bidan dalam melakukan kegiatan
profesionalnya. Model praktek kebidanan terdiri dari model praktik mandiri, kolaborasi
dan teamwork. Sedangkan untuk karateristik asuhan kebidanan adalah women center
care, evidence based care dan continuum of care. Praktek kebidanan dilakukan melalui
pendekatan humanistic, holistic dan komprehensif.
Adapun model asuhan kebidanan yaitu:
1) Berfokus pada perempuan (women centre care)
a) Memfasilitasi perempuan berkontribusi aktif pada proses melahirkan.
b) Mendorong perempuan sebagai pembuat keputusan.
c) Asuhan kebidanan yang responsive terhadap kebutuhan perempuan dan
memastikan bahwa kebutuhan perempuan dan bayi merupakan focus utama dari
praktek kebidanan.
d) Bidan memahami setiap pasien sebagai seorang individu dengan segala
keunikannya yaitu memberikan asuhan sesuai kebutuhan klien.
2) Asuhan berkelanjutan / continum of care
a) Asuhan kebidanan dilakukan pada siklus kesehatan reproduksi perempuan,
sesuai dengan ruang lingkup pelayanan kebidanan yang diatur dalam Keputusan
Menteri Kesehatan pada 1464 / 2010, termasuk masalah kesehatan remaja, pra-
konsepsi konseling, ANC, INC, PNC, bayi baru lahir, anak balita, Kespro
termasuk keluarga berencana - Continuum of care Life Cycle Across.
13
b) Asuhan kebidanan dilakukan disetiap tatanan yankes sebagai satu kesatuan
yang berkelanjutan mulai dari yankes primer, sekunder dan tersier -
Continuum of care pathways.
3) Praktek berbasis bukti dan Pasien safety (Evidance Based Care)
Landasan Physiologis Asuhan kebidanan berbasis bukti. “Asuhan berbasis
bukti” - bukti tentang konsep biologis dan fisiolos melahirkan: bukti tentang hamil,
bersalin dan nifas serta menyusui adalah bagian dari proses fisiologis normal dari
kehidupan reproduksi perempuan (Scientific Reasoning).
Asuhan berbasis bukti menggunakan hasil penelitian tentang keamanan / safety
sebagai acuan dalam pengambilan keputusan untuk memperoleh hasil yang optimal.
Asuhan berbasis bukti memberikan prioritas pada efektifitas asuhan fisiologis dengan
tindakan invasif seminimal mungkin, dan tidak merugikan/menyakiti klien (least
invasive, with limited harms)
c. Peran Bidan dalam penerapan dan penggunaan teknologi pada ibu hamil dan bersalin
1) Dalam menjalankan perannya bidan memiliki filosofi yang dijadikan panduan dalam
memberikan asuhan, yaitu keyakinan fungsi profesi dan manfaatnya untuk
mengupayakan kesejahteraan ibu dan bayinya – proses fisiologis harus dihargai dan
didukung.
2) Bila timbul penyulit, dapat menggunakan teknologi tepat guna dan melakukan
rujukan yang efektif
3) Bidan mempromosikan pendekatan persalinan fisiologis /non medikalisasi pada
kasus normal dan atau pendekatan berteknologi rendah.
4) Bidan percaya pada potensi dan kemampuan perempuan untuk mengupayakan
kesehatannya dan bayinya,
5) Hamil dan bersalin merupakan suatu proses alamiah dan bukan penyakit.
6) Bidan diharapkan dalam memberikan pelayanan kebidanan :
a) Selektif dalam memilih teknologi / tidak menggunakan teknologi tinggi tanpa
indikasi yang jelas.
b) Memberikan pain relief non farmakologi – teknologi tepat guna – massage,
hidroterapi, hipnobirthing, memberikan dukungan terus menerus.
14
7) Memberikan informasi kepada perempuan cara selektif menggunakan teknologi yang
tepat guna.
8) Bidan memberikan pelayanan kebidanan dengan konsep HTA antara lain:
a) Selektif dalam memilih teknologi dalam pelayanan kebidanan
b) Bidan tidak mudah untuk menggunakan teknologi tinggi tanpa indikasi yang jelas
c) Pertimbangkan:
Efektivitas klinis
Efek psikososial
Pertimbangan etis
Implikasi hukum
Biaya dan manfaat
keamanan
d) Bidan mengutamakan pain relief non farmakologi
d. Penerapan Health Technology Assessment (HTA) dalam Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) di pelayanan kesehatan.
Bidan sebagai pelayanan kesehatan wajib mendukung program pemerintah dalam
menata permasalahan kesehatan di Indonesia khususnya dalam hal jaminan kesehatan.
Saat ini, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) maupun BPJS berupaya untuk mengatur
kembali tatanan pelyanan kesehatan di Indonesia dengan melibatkan ilmu pengetahuan
dan teknologi atau HTA.
Menurut peraturan BPJS No. 1 Tahun 2014 tentang penyelenggaraan Jaminan
Kesehatan Pasal 74 yang berbunyi:
(1) Peningkatan mutu dan penambahan manfaat Jaminan Kesehatan dalam
penyelenggaraan Jaminan Kesehatan dapat dilakukan dengan menggunakan hasil
pengembangan teknologi kesehatan (health technology assessment).
(2) Pengembangan penggunaan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah
dilakukan penilaian teknologi kesehatan (health technology assessment).
(3) Penilaian teknologi kesehatan (health technology assessment) sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan usulan dari Asosiasi Fasilitas
Kesehatan, Organisasi Profesi kesehatan, dan BPJS Kesehatan.
15
(4) Penilaian teknologi kesehatan (health technology assessment) sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Tim Health Technology Assessment (HTA)
yang dibentuk oleh Menteri.
(5) Tim Health Technology Assessment (HTA) sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
bertugas melakukan penilaian terhadap pelayanan kesehatan yang dikategorikan
dalam teknologi baru, metode baru, obat baru, keahlian khusus, dan pelayanan
kesehatan lain dengan biaya tinggi.
(6) Tim Health Technology Assessment (HTA) memberikan rekomendasi kepada
Menteri mengenai kelayakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) untuk dimasukkan sebagai pelayanan kesehatan yang dijamin.
(7) BPJS Kesehatan melakukan analisis dampak finansial dan resiko terhadap
implementasi hasil Penilaian Teknologi Kesehatan (Health Technology
Assessment).
(8) Analisis dampak finansial dan resiko sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diajukan
kepada Menteri sebagai pertimbangan penerapan hasil Health Technology
Assessment (HTA)
(Penyelenggara & Sosial, 2014)
2. Daftar Rekomendasi Laporan HTA dalam Kebidanan yang perlu diketahui oleh bidan.
Hasil Penapisan Tahun Rekomendasi Keterangan
A B C D
Pemberian Profilaksis Vitamin K Pada Bayi Baru Lahir
2003 Telah disosialisasikan dan dipakai sebagai program Binkesmas
1. Semua bayi baru lahir harus mendapat profilaksis vitamin K1 √
2. Jenis vitamin K yang digunakan adalah vitamin K1 √
3. Cara pemberian vitamin adalah secara intramuscular atau oral √
4. Dosis yang diberikan untuk semua bayi baru lahir adalah:a. Intarmuskular, 1 mg dosis tunggal
atau
√
16
b. Oral, 3 kali@2 mg, diberikan pada waktu bayi baru lahir, umur 3-7 hari, dan pada saat bayi berumur 1-2 bulan
5. Untuk bayi yang ditolong oleh dukun maka diwajibkan pemberian profilaksis vitamin K1 secara oral
√
6. Kebijakan ini harus dikoordinasika n bersama Direktorat Pelayanan Farmasi dan Peralatan dalam penyediaan vitamin K1 dosis injeksi 2 mg/ml/ampul, vitamin K1 dosis 2 mg/tablet yang dikemas dalam bentuk strip 3 tablet atau kelipatannya.
√
7. Profilaksis vitamin K1 pada bayi baru lahir dijadikan sebagai program nasional √
Tranfusi Komponen Darah: Indikasi dan Skrining (Sel darah merah)
2003
1. Transfusi sel darah merah hampir selalu diindikasikan pada kadar Hemoglobin (Hb) <7 g/dl, terutama pada anemia akut. Transfusi dapat ditunda jika pasien asimptomatik dan/atau penyakitnya memiliki terapi spesifik lain, maka batas kadar Hb yang lebih rendah dapat diterima.
√
2. Transfusi pada neonatus dengan gejala hipoksia dilakukan pada kadar Hb =11 g/dL; bila tidak ada gejala batas ini dapat diturunkan mencapai 7 g/dL (seperti pada anemia bayi prematur). Jika terdapat penyakit jantung atau paru atau yang sedang membutuhkan suplementasi oksigen batas untuk dilakukan transfusi adalah Hb =13 g/dL.
√
Tatalaksana Ikterus Neonaturum 2004
1. Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa, sedangkan hiperbilirubinemia adalah kadar bilirubin dalam darah > 13 mg/dL
√
2. Ikterus neonatorum, pada umumnya fisiologis, kecuali:a. Timbul dalam 24 jam pertama
kehidupan.b. Bilirubin total untuk bayi cukup
√
17
bulan >13 mg/dL atau bayi kurang bulan >10 mg/dL
c. Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/harid. Bilirubin direk > 2 mg/dLe. Ikterus menetap pada bayi cukup
bulan > 1 minggu atau pada bayi kurang bulan > 2 minggu
f. Terdapat faktor risikoIkterus fisiologis tidak diterapi
3. Diagnosis ikterus neonatorum ditegakkan dengan:a. Serum bilirubinb. Bila tidak tersedia alat untuk
melakukan pemeriksaan serum bilirubin, dapat digunakan cara visual (sesuai panduan WHO), kemudian pasien harus segera dirujuk.
√
4. Tata laksana hiperbilirubinemia neonatorum:a. Fototerapi
1) apabila fasilitas memadai, dilakukan sesuai pedoman dari AAP
2) fasilitas tidak memadai, dilakukan sesuai pedoman dari WHO
b. Transfusi tukar1) dilakukan sesuai panduan WHO
√
Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause
2004
1. Pemberian sulih hormon dapat dimulai pada masa klimakterium awal, yang dapat dilanjutkan sampai masa perimenopause, bahkan sampai masa pascamenopause.
√
2. Pemberian sulih hormon untuk tujuan pencegahan hanya diberikan apabila memang sangat diperlukan
√
3. Pemberian sulih hormon (untuk pengobatan ataupunpencegahan) harus disertai informed consent (IC).
√
Skrining Gangguan Dengar pada Bayi Baru Lahir
2006
1. Skrining pendengaran dilakukan pada semua bayi baru lahir dengan atau tanpa faktor risiko
√
18
2. Skrining dilakukan sebelum bayi meninggalkan RS pada bayi yang lahir di RS dan sebelum usia satu bulan pada bayi yang lahir selain di RS
√
3. Diagnosis gangguan pendengaran ditegakkan sebelum usia tiga bulan dan dilanjutkan dengan tatalaksana sebelum usia enam bulan
√
4. Skrining pendengaran dilakukan dengan OAE dua tahap dilanjutkan AABR √
5. Departemen THT meningkatkan kerjasama dengan cabang ilmu terkait yaitu Departemen Ilmu Kesehatan Anak (Perinatologi dan Neurologi), Kebidanan dan Kandungan, Rehabilitasi Medik, Psikiatri, dan ahli audiologi dalam hal penatalaksaan pasien
√
6. Departemen Kesehatan RI berdasarkan asupan dari PERHATI-KL menyusun kebijakan penyediaan fasilitas skrining, dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi setempat.
√
(HTA, n.d.)
19
BAB IV
KESIMPULAN
Health Technology Assessment (HTA) adalah analisis multidisiplin mengenai
suatu kebijakan mengenai implikasi medis, sosial, etik dan ekonomi dari pengembangan,
difusi dan pemakaian dari suatu teknologi kesehatan.
HTA adalah analisis terstruktur suatu teknologi kesehatan, serangkaian teknologi
atau penggunaan teknologi untuk memberikan masukan dalam pembuatan suatu
keputusan/ kebijakan. Hal ini meliputi keamanan, efikasi, manfaat, biaya dan efektifitas
biaya, implikasi organisasi ,faktor sosial dan kerangka etis.
Dalam menjalankan perannya bidan memiliki filosofi yang dijadikan panduan
dalam memberikan asuhan, yaitu keyakinan fungsi profesi dan manfaatnya untuk
mengupayakan kesejahteraan ibu dan bayinya – proses fisiologis harus dihargai dan
didukung. Bidan mempromosikan pendekatan persalinan fisiologis /non medikalisasi
pada kasus normal dan atau pendekatan berteknologi rendah. Bila timbul penyulit, dapat
menggunakan teknologi tepat guna dan melakukan rujukan yang efektif.
20
DAFTAR PUSTAKA
BPJS. (2014). Pedoman Administrasi Pelayanan Kesehatan Tahun 2014.
HTA, P. (n.d.). Daftar Rekomendasi Laporan HTA.
Kemenkes, U. (2013). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2013 Tentang Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional.
Murti, P. B. (2005). PENGANTAR EVIDENCE-BASED MEDICINE, 1–35.
Nurjasmi, E. (2014). Kajian Penggunaan Teknologi Kesehatan Dalam Pelayanan Latar Belakang.
Penyelenggara, B., & Sosial, J. (2014). PERATURAN BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN JAMINAN KESEHATAN, 1–48.
Sacchini, D., Virdis, A., Refolo, P., Pennacchini, M., & de Paula, I. C. (2009). Health technology assessment (HTA): ethical aspects. Medicine, Health Care, and Philosophy, 12(4), 453–457. doi:10.1007/s11019-009-9206-y
21