Post on 07-Jul-2018
8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT
1/83
KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA1
Karakter Birokrasi Lokal STUDI DETERMINASI STRUKTURAL DAN KULTURAL PADA BIROKRASI
PEMERINTAHAN KABUPATEN NGADA
Tim Penulis:
Blasius Urikame UdakDavid PandieJermi Haning
Patricius UsfomenyLaurensius P.S. RaniFr. Stanley Jawa, SVD
Diterbitkan atas kerjasama
YAYASAN PEDULI SESAMA (SANLIMA)Jl. Tugu Adipura No.1 Penfui Kupang, NTT
Telp/Fax : 0380-882071, E-mail : Sanlima@kupang.wasantara.net.id
Dengan
ffTHE FORD FOUNDATION
8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT
2/83
KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA2
Buat rekan terbaik kami,
Blasius Urikame Udakatas inspirasi dan kerja yang cemerlang...
8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT
3/83
KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA3
Pengantar Tim Penulis
MENCARI BUDAYA BIROKRASI MULTIKULTUR
Mencari budaya birokrasi baru, adalah suatu pernyataan yang mengingatkan bahwa
memang ada sesuatu yang kosong, sesuatu yang hilang atau sesuatu yang ada tidak
bermanfaat lagi berhubungan dengan penampilan budaya birokrasi yang
disfungsional. Itulah kata ―reinventing‖ menjadi frasa baru yang merangsang untuk
menemukan kembali sejatinya sebuah birokrasi pemerintahan yang beradab. Yaitu
birokrasi yang berwajah manusia dan memancarkan keadilan bagi rakyat yang
dilayani. Bahwa budaya birokrasi berkaitan dengan nilai, norma dan sistem
kepercayaan yang menjadi way of life yang menuntun dan mengarahkan perilaku
birokrasi.
Secara klasik, kehadiran birokrasi sebagai sebuah organisasi modern yang diilhami
oleh Max Weber, merupakan suatu upaya untuk membangun suatu kultur organisasi
yang memisahkan kepentingan domestik dan publik. Birokrasi bertumbuh atas asas
rasionalitas dan legal, telah mereduksi segala kemungkinan tumbuhnya vested
interested untuk mengoreksi kultur organisasi feodalistik serta kesetiaan buta
dalam organisasi berbasis semangat kharismatik. Keunggulan rasionalisasi birokrasi
bertumbuh bersamaan dengan abad pencerahan yang diadopsi sebagai model paling
menjanjikan untuk mengembangkan peradaban manusia dan mengelola sebuah
kekuasaan negara yang adil.
Adopsi budaya birokrasi legal-rasional bukan tanpa soal. Bahwa teori ini kemudian
menuai kritik pedas yang dialamatkan pada mesin birokrasi yang begitu formalistik
dan mekanistik. Organisasi ini kemudian menjadi begitu kaku, tak berwajah
manusiawi dan dikatakan sebagai ―organisasi yang angker‖. Budaya birokrasi legal-
rasional yang tumbuh dalam kebudayaan barat, dianggap sebagai model paling ideal
dan patut diimitasi oleh organisasi publik di negara dunia ketiga. Namun, pesan
teoretik yang begitu indah, akhirnya harus bertemu dengan kenyataan lingkungan
non-barat, khususnya di masyarakat Indonesia yang begitu feodalistik dan
menjunjung tinggi asas partikularistik. McGregor yang mengungkapkan Teori X dalam
manajemen barat, begitu yakin bahwa manusia mempunyai keunggulan yang dapat
didayagunakan kemampuan intelektualnya untuk pengembangan organisasi. Tetapi
kemudian, Teori Z yang berlatar kebudayaan Jepang menjadi referensi baru dalam
memperkenalkan budaya birokrasi yang dapat bertumbuh karena dimensi ikatan
kekeluargaan. Siapapun yang bekerja dalam organisasi, ia harus menganggap
organisasi itu miliknya, maka patut ia bekerja keras untuk mempertahankan miliknya.
Tetapi perjumpaan teori birokrasi modern dan birokrasi tradisional tidak dapat
8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT
4/83
KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA4
berlangsung dengan baik. Terdapat sejumlah perilaku menyimpang yang terjadi
akibat perkawinan budaya birokrasi. Bahwa kita secara formal-normatif telah
menganut sistem birokrasi modern, tetapi ketika diterapkan, semuanya hanya
verbalistis, tak ada faedahnya sebagai penuntun perilaku birokrasi. Istilahnya good
theory, but poor practices .
Fred W. Riggs sebagai seorang pakar administrasi negara, meneliti khusus soal
birokrasi di negara berkembang dan menamakannya sebagai suatu ―model prismatik
birokrasi‖. Model birokrasi ini bercirikan formalistik dan tindan (tumpang tindih)
antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Disebut formalistik karena,
peraturan yang menjadi dasar hukum untuk menuntun tindakan dan perilaku birokrasi
seringkali berbeda dengan penerapannya. Demikian juga, organisasi birokrasi yang
legal rasional tidak dapat memisahkan antara kepentingan yang bersifat umum
dengan kepentingan partikularistik. Bahkan kepentingan partikularistik ini begitu
kuat, sehingga birokrasi sendiri menjadi lahan untuk mencapai kepentingan-
kepentingan yang bersifat komunal.
Ketika pelaksanaan otonomi daerah, banyak harapan yang membumbung tinggi,
karena dalam desentralisasi pemerintahan akan berimplikasi pada peningkatan
keadilan dan semakin baiknya pelayanan kepada masyarakat. Namun dalam praktek
selama lima tahun terakhir, geliat otonomi daerah banyak yang melenceng dari
filosofinya. Desentralisasi yang bersifat devolusi, terlalu membuka ruang yang
begitu besar bagi daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri yang
akhirnya dipersepsipkan secara sempit dengan multitafsir dari setiap daerah.
Otonomi daerah tidak memunculkan harapan untuk melahirkan birokrasi yang
berbasis pada rakyat (people-based bureaucracy ), tetapi malah muncul ethnic-based
bureaucracy . Otonomi ternyata membangkitkan rivalitas suku dan etnis untuk
menguasai birokrasi pemerintahan daerah. Kenyataan ini begitu kuat dan menjadi
tarik-menarik yang diperhitungkan dalam pemilihan langsung kepala daerah, dimana
sentimen etnik dan agama dieksploitasi dalam kalkulasi untuk menangguk suara.
Perpolitikan berbasis etnik ini begitu menguat dan jika tidak dikelola serta dikontrol
akan menjadi ―bom waktu‖ yang memicu radikalisme komunal yang berujung pada
konflik terbuka di daerah. Rivalitas etnik untuk menguasai birokrasi daerah
tercermin kuat dalam desain rekruitmen dan promosi serta pelayanan publik di
daerah. Bahwa secara diam-diam pola diskriminasi dan marjinalisasi berbasis etnik
dan kepentingan politik menjadi model baru di daerah, sebagaimana teori
paternalistik birokrasi yang memperkenankan diterapkannya sistem rekruitmenberdasarkan nepotisme dan interes politik (spoil system). Birokrasi dengan demikian
kehilangan roh integritasnya untuk melayani rakyat, karena dia sendiri telah menjadi
alat kelompok-kelompok dominan dalam politik identitas.
8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT
5/83
KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA5
Di sini birokrasi pemerintahan mengalami suatu siklus sejarah yang berputar
kembali, yaitu dari birokrasi komunal—birokrasi feodal---birokrasi kolonial---
birokrasi penguasa---birokrasi etnik yang komunal. Bayangan tentang birokrasi yang
netral dan adil dalam masyarakat yang yang majemuk ini menjadi pekerjaan rumah
untuk menemukan kembali sejatinya sebuah birokrasi pemerintahan daerah.
Penelitian ini sebagai upaya mengungkapkan ranah birokrasi dalam siklus perubahanbirokrasi di atas. Bahwa birokrasi berbasis etnis begitu menggejala kuat dalam
panampilan budaya birokrasi daerah. Birokrasi tercabik-cabik dalam dominasi etnik
dan kepentingan politik, membuat format birokrasi daerah mengalami disfungsional,
karena jabatan bukanlah suatu prestasi, tetapi suatu prestise yang diperoleh tanpa
tempaan profesionalisme. Ada kesan kuat bahwa etnik menjadi sumberdaya politik
yang bersifat ampuh untuk membangkitkan budaya parochial dalam birokrasi.
Kajian ini, sangat bermakna sebagai koreksi total terhadap penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang non-demokratis. Salah satu hal yang perlu diperhatikan
adalah merumuskan suatu model birokrasi yang multikultur. Bahwa kehadiranbirokrasi dalam ruang publik yang multi-etnik, multi-kultur adalah suatu keniscayaan
yang tak terelakkan. Karena itu, dibutuhkan suatu konsep multikultural sebagai suatu
kesadaran tentang pentingnya menghargai semua etnik dan kultur yang ada dalam
suatu wilayah politik. Prinsipnya adalah kesamaan dan keadilan, dimana unsur
mayoritas menghargai unsur minoritas, dan semuanya berada dalam tatanan yang
adil. Model birokrasi multikultural sangat penting menghargai pengalaman negara-
negara Balkan yang hancur lebur karena ketegangan dan konflik etnik yang tak bisa
didamaikan. Keragaman budaya harus dilihat sebagai kekayaan yang perlu dikelola
untuk mendapat hasil yang optimal dan bukan sesuatu yang selalu dipertentangkan.
Budaya birokrasi multikultural diharapkan menjadi model untuk membangun
pemerintahan daerah yang demokratis, adil dan aman. Birokrasi sesungguhnya suatu
miniatur multikultural yang indah dan bukan miniatur konflik kekerasan yang
diskriminatif.
Penelitian dan penerbitan hasilnya dalam bentuk buku ini merupakan kerjasama
Yayasan Peduli Sesama (Sanlima Kupang) dengan The Ford Foundation dalam
program Local Capacity Strengthening to Support Good Governance in Nusa
Tenggara Timur . Akhirnya kami haturkan terima kasih yang mendalam kepada semua
pihak yang membantu hingga terlaksananya penelitian dan penerbitan buku ini.
Kepada the Ford Foundation atas dukungan finansialnya, Bpk. Dr. Hans Antlov
sebagai Program Officer Government and Civil Society yang memungkinkan hal ini
terlaksana, Bupati Ngada dan seluruh jajaran Pemkab Ngada yang membantu dengan
berbagai bentuk fasilitas selama penelitian berlangsung, singkatnya seluruh pihak
yang telah berkontribusi. Semoga buku ini bisa bermanfaat di tengah kelangkaan
studi dan publikasi lokal di Nusa Tenggara Timur.
8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT
6/83
KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA6
Kupang, November 2005
Tim Penulis
Daftar Isi
Pengantar Tim Penulis ..............................................................................................................
Daftar Isi ...................................................................................................................................
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang ............................................................................................................
2. Perumusan Masalah ....................................................................................................
3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..............................................................................
II. BIROKRASI, SEBUAH REVIEW TEORITIK
1. Terminologi Birokrasi ...............................................................................................
2. Ragangan Teori Klasik dan Modern Birokrasi ...................................................
3. Profil Birokrasi Indonesia Kontemporer ..............................................................4. Pembaruan Birokrasi .................................................................................................
III. METODE PENELITIAN
1. Variabel Penelitian ....................................................................................................
2. Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................................................
3. Populasi dan Sampel ..................................................................................................
4. Teknik Pengumpulan Data ........................................................................................
5. Pengolahan dan Analisis Data ..................................................................................
IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN NGADA
V. DETERMINAN STRUKTURAL DAN KULTURAL BIROKRASI PEMERINTAHAN
KABUPATEN NGADA
A. Determinan Struktural Birokrasi ..........................................................................
1. Sistem Konsekuensi ..................................................................................................
1.1 Pola Kompetisi ...............................................................................................
1.2 Pola Pengukuran Kinerja .............................................................................
1.3 Pola Insentif .................................................................................................
2. Sistem Pertanggungjawaban (Akuntabilitas) .....................................................
2.1 Mekanisme Pertanggungjawaban Organisasi .........................................
2.2 Substansi Pertanggungjawaban ................................................................
3. Struktur Kekuasaan (Birokras) .............................................................................
a. Ukuran Birokrasi ..........................................................................................
b. Pola Pengawasan dan Pengendalian .........................................................
8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT
7/83
8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT
8/83
KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA8
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Studi menyangkut perkembangan negara–negara berkembang termasuk Indonesia
menunjukkan bahwa birokrasi merupakan elemen penting dan sentral dalam segenap
proses pembangunan. Birokrasi pemerintah dianggap sebagai satu–satunya lembaga
yang secara konstitusional memiliki kapasitas sebagai agen pembaharuan dan
pembangunan bangsa.
Katz (1986) memberikan dua alasan pokok mengapa birokrasi mempunyai peranan
utama dalam pembangunan nasional. Pertama, birokrasi mempunyai in put – in put
(tenaga –tenaga penggerak) yang diperlukan untuk pembangunan; kedua, kekurangan
bertindak dari berbagai kalangan masyarakat, ketidakcukupan pasar bebas dan
kebutuhan – kebutuhan idiologi tertentu. Peranan birokrasi pemerintahan yang
dominan dalam dinamika pembangunan merupakan suatu kenyataan yang harus diakui
dan hal ini sebagai akibat dari kebutuhan tenaga – tenaga penggerak yang semakin
besar dalam mendukung pembangunan dan modernisasi.
Pembangunan pada negara berkembang pada dasarnya bersifat sangat kompleks
yang melibatkan banyak faktor baik politik, ekonomi dan sosial budaya dengan
tingkat kompleksitas persoalan yang sangat tinggi pula. Namun di sisi lain, kapasitas
kelembagaan di negara – negara berkembang baik itu lembaga politik, ekonomi dan
sosial budaya juga masih rendah. Kondisi ini akhirnya harus menempatkan birokrasi
pemerintah sebagai lembaga utama dalam proses pembangunan tersebut.
Birokrasi dalam posisinya sebagai agen pembangunan tersebut cenderung makin
besar skala kekuasaan dan strukturnya sebagai implikasi dari peranannya tersebut.
Peran birokrasi mulai dikondisikan untuk mengontrol, mengatur, menstabilkan danmenjaga kontinuitas pembangunan yang hampir menyentuh segala aspek kehidupan
dan domaian.
Dalam perkembangan selanjutnya intervensi birokrasi dalam pembangunan justru
mulai mengalami kegagalan yang disebabkan oleh proses administrasi dan
manejemen birokrasi yang buruk. Dalam beberapa studi (Waterson,1979) ditemukan
1
8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT
9/83
KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA9
bahwa hambatan paling utama dalam mengimplementasikan proyek dan program
pembangunan, bukan karena keterbatasan sumber pendanaan, tetapi karena
administrative capacity . Masalah ini dapat diamati pada beberapa hal: sistem
administrasi yang ―anachronistic‖; kompotensi personalia birokrasi yang kurang
memadai; prosedur birokrasi yang lambat; kurangnya koordinasi; kurang efektifnya
organisasi birokrasi; penyalahgunaan jabatan administrasi (maladministrasi).Kegagalan birokrasi sebagai agen pembangunan ini pada dasarnya telah berimplikasi
serius terhadap kegagalan berbagai program pembangunan dan kondisi kemiskinan
dan ketertinggalan yang terus membingkai negara – negara berkembang. Ini adalah
harga yang harus dibayar dan ditanggung.
Mencermati kondisi di atas, Philip Quarhes Van Ufford (1998) menjelaskan bahwa
saat ini birokrasi pemerintahan sedang mengalami posisi krisis dan taruhannya
adalah peran mereka dalam pembangunan. Pertanyaannya adalah apakah birokrasi
saat ini mampu mengatasi persoalan kemiskinan, kelaparan, kekeringan? Ataukah
mereka sendiri sedang dalam posisi menjadi biang kemacetan dan kegagalan yangada?
Terlepas dari kekhawatiran di atas, pada dasarnya peranan birokrasi tetap penting
dalam agenda pembangunan di negara–negara berkembang. Persoalannya adalah
bagaimana birokrasi dapat mengikuti perubahan dan dinamika pembangunan serta
perubahan tuntutan masyarakat yang cepat.
Uraian di atas menandaskan ada persoalan untuk menemukan gap dalam
pembangunan, antara apa yang diharapkan dan apa yang sesungguhnya terjadi. Studi
terhadap birokrasi sebenarnya adalah studi untuk menemukan mata rantai yang
hilang untuk menutupi gap yang ada yang dicari pada variable–variable birokrasi.
B. Perumusan Masalah
Dalam konteks pembangunan di berbagai negara termasuk Indonesia, birokrasii
mempunyai peranan yang penting sebagai agen pembaruan. Keinginan untuk
melakukan proses pembangunan yang besar telah mendorong adanya dominasii
birokrasi sebagai pelaku pembangunan utama yang dilatarbelakangi oleh asumsii
bahwa birokrasi adalah satu–satunya lembaga yang memiliki kapasitas yang memadai
untuk mengemban tugas tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya, peran ini justrumenjadi over productive di mana birokrasi menjadi gurita yang menggerogoti seluruh
aspek kehidupan masyarakat. Berbagai studi empirik selanjutnya membuktikan
bahwa kegagalan berbagai program pembangunan di Indonesia justru disebabkan
oleh rendahnya kapasitas administratif atau manajemen birokrasi yang ditandai
dengan berbagai realitas patologi birokrasi.
8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT
10/83
KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA10
Terkait dengan konsep tersebut maka menarik untuk mencermati realitas kinerja
birokrasi di tingkat lokal sebagai salah satu upaya mengkaji dinamika proses
pembangunan di daerah. Karena itu rumusan masalah penelitian ini adalah:
―Bagaimana Determinasi Struktural dan Kultural Birokrasi Dalam Membentuk
Perilaku Birokrasi Di Kabupaten Ngada? ”
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan Penelitian
Kajian penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk :
1. Mengungkapkan determinasi aspek struktural birokrasi dalam mempengaruhi pola
perilaku birokrasi di Kabupaten Ngada;
2. Mengungkapkan determinasi aspek budaya patrimonial dalam mempengaruhi pola
perilaku birokrasi di Kabupaten Ngada.
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian dan kajian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :
1. Kepentingan praktis, yaitu untuk memberikan masukan bagi pemerintah daerah
dalam melakukan penataan birokrasi lokal;
2. Kepentingan teoritis, yaitu memberikan masukan dalam rangka pengembangan
kajian terhadap birokrasi.
8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT
11/83
KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA11
BIROKRASI, SEBUAH REVIEW TEORITIK
A. Terminologi Birokrasi
Istilah birokrasi sesungguhnya berasal dari kata Bahasa Perancis bereaumonia yang
merujuk pada suatu pernyataan dari Vincent de Gouruay pad abab 17 sebagai suatu
penyakit dalam pemerintahan. Kata ini kemudian berubah menjadi bureaucratia
(Perancis), bureukratic atau burokratic (Jerman), burocrazia (Italia), bureaucracy
(Inggris) dan di-Indonesia-kan menjadi birokrasi . Selanjutnya kata bureaucracy
dapat diturunkan menjadi bureacrat , bureaucratic, bureaucratism, bureaucratist dan bureaucratization.
Dalam perkembangan konsep birokrasi, akan ditemui banyak konsep tentang
birokrasi yang dikonotasi dengan berbagai hal yang kadang sangat membingungkan.
Albrow (1989) yang kemudian dielaborasi oleh Pandie (2000) mencoba menangkap
pengertian birokrasi yang tersebar tersebut dan mencoba membuat semacam
taksonomi birokrasi dalam tujuh konsep birokrasi sebagai berikut :
1. Birokrasi Sebagai Organisasi Rasional
Terminologi ini terutama diwakili oleh pemikiran Weber yang merumuskan tipe ideal
birokrasi sebagai bentuk organisasi yang di dalamnya terdapat mekanisme social
yang memaksimumkan efisiensi dalam pencapaian tujuannya. Peter Blau (1989)
sebagai penganut weberian memandang birokrasi sebagai organisasi yang
berdasarkan rasionalitas; birokrasi akan memberikan kontribusi terhadap kinerjanya
yang lebih akurat, bersinambung, disiplin, ajeg sehingga birokrasi secara teknis
merupakan tipe organisasi yang paling memuaskan. Perkembangan dunia modern yang
mengagungkan rasionalitas menjadi bukti empiris tentang kemampuan organisasii
rasional sebagai pemacu transformasi sosial dalam masyarakat industri. Rasionalitas
birokrasi yang dianut oleh sektor negara dan swasta telah memungkinkan terjadinyadinamika perkembangan ekonomi dan pelayanan yang memuaskan.
2. Birokrasi Sebagai Inefisiensi
Terminologi ini dibangun sebagai kritik terhadap proposisi birokrasi yang diajukan
oleh para weberian. Para penganut birokrasi sebagai inefisiensi mencoba melihat sisi
2
8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT
12/83
KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA12
gelap dari birokrasi yang justru counter-produktive terhadap efisiensi itu sendiri.
Terminologi ini berakar pada gejala patologi birokrasi yang ditandai oleh
kelambanan, kurang inisiatif, formalisasi yang berlebihan, korupsi, duplikasi,
tertutup dan infleksibilitas. Gagasan patologi sebenarnya bersumber pada
pandangan Alvin Gouldner yang mencoba mencari apa yang disebut metaphysical
patos sebagai sisi gelap birokrasi.
Goodsell (1994) mengkategorikan kritik terhadap rasionalitas birokrasi dalam tiga
kategori :
Kinerja pelayanan yang unacceptable;
Memobilisasi kekuatan politik yang berbahaya;
Sebagai alat represi terhadap individu
Sosiolog Robert K. Merton melihat inefisiensi dalam konsep disfunction yaitu
deviasi fungsi birokrasi yang dibaca dalam fenomena yang dikenal sebagai goal
displacement , sebagai tindakan yang menempatkan cara–cara lebih penting daripadatujuan. Hal ini mengakibatkan terjadinya formalisme organisasi yang mendewakan
aturan di atas segalanya, yang tercermin dalam rigiditas dan ketidakmampuan
organisasi membuat inovasi yang berakibat pada kecenderungan organizational break
down.
3. Birokrasi Sebagai Kekuasaan yang Dijalankan oleh Pejabat
Terminologi ini bersumber dari konsep lahirnya birokrasi yang dikemukan oleh De
Gournay. Menurutnya, birokrasi merupakan cabang keempat dari kekuasaan
(eksekutif, legislatif dan yudikatif), yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat.
W.R. Sharp (Pandie dan Kuahaty; 2000) menyebut birokrasi sebagai pelaksana
kekuasaan oleh para administrator yang professional. Dalam defenisi – defenisi di
atas, terkandung maksud untuk menguraikan bahwa birokrasi menjadi bentuk
kekuasaan yang berasal dari golongan pejabat yang dapat disejajarkan dengan
aristokrasi (kekuasaan oleh bangsawan) dan demokrasi (kekuasaan yang berasal dari
rakyat)
4. Birokrasi Sebagai Administrasi Negara
Birokrasi dalam pengertian umum, selalu sinonim dengan konsep administrasi negara
yang oleh Stillman II (1992) mempunyai beberapa pengertian :
the executive branch of government (cabang pemerintahan eksekutif)
the formulation and implementation of public policies (perumusan dan
implementasi kebijakan publik)
8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT
13/83
KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA13
the involvement in a considerable range of problem concerning human
behavior and cooperative human effort (kegiatan yang berkaitan dengan
persoalan prilaku manusia dan usaha kerjasama dalam organisasi negara)
a field than can be differentiated in several ways from private
administration (suatu bidang ilmu yang dalam beberapa hal berbeda
administrasi privat/bisnis) the production of public goods and services (produksi barang–barang dan
jasa publik untuk melayani ―citizens – consumers ‖). Dalam hal ini diartikan
sebagai public servant atau public services.
5. Birokrasi Sebagai Sebuah Organisasi
Prajudi Atmosudirdjo (1990) mengartikan birokrasi sebagai organisasi dari setiap
negara modern yaitu keseluruhan struktur–struktur, unit-unit organisasi dan proses-
proses, di mana di dalamnya terjadi keputusan–keputusan yang oleh negara
dinyatakan atau dianggap sebagai mengikat semua pihak yang bersangkutan.
Birokrasi dalam pengertian sebagai organisasi berciri sebagai bentuk organisasi yang
berskala besar, kompleks, formal dan modern. Sebagai organisasi birokrasi memilikii
spesialisasi, hierarki, otoritas, status, rantai komando, kompetensi atau kualifikasi.
Birokrasi identik dengan big organization atau large scale organization.
6. Birokrasi Sebagai Administrasi yang Dijalankan oleh Pejabat
Konsep ini berhubungan dengan suatu kerangka eksplisit bagi analisis organisasi
yang dengannya organisasi dilihat sebagai struktur–struktur, di mana staf-staf
administrasi yang menjalankan otoritas keseharian merupakan bagian yang penting.
Di dalam staf-staf itu terdiri dari orang-orang yang diangkat dan mereka disebut
birokrasi-birokrasi.
7. Birokrasi Sebagai Masyarakat Modern
Birokrasi menjadi lambang masyarakat modern karena azasnya berpijak pada
rasionalitas dan efisiensi. Masyarakat tradisional adalah masyarakat yang masih
dikuasai oleh kekuatan magis, tradisi, mitos-mitos dan kekuatan dogmatika. Struktur
masyarakat tradisional yang berbasis pada bidang pertanian, yang pola organisasinya
belum didasarkan atas pembagian kerja dan spesialisasi. Hanya dalam masyarakat
modern yang telah mengalami diferensiasi struktur dan pertimbangan–pertimbangan
rasionalitas yang dapat mengadopsi model organisasi birokrasi. Itulah sebabnya
rasionalisasi dalam birokrasi merupakan persyarat untuk mengerahkan secara penuh
pengetahuan teknologi dalam melakukan produksi yang bersifat massal atau dengan
kata lain suatu persyarat dalam proyek modernisasi. Spesialisasi, hierarki,
8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT
14/83
KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA14
wewenang, sistem peraturan dan hubungan–hubungan yang tidak bersifat pribadi
(impersonal ) merupakan ciri–ciri birokrasi yang berasosiasi dengan ciri masyarakat
modern.
B. Ragangan Teori Klasik dan Moderen Birokrasi
Ragangan teori ini dibangun dari kerangka teori Pandie (2000) :
1. Teori Klasik Birokrasi
a. Karl Marx
Marx mulai mengelaborasi konsep birokrasi dengan menganalisis dan mengkritik
falsafah Hegel mengenai negara. Analisis hegelian menggambarkan bahwaadministrasi negara atau birokrasi sebagai suatu jembatan antara negara (the
state) dengan masyarakat/rakyatnya (the civil society ). Di antara keduanya,birokrasi pemerintah merupakan perantara (medium) yang memungkinkan pesan–
pesan dari kepentingan khusus tersebut tersalurkan ke kepentingan umum. Tiga
susunan ini (negara, birokrasi dan masyarakat rakyat) diterima oleh Marx akan
tetapi diubah isinya. Birokrasi Hegel meletakkan pengertiannnya dengan
melawankan antara kepentingan khusus dan umum, maka Marxis mengkritiknya
bahwa meletakan birokrasi semacam itu tidak mempunyai arti apa – apa. Menurut
Marx, negara itu tidak mewakili kepentingan umum akan tetapi mewakili
kepentingan khusus dari klas dominan.
Birokrasi menurut Marxis merupakan suatu instrumen dimana klas dominan
melaksanakan dominasinya atas klas sosial lainnnya. Marx yang terkenal dengan
teori kelasnya itu menegaskan bahwa birokrasi itu tidak bisa netral dan harus
memihak, yakni memihak pada kelas yang dominan.
b. Gaetano Mosca
Mosca mencoba menelaah birokrai sebagai topik sentral dalam kajian struktur
politik, antara the ruling dan the ruled (penguasa dan yang dikuasai). Dalam
bukunya The Ruling Class (1895), ia membagi masyarakat (societies ) atas dua
kelas: kelas berkuasa dan kelas yang dikuasai. Kelas pertama memonopoli
kekuasaan politik dan menikmati keuntungannya denga melaksanakan kekuasaan
tersebut, sementara kelas kedua dikontrol oleh kelas pertama.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa elit birokrasi dengan keahlian, kompetensi dan
jabatannya akhirnya menjadi kelas yang disebut bureaucratic state. Geral
Caiden (Lane,1986) menyebut sebagai administrative state dimana semua
8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT
15/83
KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA15
problem masyarakat dimasukan dalam arena publik yang kemudian
diimplementasikan oleh birokrasi publik, sekaligus memonitornya. Rakyat
kemudian memandang institusi administrasi yang paling baik, sehingga mereka
menyetujui penguatan birokrasi pemerintah. Penguatan negara administrasi
cenderung akan menjauhkan semboyang pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat
dan berubah menjadi pemerintah berasal dari birokrat, oleh birokrat dan untukbirokrat.
c. Robert Michels
Michels menegaskan bahwa birokrasi diperlukan untuk menjamin eksistensi suatu
negara moderen. Dalam bukunya Political Parties dia menjelaskan bahwa negara
moderen membutuhkan birokrasi yang besar karena melaluinya kelas dominan
secara politik menjamin dominasinya. Birokrasi sebagai sumber kekuasaan bagi
kelas politik dominan, sebagai sumber keamanan bagi bahagian terbesar kelas
menengah, tetapi di pihak lain merupakan sumber operasi bagi the rest ofsociety . Konsentrasi kekuasaan pada kelas menengah ini (birokrasi) disebut
Michels sebagi oligarki yang merujuk pada adanya kecenderungan kekuasaan yang
terkonsentrasi di tangan beberapa orang pada level top organisasi. Dari studi
ekonomi-politik birokrasi, ia menyimpulkan bahwa tekanan ke arah oligarki yang
makin kuat sehingga disebutnya sebagai the iron law of oligarchy (Sulivan and
Thompson,1987). Akibatnya para elit penguasa bebas melaksanakan kekuasaan
birokrasi menurut keinginan mereka.
d. Max Weber
Konsep birokrasi Weber dibicarakan dalam kerangka teori tentang domination.
Ada tiga tipe domination yang diajukan yaitu; pertama. charismatic domination
yaitu keabsahan bentuk hubungan kekuasaan bersumber pada kualitas
supranatural pribadi si pemimpin; kedua, traditional domination yaitu bentuk
hubungan kekuasaan yang memperoleh keabsahan karena bersumber pada
tradisi; ketiga, legal rasional domination yang melihat keabsahan bentuk
hubungan kekuasaan dari kenyataan bahwa kekuasaan bersumber pada ketentuan
atau peraturan formal.
Birokrasi dalam bentuknya yang paling rasional memprasyaratakan proposisi-
proposisi menurut legitimasi dan otoritas, serta memiliki ciri tertentu sebagai
berikut :
1. Para anggota staf secara pribadi bebas, hanya menjalankan tugas-tugas
impersonal jabatan mereka;
2. Adanya hirarki jabatan yang jelas;
3. Fungsi – fungsi jabatan ditentukan secara jelas;
8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT
16/83
KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA16
4. Para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak;
5. Mereka dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idelanya didasarkan suatu
diploma (ijasah) yang diperoleh melalui suatu ujian;
6. Mereka memiliki gaji dan biasanya juga hak–hak pensiun. Gaji berjenjang
menurut kedudukan dan hirarki. Pejabat dapat selalu menempati posnya, dan
dalam keadaan – keadaan tertentu ia juga dapat diberhentikan;7. Pos jabatan adalah lapangan kerjanya sendiri atau lapangan kerja pokok;
8. Terdapat suatu struktur karir, dan promosi dimungkinkan berdasarkan
senioritas maupun keahlian (merit) dan menurut pertimbangan keunggukan
(superior);
9. Pejabat mungkin tidak sesuai baik dengan posnya maupun dengan sumber-
sumber yang tersedia di pos tersebut;
10. Ia tunduk pada system disipliner dan kontrol yang seragam.
2. Teori Modern Birokrasi
a. Pluralism dan Government Overload
Pluralism merupakan ciri moderernisasi barat, khususnya pada abab ke-20,
dimana kekuasaan politik terfragmantasi dan terdefusi secara meningkat. Sistem
politik modern yang pluralist telah menyeimbangkan penggunaan kekuasaan yang
tumpah tindih antara asosiasi ekonomi, professional, agama, etnik dan lain-lain.
Tiap kelompok memainkan pengaruh tertentu terhadap proses policy-making ,
tetapi tidak monopoli antara yang satu terhadap yang lain, karena ada check and
balance.
Dalam system yang pluralistik ini birokrasi tidak mampu untuk berkuasa sendiri,
karena dikontrol ketat oleh pelbagai kelompok interest. Pengaruh yang mungkin
terjadi, jika birokrasi dapat mempengaruhi parlemen.
Birokrasi dengan demikian sebagai bagian dalam struktur negara yang pluralist,
bukan hirarki yang monolitik. Secara empiris, pada kondisi pluralist hal yang
menguntungkan bagi birokrasi adalah mencari penyesuaian timbal balik dengan
lembaga lain (mutual adjustments with other ), dalam bentuk aliansi, koalisi,
pertukaran, persuasi, ancaman dan cara manipulasi.
Salah satu versi pendekatan pluralis yang popular dewasa ini adalah tesis
government overload, sebagaimana yang diusulkan oleh Michael Crozier, S.P.
Huntington, Daniel Bell dan lain-lain. Menurut tesis ini, ada tekanan yang kuat
terhadap pemerintah untuk memenuhi tuntutan publik yang begitu kompleks yangdihasilkan oleh revolusi entitlements . Revolusi ini diakibatkan oleh eskalasi yang
8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT
17/83
KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA17
makin tinggi dari kelompok aktivis politik dan meningkatnya harapan masyarakat
terhadap pemerintah. Selanjutnya seiring dengan perkembangan masyarakat
modern, ekspansi peranan pemerintah dalam ekonomi dan masyarakat makin
kompleks dalam bentuk government overload atau big government.
b. The Technocratic View
Anti tesis pandangan pluralisme diekspresikan oleh aliran pemikiran teknokratik
(the technocratic school of thought) . Aliran pemikiran ini muncul di Perancis
sebagai fenomena dalam sistem politik dimana teknokrat mempunyai pengaruh
yang menentukan dalam administrasi (birokrasi) dan ekonomi. Teknokratik adalah
kelompok pemikir yang terhimpun dalam birokrasi guna menopang efektivitas
sistem politik. Etzioni-Halevi (1983), mengidentifikasi teknokratik-birokratik
dalam beberapa indikator :
1. Peningkatan intervensi pemerintah;
2. Peningkatan kompleksitas tugas-tugas pemerintah;3. Ekspertasi yaitu kebutuhan kelompok ahli yang mempunyai ekspert yang
berpengetahuan;
4. Information. Untuk membuat keputusan politik, setiap pemimpin politik
membutuhkan informasi yang akurat. Tiap unit birokrasi harus mampu
memanipulasi informasi untuk mempengaruhi keputusan;
5. Time and number sebagai alat kontrol dalam birokrasi.
c. The Corporotorist View
Konsep corporotorist atau corpotorism secara umum didefenisikan sebagai
konfigurasi institusional ketika kebijakan publik dikerjakan melalui interaksi
antara elit negara dan pemimpin – pemimpin organisasi perwakilan kepentingan
atau korporasi dalam jumlah yang dibatasi.
Menurut Schmitter (dalam Santoso,1993) dijelaskan bahwa corpororism terbagi
atas dua tipe : pertama, state corporotorism. Tipe ini ditandai dengan dominasi
negara atas kelompok korporasi (himpunan kelompok kepentingan) dengan
melakukan represi melalui kekuatan politik yang otoriter; kedua, societal
corporotorism yaitu peranan – peranan kelompok korporasi begitu dominan
terhadap negara dalam perumusan – perumusan kebijakan publik dan ini biasanya
terjadi pada negara – negara barat yang berbentuk kapitalis dan demokratik.
Di bawah model ini, peranan birokrasi sangat minimal. Ada dua alasan pengabaian
birokrasi ini yaitu formalisasi peraturan yang membuat kinerja birokrasi
pemerintah sangat lamban dan kaku, serta kapasitas aparatur negara yang
rendah dan korupsi yang tinggi.
8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT
18/83
KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA18
d. Marxist View
Dalam bukunya Manifesto of the Communist Party (1969), Marx bersama Engels
menegaskan secara keras bahwa eksekutif negara moderen adalah komite untuk
mengelola kepentingan dari kelas berjuis. Menurut teori Marxits, Negarabekerja atas tiga pertimbangan : pertama, orang-orang yang berada dalam pos-
pos komando negara cendrung untuk menjadi kelas dominan atau cendrung
memperoleh privilege yang memadai untuk menguasai dan memberi warna
terhadap hubungan-hubungan sosial, pendidikan dan cara panjang. Kelas ini
membentuk opini publik dalam hegemoni kekuasaan.
Kedua, kelas kapitalis yaitu mereka yang mempunyai kekuatan ekonomi, menjadi
kelompok penekan yang dominan dalam masyarakat kapitaslis, dan pemerintahberada dalam tekanan kelas kapitalis. Ketiga, tindakan-tindakan negara dalam
sistem produksi kapitalis, secara struktural tunduk pada rasionalitas kapitalis(meskipun secara terbatas). Aparatur negara (birokrasi) berkewajiban
mempromosikan kepentingan-kepentingan kelas kapitalis karena melalui cara
demikian birokrasi dapat mengambil keuntungan rente dan sekaligus mengamakan
kekuasaanya. Birokrasi secara mendasar menjadi tulang punggung negara untuk
mempromosikan kelas penguasa, dan otonom dalam kepentingannya. Pertumbuhan
birokrasi adalah signifikan dengan kelas penguasa sehingga ada kecendrungan
yang kuat mempertahankan status qou .
C. Profil Birokrasi Indonesia Kontemporer
Pemerintahan Indonesia sejak awal orde baru telah mulai melakukan pembenahan
terhadap birokrasi secara lebih serius sebagai upaya untuk mewujudkan
keberhasilan pembangunan ekonomi. Birokrasi mulai ditata menjadi suatu birokrasi
bertipe legal rasional yang ditandai oleh tingkat spesialisasi yang tinggi, struktur
kewenangan hirarkis dengan batas – batas kewenangan yang jelas, hubungan antar-
anggota organisasi yang tidak bersifat pribadi, rekrutmen berdasarkan kemampuan
teknis dan lain sebagainya. Kualitas ini ingin dicapai melalui pengaturan struktural
seperti hirarki wewenang, pembagian kerja, profesionalisme, system pengupahan
yang semua berdasarkan atas peraturan perundangan.
Dalam perkembangannya sosok birokrasi legal formal tidaklah sepenuhnya dapat
diwujudkan dengan baik yang nampaknya sangat dipengaruhi oleh banyak faktor dan
birokrasi Indonesia dewasa ini belumlah mampu melepaskan dirinya dari akar
historis dan budayanya. Emmerson (dalam Santoso,1993) mengatakan bahwa
birokrasi Indonesia dewasa ini masih mencerminkan percampuran dan perpaduan
8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT
19/83
KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA19
antara karakteristik birokrasi modern yang legal rasional dengan kararakteristik
birokrasi yang berakar pada sejarah. Warisan budaya aristokrasi, orientasi ke atas,kesadaran prestise dan status yang amat kuat, pengaruh misticsim dalam
pengambilan keputusan masih tetap mewarnai perjalanan birokrasi Indonesia.
Merujuk pada karya F.W. Riggs (1996) yang berjudul Administrasi Negara – NegaraBerkembang: Teori Masyarakat Prismastis , dapat dikatakan bahwa birokrasi yang
berkembang di Indonesia saat ini merupakan birokrasi yang lahir dari rahim
masyarakat prismastic yaitu masyarakat yang ditandai dengan saling terbenturnya
nilai-nilai tradisional dengan nilai–nilai modern. Secara struktural ditampilkan ciri–
ciri sebagaimana birokrasi modern, namun secara kultural, birokrasi di Indonesia
masih membawa semangat feodalisme dalam segala aspeknya.
Pola prilaku birokrasi Indonesia saat ini pada dasarnya dipengaruhi oleh berbagai
faktor yang merupakan suatu hasil dari proses sejarah dari zaman kerajaan
tradisional, kolonial dan birokrasi Indonesia modern saat ini (Santoso,1993;Wignjosoeroto,1989; Hariandja, 1999).
1. Birokrasi Kerajaan
Birokrasi sebagai korps pegawai negara telah eksis di Indonesia sejak zaman pra
kolonial yaitu zaman kerajaan Hindu Jawa dan Mataram Islam. Korps ini disebut abdi
dalem. Para abdi dalem oleh raja diberikan hak–hak atas tanah, menarik pajak tanpa
peraturan dan batasan yang jelas. Karir dan posisinya sangat tergantung pada
kecerdikan mereka dalam memelihara dan memanfaatkan hubungan pribadinya
denga raja. Para abdi dalem ini kemudian berkembang menjadi kelas sosial tersendiri
yang terpisah dari masyarakat. Mereka berkesempatan menurunkan kedudukannya
jika raja berkenan. Anggota keluarga lainnya mendapat kesempatan untuk menduduki
jabatan birokrasi, sehingga birokrasi bukan saja lembaga dengan fungsinya tetapi
juga sebuah lapisan sosial. Dengan demikian posisi dan status setidaknya ditentukan
oleh pertalian darah dengan keluarga kerajaan.
2. Birokrasi Kolonial
Tujuan pemerintahan kolonial adalah eksploitasi dan penguasaan politik. Untuk
melaksanakan tujuan tersebut birokrasi dibentuk. Priyayi sebagai ambtenaar
mempunyai kedudukan sebagai penyelenggara kekuasaan kolonial. Dengan memakai
para priyayi, maka secara umum pihak Belanda telah mengadopsi sistem dan struktur
birokrasi tradisional yang dinilai sangat menguntungkan dalam mengukuhkan
kekuasaan Belanda terhadap masyarakat pribumi. Sebenarnya ada perubahan dalam
birokrasi kolonial dimana priyayi tidak diangkat berdasarkan kualifikasi genelogis
tetapi berdasarkan kriteria rasional. Tetapi karena priyayi ini telah berkembang
8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT
20/83
KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA20
menjadi suatu kelas sosial dan mereka mempunyai kesempatan untuk melestarikan
posisi sosial mereka, akhirnya kepriyayiannnya ini juga menjadi suatu hal yang turun
temurun sepertinya halnya abdi dalem.
3. Birokrasi Indonesia Kontemporer
Dalam memahami perilaku birokrasi di Indonesia, selain dengan menggunakan
pendekatan kultural seperti yang dijelaskan di atas, dapat juga digunakan
pendekatan lain yaitu model bureaucratic polity (masyarakat politik birokratik).
Usman (1998) menjelaskan bahwa permasalahan yang paling penting di Indonesia
pada masa orde baru adalah terjadinya apa yang lazimnya disebut politisasi birokrasi
publik. Kondisi ini pada awalnya dimaksudkan untuk meredakan konflik–konflik
internal birokrasi (tinggalan orde lama), tetapi dalam perkembanganya justru
menciptakan bentuk pelayanan yang tidak adil dan berkembangnya birokrasi
partisipan. Para birokrasi sangat sulit menolak keinginan rezim politik yang berkuasa.
Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam perspektif sosiologi, ada dua implikasi daripolitisasi birokrasi tersebut. Pertama, posisi birokrasi menjadi sangat marginal dan
tidak memiliki bargaining power; kedua, pelembagaan hubungan ― kekeluargaan‖ pada
proses promosi dalam organisasi publik.
Emmerson dan Wilner (Hariandja,1999) menjelaskan bahwa nilai–nilai tradisional
secara subtansial terus berlanjut, meskipun dalam berbagai segi memperlihatkan
ekspresi baru. Hal ini dapat diamati bagaimana sampai saat ini posisi dan status
sosial masih berkaitan erat dengan hirarki birokrasi seperti bagaimana pegawai
negeri sipil diorganisir dalam organisasi tunggal yang posisi kepemimpinannya
diterapkan sesuai dengan tingkat jabatan dalam birokrasi.
D. Pembaruan Birokrasi
Wajah birokrasi Indonesia penuh dengan cacat akibat deviasi-deviasi yang
terpelihara yang memunculkan penyakit atau patologi birokrai. Secara teoritik
Merton menyebut gejala ini sebagai dysfunction dan yang lainnya merumuskannya
sebagai bureau pathology . Ada banyak cara yang ditawarkan untuk mengreformasi
birokrasi. Patologi birokrasi Indonesia pada umumnya disebabkan oleh beberapa hal
(Siagian,1994) :
1. Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manejerial para pejabat di
lingkungan birokrasi;
2. Patologi yang disebabkan karena kurangnya atau rendahnya pengetahuan dan
keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional;
3. Patologi yang timbul karena tindakan para anggota birokrasi yang melanggar
norma-norma hukum dan peraturan perundangan yang berlaku;
8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT
21/83
KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA21
4. Patologi dimanifestasikan dalam perilaku para birokrat yang bersifat
disfungsional atau negatif;
5. Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai instansi dalam
lingkungan pemerintah.
Dari berbagai potret birokrasi itu maka sangat diperlukan suatu proses pembaruanatau reformasi birokrasi secara mendasar. Ada beberapa pendekatan yang
berkembang dalam kaitan melakukan reformasi birokrasi ini yaitu pendekatan atau
perubahan paradigma administrasi publik menjadi manajemen publik. Ada beberapa
alasan perlu dilakukannya perubahan paradigma ini yaitu : (1) pendekatan adminstrasi
terlalu normatif; (2) model tersebut kurang memiliki akurasi yang deskriptif; (3)
bahwa model normatif gagal untuk mengidentifikasi mekanisme terbaik administrasi
publik yang kondusif terhadap efektivitas dan efisiensi operasionalnya (Lane,1998).
Kristiadi (1998) mencatat beberapa hal dalam upaya menuntun model manajemen
publik dalam mereformasi birokrasi Indonesia :1. Bagaimana membangun manajemn publik yang bercirikan good governance;
2. Bagaimana membangun manajemen publik yang memungkinkan terwujudnya
keseimbangan baru antara peranan pemerintah yang tepat dengan peranan
masyarakat yang partisipatif, sekaligus mengindahkan kaidah–kaidah
internasional;
3. Bagaimana mempersiapkan unsur–unsur organisasi yang mendukung
terwujudnya manajemen publik yang memenuhi ketiga kriteria di atas;
4. Ke arah manakah pengembangan paradigma dan ilmu manajemen publik yang
dapat mendukung terwujudnya pratik–pratik manajemen publik yang
memenuhi kriteria di atas.
Selain pendekatan manajemen di atas, juga muncul pendekatan untuk
mewirausahakan birokrasi yang disponsori oleh David Osborne dan Ted Gabler
dengan bukunya Reinventing Government serta David Orborne bersama Peter
Plastrik dalam bukunya Memangkas Birokrasi sebagai strategi dalam
mengimplementasikan prinsip- prinsip pemerintahan wirausaha.
Reinventing government sebagaimana yang diusulkan bukan dimaksudkan untuk
menggantikan peran para administrator dalam sektor publik melainkan dimaksudkan
untuk mengubah cara pandang klasik para birokrat menjadi cara pandang yang lebih
dinamis yang dirumuskan dalam 10 prinsip sebagai berikut:
1. Birokrasi yang lebih banyak mengarahkan ketimbang mengayuh;
2. Lebih memberi wewenang ketimbang melayani;
3. Menumbuhkan semangat persaingan dalam pemberian pelayan publik;
4. Merubah birokrasi yang digerakan oleh aturan;
5. Prinsip membiayai hasil dan bukn membiayai masukan;
8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT
22/83
KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA22
6. Berorientasi pada kebutuhan masyarakat pelanggan, ketimbang struktur;
7. Berorientasi hasil bukan pegeluaran;
8. Lebih bersifat mencegah daripada mengobati;
9. Dari hirarki menuju partisipasi dan team work ;
10. Mendongkrak perubahan melalui mekanisme pasar.
Lebih lanjut Osborne dan Plastrik (2000) menegaskan pentingnya pemahaman yang
luas terhadap makna pembaharuan birokrasi tersebut sehingga tidak menjadi tidak
tepat sasaran. Pembaruan oleh keduanya didefenisikan sebagai tranformasi sistem
dan organisasi pemerintah secara fundamental guna menciptakan peningkatan
dramatis dalam efektivitas, efisiensi dan kemampuan mereka untuk melakukan
inovasi. Transformasi ini dicapai dengan mengubah tujuan, sistem insentif,
pertanggungjawaban, struktur kekuasaan, dan budaya sistem dan organisasi
pemerintah. Pembaharuan adalah menciptakan organisasi dan sistem pemerintah
yang terus-menerus berinovasi, yang secara kontinu memperbaiki kualitas mereka,
tanpa mendapat tekanan dari pihak luar. Pembaharuan adalah penciptaan sektorpemerintah yang mempunyai dorongan dari dalam untuk melakukan perbaikan yang
oleh sebagaian orang disebut ―sistem pembaruan diri‖.
Hal menarik yang ditawarkan oleh Osborne dan Plastrik adalah mencoba membedah
sumber permasalahan pada birokrasi yang disebut dengan melihat kembali kode
genetika dari birokrasi. Mengambil pengandaian dari dunia pertanian, dijelaskan
bahwa semua organisme dibentukan oleh DNA yaitu instruksi berkode yang
menentukan siapa dan apa mereka. Dengan mengubah DNA suatu organisme maka
kemampauan dan prilaku baru akan muncul pula. Hal yang sama dianalogikan juga
pada sistem pemerintahan. Mereka bergerak sangat lamban dan birokratis pada
dasarnya karena mereka dirancang untuk demikian.
Dalam sistuasi demikian, solusi yang ditawarkan adalah rekayasa genetika atau
mengubah DNA dari sistem tersebut. Disimpulkan bahwa bagaian – bagian paling
fundamental dari birokrasi pada umumnya menyangkut hal – hal sebagai berikut :
1. Tujuan Sistem
Bagian kritis pertama adalah bagaimana menentukan tujuan sistem organisasi
pemerintah. Jika suatu organisasi tidak jelas tujuannnya atau mempunyai tujuan
ganda dan saling bertentangan maka organisasi tersebut tidak bisa mencapai kinerja
yang baik.
Strategi memperjelas tujuan disebut sebagai strategi inti karena berkaitan dengan
fungsi inti pemerintahan: fungsi mengarahkan. Strategi ini menghapus fungsi– fungsi
8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT
23/83
KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA23
yang tidak lagi menjalankan tujuan pemerintah yang sebenarnya, fungsi yang lebih
baik jika dikerjakan oleh sektor swasta atau tingkat pemerintahan yang lain.
Strategi ini memisahkan fungsi mengarahkan dan fungsi melaksanakan, sehingga tiap
organisasi dapat memusatkan pada satu tujuan dan meningkatkan kemampuan
pemerintah untuk mengarahkan dengan menciptakan mekanisme yang bisa
mengdefenisikan tujuan dan strategi.
2. Insentif
Bagian penting kedua dari DNA sistem pemerintah adalah DNA yang menentukan
sistem insentif pemerintah. DNA birokratis memberi insentif yang kuat kepada
pegawai untuk taat aturan dan tunduk. Inovasi hanya akan membawa kesulitan,
status qou terus-menerus mendatangkan hadiah. Pegawai dibayar sama tanpa
memandang hasil. Dan sebagaian besar organisasi adalah monopoli atau mendekati
monopoli yang diisolasi dari kegagalan mereka.
3. Pertanggungjawaban
Hal ini berkaiatan dengan kepada siapa seharusnya organisasi pemerintah
bertanggungjawab, apa yang harus dipertanggungjawabkan. Sebagian besar entitas
pemerintah bertanggungjawab kepada pejabat terpilih yang membuat entitas
tersebut. Karena itu pejabat ditekan terus-menerus untuk menjawab tuntutan
kelompok–kelompok kepentingan, mereka lebih sering peduli terhadap penggunaan
sumber daya pemerintah daripada terhadap hasil-hasil yang mereka peroleh.
4. Kekuasaan
Dalam sistem birokrasi, sebagian besar kekuasaan tetap berada di puncak hirarki.
Dan biasanya para pejabat mempertahan kekuasaan sebanyak mungkin di tangannya.
Para manejer lini mempunyai kekuasaan yang terbatas dan kekeluasaan mereka
dihambat oleh instruksi anggaran yang rinci, aturan kepegawaian, sistem pengadaan,
pratek–pratek auditing dan sebagainya. Pegawai hampir tidak memiliki kekuasaan
untuk mengambil keputusan. Akibatnya, organisasi-organisasi pemerintah lebih
tanggap pada peraturan baru daripada kepada perubahan situasi atau kebutuhan
pelanggan.
5. Budaya
Akhirnya, bagian kritis dari DNA sistem pemerintah adalah DNA yang menentukan
budaya organisasi pemerintah yaitu menyangkut nilai-nilai, norma, sikap dan harapan
pegawai. Budaya sangat dipengaruhi oleh bagian DNA lainnya baik itu tujuan, sistem
insentif, sistem pertanggungjawaban dan struktur kekuasaannya. Ubahlah unsur–
8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT
24/83
KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA24
unsur ini maka budaya akan berubah. Tetapi budaya tidak selalu berubah persis
seperti apa yang diharapkan para pemimpinnnya. Kadang-kadang budaya akan
memperkeras resistensi. Seringkali budaya akan berubah lamban sekali dalam
memuaskan pelanggan dan pembuat kebijakan.
Sistem birokrasi menggunakan spesifikasi yang rinci, unit-unit fungsional dan uraianpekerjaan untuk membentuk hal-hal yang harus dikerjakan pegawai. Spesifikasi ini
membuat inisiatif menjadi resiko. Apabila pegawai terbiasa dengan kondisi ini maka
mereka akan menjadi pembawa budaya ini. Mereka menjadi reaktif, menggantungkan
diri, takut mengmbil inisiatif. Dengan cara demikian, DNA birokrasi menciptakan
budaya takut, menyalahkan dan sikap defensif.
8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT
25/83
KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA25
METODE PENELITIAN
A. Variabel Penelitian
1. Determinan Struktural Birokrasi
1.1. Sistem Konsekuensi
Pola kompetisi
Pola pengukuran kinerja
Pola insentif
1.2. Sistem pertanggungjawaban Mekanisme pertanggungjawaban organisasi
Isi pertanggungjawaban
Akses masyarakat
1.3. Struktur Kekuasaan
Pola pengambilan keputusan
Pola pengawasan dan pengendalian
2.
Determinan Budaya Patrimonial
2.1. Budaya Organisasi
Pola – pola prilaku Nilai –nilai yang dianut
2.2. Pola Promosi
Hubungan kekeluargaan
Hubungan etnik
Hubungan politik
2.3. Polarisasi dalam birokrasi
Klik etnik
Klik politik
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Birokrasi Pemerintahan Kabupaten Ngada Propinsi Nusa
Tenggara Timur yang dilakukan sejak bulan Februari sampai Maret 2005.
3
8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT
26/83
KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA26
C. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh aparat birokrasi pemerintahan
Kabupaten Ngada yang berjumlah 1830 orang yang tersebar dalam Dinas,
Sekretariat Daerah, dan Badan serta yang tersebar di seluruh kecamatan.
Sample ditentukan dengan teknik cluster purposive sampling, dimana
organisasi birokrasi pemerintahan di kabupaten Ngada diklaster berdasarkanbentuk organisasi yaitu dinas, badan dan organisasi sekretariat dan dari
masing – masing kelompok tersebut ditentukan responden secara sengaja
dengan memperhatian tingkat eselon dan non eselon.
Tabel 1. Kerangka Sampling
No Cluster Komponen Responden
Eselon
II
Eselon
III
Eselon
IV
Non Eselon
1 Dinas 10 20 30 40
2 Badan 6 20 30 403 Bagian Sekretariat 3 11 37 40
Jumlah 19 51 97 120
Informan penelitian yang diambil untuk melengkapi pengumpulan data yaitu
meliputi anggota DPRD, tokoh masyarakat dan masyarakat umum yang
jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan data yang diperlukan.
D. Teknik Pengumpulan Data
Library research yaitu dengan mempelajari berbagai literatur dan dokumen –
dokumen yang ada hubungannnya dengan obyek penelitian Pengumpulan data primer yang dilakukan dengan menggunakan kuesioner,
wawancara mendalam dan berstruktur serta focus group discussion.
E. Pengolahan dan Analisis Data
Data yang terkumpul ditabulasi dan dianalisis dengan menggunakan teknik deskriptif
kualitatif yang dipadukan dengan perbandingan teoritik.
8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT
27/83
KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA27
GAMBARAN UMUM KABUPATEN NGADA
Kabupaten Ngada merupakan salah satu dari 16 kabupaten/kota di Propinsi Nusa
Tenggara Timur, yang secara geografis terletak di antara 8-9 0 lintang selatan dan
1200450 1210500 bujur timur. Bagian utara berbatasan dengan Laut Flores, bagian
selatan berbatasan dengan Laut Sawu, bagian timur berbatasan dengan Kabupaten
Ende dan bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Manggarai. Kabupaten Ngada
tergolong daerah yang beriklim tropis. Sebagian besar wilayahnya adalah padang
rumput yang ditumbuhi pepohonan seperti kemiri, asam, kayu manis dan sebagainya
serta kaya dengan fauna, antara lain hewan-hewan besar, hewan-hewan kecil danunggas. Daerah ini juga kaya dengan obyek wisata seperti Taman Laut 17 Pulau
(Riung), panorama alam seperti air terjun, gua alam, sumber air panas (Mengeruda)
dan wisata budaya seperti peninggalan batu megalith, rumah adat tradisional (Bena).
Secara administratif, Kabupaten Ngada terdiri dari 14 kecamatan, 143 desa dan 30
kelurahan. Luas Kabupaten Ngada sampai dengan tahun 2002 mencapai 3.037,88 km2
dengan jumlah penduduk sebesar 234.020 jiwa lebih yang tersebar pada 14
kecamatan. Selanjutnya dapat dilihat pada tabel berikut :
4
8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT
28/83
KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA28
Tabel 1
Keadaan Penduduk Kabupaten Ngada
Keadaan Tahun 2002No Kecamatan Jumlah
Penduduk
Luas
Wilayah(Km2)
Kepadatan
Penduduk/Km2
Jumlah
Desa/Kel
1 Aimere 19.673 234,76 84 11
2 Ngada Bawa 19.611 44,46 441 9
3 Golewa 30.401 250,72 121 20
4 Mauponggo 27.321 141,89 193 19
5 Nangaroro 19.028 264,27 72 12
6 Boawae 29.465 325,42 91 20
7 Bajawa 16.785 256,22 66 12
8 Riung 19.737 683,00 29 10
9 Aesesa 33.482 503,29 67 23
10 Soa 14.047 151,76 93 10
11 Wolowae 4.470 182,09 25 5
12 Jere Buu 6
13 Keo Tengah 11
14 Riung Barat 5
Jumlah 234.020 3.037,88 77 173
Sumber : Ngada Dalam Angka, 2002
Gambaran mengenai komposisi penduduk yang bekerja menunjukan pada tahun 2001
sebagian besar penduduk yang bekerja memiliki lapangan usaha di sektor pertanian
101.446 orang atau 86.82 persen. Dilihat dari status pekerjaan utamanya, sebanyak7.773 atau 6,65 persen penduduk bekerja sebagai buruh. Hal yang menarik adalah
jumlah penduduk yang bekerja dengan status pekerja keluarga mencapai sebanyak
60.682 orang atau 51.93 persen dari penduduk yang bekerja. Sebagaian besar
penduduk bekerja dengan jam kerja antara 25-34 jam dan 35-44 jam kerja
seminggu. Sekitar 42.466 orang dari 116.853 orang yang bekerja atau 36.34 persen
berkerja antara 25-34 jam per minggu dan 28.23 persen bekerja antara 25-34 jam
per minggu.
Rata-rata anak yang pernah dilahirkan menurut Sensus Penduduk 2000 dan Susenas
2001 terlihat bahwa secara keseluruhan rata-rata yang dilahirkan oleh wanita umurspesifik 45-49 tahun menurun dari 4.23 persen pada tahun 2000 menjadi 4.17
persen pada tahun 2001. Sedangkan angka kematian bayi di Kabupaten Ngada pada
periode 1977-1987 telah menurun cukup besar. Pada tahun 1987 angka kematian bayi
adalah 72 per 1000 kelahiran. Oleh karena itu, angka harapan hidup pada periode ini
menjadi meningkat dari 47,9 tahun pada tahun 1977 menjadi 59,5 tahun 1987.
8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT
29/83
KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA29
Menyangkut mata pencararian, menurut data Susenas 2002, sebanyak 124.461 orang
menpunyai pekerjaan, sedangkan jumlah usia produktif (usia 15-50 tahun) tercatat
mencapai 109.130 jiwa atau 47.75% dari total penduduk Kabupaten Ngada.
Berdasarkan hal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sebanyak 15.331 penduduk
di luar usia produktif sudah mempunyai pekerjaan, sehingga bisa diartikan terdapat
sebagian penduduk yang seharusnya menuntut ilmu atau terdapat sebagain penduduk yang seharusnya beristirahat atau pensiun ternyata masih melaksanakan aktivitas
seperti biasa untuk mencari nafkah yang dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2
Keadaan Ketenagakerjaan Penduduk Kabupaten Ngada
Tahun 2002No Status Pekerjaan Jumlah Persen
1 Angkatan Kerja 125.447
a. Bekerja 124.461 99.36
b. Mencari pekerjaan 806 0,642 Bukan Angkatan Kerja 18.086
a. Sekolah 8.120 44,90
b. Lainnya 9.965 55,10
c. TT 1 0.01
Sumber : Ngada Dalam Angka,2002
Menyangkut jenis pekerjaan, sebagian besar penduduk Kabupaten Ngada
bermatapencaharian sebagai petani atau bekerja pada sektor pertanian. Keadaan
penduduk menurut mata pencaharian dapat dilihat pada tabel berikut :
8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT
30/83
KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA30
Tabel 3
Keadaan Penduduk Menurut Lapangan Usaha Di Kabupaten Ngada
Tahun 2002
No Lapangan Usaha Jumlah Persen
1 Pertanian Tanaman Pangan 96.345 77,30
2 Perkebunan 8.950 7.18
3 Jasa 7.853 6.30
4 Industri 3.467 2.78
5 Perdangan 2.886 2.32
6 Perikanan 1.302 1.04
7 Peternakan 1.227 0.98
8 Lainnya 1.016 0.82
9 Pertanian lainnya 972 0.78
10 Angkutan 614 0.49
11 TT 9 0.01Jumlah 124.641 100.00
Sumber : Ngada Dalam Angka, 2002
Berikutnya menyangkut keadaan tingkat pendidikan penduduk, berdasarkan hasil
publikasi BPS tahun 1996 dan tahun 1999 diperoleh gambaran sebagai berikut :
Angka melek huruf meningkat dari 86,4 persen menjadi 92,3 persen
Rata-rata lama sekolah meningkat dari 5.7 persen menjadi 6.3 persen
Angka buta huruf usia dewasa 7.7 persen
Angka partisipasi sekolah usia SD mencapai 95 persen
Angka partisipasi usia sekolah SLTP mencapai 69.6 persen Angka partisipasi usia sekolah SLTA mencapai 30.3 persen
Angka partisipasi sekolah usia PT mencapai 3.1 persen
Angka putus sekolah usia SD dan SLTP hanya mencapai 3.7 persen
Angka putus sekolah usia SLTA hanya mencapai 28.3 persen
Angka putus sekolah usia PT hanya mencapai 26.8 persen
Menurut hasil SUSENAS 2001, terkait angka butu huruf penduduk Kabupaten
Ngada, nampak bahwa penduduk berumur 10 tahun ke atas yang buta huruf pada
tahun 2001 tercatat 14.443 orang (8.60 persen) dimana penduduk perempuan
memiliki jumlah hampir dua kali lebih besar dibandingkan penduduk laki-laki.
Pada tahun 2001 banyaknya penduduk berumur 10 tahun ke atas yang tidak atau
belum pernah sekolah, masih sekolah dann tidak sekolah lagi masing-masing 12.400
orang (7,38 persen) , 26.580 orang (15.83 persen) dan 128.952 (76.79 persen).
8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT
31/83
KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA31
Selanjutnya, gambaran mengenai jumlah sekolah, guru dan murid serta rasio
guru/sekolah dan murid/sekolah dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4
Data Jumlah Sekolah, Guru dan Murid Di Kabupaten Ngada
Tahun 2002N
o
Jenjang Jumlah Rataan
Guru/Sekolah
Rataan
Murid/SekolahSekolah Guru Murid
1 SD 274 1.796 34.983 6.6 127.7
2 SLTP 47 593 8.874 12.6 188.8
3 SMU Umum 11 254 3.516 23.1 319.6
4 SMU Kejuruan 3 87 1.525 26.8 459.5
a. STM 2 67 1.212 33.5 606.0
b. SMEA 1 20 313 20 313.0
Sumber : Ngada Dalam Angka,2002
Keadaan penduduk menurut agama terlihat bahwa pada umumnya penduduk
Kabupaten Ngada memeluk agama Katolik (205.505 orang); sementara Protestan
2.001 orang; Islam 15.790 orang; Hindu 192 orang dan Budha 2 orang.
Selanjutnya menyangkut kondisi perekonomian, PDRB Kabupaten Ngada sebesar Rp.
1.510.475 sedangkan menurut harga konstant, PDRB Kabupaten Ngada pada tahun
1999 sebesar Rp.156.033.480.000 dan pada tahun 2000 sebesar Rp.
161.063.164.000. Berdasarkan hal ini maka laju pertumbuhan ekomomi Kabupaten
Ngada pada tahun 2000 sebesar 3.22%. Gambaran lengkap PDRB Kabupaten Ngada
dapat dilihat pada tabel berikut :
8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT
32/83
KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA32
Tabel 5
Gambaran Umum PDRB Kabupaten Ngada
Keadaan Tahun 2000No Lapangan Usaha Jumlah
(Ribuan Rp)
1 Pertanian 183.960.893a. Tanaman Bahan Makanan 110.100.748
b. Tanaman Perkebunan Rakyat 33.876.321
c. Peternakan dan hasilnya 28.909.808
d. Kehutanan 1.990.904
e. Perikanan 9.083.112
2 Pertambangan dan Penggalian 4.578.108
3 Industri Pengolahan 4.578.108
a. Migas 8.200.973
b. Non Migas
4 Listrik dan Air Bersih 2.719.148
a. Listrik 794.234
b. Air bersih 1.924.914
5 Bangunan/konstruksi 32.025.550
6 Perdagangan 32.039.460
a. Perdagangan besar dan eceran 30.834.979
b. Restoran dan rumah makan 925.712
c. Hotel 278.769
7 Pengangkutan dan komunikasi 18.469.430
a. Angkutan 17.094.217
- Angkutan jalan raya 15.671018
- Angkutan laut 528.775- Angkutan udara
- Jasa angkutan 836.156
b. Komunikasi 1.375.213
8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahan 13.079.283
a. Bank 4.749.100
b. Lembaga keuangan nirlaba 4.739.512
c. Sewa bangunan 3.521.200
d. Jasa Perusahaan 69.471
9 Jasa-jasa 58.408.564
a. Pemerintahan Umum 53.730.921
b. Swasta 4.677.643
- Sosial kemasyarakatan 2.609.336
- Hiburan dan rekreasi 76.798
- Perorangan 1.991.509
Jumlah 353.481.409
Sumber : Ngada Dalam Angka,2002
8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT
33/83
KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA33
Menyangkut tingkat kemiskinan penduduk, pada tahun 1996 jumlah penduduk yang
hidup di bawah garis kemiskinan diperkirakan mencapai 23.952 orang atau 11,27
persen dari seluruh Penduduk Kabupaten Ngada. Akibat krisis ekonomi yang terus
berkelanjutan, sampai dengan Februari tahun 1999, jumlah penduduk miskin
diperkirakan telah menjadi 42.933 orang atau 19,44 persen. Dibandingkan dengan
tahun 1996 jumlah penduduk miskin tersebut mengalami peningkatan sebesar 79.25persen. Selama periode 1996-1999, garis kemiskinan meningkat 210,62 persen. Garis
kemiskinan ini naik dikarenakan naiknya harga-harga pada pertengahan tahun 1997.
8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT
34/83
KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA34
5DETERMINAN STRUKTURAL DAN KULTURAL PADA
BIROKRASI PEMERINTAHAN KABUPATEN NGADA
A DETERMINAN STRUKTURAL BIROKRASI
1. Sistem Konsekuensi
1.1
Pola Kompetisi
Sistem persaingan pada dasarnya penting untuk diperhatikan karena ia menyangkutsistem pengelolaan kepentingan antar individu yang dapat menjamin rasa puas aparat
dalam berkinerja.
Organisasi birokrasi Kabupaten Ngada pada dasarnya belum memiliki suatu sistem
kompetisi yang dibuat secara terlembaga dengan standar dan mekanisme yang jelas.
Ada kecendrungan para staf bekerja hanya pada bidangnya dengan programnya
sehingga hanya bergerak secara mekanistik dan di sisi lain ruang kompetisi ini juga
tidak dibangun dalam kerangka standar kinerja yang jelas dan hasil atau implikasi
kinerja yang terarah pula. Pola promosi misalnya cenderung masih bersifat kaku
berdasarkan aturan legalistik formal aturan kepegawaian sehingga tidakmemungkinkan adanya ruang kompetisi berdasarkan penilaian prestasi dalam proses
promosi.
Implikasi dari model ini adalah para staf cenderung memiliki motivasi untuk
berprestasi yang rendah dan selanjutnya berdampak pada tidak jelasnya kinerja
staf yang tidak terukur dengan baik dan hasil atau implikasi dari kinerja yang tidak
diapresiasi secara baik dan jelas pula.
Dinas Perhubungan misalnya, dalam membangun sistem kompetisinya cendrung dinilai
berdasarkan pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi yang sudah ditentukan dalamPerda. Dinas perhubungan dibagi dalam dua subdinas yaitu Sub Dinas Sarana
Prasarana dan Sub Dinas Perhubungan Darat yang keduanya dijabarkan dalam seksi-
seksi. Dalam organisasi ini ada hubungan horisontal dan hubungan vertikal yaitu
hubungan atas dari seksi ke sub dinas dan ke dinas selain itu ada juga KTU yang
berperan mengkoordinir kegiatan administrasi yang dibagi atas beberapa bagian.
Hubungan ini bersifat teratur dalam uraian tugasnya yang selanjutnya tugas ini
8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT
35/83
KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA35
dapat lebih fleksibel sesuai dengan kebutuhan organisasi. Struktur ini dianggap
bukan sebagai pemisahan tugas tetapi hanya pembagaian tugas sehingga antar bagian
dapat saling berhubungan sehingga ada hubungan horisontal antar bagian sehingga
semua dapat saling memahami tugas dan fungsi bagian lain.
Manfaat kompetisi yang fair tentu tidak bisa dipandang sebelah mata. Kompetisidalam olah raga dan bisnis, sebagai contoh, yang telah hadir ratusan tahun silam,
memungkinkan seseorang atlit/businessman tidak ragu-ragu melakukan investasi
yang besar demi suatu keuntungan di masa yang akan datang. Kompetisi
memungkinkan para orangtua mengirim anak-anak mereka pergi berlatih/mencari
ilmu hingga ke negeri seberang, menghabiskan waktu berjam-jam berlatih dan
belajar tanpa lelah dan putus asa. Prinsip kompetisi: ―the best is the winner ‖,
merangsang mereka untuk menemukan cara-cara terbaik, efisien dan efektif dalam
mengelola diri dan/atau usaha mereka agar mereka dapat menawarkan sesuatu yang
unggul, murah, ramah dan berkualitas. Sementara itu pengusaha yang tidak efisien
akan menjual barang/jasa yang mahal yang pada akhirnya akan gugur dalam proseskompetisi.
Kenyataan inilah yang harusnya menginspirasi dan meransang para pemimpin untuk
mereformasi sektor publik. Kebanyakan para calon pemimpin, sebagai contoh,
biasanya berjanji untuk mewujudkan keadaan yang ideal, memberantas KKN,
memberantas kemiskinan, mereformasi sektor publik, dan lain-lain, tetapi sangat
terbatas pernyataan tentang kebijakan yang akan diambil. Keadaan-keadaan ideal di
atas merupakan tujuan kebijakan, tetapi tentu saja hal-hal ini tidak terwujud jika
tidak ada suatu penjelasan tentang kebijakan yang akan diambil dan bagaimana
merealisasikannya.
Pada sektor swasta, kompetisi merupakan jiwa penggerak utama. Kompetisi
memungkinkan penunjukkan karyawan yang terbaik dalam mewujudkan tujuan
organisasi. Demikian juga seharusnya pada sektor publik. Kenyataan bahwa pada
tingkat yang lebih tinggi dalam hirarki birokrasi, jabatan yang tersedia semakin
berkurang, harusnya dapat mendorong para pemimpin untuk bisa mewujudkan suatu
iklim kompetisi dalam pengisian jabatan ini. Ke depan kemungkinan keterlibatan pihak
luar dalam mengisi jabatan-jabatan pada sektor publik akan semakin terbuka,
sehingga apabila calon-calon internal kurang memiliki kompetisi maka mereka tidak
akan bisa bersaing dengan calon eksternal yang umumnya memiliki kemampuan lebih.
Praktek promosi otomatis yang selama ini berlangsung dalam sektor publik yang
didasarkan pada senioritas, sangat berbeda dengan penciptaan suatu budaya
kompetisi. Pada praktek promosi otomatis, seorang karyawan memiliki insentif yang
sangat terbatas untuk bekerja lebih dan berprestasi lebih. Promosi otomatis ini
mematikan kompetisi. Yang terjadi selama ini adalah sepanjang tidak melakukan
8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT
36/83
KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA36
sesuatu yang merupakan suatu pelanggaran, maka seseorang karyawan pemerintah
dipastikan akan dipromosikan setelah bekerja dan berada dalam pangkat/golongan
yang sekarang selama maksimal empat tahun.
Praktek yang terjadi adalah terjadinya kelebihan staf pada level yang lebih tinggi,
sebagai akibat dari promosi otomatis, baik itu yang berprestasi ataupun yang tidakberprestasi. Sehingga mereka yang berprestasi menjadi frustasi sebagai akibat dari
kurangnya pengakuan yang bermakna terhadap usaha mereka. Hal ini tentu bisa
mendorong mereka untuk meningggalkan sektor publik dimana mereka bisa
memperoleh penghargaan yang layak, atau mereka hanya sekadar menjadi kurang
termotivasi (dispirited ), yang berakibat pada menurunnya produktivitas. Pada saat
yang sama, ada insentif yang sangat terbatas untuk meningkatkan pendidikan atau
pengetahuan atau ketrampilan mereka mengingat kenyataan bahwa perubahan
pengetahuan yang akan mereka lakukan tidak akan membawa perubahan yang layak
dalam hal gaji atau promosi (Haning 2004).
Apa yang semestinya dijumpai adalah suatu sistem, dimana promosi hanya akan
terjadi bila ada kebutuhan untuk mengisi suatu posisi yang kosong, dan kompetisi
untuk pengisian jabatan tersebut didorong dengan memberi kesempatan kepada
pelamar-pelamar yang potensial, dan bukan merupakan hak yang otomatis.
Penekanannya harus selalu pada bagaimana memperoleh seorang pegawai yang
terbaik untuk mengisi setiap posisi. Dengan fokus ini, maka berbagai perubahan
dapat dilakukan.
Pertama, sistem yang menekankan pada senioritas dan kualifikasi pendidikan sebagai
prasyarat untuk menduduki posisi yang lebih tinggi harus dihentikan. Jika seorang
pegawai muda dengan pengalaman yang relatif sedikit mampu mendemonstrasikan
suatu kompetensi yang tinggi, maka semestinya tidak ada alasan yang lebih kuat
untuk tidak mengikutsertakannya dalam berkompetisi dengan pelamar-pelamar yang
lebih senior.
Kedua, pegawai negeri harusnya didorong untuk melamar posisi-posisi baik itu di
dalam maupun di luar badan/dinas/kantor/bagian mereka. Ada banyak manfaat yang
diperoleh dengan perputaran semacam itu, oleh karena mereka akan mengalami
lingkungan kerja dan praktek yang berbeda, dan unit yang mereka masuki tentu juga
memperoleh manfaat dari pengalaman mereka. Orang luar umumnya akan membawa
baik itu ide-ide yang baik maupun buruk; yang pertama tentu bisa diadopsi dan yang
terakhir dapat diabaikan. Sekali lagi dengan memberi kesempatan kepada sebanyak-
banyaknya pelamar, maka kesempatan untuk memperoleh yang terbaik itu akan lebih
besar.
8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT
37/83
KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA37
Ketiga, pelamar juga sebenarnya bisa dari luar. Sama halnya seperti yang diperoleh
dari perputaran antarunit, maka masuknya pihak luar, terutama dari sektor swasta,
akan membawa manfaat yang luar biasa.
Keempat, dalam rangka penilaian kemampuan seorang pelamar, maka praktek-praktek
yang selama ini dilakukan dalam menjaring para pejabat publik politik dapat diadopsi.Dengan suatu proyek ujicoba/percontohan, beberapa posisi yang strategis dapat
dibuka untuk setiap pegawai untuk melamar dengan memenuhi persyaratan
administratif tertentu dan bahkan suatu forum kompetisi untuk mengetahui apa
yang hendak mereka lakukan dan (visi dan misi) kemana suatu organisasi hendak
dibawa dapat diadakan agar publik secara transparan dapat mengetahui kapasitas
seseorang pejabat birokrat yang akan melayani mereka. Suatu tim perlu dibentuk
untuk mengelola pendekatan dan forum semacam ini.
Kompetisi dalam alokasi sumber daya kepada badan/kantor/dinas/bagian pada
pemerintah daerah juga merupakan suatu praktek yang telah lama diadopsi dinegara-negara barat. Dengan penekanan pada efisiensi, efektifitas dan
produktifitas maka mereka yang mampu yang memiliki kompetensilah yang umumnya
memperoleh lebih banyak resources .
Dalam prakteknya pada pemerintah daerah, keberadaan suatu badan, dengan tugas
pokok dan fungsi yang jelas tidaklah selamanya menjadi ukuran/standar alokasi
resources . New Zealand melakukan hal ini melalui prinsip purchaser/provider split
(pemisahan antara penjual dan pembeli) dimana setiap organisasi, termasuk di
dalamnya sektor swasta dan lembaga swadaya masyarakat bisa berpatisipasi dalam
pelaksanaan suatu program atau proyek tertentu. Kondisi yang tercipta adalah
terwujudnya suasana kompetisi antarunit-unit yang ada maupun antarunit
pemerintah dengan swasta. Mereka diberi kebebasan untuk mengajukan proposal
untuk perolehan dana guna memecahkan suatu persoalan tertentu yang masih
berkaitan. Sehingga yang terjadi adalah suatu badan, sebagai contoh Badan
Pemberdayaan Masyarakat Desa, yang selama ini memfokuskan diri pada upaya
pengentasan kemiskinan, bisa jadi tidak memperoleh alokasi dana yang cukup oleh
karena uang tersebut telah direbut oleh unit lain (Haning 2004).
Hal ini sebenarnya juga telah diadopsi oleh beberapa pemerintah daerah, seperti
yang terlihat dalam pengadopsian sistem anggaran kinerja. Dalam anggaran ini,
penekanannya bukan hanya pada pengelolaan inputs , tetapi juga pada processes dan
outputs . Outcomes sendiri tentu agak sulit untuk diukur atau menjadi tanggung-
jawab satu unit organisasi, mengingat tidak menentunya batas waktu dan pengaruh
faktor lain terhadap delivery of the outputs . Pengentasan kemiskinan, sebagai
contoh, hanya akan terwujud selama suatu jangka waktu panjang terntentu dan
sudah pasti bukan hanya merupkan kontribusi satu unit pemerintah.
8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT
38/83
KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA38
Demikian pula dengan pengenaan sanksi yang bertitiktolak dari outputs , sebenarnya
sangat sulit dan dilematis. Kesulitannya terletak pada kenyataan bahwa suatu output
bisa jadi merupakan hasil kerja keroyokan beberapa unit, dan bukan hanya satu
individual unit. Sementara itu hal dilematisnya terletak pada kenyataan juga bahwa
pengurangan alokasi resources kepada suatu unit, sebagai contoh, sebagai akibatkegagalan unit tersebut dalam memenuhi target yang ditetapkan bisa berdampak
kepada keseluruhan cakupan pelayanan yang merupakan tanggung-jawab unit itu.
Untuk itu, solusi yang dipakai adalah dengan mendorong kehadiran lembaga
(pemerintah, swasta maupun civil society ) untuk berkompetisi dalam mengambilalih
pelayanan yang vakum tadi. Solusi kedua adalah dengan mengkombinasikan prinsip
punishment pengurangan alokasi resources dengan pengenaan sanksi pribadi kepada
pimpinan unit tersebut.
Kesemua ―best practices ‖ ini pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan suatu
kondisi yang memungkinkan para pegawai untuk bekerja secara maksimal, tanpapaksaan tetapi dengan motivasi yang tinggi, berlomba-lomba membekali diri dan
membangun organisasi untuk menghasilkan sesuatu yang ―tidak seperti biasa‖ dengan
berbekal sesuatu ―yang hanya biasa‖. Sehingga prinsip efiensiensi, prinsip the right
man on the right place, dan prinsip the best deserves the best (yang terbaik
memperoleh yang terbaik) dapat terwujud (Haning 2004).
1.2 Pola Pengukuran Kinerja
Setiap organisasi dibentuk atau didirikan untuk mencapai suatu tujuan yang telah
ditetapkan. Untuk mengetahui sejauhmana tujuan organisasi telah tercapai perlu
dilakukan penilaian melalui evaluasi secara terus menerus terhadap kinerja
organisasi. Hal ini penting dilakukan, karena dengan melakukan penilaian terhadap
kinerja, oraganisasi dapat melakukan penilaian terhadap kinerja, perbaikan mutu.
Dengan demikian yang menjadi sasaran penilaian kinerja adalah tingkat keberhasilan
suatu organiasasi dalam kurung waktu tertentu.
Pengukuran kinerja menjadi suatu hal penting yang terabaikan oleh birokrasi
pemerintah dalam menjalankan keeksistensiannya sebagai pelayanan. Birokrasi
pemerintah tidak mengetahui secara pasti sudah sejauh mana mereka telah bekerja.
Penilaian kinerja adalah suatu kegiatan yang sangat penting yang dapat digunakan
sebagai ukuran keberhasilan dan dapat digunakan sebagai alat untuk melakukan
perubahan atau pembaharuan secara terarah dan sistimatis.
Kondisi ini agak berbeda dengan organisasi bisnis yang mau dan dapat dengan mudah
mengukur kinerja yang dilihat dari tingkat keuntungannya, maka birokrasi publik
tidak memiliki standar atau tolok ukur kinerjanya. Hal ini menyebabkan agak sulit
8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT
39/83
KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA39
masyarakat dapat mengetahui atau memiliki informasi yang lengkap tentang kinerja
birokrasi. Informasi mengenai kualitas kinerja birokrasi masih bersifat sporadis
yang tersebar dalam berita di koran-koran, diskusi dan sebagainya. Namun informasi
yang valid yang disediakan oleh pemerintah sebagai hasil pengukuran dengan standar
yang jelas memang harus diakui sampai saat ini belum ada.
L.W. Rue dan L.W. Byars (1980) mendefenisikan kinerja sebagai tingkat pencapaian
hasil (the degree of accomplishment ). Atau dengan kata lain kinerja merupakan
tingkat pencapaian tujuan organisasi. Bagi pemerintah daerah yang mengemban
fungsi pemerintah yaitu pelayanan publik, penilaian kinerja sebenarnya memiliki arti
penting dalam menilai aspek kuantitas, kualitas, dan efisiensi pelayanan, motivasi
para birokrat pelaksana dan lain sebagainya. Tetapi persoalannya, apakah penilaian
yang dilakukan telah menggambarkan kinerja yang sebenarnya? Hal ini sangat
ditentukan oleh ketajaman dalam menentukan cakupan, cara dan indikator-
indokator yang digunakan. Suatu penilaian yang menggunakan cakupan, cara dan
indikator yang sangat terbatas akan memberikan hasil yang terbatas pula.
Salim dan Woodward (dalam Agus Dwiyanto,dkk; 2002) melihat kinerja berdasarkan
pertimbangan ekonomi, efesiensi, efektifitas dan persamaan pelayanan. Aspek
ekonomi dalam kinerja diartikan sebagai strategi untuk menggunakan sumber daya
seminimal mungkin dalam proses penyelenggaraan kegiatan pelayanan publik.
Efisiensi kinerja pelayanan publik juga dilihat untuk menunjuk suatu kondisi
tercapainya perbandingan terbaik atau proporsional antara input pelayanan dan
output pelayanan. Demikian pula, aspek efektifitas kinerja pelayanan publik ialah
untuk melihat tercapainya pemenuhan tujuan atau target pelayanan yang telah
ditentukan. Prinsip keadilan dalam pemberian pelayanan publik juga dilihat sebagai
ukuran untuk menilai seberapa jauh suatu bentuk pelayanan telah memperhatikan
aspek-aspek keadilan dan membuat publik memiliki akses yang sama terhadap sistem
pelayanan yang ditawarkan.
Selama ini, penilaian secara sistimatik terhadap kinerja pemerintah daerah belum
menjadi sebuah tradisi. Akibatnya, seringkali muncul perdebatan yang tidak
terselesaikan ketika terjadi hasil penilaian yang berbeda antara pihak yang satu
dengan pihak yang lain. Oleh karena itu kemudian menjadi sangat sulit untuk
mengatakan apakah kinerja pemerintah daerah itu buruk atau baik, rendah atau
tinggi, menurun atau meningkat dan sebagainya.
Dalam birokrasi pemerintahan Kabupaten Ngada, mekanisme yang digunakan dalam
mengukur kinerja personil masih sebatas evaluasi berkala. Hal ini pun dilakukan
setiap tiga bulan, enam bulan dan akhir tahun untuk mengetahui kinerja staf. Isi
evaluasi adalah kegiatan-kegitan secara kongkrit dari setiap program. Hasil evaluasi
diukur dengan selesai atau tidaknya suatu pekerjaan. Selanjutnya ada juga DP3
8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT
40/83
KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA40
berkala yang berisikan penilaian terhadap aspek-aspek seperti kesetiaan, prestasi
kerja, tanggung jawab, kerjasama dan lain sebagainya, dengan kriteria penilaian amat
baik, baik dan cukup. DP3 ini adalah salah satu bahan yang digunakan dalam proses
kenaikan pangkat dan jika hasil DP3 hanya mendapat nilai cukup maka orang tersebut
kenaikan pangkatnya dapat ditunda. Penilaian terhadap aspek ini diberikan secara
berjenjang oleh pimpinan terhadap bawahan.
Menyangkut pengukuran kinerja lembaga, nampak juga bahwa birokrasi pemerintahan
Kabupaten Ngada juga belum memiliki suatu mekanisme pengukuran kinerja lembaga
yang dapat menjamin terukurnya kinerja sebuah instansi atau dinas secara tepat.
Ada kecendrungan pemerintah dalam mengukur kinerjanya hanya difokuskan pada
input yaitu berapa banyak yang dikeluarkan, berapa orang yang dilayani dan di sisi
lain pemerintah sedikit sekali atau secara intens memusatkan perhatian kepada
outcome atau hasil. Hal ini pada dasarnya selalu ada anggapan bahwa pemerintah
dengan segala tugas dan fungsinya akan sul