Post on 15-Feb-2020
EFEK PENGGANDA PENGELUARAN APBDES BIDANG PEMBANGUNAN
INFRASTRUKTUR DI DESA WARINGIN JAYA KECAMATAN BOJONG
GEDE KABUPATEN BOGOR TAHUN 2015
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Untuk Memenuhi Prasyarat Meraih Gelar Sarjana Ekonomi
Disusun oleh:
Nurlaela
NIM: 1112084000025
JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Nurlaela
NIM : 1112084000025
Jurusan : Ekonomi Pembangunan
Konsentrasi : Otonomi dan Keuangan Daerah
Dengan ini menyatakan bahwa dalam penulisan skripsi ini saya:
1. Tidak menggunakan ide orang lain tanpa mampu
mengembangkan dan mempertanggungjawabkan.
2. Tidak melakukan tindakan plagiat terhadap naskah orang lain.
3. Tidak menggunakan karya orang lain tanpa menyebutkan sumber
asli atau tanpa izin pemilik karya.
4. Tidak melakukan pemanipulasian dan pemalsuan data.
5. Mengerjakan sendiri karya ini dan mampu bertanggungjawab atas
karya ini.
Jika dikemudian hari ada tuntutan dari pihak lain atas karya saya, dan melalui
pembuktian yang dapat dipertanggungjawabkan ternyata memang ditemukan bukti
bahwa saya telah melanggar pernyataan di atas, maka saya siap untuk dikenakan
sanksi berdasarkan aturan yang berlaku di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN syarif
Hidayatullah Jakarta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.
Jakarta, 26 Februari 2018
Nurlaela
EFEK PENGGANDA PENGELUARAN APBDES BIDANG PEMBANGUNAN
INFRASTRUKTUR DI DESA WARINGIN JAYA KECAMATAN BOJONG
GEDE KABUPATEN BOGOR TAHUN 2015
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
untuk Memenuhi Syarat-Syarat dalam Meraih Gelar Sarjana Ekonomi
Oleh
Nurlaela
1112084000025
Di bawah Bimbingan
Pembimbing I
Arief Fitrijanto, M.Si
NIP. 197111182005011003
JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439H/2018M
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF
Hari ini Jumat, 1 September 2017 telah dilakukan Ujian Komprehensif atas
mahasiswa :
1. Nama : Nurlaela
2. NIM : 1112084000025
3. Jurusan : Ekonomi Pembangunan
4. Judul Skripsi : Efek Pengganda Pengeluaran APBDes Bidang
Pembangunan Infrastruktur di Desa Waringin Jaya Kecamatan
Bojong Gede Kabupaten Bogor Tahun 2015
Setelah mencermati dan memperhatikan penampilan dan kemampuan yang
bersangkutan selama proses ujian komprehensif, maka diputuskan bahwa
mahasiswa tersebut di atas dinyatakan LULUS dan diberi kesempatan untuk
melanjutkan ke tahap Ujian Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 1 September 2017
1. Utami Baroroh, M.Si. (_________________________)
NIP. 197312262014112001 Penguji I
2. Zaenal Muttaqin, MPP. (_________________________)
NIP. 19790503 201101 1 006 Penguji II
i
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
1. Nama Lengkap : Nurlaela
2. Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 17 Agustus 1994
3. Alamat : Jl. Raya Mabes TNI RT/RW 006/004 Kelurahan
Cilangkap Kecamatan Cipayung Jakarta Timur
4. Telepon : 085881892885
5. Email : laelaella17@gmail.com
II. PENDIDIKAN FORMAL
1. SD Negeri 01 Cipayung Tahun 2000 - 2006
2. SMP Negeri 160 Jakarta Tahun 2006 – 2009
3. SMA Negeri 64 Jakarta Tahun 2009 – 2012
4. S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012 – 2018
III. SEMINAR DAN WORKSHOP
1. Workshop Kepemudaan “Integrity Goes to You”, HMJ IESP UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
2. Dialog Jurusan dan Seminar Konsentrasi “Mengenal Lebih Dekat dengan
Jurusan Sendiri”, HMJ IESP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Seminar Nasional “Mewujudkan Lembaga Keuangan Mikro yang Berdaya
Saing dalam Menghadapi MEA 2015”, Social Trust Fund UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
4. Seminar dan Talkshow “Islam dan Ekonomi Kreatif”, Pusat Ekonomi Kreatif
dan UINPreneurs
ii
5. Seminar Investasi Pasar Modal “Take Your Chance, Get Knowledge, Grab
Your Gain”, Lab Pasar Modal FEB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6. Visit Company ke “Kementrian Dalam Negeri”
7. Visit Company ke “Museum Bank Indonesia”
IV. LATAR BELAKANG KELUARGA
1. Ayah : Abdul Hadi
2. Tempat/Tanggal Lahir : Tapanuli Selatan, 11 September 1960
3. Ibu : Rabiatul Adawiyah
4. Tempat/Tanggal Lahir : Tapanuli Selatan, 24 Februari 1966
5. Alamat : Jl. Raya Mabes TNI RT/RW 006/004 Kelurahan
Cilangkap Kecamatan Cipayung Jakarta Timur
6. Telepon : -
7. Anak ke dari : 2 dari 4 bersaudara
iii
ABSTRACT
In the years 2015, villages in Indonesia have received additional revenue
in the form of village funds from the government of Indonesia through the State
Budget (APBN). The increase in revenue will have an effect on increasing village
government expenditure to fund the village development priorities and rural
community empowerment. The objective of this study is to measure the multiplier
effects of rural infrastructure development and regional leakage created from the
activities. This study uses a non-positive paradigm with quantitative and qualitative
approaches to gain a deeper understanding.
Following are the foundings of the study. The multiplier of added value on
village government expenditure for infrastructure development, its impact on the
creation of added value in the village economy is still low. Meanwhile, the level of
regional leakage based on the ratio of income between capital and labor, as well
as forward leakage, the leakage rate of the area of activity is high. So that the
velocity of money from infrastructure development activities more flow out of the
region, or experiencing regional leaks. Thus, the economic impacts created by rural
infrastructure development are less beneficial to the people in Waringin Jaya
village, due to the high leakage rate of the region.
Keywords: village, multiplier effect, regional leakage, social accounting matrix
(SAM)
iv
ABSTRAK
Pada tahun 2015, desa-desa di Indonesia memperoleh tambahan pendapatan
berupa dana desa dari pemerintah pusat yang dianggarkan melalui Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara. Dengan meningkatnya pendapatan pemerintah
desa maka akan berpengaruh terhadap peningkatan pengeluaran pemerintah desa
untuk membiayai kegiatan-kegiatan di bidang prioritas pembangunan desa dan
pemberdayaan masyarakat desa. Penelitian ini ingin mengukur efek pengganda dari
pembangunan infrastruktur desa dan kebocoran wilayah yang tercipta dari aktivitas
tersebut. Penelitian ini menggunakan paradigma non-positive dengan pendekatan
kuantitatif dan kualitatif untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam.
Dari hasil penelitian, dapat diketahui bahwa berdasarkan multiplier nilai
tambah pengeluaran pemerintah desa untuk pembangunan infrastruktur,
dampaknya terhadap penciptaan nilai tambah pada perekonomian desa masih
rendah. Sementara itu, untuk tingkat kebocoran wilayah, berdasarkan rasio
pendapatan antara modal dan tenaga kerja serta kebocoran ke depan (forward
leakage), tingkat kebocoran wilayah dari aktivitas tersebut tinggi. Sehingga,
perputaran uang dari aktivitas pembangunan infrastruktur lebih banyak mengalir
keluar wilayah, atau mengalami kebocoran wilayah. Dengan demikian, dampak
ekonomi yang tercipta dari pembangunan infrastruktur desa manfaatnya kurang
dirasakan oleh masyarakat di desa Waringin Jaya dikarenakan tingkat kebocoran
wilayah tinggi.
Kata Kunci: desa, efek pengganda, kebocoran wilayah, sistem neraca sosial
ekonomi (SNSE)
v
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr, Wb.
Segala puji bagi Allah SWT. Yang telah melimpahkan segala nikmat dan
hidayahNya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang
berjudul “Efek Pengganda Pengeluaran Anggaran Pendapatan dan Belanja
Desa Bidang Pembangunan Infrastruktur di Desa Waringin Jaya Kecamatan
Bojong Gede Kabupaten Bogor Tahun 2015” dengan baik. Shalawat serta salah
penulis haturkan kepada baginda nabi besar Muhammad SAW yang telah
membawa dari zaman jahiliyah ke zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi syarat-syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Selesainya skripsi ini tentu dengan dukungan, bimbinagan
dan bantuan serta semangat dan doa dari semua orang disekeliling penulis selama
proses penyelesaian skripsi ini. Oleh karenanya izinkanlah penulis menyampaikan
terima kasih kepada:
1. Orang Tua dan Saudara penulis yang selalu memberikan dukungan,
kesebaran, motivasi kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
2. Bapak Arief Fitrijanto M.Si, selaku Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Najwa Khairina SE, MA, selaku Sekretaris Jurusan Ekonomi
Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Arief Fitrijanto M.Si selaku dosen pembimbing yang telah
melaungkan waktu, memberikan motivasi dan arahan yang berharga serta
ilmu yang bermanfaat kepada penulis dalam penyelesaian penulisan skripsi
hingga skripsi ini selesai.
5. Seluruh jajaran dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang telah memberikan
ilmu yang sangat berguna dan berharga bagi penulis selama perkuliahan.
vi
6. Sahabat SMA Penulis Fauziyyah Isra, Nur Fitri, Restika, Vella, Mala, Dewi,
Isma dan Aminah atas dukungannya kepada penulis dalam mengerjakan
Skripsi
7. Teman masa kuliah Ida, Hilda, Sandra, Wiwi, Desi dan Rani atas hari-hari
yang Nano-nano di Kampus.
8. Wanita-Wanita Cantik dan Soleha Dita, Osi, Mila, Ara, Ayu, Rahmi, Nay
dan Ghina semoga cepet Nikah terutama untuk Mila dan AyuBos. Aamiin..
9. Teman yang Baaikk Aulia Maghfiroh yang mau menemani peneliti ke salah
satu desa di Kabupaten Tangerang untuk observasi lokasi penelitian,
walaupun sangat disayangkan penulis harus mengganti lokasi penelitian dan
untuk Ahamd Sidiq.
10. Teman-teman yang menyempatkan waktunya untuk menemani peneliti saat
melakukan observasi dan pencarian data di lapangan Fauziyyah Isra, Aulia
Maghfiroh, Vella Wati, Ida Zuraida, Yuni Purwanti dan Abdul Farid.
11. Teman-teman Ekonomi Pembangunan angkatan 2012.
12. Teman-teman konsentrasi Otonomi dan Keuangan Daerah.
13. Teman-teman Kuliah Kerja Nyata PILAR 2015.
14. Pemerintah Desa dan Masyarakat Desa Waringin Jaya
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena
keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman yang dimiliki penulis. Oleh sebab
itu, penulis mengharapkan segala bentuk kritik dan saran yang membangun untuk
pencapaian yang lebih baik.
Wassalamualaikum Wr.Wb
Jakarta, Februari 2018
Nurlaela
vii
DAFTAR ISI
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .............................................................................. i
ABSTRACT ........................................................................................................... iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ ix
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. x
LAMPIRAN .......................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 10
C. Tujuan, Hasil dan Manfaat Penelitian ....................................................... 12
D. Batasan Masalah ....................................................................................... 14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 15
A. Landasan Teori .......................................................................................... 15
1. Otonomi Desa .................................................................................... 15
2. Pemerintahan Desa ............................................................................ 19
3. Anggaran Keuangan Desa (APBDes) ................................................ 20
4. Multiplier Effects Ekonomi ................................................................ 40
5. Kebocoran Wilayah ........................................................................... 42
B. Kerangka Pemikiran .................................................................................. 45
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 47
A. Ruang Lingkup Penelitian ......................................................................... 47
B. Metode Penentuan Sampel ........................................................................ 48
C. Metode Pengumpulan Data ....................................................................... 49
viii
D. Metode Analisis Data ................................................................................ 57
E. Operasional Variabel Penelitian ................................................................ 73
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN ...................................................... 75
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ......................................................... 75
B. Pendefinisian Klasifikasi ........................................................................... 84
C. Peran APBDes Bidang Pembangunan Infrastruktur terhadap Perekonomian
Desa Waringin Jaya ....................................................................................... 87
D. Peran APBDes Bidang Pembangunan Infrastruktur terhadap Distribusi
Pendapatan Desa Waringin Jaya .................................................................. 104
E. Indikasi Kebocoran Wilayah dari APBDes Pembangunan Infrastruktur 108
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 113
A. Kesimpulan ............................................................................................. 113
B. Saran ........................................................................................................ 114
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 116
ix
DAFTAR TABEL
Tabel.1.1 Data Indeks Pembangunan Desa Tahun 2014 Menurut Sebaran Pulau .. 4
Tabel.1.2 Sumber Pendapatan Desa Waringin Jaya Tahun Anggaran 2015 ........... 9
Tabel 2.1 Kelebihan dan Kekurangan antara Desa Adat dan Desa Otonom ......... 17
Tabel 2.2 Tipologi Desa di Indonesia ................................................................... 18
Tabel 3.1 Kerangka Dasar SNSE Indonesia .......................................................... 60
Tabel 3.2 Operasional Variabel Penelitian ............................................................ 74
Tabel 4.1. Batas Wilayah Desa Waringin Jaya ..................................................... 75
Tabel 4.2. Orbitasi Desa Waringin Jaya................................................................ 76
Tabel 4.3. Pemanfaatan Lahan Desa Waringin Jaya Tahun 2015......................... 76
Tabel 4.4. Jumlah dan Persentase Penduduk Desa Waringin Jaya ....................... 77
Tabel 4.5. Jumlah Penduduk Menurut Umur Desa Waringin Jaya 2015 .............. 78
Tabel 4.6. Jumlah dan Persentase Sebaran Penduduk Desa Waringin Jaya Menurut
Agama ................................................................................................................... 78
Tabel 4.7. Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Waringin Jaya ......................... 79
Tabel 4.8. Mata Pencaharian Masyarakat Desa Waringin Jaya ............................ 80
Tabel 4.9. Jumlah Sarana dan Prasarana Desa Waringin Jaya .............................. 81
Tabel 4.10. Kegiatan dan Sumber Dana Pembangunan Desa Waringin Jaya Tahun
Anggaran 2015 ...................................................................................................... 83
Tabel 4.11. Multiplier Nilai Tambah pada SNSE Desa Waringin Jaya Tahun 2015
............................................................................................................................... 88
Tabel 4.12. Multiplier Pendapatan Rumah Tangga pada SNSE Desa Waringin Jaya
Tahun 2015 ........................................................................................................... 94
Tabel 4.13. Multiplier Pendapatan Rumah Tangga terhadap Sektor pada SNSE Desa
Waringin Jaya Tahun 2015 ................................................................................... 97
Tabel 4.14. Multiplier Keterkaitan terhadap Sektor Sendiri dan Multiplier Antar
Sektor pada SNSE Desa Waringin Jaya Tahun..................................................... 99
Tabel 4.15. Keterkaitan Sektor Pembangunan Infrastruktur Desa Berdasarkan
SNSE Desa Waringin Jaya Tahun 2015.............................................................. 101
Tabel 4.16. Multiplier Total pada SNSE Desa Waringin Jaya Tahun 2015 ....... 104
Tabel 4.17. Dekomposisi Pengganda Neraca pada Desa Waringin Jaya Tahun 2015
............................................................................................................................. 106
Tabel 4.18. Nilai Rasio Multiplier Modal dengan Multiplier Tenaga Kerja pada
SNSE Desa Waringin Jaya Tahun 2015.............................................................. 109
Tabel 4.19. Nilai Koefisien Keterkaitan Kedepan Unit Usaha di Desa Waringin Jaya
Tahun 2015 ......................................................................................................... 112
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran .......................................................................... 46
Gambar 3.1 Transaksi Antarblok dalam SNSE ..................................................... 63
Gambar 3.2 Struktur Pengganda ........................................................................... 71
Gambar 4.1 Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Waringin Jaya ................... 82
xi
LAMPIRAN
Lampiran 1 : Alur Berpikir Penelitian
Lampiran 2 : Dokumentasi
Lampiran 3 : Pendekatan Kuantitatif
Lampiran 4 : Pendekatan Kualitatif
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Desentralisasi merupakan impian bagi setiap daerah untuk dapat mengurus
sendiri rumah tangganya masing-masing dengan diberikannya hak, kewajiban, dan
wewenang seluas-luasnya dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Desentralisasi didefinisikan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 adalah
sebagai penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah
otonom berdasarkan Asas Otonomi. Sementara World Bank mendefinisikan
desentralisasi sebagai the transfer of authority and responsibility for public
functions from the central government to intermediate and local government or
quasi-independent government organizations and/or the private sector dan Litvack
et.al. mendefinisikan desentralisasi sebagai the assignment of fiscal, political, and
administrative responsibilities to lower levels of government (Djalil, Rizal
2014:25).
Indonesia baru melaksanakan desentralisasi yang seluas-luasnya pada masa
Orde Baru berakhir yang menganut sistem pemerintahan sentralistik. Reformasi
sistem pemerintahan pusat dan daerah direalisasikan dengan ditetapkannya
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, sebagai
pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang tersebut, pemerintah daerah diberikan
kewenangan yang lebih luas dalam menentukan arah kebijakan dan program
2
pembangunan yang terbaik bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan
kemajuan daerah otonomi masing-masing.
Adapun tujuan dilaksanakannya desentralisasi berdasarkan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Otonomi bertujuan
untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat, serta peningkatan daya
saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan, kekhususan dan potensi daerah dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Sementara menurut Rondinelli tujuan utama yang hendak
dicapai melalui kebijakan desentralisasi adalah untuk meningkatkan kemampuan
pemerintah daerah dalam menyediakan public good and services, serta untuk
meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembangunan ekonomi di daerah (Djalil,
Rizal 2014:31).
Dalam otonomi daerah, diatur juga mengenai sistem pemerintahan desa hal
ini dikarenakan desa merupakan bagian dari sistem pemerintahan daerah yang
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah dimana Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas
wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan,
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal
usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan adanya Undang-Undang yang mengatur tetang pemerintahan desa,
desa berhak untuk menentukan arah kebijakan dan program pembangunan yang
3
akan dilakukan di desa tersebut dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat desa. Tetapi dalam proses pelaksanaan otonomi daerah sistem
pemerintahan lebih terpusat pada daerah Kabupaten/Kota dan masih kurang
memperhatikan kesejahteraan desa. Adapaun empat faktor utama yang menjadi
kendala bagi pemerintah desa yakni Pertama: desa memiliki APBDes yang kecil
dan sumber pendapatannya sangat tergantung pada bantuan yang sangat kecil pula.
Kedua: kesejahteraan masyarakat desa rendah. Ketiga: rendahnya dana operasional
desa untuk menjalankan pelayanan. Keempat: bahwa banyak program
pembangunan masuk ke desa, tetapi hanya dikelola oleh dinas (Hudayana dalam
Subroto 2009:3).
Tingginya ketergantungan pemerintah desa terhadap dana transfer yang
diberikan oleh pemerintah Kabupaten/Kota tidak diimbangi dengan dana transfer
yang diberikan pemerintah daerah ke desa ini dikarenakan terbatasnya anggaran
yang dimiliki oleh Kabupaten/Kota. Akibatnya pembangunan di desa berjalan
lambat dan masih banyak desa di Indonesia yang tergolong dalam kategori desa
tertinggal berdasarkan data yang dirilis Badan Perencanaan Nasional dan Badan
Pusat Statistik pada tahun 2014 sebanyak 74.093 desa di Indonesia atau sebesar
27,22% termasuk dalam kategori desa tertinggal. Dimana mayoritas berada di Pulau
Papua dengan jumlah desa tertinggal sebanyak 6.138 desa (8,29%) seperti yang
tertera pada tabel 1.1.
4
Tabel.1.1.
Data Indeks Pembangunan Desa Tahun 2014 Menurut Sebaran Pulau
Sumber: Bappenas/IPD 2014
Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa,
desa memperoleh dana tambahan dari pemerintah pusat dalam bentuk dana desa.
Adapun sumber pendapatan desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 pasal 72 terdiri dari: a. Pendapatan Asli Desa; b. Alokasi Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (Dana Desa dan Desa Adat); c. Bagian dari hasil
Pajak Daerah dan Reribusi Daerah Kabupaten/Kota; d. Alokasi Dana Desa dari
Dana Perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota; e. Bantuan Anggaran dari
APBD Provinsi dan APBD Kabupaten; f. Hibah; g. Lain-lain Pendapatan Desa
yang sah.
Dana desa merupakan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara yang diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota dan digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan
Tertinggal Berkembang Mandiri
Sumatera 55,87 57,7 41,03 73,77 52 55,11 8,07 22,24 0,61 22,91
Jawa-Bali 65,03 68,24 50,79 78,1 55,52 73,49 0,94 28,11 3,04 23.117
Nusa Tenggara 52,46 51,95 31,01 79,44 41,55 64,11 2,14 3,13 0,06 3.945
Kalimantan 52,41 53,44 34,56 68,95 53,16 58,95 3,31 5,34 0,1 6.486
Sulawesi 56,38 55,27 38,24 79,92 49,01 65,08 2,65 8,05 0,08 8.635
Maluku 46,89 46,99 29,81 67,78 42,39 51,6 1,83 1,18 0,02 2.254
Papua 32,05 27,5 17,68 47,75 40,19 41,44 8,29 0,81 0,01 6.746
Indonesia 55,71 56,73 39,21 73,5 51,72 61,59 27,22 68,86 3,92 74.093
Persentase Desa Menurut T ipologi DesaAksesibilitas/
TransportasiJumlah DesaNama Wilayah Pulau IPD 2014
Pelayanan
Dasar
Kondisi
Infrastruktur
Pelayanan
Umum
Penyelenggaraan
Pemerintahan
5
kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat (PMK.No.93/PMK.07/2015
Tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan dan
Evaluasi Dana Desa).
Tahun 2015 anggaran yang dialokasikan pemerintah pusat untuk desa berupa
dana desa pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebesar Rp 20 triliun.
Dimana anggaran dana desa selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun
yaitu untuk tahun 2016 anggaran dana desa sebesar Rp 47 triliun, tahun 2017
anggaran dana desa sebesar Rp 58 triliun dan untuk tahun 2018 anggaran dana desa
sebesar Rp 60 triliun. Adapun fokus penelitian ini adalah tahun 2015 dikarenakan
pada tahun tersebut desa memperoleh sumber pendapatan baru berupa dana desa.
Hadirnya dana desa sebagai sumber pendapatan tambahan bagi pemerintah
desa merupakan wujud kepedulian negara terhadap pembangunan desa dimana
Dana Desa berfungsi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan
kualitas pelayanan dasar, kemajuan ekonomi desa, mengatasi ketimpangan antar
desa serta dapat juga digunakan untuk pemerataan pembangunan. Dengan
diberikannya tambahan pendapatan melalui dana desa diharapkan dapat
mengurangi tingkat ketimpangan dan kemiskinan di desa, dimana berdasarkan data
dari Badan Perencanaan Nasional jumlah penduduk miskin di desa yang ada di
pulau Jawa tahun 2014 sebanyak 8.167.880 jiwa. Adapun tujuan utama dari di
tingkatkannya pendapatan pemerintah desa yakni dapat terwujudnya pemerataan
kesejahteraan baik penduduk yang tinggal di daerah perkotaan maupun penduduk
yang tinggal di daerah perdesaan.
6
Sebagai bagian dari APBDes, dana desa telah diatur prioritas
penggunaannya oleh pemerintah pusat yakni untuk membiayai belanja
pembangunan dan pemberdayaan desa. Adapun pertimbangan yang mendasarinya.
Pertama, menjadi bagian dari dimensi pemerataan dalam pembangunan nasional
dimana dana desa menyentuh langsung kepada kepentingan masyarakat desa
dengan tujuan mengurangi tingkat kemiskinan dan ketimpangan di desa. Kedua,
dana desa sesuai dengan prioritas pembangunan nasional yang tertuang dalam
NAWACITA, serta sebagai penguatan desa dalam rangka membangun Indonesia
dari pinggiran. Ketiga, pemerintah membina dan memberdayakan desa agar para
pemangku desa tidak terjebak pada aspek administrasi pemerintahan desa saja
tetapi memiliki kontribusi yang nyata melalui pembangunan dan pemberdayaan
masyarakat desa (Eko, Sutoro dkk. 2016:54-55).
Setiap tahunnya, Kementrian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi akan mengeluarkan peraturan tentang prioritas penggunaan dana desa
yang nantinya akan digunakan sebagai acuan oleh pemerintah desa dalam
penetapan kegiatan prioritas desa yang dituangkan dalam Rencana Kerja
Pemerintah Desa dan ditetapkan dalam Peraturan Desa. Adapun di dalam
menentukan prioritas penggunaannya ada faktor yang penting untuk diperhatikan
diantaranya adalah mengenai tipologi desa apakah termasuk ke dalam kategori desa
tertinggal atau sangat tertinggal, desa berkembang dan desa maju atau mandiri.
Kabupaten Bogor merupakan satu dari delapan belas Kabupaten yang ada
di Provinsi Jawa Barat dengan luas wilayah sebesar 2.301,95 km2 dan jumlah
penduduk sebanyak 5.202.097 jiwa (Kab. Bogor dalam Angka 2015). Adapun
7
jumlah desa yang ada di Kabupaten Bogor berdasarkan data dari Bapennas
sebanyak 417 desa, dimana sebanyak 1 desa termasuk dalam kategori desa
tertinggal, 331 desa termasuk dalam kategori desa berkembang dan sebanyak 85
desa termasuk dalam kategori desa mandiri.
Mayoritas desa di Kabupaten Bogor termasuk ke dalam tipologi desa
berkembang maka itu bidang pembangunan desa sebaiknya difokuskan pada
pembangunan sarana dan prasarana dasar sesuai dengan peraturan Menteri Desa
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 5 Tahun 2015 Tentang
Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2015 perihal Prioritas
penggunaan dana desa untuk pembangunan desa. Adapun pembangunan sarana dan
prasarana desa diantaranya meliputi: a. pembangunan dan pemeliharaan jalan
desa; b. pembangunan dan pemeliharaan jalan usaha tani; c. pembangunan dan
pemeliharaan embung desa; d. pembangunan energi baru dan terbarukan; e.
pembangunan dan pemeliharaan sanitasi lingkungan; f. pembangunan dan
pengelolaan air bersih berskala desa; g. pembangunan dan pemeliharaan irigasi
tersier; h. pembangunan dan pemeliharaan serta pengelolaan saluran untuk
budidaya perikanan; dan i. pengembangan sarana dan prasarana produksi di desa.
Pembangunan infrastruktur desa merupakan prioritas pertama dari
penggunaan dana desa ini dikarenakan kondisi infrastruktur desa di Indonesia
masih rendah dimana kondisi infrastruktur nasional wilayah perdesaan hanya
sebesar 39.21% (Barokah, Hindun dkk. 2015:34). Ini sesuai dengan amanat yang di
sampaikan oleh Presiden Joko Widodo dalam rapat kabinet dimana beliau
menyatakan bahwa penggunaan dana desa lebih diutamakan untuk pembangunan
8
infrastruktur dasar di desa, dan pelaksanaannya dilakukan secara padat karya dan
swakelola (Eko, Sutoro dkk. 2016:18).
PDRB merupakan salah satu cerminan dari kemajuan ekonomi suatu
daerah. PDRB merupakan nilai tambah dari barang dan jasa yang diproduksi dalam
suatu wilayah pada suatu tahun tertentu tanpa membedakan kepemilikan dari faktor
produksi (Sukirno, Sadono 2011:10). Dalam metode pengeluaran/expenditure
approach PDRB adalah jumlah dari beberapa variabel termasuk di dalamnya adalah
pengeluaran pemerintah. Pengeluaran pemerintah mempunyai peran terhadap
pertumbuhan ekonomi regional yakni salah satunya dalam penyedia layanan publik.
Adapun menurut Noegroho dan Soelistianingsih (2007:6) pengeluaran
pemerintah daerah diukur dari total belanja rutin dan belanja pembangunan
pemerintah daerah yang dimuat dalam APBD, semakin besar anggaran yang
dikeluarkan pemerintah daerah untuk belanja produktif, maka akan berpengaruh
pada meningkatnya pertumbuhan ekonomi daerah. Sedangkan pengeluaran
konsumsi pemerintah yang terlalu kecil akan merugikan pertumbuhan ekonomi,
pengeluaran pemerintah yang proposional akan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dan pengeluaran konsumsi yang boros akan menghambat pertumbuhan
ekonomi (Anaman dalam Noegroho 2007:6). Pada umumnya pengeluaran
pemerintah daerah membawa dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi
regional.
Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah di Provinsi Jawa Barat
yang menerima dana desa. Berdasarkan Peraturan Bupati Bogor Nomor 22 Tentang
9
Pelaksanaan Tata Cara Pembagian dan Penetapan Dana Desa Setiap Desa di
Kabupaten Bogor Tahun 2015, masing-masing desa di Kabupaten Bogor
memperoleh tambahan dana. Adapun sumber pendapatan desa Waringin Jaya untuk
tahun anggaran 2015 dapat dilihat pada tabel 1.2.
Tabel.1.2.
Sumber Pendapatan Desa Waringin Jaya Tahun Anggaran 2015
Pendapatan Anggaran (Rp)
Pendapatan Asli Desa
Hasil Swadaya dan Partisipasi Gotong Royong Masyarakat 45.000.000
Pendapatan Transfer
Bagian dari Hasil Pajak Daerah 161.863.004
Alokasi Dana Desa 513.301.141
Bantuan Keuangan Pemerintah dan Kabupaten 50.000.000
Bantuan APBD (Mobil Siaga Desa) 150.000.000
Bantuan Dana Desa 306.777.862
Tambahan Penghasilan Aparatur Pemerintah Desa 15.000.000
Bantuan Dana Provinsi (Infrastruktur Desa) 100.000.000
Bantuan Keuangan APBD Kabupaten 200.000.000
Pendapatan Lain-lain
Hibah dan Sumbangan dari pihak ketiga 0
Lain-Lain Pendapatan Desa yang Sah 0
Jumlah Pendapatan 1.541.942.007
Sumber: Laporan akhir tahun pemerintahan desa Waringin Jaya TA 2015 (Diolah)
Berdasarkan data pada tabel 1.2 desa Waringin Jaya memperoleh tambahan
sumber pendapatan yang berasal dari dana desa sebesar Rp 306.777.862.
Meningkatnya pendapatan desa melalui dana transfer yang diberikan pemerintah
pusat dalam bentuk dana desa akan meningkatkan konsumsi pemerintah desa dalam
membiayai kegiatan-kegiatan di bidang prioritas pembangunan desa dan
pemberdayaan masyarakat desa. Dimana penggunaan APBDes untuk membiayai
pembangunan infrastruktur desa mempunyai dampak positif terhadap peningkatan
10
kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat desa diantaranya dalam peningkatan
nilai konsumsi, peningkatan produktivitas tenaga kerja dan akses kepada lapangan
kerja, serta peningkatan kemakmuran nyata dan terwujudnya stabilitas makro
ekonomi, yaitu keberlanjutan fiskal, berkembangnya pasar kredit, dan pengaruhnya
terhadap pasar tenaga kerja (Sukma, Andrio Firstiana 2015:102).
Sementara Songco (2002) berpendapat, tujuan dari investasi infrastruktur
perdesaan adalah untuk meningkatkan status ekonomi rakyat miskin melalui
peningkatan pendapatan dan perbaikan pola konsumsi yang dapat ditunjukkan
dengan tingkat biaya yang lebih rendah pada kebutuhan pokok, pengeluaran sumber
daya energi yang lebih rendah melalui penemuan sumber energi baru, dan
peningkatan penggunaan jasa sosial (Songco dalam Sukma 2015:103). Dimana
peningkatan konsumsi pemerintah desa pada bidang pembangunan sarana dan
prasarana dasar desa/infrastruktur desa berdampak pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat desa.
B. Rumusan Masalah
Pembangunan kawasan perdesaan merupakan salah satu program prioritas
pembangunan pemerintah pusat yang tertuang dalam RPJMN, dimana dalam proses
pelaksanaannya melalui pembangunan inklusif. Pembangunan inklusif adalah
pembangunan yang memperhitungkan pertumbuhan (pro-growth), penyerapan
tenaga kerja (pro-job), mengurangi kemiskinan (pro-poor) dan memperhatikan
lingkungan (pro-environment) (Badrudin dalam Sukma 2015:103). Yang tercermin
dari prinsip swakelola dan padat karya dalam penyelenggaraan tata kelola
pembangunan desa.
11
Perputaran uang dari pengeluaran pemerintah desa di bidang pembangunan
infrastruktur akan berpengaruh pada aktivitas ekonomi masyarakat desa yang
nantinya akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, perputaran
uang tersebut memiliki potensi mengalami yang namanya kebocoran wilayah.
Kebocoran wilayah merupakan jenis aktivitas pengeluaran/penerimaan
wilayah yang tidak meningkatkan tambahan pendapatan suatu wilayah, atau dengan
kata lain kebocoran wilayah merupakan kondisi terjadinya aliran nilai tambah ke
wilayah lainnya karena adanya potensi nilai tambah yang tidak dapat dimanfaatkan
secara optimal, sehingga menyebabkan kecilnya multiplier yang dapat ditimbulkan
dari kegiatan ekonomi suatu wilayah. Semakin besar kebocoran wilayah yang
terjadi maka semakin besar potensi multiplier pendapatan yang hilang. Dimana
pertanyaan penelitian yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana peran dari APBDes bidang pembangunan infrastruktur dan
dampaknya terhadap perekonomian di Desa Waringin Jaya tahun anggaran
2015?
2. Bagaimana peran dari APBDes bidang pembangunan infrastruktur dan
dampaknya terhadap distribusi pendapatan di Desa Waringin Jaya tahun
anggaran 2015?
3. Bagaimana indikasi dan potensi kebocoran wilayah dari APBDes bidang
pembangunan infrastruktur di Desa Waringin Jaya tahun anggaran 2015?
12
C. Tujuan, Hasil dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan pengetahuan, yakni
pemahaman tentang kenyataan. Pengetahuan yang dihasilkan, disamping
ditentukan oleh objek penelitian (objek material) adalah ditentukan oleh
pendekatan, metode dan prosedurnya. Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Menganalisis peran dari APBDes bidang pembangunan infrastruktur dan
dampaknya terhadap perekonomian di Desa Waringin Jaya tahun anggaran
2015;
b. Menganalisis peran dari APBDes bidang pembangunan infrastruktur dan
dampaknya terhadap distribusi pendapatan di Desa Waringin Jaya tahun
anggaran 2015;
c. Menganalisis indikasi dan potensi kebocoran wilayah dari APBDes bidang
pembangunan infrastruktur di Desa Waringin Jaya tahun anggaran 2015.
2. Hasil yang Diharapkan
Hasil yang diharapkan dengan dilakukannya penelitian ini adalah:
a. Pembaruan, tema yang ingin dibahas oleh peneliti adalah mengenai
momentum dana desa dan dampak ekonomi yang dihasilkan dari
peningkatan pendapatan pemerintah desa serta potensi kebocoran wilayah.
Berdasarkan hasil penelusuran peneliti baik melalui internet dan studi
kepustakaan, belum ada penelitian terdahulu yang membahas mengenai
efek pengganda pengeluaran APBDes bidang pembangunan
13
infrastruktur. Oleh karena itu, diharapkan dengan dilakukannya penelitian
ini dapat menambah wawasan pengetahuan terutama dalam ilmu
perencanaan wilayah.
b. Manfaat Rill, dalam penelitian ini peneliti menggunakan paradigma non-
positive, dimana pemilihan paradigma didasarkan pada kelemahan
paradigma positive yang mana tidak bisa menjawab permasalahan secara
mendalam. Dalam paradigma non-positive, objek penelitian bukanlah
barang, jasa atau uang tetapi pelaku (actor) ekonomi. Paradigma non-
positive dipilih dikarenakan penelitian ini bukan hanya sekedar ingin
melihat pengaruh sebab akibat tetapi lebih dari itu yakni memahami
fenomena yang menjadi fokus penelitian agar hasil penelitian benar-benar
dapat menyentuh langsung pada permasalahan di lapangan dan hasil
penelitian benar-benar bisa dimanfaatkan bagi wilayah yang menjadi lokasi
penelitian dilaksanakan.
3. Manfaat Penelitian
a. Manfaat akademis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat
bagi kalangan akademis serta sebagai bahan informasi mengenai
perencanaan dan pengembangan wilayah perdesaan. Selain itu, penelitian
ini dapat menjadi alternatif sebagai bahan rujukan dalam penelitian yang
terkait dengan multiplier effects pengeluaran pemerintah dalam
pengembangan ekonomi regional.
b. Manfaat praktis, diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan evaluasi
bagi pihak-pihak yang berkepentingan terutama Kementrian Dalam Negeri
14
dan Kementrian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
serta lembaga terkait lainnya. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan gambaran mengenai multiplier effects dari adanya tambahan
pendapatan desa (dana desa) terhadap peningkatan kesejahteraan
masyarakat desa.
D. Batasan Masalah
Adapun batasan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Wilayah penelitian berada di Kabupaten Bogor, Kecamatan Bojong Gede
yakni di Desa Waringin Jaya.
2. Objek penelitian ini adalah pengeluaran pemerintah desa (APBDes) di
bidang pembangunan infrastruktur desa.
3. Penelitian ini memfokuskan pada dampak ekonomi dari adanya peningkatan
pengeluaran pemerintah desa, dimana perputaran uang terjadi di kawasan
desa Waringin Jaya dan kawasan yang berbatasan langsung dengan desa
tersebut. Sedangkan untuk dampak sosial tidak dibahas dalam penelitian
ini.
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Otonomi Desa
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, desa diartikan sebagai
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul dan/atau hak tradisional yang diakui
dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sama halnya dengan Kabupaten/Kota, desa diberikan kewenangan untuk mengatur
dan mengurus wilayahnya sendiri adapun bedanya, otonomi desa bukan merupakan
otonomi formal seperti yang diterapkan pada tingkat Kabupaten/Kota melainkan
otonomi yang berasal dari asal usul dan adat istiadat yang tumbuh di masyarakat.
Otonomi formal/resmi memiliki pengertian sebagai kewenagan untuk
mengatur dan mengurus urusan masyarakat berdasarkan peraturan perundang-
undangan. Sedangkan otonomi yang dimiliki desa adalah otonomi berdasarkan asal
usul dan adat istiadat. Yang artinya, otonomi desa bukan berasal dan akibat dari
pengaturan perundang-undangan tetapi berasal dari asal-usul dan adat istiadat desa
sendiri yang dikembangkan, dipelihara, dipertahankan masyarakat setempat dari
dulu sampai sekarang (Nurcholis, Hanif 2011:64).
Dalam perkembangannya, desa-desa di Indonesia dapat dibagi ke dalam tiga
kategori otonomi asli desa. Pertama, desa adat (self-governing community)
16
merupakan bentuk desa asli dan tertua di Indonesia, dimana pengaruh adat istiadat
masih sangat dominan dalam mengatur dan mengelola dirinya sendiri tanpa campur
tangan pihak luar (negara). Umumnya desa yang termasuk kategori desa adat
menolak untuk menjalankan tugas-tugas administratif yang diberikan negara hal ini
dilakukan demi menjaga keaslian adat istiadat, serta tidak bersedia berposisi secara
hierarki di bawah negara.
Kedua, desa otonom (local self-goverment) merupakan bentuk
pemerintahan lokal secara otonom, sebagai konsekuensi dari desentralisasi politik
(devolusi), yakni negara mengakui pemerintah daerah yang sudah ada disertai
penyerahan kewenangan kepada pemerintah lokal. Desa otonom mempunyai
kewenangan yang jelas berdasarkan undang-undang dalam penyelenggaraan
pemerintahan di desa seperti salah satunya kewenagan desa untuk mengelola
keuangan desa/APBDes.
Ketiga, desa administrasi (local state goverment) merupakan kepanjangan
tangan negara di tingkat lokal dimana desa administratif tidak memiliki hak
otonomi seperti halnya desa otonom. Adapun yang termasuk kategori desa
administratif adalah kelurahan.
Berdasarkan kategori desa di atas, desa administratif kurang relevan untuk
menggambarkan kemandirian masyarakat, ini dikarenakan desa tersebut tidak
memiliki hak otonomi dan demokrasi seperti yang dimiliki desa adat dan desa
otonom. Adapun kelebihan dan kekurangan antara desa adat dan desa otonom dapat
dilihat pada tabel 2.1.
17
Tabel 2.1.
Kelebihan dan Kekurangan antara Desa Adat dan Desa Otonom
Desa Adat Desa Otonom
Keunggulan
Sesuai dengan konteks sejarah desa
yang mempunyai asal usul jauh
sebelum NKRI
Relevan dengan konsep pengakuan
dan penghormatan yang tertuang
dalam konstitusi
Relevan dengan keragaman desa-
desa di Indonesia
Kedudukan dan formatnya
lebih mudah, simpel, dan
konkuren dengan
pemerintahan daerah
Memperjelas pembagian
urusan dari pemerintah
kepada desa
Mengakhiri dualisme dan
benturan antara modernisme
dengan tradisionalisme
antara desa administratif
dan desa adat
Kelemahan
Mengalami kesulitan dalam
merumuskan desain kelembagaan
pengakuan (apa yang diakui, siapa
yang mengakui, dan bagaimana
mengakui)
Rumit/sulit dalam merumuskan
format keragaman lokal
Pemerintah sulit untuk menentukan
standar nasional dalam pengaturan
dan pelayanan publik pada
masyarakat desa
Desa terus terjebak dalam
tradisionalisme romantisme dan
sulit berkembang secara dinamis
Konstitusi tidak secara
eksplit memberi
desentralisasi kepada desa
Menambah beban dan
cakupan desentralisasi
otonomi daerah
Membutuhkan proses
meyakinkan yang lebih
panjang kepada masyarakat
adat
Sumber: Fadli, Mohammad dkk (2013)
Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, pemerintah pusat mengakui
bentuk pemerintahan desa baik desa otonom (local self-goverment) maupun desa
adat (self-governing community) maka dari itu, pemerintah tidak bisa begitu saja
menyamakan bentuk pemerintahan desa seperti yang terjadi di masa Orde Baru
dimana berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 pemerintah
menempatkan desa sebagai “local state goverment” atau sebagai kepanjangan
tangan negara yang jelas bertentangan dengan adat istiadat masyarakat desa.
18
Untuk itu, agar tidak terjadi dualisme (antara desa adat dan desa otonom)
solusi yang memungkinkan adalah memilih salah satu bentuk desa. Adapun
variabel yang dapat dijadikan bahan pertimbangan adalah dengan melihat variabel
dominan di masyarakat, apakah variabel modernisme atau variabel tradisionalisme.
Jika suatu daerah pengaruh tradisionalime lebih dominan, maka desa tersebut lebih
cocok untuk tetap mempertahankan bentuk desa adat (self-governing community)
akan tetapi, jika pengaruh modernisme yang lebih kuat maka desa tersebut bisa
dikembangkan menjadi desa otonom (local self-goverment). Dimana tipologi desa-
desa di Indonesia dapat di lihat pada tabel 2.2.
Tabel 2.2.
Tipologi Desa di Indonesia
Tipe Desa Deskripsi Daerah
Ada Adat, tetapi tidak
ada Desa
Adat sangat dominan. Desa
tidak punya pengaruh.
Papua
Tidak ada Adat, tetapi
ada desa
Pengaruh adat sangat kecil.
Desa modern sudah tumbuh
kuat.
Jawa, sebagian besar
Sulawesi, Kalimantan Timur,
sebagian Sumatera.
Integrasi antara Desa
dan Adat
Adat (tradisionalisme) dan
desa (modernisme) sama-
sama kuat. Terjadi kompromi
keduanya.
Sumatera Barat
Dualisme/konflik antara
Adat dengan Desa
Pengaruh adat lebih kuat
ketimbang desa. Terjadi
dualisme kepemimpinan
lokal. Pemerintah desa tidak
efektif.
Bali, Kalimantan Barat, Aceh,
NTT, Maluku
Tidak ada Desa tidak ada
Adat
Kelurahan sebagai unit
administratif (local state
goverment). Tidak ada
demokrasi lokal.
Wilayah
Perkotaan
Sumber: Fadli, Mohammad dkk (2013)
19
2. Pemerintahan Desa
Pemerintahan tingkat desa merupakan tatanan terkecil dari sistem suatu
negara, dimana pemerintahan desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Penyelenggaraan pemerintahan desa dilakukan oleh pemerintah desa dan
badan permusyawaratan desa (BPD). Pemerintah desa adalah organisasi
pemerintahan desa yang terdiri atas:
Unsur pimpinan, yaitu Kepala Desa;
Unsur perangkat desa terdiri atas:
Sekretariat desa, yaitu unsur staf yang diketuai oleh sekretaris desa;
Unsur pelaksana kewilayahan, yaitu pembantu kepala desa di
wilayah kerjanya seperti kepala dusun;
Unsur pelaksana teknis, yaitu pembantu kepala desa yang
melaksanakan urusan teknis di lapangan seperti urusan pengairan,
keagamaan, dan lain-lain; (Nurcholis, Hanif 2011:73).
a. Kewenangan Pemerintah Desa
Dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pembangunan
desa baik kepala desa, perangkat desa dan badan permusyawaratan desa memiliki
sejumlah kewenagan diantaranya sebagai berikut:
1) Tugas dan Wewenang Kepala Desa
Memimpin penyelenggaraan pemerintah desa berdasarkan kebijakan yang
ditetapkan bersama BPD;
20
Mengajukan rancangan peraturan desa;
Menetapkan peraturan desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD;
Menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa mengenai APBDes
untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD;
Membina kehidupan masyarakat desa;
Membina perekonomian desa;
Mengkoordinasikan pembangunan secara partisipatif;
Mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk
kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
2) Tugas dan Wewenang Badan Permusyawaratan Desa
Membahas rancangan peraturan desa bersama kepala desa;
Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan
peraturan kepala desa;
Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala desa;
Membentuk panitia pemilihan kepala desa;
Menggali, menampung, menghimpun, merumuskan, dan menyalurkan
aspirasi masyarakat; dan
Menyusun tata tertib BPD (Chozin, M. A. dkk 2013: 41-42).
3. Anggaran Keuangan Desa (APBDes)
Anggaran pendapatan dan belanja desa adalah rencana keuangan desa dalam
satu tahun yang memuat perkiraan pendapatan, rencana belanja program dan
21
kegiatan, dan rencana pembiayaan yang dibahas dan disetujui bersama oleh
pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa, dan ditetapkan dengan
peraturan desa. Dimana Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa terdiri atas:
a. Pendapatan Desa
Pendapatan desa merupakan semua penerimaan desa baik yang bersumber
dari desa sendiri maupun dana transfer yang diberikan oleh pemerintah pusat dan
pemerintah kabupaten/kota yang masuk ke rekening kas desa dalam satu tahun
anggaran. Dalam penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Aman Sukarso (2001)
dengan judul Pengaruh pendapatan desa dan kelancaran pemerintahan desa serta
implikasinya terhadap kesejahteraan masyarakat desa di Kabupaten Serang.
Dari hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa pengaruh faktor pendapatan
desa terhadap kelancaran pemerintahan desa dan implikasinya terhadap
kesejahteraan masyarakat adalah signifikan. Dimana faktor pendapatan desa
memberikan kontribusi sebesar 36% kepada faktor kelancaran pemerintahan desa
dan sebanyak 26% untuk kesejahteraan masyarakat. Sementara faktor kelancaran
pemerintahan desa memberikan kontribusi sebesar 32% terhadap kesejahteraan
masyarakat.
Selanjutnya, merupakan penelitian yang dilakukan oleh Eko Prasetyanto
(2012) mengenai Dampak alokasi dana desa pada era desentralisasi fiskal
terhadap perekonomian daerah di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
simulasi afirmatif dengan memberikan ADD sebesar 500 juta rupiah per desa
dengan menambah 5 desa per Kabupaten/kota di daerah tertinggal ternyata
22
memberikan hasil yang paling baik dalam mengurangi kesenjangan antar daerah
dan jumlah penduduk miskin di perdesaan.
Dimana persamaan penelitian yang dimiliki antara penelitian terdahulu
dengan penelitian yang akan dilakukan ini yakni sama-sama melihat adanya
pengaruh pendapatan dalam peningkatan perekonomian desa. Adapun
perbedaannya, penelitian yang dilakukan oleh Eko Prasetyanto (2012)
menggunakan momentum dari peningkatan sumber pendapatan desa yang berasal
dari alokasi dana desa dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 72
Tahun 2005 tentang Desa. Sementara penelitian ini ingin mengkaji mengenai
dampak peningkatan pendapatan desa dari dialokasikannya dana desa oleh
pemerintah pusat untuk desa berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa. Adapun sumber pendapatan desa menurut UU No.6 Tahun 2014
pasal 72 ayat 1 terdiri atas:
1) Pendapatan Asli Desa (PADes)
Pendapatan asli desa merupakan semua jenis pendapatan yang berasal dari
sumber-sumber yang dimiliki oleh desa tersebut, dimana pendapatan asli desa
meliputi:
(a) Hasil Usaha Desa
Merupakan sumber pendapatan desa yang berasal dari usaha-usaha desa,
dimana usaha-usaha tersebut berguna untuk meningkatkan aktivitas ekonomi di
desa. Adapun macam usaha desa diantaranya pendirian Badan Usaha Milik Desa,
koperasi, pasar desa, perkebunan desa, tempat pelelangan ikan, objek wisata yang
23
dikelola oleh desa. Namun, penting untuk diperhatikan dalam memilih usaha yang
akan dibangun pemerintah desa harus cermat dan teliti dalam pemilihan usaha, ini
dikarenakan agar usaha yang telah dibangun tersebut dapat bermanfaat bagi
peningkatan pendapatan desa bukan sebaliknya mengalami kerugian atau tidak
dimanfaatkan.
(b) Hasil Kekayaan Desa
Khusus yang menyangkut kekayaan desa, tanah mempunyai peranan yang
sangat penting ini dikarenakan dari tanah dapat diperoleh hasil yang memadai
sebagai sumber pendapatan desa. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur hampir semua
desa mempunyai harta benda berupa tanah banda desa dan tanah bengkok. Tanah
banda desa adalah tanah komunal milik masyarakat desa yang diperuntukkan untuk
membiayai pembangunan dan pemeliharaan desa. Sedangkan tanah bengkok adalah
tanah komunal milik masyarakat desa yang diperuntukkan sebagai honor/gaji pada
pengurus desa selama menjabat.
Hasil kekayaan desa dapat berupa tanah kas desa, perkebunan desa, tanah
gembalaan, kolam ikan, hutan produksi desa (jati, damar, rotan), taman wisata alam
hutan/forest ecoturisme. Di samping memiliki tanah, kekayaan desa lainnya dapat
berupa perikanan, danau/rawa, pelabuhan, dermaga, terminal desa, dan lain
sebagainya. Dimana dalam pengaturan dan pengurusan mengenai kekayaan desa
dibuat sendiri oleh masyarakat desa yang bersangkutan.
24
(c) Hasil Swadaya dan Partisipasi
Maksud dari hasil swadaya dan partisipasi masyarakat desa adalah
sumbangan warga desa dalam setiap pembangunan. Dimana bentuk swadaya dan
partisipasi masyarakat dapat berupa:
Penggunaan gotong royong masyarakat;
Subtitusi gotong royong berupa penggantian tenaga dengan uang bagi warga
yang tidak bisa hadir pada waktu yang ditetapkan sesuai dengan jadwal
gotong royong;
Sumbangan dari masyarakat desa dalam bentuk bahan bangunan, bahan
makanan, dan hasil bumi yang berdasarkan hasil musyawarah dapat dilelang
untuk dijadikan uang;
Lain-lain yang dapat digolongkan swadaya partisipasi masyarakat
(Suwignjo, 1986:220).
(d) Hasil Gotong Royong
Gotong royong adalah bentuk kerjasama yang spontan dan sudah
melembaga serta mengandung unsur-unsur timbal balik yang bersifat sukarela
antara warga desa dan antara warga desa dengan pemerintah desa untuk memenuhi
kebutuhan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Sebagai
salah satu sumber pendapatan desa, gotong royong yang timbul dikarenakan
kerjasama antara warga desa dengan pemerintah desa dapat berupa:
Pembangunan jalan desa;
Pembangunan balai musyawarah;
25
Lapangan olahraga;
Penanaman tanaman produktif;
Pembuatan kolam pembibitan ikan, dan lain-lain.
Hasil dari gotong royong tersebut oleh pemerintah desa dapat dimanfaatkan
sebagai sumber pendapatan desa, baik dalam bentuk pungutan desa, hasil penjualan
maupun penyewaan kekayaan desa.
(e) Pungutan Desa
Pungutan desa adalah pungutan yang berupa uang maupun benda atau
barang yang dilakukan oleh pemerintah desa terhadap masyarakat desa dan
perusahaan yang berada di wilayah desa berdasarkan pertimbangan kemampuan
sosial ekonomi masyarakat di desa yang ditetapkan melalui peraturan desa dalam
rangka peningkatan penyelenggaraan pemerintahan desa dan pemberdayaan
masyarakat desa. Dimana jenis pungutan desa, baik bentuk maupun besarannya
berbeda-beda di tiap desa.
Adapun yang perlu diperhatikan oleh pemerintah desa dalam menentukan
jenis pungutan desa yakni apabila sumber pendapatan daerah yang berada di desa
sudah dipungut oleh pemerintah provinsi atau kabupaten/kota, maka pemerintah
desa tidak dibenarkan untuk melakukan pungutan tambahan baik berupa pajak atau
retribusi.
26
2) Transfer dari Pemerintah Pusat
Dalam hubungan fiskal antara pemerintah pusat dan daerah transfer
merupakan inti dari desentralisasi fiskal atau dapat dikatakan transfer merupakan
elemen inti dari keuangan daerah. Dimana transfer tidak dapat dikatakan baik atau
buruk, karena yang menjadi permasalahan sebenarnya terletak pada pengaruhnya
terhadap hasil-hasil kebijakan yang dilaksanakan, seperti efisiensi lokal,
pemerataan distribusi, dan stabilitas makroekonomi. Terdapat tiga jenis cara dasar
untuk menetapkan jumlah dana yang perlu di distribusikan ke daerah-daerah
melalui transfer fiskal antarpemerintahan yaitu:
Menurut persentase tetap dari penerimaan pemerintah pusat;
Mengikuti suatu dasar ad hoc, yaitu dengan cara yang sama seperti untuk
jenis-jenis pengeluaran anggaran yang lain;
Dasar formula, yaitu menurut persentase dari pengeluaran-pengeluaran
daerah tertentu yang dibayar oleh pusat, atau yang berhubungan dengan
beberapa ciri umum daerah penerima (Bird dan Vaillancourt, 2000:42).
Tujuan diberikannya transfer oleh pemerintah pusat (tingkatan pemerintah
yang lebih tinggi) salah satunya adalah untuk mengatasi ketidakseimbangan fiskal.
Ketidakseimbangan fiskal terkait dengan ketidaksesuaian antara pendapatan yang
diperoleh daerah dengan kebutuhan belanja daerah, dimana umumnya jumlah
pengeluaran daerah lebih besar dibandingkan pendapatan.
Ketidakseimbangan fiskal dibagi menjadi dua yakni ketimpangan fiskal
vertikal (antara tingkatan level pemerintahan) dan ketimpangan fiskal horizontal
27
(antara daerah-daerah administratif). Dimana ketimpangan fiskal vertikal terjadi
dikarenakan pemerintah pusat memiliki kendali yang dominan dalam
mengumpulkan sumber-sumber penerimaan dibandingkan daerah. Sedangkan
ketimpangan horizontal terjadi disebabkan oleh faktor-faktor seperti budaya,
geografis, kelembagaan, sejarah, dan sumber daya alam yang dimiliki tiap-tiap
daerah. Dimana intergovermental transfer (transfer dana pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah) yang diperuntukkan bagi desa yakni berupa dana desa.
(a) Dana Desa
Merupakan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara yang diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota dan digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan
kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.
Dalam memberikan bantuan/transfer kepada pemerintah daerah umumnya
pemerintah pusat menerapkan pola-pola pengalokasian dana menggunakan dasar
formula, yaitu persentase dari pengeluaran-pengeluaran daerah tertentu yang
dibayar oleh pusat, atau yang berhubungan dengan beberapa ciri umum daerah
penerima. Dalam kasus dana desa, perhitungan formula didasarkan pada jumlah
penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis setiap
desa (PMK Nomor 93/PMK.07/2015 pasal 7 ayat 2 huruf b). Dimana perhitungan
rincian dana desa setiap desa dilakukan dengan menggunakan formula sebagai
berikut:
28
W = (0,25xZ1) + (0,35xZ2) + (0,10xZ3) + (0,30xZ4)
Keterangan:
W = Dana desa setiap desa yang dihitung berdasarkan jumlah penduduk,
angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis setiap desa.
Z1 = Rasio jumlah penduduk setiap desa terhadap total penduduk desa
Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Z2 = Rasio jumlah penduduk miskin desa setiap terhadap total penduduk
miskin desa Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Z3 = Rasio luas wilayah desa setiap terhadap luas wilayah desa
Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Z4 = Rasio IKG setiap desa terhadap total Indeks Kesulitan Geografis desa
Kabupaten/Kota yang bersangkutan (PMK Nomor 93/PMK.07/2015, pasal
9 ayat 3). Adapun sumber data diperoleh dari kementrian yang berwenang
dan/atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
statistik.
3) Transfer dari Pemerintah Kabupaten/Kota
Transfer dari pemerintah Kabupaten/Kota dimaksudkan untuk menunjang
transfer pemerintah pusat ke desa untuk membiayai kegiatan pembangunan di desa.
Adapun dalam rangka mewujudkan percepatan pembangunan desa, maka penting
untuk meningkatkan sumber-sumber pendapatan desa. Dimana transfer dari
pemerintah Kabupaten/Kota kepada pemerintah desa terdiri dari:
29
(a) Alokasi Dana Desa
Alokasi dana desa merupakan transfer yang diberikan pemerintah
Kabupaten/Kota kepada pemerintah desa, dimana alokasi dana desa berasal dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota yang bersumber dari
dana perimbangan yang diberikan pemerintah pusat ke daerah. Berdasarkan PP
No.43 Tahun 2014 pasal 96 ayat 2 jumlah minimum Alokasi dana desa yang
diberikan pemerintah daerah ke desa yakni sebesar 10% dari dana perimbangan
yang diterima Kabupaten/Kota dalam APBD setelah dikurangi DAK.
Adapun rumus yang dipergunakan dalam menghitung besaran ADD yang
diterima setiap desa harus berdasarkan asas merata dan adil. Asas merata, yaitu
besarnya bagian alokasi dana desa yang sama untuk setiap desa, yang selanjutnya
disebut Alokasi Dana Desa Minimal (ADDM). Sedangkan asas adil, yaitu besarnya
bagian alokasi dana desa untuk setiap desa berdasarkan nilai bobot desa (BDx) yang
dihitung dengan rumus dan variabel tertentu (misalnya variabel kemiskinan,
keterjangkauan, pendidikan, kesehatan dll), selanjutnya disebut Alokasi Dana Desa
Proporsional (ADDP). Besarnya persentase perbandingan antara asas merata dan
adil ditetapkan oleh masing-masing daerah berdasarkan peraturan Bupati/Walikota.
Misalnya, besar ADDM adalah 60% dari jumlah ADD dan besarnya ADDP adalah
40% dari jumlah ADD (Nurcholis, Hanif 2011:89).
Selanjutnya, dalam pengalokasian mengenai ADD pemerintah daerah akan
mempertimbangkan salah satunya kebutuhan penghasilan tetap (SilTap) kepala
30
desa dan perangkat desa. Pengalokasian ADD untuk penghasilan tetap kepala
daerah dan perangkat desa menggunakan perhitungan sebagai berikut:
Alokasi dana desa yang berjumlah kurang dari 500.000.000 digunakan
maksimal 60%;
Alokasi dana desa yang berjumlah 500.000.000 sampai dengan 700.000.000
digunakan maksimal 50%;
Alokasi dana desa yang berjumlah 700.000.000 sampai dengan 900.000.000
digunakan maksimal 40%; dan
Alokasi dana desa yang berjumlah lebih dari 900.000.000 digunakan
maksimal 30%.
Dimana pengalokasian batas maksimal tersebut ditetapkan dengan
mempertimbangkan efisiensi, jumlah perangkat, kompleksitas tugas pemerintahan
dan letak geografis (PP No.43 Tahun 2014 pasal 81).
(b) Bagi Hasil Pajak dan Retribusi Kabupaten/Kota
Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau
badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat
dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan
pembangunan daerah. Macam/jenis pajak yang menjadi wewenang pemerintah
Kabupaten/Kota diantaranya pajak hotel; pajak restoran; pajak reklame; pajak
hiburan; pajak parkir; pajak air tanah; pajak bumi dan bangunan perdesaan dan
perkotaan; pajak bea perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
31
Sedangkan retribusi daerah merupakan pungutan daerah sebagai
pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau
diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
Jenis retribusi daerah mencakup retribusi pelayanan kesehatan; retribusi pasar;
retribusi tempat pelelangan; retribusi terminal; retribusi pelayanan pelabuhan;
retribusi izin mendirikan bangunan dan lain-lain.
Dimana pemerintah Kabupaten/Kota mengalokasikan sebagian dari hasil
pajak dan retribusi daerah Kabupaten/Kota kepada desa paling sedikit 10% dari
penerimaan hasil pajak dan retribusi daerah. Pengalokasian bagian dari hasil pajak
dan retribusi daerah tersebut dilakukan berdasarkan ketentuan sebagai berikut:
60% dibagi secara merata kepada seluruh desa; dan
40% dibagi secara proporsional realisasi penerimaan hasil pajak dan
retribusi dari desa masing-masing.
Ketentuan mengenai tata cara pengalokasian bagian dari hasil pajak dan
retribusi daerah Kabupaten/Kota kepada desa diatur berdasarkan peraturan
Bupati/Walikota (PP No.43 Tahun 2014 pasal 97).
4) Bantuan Anggaran dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten
Pemerintah daerah Provinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota dapat
memberikan bantuan keuangan yang bersumber dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah Provinsi dan anggaran pendapatan dan belanja Kabupaten/Kota
kepada desa. Berdasarkan PP No.43 Tahun 2014, jenis bantuan tersebut dibagi
dalam bentuk bantuan keuangan yang bersifat umum dan khusus. Dimana bantuan
32
keuangan yang bersifat umum diperuntukkan dan penggunannya diserahkan
sepenuhnya kepada desa penerima bantuan dalam rangka membantu pelaksanaan
tugas pemerintah daerah di desa. Sedangkan bantuan keuangan yang bersifat khusus
peruntukkan dan pengelolaannya ditetapkan oleh pemerintah daerah pemberi
bantuan dalam rangka percepatan pembangunan desa dan pemberdayaan
masyarakat desa.
5) Hibah dan Sumbangan dari Pihak Ketiga
Merupakan sumber penerimaan desa yang berasal dari pemerintah pusat,
pemerintah daerah, lembaga/dinas atau perseorangan yang tidak perlu dibayar
kembali oleh pemerintah desa. Hibah digunakan untuk mendukung pelaksanaan
pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Dimana pemberian hibah dapat
berupa dana, barang maupun jasa termasuk tenaga ahli atau pelatihan.
b. Belanja Desa
Semua pengeluaran dari rekening desa yang merupakan kewajiban desa
dalam satu tahun anggaran meliputi belanja rutin dan belanja pembangunan.
Belanja desa yang ditetapkan dalam APBDes digunakan dengan ketentuan paling
sedikit 70% dari jumlah anggaran belanja desa digunakan untuk mendanai
penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan
kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa; sedangkan paling
banyak 30% dari jumlah anggaran belanja desa digunakan untuk penghasilan tetap
kepala desa dan perangkat desa, operasional pemerintah desa, serta tunjangan dan
operasional badan permusyawaratan desa.
33
Berdasarkan penelitian terdahulu dari Yurianto (2012) mengenai Dampak
investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian daerah
pada era otonomi, menunjukkan bahwa dengan adanya investasi dan belanja
pemerintah daerah berpengaruh pada peningkatan pendapatan asli daerah, kapasitas
fiskal, pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, IPM dan penurunan jumlah
penduduk miskin. Dimana yang perlu diperhatikan, peningkatan investasi dan
belanja pemerintah daerah menunjukkan besaran yang bervariasi antar wilayah.
Berikutnya, merupakan penelitian yang dilakukan oleh Murohman (2014)
yang berjudul Analisis dampak perubahan alokasi investasi pemerintah daerah
tehadap pengentasan kemiskinan di Kalimantan Barat. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa alokasi investasi pemerintah daerah yang memperhatikan
tingkat kemiskinan sektoral secara proporsional lebih efektif dalam menurunkan
tingkat kemiskinan, dimana penerapannya akan berdampak pada peningkatan
output dan penyerapan tenaga kerja yang lebih tinggi.
Persamaan penelitian yang dimiliki antara penelitian terdahulu dengan
penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti yakni bahwa untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat maka diperlukan peningkatan kapasitas fiskal daerah. Ini
penting, dikarenakan pengeluaran daerah merupakan fungsi dari penerimaan
daerah. Adapun yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian
terdahulu yakni penelitian ini menganalisis dampak peningkatan pendapatan desa
(momentum dana desa) terhadap peningkatan pengeluaran pemerintah desa.
Dimana belanja desa terdiri atas:
34
1) Belanja Langsung
Merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan
pelaksanaan program dan kegiatan. Dimana belanja langsung terdiri atas:
(a) Belanja Pegawai
Merupakan pengeluaran honorarium/upah dalam melaksanakan program
dan kegiatan pemerintahan di desa.
(b) Belanja Barang dan Jasa
Merupakan pengeluaran pembelian/pengadaan barang yang nilai
manfaatnya kurang dari duabelas bulan dan/atau pemakaian jasa dalam
melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan desa. Belanja barang dan jasa
mencakup belanja barang pakai habis, bahan/material, perawatan kendaraan
bermotor, cetak/penggandaan, sewa rumah/gedung, sewa alat berat, jasa
pemeliharaan, ongkos perjalanan dinas dan lain-lain.
(c) Belanja Modal
Pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atau
pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari
duabelas bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan seperti dalam bentuk
tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan
aset tetap lainnya.
35
2) Belanja Tidak Langsung
Merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan
pelaksanaan program dan kegiatan. Adapun kelompok belanja tidak langsung
meliputi:
(a) Belanja Pegawai/Penghasilan Tetap
Merupakan belanja kompensasi, dalam bentuk gaji dan tunjangan, serta
penghasilan lainnya yang diberikan kepada pegawai negeri sipil yang ditetapkan
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
(b) Belanja Subsidi
Alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan/lembaga tertentu yang
bertujuan untuk membantu biaya produksi agar harga jual produksi/jasa yang
dihasilkan dapat terjangkau oleh masyarakat.
(c) Belanja Hibah
Digunakan untuk menganggarkan pemberian uang/barang atau jasa kepada
pemerintah daerah, perusahaan daerah, dan kelompok masyarakat/perorangan yang
secara spesifik telah ditetapkan peruntukkannya. Dimana hibah bersifat tidak wajib
dan tidak mengikat serta tidak dianggarkan secara terus-menerus ( tidak setiap
tahun dianggarkan dalam APBDes).
36
(d) Belanja Bantuan Sosial
Pemberian bantuan yang sifatnya tidak terus-menerus dan selektif dalam
bentuk uang/barang kepada masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
(e) belanja Tidak Terduga
Belanja untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa atau tidak diharapkan
berulang seperti penanggulangan bencana alam dan bencana sosial yang tidak
diperkirakan sebelumnya, termasuk pengembalian atas kelebihan penerimaan dari
tahun-tahun sebelumnya yang telah ditutup.
c. Pembiayaan Desa
Merupakan seluruh transaksi keuangan pemerintah desa, baik penerimaan
maupun pengeluaran, yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan
diterima kembali, baik pada tahun anggaran bersangkutan maupun pada tahun
anggaran berikutnya, yang dalam penganggaran pemerintah desa terutama
dimaksudkan untuk menutup defisit atau memanfaatkan surplus anggaran.
Pembiayaan desa terdiri atas:
1) Penerimaan Pembiayaan
Semua penerimaan yang masuk ke rekening kas desa yang berasal dari
penerimaan pinjaman, hasil penjualan kekayaan desa, pencairan dana cadangan dan
SiLPA. Dimana penerimaan pembiayaan desa mencakup:
37
(a) Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) Tahun Sebelumnya
Sisa lebih perhitungan anggaran adalah selisih lebih realisasi penerimaan
dan pengeluaran APBDes selama satu periode pelaporan. SiLPA berasal dari
pelampauan penerimaan pendapatan terhadap belanja, penghematan belanja dan
sisa dana kegiatan lanjutan. Dimana SiLPA dapat digunakan oleh pemerintah desa
diantaranya untuk menutupi defisit anggaran apabila realisasi pendapatan lebih
kecil daripada realisasi belanja; mendanai pelaksanaan kegiatan lanjutan; dan
mendanai kewajiban lainnya yang sampai dengan akhir tahun anggaran belum
diselesaikan.
(b) Pencairan Dana Cadangan
Dana cadangan adalah dana yang disisihkan untuk menampung kebutuhan
yang memerlukan dana relatif besar yang tidak dapat dipenuhi dalam satu tahun
anggaran. Pembentukan dana cadangan menggunakan rekening yang terpisah dari
rekening kas desa (ditempatkan pada rekening tersendiri). Dana cadangan dapat
bersumber dari penyisihan atas pendapatan desa maupun dari pinjaman desa.
Pencairan dana cadangan digunakan untuk menganggarkan pencairan dana
cadangan dari rekening dana cadangan ke rekening kas desa dalam tahun anggaran
berjalan.
(c) Hasil Penjualan Kekayaan Desa yang Dipisahkan
Hasil penjualan kekayaan desa yang dipisahkan adalah penerimaan desa
yang bersumber dari hasil penjualan aset desa yang dipisahkan dari kekayaan desa,
misalnya penjualan Badan Usaha Milik Desa. Dimana hasil penjualan kekayaan
38
desa yang dipisahkan digunakan untuk menganggarkan hasil penjualan kekayaan
desa yang dipisahkan.
(d) Penerimaan Pinjaman
Pinjaman desa adalah semua transaksi yang mengakibatkan desa menerima
sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga
desa dibebani kewajiban untuk membayar kembali. Adapun penerimaan yang
bersumber dari pinjaman desa berasal dari bank pemerintah, bank swasta dan
pinjaman lainnya.
2) Pengeluaran Pembiayaan
Merupakan semua pengeluaran dari rekening kas desa yang digunakan oleh
pemerintah desa untuk pembentukan dana cadangan, penyertaan modal desa, dan
pembayaran utang. Dimana pengeluaran pembiayaan desa mencakup:
(a) Pembentukan Dana Cadangan
Dana cadangan merupakan dana yang disisihkan untuk menampung
kebutuhan yang memerlukan dana relatif besar yang tidak dapat dipenuhi dalam
satu tahun anggaran. Pembentukan dana cadangan diatur dalam peraturan daerah,
dimana dalam pembentukan dana cadangan harus mencakup mengenai tujuan dari
pembentukan dana cadangan, program dan kegiatan yang akan dibiayai dari dana
cadangan, besaran dan rincian tahunan dana cadangan yang harus dianggarkan dan
di transfer ke rekening dana cadangan, sumber dana cadangan, dan tahun anggaran
pelaksanaan dana cadangan. Pembentukan dana cadangan dapat diklasifikasikan
menurut tujuan pembentukannya, misalnya dana cadangan untuk pembangunan
39
jembatan, dana cadangan untuk pembangunan gedung, dana cadangan untuk
penyelenggaraan pemilihan kepala desa, dan lain-lain.
(b) Penyertaan Modal Desa
Penyertaan modal adalah pengalihan kepemilikan aset milik desa yang
semula merupakan kekayaan yang tidak terpisahkan menjadi kekayaan yang
dipisahkan untuk diperhitungkan sebagai modal/saham desa pada Badan Usaha
Milik Desa. BUMDes sendiri merupakan lembaga usaha desa yang dikelola oleh
pemerintah desa dengan modal seluruhnya atau sebagian milik pemerintah desa
atau yang diperoleh dari kekayaan desa yang dipisahkan. Adapun penyertaan modal
desa bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat serta
memperoleh manfaat ekonomis berupa peningkatan perekonomian desa dan
peningkatan pendapatan asli desa yang diatur berdasarkan peraturan desa.
(c) Pembayaran utang
Utang desa adalah jumlah uang yang wajib dibayar pemerintah desa
dan/atau kewajiban pemerintah desa yang dapat dinilai dengan uang berdasarkan
peraturan desa, perjanjian, atau berdasarkan sebab lainnya yang sah. Pembayaran
utang dilakukan berdasarkan jatuh tempo pembayaran yang telah disepakati
sebelumnya. Dimana pembayaran utang pemerintah desa dianggarkan dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
40
4. Multiplier Effects Ekonomi
Multiplier effects (efek pengganda) adalah suatu kegiatan ekonomi dimana
dari kegiatan tersebut dapat memicu timbulnya kegiatan ekonomi lain. Adapun
kegunaan dari menghitung multiplier effects adalah untuk mengetahui seberapa
besar peran suatu sektor terhadap perekonomian yang dapat dilihat dari
meningkatknya/tersedia lapangan pekerjaan, peningkatan pendapatan rumah
tangga, perusahaan dan pemerintah serta timbulnya usaha-usaha baru.
Pendekatan yang dapat digunakan untuk menghitung multiplier effects salah
satunya dengan analisis sistem neraca sosial ekonomi. Menurut Pyatt and Round
(1990) SNSE merupakan suatu kerangka data yang bersifat keseimbangan umum
(general equlibrium) yang dapat menggambarkan perekonomian secara
menyeluruh dan dapat menghubungkan berbagai aspek sosial dan ekonomi dalam
suatu wilayah yang bersangkutan (Daryanto, 2010:159). Dimana kelebihan dari
model SNSE adalah mampu menggambarkan arus distribusi pendapatan yang dapat
ditelusuri melalui arus perputaran kegiatan ekonomi (circulair flow of economic
activity).
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Yundy Hafizrianda (2007)
mengenai Dampak pembangunan sektor pertanian terhadap distribusi pendapatan
dan perekonomian regional Provinsi Papua: Suatu analisis model sistem neraca
sosial ekonomi, menunjukkan bahwa sektor ekonomi yang memiliki peran penting
terhadap distribusi pendapatan nilai tambah dan rumah tangga di Provinsi Papua
adalah sektor perkebunan dan kehutanan. Sementara sektor ekonomi yang paling
besar peranannya terhadap distribusi pendapatan sektoral adalah industri makanan
41
dan minuman. Berikutnya, penelitian yang dilakukan oleh Rakhmat Prabowo
(2015) dengan judul penelitian Dampak pengembangan subsektor perternakan
terhadap perekonomian Indonesia: Analisis sistem neraca sosial ekonomi,
menunjukkan bahwa pengembangan subsektor perternakan mempunyai dampak
posistif terhadap peningkatan produksi perternakan domestik dan juga dalam
memperbaiki distribusi pendapatan rumah tangga pertanian-non pertanian.
Adapun yang membedakan antara penelitian yang dilakukan peneliti
dengan penelitian-penelitian terdahulu diantaranya adalah cakupan wilayah,
dimana dalam penelitian terdahulu cakupan wilayah yang digunakan yakni pada
tingkat Provinsi dan tingkat Nasional. Sementara, penelitian ini menggunakan
cakupan yang lebih sempit yakni pada tingkat desa. Perbedaan selanjutnya,
penelitian yang dilakukan oleh Hafizrianda (2007) menempatkan institusi
pemerintah ke dalam neraca endogen, sementara penelitian ini menempatkan blok
institusi pemerintah ke dalam neraca eksogen dikarenakan, peneliti ingin
mengetahui pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap kinerja masing-masing
blok yang ada pada model SNSE.
Sementara itu, penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Rahmanta (2006)
yang berjudul Dampak pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan dan
distribusi pendapatan di Sumatera Utara: Pendekatan sistem neraca sosial
ekonomi, menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah setelah diberlakukannya
kebijakan desentralisasi fiskal memberikan dampak yang lebih besar terhadap
sektor produksi, institusi rumah tangga, dan nilai tambah faktor produksi jika
dibandingkan pada sebelum diberlakukannya kebijakan desentralisasi fiskal.
42
Dimana persamaan penelitian yang dimiliki antara penelitian yang akan
dilakukan peneliti dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmanta (2006) adalah
kesamaan dalam menganalisis dampak pengeluaran pemerintah terhadap distribusi
pendapatan adapun perbedaannya, Rahmanta (2006) menggunakan pengeluaran
pemerintah (APBD) yang mencakup pengeluaran rutin dan pengeluaran
pembangunan. Sementara penelitian yang akan dilakukan peneliti hanya
menggunakan pengeluaran APBDes bidang pembangunan infrastruktur sebagai
variabel eksogen. Secara keseluruhan, yang membedakan antara penelitian yang
akan dilakukan peneliti dengan penelitian-penelitian terdahulu adalah penelitian ini
menggunakan data primer yang diperoleh dari studi lapangan berbeda dengan
penelitian terdahulu yang menggunakan data sekunder yang bersumber dari BPS
dan instansi pemerintah.
5. Kebocoran Wilayah
Doeksen dan Charles (1969) mendefinisikan kebocoran wilayah sebagai
jumlah perubahan total output sebagai hasil perubahan satu dolar pada permintaan
akhir yang tidak terhitung pada suatu wilayah dikarenakan terkait dengan impor,
atau jumlah pendapatan baru yang tidak dihasilkan di dalam suatu wilayah sebaagi
akibat kenaikan satu dolar pada pendapatan karena adanya impor. Selanjutnya
Bendavid (1991) menjelaskan bahwa kebocoran adalah tipe pengeluaran yang tidak
meningkatkan tambahan pendapatan domestik seperti pada pengeluaran pembelian
barang-barang yang berasal dari impor, termasuk pembelian yang dilakukan di luar
wilayah, pengeluaran untuk pajak, tabungan, dan sejenisnya dimana pada kegiatan
43
pengeluaran tersebut tidak menghasilkan arus peningkatan pendapatan bagi
masyarakat dan wilayah (Aris, Ahmad 2011:31).
Proses terjadinya kebocoran wilayah dapat ditelusuri dalam model dasar
arus melingkar pendapatan nasional (circular flow of national income model),
dimana semua pendapatan yang diterima oleh rumah tangga dibelanjakan untuk
konsumsi saat ini. Dalam model arus melingkar pendapatan yang diperluas,
sebagian dari pendapatan yang diterima oleh rumah tangga ditabung, sebagian
digunakan untuk membayar pajak dan sebagian dibelanjakan untuk barang dan jasa
yang di impor. Pada kondisi ini tabungan (saving), pajak (taxation) dan impor
(import) merupakan penarikan atau kebocoran arus pembelanjaan pendapatan
(Bendavid dalam Aris, Ahmad 2011:31).
Adapun kerugian yang ditimbulkan dari adanya kebocoran wilayah
(regional leakages) yakni dapat mendorong tingginya angka kemiskinan dan
ketimpangan ekonomi antar wilayah terutama antara wilayah maju dengan wilayah
tertinggal.
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Ahmad Aris (2011) dengan judul
penelitian Dampak pengembangan perkebunan kelapa rakyat terhadap kemiskinan
dan perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir, menunjukkan bahwa untuk hasil
penelitian mengenai kebocoran wilayah sektor perkebunan kelapa memiliki
indikasi kebocoran yang tinggi terutama pada aliran pendapatan modal dan tenaga
kerja yang ke luar wilayah. Untuk kebocoran wilayah pada aliran tenaga kerja
paling banyak berasal dari industri kelapa skala besar (swasta) dikarenakan tenaga
44
kerja yang digunakan pada level pimpinan dan staf umumnya merupakan orang
yang berasal dari luar wilayah. Sedangkan kebocoran wilayah aliran modal (capital
outflow) paling tinggi juga berasal dari industri kelapa skala besar (swasta)
dibandingkan dengan industri kelapa skala rumah tangga ini disebabkan investor
pada industri kelapa skala besar dominan merupakan investor asing (investor asal
Singapura). Sehingga pendapatan modal yang dihasilkan tidak diinvestasikan
kembali pada wilayah tersebut melainkan dilarikan ke luar wilayah.
Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Tabrani (2013) mengenai
Analisis kebocoran wilayah dalam pembangunan sektor pertambangan di
Kabupaten Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa peran sektor pertambangan terhadap perekonomian di Musi Rawas tinggi
dimana sektor pertambangan memiliki kontribusi terbesar kedua setelah sektor
pertanian dalam penciptakan NTB/PDRB. Akan tetapi, kebocoran wilayah pada
sektor pertambangan sangat tinggi, dimana yang paling merasakan dampak
pertumbuhan ekonomi adalah pemilik modal dan pengusaha serta keterkaitan sektor
pertambangan dengan sektor-sektor lainnya belum berkembang baik.
Adapun persamaan penelitian yang dimiliki antara penelitian terdahulu
dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti yakni sama-sama ingin
mengetahui potensi dan indikasi kebocoran wilayah. Semakin tinggi angka
kebocoran wilayah maka akan berdampak pada besarnya potensi multiplier
pendapatan yang hilang. Dimana untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang
disertai distribusi pendapatan yang merata perlu adanya upaya-upaya untuk
menekan kebocoran wilayah.
45
B. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan visi dan misi Joko Widodo dan Jusuf Kalla tahun 2014 yang
dituangkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-
2019, dimana salah satu program prioritas pembangunan yang tertuang dalam
NAWACITA adalah membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat
daerah-daerah dan desa-desa dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Demi tercapainya pemerataan pembangunan antar wilayah khususnya antar
wilayah perkotaan dan perdesaan.
Dengan dialokasikannya anggaran untuk desa pada APBN 2015 sebesar Rp
20,766 Triliun (Nota Keuangan dan APBNP 2015) akan meningkatkan pendapatan
desa. Meningkatnya pendapatan desa melalui dana transfer yang diberikan
pemerintah pusat dalam bentuk dana desa akan meningkatkan konsumsi pemerintah
desa dalam membiayai kegiatan-kegiatan di bidang prioritas pembangunan desa
khususnya pembangunan infrastruktur. Dimana peningkatan konsumsi pemerintah
desa pada pembangunan infrastruktur desa berdampak pada meningkatnya
kesejahteraan masyarakat desa.
Penelitian ini mencoba menganalisis dampak pengeluaran pemerintah
bidang pembangunan infrastruktur desa terhadap pengembangan wilayah yang
meliputi perekonomian desa, distribusi pendapatan serta potensi dan indikasi
kebocoran wilayah dari aktivitas ekonomi tersebut.
46
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran
APBDes
Pengeluaran Pemerintah Desa
Bidang Pembangunan Infrastruktur
Pengembangan Wilayah
Perekonomian
Desa
Distribusi
Pendapatan
Analisis SNSE
Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Desa
Kebocoran
Wilayah
47
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah perencanaan wilayah desa dengan
menganalisis pengembangan wilayah dari pengeluaran pemerintah desa bidang
pembangunan infrastruktur. Penelitian ini menggunakan paradigma non-positive
dengan pendekatan penelitian kuantitatif dan kualitatif, dimana pendekatan
kuantitatif digunakan untuk mengetahui peran pengeluaran pemerintah desa bidang
infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan dan indikasi
kebocoran wilayah di desa. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan
sekunder dengan metode pengumpulan data menggunakan kuesioner kepada
responden.
Sementara, penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang temuan-
temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya.
Penelitian kualitatif mampu memberikan hasil yang lebih mendalam dan kompleks
tentang suatu fenomena yang tidak mampu dijelaskan oleh penelitian kuantitatif.
Hasil temuan penelitian kualitatif lebih menekankan kepada pemahaman makna
yang mendalam daripada sekedar generalisasi. Informan dalam penelitian ini adalah
seseorang yang dapat menjelaskan serta memberikan keterangan yang dianggap
mengetahui dengan jelas mengenai proses pembangunan infrastruktur di desa
Waringin Jaya serta beberapa informan yang berasal dari responden dipilih untuk
menjelaskan dampak ekonomi yang dirasakan dari pengeluaran pemerintah desa di
bidang pembangunan infrastruktur. Jenis data yang digunakan adalah data primer
48
dan sekunder dengan metode pengumpulan data menggunakan wawancara semi-
struktur kepada informan.
Adapun penelitian ini menggunakan metode deskriptif, dimana metode
deskriptif merupakan suatu metode/teknik dalam meneliti status sekelompok
manusia, objek, kondisi maupun peristiwa yang terjadi. Metode deskriptif
merupakan pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Selain itu, metode
deskriptif memiliki tujuan membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara
sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta, sifat, dan hubungan antar fenomena
yang diteliti. Hasil analisis deskriptif diharapkan mengambarkan kondisi
sebenarnya (representativeness) dan valid, sehingga kesimpulannya dapat
dipertanggungjawabkan.
B. Metode Penentuan Sampel
Sampel adalah bagian kecil dari anggota populasi yang diambil menurut
prosedur tertentu sehingga dapat mewakili populasi yang akan diteliti. Penelitian
ini menggunakan dua teknik penentuan sampel yakni snowball sampling dan
purposive sampling. Snowball sampling merupakan salah satu bentuk judgment
sampling, dimana cara pengambilan sampel dilakukan secara berantai, dari satu
responden yang telah diketahui diteruskan kepada responden berikutnya sesuai
dengan informasi responden sebelumnya. Teknik snowball sampling digunakan
untuk menentukan sampel yang akan diberikan kuesioner mengenai dampak
pembangunan infrastruktur terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat desa.
49
Sedangkan purposive sampling merupakan teknik penentuan sampel yang
meyesuaikan pada tujuan penelitian, dimana dalam penarikan sampel ditentukan
oleh pertimbangan-pertimbangan peneliti berkaitan dengan perlunya memperoleh
informasi yang lengkap dan mencukupi sesuai dengan tujuan atau masalah
penelitian. Teknik purposive sampling digunakan untuk menentukan informan
yang akan diwawancarai mengenai proses pembangunan infrastruktur dan dampak
ekonomi yang dirasakan dari pengeluaran pemerintah desa di bidang pembangunan
infrastruktur.
C. Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri atas:
1. Observasi atau Pengamatan
Pencarian data ke lapangan dimulai pada bulan Mei 2017 dimana lokasi
penelitian berada di salah satu desa di Kabupaten Tangerang. Pemilihan desa
tersebut sebagai lokasi penelitian dikarenakan dahulu peneliti pernah melakukan
Kuliah Kerja Nyata (KKN) disana, sehingga peneliti sudah mengenal aparatur
pemerintah desa serta tokoh-tokoh masyarakat di desa itu yang akan memudahkan
peneliti dalam memperoleh izin penelitian. Selama melakukan penelitian, peneliti
tinggal di rumah Mak Oyot salah satu warga desa yang dengan ramah menerima
peneliti tinggal di rumahnya selama seminggu melakukan penelitian.
Pertama-tama yang peneliti lakukan adalah meminta izin kepada kepala
desa untuk melihat laporan pertanggungjawaban (LPJ) APBDes dimana yang
menjadi fokus penelitian adalah belanja desa bidang pelaksanaan pembangunan
50
desa. Setelah data yang diperlukan terkumpul barulah peneliti melakukan observasi
ke lapangan untuk melihat hasil pembangunan infrastruktur yang dilakukan selama
tahun anggaran 2015. Disaat melakukan pengamatan, peneliti menghadapi sebuah
masalah yang mana ketika peneliti sampaikan dan berdiskusi dengan dosen
pembimbing akhirnya diputuskan untuk mencari lokasi penelitian yang baru.
Dalam menentukan lokasi penelitian yang baru peneliti menggunakan
referensi dari penelitian yang dilakukan oleh Fauzan Ahmad Milad mengenai Gaya
kepemimpinan kepala desa dan tingkat partisipasi masyarakat dalam
pembangunan infrastruktur jalan yang berlokasi di desa Waringin Jaya, Kabupaten
Bogor. Dari beberapa referensi yang peneliti temukan ternyata desa tersebut banyak
dijadikan sebagai lokasi penelitian dengan tema penelitian yang berbeda-beda. Hal
ini menandakan bahwa desa tersebut terbuka kepada mahasiswa yang ingin
melakukan penelitian. Persamaan antara penelitian yang dilakukan oleh Fauzan
dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti yakni pada pembangunan
infrastruktur desa. Dimana dari penelitian tersebut peneliti memperoleh gambaran
mengenai program pembangunan desa Waringin Jaya. Adapun perbedaannya,
fokus penelitian Fauzan adalah pada gaya kepemimpinan kepala desa dan tingkat
partisipasi masyarakat dalam pembangunan infrastruktur jalan, sedangkan fokus
penelitian ini adalah pada dampak ekonomi yang tercipta dari pembangunan
infrastruktur desa.
Setelah mendapatkan izin penelitian dari pemerintah desa langkah
selanjutnya yang peneliti lakukan adalah melihat laporan pertanggungjawaban
(LPJ) APBDes tahun 2015 khususnya yang menyangkut pembangunan desa. Untuk
51
tahun 2015 angaran yang disediakan untuk pelaksanaan pembangunan desa sebesar
734.955.500 rupiah. Adapun program pembangunan desa Waringin Jaya terdiri dari
pembangunan jalan desa, pembangunan jalan lingkungan, pembangunan posyandu,
rutilahu dan renovasi kantor desa. Berdasarkan laporan pertanggungjawaban
tersebut dapat diketahui siapa saja (TK dan Unit Usaha) yang memperoleh manfaat
langsung dari pembangunan infrastruktur. Terdapat kurang lebih 80 tenaga kerja
yang bekerja sebagai tukang bangunan dan kenek serta dua unit usaha yaitu TB.
Mekar Jaya Abadi dan perusahaan Jaya Mix yang memperoleh dampak langsung
(direct impact) dari adanya pengeluaran pemerintah desa di bidang pembangunan
infrastruktur.
Sebelum ketahapan selanjutnya, peneliti ingin terlebih dahulu menjelaskan
sedikit mengenai multiplier effects serta cara peneliti menentukan instrumen
penelitian yang akan digunakan untuk menghitung dampak ekonomi (multiplier
effects) dari pengeluaran pemerintah desa bidang infrastruktur. Pertama, dampak
memiliki arti sebagai suatu perubahan yang terjadi akibat adanya suatu aktivitas
dimana dalam hal ini aktivitas tersebut berupa pembangunan insfrastruktur desa.
Pembangunan infrastruktur desa memiliki dampak ekonomi yakni berupa
peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan kesempatan kerja dan peluang
usaha. Intinya multiplier effects adalah suatu kegiatan yang dapat menciptakan
timbulnya kegiatan lain.
Transaksi ekonomi yang terjadi dari pembangunan infrastruktur desa akan
membuat perputaran uang di tingkat desa meningkat. Perputaran uang yang
meningkat akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi desa. Begitulah proses
52
multiplier effects yang terjadi dari adanya pembangunan infrastruktur desa. Tujuan
perhitungan multiplier adalah untuk mengetahui sejauh mana pengeluaran
pemerintah desa di bidang pembangunan infrastruktur akan menstimulasi
pengeluaran lebih lanjut sehingga meningkatkan aktivitas ekonomi di desa. Dari
observasi yang telah peneliti lakukan ternyata sejumlah pekerjaan tercipta
walaupun rendah, namun bukan berarti tidak penting untuk dilakukan penelitian
mengingat perputaran uang yang terjadi dari pembangunan infrastruktur desa
sebesar 734.955.500 rupiah. Walaupun sedikit pekerjaan yang tercipta namun dapat
memberikan suatu perubahan besar untuk wilayah dengan ruang lingkup yang kecil
seperti desa.
Terdapat tiga cara untuk menghitung multiplier effects yaitu dengan
menggunakan Keynesian Income Multiplier, Model I-O dan Sistem Neraca Sosial
Ekonomi. Keynesian Income Multiplier merupakan perhitungan multiplier yang
paling sederhana dimana hanya mampu menjelaskan perputaran uang yang terjadi
pada sektor yang menjadi fokus penelitian saja serta tidak bisa menggambarkan
keterkaitan sektor yaitu pengaruh suatu perubahan dalam satu sektor terhadap
sektor-sektor lainnya dalam perekonomian. Model input-output mampu
menjelaskan arus transaksi ekonomi dari sektor produksi ke sektor faktor-faktor
produksi, rumah tangga, pemerintah, perusahaan dan luar negeri tetapi
kelemahannya yakni tidak dapat menggambarkan dengan baik mengenai distribusi
pendapatan rumah tangga dan pendapatan faktorial. Sedangkan model SNSE
sendiri merupakan perluasan dari model I-O, keunggulan model SNSE dibanding
model I-O adalah mampu menggambarkan arus distribusi pendapatan dalam
53
perekonomian. Oleh karena itu, berdasarkan referensi yang peneliti gunakan
akhirnya peneliti memutuskan untuk menggunakan model SNSE dalam
menghitung multiplier effects dari adanya pembangunan infrastruktur desa.
Berdasarkan hasil penelusuran peneliti, belum ada penelitian yang
menggunakan data primer (studi lapangan) dalam penyusunan tabel SNSE.
Penelitian-penelitian sebelumnya menggunakan tabel SNSE yang dipublikasikan
oleh BPS dengan ditambah sumber-sumber data lainnya untuk membangun tabel
SNSE yang disesuaikan dengan kebutuhan penelitian masing-masing peneliti.
Penelitian ini dapat menggunakan data primer dalam penyusunan tabel SNSE
dikarenakan cakupan wilayah penelitian yang kecil (Desa) sehingga
memungkinkan peneliti untuk menelusuri alur perputaran uang. Selain data primer
dalam penyusunan tabel SNSE peneliti juga menggunakan data sekunder yang
berasal dari LPJ APBDes 2015. Untuk penyusunan kuesionernya peneliti merujuk
pada kuesioner SUSENAS dimana yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pengeluaran-pengeluaran yang mampu untuk ditelusuri alurnya oleh peneliti.
Diketahui bahwa uang akan terus berputar semakin banyak perputaran uang
yang terjadi maka pengaruhnya terhadap perekonomian wilayah akan hilang, maka
itu peneliti menentukan dari responden awal (memperoleh dampak langsung)
peneliti akan menelusuri alur perputaran uangnya hanya sampai lima kali putaran.
Teknik sampling yang peneliti gunakan untuk menelusuri perputaran uang adalah
snowball sampling. Perlu diketahui dalam membelanjakan uangnya seseorang tidak
hanya membelanjakan di satu tempat saja melainkan ke banyak tempat, maka itu
peneliti memilih unit usaha yang paling sering didatangi responden untuk belanja
54
serta jarak unit usaha yang dekat dengan responden tinggal. Dalam menelusuri
perputaran uang, perlu diingat uang tersebut tidak hanya berputar di lokasi
penelitian saja tetapi bisa mengalir ke luar wilayah (mengalami kebocoran wilayah)
maka itu dalam mengikuti alurnya peneliti membagi menjadi lokal dan non lokal.
Pembagian tersebut berguna dalam penyusunan tabel SNSE nantinya.
Penelitian ini menggunakan metode kombinasi model/desain sequential
exploratory. Tahapan pertama, peneliti mendatangi kantor desa untuk mencari
informasi dan data yang menyangkut pembangunan infrastruktur desa tahun 2015.
Dari hasil wawancara aparatur desa dan LPJ diketahui terdapat kurang lebih 80
tenaga kerja yang bekerja sebagai tukang bangunan dan kenek serta 2 unit usaha
yang memperoleh dampak langsung dari pembangunan infrastruktur desa.
Selanjutnya peneliti melakukan observasi pembangunan infrastruktur desa dimana
dari hasil observasi tersebut ditemukan 2 unit usaha baru yang muncul setelah
adanya pembangunan infrastruktur. Berdasarkan observasi yang telah dilakukan
ternyata pembangunan infrastruktur desa memiliki dampak terhadap peningkatan
kesempatan kerja dan peluang usaha. Tahapan kedua, peneliti menetapkan 7
responden awal yang terdiri dari 4 tenaga kerja, 1 unit usaha (memperoleh direct
impact) dan 2 unit usaha baru yang akan ditelusuri alurnya masing-masing
sebanyak 5 putaran. Total responden sebanyak 35 orang dengan analisis yang
digunakan adalah model SNSE.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang menuntut peneliti untuk ke
lapangan. Ketika di lapangan peneliti harus menghadapi kendala-kendala yang
muncul seperti mencari-cari alamat responden saat mengikuti alur perputaran uang
55
bahkan peneliti pernah sampai ke Kota Bogor untuk mengikuti alurnya. Selama
melakukan observasi dan pencarian data terkadang peneliti mengajak seorang
teman untuk menemani, maka itu peneliti mengucapkan terima kasih kepada teman-
teman peneliti yakni Fauziyyah Isra, Aulia Maghfiroh, Vella Wati, Ida Zuraida,
Yuni Purwanti dan Abdul Farid yang telah bersedia menemani peneliti saat
melakukan observasi dan pencarian data. Pencarian data di lapangan berakhir pada
bulan September dikarenakan peneliti masih harus bolak-balik ke kantor desa dan
lapangan untuk melengkapi data yang kurang dalam penyusunan tabel SNSE.
2. Keusioner
Kuesioner adalah pertanyaan tertulis yang harus dijawab oleh responden
secara tertulis. Jenis pertanyaan yang digunakan dalam penelitian ini yakni
pertanyaan terbuka dimana responden diberikan kebebasan untuk memberikan
jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh peneliti.
Dalam penentuan responden awal (Snowball sampling), peneliti merujuk
kepada laporan penyelenggaraan pemerintahan desa dan laporan keterangan
pertanggungjawaban untuk mengetahui siapa saja (tenaga kerja dan pelaku usaha)
yang memperoleh manfaat dari pengeluaran pemerintah desa di bidang
pembangunan infrastruktur. Selain itu, yang perlu diperhatikan yakni terkait
penyaluran dana desa sebanyak tiga tahapan di tahun 2015 yaitu pada bulan april,
agustus dan oktober dimana pembangunan infrastruktur di akhir tahun anggaran
belum bisa menciptakan aktivitas ekonomi. Oleh karenanya, peneliti menambah
cakupan tahun sampai dengan tahun 2016.
56
3. Wawancara
Wawancara adalah prosedur untuk mendapatkan informasi dan data
langsung dari sumber pertama (first hand), selain itu wawancara juga merupakan
salah satu prosedur untuk mendapatkan penjelasan serta kejelasan atas data yang
diperoleh dari pengamatan. Dalam penelitian ini, jenis wawancara yang digunakan
adalah wawancara semi-terstruktur, dimana peneliti sudah menentukan topik dan
isu secara garis besar.
Dalam penelitian kualitatif, informan adalah menunjuk pada pelaku
ekonomi yang diteliti dengan mindset untuk mendapatkan kedalaman informasi,
informasi yang berkualitas makna, sehingga diperlukan proses komunikasi,
interaksi, diskusi untuk dapat memahami makna informasi (Leksono, Sonny
2013:317). Pemilihan informan sebagai sumber informasi didasari oleh peran
sentral dari subject penelitian terhadap fenomena yang diteliti.
4. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan merupakan sumber data sekunder yang diperlukan dalam
mendukung penelitian ini, dimana data tersebut diperoleh dari berbagai dokumen,
instansi, dan studi literatur (buku, jurnal, artikel, hasil penelitian sebelumnya, dan
penelusuran melalui internet) yang berkaitan dengan Anggaran Pendapatan Belanja
Desa dan perencanaan wilayah.
57
D. Metode Analisis Data
1. Analisis Pendekatan Kualitatif
Penelitian memanfaatkan model analisis Miles dan Huberman berupa model
interaktif sebagai modus untuk mengkaji dan menelaah data dan informasi. Model
ini terdiri atas tiga kegiatan pokok yang satu sama lain saling terkait antara sebelum,
selama,dan sesudah proses pengumpulan data dan informasi, dan keseluruhannya
diperlakukan secara setara untuk mendukung wawasan umum dalam analisis.
Ketiga kegiatan tersebut yakni:
Proses reduksi data dan informasi, dengan memilih, memilah,
menyeleksi data dan informasi yang terhimpun untuk ditata dan
diolah lebih ringkas, diperoleh abstraksinya (subtansi materi) dan
proses transformasi data dan informasi kasar.
Proses penyajian dan penataan data dan informasi untuk
mendapatkan serangkaian deskripsi uraian kesimpulan dan tindak
lanjut.
Penarikan kesimpulan itu sendiri ( Idrus, Muhammad 2009:148).
58
2. Analisis Pendekatan Kuantitatif
Analisis kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
pengganda sistem neraca sosial ekonomi (SNSE). Dimana metode ini digunakan
untuk menghitung multiplier effects ekonomi yang ditimbulkan dari pengeluaran
APBDes bidang pembangunan infrastruktur. Metode SNSE sendiri, merupakan
sistem informasi statistik berbentuk matriks yang dapat memberikan gambaran
mengenai berbagai indikator sosial dan ekonomi di suatu wilayah dan dapat
menghubungkan indikator-indikator tersebut secara bersama-sama. Dimana SNSE
sebagai suatu sistem kerangka data mencakup dua hal yaitu:
Pertama, sebagai suatu sistem klasifikasi data yang komprehensif dan
konsisten. Bersifat komprehensif karena SNSE mencakup berbagai data sosial dan
ekonomi di dalam suatu kerangka data, dan sebagai sistem karena SNSE menjamin
keseimbangan (balance) dalam setiap neraca yang terdapat di dalam kerangka
SNSE.
Kedua, sebagai suatu sistem informasi statistik yang bersifat modular,
artinya dapat menghubungkan berbagai variabel yang terdapat di dalam sistem
tersebut secara kompak dan terpadu.
Dengan demikian, SNSE berupaya untuk menggambarkan keterkaitan
antara kegiatan atau struktur produksi dan pendapatan regional, distribusi
pendapatan, distribusi pendapatan rumah tangga, konsumsi, tabungan, investasi,
dan kegiatan lainnya yang dapat mempengaruhi pendapatan regional suatu wilayah
(Prihawantoro, Socia 2002:126).
59
Model SNSE sebenarnya merupakan perluasan dari model I-O (Input
Output), dimana model I-O hanya menjelaskan mengenai arus transaksi ekonomi
dari sektor produksi ke sektor faktor-faktor produksi, rumah tangga, pemerintah,
perusahaan, dan luar negeri. Akan tetapi, tidak mampu untuk menganalisis
distribusi pendapatan dan pola pengeluaran bermacam institusi (rumah tangga,
pemerintah, perusahaan). Kelemahan model I-O ini lah yang coba diselesaikan
dengan menggunakan model SNSE.
a. Kerangka Dasar Sistem Neraca Sosial Ekonomi
Social accounting matrix (SAM) atau di Indonesia dikenal dengan nama sistem
neraca sosial ekonomi (SNSE) merupakan sebuah matriks yang merangkum neraca-
neraca sosial secara menyeluruh. Kumpulan-kumpulan neraca (accounts)
dikelompokkan menjadi dua kelompok, yakni kelompok neraca endogen dan
kelompok neraca eksogen. Dimana kelompok neraca endogen dibagi dalam tiga
blok, yaitu blok neraca faktor produksi (modal dan tenaga kerja), blok neraca
institusi (rumah tangga, pemerintah dan perusahaan) dan blok neraca aktivitas
(kegiatan) produksi. Sementara itu, blok neraca eksogen terdiri dari neraca modal
dan rest of the world (ROW). Adapun kerangka dasar SNSE dapat dilihat pada tabel
3.1.
60
Tabel 3.1.
Kerangka Dasar SNSE Indonesia
Penerimaan
Pengeluaran
Neraca Endogen
Neraca
Eksogen
Jumlah
Faktor
Produksi
Institusi
Sektor
Produksi
1 2 3 4 5
Ner
aca
En
dog
en
Faktor
Produksi
1
0 0 T13
Alokasi
nilai
tambah ke
faktor
produksi
X1
Pendapata
n faktor
produksi
dari luar
negeri
Y1
Distribusi
Pendapata
n faktorial
Institusi
2
T21
Alokasi
Pendapata
n faktor ke
institusi
T22
Transfer
antar
institusi
0 X2
Transfer
dari luar
negeri
Y2
Distribusi
pendapatan
institusion
al
Sektor
Produksi
3
0 T32
Penerimaa
n domestik
T33
Penerimaa
n antara
X3
Ekspor &
investasi
Y3
Total
output
menurut
sektor
produksi
Neraca
Eksogen
4
L1
Alokasi
pend.faktor
ke luar
negeri
L2
Tabungan
pemerintah
, swasta &
rumah
tangga
L3
Impor &
pajak tak
langsung
L4
Transfer
lainnya
Y4
Total
penerimaa
n neraca
lainnya
Jumlah
5
Y’1
Distribusi
pengeluara
n faktor
Y’2
Distribusi
pengeluara
n institusi
Y’3
Total input
Y’4
Total
pengeluara
n lainnya
Sumber: Daryanto (2010)
Setiap neraca dalam SNSE disusun dalam bentuk baris dan kolom. Vektor
baris menunjukkan perincian penerimaan, sedangkan vektor kolom menunjukkan
perincian pengeluaran. Untuk kegiatan yang sama, jumlah baris sama dengan
61
jumlah kolom. Dengan kata lain, jumlah penerimaan sama dengan pengeluaran.
Susunan SNSE secara sederhana dapat dilihat pada tabel 3.1. dimana untuk setiap
baris, kolom 5 merupakan penjumlahan kolom 1, 2, 3, dan 4. Demikian pula untuk
setiap kolom, baris 5 merupakan penjumlahan baris 1, 2, 3, dan 4. Karena jumlah
penerimaan sama dengan pengeluaran, maka baris 5 merupakan transpose dari
kolom 5.
Di dalam tabel SNSE (lihat tabel 3.1) terdapat beberapa matriks. Matriks T
merupakan matriks transaksi antar blok dalam neraca endogen. Matriks X
menunjukkan pendapatan neraca endogen dari neraca eksogen. Matriks L
memperlihatkan pengeluaran neraca endogen untuk neraca eksogen, disebut juga
leakages. Matriks Y merupakan pendapatan total dari neraca endogen, sedangkan
matriks Y’ merupakan pengeluaran total dari neraca endogen.
Dari tabel SNSE, distribusi pendapatan neraca endogen dapat dirinci
menjadi:
Jumlah pendapatan faktor produksi Y1 = T13 + X1........................................ (1)
Jumlah pendapatan institusi Y 2= T21 + T22 + X2...........................(2)
Jumlah pendapatan kegiatan produksi Y3 = T32 + T33 + X3......................... (3)
Sedangkan distribusi pengeluaran neraca endogen dapat dirinci menjadi:
Jumlah pengeluaran faktor produksi Y’1 = T21 + L1.......................... (4)
Jumlah pengeluaran institusi Y’2 = T22 + T32 + L2................. (5)
Jumlah pengeluaran kegiatan produksi Y’3 = T13 + T33 + L3................. (6)
62
Matriks T sebagai matriks transaksi antar blok di dalam neraca endogen
dapat ditulis ringkas yaitu:
0 0 T13
T = T21 T22 0 ......................................................................... (7)
0 T32 T33
Sebagai salah satu submatriks dari SNSE, matriks T juga menggambarkan
transaksi penerimaan dan pengeluaran dengan lingkup yang lebih sempit, yakni di
dalam neraca endogen.
Jika dibaca menurut baris, matriks T pada persamaan (7) menunjukkan
penerimaan salah satu blok dari blok yang lain. Pada baris pertama, T13
memperlihatkan penerimaan faktor produksi dari kegiatan produksi. Pada baris
kedua, T21 mengambarkan penerimaan institusi dari faktor produksi dan T22
merefleksikan penerimaan institusi dari institusi itu sendiri. Pada baris ketiga, T32
memperlihatkan penerimaan kegiatan produksi dari institusi dan T33 menunjukkan
kegiatan produksi untuk kegiatan produksi itu sendiri.
Ditinjau dari sama tidaknya blok yang bertransaksi, maka di dalam matriks
transaksi T di atas terdapat transaksi yang terjadi antar blok yang berbeda ( T13, T21,
T32 ) dan di dalam blok yang sama ( T22 dan T33 ) dimana dapat dilihat pada gambar
3.1.
63
Institusi
Gambar 3.1.
Transaksi Antarblok dalam SNSE
Kegiatan Produksi
T32 T13
T21
Sumber: Prihawantoro (2002)
b. Model Pengganda Neraca
Matriks transaksi T menunjukkan aliran penerimaan dan pengeluaran yang
dinyatakan dalam satuan moneter. Apabila setiap sel dalam matriks T dibagi dengan
jumlah kolomnya, maka akan didapatkan sebuah matriks baru yang menunjukkan
besarnya kecenderungan rata-rata pengeluaran (average expenditure propensities).
Apabila besarnya kecenderungan rata-rata pengeluaran yang dinotasikan sebagai
Aij dan dianggap sebagai perbandingan antara pengeluaran sektor j terhadap sektor
i dengan pengeluaran j (Yj), maka:
Aij = Tij / Yj .............................................................................................. (8)
Atau dalam bentuk matriks adalah sebagai berikut:
T33
Faktor
Produksi T22
64
0 0 A13
Am = A21 A22 0 ................................................................... (9)
0 A32 A33
Jika persamaan 1 dibagi dengan Y, maka persamaan tersebut menjadi:
Y / Y = T / Y + X / Y
1 = ( T / Y ) + ( X / Y ) ..................................................................... (10)
Oleh karena A = ( T / Y ), maka persamaan di atas dapat ditulis sebagai
berikut:
I = A + ( X / Y )
I – A = X / Y
( I – A ) Y = X
Y = ( I – A)-1 X ....................................................................................... (11)
Jika Ma = ( I – A )-1, maka:
Y = Ma X ................................................................................................ (12)
Dimana Ma = (I – A )-1 merupakan matriks accounting multiplier
(pengganda neraca) yang memperlihatkan pengaruh perubahan pada sebuah sektor
terhadap sektor lainnya setelah melalui keseluruhan SNSE.
Melalui matriks multiplier Ma di atas, dapat dilakukan berbagai hitungan
untuk memperoleh bermacam-macam jenis multiplier ekonomi yang dapat
65
digunakan untuk menggambarkan seberapa besar hubungan antar aktivitas ekonomi
dalam suatu perekonomian secara menyeluruh. Multiplier yang dimaksud adalah:
1. Multiplier Nilai Tambah
Multiplier nilai tambah menunjukkan seberapa besar pengaruh dari suatu
unit usaha (sektor produksi) terhadap tingkat penyerapan tenaga kerja dan
modal yang digunakan dalam kegiatan ekonomi masing-masing sektor.
Nilai ini diperoleh dengan menjumlahkan koefisien matriks pengganda
neraca pada blok faktor produksi sepanjang kolom unit usaha ke-i.
2. Multiplier Pendapatan Rumah Tangga
Multiplier pendapatan rumah tangga menunjukkan besarnya pengaruh suatu
unit usaha (sektor produksi) terhadap pendapatan rumah tangga. Nilai ini
diperoleh dengan menjumlahkan koefisien matriks pengganda neraca pada
blok institusi sepanjang kolom unit usaha ke-i.
3. Multiplier Pendapatan Rumah Tangga terhadap Sektor
Multiplier pendapatan rumah tangga terhadap unit usaha (sektor produksi)
menunjukkan peranan dari konsumsi rumah tangga terhadap perkembangan
unit usaha (konsumsi dan non konsumsi). Nilai ini diperoleh dengan
menjumlahkan koefisen matriks pengganda neraca pada blok unit usaha
sepanjang kolom institusi ke –i.
4. Multiplier Keterkaitan terhadap Sektor Sendiri dan Multiplier Keterkaitan
Antar Sektor
Multiplier keterkaitan terhadap sektor sendiri dan multiplier keterkaitan
antar sektor dapat dianalisis melalui nilai multiplier produksi. Nilai own
66
income multiplier diperoleh dari koefisien matriks pengganda neraca hanya
pada baris dan kolom masing-masing sektor yang sama. Nilai other sector
linkage multiplier di dapat dari selisih antara multiplier produksi dengan
own income multiplier sepanjang kolom unit usaha ke – i pada blok unit
usaha.
5. Multiplier Produksi
Multiplier produksi menunjukkan besarnya pengaruh suatu sektor terhadap
perubahan total output produksi dalam perekonomian. Nilai ini diperoleh
dengan menjumlahkan koefisien matriks pengganda neraca pada blok unit
usaha sepanjang kolom unit usaha ke –i.
6. Multiplier Total
Multiplier total menunjukkan besarnya pengaruh suatu unit usaha (sektor
produksi) terhadap perubahan output regional. Nilai ini diperoleh dengan
menjumlahkan seluruh pengganda neraca sepanjang kolom unit usaha ke –
i.
c. Dekomposisi Pengganda
Selain analisis pengganda neraca, penelitian ini juga melakukan analisis
mengenai dekompisisi pengganda. Dimana dekomposisi pengganda dilakukan
untuk menunjukkan tahap atau proses perubahan neraca endogen sebagai akibat
dari perubahan neraca eksogen. Pyatt and Round (1985) dalam Daryanto (2010)
melakukan dekomposisi terhadap matriks accounting multiplier Ma , dimana
hasilnya dalam bentuk multiplikatif:
67
Ma = Ma3 Ma2 Ma1 .................................................................................. (13)
Secara aditif dapat ditulis:
Ma = I + ( Ma1 – I ) + ( Ma2 – I ) Ma1 + ( Ma3 – I ) Ma2 Ma1 .................... (14)
Dimana:
I = Injeksi awal
Ma1 – I = Net contribution of transfer multiplier
( Ma2 – I ) Ma1 = Effect multiplier-cross atau loop open of on contribution net
(Ma3 – I ) Ma2 Ma1 = Effect multiplier loop-closed atau circular of contribution net
Adapun secara berurutan matriks Ma1 , Ma2 dan Ma3 dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1.) Pengganda Transfer ( Ma1 )
Pengganda transfer ( Ma1 ) menunjukkan pengaruh dari satu blok (grup)
neraca pada dirinya sendiri, yang dapat dirumuskan:
Ma1 = ( I – A0 )-1 ...................................................................................... (15)
A0 merupakan matriks diagonal dari matriks A
0 0 0
A0 = 0 A22 0 .................................................................... (16)
0 0 A33
68
Sehingga dalam bentuk matriks:
1 0 0
Ma1 = 0 ( I – A22 )-1 0 .................................................... (17)
0 0 ( I – A33 )-1
Melalui pengganda transfer ( Ma1 ), dapat diketahui pengaruh injeksi pada
sebuah sektor terhadap sektor lain dalam satu blok yang sama, setelah melalui
keseluruhan sistem dalam blok tersebut, sebelum berpengaruh terhadap blok yang
lain. Dalam memahami Ma1 diasumsikan bahwa injeksi pada suatu sektor hanya
berpengaruh terhadap sektor-sektor lain dalam satu blok yang sama dan tidak
terhadap sektor-sektor lain pada blok yang berbeda.
Dalam matriks Ma1 pada persamaan (17), dapat dilihat besarnya pengganda
pada masing-masing blok. Pada blok kegiatan produksi misalnya, besarnya
pengaruh transfer adalah ( I – A33 )-1. Ini berarti setiap injeksi pada salah satu sektor
produksi yang lain sebesar injeksi tersebut dikalikan dengan ( I – A33 )-1. Pada blok
institusi, besarnya pengaruh transfer adalah ( I – A22 )-1, yang dapat diartikan bahwa
setiap injeksi pada salah satu institusi akan berpengaruh pada institusi yang lain
sebesar injeksi tersebut dikalikan dengan ( I – A22 )-1. Sementara pada blok faktor
produksi, besarnya pengganda transfer adalah I. Yang memiliki arti bahwa injeksi
pada salah satu faktor produksi hanya akan berpengaruh terhadap faktor produksi
yang diinjeksi tersebut dan tidak berpengaruh terhadap faktor produksi yang lain.
69
2.) Pengganda Open Loop ( Ma2 )
Pengganda open loop menunjukkan pengaruh dari satu blok ke blok lain.
Injeksi pada salah satu sektor dalam sebuah blok tertentu akan berpengaruh
terhadap sektor lain di blok yang lain setelah melalui keseluruhan sistem dalam blok
lain tersebut. Ma2 dapat dirumuskan sebagai berikut:
Ma2 = ( I – A* + A*2 ) ............................................................................... (18)
Dimana A* = ( I – A0 )-1 ( A – A0 ) Y
Sehingga A* merupakan sebuah matriks dengan:
A*13 = A13 ................................................................................................ (19)
A*21 = ( I – A22 )
-1 A21 .............................................................................. (20)
A*32 = ( I – A33 )
-1 A32 .............................................................................. (21)
Sedangkan sel yang lain berisi angka (matriks) nol, maka penulisan untuk
matriks A0 sebagai berikut:
0 0 A*13
A0 = A*21 0 0 ....................................................................... (22)
0 A*32 0
Dengan demikian, maka pengaruh open loop dapat ditulis lengkap sebagai:
I A*13 A
*32 A*13
Ma2 = A*21 I A
*21 A
*13 .......................................... (23)
A*32 A*21 A
*32 I
70
Berdasarkan persamaan (23), pengganda open loop memiliki pengertian
yakni jika terjadi kenaikan pendapatan pada blok kegiatan produksi (dilakukan
injeksi terhadap salah satu sektor produksi) akan berpengaruh terhadap pendapatan
blok faktor produksi dengan pengganda sebesar A*13 . Kenaikan pendapatan pada
blok faktor produksi ( Y1 ) berpengaruh terhadap pendapatan blok institusi ( Y2 )
dengan pengganda sebesar A*21 . Kenaikan pendapatan pada blok institusi ( Y2 )
berpengaruh terhadap pendapatan blok kegiatan produksi ( Y3 ) dengan pengganda
sebesar A*32 .
Pengaruh faktor produksi ( Y1 ) terhadap kegiatan produksi ( Y3 ) terjadi
melalui perantara blok institusi ( Y2 ) dengan pengganda sebesar A*32 A*21 .
Sementara pengaruh blok institusi ( Y2 ) terhadap faktor produksi ( Y1 ) terjadi
melalui perantara kegiatan produksi ( Y3 ) dengan pengganda sebesar A*13 A
*32 .
Sedangkan pengaruh kegiatan produksi ( Y3 ) terhadap blok institusi ( Y2 ) terjadi
melalui perantara faktor produksi ( Y1 ) dengan pengganda sebesar A*21 A
*13 .
71
Gambar 3.2.
Struktur Pengganda
Sumber: Prihawantoro (2002)
3.) Pengganda Close Loop ( Ma3 )
Pengganda close loop menunjukkan pengaruh dari suatu blok ( neraca ) ke
blok lain ( neraca lain ), untuk kemudian kembali pada blok ( neraca ) semula. Ma3
dapat ditulis sebagai berikut:
Ma3 = ( I – A*3 )
-1
Dimana matriks Ma3 dapat ditulis lengkap sebagai berikut:
( I – A*13 A
*32 A
*21 )
-1 0 0
Ma3 = 0 ( I – A*21 A
*13 A
*32 )
-1 0 ........... (24)
0 0 ( I – A*32 A
*21 A
*13 )
-1
X1
I
Y1
Y2 Y3
A*21 A*13
A*32
( I – A22 )-1 ( I – A33 )-1
X2 X3
72
Injeksi pada faktor produksi akan berpengaruh pada sektor-sektor lain pada
blok institusi, kemudian berpengaruh pada blok kegiatan produksi dan akhirnya
berpengaruh kembali kepada blok faktor produksi. Satu putaran dari blok faktor
produksi kembali ke blok faktor produksi inilah yang disebut sebagai pengganda
close loop faktor produksi dengan pengganda sebesar ( I – A*13 A*
32 A*21 )-1 .
Sementara pengganda close loop untuk blok institusi dan blok kegiatan produksi
secara berurutan memiliki pengganda sebesar ( I – A*21 A
*13 A
*32 )
-1 dan ( I – A*32
A*21 A
*13 )
-1 .
d. Kebocoran Wilayah
Untuk melakukan analisis potensi dan dampak kebocoran dari pengeluaran
pemerintah desa di bidang pembangunan infrastruktur terhadap perekonomian
wilayah dapat dilakukan dengan melakukan analisis pada tabel SNSE desa
Waringin Jaya tahun 2015. Kebocoran wilayah dari adanya pembangunan desa
dapat dilihat dengan menghitung rasio pendapatan antara modal dan tenaga kerja.
Kriteria lainnya yang dapat digunakan untuk melihat adanya kebocoran
wilayah yaitu dengan indeks keterkaitan kedepan (forward linkage). Dimana nilai
indeks keterkaitan kedepan yang rendah atau kecil dari rata-rata seluruh sektor (<1)
mengindikasikan pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur mengalami
kebocoran wilayah. Sebaliknya bila nilai keterkaitan kedepan (forward linkage)
yang tinggi atau lebih besar dari rata-rata seluruh sektor (> 1) maka pengeluaran
pemerintah untuk infrastruktur tidak mengalami kebocoran wilayah (Aris, Ahmad
2011:85).
73
E. Operasional Variabel Penelitian
Pengertian perekonomian adalah aktivitas manusia yang berhubungan
langsung dengan konsumsi, distribusi dan produksi barang dan jasa. Adapun
perekonomian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah aktivitas ekonomi yang
terjadi di desa Waringin Jaya. Indikator yang peneliti gunakan adalah nilai tambah
faktor produksi/PDRB yang dihitung menggunakan multiplier nilai tambah
(VAM), pendapatan rumah tangga yang dihitung menggunakan multiplier
pendapatan rumah tangga (HIIM), pendapatan sektor produksi yang dihitung
menggunakan multiplier pendapatan rumah tangga terhadap sektor (HIMS),
keterkaitan antar sektor produksi yang dihitung menggunakan multiplier
keterkaitan terhadap sektor sendiri (OIM) dan multiplier keterkaitan antar sektor
(OSLM) serta output yang dihitung menggunakan multiplier produksi (PROM) dan
multiplier total (GOM).
Distribusi pendapatan ialah suatu proses penyaluran (sebagian hasil
penjualan produk) kepada faktor-faktor produksi yang ikut menentukan
pendapatan. Distribusi pendapatan adalah bagaimana tingkat penyebaran
pendapatan disuatu wilayah terjadi. Adapun distribusi pendapatan yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah penelusuran aliran distribusi pendapatan antar neraca
endogen. Dimana dalam penelitian ini distribusi pendapatan adalah tahapan/proses
perubahan neraca endogen diakibatkan oleh perubahan neraca eksogen yang diukur
menggunakan dekomposisi pengganda neraca yang terdiri dari pengganda transfer
(Ta), pengganda lompatan terbuka (Oa) dan pengganda lompatan tertutup (Ca).
74
Definisi kebocoran wilayah adalah suatu kondisi terjadinya aliran nilai
tambah ke luar wilayah karena adanya potensi nilai tambah yang tidak dapat
dimanfaatkan secara optimal, sehingga menyebabkan kecilnya multiplier yang
dapat ditimbulkan dari kegiatan ekonomi suatu wilayah. Kebocoran wilayah dalam
penelitian ini dilihat dari indikasi kebocoran wilayah pengeluaran pemerintah untuk
infrastruktur berdasarkan rasio pendapatan antara modal dan tenaga kerja dan
indikasi kebocoran wilayah pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur
berdasarkan forward leakages.
Tabel 3.2.
Operasional Variabel Penelitian
Variabel Indikator
Perekonomian Desa 1. Nilai Tambah Faktor Produksi/PDRB
2. Pendapatan Rumah Tangga
3. Pendapatan Sektor Produksi
4. Keterkaitan antar Sektor Produksi
5. Output
Distribusi Pendapatan Penelusuran aliran distribusi pendapatan antar
neraca endogen
Kebocoran Wilayah 1. Rasio pendapatan antara modal dan
tenaga kerja
2. Forward Leakages
Sumber: Data diolah, 2017
75
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Kondisi Geografis
Desa Waringin Jaya merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan
Bojong Gede Kabupaten Bogor dengan luas 175 ha. Bentuk wilayahnya terdiri dari
dataran rendah yang mencapai 80% dan 20% merupakan wilayah berombak. Desa
Waringin Jaya berada pada ketinggian 60 meter dari permukaan laut (mdpl) dengan
curah hujan 500mm/tahun serta suhu rata-rata berkisar 400C. Wilayah administratif
terdiri dari 3 Dusun, 13 Rukun Warga (RW), dan 72 Rukun Tetangga (RT) yang
berada di 4 Kampung yaitu; Kampung Tanah Baru, Kampung Waringin Jaya,
Kampung Waringin Jaya Lebak dan Kampung Gelonggong. Adapun batas wilayah
desa Waringin Jaya dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1. Batas Wilayah Desa Waringin Jaya
Batas Wilayah Desa
Utara Desa Kedung Waringin
Selatan Desa Cilebut Barat/Cilebut Timur
Timur Kelurahan Karadenan
Barat Desa Cimanggis
Sumber: Profil Desa Waringin Jaya Tahun 2015
Desa Waringin Jaya terletak 3.5 Km dari Ibukota Kecamatan Bojong Gede
dan berjarak 6 Km dari Ibukota Kabupaten Bogor. Desa Waringin Jaya yang berada
di Provinsi Jawa Barat, terletak 120 Km dari Ibukota Provinsi Jawa Barat dan
terletak 60 Km dari Ibukota Negara Republik Indonesia (lihat tabel 4.2).
76
Tabel 4.2. Orbitasi Desa Waringin Jaya
Orbitasi Jarak (Km)
Ibukota Kecamatan Bojong Gede 3.5
Ibukota Kabupaten Bogor 6
Ibukota Provinsi Jawa Barat 120
Ibukota Negara RI 60
Sumber: Profil Desa Waringin Jaya Tahun 2015
Pemanfaatan lahan di desa Waringin Jaya lebih banyak digunakan untuk
perumahan/pemukiman warga dengan persentase sebesar 87.2%. Hal ini
dikarenakan jarak desa Waringin Jaya yang dekat dengan Ibukota Negara menjadi
daya tarik bagi warga pendatang yang umumnya bekerja di sekitar wilayah Ibukota
Negara yang mencari hunian dengan harga terjangkau. Dengan terus meningkatnya
warga pendatang yang berasal dari luar desa dan menetap di Desa Waringin Jaya
membuat bisnis di bidang property (perumahan) mengalami peningkatan dari tahun
ke tahun. Adapun beberapa perumahan yang ada di Desa Waringin Jaya diantaranya
adalah Ambar Waringin Jaya, Cluster Pondok Family, Darussalam, Griya Tonjong
Asri, Griya Waringin Elok, Puri Arta Sentosa, Villa Hijau, Villa Mutiara dan Villa
Palem Asri.
Tabel 4.3. Pemanfaatan Lahan Desa Waringin Jaya Tahun 2015
Tata Guna Lahan Luas (Ha) Persentase (%)
Pemukiman 152.55 87.2
Pekarangan 7.75 4.4
Tanah Sawah 7.5 4.3
Pemakaman 1.7 1.0
Situ 1.5 0.9
Kolam/Empang/Balong 4 2.2
Jumlah 175 100
Sumber: Profil Desa Waringin Jaya Tahun 2015
77
2. Kondisi Demografi, Pendidikan, Sosial dan Mata Pencaharian
Jumlah penduduk Desa Waringin Jaya Kecamatan Bojong Gede Kabupaten
Bogor tahun 2015 memiliki jumlah penduduk sebanyak 11.905 jiwa, dengan jumlah
penduduk laki-laki sebanyak 6.091 jiwa (51.2%) dan jumlah penduduk perempuan
sebanyak 5.814 jiwa (48.8%).
Tabel 4.4. Jumlah dan Persentase Penduduk Desa Waringin Jaya
Penduduk Jumlah (Jiwa) Persentase (%)
Laki-laki 6091 51.2
Perempuan 5814 48.8
Jumlah 11905 100
Sumber: Profil Desa Waringin Jaya Tahun 2015
Untuk struktur umur di desa Waringin Jaya dibagi ke dalam kelompok umur
produktif dan kelompok umur non produktif. Adapun warga desa Waringin Jaya
yang termasuk ke dalam kelompok umur produktif berjumlah 7930 jiwa, sedangkan
warga yang termasuk dalam kelompok umur non produktif berjumlah 637 jiwa.
Berdasarkan jumlah penduduk tersebut dapat dikategorikan bahwa masyarakat di
desa Waringin Jaya termasuk ke dalam penduduk dengan umur produktif. Hal ini
dapat dilihat dari jumlah penduduk di desa Waringin Jaya yang didominasi oleh
kelompok umur 20 sampai dengan umur 54 tahun.
78
Tabel 4.5. Jumlah Penduduk Menurut Umur Desa Waringin Jaya 2015
Kelompok Umur Jumlah (n) Persentase (%)
0-4 283 2.4
>5 - >19 2419 20.3
>20 - >34 3578 30.0
>35 - >54 3281 27.6
>55 - >59 789 6.7
>60 1555 13.0
Jumlah 11905 100
Sumber: Profil Desa Waringin Jaya Tahun 2015
Penduduk desa Waringin Jaya beragama Islam dengan persentase sebesar
99%, sedangkan untuk penduduk beragama Katholik sebesar 0.99% dan untuk
penduduk beragama Hindu sebesar 0.03%. Sebagian besar penduduk di Kabupaten
Bogor adalah etnis Sunda tetapi dengan banyaknya pendatang yang menetap di desa
Waringin Jaya menjadikan desa Waringin Jaya dihuni oleh beragam etnis
diantaranya etnis Betawi dan Jawa.
Tabel 4.6. Jumlah dan Persentase Sebaran Penduduk
Desa Waringin Jaya Menurut Agama
Agama Jumlah (Jiwa) Persentase (%)
Islam 11785 99.0
Protestan 0 0
Katholik 117 0.99
Hindu 3 0.03
Budha 0 0
Jumlah 11905 100
Sumber: Profil Desa Waringin Jaya Tahun 2015
Tingkat pendidikan masyarakat desa Waringin di dominasi oleh penduduk
tamatan SMP dan SMA. Data ini menunjukkan bahwa masyarakat desa Waringin
Jaya mulai menyadari pentingnya pendidikan dengan melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi. Adapun masih terdapat masyarakat desa yang tidak tamat
79
Sekolah Dasar/SD atau tamat SD merupakan masyarakat dengan kelompok usia tua
yang mana pada zaman dahulu kesadaran akan pendidikan masih kurang ditambah
faktor kesulitan hidup dan kurangnya fasilitas pendidikan membuat masyarakat
memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan. Sedangkan untuk kelompok
masyarakat buta huruf di desa Waringin Jaya sudah tidak terdapat masyarakat buta
huruf/tidak dapat membaca.
Tabel 4.7. Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Waringin Jaya
Tingkat Pendidikan Jumlah (Jiwa) Persentase (%)
Buta Huruf 0 0
Tidak Tamat SD 265 2.2
Tamat SD/Sederajat 3562 30.2
Tamat SMP/Sederajat 3907 33.1
Tamat SMA/Sederajat 3883 32.9
Tamat Diploma (D1-D3) 127 1.0
Tamat Sarjana (S1-S2) 67 0.6
Jumlah 11811 100
Sumber: Profil Desa Waringin Jaya Tahun 2015
Untuk mata pencaharian di desa Waringin Jaya tahun 2015 sangat beragam.
Dimana sebagian besar penduduk desa bekerja sebagai pegawai/karyawan swasta
dan wiraswasta. Banyaknya masyarakat yang bekerja sebagai pegawai/karyawan
swasta didukung oleh letak desa yang tidak jauh dari Ibukota Negara yang membuat
mobilitas masyarakat menjadi lebih mudah. Sedangkan untuk masyarakat bermata
pencaharian sebagai wiraswasta faktor yang mempengaruhi adalah pemanfaatan
lahan di desa Waringin Jaya sebagian besar digunakan untuk pemukiman penduduk
yang membuka peluang untuk tumbuhnya aktivitas ekonomi melalui perdagangan
(barang dan jasa). Usaha dari wiraswasta di desa Waringin Jaya terdiri dari
kios/toko, warung, rumah makan, bengkel dan sebagainya.
80
Tabel 4.8. Mata Pencaharian Masyarakat Desa Waringin Jaya
Mata Pencaharian Jumlah (n) Persentase (%)
Petani 75 1.17
Pengusaha 50 0.8
Pengrajin 45 0.7
Buruh Industri 87 1.3
Buruh Bangunan 417 6.5
Pegawai/Karyawan Swasta 2857 44.4
Wiraswasta 2679 41.6
PNS 159 2.4
TNI/POLRI 11 0.2
Pensiunan TNI/POLRI/PNS 3 0.04
Guru 47 0.8
Bidan/Mantri Kesehatan 2 0.03
Jumlah 6432 100
Sumber: Profil Desa Waringin Jaya Tahun 2015
3. Sarana dan Prasarana Wilayah
Pembangunan sarana dan prasarana di desa Waringin Jaya bertujuan untuk
mempermudah masyarakat desa dalam beraktivitas. Dengan semakin
meningkatnya pembangunan sarana dan prasarana akan berdampak pada tingkat
kesejahteraan masyarakat. Sarana dan prasarana yang ada di desa Waringin Jaya
terdiri dari prasarana perekonomian, prasarana kesehatan, prasarana pendidikan dan
prasarana perhubungan yang dapat dilihat pada tabel 4.9.
81
Tabel 4.9. Jumlah Sarana dan Prasarana Desa Waringin Jaya
Sarana dan Prasarana Jumlah
Prasarana Perekonomian
• Toko/Kios 17
• Warung 451
• Rumah Makan 5
• Bengkel 5
Prasarana Kesehatan
• Rumah Bersalin 2
• Posyandu 12
Prasarana Pendidikan
• Taman Kanak-Kanak 8
• TPA 5
• MI Swasta 3
• SD Negeri 1
• SD Swasta 4
• MTs Swasta 3
• SMP Swasta 3
• MA Swasta 1
• SMK Swasta 1
Prasarana Perhubungan
• Jalan Aspal 3.0 (Km)
• Jalan Beton 2.0 (Km)
• Jalan Sirtu 2.0 (Km)
• Jalan Tanah 3.0 (Km)
Sumber: Profil Desa Waringin Jaya Tahun 2015
4. Pemerintahan Desa Waringin Jaya
Pemerintahan desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Penyelenggaraan pemerintahan desa dilakukan oleh Kepala
Desa yang dibantu oleh perangkat desa yang terdiri atas unsur Sekertariat Desa,
unsur Pelaksana Kewilayahan dan unsur Pelaksana Teknis. Dimana struktur
pemerintahan desa Waringin Jaya dapat dilihat pada gambar 4.1.
82
Gambar 4.1. Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Waringin Jaya
5. Pembangunan Infrastruktur Desa Waringin Jaya Tahun Anggaran 2015
Berdasarkan laporan akhir tahun pemerintahan desa Waringin Jaya tahun
anggaran 2015, program pembangunan desa mencakup pembangunan infrastruktur
jalan, pembangunan posyandu, renovasi kantor desa dan bantuan perbaikan rumah
tidak layak huni (Rutilahu). Adapun untuk kegiatan pembangunan infrastruktur
jalan lokasi yang menjadi prioritas berada pada RW 04, 05, 06 dan 09 dengan total
Kepala Desa
Rohmat
BPD
H. Toto
LPM
Sanudin
SEKDES
Rusdiyono
U. Tata Usaha
Kepala: Tuti Fatimah
Staf: Ardiansyah
U. Keuangan
Jaini Saputra
U. Perencanaan
Kepala: Tarmuji
Staf: Haryanto
Seksi Pemerintahan
Kepala: M. Taufiq
Staf: M. Haris
Seksi KesRa
Kepala: Muhali
Staf: M. Uwang
Seksi Pelayanan
Aqhar Munir
Dusun I
H. Sukmaja
Dusun II
Sulaeman
Dusun III
Duloh
RW dan RT RW dan RT RW dan RT
83
pembangunan jalan sebanyak 7 titik serta pembangunan posyandu sebanyak 4 unit
yang berada pada RW 03, 06, 010 dan 011. Sedangkan untuk bantuan perbaikan
rumah tidak layak huni (Rutilahu) berlokasi di 6 RW. Dimana rincian kegiatan dan
sumber dana pembangunan desa Waringin Jaya tahun anggaran 2015 dapat dilihat
pada tabel 4.10.
Tabel 4.10. Kegiatan dan Sumber Dana Pembangunan Desa
Waringin Jaya Tahun Anggaran 2015
No. Uraian Anggaran (Rp) Sumber Dana
1. Betonisasi Jalan Desa (RW 05) 100.000.000 Dana Provinsi
2. Betonisasi Jalan Lingkungan (RW 06) 50.000.000 APBD
3. Rutilahu (di 6 RW) 200.000.000 APBD
4. Renovasi Kantor Desa 78.200.000 ADD
5. Betonisasi Jalan Lingkungan (RW 04,
06, 09) 191.755.500 Dana Desa
6. Pembangunan Posyandu (RW 03, 06,
10, 11) 115.000.000 Dana Desa
Jumlah 734.955.500
Sumber: Laporan akhir tahun pemerintahan desa Waringin Jaya TA 2015 (Diolah)
Sumber dana untuk kegiatan pembangunan desa di desa Waringin Jaya
seluruhnya berasal dari dana transfer baik yang berasal dari pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah. Dimana sumber dana tersebut terdiri dari dana
Provinsi, APBD, Alokasi Dana Desa dan Dana Desa. Berdasarkan UU No. 6 Tahun
2014 Tentang Desa, setiap desa memperoleh tambahan pendapatan berupa Dana
Desa. Adapun untuk tahun anggaran 2015 desa Waringin Jaya memperoleh transfer
dari pemerintah pusat dalam bentuk dana desa sebesar Rp 306.777.862 yang mana
dana tersebut digunakan untuk membiayai program pembangunan desa.
84
B. Pendefinisian Klasifikasi
Sebelum ketahap pembahasan, peneliti terlebih dahulu ingin menjelaskan
mengenai konsep dan definisi yang digunakan dalam menyusun kerangka SNSE
desa Waringin Jaya tahun 2015 dimana penyusunan kerangka SNSE ini bertujuan
untuk menjelaskan mengenai dampak dari pengeluaran pemerintah desa untuk
infrastruktur terhadap aktivitas ekonomi desa tersebut. Kerangka SNSE desa
Waringin Jaya berukuran 12x12, yang terdiri atas blok neraca faktor produksi, blok
neraca institusi, blok neraca unit usaha dan blok neraca eksogen.
Blok faktor produksi terdiri atas tenaga kerja dan modal dengan jumlah
neraca sebanyak 5 neraca yang terdiri dari 4 neraca tenaga kerja dan 1 neraca modal.
Untuk penentuan klasifikasi tenaga kerja didasarkan pada pertimbangan-
pertimbangan yakni pertama, peneliti menyesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi
dilokasi penelitian yang mana berdasarkan hasil observasi jumlah tenaga kerja
pertanian sedikit ini dikarenakan lahan pertanian sudah beralih fungsi menjadi
perumahan. Kedua, kurang lengkapnya data yang dimiliki pemerintah desa
membuat peneliti kesulitan untuk mengetahui rata-rata pengeluaran total tenaga
kerja. Ketiga, peneliti lebih memfokuskan kepada golongan tenaga kerja yang
memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung dari pembangunan desa.
Golongan tenaga kerja produksi, operator alat angkutan, manual dan buruh
kasar merupakan tenaga kerja diluar kegiatan pertanian tetapi hanya mencakup
tenaga kerja produksi, operator alat angkutan, buruh kasar (kuli bangunan, kuli
panggul) dan yang setingkat dengan itu. Adapun untuk golongan tenaga kerja tata
usaha, penjualan dan jasa-jasa adalah mereka yang berhubungan langsung dengan
85
pembelian dan penjualan dari segala jenis barang dan jasa, baik usaha perdagangan
besar atau eceran atas nama mereka sendiri atau mengelola atas nama pihak lain.
Sementara tenaga kerja lokal dan non lokal memiliki arti bahwa tenaga kerja lokal
merupakan masyarakat desa yang berdomisili di desa Waringin Jaya sedangkan
tenaga kerja non lokal adalah warga dari luar desa yang bekerja di desa Waringin
Jaya. Pengertian modal ialah pengeluaran unit usaha (konsumsi dan non konsumsi)
yang digunakan untuk menjalankan aktivitas produksi. Dalam hal ini yang
dimaksud adalah pembelian bahan baku oleh unit usaha.
Blok institusi terdiri atas 3 neraca rumah tangga yang dibedakan
berdasarkan tingkat pendapatannya. Pengkategorian tingkat pendapatan
berdasarkan pada pendekatan secara emik, yaitu disesuaikan dengan kondisi lokasi
penelitian. Rumah tangga pendapatan rendah adalah rumah tangga yang memiliki
pengeluaran rumah tangga (pangan dan non pangan) kurang dari 1.500.000 rupiah.
Rumah tangga pendapatan sedang adalah rumah tangga yang memiliki pengeluaran
rumah tangga (pangan dan non pangan) kurang dari 3.500.000 rupiah. Sementara
rumah tangga pendapatan tinggi adalah rumah tangga dengan pengeluaran rumah
tangga (pangan dan non pangan) lebih dari 3.500.000 rupiah.
Untuk blok unit usaha peneliti membagi kedalam kelompok usaha konsumsi
dan non konsumsi. Adapun data mengenai unit usaha di desa Waringin Jaya peneliti
peroleh dari profil desa Waringin Jaya serta observasi yang dilakukan peneliti. Unit
usaha konsumsi mencakup warung/toko, alfamart, indomaret dan rumah makan
dengan total sebanyak 473 unit usaha. Sementara unit usaha non konsumsi di desa
86
Waringin Jaya terdiri dari toko bangunan, bengkel, home industry, fotocopy,
laundry, salon dengan total sebanyak 19 unit usaha.
Blok neraca eksogen terdiri atas neraca pengeluaran pemerintah dan rest of
rural. Neraca eksogen merupakan variabel yang ingin dilihat pengaruhnya/
berdampak pada variabel endogen. Dalam penelitian ini variabel eksogen yang
diteliti adalah pengeluaran pemerintah bidang pembangunan infrastruktur. Jadi,
kerangka SNSE ini menjelaskan mengenai dampak dari pengeluaran pemerintah
desa bidang pembangunan infrastruktur terhadap perekonomian desa. Adapun
neraca rest of rural ialah hubungan ekonomi antara desa Waringin Jaya dengan
wilayah di luar desa tersebut.
87
C. Peran APBDes Bidang Pembangunan Infrastruktur terhadap
Perekonomian Desa Waringin Jaya
Untuk melihat peran APBDes bidang pembangunan infrastruktur terhadap
perekonomian desa dapat menggunakan analisis multiplier effects SNSE. Analisis
multiplier effects SNSE digunakan untuk melihat seberapa besar dampak perubahan
dari adanya injeksi pada pengeluaran pemerintah bidang pembangunan
infrastruktur (variabel eksogen) terhadap neraca endogen (faktor produksi, institusi,
unit usaha). Adapun analisis multiplier yang akan dibahas terdiri dari analisis
multiplier nilai tambah, analisis multiplier pendapatan rumah tangga, analisis
multiplier pendapatan rumah tangga terhadap sektor, analisis multiplier keterkaitan
terhadap sektor sendiri dan analisis multiplier keterkaitan antar sektor, analisis
multiplier produksi dan analisis multiplier total.
1. Multiplier Nilai Tambah (VAM)
Multiplier nilai tambah menunjukkan seberapa besar pengaruh dari suatu
unit usaha (konsumsi dan non konsumsi) terhadap tingkat penyerapan tenaga kerja
dan modal yang digunakan dalam kegiatan ekonomi masing-masing sektor. Nilai
ini diperoleh dengan menjumlahkan koefisien matriks pengganda neraca pada blok
faktor produksi sepanjang kolom unit usaha ke-i. Dimana multiplier ini dapat
menjelaskan mengenai peranan dari pengeluaran pemerintah desa di bidang
pembangunan infrastruktur terhadap perekonomian di desa Waringin Jaya tahun
2015.
88
Tabel 4.11. Multiplier Nilai Tambah pada SNSE Desa Waringin Jaya
Tahun 2015
Faktor Produksi
Unit Usaha
Konsumsi Non Konsumsi
9 10
Tk. Produksi Lokal 1 0,00036 0,00536
TK. Produksi Non Lokal 2 0,00001 0,00025
TK. Penjualan Lokal 3 0,05564 0,05475
TK. Penjualan Non Lokal 4 0,00021 0,00020
Modal 5 0,62560 0,62277
Total/VAM 0,68183 0,68336
Sumber: Data diolah, 2017
Berdasarkan hasil analisis tabel 4.11., unit usaha yang paling berpengaruh
terhadap peningkatan pendapatan tenaga kerja produksi lokal adalah unit usaha non
konsumsi dengan nilai multiplier tenaga kerja sebesar 0,00536. Nilai multiplier
tersebut memiliki arti apabila unit usaha non konsumsi diinjeksi neraca eksogennya
(pengeluaran pemerintah desa) sebesar 1 rupiah, maka akan meningkatkan
pendapatan tenaga kerja produksi lokal sebesar 0,00536 rupiah. Sebelum
membahas lebih lanjut, peneliti akan menjelaskan kembali mengenai multiplier
effect. Multiplier effect merupakan perubahan yang diberikan oleh neraca eksogen
(pengeluaran pemerintah desa) yang pada akhirnya akan memberikan pengaruh
pengganda sebesar Ma kepada neraca endogen (faktor produksi, institusi, unit
usaha). Semula neraca eksogen memberikan pengaruh pada satu atau beberapa
neraca endogen. Pada putaran selanjutnya, neraca yang terpengaruh oleh neraca
eksogen tersebut memberikan pengaruh pada neraca endogen yang lain. Demikian
seterusnya, terjadi rangkaian pengaruh dalam beberapa putaran sampai terjadi suatu
titik keseimbangan baru. Rangkain pengaruh dari putaran pertama sampai terjadi
89
titik keseimbangan baru inilah yang disebut pengganda/multiplier (Askinatin, Mien
dkk, 1999:83).
Adapun peningkatan pendapatan tenaga kerja produksi lokal lebih besar di
unit usaha non konsumsi dikarenakan variabel eksogen dalam penelitian ini adalah
mengenai dampak pembangunan infrastruktur desa maka dapat dipastikan yang
memperoleh dampak lebih besar adalah tenaga kerja yang berhubungan dengan
pembangunan. Sekarang peneliti akan mencoba menjelaskan proses multiplier pada
tenaga kerja produksi lokal. Dalam membangun infrastruktur desa, pemerintah desa
mempekerjakan kuli bangunan dan kenek (tenaga kerja produksi) kurang lebih
sebanyak 80 orang (selebihnya dilakukan dengan gotong-royong masyarakat desa).
Dari 80 orang tenaga kerja tersebut peneliti mengambil sampling sebanyak 4 orang
tenaga kerja untuk diikuti alur perputaran uangnya. Dari masing-masing tenaga
kerja tersebut akan peneliti ikuti alur perputaran uangnya sebanyak 5 kali
perputaran uang (batas yang ditentukan peneliti).
Untuk lebih memahami bagaimana proses perputaran uang peneliti akan
memberikan contohnya, dimana bapak Rohadi (39 tahun) merupakan salah satu
tenaga kerja yang bekerja dalam pembangunan infrastruktur desa (memperoleh
direct impact) dari pengeluaran rumah tangga bapak Rohadi perputaran uang
berlanjut ke warung sembako dan sayur ibu Ntin (47 tahun), dari warung ibu Ntin
perputaran uang berlanjut ke toko sayur milik bapak Tisep (37 tahun), dari toko
bapak Tisep perputaran uang berlanjut ke tenaga kerja bapak Tisep yaitu bapak
Sukarna (34 tahun), dari bapak Sukarna perputaran uang berlanjut ke warung nasi
ibu Mimin (45 tahun). Jika dicermati terlihat bahwa neraca eksogen (pengeluaran
90
pemerintah desa) mempengaruhi neraca endogen faktor produksi (tenaga kerja
produksi), neraca endogen faktor produksi akan mempengaruhi neraca endogen
institusi (rumah tangga pendapatan sedang), dari neraca endogen institusi akan
mempengaruhi neraca endogen unit usaha (konsumsi) dan seterusnya. Maka dapat
dikatakan bahwa neraca eksogen akan mempengaruhi neraca endogen dan neraca
endogen yang terpengaruh neraca eksogen akan mempengaruhi neraca endogen
lainnya. Begitulah proses rangkaian perputaran uang secara sederhana.
Akan tetapi, ada beberapa hal yang penting untuk diperhatikan saat
menelusuri perputaran uang. Pertama, ketika membelanjakan uangnya seseorang
tidak hanya membelanjakan di satu tempat melainkan keberbagai tempat. Kedua,
neraca endogen yang terpengaruh oleh neraca eksogen akan mempengaruhi neraca
endogen lainnya. Dari kedua hal tersebut akan sulit untuk mengikuti alur perputaran
uang karena banyak sekali rangkaian perputaran uang yang terbentuk. Dengan
menggunakan rumus pada model pengganda neraca dapat diketahui rangkain
pengaruh dari putaran pertama sampai terjadi titik keseimbangan baru. Jadi Ma
(pengganda neraca) merupakan matriks yang memperlihatkan pengaruh perubahan
pada suatu neraca endogen (faktor produksi, institusi, unit usaha) setelah melalui
keseluruhan rangkaian perputaran uang.
Nilai multiplier tenaga kerja produksi lokal sebesar 0,00536 pada unit usaha
non konsumsi memiliki arti bahwa apabila unit usaha non konsumsi diinjeksi neraca
eksogennya (pengeluaran pemerintah desa) sebesar 1 rupiah, maka akan
meningkatkan pendapatan tenaga kerja produksi lokal sebesar 0,00536 rupiah.
Dimana tenaga kerja yang termasuk dalam golongan tenaga kerja produksi akan
91
merasakan peningkatan pendapatan sebesar 0,00536 rupiah dari adanya
pengeluaran pemerintah desa untuk pembangunan infrastruktur. Adapun nilai
multiplier tenaga kerja produksi lokal pada unit usaha konsumsi sebesar 0,00036
rupiah, yang berarti apabila unit usaha konsumsi diinjeksi neraca eksogennya
(pengeluaran pemerintah desa) sebesar 1 rupiah, maka akan meningkatkan
pendapatan tenaga kerja produksi lokal sebesar 0,00036 rupiah.
Untuk tenaga kerja produksi non lokal, unit usaha yang paling besar
memberikan pengaruh pada peningkatan pendapatan adalah dari unit usaha non
konsumsi dengan nilai multiplier tenaga kerja sebesar 0,00025. Nilai tersebut
berarti apabila unit usaha non konsumsi diinjeksi neraca eksogennya (pengeluaran
pemerintah desa) sebesar 1 rupiah, maka akan berdampak meningkatnya
penerimaan tenaga kerja produksi non lokal sebesar 0,00025 rupiah. Dimana nilai
multiplier tenaga kerja untuk unit usaha konsumsi sebesar 0,00001, yang memiliki
arti bahwa apabila unit usaha konsumsi diinjeksi neraca eksogennya (pengeluaran
pemerintah desa) sebesar 1 rupiah akan berdampak pada peningkatan penerimaan
tenaga kerja produksi non lokal sebesar 0,00001 rupiah.
Nilai multiplier tenaga kerja produksi baik lokal maupun non lokal sangat
rendah yakni kurang dari 1 yang menandakan bahwa pembangunan infrastruktur
desa tidak dapat memberikan dampak yang signifikan bagi peningkatan pendapatan
tenaga kerja produksi. Hal ini mungkin disebabkan penciptaan lapangan kerja pada
pembangunan infrastruktur bersifat sementara hanya sampai proyek pembangunan
selesai dimana rentang waktu pengerjaan proyek pembangunan paling cepat selama
4 hari dan paling lama 21 hari. Serta besaran upah yang diterima pekerja yakni
92
untuk tenaga kerja kuli bangunan sebesar Rp 100 ribu perhari dan untuk tenaga
kerja kenek sebesar Rp 80 ribu perhari. Oleh karena durasi waktu yang sementara
ditambah upah tenaga kerja yang rendah menyebabkan dampak perputaran uang
dari pembangunan infrastruktur kurang dirasakan oleh tenaga kerja produksi.
“Saya mah teh jadi tukang udah lama, kira-kira yaa sepuluh tahunan mah
ada teh. Ya emang pekerjaan saya itu. Kemaren-kemaren di desa juga lagi ada
proyek, yaa saya alhamdulillah dipercaya pak Lurah buat koordinir temen-temen
untuk bangun jalan di desa. Kalo bapak mah teh kerjanya yaa kalo ada panggilan
aja gitu ngga tiap hari kerjanya. Kadang-kadang nunggu sebulan baru dapet ngga
nentu teh. Sekarang ini bapak lagi kerja ngebangun rumah di desa sebelah.”
(Wawancara dengan bapak Rohadi, 39 tahun pada tanggal 12 Juni 2017).
“Masalah upah kita nyerahin ke pak Lurah aja gimana baiknya. Dikasih
segitu kita mah terima-terima aja. Bersyukur... itung-itung bantu bangun desa ya
teh.” (Wawancara dengan bapak Rohadi, 39 tahun pada tanggal 12 Juni 2017).
Untuk tenaga kerja penjualan lokal paling tinggi dipengaruhi oleh unit usaha
konsumsi dengan nilai multiplier tenaga kerja sebesar 0,05564. Nilai ini berarti
apabila unit usaha konsumsi diinjeksi neraca eksogennya (pengeluaran pemerintah
desa) sebesar 1 rupiah, maka akan meningkatkan pendapatan tenaga kerja penjualan
sebesar 0,05564 rupiah. Sedangkan untuk tenaga kerja penjualan non lokal,
pengaruh paling besar diperoleh dari unit usaha konsumsi dengan nilai multiplier
tenaga kerja sebesar 0,00021 yang berarti apabila unit usaha konsumsi diinjeksi
neraca eksogennya (pengeluaran pemerintah desa) sebesar 1 rupiah maka akan
meningkatkan pendapatan tenaga kerja penjualan non lokal sebesar 0,00021 rupiah.
Pada nilai multiplier modal unit usaha yang paling besar kontribusinya
adalah unit usaha konsumsi dengan nilai multiplier sebesar 0,62560. Nilai ini
93
memiliki arti apabila unit usaha konsumsi diinjeksi neraca eksogennya
(pengeluaran pemerintah desa) sebesar 1 rupiah akan berdampak pada peningkatan
penerimaan modal sebesar 0,62560 rupiah.
Multiplier nilai tambah (VAM) merupakan penjumlahan dari nilai multiplier
tenaga kerja dan nilai multiplier modal. Dimana peran dari unit usaha non konsumsi
lebih besar pengaruhnya terhadap peningkatan pertumbuhan perekonomian di desa
Waringin Jaya jika dibandingkan peran unit usaha konsumsi. Nilai VAM unit usaha
non konsumsi sebesar 0,68336 yang berarti apabila unit usaha non konsumsi
diinjeksi neraca eksogennya (pengeluaran pemerintah desa) sebesar 1 rupiah akan
meningkatkan pertumbuhan perekonomian sebesar 0,68336, dimana sebesar
0,06058 berasal dari multiplier pendapatan tenaga kerja dan sebesar 0,62277
berasal dari multiplier pendapatan modal. Walaupun nilai VAM unit usaha non
konsumsi lebih besar dibandingkan unit usaha konsumsi, tetap saja nilai VAM unit
usaha non konsumsi kurang dari satu yang menandakan bahwa pengeluaran
pemerintah desa untuk pembangunan infrastruktur dampaknya terhadap penciptaan
nilai tambah pada perekonomian desa masih rendah.
2. Multiplier Pendapatan Rumah Tangga (HIIM)
Multiplier pendapatan rumah tangga menunjukkan besarnya pengaruh suatu
unit usaha (konsumsi dan non konsumsi) terhadap pendapatan rumah tangga. Nilai
HIIM diperoleh dengan menjumlahkan koefisien matriks pengganda neraca pada
blok institusi sepanjang kolom unit usaha ke-i. Adapun perhitungan HIIM dapat
dilihat pada tabel 4.12.
94
Tabel 4.12. Multiplier Pendapatan Rumah Tangga pada SNSE
Desa Waringin Jaya Tahun 2015
Institusi
Unit Usaha
Konsumi Non Konsumsi
9 10
RT. Pendapatan Rendah 6 0,04379 0,04385
RT. Pendapatan Sedang 7 0,16023 0,16533
RT. Pendapatan Tinggi 8 0,35938 0,35758
Total/HIIM 0,56342 0,56677
Sumber: Data diolah, 2017
Berdasarkan hasil analisis tabel 4.12, unit usaha yang paling besar perannya
dalam peningkatan penerimaan rumah tangga pendapatan rendah adalah dari unit
usaha non konsumsi dengan nilai multiplier sebesar 0,04385. Nilai ini berarti
apabila neraca eksogen unit usaha non konsumsi diberikan injeksi sebesar 1 rupiah
maka akan berdampak pada naiknya penerimaan rumah tangga pendapatan rendah
sebesar 0,04385 rupiah. Untuk rumah tangga pendapatan sedang, unit usaha yang
paling besar memberikan pengaruh adalah unit usaha non konsumsi dengan nilai
multiplier sebesar 0,16533 yang berarti apabila neraca eksogen unit usaha non
konsumsi diberikan injeksi sebesar 1 rupiah akan berdampak pada meningkatnya
penerimaan rumah tangga pendapatan sedang sebesar 0,16533 rupiah.
Sedangkan untuk rumah tangga pendapatan tinggi pengaruh paling besar
diperoleh dari unit usaha konsumsi dengan nilai multiplier sebesar 0,35938
memiliki arti apabila neraca eksogen unit usaha konsumsi diberikan injeksi sebesar
95
1 rupiah akan berdampak pada naiknya penerimaan rumah tangga pendapatan
tinggi sebesar 0,35938 rupiah.
Dari ketiga golongan rumah tangga dapat dilihat bahwa golongan rumah
tangga pendapatan tinggi baik di unit usaha konsumsi dan non konsumsi nilai
multipliernya paling tinggi dibandingkan golongan rumah tangga lainnya. Adapun
salah satu penyebab mengapa rumah tangga pendapatan tinggi pada unit usaha
konsumsi paling besar memperoleh efek multiplier adalah dikarenakan mereka
pada umumnya berstatus sebagai pemilik modal yang mempunyai bargaining
position lebih kuat dibandingkan golongan rumah tangga pendapatan rendah
(Hafizrianda,Yundi 2007:165). Sebagai contoh adalah pemilik usaha warung
tradisional dan mini market (Alfamart dan Indomaret) di desa Waringin Jaya
keduanya menjual berbagai barang kebutuhan sehari-hari. Adapun perbedaan yang
sangat tajam dari jenis usaha tersebut adalah besaran modal. Dengan modal yang
besar mini market (Alfamart dan Indomaret) memiliki bargaining position yang
lebih kuat dalam hal kelengkapan dan variasi produk yang dijual serta akses
terhadap produsen dan pemasok dimana dengan modal yang besar mereka bisa
sedikit menekan para produsen dan pemasok untuk memberikan harga yang lebih
murah/potongan harga.
Kondisi tersebut sangat berbeda dengan pemilik usaha warung tradisional,
dimana modal yang mereka miliki terbatas yang akan berpengaruh pada jumlah
produk yang mereka jual. Umumnya pelaku usaha ini bekerja sendiri atau dibantu
oleh anggota keluarga dalam menjalankan usahanya.
96
“Ibu jualan disini udah hampir setahun teh.. Yang dijual jajanan anak-anak
kaya nuget, sosis, ciki-ciki gitu.. Yang jaga warung ibu sendiri anak-anak udah
pada kerja semua teh..” (Wawancara dengan Ibu Lastri, 50 tahun pada tanggal 2
Juli 2017).
Selain itu, pemilihan lokasi usaha antara warung tradisional dan mini market
berbeda. Adapun mini market lebih banyak ditemukan pada perumahan-perumahan
yang ada di desa tersebut serta pada jalan raya. Sedangkan warung tradisional lebih
banyak ditemukan pada jalan-jalan kampung yang ada di desa (Kampung Tanah
Baru, Kampung Waringin Jaya, Kampung Waringin Jaya Lebak dan Kampung
Gelonggong).
“Awalnya ibu jualan es lilin aja sama jajanan bocah terus pas ada modal
ibu tambahin buat lengkapin warung jadi jual sembako sekarang.. Biasanya ibu-
ibu kalo belanja yang kecil-kecil aja teh kalo belanja yang agak banyak biasanya
ke toko besar lebih lengkap pilihannya..” (Wawancara dengan Ibu Romlah, 30
tahun pada tanggal 3 Juli 2017).
Dengan modal yang besar keuntungan yang didapat oleh pemilik mini
market akan jauh berbeda dengan yang diperoleh pemilik usaha warung tradisional.
Hal ini menandakan bahwa efek multiplier dari pengeluaran pemerintah desa untuk
pembangunan infrastruktur dampaknya lebih dirasakan oleh rumah tangga
pendapatan tinggi jika dibandingkan yang diperoleh rumah tangga pendapatan
rendah.
3. Multiplier Pendapatan Rumah Tangga terhadap Sektor (HIMS)
Multiplier pendapatan rumah tangga terhadap unit usaha menunjukkan
peranan dari konsumsi rumah tangga terhadap perkembangan unit usaha (konsumsi
dan non konsumsi) yang ada di desa Waringin Jaya. Analisis HIMS dapat
97
digunakan untuk melihat seberapa besar peran dari masing-masing golongan rumah
tangga terhadap peningkatan penerimaan unit usaha. Nilai HIMS diperoleh dengan
menjumlahkan koefisen matriks pengganda neraca pada blok unit usaha sepanjang
kolom institusi ke –i.
Tabel 4.13. Multiplier Pendapatan Rumah Tangga terhadap Sektor pada
SNSE Desa Waringin Jaya Tahun 2015
Unit Usaha
Institusi
RT.
Pendapatan
Rendah
RT.
Pendapatan
Tinggi
RT.
Pendapatan
Tinggi
6 7 8
Konsumsi 9 0,10532 0,03948 1,17110
Non Konsumsi 10 0,01129 0,00423 0,45629
Sumber: Data diolah, 2017
Dari hasil analisis tabel 4.13. menunjukkan golongan rumah tangga yang
paling besar pengaruhnya terhadap peningkatan pendapatan unit usaha konsumsi
yakni dari golongan rumah tangga pendapatan tinggi dengan nilai multiplier sebesar
1,17110. Nilai ini berarti apabila neraca eksogen rumah tangga pendapatan tinggi
diberikan injeksi sebesar 1 rupiah, maka akan meningkatkan pendapatan unit usaha
konsumsi sebesar 1,17110 rupiah. Kontribusi terbesar kedua berasal dari golongan
rumah tangga pendapatan rendah dengan nilai multiplier sebesar 0,10532 yang
berarti apabila neraca eksogen rumah tangga pendapatan rendah diberikan injeksi
sebesar 1 rupiah akan berdampak pada meningkatnya pendapatan unit usaha
konsumsi sebesar 0,10532 rupiah.
98
Adapun golongan rumah tangga yang memiliki pengaruh paling kecil
terhadap peningkatan pendapatan unit usaha konsumsi adalah dari golongan rumah
tangga pendapatan sedang dengan nilai multiplier sebesar 0,03948 memiliki arti
bahwa apabila neraca eksogen rumah tangga pendapatan sedang diberikan injeksi
sebesar 1 rupiah maka akan meningkatkan pendapatan unit usaha konsumsi sebesar
0,03948 rupiah.
Untuk unit usaha non konsumsi, golongan rumah tangga yang paling besar
pengaruhnya terhadap peningkatan penerimaan unit usaha tersebut adalah dari
golongan rumah tangga pendapatan tinggi dengan nilai multiplier sebesar 0,45629
yang memiliki arti apabila neraca eksogen rumah tangga pendapatan tinggi
diberikan injeksi sebesar 1 rupiah akan berdampak meningkatnya penerimaan unit
usaha non konsumsi sebesar 0,45629 rupiah.
Sedangkan golongan rumah tangga yang paling kecil dampaknya terhadap
peningkatan penerimaan unit usaha non konsumsi adalah dari golongan rumah
tangga pendapatan sedang dengan nilai multiplier sebesar 0,00423. Nilai ini
bermakna apabila neraca eksogen rumah tangga pendapatan sedang diberikan
injeksi sebesar 1 rupiah akan memberikan dampak terhadap kenaikan penerimaan
unit usaha non konsumsi sebesar 0,00423 rupiah.
4. Multiplier Keterkaitan terhadap Sektor Sendiri (OIM) dan Multiplier
Keterkaitan Antar Sektor (OSLM)
Multiplier keterkaitan terhadap sektor sendiri dan multiplier keterkaitan
antar sektor dapat dianalisis melalui nilai multiplier produksi. Dimana manfaat dari
99
own income multiplier dapat menunjukkan besarnya pengaruh suatu sektor
produksi terhadap peningkatan output pada sektor produksi itu sendiri. Nilai own
income multiplier diperoleh dari koefisien matriks pengganda neraca hanya pada
baris dan kolom masing-masing sektor yang sama. Sedangkan other sector linkage
multiplier mampu menggambarkan seberapa jauh keterkaitan ke belakang suatu
sektor produksi dengan sektor-sektor produksi lainnya. Nilai other sector linkage
multiplier di dapat dari selisih antara multiplier produksi dengan own income
multiplier sepanjang kolom unit usaha ke – i pada blok unit usaha.
Tabel 4.14. Multiplier Keterkaitan terhadap Sektor Sendiri dan Multiplier
Antar Sektor pada SNSE Desa Waringin Jaya Tahun
Sumber: Data diolah, 2017
Hasil tabel 4.14. menunjukkan bahwa untuk own income multiplier paling
tinggi berasal dari unit usaha non konsumsi dengan nilai multiplier sebesar 1,82325.
Nilai ini memiliki arti apabila neraca eksogen unit usaha non konsumsi diberikan
injeksi sebesar 1 rupiah akan berdampak pada meningkatnya pendapatan pada
sektor itu sendiri sebesar 1,82325 rupiah. Sedangkan untuk other sector linkage
Unit Usaha
Unit Usaha
Konsumsi Non Konsumsi
9 10
Konsumsi 9 1,75708 1,72918
Non Konsumsi 10 0,12262 1,82325
OIM 1,75708 1,82325
OSLM 0,12262 1,72918
PROM 1,87971 3,55243
100
multiplier unit usaha yang paling besar pengaruhnya juga berasal dari unit usaha
non konsumsi dengan nilai multiplier sebesar 1,72918 yang memberi makna apabila
neraca eksogen unit usaha non konsumsi diberikan injeksi sebesar 1 rupiah maka
penerimaan pada sektor produksi lainnya akan meningkat sebesar 1,72918 rupiah.
Dengan membandingkan nilai dari own income multiplier dan other sector
linkage multiplier dari kedua unit usaha tersebut dapat dilihat baik pada unit usaha
konsumsi maupun unit usaha non konsumsi nilai OIM lebih tinggi jika
dibandingkan nilai OSLM yang berarti bahwa unit usaha (konsumsi dan non
konsumsi) lebih besar pengaruhnya pada sektor sendiri dibandingkan
mempengaruhi sektor lainnya. Salah satu penyebab mengapa efek multiplier unit
usaha non konsumsi lebih tinggi diperoleh dari sektor sendiri (unit usaha non
konsumsi) adalah dikarenakan dari pembangunan infrastruktur desa yang
memperoleh direct impact (dampak langsung) tertinggi adalah unit usaha non
konsumsi dimana untuk total belanja bahan matrial yang dibeli di TB. Mekar Jaya
Abadi sebesar 430.073.415 rupiah dan untuk penyewaan mobil molen dari PT.
JayaMix sebesar 60.840.000 rupiah. Direct impact tersebut nantinya akan
menstimulasi sektor lainnya (unit usaha non konsumsi) sehingga terjadi
peningkatan aktivitas ekonomi.
Untuk lebih mengetahui keterkaitan pembangunan infrastruktur desa dengan
sektor (unit usaha) lainnya bisa dengan mencari tahu posisi dari pembangunan
infrastruktur desa apakah berada pada posisi hulu atau hilir. Dalam konteks
kecenderungan suatu sektor berada pada posisi hulu atau hilir, dilakukan dengan
cara membandingkan koefisien backward linkages dengan koefisien forward
101
linkages. Sektor yang memiliki koefisien backward linkages lebih besar dari
koefisien forward linkages berarti sektor tersebut cenderung berada pada posisi
hilir, dan sebaliknya cenderung pada posisi hulu (Tabrani, 2013:97). Adapun
keterkaitan sektor desa Waringin Jaya dapat dilihat pada tabel 4.15.
Tabel 4.15. Keterkaitan Sektor Pembangunan Infrastruktur Desa
Berdasarkan SNSE Desa Waringin Jaya Tahun 2015
Unit Usaha
Linkages
Kategori
Backward
Linkages
Forward
Linkages
Konsumsi 0,12262 1,75708 Hulu
Non Konsumsi 1,72918 1,82325 Hulu
Sumber: Data diolah, 2017
Berdasarkan hasil tabel 4.15. unit usaha (konsumsi dan non konsumsi)
berada dalam kategori hulu, adapun hulu yang dimaksud dalam konteks ini adalah
pembangunan infrastruktur desa. Perlu diketahui, dalam menelusuri keterkaitan
sektor ada banyak rangkaian yang tercipta dimana untuk penelitian ini keterkaitan
sektor bermula dari pembnagunan infrastruktur desa. Keterkaitan ke depan
(forward linkages) menyatakan besarnya dampak yang diterima (unit usaha non
konsumsi) sebagai akibat dari perubahan permintaan akhir (pembangunan
infrastruktur desa). Jadi, ketika terjadi peningkatan aktivitas pembangunan
infrastruktur desa maka unit usaha non konsumsi akan memberikan respon dengan
menaikkan outputnya dengan kelipatan sebesar koefisien keterkaitan. Dalam hal ini
unit usaha non konsumsi berada pada konsep menerima akibat dari suatu perubahan
102
dan bukan sebagai penyebab terjadinya perubahan. Forward linkages
pembangunan infrastruktur desa bermula dari aktivitas pembangunan infrastruktur
desa, dari aktivitas tersebut memberikan direct impact pada unit usaha non
konsumsi (TB. Mekar Jaya Abadi dan PT. JayaMix) yang nantinya unit usaha
tersebut akan mempengaruhi unit usaha non konsumsi lainnya (indirect impact).
Nilai forward linkages unit usaha non konsumsi adalah sebesar 1,82325,
nilai tersebut menandakan bahwa pembangunan infrastruktur desa dengan unit
usaha memiliki keterkaitan yang erat. Akan tetapi, sangat disayangkan
pembangunan infrastruktur desa berorientasi pada penggunaan input impor bukan
input domestik. Hal ini dikarenakan untuk memenuhi permintaan bahan matrial
bangunan diperoleh dari luar desa.
“Bapak beli barang-barang material dari luar, tempatnya beda-beda neng.
Kalau beli peralatan material bapak ambilnya di Jakarta, kalau untuk besi di
Tangerang, terus kalo beli semen bapak belinya di Bogor, dan kalau kayu itu bapak
ambilnya dari Jawa..” (Wawancara dengan bapak Abdul Rojak, 51 tahun pada
tanggal 6 Juli 2017).
5. Multiplier Produksi (PROM)
Multiplier produksi menunjukkan besarnya pengaruh suatu sektor terhadap
perubahan total output produksi dalam perekonomian. Nilai multiplier produksi
diperoleh dengan menjumlahkan koefisien matriks pengganda neraca pada blok
unit usaha sepanjang kolom unit usaha ke –i. Hasil perhitungan production
multiplier pada tabel 4.14. menunjukkan unit usaha yang paling besar pengaruhnya
103
terhadap perkembangan aktivitas produksi regional yakni unit usaha non konsumsi
dengan nilai multiplier produksi sebesar 3,55243.
Adapun makna dari angka pengganda tersebut apabila neraca eksogen unit
usaha non konsumsi diberikan injeksi sebesar 1 rupiah maka akan berdampak pada
peningkatan total produksi dalam perekonomian sebesar 3,55243 rupiah. Dimana
kenaikan tersebut merupakan penjumlahan dari peningkatan unit usaha non
konsumsi pada sektor sendiri sebesar 1,82325 rupiah dan peningkatan pada sektor
ekonomi lainnya sebesar 1,72918 rupiah.
6. Multiplier Total (GOM)
Multiplier total menunjukkan besarnya pengaruh suatu unit usaha (sektor
produksi) terhadap perubahan output regional akibat adanya injeksi dari
pengeluaran pemerintah desa di bidang pembangunan infrastruktur. Nilai gross
output multiplier diperoleh dengan menjumlahkan seluruh pengganda neraca
sepanjang kolom unit usaha ke –i atau dengan menjumlahkan nilai multiplier nilai
tambah, nilai multiplier pendapatan rumah tangga dan nilai multiplier produksi.
104
Tabel 4.16. Multiplier Total pada SNSE Desa Waringin Jaya Tahun 2015
No. Unit Usaha VAM HIIM PROM GOM
1. Konsumsi 0,68183 0,56342 1,87971 3,12497
2. Non Konsumsi 0,68336 0,56677 3,55243 4,80257
Sumber: Data diolah, 2017
Keterangan:
VAM: Value Added Multiplier
HIIM: Household Induced Income Multiplier
PROM: Production Multiplier
GOM: Gross Output Multiplier
Berdasarkan hasil analisis tabel 4.16., unit usaha non konsumsi memiliki
peran yang tinggi jika dibandingkan unit usaha konsumsi dalam menciptakan
penerimaan regional. Dimana nilai multiplier total unit usaha non konsumsi sebesar
4,80257. Nilai ini bermakna apabila pengeluaran pemerintah desa di bidang
pembangunan infrastruktur meningkat sebesar 1 rupiah maka total penerimaan
ekonomi regional secara keseluruhan akan mengalami peningkatan sebesar 4,80257
rupiah, yang mencakup kenaikan nilai tambah sebesar 0,68336 rupiah, peningkatan
penerimaan rumah tangga sebesar 0,56677 rupiah dan peningkatan penerimaan
produksi regional secara keseluruhan sebesar 3,55243 rupiah.
D. Peran APBDes Bidang Pembangunan Infrastruktur terhadap Distribusi
Pendapatan Desa Waringin Jaya
Informasi mengenai peranan pengeluaran pemerintah desa di bidang
pembangunan infrastruktur dalam pertumbuhan ekonomi wilayah dan distribusi
pendapatan masyarakat di desa Waringin Jaya tahun 2015 telah peneliti jelaskan
105
pada uraian di atas. Tetapi penjelasan tersebut belum memaparkan mengenai
distribusi pendapatan dari suatu neraca endogen ke neraca endogen lainnya. Penting
sekali untuk mengamati aliran distribusi semacam ini, dikarenakan nantinya dapat
menunjukkan kemana saja aliran pendapatan tersebut bergerak apabila dilakukan
injeksi pada neraca eksogen dari blok unit usaha (konsumsi dan non konsumsi)
yang ada di desa tersebut.
Penelusuran mengenai aliran distribusi pendapatan antara neraca endogen
dapat dilakukan dengan menggunakan analisis dekomposisi pengganda. Analisis
dekomposisi pengganda berguna untuk memperlihatkan tahapan/proses perubahan
neraca endogen yang diakibatkan oleh perubahan neraca eksogen secara jelas.
Dekomposisi pengganda neraca terdiri dari pengganda transfer (Ta), pengganda
lompatan terbuka (Oa) dan pengganda lompatan tertutup (Ca). Adapun hasil
perhitungan dekomposisi pengganda neraca dapat dilihat pada tabel 4.17.
106
Tabel 4.17. Dekomposisi Pengganda Neraca pada
Desa Waringin Jaya Tahun 2015
Sumber: Data diolah, 2017
Berdasarkan hasil analisis dari tabel 4.7., nilai matriks pengganda transfer
menggambarkan dampak yang terjadi di dalam set neraca itu sendiri sebagai akibat
adanya injeksi terhadap salah satu sektor dalam set neraca tersebut. Dalam
memahami pengganda transfer ini kita seolah-olah berasumsi bahwa injeksi pada
suatu sektor hanya berpengaruh terhadap sektor-sektor lain dalam satu blok yang
sama dan tidak berpengaruh terhadap sektor-sektor yang berada pada blok lainnya.
Adapun cara memahaminya apabila unit usaha non konsumsi diberikan
injeksi sebesar 1 rupiah, yang pertama kali merasakan dampak tersebut adalah unit
Konsumsi Non Konsumsi Konsumsi Non Konsumsi Konsumsi Non Konsumsi
1 2 3 4 5 6 7
Faktor Produksi
TK. Produksi Lokal 0 0 0 0,00294 0 0
TK. Produksi Non Lokal 0 0 0 0,00014 0 0
TK. Penjualan Lokal 0 0 0,03166 0 0 0
TK. Penjualan Non Lokal 0 0 0,00011 0 0 0
Modal 0 0 0,35575 0,00417 0 0
Institusi
RT. Pendapatan Rendah 0 0 0,02489 0,00044 0 0
RT. Pendapatan Sedang 0 0 0,09088 0,00448 0 0
RT. Pendapatan Tinggi 0 0 0,20437 0,00229 0 0
Unit Usaha
Konsumsi 1,43694 1,41046 1 0 1,22279 0,00263
Non Konsumsi 0 1,70123 0 1 0,08533 1,00097
Neraca yang dipengaruhi Injeksi Pengganda Transfer (Ta) Lompata Terbuka (Oa) Lompatan Tertutup (Ca)
Dekomposisi Pengganda
107
usaha non konsumsi itu sendiri dengan peningkatan mencapai 1,70123 rupiah.
Selanjutnya akan berpengaruh kepada unit usaha konsumsi (satu blok yang sama
dengan unit usaha non konsumsi) dengan peningkatan sebesar 1,41046 rupiah.
Sedangkan untuk unit usaha konsumsi efek pengganda transfer yang dihasilkan
hanya berpengaruh pada unit usaha itu sendiri dan tidak memberikan dampak pada
unit usaha non konsumsi.
Pengganda lompatan terbuka atau open loop menjelaskan tentang pengaruh
dari satu blok ke blok lainnya. Ketika ada peningkatan pendapatan pada blok unit
usaha (konsumsi/non konsumsi) akan berpengaruh terhadap pendapatan blok faktor
produksi, selanjutnya kenaikan pendapatan blok faktor produksi akan berpengaruh
terhadap peningkatan pendapatan blok institusi. Dari blok institusi akan berdampak
pada meningkatnya pendapatan blok unit usaha, begitu seterusnya efek tersebut
melompat dan selalu terbuka antar blok. Adapun total pengganda open loop dalam
perekonomian di desa Waringin Jaya tahun 2015 akibat adanya injeksi sebesar 1
rupiah untuk neraca eksogen unit usaha konsumsi adalah sebesar 0,70769 rupiah
yang didistribusikan kepada penerimaan tenaga kerja sebesar 0,03178 rupiah,
penerimaan modal sebesar 0,35575 rupiah dan terakhir didistribusikan pada
penerimaan rumah tangga sebesar 0,32015 rupiah.
Pengaruh lompatan tertutup atau close loop menjelaskan pengaruh dari suatu
blok ke blok yang lain, untuk kemudian kembali pada blok semula. Dimana
pengganda close loop menggambarkan pengaruh injeksi sebesar 1 rupiah pada blok
unit usaha terhadap unit usaha konsumsi dan non konsumsi setelah
melewati/berpengaruh pada blok institusi dan blok faktor produksi. Nilai
108
pengganda lompatan tertutup untuk unit usaha konsumsi sendiri adalah sebesar
1,22279 rupiah, sementara untuk unit usaha non konsumsi sebesar 0,08533. Adapun
total pengganda close loop untuk unit usaha konsumsi sebesar 1,30813 rupiah.
E. Indikasi Kebocoran Wilayah dari APBDes Pembangunan Infrastruktur
Dalam menelusuri perputaran uang akan ada aliran uang yang mengalir
keluar wilayah, aliran uang yang keluar wilayah tersebut merupakan kebocoran
wilayah. Kebocoran wilayah merupakan jenis aktivitas pengeluaran/penerimaan
wilayah yang tidak meningkatkan tambahan pendapatan suatu wilayah, atau dengan
kata lain kebocoran wilayah merupakan kondisi terjadinya aliran nilai tambah ke
wilayah lainnya karena adanya potensi nilai tambah yang tidak dapat dimanfaatkan
secara optimal, sehingga menyebabkan kecilnya multiplier yang dapat ditimbulkan
dari kegiatan ekonomi suatu wilayah (Aris, Ahmad 2011:32). Kebocoran wilayah
mengakibatkan kecilnya pendapatan yang diperoleh suatu wilayah yang pada
akhirnya berdampak pada rendahnya pertumbuhan ekonomi wilayah.
Penelitian ini selain ingin mengetahui dampak pembangunan infrastruktur
terhadap perekonomian desa, juga ingin mengetahui indikasi dan potensi kebocoran
wilayah yang tercipta dari aktivitas tersebut. Apakah multiplier yang tercipta dari
pembangunan infrastruktur desa dapat dimanfaatkan sebaik mungkin di wilayah
penelitian atau mengalir keluar wilayah (mengalami kebocoran wilayah). Untuk
menghitung kebocoran wilayah peneliti menggunakan rasio pendapatan antara
modal dan tenaga kerja serta indikasi kebocoran wilayah berdasarkan forward
leakages.
109
1. Rasio Pendapatan antara Modal dan Tenaga Kerja
Rasio perbandingan pendapatan antara modal dan tenaga kerja digunakan
untuk melihat kontribusi dari multiplier modal dan multiplier tenaga kerja dalam
penciptaan nilai tambah (value added) dari aktivitas pembangunan infrastruktur
desa. Rasio perbandingan diperoleh dengan membagi nilai multiplier modal dengan
nilai multiplier tenaga kerja. Adapun hasil perhitungan rasio antara multiplier
modal dengan multiplier tenaga kerja dapat dilihat pada tabel 4.18.
Tabel 4.18. Nilai Rasio Multiplier Modal dengan Multiplier Tenaga Kerja
pada SNSE Desa Waringin Jaya Tahun 2015
Unit Usaha Multiplier
Modal
Multiplier Tenaga
Kerja Rasio
Konsumsi 0,6256 0,05623 11,126
Non Konsumsi 0,62277 0,06058 10,279
Sumber: Data diolah, 2017
Berdasarkan hasil tabel 4.18., jika dilihat dari kontribusi terhadap penciptaan
nilai tambah kenaikan penerimaan lebih besar ke faktor produksi modal (konsumsi
dan non konsumsi) dibandingkan ke faktor produksi tenaga kerja. Hal ini
mengindikasikan bahwa pembangunan infrastruktur desa kurang bisa menciptakan
lapangan kerja. Adapun salah satu penyebab mengapa unit usaha konsumsi
memiliki keterkaitan yang erat dengan faktor produksi modal adalah dikarenakan
unit usaha konsumsi lebih banyak pengeluarannya untuk pembelian barang
dagangan dibandingkan untuk mempekerjakan karyawan. Berdasarkan hasil
110
observasi lapangan umumnya responden pelaku usaha konsumsi bekerja sendiri
atau dibantu keluarga dalam menjalankan usahanya.
“...Dulu sih ada yang bantuin jaga toko tapi sekarang-sekarang ini cuma
saya sama isteri yang jaga toko. Rencananya sih habis lebaran saya mau cari
orang buat bantuin jaga toko..” (Wawancara dengan bapak Irwan Lubis, 42 tahun
pada tanggal 15 Juni 2017).
“...Yang jaga warung ibu sendiri anak-anak udah pada kerja semua teh..”
(Wawancara dengan ibu Lastri, 50 tahun pada tanggal 2 Juli 2017).
Adapun untuk tingkat kebocoran wilayah dari unit usaha konsumsi tinggi,
hal ini dikarenakan unit usaha konsumsi menjual barang jadi. Menurut Aris
(2011:58) jika sistem produksi tidak diikuti oleh sektor processing atau sektor
turunan, maka dampaknya akan mempengaruhi kecilnya multiplier nilai tambah
yang dihasilkan. Karena tidak ada proses produksi di wilayah tersebut maka untuk
memperoleh barang konsumsi dilakukan dengan membeli dari luar wilayah
(impor). Dimana Christopher dan Bryan (1994) menjelaskan kebocoran terjadi
ketika bagian dari pendapatan yang dibelanjakan untuk barang-barang dan jasa-jasa
dominan impor/dari luar wilayah (Aris, Ahmad 2011:59). Dari hasil observasi
lapangan yang peneliti lakukan ketika mengikuti alur perputaran uang dari dampak
pembangunan infrastruktur desa, umumnya perputaran uang tersebut hanya 2
sampai 3 perputaran uang di desa dan selebihnya mengalir keluar
wilayah/kebocoran wilayah. Penuturan salah satu informan adalah sebagai berikut:
“Saya disini jual sembako sama sayur-sayuran ya keperluan sehari-hari.
Kalo belanja sembako saya biasanya di kota Bogor jauh. Kalo sayur mah
belanjanya tiap hari ke pasar Induk, kalo sayur mah kan teh tiap hari abis jadi tiap
111
hari ke pasar Induk, belanja disana lebih lengkap harga juga murah. Walaupun
disini deket sama pasar desa Bojong Gede juga ngambilnya tetep ke pasar Induk.
Kalo belanjanya di pasar Bojong Gede atuh ngga bisa dijual disini teh harganya
jadi kemahalan nanti ngga laku sayurnya. Yaa kalo yang beli disini ya kebanyakan
orang-orang yang disekitar sini, pak Rohadi keluarga juga pada beli disini teh..”
(Wawancara dengan ibu Ntin, 47 tahun pada tanggal 13 Juni 2017).
Dari uraian diatas ternyata efek multiplier yang ditimbulkan dari
pembangunan infrastruktur desa untuk unit usaha konsumsi di desa Waringin Jaya
lebih banyak mengalir keluar wilayah/mengalami kebocoran wilayah. Dikarenakan
tingkat kebocoran wilayah tinggi sehingga menyebabkan kecilnya multiplier yang
diperoleh. Maka dapat dikatakan bahwa dampak perputaran uang dari
pembangunan infrastruktur manfaatnya kurang dirasakan oleh masyarakat di
wilayah penelitian.
2. Indikasi Kebocoran Wilayah Berdasarkan Forward Leakages
Kriteria lainnya yang dapat digunakan untuk melihat adanya indikasi
kebocoran wilayah dari aktivitas pembangunan infrastruktur desa adalah nilai
indeks keterkaitan ke depan (forward linkages). Dimana nilai indeks keterkaitan ke
depan yang rendah atau kecil dari rata-rata seluruh sektor (<1) mengindikasikan
sektor (unit usaha) mengalami kebocoran wilayah. Sebaliknya bila nilai keterkaitan
ke depan (forward linkages) yang tinggi atau lebih besar dari rata-rata seluruh
sektor (>1) maka sektor (unit usaha) tidak mengalami kebocoran wilayah (Aris,
Ahmad 2011:85). Nilai koefisien keterkaitan ke depan unit usaha konsumsi dan non
konsumsi dapat dilihat pada tabel 4.19.
112
Tabel 4.19. Nilai Koefisien Keterkaitan Kedepan Unit Usaha di
Desa Waringin Jaya Tahun 2015
Unit Usaha Forward Linkages
Konsumsi 1,75708
Non Konsumsi 1,82325
Sumber: Data diolah, 2017
Berdasarkan tabel 4.19. dapat diketahui nilai koefisien keterkaitan ke depan
unit usaha konsumsi dan non konsumsi adalah sebesar 1,75708 dan 1,82325 atau
lebih besar nilai rata-rata 1. Nilai tersebut menandakan bahwa pembangunan
infrastruktur desa dengan unit usaha memiliki keterkaitan yang erat. Dengan nilai
koefisien keterkaitan ke depan (forward linkages) unit usaha lebih besar dari 1
bukan berarti tidak memiliki indikasi kebocoran ke depan (forward leakages).
Doeksen dan Charles (1969) menjelaskan bahwa daerah yang memiliki keterkaitan
sektor ekonomi yang tinggi tetapi tingkat pengeluaran impornya jauh lebih besar,
maka wilayah tersebut juga memiliki tingkat kebocoran yang tinggi (Aris, Ahmad
2011:37).
Unit usaha konsumsi memiliki tingkat kebocoran tinggi dikarenakan unit
usaha menjual barang jadi yang diperoleh dari luar wilayah/impor. Sama halnya
dengan unit usaha konsumsi, tingkat kebocoran unit usaha non konsumsi juga tinggi
dikarenakan penggunaan input impor bukan input domestik. Hal ini dikarenakan
untuk memenuhi permintaan bahan matrial bangunan diperoleh dari luar
desa/impor. Adapun penuturan informan sebagai berikut:
113
“Bapak beli barang-barang material dari luar, tempatnya beda-beda neng.
Kalau beli peralatan material bapak ambilnya di Jakarta, kalau untuk besi di
Tangerang, terus kalo beli semen bapak belinya di Bogor, dan kalau kayu itu bapak
ambilnya dari Jawa..” (Wawancara dengan bapak Abdul Rojak, 51 tahun pada
tanggal 6 Juli 2017).
Pembangunan infrastruktur desa memiliki keterkaitan yang erat dengan unit
usaha konsumsi dan non konsumsi akan tetapi tingkat kebocoran wilayah kedua
unit usaha tersebut tinggi, hal ini terjadi karena barang-barang dominan
impor/diperoleh dari luar wilayah. Dampaknya adalah perputaran uang dari
aktivitas pembangunan infrastruktur desa lebih banyak mengalir keluar wilayah,
sehingga dampak ekonomi dari aktivitas tersebut kurang dirasakan oleh masyarakat
di wilayah penelitian.
113
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan data kuantitatif dan kualitatif
yang didapat dari lapangan, peneliti memperoleh kesimpulan yang dapat diambil
dari penelitian mengenai Efek pengganda pengeluaran APBDes bidang
pembangunan infrastruktur di desa Waringin Jaya Kecamatan Bojong Gede
Kabupaten Bogor tahun 2015 sebagai berikut:
1. Peran pengeluaran pemerintah desa untuk pembangunan infrastruktur terhadap
perekonomian desa dilihat dari koefisien pengganda nilai tambah pada unit
usaha konsumsi dan non konsumsi sebesar 0,68183 dan 0,68336. Nilai
koefisien tersebut menjelaskan bahwa pengeluaran pemerintah desa untuk
pembangunan infrastruktur dampaknya terhadap penciptaan nilai tambah pada
perekonomian desa masih rendah. Nilai koefisien pengganda pendapatan
rumah tangga paling besar dampaknya dirasakan oleh golongan rumah tangga
pendapatan tinggi yakni pada unit usaha konsumsi sebesar 0,35938 dan unit
usaha non konsumsi sebesar 0,35758. Dan untuk koefisien pengganda total,
nilai pengganda unit usaha konsumsi sebesar 3,12497 dan unit usaha non
konsumsi sebesar 4,80257.
2. Nilai koefisien pengganda transfer unit usaha konsumsi sebesar 1,43694 dan
unit usaha non konsumsi sebesar 1,70123. Nilai total pengganda open loop
untuk unit usaha konsumsi sebesar 0,70769 yang didistribusikan kepada
penerimaan tenaga kerja sebesar 0,03178, penerimaan modal sebesar 0,35575
114
dan didistribusikan kepada penerimaan rumah tangga sebesar 0,32015. Total
pengganda close loop untuk unit usaha konsumsi adalah sebesar 1,30813 yang
didistribusikan untuk unit usaha konsumsi sebesar 1,22279 dan didistribusikan
untuk unit usaha non konsumsi sebesar 0,08533.
3. Berdasarkan rasio pendapatan antara modal dan tenaga kerja serta forward
leakages, kebocoran wilayah dari adanya aktivitas pembangunan infrastruktur
desa tinggi. Hal ini terjadi karena unit usaha menjual barang jadi yang
diperoleh dari luar wilayah/impor dan penggunaan input impor bukan input
domestik. Sehingga perputaran uang dari aktivitas tersebut lebih banyak
mengalir keluar wilayah/mengalami kebocoran wilayah.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan dari pengalaman
peneliti ketika berada di lapangan, maka diajukan beberapa saran yang bisa
digunaan Kementrian Desa/Instansi terkait sebaagi bahan pertimbangan. Adapun
sarannya sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil observasi di lapangan ketika peneliti melakukan wawancara
dengan informan, mereka memberitahukan bahwa untuk dampak ekonomi dari
aktivitas pembangunan infrastruktur belum dirasakan dampaknya secara
langsung. Tetapi mereka mengakui untuk dampak sosial dari pembangunan
infrastruktur khususnya kemudahan untuk mobilitas dikarenakan jalan sudah
bagus/beton dampaknya sangat dirasakan oleh masyarakat desa. Jadi, dari
adanya aktivitas pembangunan infrastruktur desa masyarakat lebih merasakan
dampak sosial daripada dampak ekonomi yang ditimbulkan dari aktivitas
115
tersebut. Dari beberapa desa yang peneliti observasi ternyata masih banyak
desa yang tidak memiliki pendapatan asli desa/PADes dan sangat
mengandalkan dana transfer. Untuk itu saran peneliti adalah Kementrian Desa
lebih menguatkan/optimalkan program produk unggulan kawasan pedesaan
(Prukades) agar dapat mewujudkan desa mandiri secara ekonomi.
2. Saran peneliti adalah Kementrian Desa memberikan pendamping kepada tiap-
tiap desa untuk masalah terkait pemberdayaan ekonomi desa. Karena
umumnya pendamping desa yang ada saat ini lebih berfokus pada pengelolaan
dan pengawasan APBDes. Maka itu, untuk mewujudkan desa mandiri secara
ekonomi Kementrian Desa perlu memberikan pendamping desa terkait
pemberdayaan ekonomi masyarakat desa.
116
DAFTAR PUSTAKA
Aini, Nur. (2016, 28 November). Jokowi Klaim Dana Desa Tingkatkan Ekonomi
Perdesaan 80 Persen. Republika. Tersedia:
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/11/28/ohcp5x382-
jokowi-klaim-dana-desa-tingkatkan-ekonomi-perdesaan-80-persen.
Aris, Ahmad. 2011. “Dampak Pengembangan Perkebunan Kelapa Rakyat
terhadap Kemiskinan dan Perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir”.
Disertasi. IPB. Bogor.
Askinatin, Mien. 1999. Tiga Pilar Pengembangan Wilayah: Sumber Daya Alam,
Sumber Daya Manusia, Teknologi. Jakarta: Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi/BPPT.
Badan Pusat Statistik. Kabupaten Bogor dalam Angka 2015.
Barokah, Hindun dkk. 2015. Indeks Pembangunan Desa 2014: Tantangan
Pemenuhan Standar Pelayanan Minimum Desa. Jakarta: Bappenas dan
BPS.
Bird and Vaillancourt. 2000. Fiscal Decentralization in Developing
Countries/Terjemahan. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Chozin, M.A. dkk. 2013. Pembangunan Perdesaan dalam Rangka Peningkatan
Kesejahteraan Masyarakat. Bogor: IPB Press.
Daryanto, Arief dan Yundy Hafizrianda. 2010. Analisis Input-Output dan Social
Accounting Matrix untuk Pembangunan Ekonomi Daerah. Bogor: IPB
Press.
Daryanto, Arief dan Yundy Hafizrianda. 2010. Model-Model Kuantitatif untuk
Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah: Konsep dan Aplikasi.
Bogor: IPB Press.
Direktorat Penanggulangan Kemiskinan Bappenas. Info Singkat Kemiskinan dan
Penanggulangan Kemiskinan Wilayah Jawa.
Djalil, Rizal. 2014. Akuntabilitas Keuangan Daerah: Implementasi Pasca
Reformasi. Jakarta: RMBOOKS.
Eko, Sutoro dkk. 2016. Dana Desa untuk Desa Membangun Indonesia (Tanya
Jawab Seputar Dana Desa). Jakarta: Kementrian Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia.
117
Fadli, Mohammad dkk. 2013. Pembentukan Peraturan Desa Partisipatif: (Head To
A Good Village Governance). Malang: UB Press.
Fernandez, Joe. 2009. Anggaran Pro-Kaum Miskin: Sebuah Upaya
Menyejahterakan Masyarakat. Jakarta: LP3ES.
Hafizrianda, Yundy. 2007. “Dampak Pembangunan Sektor Pertanian terhadap
Distribusi Pendapatan dan Perekonomian Regional Provinsi Papua: Suatu
Analisis Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi”. Disertasi. IPB. Bogor.
Idrus, Muhammad. 2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial: Pendekatan Kuantitatif
dan Kualitatif. Jakarta: Erlangga.
Leksono, Sonny. 2013. Penelitian Kualitatif Ilmu Ekonomi: Dari Metodologi ke
Metode. Jakarta: Rajawali Pers.
Murdaningsih, Dwi. (2016. 27 November). Mendes Klaim Dana Desa Beri Dampak
Signifikan Bagi Desa. Republika. Tersedia:
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/11/27/ohad9u368-
mendes-klaim-dana-desa-beri-dampak-signifikan-bagi-desa
Murohman. 2014. “Analisis Dampak Perubahan Alokasi Investasi Pemerintah
Daerah terhadap Pengentasan Kemiskinan di Kalimantan Barat”. Tesis.
IPB. Bogor.
Noegroho, Yoenanto Sinung dan Lana Soelistianingsih. 2007. “Analisis Disparitas
Pendapatan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah dan Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Regional”. UI. Depok.
Noerhadi, Toeti Heraty. 2013. Berpijak pada Filsafat (Buku Satu: Bioetika dan
Epistemologi). Depok: Komunitas Bambu.
Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan Tahun
Anggaran 2015
Nurcholis, Hanif. 2011. Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
Jakarta: Erlangga.
Peraturan Bupati Bogor Nomor 22 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pembagian dan
Penetapan Rincian Dana Desa Tahun Anggaran 2015
Peraturan Desa Waringin Jaya Kecamatan Bojong Gede Kabupaten Bogor Nomor
1 Tahun 2015 Tentang Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKP Desa)
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa
Tahun 2015
118
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 93/PMK.07/2015 Tentang
Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan dan
Evaluasi Dana Desa
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2014 Tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang
Desa
Prabowo, Rakhmat. 2015. “Dampak Pengembangan Subsektor Peternakan
terhadap Perekonomian Indonesia: Analisis Sistem Neraca Sosial
Ekonomi”. Skripsi. IPB. Bogor.
Prasetyanto, Eko. 2012. “Dampak Alokasi Dana Desa pada Era Desentralisasi
Fiskal terhadap Perekonomian Daerah di Indonesia”. Disertasi. IPB.
Bogor.
Prihawantoro, Socia. 2002. Pengembangan Wilayah dan Otonomi Daerah: Kajian
Konsep dan Pengembangan. Jakarta: Pusat Pengkajian Kebijakan
Teknologi Pengembangan Wilayah-BPPT.
Rahmanta. 2006. “Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Pertumbuhan dan
Distribusi Pendapatan di Sumatera Utara: Pendekatan Sistem Neraca
Sosial Ekonomi”. Disertasi. IPB. Bogor.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019
Rustiadi, Ernan dkk. 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta:
Crestpent Press dan Pustaka Obor Indonesia.
Sawitri, Dewi. 2006. “Keikutsertaan Masyarakat dalam Pengembangan Lokal
(Studi Kasus: Pengembangan Desa di Jawa Barat)”. Jurnal Perencanaan
Wilayah dan Kota, Vol.17/No.1,hlm 39-60.
Subroto, Agus. 2009. “Akuntabilitas Pengelolaan Dana Desa (Studi Kasus
Pengelolaan Alokasi Dana Desa di Desa-Desa dalam Wilayah Kecamatan
Tlogomulyo Kabupaten Temanggung Tahun 2008)”. Tesis. UNDIP.
Semarang.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung:
Alfabeta.
Sukarso, Aman. 2001. “Pengaruh Pendapatan Desa dan Kelancaran
Pemerintahan Desa serta Implikasinya terhadap Kesejahteraan
Masyarakat Desa di Kabupaten Serang”. Tesis. Universitas Satyagama.
Jakarta.
119
Sukirno, Sadono. 2011. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar
Kebijakan. Jakarta: Kencana.
Sukma, Andrio Firstiana. 2015. “Efek Pengganda Infrastruktur Pekerjaan Umum
dalam Perekonomian Provinsi Bali”. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
vol.26, no.2, hlm100-110.
Susanto. 2013. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis,
Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara.
Suwignjo. 1986. Administrasi Pembangunan Desa dan Sumber-Sumber
Pendapatan Desa. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Tabrani. 2013. “Analisis Kebocoran Wilayah dalam Pembangunan Sektor
Pertambangan di Kabupaten Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan
(Pendekatan Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi)”. Tesis. IPB. Bogor.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah
Visi Misi, dan Program Aksi Jokowi-Jusuf Kalla 2014 (Jalan Perubahan untuk
Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkpribadian). Jakarta Mei 2014.
Widjaja. 2010. Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh.
Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Yulianto, Agus. (2016, 28 November). Presiden: Dana Desa Ditambah Dua Kali
Lipat. Republika. Tersedia:
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/16/11/28/ohchfr396-
presiden-dana-desa-ditambah-dua-kali-lipat
Yurianto. 2012. “Dampak Investasi dan Pengeluaran Pemerintah terhadap Kinerja
Perekonomian Daerah pada Era Otonomi”. Disertasi. IPB. Bogor.
LAMPIRAN
L1-1
ALUR BERPIKIR PENELITIAN
L1-2
Senin , 28 November 2016, 16:09 WIB
Presiden: Dana Desa Ditambah Dua Kali Lipat Red: Agus Yulianto
Presiden Jokowi
REPUBLIKA.CO.ID, TUBAN
Presiden Joko Widodo berjanji akan menambah anggaran dana desa 2018 menjadi dua kali
lipat dari anggaran 2017 yang telah dialokasikan Rp 60 triliun. Pemberian dana desa ini dinilai telah
memberikan efek positif berantai terhadap perekonomian masyarakatdesa.
"Tahun depan kan sudah Rp 60-an triliun dari Rp 47 triliun di 2016. Tahun depannya sudah
kami hitung-hitung, saya mau di dua kali lipatkan. Pada 2018 dua kali lipat, tapi masih dihitung,"
kata Presiden saat meninjau proyek dana desa di Desa Sumurgeneng, Kecamatan
Jenu,Tuban,JawaTimur,Senin(28/11).
Menurut Presiden, dana tersebut telah memberikan efek berantai (efek ganda) ke mana-
mana terhadap perekonomian masyarakat desa. "Ini dalam rangka memberikan efek perputaran uang
di bawah, di desa, di daerah, sehingga masyarakat mendapatkan manfaat dari itu," kata Presiden
yang didampingi Menteri Desa Eko Putro, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki
Hadimuljono, Gubernur Jawa Timur Soekarwo dan Kepala Desa Sumurgeneng.
Presiden mencontohkan, dana Desa Sumurgeneng yang sekitar Rp 600 juta ditambah
anggaran dari kabupaten dan provinsi sebesar Rp 400 juta telah menghidupkan perekonomian
masyarakatnya. "Meskipun yang kita lihat yang dikerjakan hal-hal yang kecil-kecil untuk
pengerasan jalan seperti ini, kemudian untuk pembuatan saluran air seperti ini, tapi perputaran uang
yang ada di desa ini, sekali lagi Rp 1 miliar lebih, Rp 1,80 miliar. Tadi saya saya cek angka-
angkanyakan bagus,"kata Presiden.
Presiden Jokowi juga mengungkapkan, hasil laporan dari Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) terkait penggunaan dana desa telah menunjukkan tepat sasaran.
Dalam kunjungannya ke kabupaten Tuban, Presiden usai menghadiri peringatan Hari
Menanam Pohon Indonesia dan Bulan Menanam Nasional 2016 langsung meninjau pembangunan
saluran air yang berasal dari dana desa di Desa Sumurgeneng, Kecamatan Jenu, Tuban.
NB: Berita ini merupakan gambaran tentang tema penelitian yang akan dibahas oleh peneliti. Adapun untuk tema
penelitian sendiri telah peneliti ajukan ke dospem pada Februari 2016 dengan catatan mengalami revisi akan tetapi
untuk tema penelitian yang akan dibahas tetap sama.
L1-3
Latar Belakang Penelitian
Keterangan:
: Fokus Penelitian
Pengeluaran daerah merupakan FUNGSI dari Penerimaan daerah
Pusat Desa
Pendapatan ↑
(Dana Desa)
APBDes
Momentum
Dana Desa
Pengeluaran ↑
B. Pembangunan
Infrastruktur
ME Ekonomi
Musrenbangdes
Kebocoran Wilayah
L1-4
Paradigma
Pengertian paradigma adalah dinyatakan sebagai kerangka referensi yang
mendasari sejumlah teori maupun praktik-praktik ilmiah dalam peroide tertentu, di
lain uraian paradigma adalah sebagai model-model yang mengasilkan perpaduan
tradisi dalam riset ilmiah yang mencakup dalil, teori, penerapan dan instrumentasi.
Mengapa paradigma dianggap penting, diantaranya sebagai berikut:
“All the research needs a foundation for its inquiry, and inquires need to
be aware of the implicit worldviews they bring to their studies”. Patton (1990:37)
memahami paradigma sebagai “a world view, a general perspective, a way of
breaking down of the complexity of the real world (satu wawasan tentang dunia,
suatu sudut pandang umum, atau suatu jalan dalam menjabarkan kompleksitas
kenyataan di dunia” dalam Leksono,Sony (2013:98). Adapun perbedaan antara
paradigma kualitatif dan kuantitatif sebagai berikut:
Kualitatif Kuantitatif
Menganjurkan pemakaian metode kualitatif Menganjurkan pemakaian metode kuantitatif
Berdasarkan pada fenomenologis &
sebagaimana adanya
Berdasarkan pada logika positivisme
Perhatian tertuju pada “pemahaman”
tingkah laku manusia & sudut pelaku
Mencari fakta-fakta & sebab-sebab gejala
sosial dengan mengesampingkan keadaan
individu-individu
Pengamatan bersifat “alamiah” & tidak
dikendalikan
Pengamatan ditandai dengan pengukuran
yang dikendalikan
Bersifat deskriptif dan induktif Inferensial, deduktif-hipotesis
Berorientasi pada proses Berorientasi pada hasil
Data bersifat mendalam, kaya & nyata Data dapat diulang
Realitas yang bersifat dinamik Realitas yang bersifat stabil
Sumber: Idrus, Muhammad(2009:22)
Dalam paradigma mencakup asumsi-asumsi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis,
yakni sebagai berikut:
L1-5
NB:
Dalam konsep Khun, paradigma selalu berperan menentukan permasalahan ontologi, epistemologi,
dan metodologi ilmiah, maka dapat dikatan bahwa paradigma mengonstruksi apa yang kita sebut ilmu
pengetahuan (realisme konstruktif). Oleh karena itu, dalam pemilihan objek dan instrumen yang
digunakan oleh peneliti disesuaikan dengan ciri-ciri penelitian non-positive (lihat lampiran
paradigma).
Karena paradigma, kerangka konseptual dan perspektif itu plural, maka ada keanekaragaman metode
yang dapat digunakan dalam ilmu pengetahuan dengan keanekaragaman Kebenaran.
Ontologi
Bidang ilmu perencanaan wilayah yang mencakup
pengembangan wilayah dan pengembangan SDM
lokal. Dimana objek material dalam penelitian ini
merupakan masyarakat (pelaku usaha & TK) yang
memperoleh manfaat dari APBDes b.pembangunan
infrastruktur serta masyarakat dan aparatur desa yang
terlibat dalam proses pembangunan infrastruktur desa.
Epistemologi
Cabang filsafat mengenai pengetahuan,
sumber pengetahuan & batas-batas
pengetahuan, & keabsahan pengetahuan
menurut kriteria kebenaran beserta struktur
menyangkut kaitan antara subjek & objek
pengetahuan.
Menggunakan konsep Paradigma Thomas
Khun
Paradigma non-positive dengan pendekatan
kualitatif dan kuantitatif (Lihat lampiran
Metodologi Penelitian).
Paradigma
Non-Positive
Aksiologi
Pembaruan
Manfaat Rill (Lihat BAB I mengenai Hasil
yang Diharapkan).
L1-6
Kerangka Berpikir
APBDes
Pengeluaran Pemerintah Desa
Bidang Pembangunan Infrastruktur
Pengembangan Wilayah
Perekonomian
Desa
Distribusi
Pendapatan
Analisis SNSE
Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Desa
Kebocoran
Wilayah
L1-7
Metodologi Penelitian
Non Positivisme
Kuantitatif
Deskriptif
Kualitatif
Deskriptif
Kuesioner
Responden
Snowball Sampling
Analisis SNSE
Interpretasi
Kesimpulan
Wawancara Semi-struktur
Informan
Purposive Sampling
Analisis Interaktif
Interpretasi
L1-8
Pendekatan Kuantitatif
Analisis SNSE
Pengumpulan Data
Klasifikasi
Tabulasi
Olah Data
Pembahasan
L1-9
Pendekatan Kualitatif
Analisis Model
Interaktif
Pengumpulan Data
Reduksi Data
Penyajian Data
Kesimpulan/Verifikasi
L2-1
DUKUMENTASI
L2-2
Surat Izin Penelitian dari Fakultas
L2-3
Surat Izin Penelitian dari Pemerintah Desa
L2-4
APBDES Perubahan Desa Waringin Jaya Tahun Anggaran 2015
Uraian Anggaran (Rp)
Pendapatann
Pendapatan Asli Desa
Hasil Swadaya dan Partisipasi Gotong Royong Masyarakat 45.000.000
Pendapatan Transfer
Bagian dari Hasil Pajak Daerah 161.863.004
Alokasi Dana Desa 513.301.141
Bantuan Keuangan Pemerintah dan Kabupaten 50.000.000
Bantuan APBD (Mobil Siaga Desa) 150.000.000
Bantuan Dana Desa 306.777.862
Tambahan Penghasilan Aparatur Pemerintah Desa 15.000.000
Bantuan Dana Provinsi (Infrastruktur Desa) 100.000.000
Bantuan Keuangan APBD Kabupaten 200.000.000
Pendapatan Lain-lain
Hibah dan Sumbangan dari pihak ketiga 0
Lain-Lain Pendapatan Desa yang Sah 0
Jumlah Pendapatan 1.541.000.000
Belanja Desa
Bidang Penyelenggaraan Pemerintah Desa 418.400.000
Bidang Pelaksanaan Pembangunan Desa 734.955.500
Bidang Pembinaan Kemasyarakatan 85.000.000
Bidang Pemberdayaan Kemasyarakatan 166.000.000
Bidang Tak Terduga 474.145
Tabungan PILKADES 8.470.000
Jumlah Belanja 1.541.000.000
Penerimaan Pembiayaan
SiLPA 0
Pencairan Dana Cadangan 0
Hasil Kekayaan Desa yang Dipisahkan 0
Pengeluaran Pembiayaan
Pembentukan Dana Cadangan 0
Penyertaan Modal Desa 0
Sumber: Laporan akhir tahun pemerintahan desa Waringin Jaya TA 2015 (Diolah)
L2-5
Pembangunan Desa (Infrastruktur) Waringin Jaya Tahun Anggaran 2015
No. Uraian Anggaran (Rp) Sumber Dana
1. Betonisasi Jalan Desa (RW 05) 100.000.000 Dana Provinsi
2. Betonisasi Jalan Lingkungan (RW 06) 50.000.000 APBD
3. Rutilahu (di 6 RW) 200.000.000 APBD
4. Renovasi Kantor Desa 78.200.000 ADD
5. Betonisasi Jalan Lingkungan (RW 04,
06, 09) 191.755.500 Dana Desa
6. Pembangunan Posyandu (RW 03, 06,
10, 11) 115.000.000 Dana Desa
Jumlah 734.955.500
Sumber: Laporan akhir tahun pemerintahan desa Waringin Jaya TA 2015 (Diolah)
L2-6
Dokumentasi Gambar
Bersama Informan Bersama Responden
Pembangunan Jalan Desa Pembangunan Jalan Lingkungan
Pembangunan Posyandu
L3-1
PENDEKATAN KUANTITATIF
L3-2
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN
Jalan Ir. Haji Juanda No. 95, Ciputat, Cempaka Putih, Ciputat Timur,
Kota Tangerang Selatan, Banten 15412
Telp (021) 7401925
KUESIONER PELAKU USAHA
Nomor : ....................................................
Hari/Tanggal wawancara : ....................................................
No HP/Telp. : ....................................................
Alamat : ....................................................
Petunjuk : isi dan pilihlah salah satu jawaban yang sesuai dengan memberikan tanda (x)
pada bagian yang telah tersedia.
A. Data Pribadi
1. Nama Responden :
2. Jenis Kelamin :
a. Pria b. Wanita
3. Umur : ....................tahun
4. Pendidikan Terakhir :
a. Tidak lulus SD c. SMP e. D3/S1
b. SD d. SMA
5. Status Pernikahan :
a. Menikah b. Belum Menikah
Kuisioner ini digunakan sebagai bahan SKRIPSI yang berjudul Efek Pengganda
Pengeluaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa Bidang Pembangunan
Infrastruktur di Desa Waringin Jaya Kecamatan Bojong Gede Kabupaten Bogor
Tahun 2015 yang dilakukan peneliti Nurlaela (1112084000025). Saya mohon partisipasi
Bapak/Ibu/Saudara/i untuk berkenan mengisi kuisioner ini dengan teliti dan lengkap
sehingga dapat memberikan data yang objektif. Inforamasi yang Bapak/Ibu/Saudara/i
berikan dijamin kerahasiaannya dan tidak untuk dipublikasikan. Atas perhatian
Bapak/Ibu/Saudara/i saya ucapkan terima kasih.
L3-3
6. Jumlah Anggota Keluarga : .........................orang
B. Pertanyaan Terkait Unit Usaha
7. Jenis unit usaha ............................................................
8. Sudah berapa lama bapak/ibu memiliki usaha ini?
9. Berapa modal awal bapak/ibu saat memulai usaha ini? Rp.................../bulan
10. Berapa penghasilan yang diperoleh dari usaha ini? Rp........................./bulan
11. Adakah penghasilan lain bapak/ibu di luar usaha ini? Ada / Tidak, Jika ada,
Rp............................/bulan
12. Berapa lama bapak/ibu bekerja dalam satu hari? ..........................jam
13. berapa lama bapak/ibu bekerja dalam satu minggu? .....................hari
14.berapa orang yang terlibat dalam usaha bapak/ibu ini? .................orang
15. Dari pendapatan yang bapak/ibu peroleh, dapatkah bapak/ibu rincikan pengeluaran
untuk usaha per bulan?
Pengeluaran Unit Usaha Jumlah (Rp) Alur Pengeluaran Unit Usaha (Lokal/Non Lokal)
a. Upah Karyawan .................... ..............................................................................
b. Pembelian Bahan ................... .............................................................................
c. Biaya Operasional ..................... ................................................................... ...........
d. Pangan Harian ..................... .............................................................................
e. Transportasi Lokal ...................... ............................................................................
Pengeluaran RT (Pelaku Usaha) Jumlah (Rp) Alur Pengeluaran RT (Pelaku Usaha)
a. Pangan
Beras .................... ................................................. ........
Sayur-sayuran ..................... ........................................................
Telur & Susu ...................... ........................................................
Ikan ..................... ........................................................
Minyak goreng ...................... .........................................................
Gula Pasir ...................... .........................................................
Teh & Kopi ..................... ........................................................
Mie Instan ..................... ........................................................
Rokok ...................... .........................................................
b. Non Pangan
LPG ..................... .........................................................
S.cuci, S.mandi dll ..................... .........................................................
Alat-alat Tulis ..................... .........................................................
L3-4
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN
Jalan Ir. Haji Juanda No. 95, Ciputat, Cempaka Putih, Ciputat Timur,
Kota Tangerang Selatan, Banten 15412
Telp (021) 7401925
KUESIONER TENAGA KERJA
Nomor : ....................................................
Hari/Tanggal wawancara : ....................................................
No HP/Telp. : ....................................................
Alamat : ....................................................
Petunjuk : isi dan pilihlah salah satu jawaban yang sesuai dengan memberikan tanda (x)
pada bagian yang telah tersedia.
A. Data Pribadi
1. Nama Responden :
2. Jenis Kelamin :
a. Pria b. Wanita
3. Umur : ....................tahun
4. Pendidikan Terakhir :
a. Tidak lulus SD c. SMP e. D3/S1
b. SD d. SMA
5. Status Pernikahan :
Kuisioner ini digunakan sebagai bahan SKRIPSI yang berjudul Efek Pengganda
Pengeluaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa Bidang Pembangunan
Infrastruktur di Desa Waringin Jaya Kecamatan Bojong Gede Kabupaten Bogor
Tahun 2015 yang dilakukan peneliti Nurlaela (1112084000025). Saya mohon partisipasi
Bapak/Ibu/Saudara/i untuk berkenan mengisi kuisioner ini dengan teliti dan lengkap
sehingga dapat memberikan data yang objektif. Inforamasi yang Bapak/Ibu/Saudara/i
berikan dijamin kerahasiaannya dan tidak untuk dipublikasikan. Atas perhatian
Bapak/Ibu/Saudara/i saya ucapkan terima kasih.
L3-5
a. Menikah b. Belum Menikah
6. Jumlah Anggota Keluarga : .........................orang
B. Pertanyaan Terkait Pekerjaan
7. Usaha bapak/ibu adalah............................................................
8. Sudah berapa lama bapak/ibu bekerja di usaha ini?
9. Berapa penghasilan bapak/ibu dari pekerjaan ini? Rp.................../bulan
10. Adakah penghasilan lain bapak/ibu di luar pekerjaan ini? Ada / Tidak, Jika ada,
Rp............................/bulan
11. Berapa lama bapak/ibu bekerja dalam satu hari? ..........................jam
12. Berapa lama bapak/ibu bekerja dalam satu minggu? .....................hari
13. Dari pendapatan yang bapak/ibu peroleh, dapatkah bapak/ibu rincikan pengeluaran
untuk biaya sehari-hari per bulan?
Pengeluaran Tenaga Kerja Jumlah (Rp) Alur Pengeluaran Tenaga Kerja (Lokal/Non Lokal)
a. Pangan Harian .................... .............................................................................
b. Transportasi Lokal ................... .............................................................................
Pengeluaran RT (Pekerja) Jumlah (Rp) Alur Pengeluaran RT (Pekerja)
a. Pangan
Beras .................... .........................................................
Sayur-sayuran ..................... .................................... ....................
Telur & Susu ...................... ........................................................
Ikan ..................... ........................................................
Minyak goreng ...................... .........................................................
Gula Pasir ...................... .........................................................
Teh & Kopi ..................... ........................................................
Mie Instan ..................... ......................... ...............................
Rokok ...................... .........................................................
b. Non Pangan
LPG ..................... .........................................................
S.cuci, S.mandi dll ..................... .........................................................
Alat-alat Tulis ..................... .........................................................
L3-6
Klasifikasi Sistem Neraca Sosial Ekonomi Desa Waringin Jaya Tahun 2015
Kode F
AK
TO
R P
RO
DU
KS
I
Tenaga Kerja
Produksi, Operator Alat Angkutan, Manual dan Buruh Kasar
Lokal 1
Non Lokal 2
Tata Usaha, Penjualan, Jasa-Jasa
Lokal 3
Non Lokal 4
Modal 5
INS
TIT
US
I
Rumah
Tangga
RT Desa Pendapatan Rendah 6
RT Desa Pendapatan Sedang 7
RT Desa Pendapatan Tinggi 8
US
AH
A Konsumsi 9
Non Konsumsi 10
EK
SO
GE
N
Pengeluaran Pemerintah 11
Rest of Rural 12
L3-7
Kerangka Sistem Neraca Sosial Ekonomi Desa Waringin Jaya Tahun 2015 (12x12)
Tabel SNSE ini menjelaskan mengenai dampak dari pengeluaran pemerintah desa di bidang Pembangunan Infrastruktur (Sebagai variabel Eksogen). Data = 19 Keseimbangan Tabulasi = 26
Uraian Transaksi
Faktor Produksi Institusi Unit Usaha Eksogen
Total TK Pro
Lokal
TK Pro
N.Lokal
TK
Pen
Lokal
TK Pen
N.Lokal Modal
Pen
Rendah
Pen
Sedang
Pen
Tinggi Konsumsi
Non
Konsumsi
Peng
Pemerintah
Rest of
Rural
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Fa
kto
r P
ro
du
ksi
TK Pro Lokal 1 T110 X111 X112 Y113
TK Pro N.Lokal 2 T210 Y213
TK Pen Lokal 3 T39 Y313
TK Pen N.Lokal 4 T49 Y413
Modal 5 T59 T510 Y513
Inst
itu
si Pen Rendah 6 T61 T62 T63 T65 T66 X611 Y613
Pen Sedang 7 T71 T72 T73 T74 T75 T77 Y713
Pen Tinggi 8 T83 T85 T88 Y813
Usa
ha
Konsumsi 9 T96 T97 T98 T99 T910 X912 Y913
Non Konsumsi 10 T106 T107 T108 T1010 X1011 X1012 Y1013
Ek
sog
en
Peng Pemerintah 11 L1111 L1112 Y1113
Rest of Rural 12 L123 L125 L126 L127 L128 L129 L1210 L1211 Y1213
Total 13 Y’113 Y’213 Y’313 Y’413 Y’513 Y’613 Y’713 Y’813 Y’913 Y’1013 Y’1113 Y’1213
L3-8
Kerangka Sistem Neraca Sosial Ekonomi Desa Waringin Jaya Tahun 2015 (12x12)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 938.250.000 70.830.000 16.469.798.650 17.478.878.650
2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 45.000.000 0 0 45.000.000
3 0 0 0 0 0 0 0 0 17.413.500.000 0 0 0 17.413.500.000
4 0 0 0 0 0 0 0 0 65.625.000 0 0 0 65.625.000
5 0 0 0 0 0 0 0 0 195.623.340.000 1.330.000.000 0 0 196.953.340.000
6 487.638.830 27.000.000 1.741.350.000 0 9.847.667.000 2.313.131.166 0 0 0 0 200.000.000 0 14.616.786.996
7 16.991.239.820 18.000.000 2.612.025.000 65.625.000 39.390.668.000 0 11.549.831.560 0 0 0 0 0 70.627.389.380
8 0 0 4.353.375.000 0 98.476.670.000 0 0 10.283.004.500 0 0 0 0 113.113.049.500
9 0 0 0 0 0 709.500.000 1.277.100.000 46.273.520.250 167.206.422.400 183.927.064.600 0 150.485.780.150 549.879.387.400
10 0 0 0 0 0 28.500.000 51.300.000 22.622.609.900 0 131.398.265.000 430.073.415 164.247.831.285 318.778.579.600
11 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 734.955.500 761.743.415 1.496.698.915
12 0 0 8.706.750.000 0 49.238.335.000 11.565.655.830 57.749.157.820 33.933.914.850 169.570.500.000 1.140.000.000 60.840.000 0 331.965.153.500
13 17.478.878.650 45.000.000 17.413.500.000 65.625.000 196.953.340.000 14.616.786.996 70.627.389.380 113.113.049.500 549.879.387.400 318.778.579.600 1.496.698.915 331.965.153.500
L3-9
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 1,000013042 2,49304E-05 0,000340944 1,24618E-05 0,000675656 3,32428E-05 1,24618E-05 0,001343003 0,000360914 0,005366326
2 6,25497E-07 1,000001196 1,63522E-05 5,9769E-07 3,24056E-05 1,59438E-06 5,9769E-07 6,44126E-05 1,731E-05 0,000257378
3 0,001308582 0,002501496 1,009792749 0,001250409 0,018960124 0,003335553 0,001250409 0,037086529 0,055643207 0,054759482
4 4,93156E-06 9,42721E-06 3,69052E-05 1,000004712 7,14537E-05 1,25705E-05 4,71233E-06 0,000139765 0,000209699 0,000206368
5 0,014719101 0,028137152 0,110495087 0,014064764 1,213955885 0,037518745 0,014064764 0,41853399 0,625607649 0,622775218
6 0,034174467 0,714772348 0,126550123 0,000984838 0,074407158 1,190630689 0,000984838 0,029357312 0,043795939 0,043859725
7 1,165925186 0,48541815 0,207949125 1,199110386 0,294543712 0,009623326 1,199110386 0,108480937 0,160239797 0,165331945
8 0,008455365 0,016163345 0,338465304 0,008079483 0,672889771 0,021552587 0,008079483 1,34039249 0,359386089 0,357585227
9 0,041322086 0,078991635 0,309233111 0,039485115 0,598718313 0,105329315 0,039485115 1,171109649 1,757088028 1,729181981
10 0,004431 0,008470336 0,115838771 0,00423402 0,229559959 0,011294546 0,00423402 0,456296855 0,122623562 1,82325569
Ma
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0
3 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0
4 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0
5 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
6 0 0 0 0 0 1,188003566 0 0 0 0
7 0 0 0 0 0 0 1,195502861 0 0 0
8 0 0 0 0 0 0 0 1,1 0 0
9 0 0 0 0 0 0 0 0 1,43694339 1,41046182
10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1,701238363
Ma1
L3-10
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 1 0 0 0 0 9,7631E-06 3,63696E-06 0,001001439 0 0,002943266
2 0 1 0 0 0 4,68254E-07 1,74435E-07 4,80307E-05 0 0,000141164
3 0 0 1 0 0 0,002295903 0,000855273 0,027548906 0,031667854 0
4 0 0 0 1 0 8,6524E-06 3,22321E-06 0,000103822 0,000119344 0
5 0 0 0 0 1 0,025806025 0,009613297 0,310904111 0,355756816 0,004172175
6 0,033143812 0,712802139 0,118800357 0 0,059400178 1 0 0 0,024894171 0,000446001
7 1,162149828 0,478201144 0,179325429 1,195502861 0,239100572 0 1 0 0,090883186 0,00448559
8 0 0 0,275 0 0,55 0 0 1 0,204374909 0,002294696
9 0,0337898 0,064592857 0,252687647 0,032287677 0,48922708 0,072499483 0,027007612 0,869932842 1 0
10 0,001545998 0,002955342 0,094183773 0,00147727 0,18762871 0,003317097 0,00123569 0,340247673 0 1
Ma2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 1,000013042 2,49304E-05 0,000340944 1,24618E-05 0,000675656 0 0 0 0 0
2 6,25497E-07 1,000001196 1,63522E-05 5,9769E-07 3,24056E-05 0 0 0 0 0
3 0,001308582 0,002501496 1,009792749 0,001250409 0,018960124 0 0 0 0 0
4 4,93156E-06 9,42721E-06 3,69052E-05 1,000004712 7,14537E-05 0 0 0 0 0
5 0,014719101 0,028137152 0,110495087 0,014064764 1,213955885 0 0 0 0 0
6 0 0 0 0 0 1,002211377 0,000823785 0,026688466 0 0
7 0 0 0 0 0 0,008100419 1,00301758 0,098619033 0 0
8 0 0 0 0 0 0,018141854 0,006758229 1,218538627 0 0
9 0 0 0 0 0 0 0 0 1,222795582 0,00263073
10 0 0 0 0 0 0 0 0 0,085336391 1,000972002
Ma3
L4-1
PENDEKATAN KUALITATIF
L4-2
Pedoman Wawancara untuk Informan Pemerintah Desa
Bagaimana kondisi infrastruktur di desa Waringin Jaya sebelum dilakukan
pembangunan infrastruktur pada tahun 2015?
Apa saja program kegiatan pembangunan desa untuk tahun anggaran 2015?
Wilayah mana saja yang menjadi prioritas pembangunan infrastruktur untuk
tahun anggaran 2015?
Jenis-jenis usaha apa saja yang ada di desa Waringin Jaya?
Apa saja mata pencaharian masyarakat desa Waringin Jaya?
Siapa saja masyarakat desa yang menjadi tenaga kerja pada pembangunan
infrastruktur?
L4-3
Pedoman Wawancara untuk informan Unit Usaha Baru
Apakah bapak/ibu mengetahui ada pembangunan/perbaikan jalan di depan
rumah bapak/ibu?
Bagaimana kondisi jalan di depan rumah bapak/ibu sebelum dilakukan
pembangunan/perbaikan jalan?
Kapan bapak/ibu memulai usaha?
Apakah alasan bapak/ibu membuka usaha? Apakah ada faktor jalan yang
sudah bagus/diperbaiki?
L4-4
Pedoman Wawancara untuk informan penanggungjawab Pembangunan
Infrastruktur (RT/RW)
Bagaimana kondisi infrastruktur sebelum dilakukan
pembangunan/perbaikan jalan?
Kapan pembangunan infrastruktur di wilayah bapak/ibu dilaksanakan?
Bagaimana sikap masyarakat terhadap adanya kegiatan pembangunan
infrastruktur di wilayah bapak/ibu?
Ada berapa program kegiatan pembangunan infrastruktur di wilayah
bapak/ibu?
Bapak/ibu kalau boleh saya tahu, dimana lokasi pembangunan infrastruktur
tersebut dibangun? Untuk infrastruktur jalan, batasan
pembangunan/perbaikan jalan mulai darimana sampai dimana?