Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

download Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

of 83

Transcript of Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

  • 8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

    1/83

    KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA1

    Karakter Birokrasi Lokal STUDI DETERMINASI STRUKTURAL DAN KULTURAL PADA BIROKRASI

    PEMERINTAHAN KABUPATEN NGADA

    Tim Penulis:

    Blasius Urikame UdakDavid PandieJermi Haning

    Patricius UsfomenyLaurensius P.S. RaniFr. Stanley Jawa, SVD

    Diterbitkan atas kerjasama

     YAYASAN PEDULI SESAMA (SANLIMA)Jl. Tugu Adipura No.1 Penfui Kupang, NTT

    Telp/Fax : 0380-882071, E-mail : [email protected]

    Dengan

    ffTHE FORD FOUNDATION

  • 8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

    2/83

    KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA2

    Buat rekan terbaik kami,

    Blasius Urikame Udakatas inspirasi dan kerja yang cemerlang...

  • 8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

    3/83

    KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA3

    Pengantar Tim Penulis

    MENCARI BUDAYA BIROKRASI MULTIKULTUR

    Mencari budaya birokrasi baru, adalah suatu pernyataan yang mengingatkan bahwa

    memang ada sesuatu yang kosong, sesuatu yang hilang atau sesuatu yang ada tidak

    bermanfaat lagi berhubungan dengan penampilan budaya birokrasi yang

    disfungsional. Itulah kata ―reinventing‖ menjadi frasa baru yang merangsang untuk

    menemukan kembali sejatinya sebuah birokrasi pemerintahan yang beradab. Yaitu

    birokrasi yang berwajah manusia dan memancarkan keadilan bagi rakyat yang

    dilayani. Bahwa budaya birokrasi berkaitan dengan nilai, norma dan sistem

    kepercayaan yang menjadi way of life  yang menuntun dan mengarahkan perilaku

    birokrasi.

    Secara klasik, kehadiran birokrasi sebagai sebuah organisasi modern yang diilhami

    oleh Max Weber, merupakan suatu upaya untuk membangun suatu kultur organisasi

     yang memisahkan kepentingan domestik dan publik. Birokrasi bertumbuh atas asas

    rasionalitas dan legal, telah mereduksi segala kemungkinan tumbuhnya vested

    interested   untuk mengoreksi kultur organisasi feodalistik serta kesetiaan buta

    dalam organisasi berbasis semangat kharismatik. Keunggulan rasionalisasi birokrasi

    bertumbuh bersamaan dengan abad pencerahan yang diadopsi sebagai model paling

    menjanjikan untuk mengembangkan peradaban manusia dan mengelola sebuah

    kekuasaan negara yang adil.

    Adopsi budaya birokrasi legal-rasional bukan tanpa soal. Bahwa teori ini kemudian

    menuai kritik pedas yang dialamatkan pada mesin birokrasi yang begitu formalistik

    dan mekanistik. Organisasi ini kemudian menjadi begitu kaku, tak berwajah

    manusiawi dan dikatakan sebagai ―organisasi yang angker‖. Budaya birokrasi legal-

    rasional yang tumbuh dalam kebudayaan barat, dianggap sebagai model paling ideal

    dan patut diimitasi oleh organisasi publik di negara dunia ketiga. Namun, pesan

    teoretik yang begitu indah, akhirnya harus bertemu dengan kenyataan lingkungan

    non-barat, khususnya di masyarakat Indonesia yang begitu feodalistik dan

    menjunjung tinggi asas partikularistik. McGregor yang mengungkapkan Teori X dalam

    manajemen barat, begitu yakin bahwa manusia mempunyai keunggulan yang dapat

    didayagunakan kemampuan intelektualnya untuk pengembangan organisasi. Tetapi

    kemudian, Teori Z yang berlatar kebudayaan Jepang menjadi referensi baru dalam

    memperkenalkan budaya birokrasi yang dapat bertumbuh karena dimensi ikatan

    kekeluargaan. Siapapun yang bekerja dalam organisasi, ia harus menganggap

    organisasi itu miliknya, maka patut ia bekerja keras untuk mempertahankan miliknya.

    Tetapi perjumpaan teori birokrasi modern dan birokrasi tradisional tidak dapat

  • 8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

    4/83

    KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA4

    berlangsung dengan baik. Terdapat sejumlah perilaku menyimpang yang terjadi

    akibat perkawinan budaya birokrasi. Bahwa kita secara formal-normatif telah

    menganut sistem birokrasi modern, tetapi ketika diterapkan, semuanya hanya

    verbalistis, tak ada faedahnya sebagai penuntun perilaku birokrasi. Istilahnya  good

    theory, but poor practices .

    Fred W. Riggs sebagai seorang pakar administrasi negara, meneliti khusus soal

    birokrasi di negara berkembang dan menamakannya sebagai suatu ―model prismatik

    birokrasi‖. Model birokrasi ini bercirikan formalistik dan tindan (tumpang tindih)

    antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Disebut formalistik karena,

    peraturan yang menjadi dasar hukum untuk menuntun tindakan dan perilaku birokrasi

    seringkali berbeda dengan penerapannya. Demikian juga, organisasi birokrasi yang

    legal rasional tidak dapat memisahkan antara kepentingan yang bersifat umum

    dengan kepentingan partikularistik. Bahkan kepentingan partikularistik ini begitu

    kuat, sehingga birokrasi sendiri menjadi lahan untuk mencapai kepentingan-

    kepentingan yang bersifat komunal.

    Ketika pelaksanaan otonomi daerah, banyak harapan yang membumbung tinggi,

    karena dalam desentralisasi pemerintahan akan berimplikasi pada peningkatan

    keadilan dan semakin baiknya pelayanan kepada masyarakat. Namun dalam praktek

    selama lima tahun terakhir, geliat otonomi daerah banyak yang melenceng dari

    filosofinya. Desentralisasi yang bersifat devolusi, terlalu membuka ruang yang

    begitu besar bagi daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri yang

    akhirnya dipersepsipkan secara sempit dengan multitafsir dari setiap daerah.

    Otonomi daerah tidak memunculkan harapan untuk melahirkan birokrasi yang

    berbasis pada rakyat (people-based bureaucracy ), tetapi malah muncul ethnic-based

    bureaucracy . Otonomi ternyata membangkitkan rivalitas suku dan etnis untuk

    menguasai birokrasi pemerintahan daerah. Kenyataan ini begitu kuat dan menjadi

    tarik-menarik yang diperhitungkan dalam pemilihan langsung kepala daerah, dimana

    sentimen etnik dan agama dieksploitasi dalam kalkulasi untuk menangguk suara.

    Perpolitikan berbasis etnik ini begitu menguat dan jika tidak dikelola serta dikontrol

    akan menjadi ―bom waktu‖ yang memicu radikalisme komunal yang berujung pada

    konflik terbuka di daerah. Rivalitas etnik untuk menguasai birokrasi daerah

    tercermin kuat dalam desain rekruitmen dan promosi serta pelayanan publik di

    daerah. Bahwa secara diam-diam pola diskriminasi dan marjinalisasi berbasis etnik

    dan kepentingan politik menjadi model baru di daerah, sebagaimana teori

    paternalistik birokrasi yang memperkenankan diterapkannya sistem rekruitmenberdasarkan nepotisme dan interes politik (spoil system). Birokrasi dengan demikian

    kehilangan roh integritasnya untuk melayani rakyat, karena dia sendiri telah menjadi

    alat kelompok-kelompok dominan dalam politik identitas.

  • 8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

    5/83

    KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA5

    Di sini birokrasi pemerintahan mengalami suatu siklus sejarah yang berputar

    kembali, yaitu dari birokrasi komunal—birokrasi feodal---birokrasi kolonial---

    birokrasi penguasa---birokrasi etnik yang komunal. Bayangan tentang birokrasi yang

    netral dan adil dalam masyarakat yang yang majemuk ini menjadi pekerjaan rumah

    untuk menemukan kembali sejatinya sebuah birokrasi pemerintahan daerah.

    Penelitian ini sebagai upaya mengungkapkan ranah birokrasi dalam siklus perubahanbirokrasi di atas. Bahwa birokrasi berbasis etnis begitu menggejala kuat dalam

    panampilan budaya birokrasi daerah. Birokrasi tercabik-cabik dalam dominasi etnik

    dan kepentingan politik, membuat format birokrasi daerah mengalami disfungsional,

    karena jabatan bukanlah suatu prestasi, tetapi suatu prestise yang diperoleh tanpa

    tempaan profesionalisme. Ada kesan kuat bahwa etnik menjadi sumberdaya politik

     yang bersifat ampuh untuk membangkitkan budaya parochial  dalam birokrasi.

    Kajian ini, sangat bermakna sebagai koreksi total terhadap penyelenggaraan

    pemerintahan daerah yang non-demokratis. Salah satu hal yang perlu diperhatikan

    adalah merumuskan suatu model birokrasi yang multikultur. Bahwa kehadiranbirokrasi dalam ruang publik yang multi-etnik, multi-kultur adalah suatu keniscayaan

     yang tak terelakkan. Karena itu, dibutuhkan suatu konsep multikultural sebagai suatu

    kesadaran tentang pentingnya menghargai semua etnik dan kultur yang ada dalam

    suatu wilayah politik. Prinsipnya adalah kesamaan dan keadilan, dimana unsur

    mayoritas menghargai unsur minoritas, dan semuanya berada dalam tatanan yang

    adil. Model birokrasi multikultural sangat penting menghargai pengalaman negara-

    negara Balkan yang hancur lebur karena ketegangan dan konflik etnik yang tak bisa

    didamaikan. Keragaman budaya harus dilihat sebagai kekayaan yang perlu dikelola

    untuk mendapat hasil yang optimal dan bukan sesuatu yang selalu dipertentangkan.

    Budaya birokrasi multikultural diharapkan menjadi model untuk membangun

    pemerintahan daerah yang demokratis, adil dan aman. Birokrasi sesungguhnya suatu

    miniatur multikultural yang indah dan bukan miniatur konflik kekerasan yang

    diskriminatif.

    Penelitian dan penerbitan hasilnya dalam bentuk buku ini merupakan kerjasama

    Yayasan Peduli Sesama (Sanlima Kupang) dengan The Ford Foundation dalam

    program Local Capacity Strengthening to Support Good Governance in Nusa

    Tenggara Timur . Akhirnya kami haturkan terima kasih yang mendalam kepada semua

    pihak yang membantu hingga terlaksananya penelitian dan penerbitan buku ini.

    Kepada the Ford Foundation atas dukungan finansialnya, Bpk. Dr. Hans Antlov

    sebagai Program Officer Government and Civil Society yang memungkinkan hal ini

    terlaksana, Bupati Ngada dan seluruh jajaran Pemkab Ngada yang membantu dengan

    berbagai bentuk fasilitas selama penelitian berlangsung, singkatnya seluruh pihak

     yang telah berkontribusi. Semoga buku ini bisa bermanfaat di tengah kelangkaan

    studi dan publikasi lokal di Nusa Tenggara Timur.

  • 8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

    6/83

    KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA6

    Kupang, November 2005

    Tim Penulis

    Daftar Isi

    Pengantar Tim Penulis ..............................................................................................................

    Daftar Isi ...................................................................................................................................

    I.  PENDAHULUAN

    1.  Latar Belakang ............................................................................................................

    2.  Perumusan Masalah ....................................................................................................

    3.  Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..............................................................................

    II. BIROKRASI, SEBUAH REVIEW TEORITIK

    1.  Terminologi Birokrasi ...............................................................................................

    2.  Ragangan Teori Klasik dan Modern Birokrasi ...................................................

    3.  Profil Birokrasi Indonesia Kontemporer ..............................................................4.  Pembaruan Birokrasi .................................................................................................

    III.  METODE PENELITIAN

    1.  Variabel Penelitian ....................................................................................................

    2.  Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................................................

    3.  Populasi dan Sampel ..................................................................................................

    4.  Teknik Pengumpulan Data ........................................................................................

    5.  Pengolahan dan Analisis Data ..................................................................................

    IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN NGADA

    V.  DETERMINAN STRUKTURAL DAN KULTURAL BIROKRASI PEMERINTAHAN

    KABUPATEN NGADA

    A. Determinan Struktural Birokrasi ..........................................................................

    1. Sistem Konsekuensi ..................................................................................................

    1.1 Pola Kompetisi ...............................................................................................

    1.2 Pola Pengukuran Kinerja .............................................................................

    1.3 Pola Insentif .................................................................................................

    2. Sistem Pertanggungjawaban (Akuntabilitas) .....................................................

    2.1  Mekanisme Pertanggungjawaban Organisasi .........................................

    2.2  Substansi Pertanggungjawaban ................................................................

    3. Struktur Kekuasaan (Birokras) .............................................................................

    a.  Ukuran Birokrasi ..........................................................................................

    b.  Pola Pengawasan dan Pengendalian .........................................................

  • 8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

    7/83

  • 8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

    8/83

    KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA8

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Studi menyangkut perkembangan negara–negara berkembang termasuk Indonesia

    menunjukkan bahwa birokrasi merupakan elemen penting dan sentral dalam segenap

    proses pembangunan. Birokrasi pemerintah dianggap sebagai satu–satunya lembaga

     yang secara konstitusional memiliki kapasitas sebagai agen pembaharuan dan

    pembangunan bangsa.

    Katz (1986) memberikan dua alasan pokok mengapa birokrasi mempunyai peranan

    utama dalam pembangunan nasional. Pertama, birokrasi mempunyai in put –  in put

    (tenaga –tenaga penggerak) yang diperlukan untuk pembangunan; kedua, kekurangan

    bertindak dari berbagai kalangan masyarakat, ketidakcukupan pasar bebas dan

    kebutuhan –  kebutuhan idiologi tertentu. Peranan birokrasi pemerintahan yang

    dominan dalam dinamika pembangunan merupakan suatu kenyataan yang harus diakui

    dan hal ini sebagai akibat dari kebutuhan tenaga – tenaga penggerak yang semakin

    besar dalam mendukung pembangunan dan modernisasi.

    Pembangunan pada negara berkembang pada dasarnya bersifat sangat kompleks

     yang melibatkan banyak faktor baik politik, ekonomi dan sosial budaya dengan

    tingkat kompleksitas persoalan yang sangat tinggi pula. Namun di sisi lain, kapasitas

    kelembagaan di negara – negara berkembang baik itu lembaga politik, ekonomi dan

    sosial budaya juga masih rendah. Kondisi ini akhirnya harus menempatkan birokrasi

    pemerintah sebagai lembaga utama dalam proses pembangunan tersebut.

    Birokrasi dalam posisinya sebagai agen pembangunan tersebut cenderung makin

    besar skala kekuasaan dan strukturnya sebagai implikasi dari peranannya tersebut.

    Peran birokrasi mulai dikondisikan untuk mengontrol, mengatur, menstabilkan danmenjaga kontinuitas pembangunan yang hampir menyentuh segala aspek kehidupan

    dan domaian.

    Dalam perkembangan selanjutnya intervensi birokrasi dalam pembangunan justru

    mulai mengalami kegagalan yang disebabkan oleh proses administrasi dan

    manejemen birokrasi yang buruk. Dalam beberapa studi (Waterson,1979) ditemukan

    1

  • 8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

    9/83

    KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA9

    bahwa hambatan paling utama dalam mengimplementasikan proyek dan program

    pembangunan, bukan karena keterbatasan sumber pendanaan, tetapi karena

    administrative capacity . Masalah ini dapat diamati pada beberapa hal: sistem

    administrasi yang ―anachronistic‖; kompotensi personalia birokrasi yang kurang

    memadai; prosedur birokrasi yang lambat; kurangnya koordinasi; kurang efektifnya

    organisasi birokrasi; penyalahgunaan jabatan administrasi (maladministrasi).Kegagalan birokrasi sebagai agen pembangunan ini pada dasarnya telah berimplikasi

    serius terhadap kegagalan berbagai program pembangunan dan kondisi kemiskinan

    dan ketertinggalan yang terus membingkai negara – negara berkembang. Ini adalah

    harga yang harus dibayar dan ditanggung.

    Mencermati kondisi di atas, Philip Quarhes Van Ufford (1998) menjelaskan bahwa

    saat ini birokrasi pemerintahan sedang mengalami posisi krisis dan taruhannya

    adalah peran mereka dalam pembangunan. Pertanyaannya adalah apakah birokrasi

    saat ini mampu mengatasi persoalan kemiskinan, kelaparan, kekeringan? Ataukah

    mereka sendiri sedang dalam posisi menjadi biang kemacetan dan kegagalan yangada?

    Terlepas dari kekhawatiran di atas, pada dasarnya peranan birokrasi tetap penting

    dalam agenda pembangunan di negara–negara berkembang. Persoalannya adalah

    bagaimana birokrasi dapat mengikuti perubahan dan dinamika pembangunan serta

    perubahan tuntutan masyarakat yang cepat.

    Uraian di atas menandaskan ada persoalan untuk menemukan gap dalam

    pembangunan, antara apa yang diharapkan dan apa yang sesungguhnya terjadi. Studi

    terhadap birokrasi sebenarnya adalah studi untuk menemukan mata rantai yang

    hilang untuk menutupi gap yang ada yang dicari pada variable–variable birokrasi.

    B. Perumusan Masalah

    Dalam konteks pembangunan di berbagai negara termasuk Indonesia, birokrasii

    mempunyai peranan yang penting sebagai agen pembaruan. Keinginan untuk

    melakukan proses pembangunan yang besar telah mendorong adanya dominasii

    birokrasi sebagai pelaku pembangunan utama yang dilatarbelakangi oleh asumsii

    bahwa birokrasi adalah satu–satunya lembaga yang memiliki kapasitas yang memadai

    untuk mengemban tugas tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya, peran ini justrumenjadi over productive di mana birokrasi menjadi gurita yang menggerogoti seluruh

    aspek kehidupan masyarakat. Berbagai studi empirik selanjutnya membuktikan

    bahwa kegagalan berbagai program pembangunan di Indonesia justru disebabkan

    oleh rendahnya kapasitas administratif atau manajemen birokrasi yang ditandai

    dengan berbagai realitas patologi birokrasi.

  • 8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

    10/83

    KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA10

    Terkait dengan konsep tersebut maka menarik untuk mencermati realitas kinerja

    birokrasi di tingkat lokal sebagai salah satu upaya mengkaji dinamika proses

    pembangunan di daerah. Karena itu rumusan masalah penelitian ini adalah:

    ―Bagaimana Determinasi Struktural dan Kultural Birokrasi Dalam Membentuk

    Perilaku Birokrasi Di Kabupaten Ngada? ”  

    C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

    Tujuan Penelitian

    Kajian penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk :

    1.  Mengungkapkan determinasi aspek struktural birokrasi dalam mempengaruhi pola

    perilaku birokrasi di Kabupaten Ngada;

    2.  Mengungkapkan determinasi aspek budaya patrimonial dalam mempengaruhi pola

    perilaku birokrasi di Kabupaten Ngada.

    Kegunaan Penelitian

    Hasil penelitian dan kajian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :

    1.  Kepentingan praktis, yaitu untuk memberikan masukan bagi pemerintah daerah

    dalam melakukan penataan birokrasi lokal;

    2.  Kepentingan teoritis, yaitu memberikan masukan dalam rangka pengembangan

    kajian terhadap birokrasi.

  • 8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

    11/83

    KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA11

    BIROKRASI, SEBUAH REVIEW TEORITIK

    A. Terminologi Birokrasi

    Istilah birokrasi sesungguhnya berasal dari kata Bahasa Perancis bereaumonia yang

    merujuk pada suatu pernyataan dari Vincent de Gouruay pad abab 17 sebagai suatu

    penyakit dalam pemerintahan. Kata ini kemudian berubah menjadi bureaucratia 

    (Perancis), bureukratic  atau burokratic  (Jerman), burocrazia  (Italia), bureaucracy  

    (Inggris) dan di-Indonesia-kan menjadi birokrasi .  Selanjutnya kata bureaucracy  

    dapat diturunkan menjadi bureacrat , bureaucratic, bureaucratism, bureaucratist  dan bureaucratization.

    Dalam perkembangan konsep birokrasi, akan ditemui banyak konsep tentang

    birokrasi yang dikonotasi dengan berbagai hal yang kadang sangat membingungkan.

    Albrow (1989) yang kemudian dielaborasi oleh Pandie (2000) mencoba menangkap

    pengertian birokrasi yang tersebar tersebut dan mencoba membuat semacam

    taksonomi birokrasi dalam tujuh konsep birokrasi sebagai berikut :

    1. Birokrasi Sebagai Organisasi Rasional

    Terminologi ini terutama diwakili oleh pemikiran Weber yang merumuskan tipe ideal

    birokrasi sebagai bentuk organisasi yang di dalamnya terdapat mekanisme social

     yang memaksimumkan efisiensi dalam pencapaian tujuannya. Peter Blau (1989)

    sebagai penganut weberian memandang birokrasi sebagai organisasi yang

    berdasarkan rasionalitas; birokrasi akan memberikan kontribusi terhadap kinerjanya

     yang lebih akurat, bersinambung, disiplin, ajeg sehingga birokrasi secara teknis

    merupakan tipe organisasi yang paling memuaskan. Perkembangan dunia modern yang

    mengagungkan rasionalitas menjadi bukti empiris tentang kemampuan organisasii

    rasional sebagai pemacu transformasi sosial dalam masyarakat industri. Rasionalitas

    birokrasi yang dianut oleh sektor negara dan swasta telah memungkinkan terjadinyadinamika perkembangan ekonomi dan pelayanan yang memuaskan.

    2. Birokrasi Sebagai Inefisiensi

    Terminologi ini dibangun sebagai kritik terhadap proposisi birokrasi yang diajukan

    oleh para weberian. Para penganut birokrasi sebagai inefisiensi mencoba melihat sisi

    2

  • 8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

    12/83

    KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA12

    gelap dari birokrasi yang justru counter-produktive  terhadap efisiensi itu sendiri.

    Terminologi ini berakar pada gejala patologi birokrasi yang ditandai oleh

    kelambanan, kurang inisiatif, formalisasi yang berlebihan, korupsi, duplikasi,

    tertutup dan infleksibilitas. Gagasan patologi sebenarnya bersumber pada

    pandangan Alvin Gouldner yang mencoba mencari apa yang disebut metaphysical

    patos  sebagai sisi gelap birokrasi.

    Goodsell (1994) mengkategorikan kritik terhadap rasionalitas birokrasi dalam tiga

    kategori :

      Kinerja pelayanan yang unacceptable;

      Memobilisasi kekuatan politik yang berbahaya;

      Sebagai alat represi terhadap individu

    Sosiolog Robert K. Merton melihat inefisiensi dalam konsep disfunction  yaitu

    deviasi fungsi birokrasi yang dibaca dalam fenomena yang dikenal sebagai  goal

    displacement , sebagai tindakan yang menempatkan cara–cara lebih penting daripadatujuan. Hal ini mengakibatkan terjadinya formalisme organisasi yang mendewakan

    aturan di atas segalanya, yang tercermin dalam rigiditas dan ketidakmampuan

    organisasi membuat inovasi yang berakibat pada kecenderungan organizational break

    down.

    3. Birokrasi Sebagai Kekuasaan yang Dijalankan oleh Pejabat

    Terminologi ini bersumber dari konsep lahirnya birokrasi yang dikemukan oleh De

    Gournay. Menurutnya, birokrasi merupakan cabang keempat dari kekuasaan

    (eksekutif, legislatif dan yudikatif), yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat.

    W.R. Sharp (Pandie dan Kuahaty; 2000) menyebut birokrasi sebagai pelaksana

    kekuasaan oleh para administrator yang professional. Dalam defenisi – defenisi di

    atas, terkandung maksud untuk menguraikan bahwa birokrasi menjadi bentuk

    kekuasaan yang berasal dari golongan pejabat yang dapat disejajarkan dengan

    aristokrasi (kekuasaan oleh bangsawan) dan demokrasi (kekuasaan yang berasal dari

    rakyat)

    4. Birokrasi Sebagai Administrasi Negara

    Birokrasi dalam pengertian umum, selalu sinonim dengan konsep administrasi negara

     yang oleh Stillman II (1992) mempunyai beberapa pengertian :

      the executive branch of government  (cabang pemerintahan eksekutif)

      the formulation and implementation of public policies   (perumusan dan

    implementasi kebijakan publik)

  • 8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

    13/83

    KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA13

      the involvement in a considerable range of problem concerning human

    behavior and cooperative human effort   (kegiatan yang berkaitan dengan

    persoalan prilaku manusia dan usaha kerjasama dalam organisasi negara)

      a field than can be differentiated in several ways from private

    administration  (suatu bidang ilmu yang dalam beberapa hal berbeda

    administrasi privat/bisnis)  the production of public goods and services   (produksi barang–barang dan

     jasa publik untuk melayani ―citizens –   consumers ‖). Dalam hal ini diartikan

    sebagai public servant  atau public services.

    5. Birokrasi Sebagai Sebuah Organisasi

    Prajudi Atmosudirdjo (1990) mengartikan birokrasi sebagai organisasi dari setiap

    negara modern yaitu keseluruhan struktur–struktur, unit-unit organisasi dan proses-

    proses, di mana di dalamnya terjadi keputusan–keputusan yang oleh negara

    dinyatakan atau dianggap sebagai mengikat semua pihak yang bersangkutan.

    Birokrasi dalam pengertian sebagai organisasi berciri sebagai bentuk organisasi yang

    berskala besar, kompleks, formal dan modern. Sebagai organisasi birokrasi memilikii

    spesialisasi, hierarki, otoritas, status, rantai komando, kompetensi atau kualifikasi.

    Birokrasi identik dengan big organization atau large scale organization.

    6. Birokrasi Sebagai Administrasi yang Dijalankan oleh Pejabat

    Konsep ini berhubungan dengan suatu kerangka eksplisit bagi analisis organisasi

     yang dengannya organisasi dilihat sebagai struktur–struktur, di mana staf-staf

    administrasi yang menjalankan otoritas keseharian merupakan bagian yang penting.

    Di dalam staf-staf itu terdiri dari orang-orang yang diangkat dan mereka disebut

    birokrasi-birokrasi.

    7. Birokrasi Sebagai Masyarakat Modern

    Birokrasi menjadi lambang masyarakat modern karena azasnya berpijak pada

    rasionalitas dan efisiensi. Masyarakat tradisional adalah masyarakat yang masih

    dikuasai oleh kekuatan magis, tradisi, mitos-mitos dan kekuatan dogmatika. Struktur

    masyarakat tradisional yang berbasis pada bidang pertanian, yang pola organisasinya

    belum didasarkan atas pembagian kerja dan spesialisasi. Hanya dalam masyarakat

    modern yang telah mengalami diferensiasi struktur dan pertimbangan–pertimbangan

    rasionalitas yang dapat mengadopsi model organisasi birokrasi. Itulah sebabnya

    rasionalisasi dalam birokrasi merupakan persyarat untuk mengerahkan secara penuh

    pengetahuan teknologi dalam melakukan produksi yang bersifat massal atau dengan

    kata lain suatu persyarat dalam proyek modernisasi. Spesialisasi, hierarki,

  • 8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

    14/83

    KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA14

    wewenang, sistem peraturan dan hubungan–hubungan yang tidak bersifat pribadi

    (impersonal ) merupakan ciri–ciri birokrasi yang berasosiasi dengan ciri masyarakat

    modern.

    B. Ragangan Teori Klasik dan Moderen Birokrasi

    Ragangan teori ini dibangun dari kerangka teori Pandie (2000) :

    1. Teori Klasik Birokrasi

    a.  Karl Marx

    Marx mulai mengelaborasi konsep birokrasi dengan menganalisis dan mengkritik

    falsafah Hegel mengenai negara. Analisis hegelian menggambarkan bahwaadministrasi negara atau birokrasi sebagai suatu jembatan antara negara (the

    state) dengan masyarakat/rakyatnya (the civil society ). Di antara keduanya,birokrasi pemerintah merupakan perantara (medium) yang memungkinkan pesan–

    pesan dari kepentingan khusus tersebut tersalurkan ke kepentingan umum. Tiga

    susunan ini (negara, birokrasi dan masyarakat rakyat) diterima oleh Marx akan

    tetapi diubah isinya. Birokrasi Hegel meletakkan pengertiannnya dengan

    melawankan antara kepentingan khusus dan umum, maka Marxis mengkritiknya

    bahwa meletakan birokrasi semacam itu tidak mempunyai arti apa – apa. Menurut

    Marx, negara itu tidak mewakili kepentingan umum akan tetapi mewakili

    kepentingan khusus dari klas dominan.

    Birokrasi menurut Marxis merupakan suatu instrumen dimana klas dominan

    melaksanakan dominasinya atas klas sosial lainnnya. Marx yang terkenal dengan

    teori kelasnya itu menegaskan bahwa birokrasi itu tidak bisa netral dan harus

    memihak, yakni memihak pada kelas yang dominan.

    b.  Gaetano Mosca

    Mosca mencoba menelaah birokrai sebagai topik sentral dalam kajian struktur

    politik, antara the ruling   dan the ruled   (penguasa dan yang dikuasai). Dalam

    bukunya The Ruling Class   (1895), ia membagi masyarakat (societies ) atas dua

    kelas: kelas berkuasa dan kelas yang dikuasai. Kelas pertama memonopoli

    kekuasaan politik dan menikmati keuntungannya denga melaksanakan kekuasaan

    tersebut, sementara kelas kedua dikontrol oleh kelas pertama.

    Lebih lanjut dijelaskan bahwa elit birokrasi dengan keahlian, kompetensi dan

     jabatannya akhirnya menjadi kelas yang disebut bureaucratic state. Geral

    Caiden (Lane,1986) menyebut sebagai administrative state  dimana semua

  • 8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

    15/83

    KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA15

    problem masyarakat dimasukan dalam arena publik yang kemudian

    diimplementasikan oleh birokrasi publik, sekaligus memonitornya. Rakyat

    kemudian memandang institusi administrasi yang paling baik, sehingga mereka

    menyetujui penguatan birokrasi pemerintah. Penguatan negara administrasi

    cenderung akan menjauhkan semboyang pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat

    dan berubah menjadi pemerintah berasal dari birokrat, oleh birokrat dan untukbirokrat.

    c.  Robert Michels

    Michels menegaskan bahwa birokrasi diperlukan untuk menjamin eksistensi suatu

    negara moderen. Dalam bukunya Political Parties  dia menjelaskan bahwa negara

    moderen membutuhkan birokrasi yang besar karena melaluinya kelas dominan

    secara politik menjamin dominasinya. Birokrasi sebagai sumber kekuasaan bagi

    kelas politik dominan, sebagai sumber keamanan bagi bahagian terbesar kelas

    menengah, tetapi di pihak lain merupakan sumber operasi bagi the rest ofsociety . Konsentrasi kekuasaan pada kelas menengah ini (birokrasi) disebut

    Michels sebagi oligarki yang merujuk pada adanya kecenderungan kekuasaan yang

    terkonsentrasi di tangan beberapa orang pada level top organisasi. Dari studi

    ekonomi-politik birokrasi, ia menyimpulkan bahwa tekanan ke arah oligarki yang

    makin kuat sehingga disebutnya sebagai the iron law of oligarchy   (Sulivan and

    Thompson,1987). Akibatnya para elit penguasa bebas melaksanakan kekuasaan

    birokrasi menurut keinginan mereka.

    d.  Max Weber

    Konsep birokrasi Weber dibicarakan dalam kerangka teori tentang domination.

    Ada tiga tipe domination yang diajukan yaitu; pertama. charismatic domination 

     yaitu keabsahan bentuk hubungan kekuasaan bersumber pada kualitas

    supranatural pribadi si pemimpin; kedua, traditional domination  yaitu bentuk

    hubungan kekuasaan yang memperoleh keabsahan karena bersumber pada

    tradisi; ketiga, legal rasional domination  yang melihat keabsahan bentuk

    hubungan kekuasaan dari kenyataan bahwa kekuasaan bersumber pada ketentuan

    atau peraturan formal.

    Birokrasi dalam bentuknya yang paling rasional memprasyaratakan proposisi-

    proposisi menurut legitimasi dan otoritas, serta memiliki ciri tertentu sebagai

    berikut :

    1.  Para anggota staf secara pribadi bebas, hanya menjalankan tugas-tugas

    impersonal jabatan mereka;

    2.  Adanya hirarki jabatan yang jelas;

    3.  Fungsi – fungsi jabatan ditentukan secara jelas;

  • 8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

    16/83

    KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA16

    4.  Para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak;

    5.  Mereka dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idelanya didasarkan suatu

    diploma (ijasah) yang diperoleh melalui suatu ujian;

    6.  Mereka memiliki gaji dan biasanya juga hak–hak pensiun. Gaji berjenjang

    menurut kedudukan dan hirarki. Pejabat dapat selalu menempati posnya, dan

    dalam keadaan – keadaan tertentu ia juga dapat diberhentikan;7.  Pos jabatan adalah lapangan kerjanya sendiri atau lapangan kerja pokok;

    8.  Terdapat suatu struktur karir, dan promosi dimungkinkan berdasarkan

    senioritas maupun keahlian (merit) dan menurut pertimbangan keunggukan

    (superior);

    9.  Pejabat mungkin tidak sesuai baik dengan posnya maupun dengan sumber-

    sumber yang tersedia di pos tersebut;

    10. Ia tunduk pada system disipliner dan kontrol yang seragam.

    2. Teori Modern Birokrasi

    a. Pluralism dan Government Overload

    Pluralism merupakan ciri moderernisasi barat, khususnya pada abab ke-20,

    dimana kekuasaan politik terfragmantasi dan terdefusi secara meningkat. Sistem

    politik modern yang pluralist telah menyeimbangkan penggunaan kekuasaan yang

    tumpah tindih antara asosiasi ekonomi, professional, agama, etnik dan lain-lain.

    Tiap kelompok memainkan pengaruh tertentu terhadap proses policy-making ,

    tetapi tidak monopoli antara yang satu terhadap yang lain, karena ada check and

    balance.

    Dalam system yang pluralistik ini birokrasi tidak mampu untuk berkuasa sendiri,

    karena dikontrol ketat oleh pelbagai kelompok interest. Pengaruh yang mungkin

    terjadi, jika birokrasi dapat mempengaruhi parlemen.

    Birokrasi dengan demikian sebagai bagian dalam struktur negara yang pluralist,

    bukan hirarki yang monolitik. Secara empiris, pada kondisi pluralist hal yang

    menguntungkan bagi birokrasi adalah mencari penyesuaian timbal balik dengan

    lembaga lain (mutual adjustments with other ), dalam bentuk aliansi, koalisi,

    pertukaran, persuasi, ancaman dan cara manipulasi.

    Salah satu versi pendekatan pluralis yang popular dewasa ini adalah tesis

     government overload, sebagaimana yang diusulkan oleh Michael Crozier, S.P.

    Huntington, Daniel Bell dan lain-lain. Menurut tesis ini, ada tekanan yang kuat

    terhadap pemerintah untuk memenuhi tuntutan publik yang begitu kompleks yangdihasilkan oleh revolusi entitlements . Revolusi ini diakibatkan oleh eskalasi yang

  • 8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

    17/83

    KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA17

    makin tinggi dari kelompok aktivis politik dan meningkatnya harapan masyarakat

    terhadap pemerintah. Selanjutnya seiring dengan perkembangan masyarakat

    modern, ekspansi peranan pemerintah dalam ekonomi dan masyarakat makin

    kompleks dalam bentuk government overload  atau big government. 

    b. The Technocratic View

    Anti tesis pandangan pluralisme diekspresikan oleh aliran pemikiran teknokratik

    (the technocratic school of thought) . Aliran pemikiran ini muncul di Perancis

    sebagai fenomena dalam sistem politik dimana teknokrat mempunyai pengaruh

     yang menentukan dalam administrasi (birokrasi) dan ekonomi. Teknokratik adalah

    kelompok pemikir yang terhimpun dalam birokrasi guna menopang efektivitas

    sistem politik. Etzioni-Halevi (1983), mengidentifikasi teknokratik-birokratik

    dalam beberapa indikator :

    1.  Peningkatan intervensi pemerintah;

    2.  Peningkatan kompleksitas tugas-tugas pemerintah;3.  Ekspertasi yaitu kebutuhan kelompok ahli yang mempunyai ekspert yang

    berpengetahuan;

    4.  Information. Untuk membuat keputusan politik, setiap pemimpin politik

    membutuhkan informasi yang akurat. Tiap unit birokrasi harus mampu

    memanipulasi informasi untuk mempengaruhi keputusan;

    5.  Time and number sebagai alat kontrol dalam birokrasi.

    c. The Corporotorist View

    Konsep corporotorist   atau corpotorism  secara umum didefenisikan sebagai

    konfigurasi institusional ketika kebijakan publik dikerjakan melalui interaksi

    antara elit negara dan pemimpin –  pemimpin organisasi perwakilan kepentingan

    atau korporasi dalam jumlah yang dibatasi.

    Menurut Schmitter (dalam Santoso,1993) dijelaskan bahwa corpororism terbagi

    atas dua tipe : pertama, state corporotorism. Tipe ini ditandai dengan dominasi

    negara atas kelompok korporasi (himpunan kelompok kepentingan) dengan

    melakukan represi melalui kekuatan politik yang otoriter; kedua, societal

    corporotorism  yaitu peranan –  peranan kelompok korporasi begitu dominan

    terhadap negara dalam perumusan – perumusan kebijakan publik dan ini biasanya

    terjadi pada negara –  negara barat yang berbentuk kapitalis dan demokratik.

    Di bawah model ini, peranan birokrasi sangat minimal. Ada dua alasan pengabaian

    birokrasi ini yaitu formalisasi peraturan yang membuat kinerja birokrasi

    pemerintah sangat lamban dan kaku, serta kapasitas aparatur negara yang

    rendah dan korupsi yang tinggi.

  • 8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

    18/83

    KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA18

    d. Marxist View

    Dalam bukunya Manifesto of the Communist   Party  (1969), Marx bersama Engels

    menegaskan secara keras bahwa eksekutif negara moderen adalah komite untuk

    mengelola kepentingan dari kelas berjuis. Menurut teori Marxits, Negarabekerja atas tiga pertimbangan : pertama, orang-orang yang berada dalam pos-

    pos komando negara cendrung untuk menjadi kelas dominan atau cendrung

    memperoleh privilege  yang memadai untuk menguasai dan memberi warna

    terhadap hubungan-hubungan sosial, pendidikan dan cara panjang. Kelas ini

    membentuk opini publik dalam hegemoni kekuasaan.

    Kedua, kelas kapitalis yaitu mereka yang mempunyai kekuatan ekonomi, menjadi

    kelompok penekan yang dominan dalam masyarakat kapitaslis, dan pemerintahberada dalam tekanan kelas kapitalis. Ketiga, tindakan-tindakan negara dalam

    sistem produksi kapitalis, secara struktural tunduk pada rasionalitas kapitalis(meskipun secara terbatas). Aparatur negara (birokrasi) berkewajiban

    mempromosikan kepentingan-kepentingan kelas kapitalis karena melalui cara

    demikian birokrasi dapat mengambil keuntungan rente dan sekaligus mengamakan

    kekuasaanya. Birokrasi secara mendasar menjadi tulang punggung negara untuk

    mempromosikan kelas penguasa, dan otonom dalam kepentingannya. Pertumbuhan

    birokrasi adalah signifikan dengan kelas penguasa sehingga ada kecendrungan

     yang kuat mempertahankan status qou .

    C. Profil Birokrasi Indonesia Kontemporer

    Pemerintahan Indonesia sejak awal orde baru telah mulai melakukan pembenahan

    terhadap birokrasi secara lebih serius sebagai upaya untuk mewujudkan

    keberhasilan pembangunan ekonomi. Birokrasi mulai ditata menjadi suatu birokrasi

    bertipe legal rasional yang ditandai oleh tingkat spesialisasi yang tinggi, struktur

    kewenangan hirarkis dengan batas – batas kewenangan yang jelas, hubungan antar-

    anggota organisasi yang tidak bersifat pribadi, rekrutmen berdasarkan kemampuan

    teknis dan lain sebagainya. Kualitas ini ingin dicapai melalui pengaturan struktural

    seperti hirarki wewenang, pembagian kerja, profesionalisme, system pengupahan

     yang semua berdasarkan atas peraturan perundangan.

    Dalam perkembangannya sosok birokrasi legal formal tidaklah sepenuhnya dapat

    diwujudkan dengan baik yang nampaknya sangat dipengaruhi oleh banyak faktor dan

    birokrasi Indonesia dewasa ini belumlah mampu melepaskan dirinya dari akar

    historis dan budayanya. Emmerson (dalam Santoso,1993) mengatakan bahwa

    birokrasi Indonesia dewasa ini masih mencerminkan percampuran dan perpaduan

  • 8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

    19/83

    KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA19

    antara karakteristik birokrasi modern yang legal rasional dengan kararakteristik

    birokrasi yang berakar pada sejarah. Warisan budaya aristokrasi, orientasi ke atas,kesadaran prestise dan status yang amat kuat, pengaruh misticsim  dalam

    pengambilan keputusan masih tetap mewarnai perjalanan birokrasi Indonesia.

    Merujuk pada karya F.W. Riggs (1996) yang berjudul Administrasi Negara –  NegaraBerkembang: Teori Masyarakat Prismastis , dapat dikatakan bahwa birokrasi yang

    berkembang di Indonesia saat ini merupakan birokrasi yang lahir dari rahim

    masyarakat prismastic  yaitu masyarakat yang ditandai dengan saling terbenturnya

    nilai-nilai tradisional dengan nilai–nilai modern. Secara struktural ditampilkan ciri– 

    ciri sebagaimana birokrasi modern, namun secara kultural, birokrasi di Indonesia

    masih membawa semangat feodalisme dalam segala aspeknya.

    Pola prilaku birokrasi Indonesia saat ini pada dasarnya dipengaruhi oleh berbagai

    faktor yang merupakan suatu hasil dari proses sejarah dari zaman kerajaan

    tradisional, kolonial dan birokrasi Indonesia modern saat ini (Santoso,1993;Wignjosoeroto,1989; Hariandja, 1999).

    1. Birokrasi Kerajaan

    Birokrasi sebagai korps pegawai negara telah eksis di Indonesia sejak zaman pra

    kolonial yaitu zaman kerajaan Hindu Jawa dan Mataram Islam. Korps ini disebut abdi

    dalem. Para abdi dalem oleh raja diberikan hak–hak atas tanah, menarik pajak tanpa

    peraturan dan batasan yang jelas. Karir dan posisinya sangat tergantung pada

    kecerdikan mereka dalam memelihara dan memanfaatkan hubungan pribadinya

    denga raja. Para abdi dalem ini kemudian berkembang menjadi kelas sosial tersendiri

     yang terpisah dari masyarakat. Mereka berkesempatan menurunkan kedudukannya

     jika raja berkenan. Anggota keluarga lainnya mendapat kesempatan untuk menduduki

     jabatan birokrasi, sehingga birokrasi bukan saja lembaga dengan fungsinya tetapi

     juga sebuah lapisan sosial. Dengan demikian posisi dan status setidaknya ditentukan

    oleh pertalian darah dengan keluarga kerajaan.

    2. Birokrasi Kolonial

    Tujuan pemerintahan kolonial adalah eksploitasi dan penguasaan politik. Untuk

    melaksanakan tujuan tersebut birokrasi dibentuk. Priyayi sebagai ambtenaar

    mempunyai kedudukan sebagai penyelenggara kekuasaan kolonial. Dengan memakai

    para priyayi, maka secara umum pihak Belanda telah mengadopsi sistem dan struktur

    birokrasi tradisional yang dinilai sangat menguntungkan dalam mengukuhkan

    kekuasaan Belanda terhadap masyarakat pribumi. Sebenarnya ada perubahan dalam

    birokrasi kolonial dimana priyayi tidak diangkat berdasarkan kualifikasi genelogis

    tetapi berdasarkan kriteria rasional. Tetapi karena priyayi ini telah berkembang

  • 8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

    20/83

    KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA20

    menjadi suatu kelas sosial dan mereka mempunyai kesempatan untuk melestarikan

    posisi sosial mereka, akhirnya kepriyayiannnya ini juga menjadi suatu hal yang turun

    temurun sepertinya halnya abdi dalem.

    3. Birokrasi Indonesia Kontemporer

    Dalam memahami perilaku birokrasi di Indonesia, selain dengan menggunakan

    pendekatan kultural seperti yang dijelaskan di atas, dapat juga digunakan

    pendekatan lain yaitu model bureaucratic polity   (masyarakat politik birokratik).

    Usman (1998) menjelaskan bahwa permasalahan yang paling penting di Indonesia

    pada masa orde baru adalah terjadinya apa yang lazimnya disebut politisasi birokrasi

    publik. Kondisi ini pada awalnya dimaksudkan untuk meredakan konflik–konflik

    internal birokrasi (tinggalan orde lama), tetapi dalam perkembanganya justru

    menciptakan bentuk pelayanan yang tidak adil dan berkembangnya birokrasi

    partisipan. Para birokrasi sangat sulit menolak keinginan rezim politik yang berkuasa.

    Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam perspektif sosiologi, ada dua implikasi daripolitisasi birokrasi tersebut. Pertama, posisi birokrasi menjadi sangat marginal dan

    tidak memiliki bargaining power; kedua, pelembagaan hubungan ― kekeluargaan‖ pada

    proses promosi dalam organisasi publik.

    Emmerson dan Wilner (Hariandja,1999) menjelaskan bahwa nilai–nilai tradisional

    secara subtansial terus berlanjut, meskipun dalam berbagai segi memperlihatkan

    ekspresi baru. Hal ini dapat diamati bagaimana sampai saat ini posisi dan status

    sosial masih berkaitan erat dengan hirarki birokrasi seperti bagaimana pegawai

    negeri sipil diorganisir dalam organisasi tunggal yang posisi kepemimpinannya

    diterapkan sesuai dengan tingkat jabatan dalam birokrasi.

    D. Pembaruan Birokrasi

    Wajah birokrasi Indonesia penuh dengan cacat akibat deviasi-deviasi yang

    terpelihara yang memunculkan penyakit atau patologi birokrai. Secara teoritik

    Merton menyebut gejala ini sebagai dysfunction  dan yang lainnya merumuskannya

    sebagai bureau pathology . Ada banyak cara yang ditawarkan untuk mengreformasi

    birokrasi. Patologi birokrasi Indonesia pada umumnya disebabkan oleh beberapa hal

    (Siagian,1994) :

    1.  Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manejerial para pejabat di

    lingkungan birokrasi;

    2.  Patologi yang disebabkan karena kurangnya atau rendahnya pengetahuan dan

    keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional;

    3.  Patologi yang timbul karena tindakan para anggota birokrasi yang melanggar

    norma-norma hukum dan peraturan perundangan yang berlaku;

  • 8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

    21/83

    KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA21

    4.  Patologi dimanifestasikan dalam perilaku para birokrat yang bersifat

    disfungsional atau negatif;

    5.  Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai instansi dalam

    lingkungan pemerintah.

    Dari berbagai potret birokrasi itu maka sangat diperlukan suatu proses pembaruanatau reformasi birokrasi secara mendasar. Ada beberapa pendekatan yang

    berkembang dalam kaitan melakukan reformasi birokrasi ini yaitu pendekatan atau

    perubahan paradigma administrasi publik menjadi manajemen publik. Ada beberapa

    alasan perlu dilakukannya perubahan paradigma ini yaitu : (1) pendekatan adminstrasi

    terlalu normatif; (2) model tersebut kurang memiliki akurasi yang deskriptif; (3)

    bahwa model normatif gagal untuk mengidentifikasi mekanisme terbaik administrasi

    publik yang kondusif terhadap efektivitas dan efisiensi operasionalnya (Lane,1998).

    Kristiadi (1998) mencatat beberapa hal dalam upaya menuntun model manajemen

    publik dalam mereformasi birokrasi Indonesia :1.  Bagaimana membangun manajemn publik yang bercirikan good governance; 

    2.  Bagaimana membangun manajemen publik yang memungkinkan terwujudnya

    keseimbangan baru antara peranan pemerintah yang tepat dengan peranan

    masyarakat yang partisipatif, sekaligus mengindahkan kaidah–kaidah

    internasional;

    3.  Bagaimana mempersiapkan unsur–unsur organisasi yang mendukung

    terwujudnya manajemen publik yang memenuhi ketiga kriteria di atas;

    4.  Ke arah manakah pengembangan paradigma dan ilmu manajemen publik yang

    dapat mendukung terwujudnya pratik–pratik manajemen publik yang

    memenuhi kriteria di atas.

    Selain pendekatan manajemen di atas, juga muncul pendekatan untuk

    mewirausahakan birokrasi yang disponsori oleh David Osborne dan Ted Gabler

    dengan bukunya Reinventing Government   serta David Orborne bersama Peter

    Plastrik dalam bukunya Memangkas Birokrasi   sebagai strategi dalam

    mengimplementasikan prinsip- prinsip pemerintahan wirausaha.

    Reinventing government   sebagaimana yang diusulkan bukan dimaksudkan untuk

    menggantikan peran para administrator dalam sektor publik melainkan dimaksudkan

    untuk mengubah cara pandang klasik para birokrat menjadi cara pandang yang lebih

    dinamis yang dirumuskan dalam 10 prinsip sebagai berikut:

    1.  Birokrasi yang lebih banyak mengarahkan ketimbang mengayuh;

    2.  Lebih memberi wewenang ketimbang melayani;

    3.  Menumbuhkan semangat persaingan dalam pemberian pelayan publik;

    4.  Merubah birokrasi yang digerakan oleh aturan;

    5.  Prinsip membiayai hasil dan bukn membiayai masukan;

  • 8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

    22/83

    KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA22

    6.  Berorientasi pada kebutuhan masyarakat pelanggan, ketimbang struktur;

    7.  Berorientasi hasil bukan pegeluaran;

    8.  Lebih bersifat mencegah daripada mengobati;

    9.  Dari hirarki menuju partisipasi dan team work ;

    10. Mendongkrak perubahan melalui mekanisme pasar.

    Lebih lanjut Osborne dan Plastrik (2000) menegaskan pentingnya pemahaman yang

    luas terhadap makna pembaharuan birokrasi tersebut sehingga tidak menjadi tidak

    tepat sasaran. Pembaruan oleh keduanya didefenisikan sebagai tranformasi sistem

    dan organisasi pemerintah secara fundamental guna menciptakan peningkatan

    dramatis dalam efektivitas, efisiensi dan kemampuan mereka untuk melakukan

    inovasi. Transformasi ini dicapai dengan mengubah tujuan, sistem insentif,

    pertanggungjawaban, struktur kekuasaan, dan budaya sistem dan organisasi

    pemerintah. Pembaharuan adalah menciptakan organisasi dan sistem pemerintah

     yang terus-menerus berinovasi, yang secara kontinu memperbaiki kualitas mereka,

    tanpa mendapat tekanan dari pihak luar. Pembaharuan adalah penciptaan sektorpemerintah yang mempunyai dorongan dari dalam untuk melakukan perbaikan yang

    oleh sebagaian orang disebut ―sistem pembaruan diri‖.

    Hal menarik yang ditawarkan oleh Osborne dan Plastrik adalah mencoba membedah

    sumber permasalahan pada birokrasi yang disebut dengan melihat kembali kode

    genetika dari birokrasi. Mengambil pengandaian dari dunia pertanian, dijelaskan

    bahwa semua organisme dibentukan oleh DNA yaitu instruksi berkode yang

    menentukan siapa dan apa mereka. Dengan mengubah DNA suatu organisme maka

    kemampauan dan prilaku baru akan muncul pula. Hal yang sama dianalogikan juga

    pada sistem pemerintahan. Mereka bergerak sangat lamban dan birokratis pada

    dasarnya karena mereka dirancang untuk demikian.

    Dalam sistuasi demikian, solusi yang ditawarkan adalah rekayasa genetika atau

    mengubah DNA dari sistem tersebut. Disimpulkan bahwa bagaian –  bagian paling

    fundamental dari birokrasi pada umumnya menyangkut hal – hal sebagai berikut :

    1. Tujuan Sistem

    Bagian kritis pertama adalah bagaimana menentukan tujuan sistem organisasi

    pemerintah. Jika suatu organisasi tidak jelas tujuannnya atau mempunyai tujuan

    ganda dan saling bertentangan maka organisasi tersebut tidak bisa mencapai kinerja

     yang baik.

    Strategi memperjelas tujuan disebut sebagai strategi inti karena berkaitan dengan

    fungsi inti pemerintahan: fungsi mengarahkan. Strategi ini menghapus fungsi– fungsi

  • 8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

    23/83

    KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA23

     yang tidak lagi menjalankan tujuan pemerintah yang sebenarnya, fungsi yang lebih

    baik jika dikerjakan oleh sektor swasta atau tingkat pemerintahan yang lain.

    Strategi ini memisahkan fungsi mengarahkan dan fungsi melaksanakan, sehingga tiap

    organisasi dapat memusatkan pada satu tujuan dan meningkatkan kemampuan

    pemerintah untuk mengarahkan dengan menciptakan mekanisme yang bisa

    mengdefenisikan tujuan dan strategi.

    2. Insentif

    Bagian penting kedua dari DNA sistem pemerintah adalah DNA yang menentukan

    sistem insentif pemerintah. DNA birokratis memberi insentif yang kuat kepada

    pegawai untuk taat aturan dan tunduk. Inovasi hanya akan membawa kesulitan,

    status qou terus-menerus mendatangkan hadiah. Pegawai dibayar sama tanpa

    memandang hasil. Dan sebagaian besar organisasi adalah monopoli atau mendekati

    monopoli yang diisolasi dari kegagalan mereka.

    3. Pertanggungjawaban

    Hal ini berkaiatan dengan kepada siapa seharusnya organisasi pemerintah

    bertanggungjawab, apa yang harus dipertanggungjawabkan. Sebagian besar entitas

    pemerintah bertanggungjawab kepada pejabat terpilih yang membuat entitas

    tersebut. Karena itu pejabat ditekan terus-menerus untuk menjawab tuntutan

    kelompok–kelompok kepentingan, mereka lebih sering peduli terhadap penggunaan

    sumber daya pemerintah daripada terhadap hasil-hasil yang mereka peroleh.

    4. Kekuasaan

    Dalam sistem birokrasi, sebagian besar kekuasaan tetap berada di puncak hirarki.

    Dan biasanya para pejabat mempertahan kekuasaan sebanyak mungkin di tangannya.

    Para manejer lini mempunyai kekuasaan yang terbatas dan kekeluasaan mereka

    dihambat oleh instruksi anggaran yang rinci, aturan kepegawaian, sistem pengadaan,

    pratek–pratek auditing dan sebagainya. Pegawai hampir tidak memiliki kekuasaan

    untuk mengambil keputusan. Akibatnya, organisasi-organisasi pemerintah lebih

    tanggap pada peraturan baru daripada kepada perubahan situasi atau kebutuhan

    pelanggan.

    5. Budaya

    Akhirnya, bagian kritis dari DNA sistem pemerintah adalah DNA yang menentukan

    budaya organisasi pemerintah yaitu menyangkut nilai-nilai, norma, sikap dan harapan

    pegawai. Budaya sangat dipengaruhi oleh bagian DNA lainnya baik itu tujuan, sistem

    insentif, sistem pertanggungjawaban dan struktur kekuasaannya. Ubahlah unsur–

  • 8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

    24/83

    KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA24

    unsur ini maka budaya akan berubah. Tetapi budaya tidak selalu berubah persis

    seperti apa yang diharapkan para pemimpinnnya. Kadang-kadang budaya akan

    memperkeras resistensi. Seringkali budaya akan berubah lamban sekali dalam

    memuaskan pelanggan dan pembuat kebijakan.

    Sistem birokrasi menggunakan spesifikasi yang rinci, unit-unit fungsional dan uraianpekerjaan untuk membentuk hal-hal yang harus dikerjakan pegawai. Spesifikasi ini

    membuat inisiatif menjadi resiko. Apabila pegawai terbiasa dengan kondisi ini maka

    mereka akan menjadi pembawa budaya ini. Mereka menjadi reaktif, menggantungkan

    diri, takut mengmbil inisiatif. Dengan cara demikian, DNA birokrasi menciptakan

    budaya takut, menyalahkan dan sikap defensif.

  • 8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

    25/83

    KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA25

    METODE PENELITIAN 

    A. Variabel Penelitian

    1. Determinan Struktural Birokrasi

    1.1. Sistem Konsekuensi

      Pola kompetisi

      Pola pengukuran kinerja

      Pola insentif

    1.2. Sistem pertanggungjawaban  Mekanisme pertanggungjawaban organisasi

      Isi pertanggungjawaban

      Akses masyarakat

    1.3. Struktur Kekuasaan

      Pola pengambilan keputusan

      Pola pengawasan dan pengendalian

    2. 

    Determinan Budaya Patrimonial

    2.1. Budaya Organisasi

      Pola – pola prilaku  Nilai –nilai yang dianut

    2.2.  Pola Promosi

      Hubungan kekeluargaan

      Hubungan etnik

      Hubungan politik

    2.3.  Polarisasi dalam birokrasi

      Klik etnik

      Klik politik

    B. Lokasi dan Waktu Penelitian

    Penelitian ini dilakukan pada Birokrasi Pemerintahan Kabupaten Ngada Propinsi Nusa

    Tenggara Timur yang dilakukan sejak bulan Februari sampai Maret 2005.

    3

  • 8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

    26/83

    KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA26

    C. Populasi dan Sampel

      Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh aparat birokrasi pemerintahan

    Kabupaten Ngada yang berjumlah 1830 orang yang tersebar dalam Dinas,

    Sekretariat Daerah, dan Badan serta yang tersebar di seluruh kecamatan.

    Sample ditentukan dengan teknik cluster purposive sampling, dimana

    organisasi birokrasi pemerintahan di kabupaten Ngada diklaster berdasarkanbentuk organisasi yaitu dinas, badan dan organisasi sekretariat dan dari

    masing –  masing kelompok tersebut ditentukan responden secara sengaja

    dengan memperhatian tingkat eselon dan non eselon.

    Tabel 1. Kerangka Sampling

    No Cluster Komponen Responden

    Eselon

    II

    Eselon

    III

    Eselon

    IV

    Non Eselon

    1 Dinas 10 20 30 40

    2 Badan 6 20 30 403 Bagian Sekretariat 3 11 37 40

    Jumlah 19 51 97 120

      Informan penelitian yang diambil untuk melengkapi pengumpulan data yaitu

    meliputi anggota DPRD, tokoh masyarakat dan masyarakat umum yang

     jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan data yang diperlukan.

    D. Teknik Pengumpulan Data

      Library research yaitu dengan mempelajari berbagai literatur dan dokumen – 

    dokumen yang ada hubungannnya dengan obyek penelitian  Pengumpulan data primer yang dilakukan dengan menggunakan kuesioner,

    wawancara mendalam dan berstruktur serta focus group discussion.

    E. Pengolahan dan Analisis Data

    Data yang terkumpul ditabulasi dan dianalisis dengan menggunakan teknik deskriptif

    kualitatif yang dipadukan dengan perbandingan teoritik.

  • 8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

    27/83

    KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA27

    GAMBARAN UMUM KABUPATEN NGADA

    Kabupaten Ngada merupakan salah satu dari 16 kabupaten/kota di Propinsi Nusa

    Tenggara Timur, yang secara geografis terletak di antara 8-9 0 lintang selatan dan

    1200450  1210500 bujur timur. Bagian utara berbatasan dengan Laut Flores, bagian

    selatan berbatasan dengan Laut Sawu, bagian timur berbatasan dengan Kabupaten

    Ende dan bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Manggarai. Kabupaten Ngada

    tergolong daerah yang beriklim tropis. Sebagian besar wilayahnya adalah padang

    rumput yang ditumbuhi pepohonan seperti kemiri, asam, kayu manis dan sebagainya

    serta kaya dengan fauna, antara lain hewan-hewan besar, hewan-hewan kecil danunggas. Daerah ini juga kaya dengan obyek wisata seperti Taman Laut 17 Pulau

    (Riung), panorama alam seperti air terjun, gua alam, sumber air panas (Mengeruda)

    dan wisata budaya seperti peninggalan batu megalith, rumah adat tradisional (Bena).

    Secara administratif, Kabupaten Ngada terdiri dari 14 kecamatan, 143 desa dan 30

    kelurahan. Luas Kabupaten Ngada sampai dengan tahun 2002 mencapai 3.037,88 km2 

    dengan jumlah penduduk sebesar 234.020 jiwa lebih yang tersebar pada 14

    kecamatan. Selanjutnya dapat dilihat pada tabel berikut :

    4

  • 8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

    28/83

    KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA28

    Tabel 1

    Keadaan Penduduk Kabupaten Ngada

    Keadaan Tahun 2002No Kecamatan Jumlah

    Penduduk

    Luas

    Wilayah(Km2)

    Kepadatan

    Penduduk/Km2 

    Jumlah

    Desa/Kel

    1 Aimere 19.673 234,76 84 11

    2 Ngada Bawa 19.611 44,46 441 9

    3 Golewa 30.401 250,72 121 20

    4 Mauponggo 27.321 141,89 193 19

    5 Nangaroro 19.028 264,27 72 12

    6 Boawae 29.465 325,42 91 20

    7 Bajawa 16.785 256,22 66 12

    8 Riung 19.737 683,00 29 10

    9 Aesesa 33.482 503,29 67 23

    10 Soa 14.047 151,76 93 10

    11 Wolowae 4.470 182,09 25 5

    12 Jere Buu 6

    13 Keo Tengah 11

    14 Riung Barat 5

    Jumlah 234.020 3.037,88 77 173

    Sumber : Ngada Dalam Angka, 2002

    Gambaran mengenai komposisi penduduk yang bekerja menunjukan pada tahun 2001

    sebagian besar penduduk yang bekerja memiliki lapangan usaha di sektor pertanian

    101.446 orang atau 86.82 persen. Dilihat dari status pekerjaan utamanya, sebanyak7.773 atau 6,65 persen penduduk bekerja sebagai buruh. Hal yang menarik adalah

     jumlah penduduk yang bekerja dengan status pekerja keluarga mencapai sebanyak

    60.682 orang atau 51.93 persen dari penduduk yang bekerja. Sebagaian besar

    penduduk bekerja dengan jam kerja antara 25-34 jam dan 35-44 jam kerja

    seminggu. Sekitar 42.466 orang dari 116.853 orang yang bekerja atau 36.34 persen

    berkerja antara 25-34 jam per minggu dan 28.23 persen bekerja antara 25-34 jam

    per minggu.

    Rata-rata anak yang pernah dilahirkan menurut Sensus Penduduk 2000 dan Susenas

    2001 terlihat bahwa secara keseluruhan rata-rata yang dilahirkan oleh wanita umurspesifik 45-49 tahun menurun dari 4.23 persen pada tahun 2000 menjadi 4.17

    persen pada tahun 2001. Sedangkan angka kematian bayi di Kabupaten Ngada pada

    periode 1977-1987 telah menurun cukup besar. Pada tahun 1987 angka kematian bayi

    adalah 72 per 1000 kelahiran. Oleh karena itu, angka harapan hidup pada periode ini

    menjadi meningkat dari 47,9 tahun pada tahun 1977 menjadi 59,5 tahun 1987.

  • 8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

    29/83

    KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA29

    Menyangkut mata pencararian, menurut data Susenas 2002, sebanyak 124.461 orang

    menpunyai pekerjaan, sedangkan jumlah usia produktif (usia 15-50 tahun) tercatat

    mencapai 109.130 jiwa atau 47.75% dari total penduduk Kabupaten Ngada.

    Berdasarkan hal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sebanyak 15.331 penduduk

    di luar usia produktif sudah mempunyai pekerjaan, sehingga bisa diartikan terdapat

    sebagian penduduk yang seharusnya menuntut ilmu atau terdapat sebagain penduduk yang seharusnya beristirahat atau pensiun ternyata masih melaksanakan aktivitas

    seperti biasa untuk mencari nafkah yang dapat dilihat pada tabel berikut.

    Tabel 2

    Keadaan Ketenagakerjaan Penduduk Kabupaten Ngada

    Tahun 2002No Status Pekerjaan Jumlah Persen

    1 Angkatan Kerja 125.447

    a. Bekerja 124.461 99.36

    b. Mencari pekerjaan 806 0,642 Bukan Angkatan Kerja 18.086

    a. Sekolah 8.120 44,90

    b. Lainnya 9.965 55,10

    c. TT 1 0.01

    Sumber : Ngada Dalam Angka,2002

    Menyangkut jenis pekerjaan, sebagian besar penduduk Kabupaten Ngada

    bermatapencaharian sebagai petani atau bekerja pada sektor pertanian. Keadaan

    penduduk menurut mata pencaharian dapat dilihat pada tabel berikut :

  • 8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

    30/83

    KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA30

    Tabel 3

    Keadaan Penduduk Menurut Lapangan Usaha Di Kabupaten Ngada

    Tahun 2002

    No Lapangan Usaha Jumlah Persen

    1 Pertanian Tanaman Pangan 96.345 77,30

    2 Perkebunan 8.950 7.18

    3 Jasa 7.853 6.30

    4 Industri 3.467 2.78

    5 Perdangan 2.886 2.32

    6 Perikanan 1.302 1.04

    7 Peternakan 1.227 0.98

    8 Lainnya 1.016 0.82

    9 Pertanian lainnya 972 0.78

    10 Angkutan 614 0.49

    11 TT 9 0.01Jumlah 124.641 100.00

    Sumber : Ngada Dalam Angka, 2002

    Berikutnya menyangkut keadaan tingkat pendidikan penduduk, berdasarkan hasil

    publikasi BPS tahun 1996 dan tahun 1999 diperoleh gambaran sebagai berikut :

      Angka melek huruf meningkat dari 86,4 persen menjadi 92,3 persen

      Rata-rata lama sekolah meningkat dari 5.7 persen menjadi 6.3 persen

      Angka buta huruf usia dewasa 7.7 persen

      Angka partisipasi sekolah usia SD mencapai 95 persen

      Angka partisipasi usia sekolah SLTP mencapai 69.6 persen  Angka partisipasi usia sekolah SLTA mencapai 30.3 persen

      Angka partisipasi sekolah usia PT mencapai 3.1 persen

      Angka putus sekolah usia SD dan SLTP hanya mencapai 3.7 persen

      Angka putus sekolah usia SLTA hanya mencapai 28.3 persen

      Angka putus sekolah usia PT hanya mencapai 26.8 persen

    Menurut hasil SUSENAS 2001, terkait angka butu huruf penduduk Kabupaten

    Ngada, nampak bahwa penduduk berumur 10 tahun ke atas yang buta huruf pada

    tahun 2001 tercatat 14.443 orang (8.60 persen) dimana penduduk perempuan

    memiliki jumlah hampir dua kali lebih besar dibandingkan penduduk laki-laki.

    Pada tahun 2001 banyaknya penduduk berumur 10 tahun ke atas yang tidak atau

    belum pernah sekolah, masih sekolah dann tidak sekolah lagi masing-masing 12.400

    orang (7,38 persen) , 26.580 orang (15.83 persen) dan 128.952 (76.79 persen).

  • 8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

    31/83

    KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA31

    Selanjutnya, gambaran mengenai jumlah sekolah, guru dan murid serta rasio

    guru/sekolah dan murid/sekolah dapat dilihat pada tabel berikut.

    Tabel 4

    Data Jumlah Sekolah, Guru dan Murid Di Kabupaten Ngada

    Tahun 2002N

    o

    Jenjang Jumlah Rataan

    Guru/Sekolah

    Rataan

    Murid/SekolahSekolah Guru Murid

    1 SD 274 1.796 34.983 6.6 127.7

    2 SLTP 47 593 8.874 12.6 188.8

    3 SMU Umum 11 254 3.516 23.1 319.6

    4 SMU Kejuruan 3 87 1.525 26.8 459.5

    a. STM 2 67 1.212 33.5 606.0

    b. SMEA 1 20 313 20 313.0

    Sumber : Ngada Dalam Angka,2002

    Keadaan penduduk menurut agama terlihat bahwa pada umumnya penduduk

    Kabupaten Ngada memeluk agama Katolik (205.505 orang); sementara Protestan

    2.001 orang; Islam 15.790 orang; Hindu 192 orang dan Budha 2 orang.

    Selanjutnya menyangkut kondisi perekonomian, PDRB Kabupaten Ngada sebesar Rp.

    1.510.475 sedangkan menurut harga konstant, PDRB Kabupaten Ngada pada tahun

    1999 sebesar Rp.156.033.480.000 dan pada tahun 2000 sebesar Rp.

    161.063.164.000. Berdasarkan hal ini maka laju pertumbuhan ekomomi Kabupaten

    Ngada pada tahun 2000 sebesar 3.22%. Gambaran lengkap PDRB Kabupaten Ngada

    dapat dilihat pada tabel berikut :

  • 8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

    32/83

    KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA32

    Tabel 5

    Gambaran Umum PDRB Kabupaten Ngada

    Keadaan Tahun 2000No Lapangan Usaha Jumlah

    (Ribuan Rp)

    1 Pertanian 183.960.893a. Tanaman Bahan Makanan 110.100.748

    b. Tanaman Perkebunan Rakyat 33.876.321

    c. Peternakan dan hasilnya 28.909.808

    d. Kehutanan 1.990.904

    e. Perikanan 9.083.112

    2 Pertambangan dan Penggalian 4.578.108

    3 Industri Pengolahan 4.578.108

    a. Migas 8.200.973

    b. Non Migas

    4 Listrik dan Air Bersih 2.719.148

    a. Listrik 794.234

    b. Air bersih 1.924.914

    5 Bangunan/konstruksi 32.025.550

    6 Perdagangan 32.039.460

    a. Perdagangan besar dan eceran 30.834.979

    b. Restoran dan rumah makan 925.712

    c. Hotel 278.769

    7 Pengangkutan dan komunikasi 18.469.430

    a. Angkutan 17.094.217

    - Angkutan jalan raya 15.671018

    - Angkutan laut 528.775- Angkutan udara

    - Jasa angkutan 836.156

    b. Komunikasi 1.375.213

    8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahan 13.079.283

    a. Bank 4.749.100

    b. Lembaga keuangan nirlaba 4.739.512

    c. Sewa bangunan 3.521.200

    d. Jasa Perusahaan 69.471

    9 Jasa-jasa 58.408.564

    a. Pemerintahan Umum 53.730.921

    b. Swasta 4.677.643

    - Sosial kemasyarakatan 2.609.336

    - Hiburan dan rekreasi 76.798

    - Perorangan 1.991.509

    Jumlah 353.481.409

    Sumber : Ngada Dalam Angka,2002

  • 8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

    33/83

    KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA33

    Menyangkut tingkat kemiskinan penduduk, pada tahun 1996 jumlah penduduk yang

    hidup di bawah garis kemiskinan diperkirakan mencapai 23.952 orang atau 11,27

    persen dari seluruh Penduduk Kabupaten Ngada. Akibat krisis ekonomi yang terus

    berkelanjutan, sampai dengan Februari tahun 1999, jumlah penduduk miskin

    diperkirakan telah menjadi 42.933 orang atau 19,44 persen. Dibandingkan dengan

    tahun 1996 jumlah penduduk miskin tersebut mengalami peningkatan sebesar 79.25persen. Selama periode 1996-1999, garis kemiskinan meningkat 210,62 persen. Garis

    kemiskinan ini naik dikarenakan naiknya harga-harga pada pertengahan tahun 1997.

  • 8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

    34/83

    KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA34

    5DETERMINAN STRUKTURAL DAN KULTURAL PADA

    BIROKRASI PEMERINTAHAN KABUPATEN NGADA

    A DETERMINAN STRUKTURAL BIROKRASI

    1.  Sistem Konsekuensi

    1.1 

    Pola Kompetisi

    Sistem persaingan pada dasarnya penting untuk diperhatikan karena ia menyangkutsistem pengelolaan kepentingan antar individu yang dapat menjamin rasa puas aparat

    dalam berkinerja. 

    Organisasi birokrasi Kabupaten Ngada pada dasarnya belum memiliki suatu sistem

    kompetisi yang dibuat secara terlembaga dengan standar dan mekanisme yang jelas.

    Ada kecendrungan para staf bekerja hanya pada bidangnya dengan programnya

    sehingga hanya bergerak secara mekanistik dan di sisi lain ruang kompetisi ini juga

    tidak dibangun dalam kerangka standar kinerja yang jelas dan hasil atau implikasi

    kinerja yang terarah pula. Pola promosi misalnya cenderung masih bersifat kaku

    berdasarkan aturan legalistik formal aturan kepegawaian sehingga tidakmemungkinkan adanya ruang kompetisi berdasarkan penilaian prestasi dalam proses

    promosi.

    Implikasi dari model ini adalah para staf cenderung memiliki motivasi untuk

    berprestasi yang rendah dan selanjutnya berdampak pada tidak jelasnya kinerja

    staf yang tidak terukur dengan baik dan hasil atau implikasi dari kinerja yang tidak

    diapresiasi secara baik dan jelas pula.

    Dinas Perhubungan misalnya, dalam membangun sistem kompetisinya cendrung dinilai

    berdasarkan pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi yang sudah ditentukan dalamPerda. Dinas perhubungan dibagi dalam dua subdinas yaitu Sub Dinas Sarana

    Prasarana dan Sub Dinas Perhubungan Darat yang keduanya dijabarkan dalam seksi-

    seksi. Dalam organisasi ini ada hubungan horisontal dan hubungan vertikal yaitu

    hubungan atas dari seksi ke sub dinas dan ke dinas selain itu ada juga KTU yang

    berperan mengkoordinir kegiatan administrasi yang dibagi atas beberapa bagian.

    Hubungan ini bersifat teratur dalam uraian tugasnya yang selanjutnya tugas ini

  • 8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

    35/83

    KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA35

    dapat lebih fleksibel sesuai dengan kebutuhan organisasi. Struktur ini dianggap

    bukan sebagai pemisahan tugas tetapi hanya pembagaian tugas sehingga antar bagian

    dapat saling berhubungan sehingga ada hubungan horisontal antar bagian sehingga

    semua dapat saling memahami tugas dan fungsi bagian lain.

    Manfaat kompetisi yang fair tentu tidak bisa dipandang sebelah mata. Kompetisidalam olah raga dan bisnis, sebagai contoh, yang telah hadir ratusan tahun silam,

    memungkinkan seseorang atlit/businessman  tidak ragu-ragu melakukan investasi

     yang besar demi suatu keuntungan di masa yang akan datang. Kompetisi

    memungkinkan para orangtua mengirim anak-anak mereka pergi berlatih/mencari

    ilmu hingga ke negeri seberang, menghabiskan waktu berjam-jam berlatih dan

    belajar tanpa lelah dan putus asa. Prinsip kompetisi: ―the best is the winner ‖,

    merangsang mereka untuk menemukan cara-cara terbaik, efisien dan efektif dalam

    mengelola diri dan/atau usaha mereka agar mereka dapat menawarkan sesuatu yang

    unggul, murah, ramah dan berkualitas. Sementara itu pengusaha yang tidak efisien

    akan menjual barang/jasa yang mahal yang pada akhirnya akan gugur dalam proseskompetisi.

    Kenyataan inilah yang harusnya menginspirasi dan meransang para pemimpin untuk

    mereformasi sektor publik. Kebanyakan para calon pemimpin, sebagai contoh,

    biasanya berjanji untuk mewujudkan keadaan yang ideal, memberantas KKN,

    memberantas kemiskinan, mereformasi sektor publik, dan lain-lain, tetapi sangat

    terbatas pernyataan tentang kebijakan yang akan diambil. Keadaan-keadaan ideal di

    atas merupakan tujuan kebijakan, tetapi tentu saja hal-hal ini tidak terwujud jika

    tidak ada suatu penjelasan tentang kebijakan yang akan diambil dan bagaimana

    merealisasikannya.

    Pada sektor swasta, kompetisi merupakan jiwa penggerak utama. Kompetisi

    memungkinkan penunjukkan karyawan yang terbaik dalam mewujudkan tujuan

    organisasi. Demikian juga seharusnya pada sektor publik. Kenyataan bahwa pada

    tingkat yang lebih tinggi dalam hirarki birokrasi, jabatan yang tersedia semakin

    berkurang, harusnya dapat mendorong para pemimpin untuk bisa mewujudkan suatu

    iklim kompetisi dalam pengisian jabatan ini. Ke depan kemungkinan keterlibatan pihak

    luar dalam mengisi jabatan-jabatan pada sektor publik akan semakin terbuka,

    sehingga apabila calon-calon internal kurang memiliki kompetisi maka mereka tidak

    akan bisa bersaing dengan calon eksternal yang umumnya memiliki kemampuan lebih.

    Praktek promosi otomatis yang selama ini berlangsung dalam sektor publik yang

    didasarkan pada senioritas, sangat berbeda dengan penciptaan suatu budaya

    kompetisi. Pada praktek promosi otomatis, seorang karyawan memiliki insentif yang

    sangat terbatas untuk bekerja lebih dan berprestasi lebih. Promosi otomatis ini

    mematikan kompetisi. Yang terjadi selama ini adalah sepanjang tidak melakukan

  • 8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

    36/83

    KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA36

    sesuatu yang merupakan suatu pelanggaran, maka seseorang karyawan pemerintah

    dipastikan akan dipromosikan setelah bekerja dan berada dalam pangkat/golongan

     yang sekarang selama maksimal empat tahun.

    Praktek yang terjadi adalah terjadinya kelebihan staf pada level yang lebih tinggi,

    sebagai akibat dari promosi otomatis, baik itu yang berprestasi ataupun yang tidakberprestasi. Sehingga mereka yang berprestasi menjadi frustasi sebagai akibat dari

    kurangnya pengakuan yang bermakna terhadap usaha mereka. Hal ini tentu bisa

    mendorong mereka untuk meningggalkan sektor publik dimana mereka bisa

    memperoleh penghargaan yang layak, atau mereka hanya sekadar menjadi kurang

    termotivasi (dispirited ), yang berakibat pada menurunnya produktivitas. Pada saat

     yang sama, ada insentif yang sangat terbatas untuk meningkatkan pendidikan atau

    pengetahuan atau ketrampilan mereka mengingat kenyataan bahwa perubahan

    pengetahuan yang akan mereka lakukan tidak akan membawa perubahan yang layak

    dalam hal gaji atau promosi (Haning 2004).

    Apa yang semestinya dijumpai adalah suatu sistem, dimana promosi hanya akan

    terjadi bila ada kebutuhan untuk mengisi suatu posisi yang kosong, dan kompetisi

    untuk pengisian jabatan tersebut didorong dengan memberi kesempatan kepada

    pelamar-pelamar yang potensial, dan bukan merupakan hak yang otomatis.

    Penekanannya harus selalu pada bagaimana memperoleh seorang pegawai yang

    terbaik untuk mengisi setiap posisi. Dengan fokus ini, maka berbagai perubahan

    dapat dilakukan.

    Pertama, sistem yang menekankan pada senioritas dan kualifikasi pendidikan sebagai

    prasyarat untuk menduduki posisi yang lebih tinggi harus dihentikan. Jika seorang

    pegawai muda dengan pengalaman yang relatif sedikit mampu mendemonstrasikan

    suatu kompetensi yang tinggi, maka semestinya tidak ada alasan yang lebih kuat

    untuk tidak mengikutsertakannya dalam berkompetisi dengan pelamar-pelamar yang

    lebih senior.

    Kedua, pegawai negeri harusnya didorong untuk melamar posisi-posisi baik itu di

    dalam maupun di luar badan/dinas/kantor/bagian mereka. Ada banyak manfaat yang

    diperoleh dengan perputaran semacam itu, oleh karena mereka akan mengalami

    lingkungan kerja dan praktek yang berbeda, dan unit yang mereka masuki tentu juga

    memperoleh manfaat dari pengalaman mereka. Orang luar umumnya akan membawa

    baik itu ide-ide yang baik maupun buruk; yang pertama tentu bisa diadopsi dan yang

    terakhir dapat diabaikan. Sekali lagi dengan memberi kesempatan kepada sebanyak-

    banyaknya pelamar, maka kesempatan untuk memperoleh yang terbaik itu akan lebih

    besar.

  • 8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

    37/83

    KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA37

    Ketiga, pelamar juga sebenarnya bisa dari luar. Sama halnya seperti yang diperoleh

    dari perputaran antarunit, maka masuknya pihak luar, terutama dari sektor swasta,

    akan membawa manfaat yang luar biasa.

    Keempat, dalam rangka penilaian kemampuan seorang pelamar, maka praktek-praktek

     yang selama ini dilakukan dalam menjaring para pejabat publik politik dapat diadopsi.Dengan suatu proyek ujicoba/percontohan, beberapa posisi yang strategis dapat

    dibuka untuk setiap pegawai untuk melamar dengan memenuhi persyaratan

    administratif tertentu dan bahkan suatu forum kompetisi untuk mengetahui apa

     yang hendak mereka lakukan dan (visi dan misi) kemana suatu organisasi hendak

    dibawa dapat diadakan agar publik secara transparan dapat mengetahui kapasitas

    seseorang pejabat birokrat yang akan melayani mereka. Suatu tim perlu dibentuk

    untuk mengelola pendekatan dan forum semacam ini.

    Kompetisi dalam alokasi sumber daya kepada badan/kantor/dinas/bagian pada

    pemerintah daerah juga merupakan suatu praktek yang telah lama diadopsi dinegara-negara barat. Dengan penekanan pada efisiensi, efektifitas dan

    produktifitas maka mereka yang mampu yang memiliki kompetensilah yang umumnya

    memperoleh lebih banyak resources .

    Dalam prakteknya pada pemerintah daerah, keberadaan suatu badan, dengan tugas

    pokok dan fungsi yang jelas tidaklah selamanya menjadi ukuran/standar alokasi

    resources . New Zealand melakukan hal ini melalui prinsip purchaser/provider split  

    (pemisahan antara penjual dan pembeli) dimana setiap organisasi, termasuk di

    dalamnya sektor swasta dan lembaga swadaya masyarakat bisa berpatisipasi dalam

    pelaksanaan suatu program atau proyek tertentu. Kondisi yang tercipta adalah

    terwujudnya suasana kompetisi antarunit-unit yang ada maupun antarunit

    pemerintah dengan swasta. Mereka diberi kebebasan untuk mengajukan proposal

    untuk perolehan dana guna memecahkan suatu persoalan tertentu yang masih

    berkaitan. Sehingga yang terjadi adalah suatu badan, sebagai contoh Badan

    Pemberdayaan Masyarakat Desa, yang selama ini memfokuskan diri pada upaya

    pengentasan kemiskinan, bisa jadi tidak memperoleh alokasi dana yang cukup oleh

    karena uang tersebut telah direbut oleh unit lain (Haning 2004).

    Hal ini sebenarnya juga telah diadopsi oleh beberapa pemerintah daerah, seperti

     yang terlihat dalam pengadopsian sistem anggaran kinerja. Dalam anggaran ini,

    penekanannya bukan hanya pada pengelolaan inputs , tetapi juga pada processes  dan

    outputs . Outcomes   sendiri tentu agak sulit untuk diukur atau menjadi tanggung-

     jawab satu unit organisasi, mengingat tidak menentunya batas waktu dan pengaruh

    faktor lain terhadap delivery of the outputs . Pengentasan kemiskinan, sebagai

    contoh, hanya akan terwujud selama suatu jangka waktu panjang terntentu dan

    sudah pasti bukan hanya merupkan kontribusi satu unit pemerintah.

  • 8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

    38/83

    KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA38

    Demikian pula dengan pengenaan sanksi yang bertitiktolak dari outputs , sebenarnya

    sangat sulit dan dilematis. Kesulitannya terletak pada kenyataan bahwa suatu output  

    bisa jadi merupakan hasil kerja keroyokan beberapa unit, dan bukan hanya satu

    individual unit. Sementara itu hal dilematisnya terletak pada kenyataan juga bahwa

    pengurangan alokasi resources   kepada suatu unit, sebagai contoh, sebagai akibatkegagalan unit tersebut dalam memenuhi target yang ditetapkan bisa berdampak

    kepada keseluruhan cakupan pelayanan yang merupakan tanggung-jawab unit itu.

    Untuk itu, solusi yang dipakai adalah dengan mendorong kehadiran lembaga

    (pemerintah, swasta maupun civil society ) untuk berkompetisi dalam mengambilalih

    pelayanan yang vakum tadi. Solusi kedua adalah dengan mengkombinasikan prinsip

    punishment  pengurangan alokasi resources  dengan pengenaan sanksi pribadi kepada

    pimpinan unit tersebut.

    Kesemua ―best practices ‖ ini pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan suatu

    kondisi yang memungkinkan para pegawai untuk bekerja secara maksimal, tanpapaksaan tetapi dengan motivasi yang tinggi, berlomba-lomba membekali diri dan

    membangun organisasi untuk menghasilkan sesuatu yang ―tidak seperti biasa‖ dengan

    berbekal sesuatu ―yang hanya biasa‖. Sehingga prinsip efiensiensi, prinsip the right

    man on the right place, dan prinsip the best deserves the best   (yang terbaik

    memperoleh yang terbaik) dapat terwujud (Haning 2004).

    1.2  Pola Pengukuran Kinerja

    Setiap organisasi dibentuk atau didirikan untuk mencapai suatu tujuan yang telah

    ditetapkan. Untuk mengetahui sejauhmana tujuan organisasi telah tercapai perlu

    dilakukan penilaian melalui evaluasi secara terus menerus terhadap kinerja

    organisasi. Hal ini penting dilakukan, karena dengan melakukan penilaian terhadap

    kinerja, oraganisasi dapat melakukan penilaian terhadap kinerja, perbaikan mutu.

    Dengan demikian yang menjadi sasaran penilaian kinerja adalah tingkat keberhasilan

    suatu organiasasi dalam kurung waktu tertentu.

    Pengukuran kinerja menjadi suatu hal penting yang terabaikan oleh birokrasi

    pemerintah dalam menjalankan keeksistensiannya sebagai pelayanan. Birokrasi

    pemerintah tidak mengetahui secara pasti sudah sejauh mana mereka telah bekerja.

    Penilaian kinerja adalah suatu kegiatan yang sangat penting yang dapat digunakan

    sebagai ukuran keberhasilan dan dapat digunakan sebagai alat untuk melakukan

    perubahan atau pembaharuan secara terarah dan sistimatis.

    Kondisi ini agak berbeda dengan organisasi bisnis yang mau dan dapat dengan mudah

    mengukur kinerja yang dilihat dari tingkat keuntungannya, maka birokrasi publik

    tidak memiliki standar atau tolok ukur kinerjanya. Hal ini menyebabkan agak sulit

  • 8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

    39/83

    KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA39

    masyarakat dapat mengetahui atau memiliki informasi yang lengkap tentang kinerja

    birokrasi. Informasi mengenai kualitas kinerja birokrasi masih bersifat sporadis

     yang tersebar dalam berita di koran-koran, diskusi dan sebagainya. Namun informasi

     yang valid yang disediakan oleh pemerintah sebagai hasil pengukuran dengan standar

     yang jelas memang harus diakui sampai saat ini belum ada.

    L.W. Rue dan L.W. Byars (1980) mendefenisikan kinerja sebagai tingkat pencapaian

    hasil (the degree of accomplishment ). Atau dengan kata lain kinerja merupakan

    tingkat pencapaian tujuan organisasi. Bagi pemerintah daerah yang mengemban

    fungsi pemerintah yaitu pelayanan publik, penilaian kinerja sebenarnya memiliki arti

    penting dalam menilai aspek kuantitas, kualitas, dan efisiensi pelayanan, motivasi

    para birokrat pelaksana dan lain sebagainya. Tetapi persoalannya, apakah penilaian

     yang dilakukan telah menggambarkan kinerja yang sebenarnya? Hal ini sangat

    ditentukan oleh ketajaman dalam menentukan cakupan, cara dan indikator-

    indokator yang digunakan. Suatu penilaian yang menggunakan cakupan, cara dan

    indikator yang sangat terbatas akan memberikan hasil yang terbatas pula.

    Salim dan Woodward (dalam Agus Dwiyanto,dkk; 2002) melihat kinerja berdasarkan

    pertimbangan ekonomi, efesiensi, efektifitas dan persamaan pelayanan. Aspek

    ekonomi dalam kinerja diartikan sebagai strategi untuk menggunakan sumber daya

    seminimal mungkin dalam proses penyelenggaraan kegiatan pelayanan publik.

    Efisiensi kinerja pelayanan publik juga dilihat untuk menunjuk suatu kondisi

    tercapainya perbandingan terbaik atau proporsional antara input pelayanan dan

    output pelayanan. Demikian pula, aspek efektifitas kinerja pelayanan publik ialah

    untuk melihat tercapainya pemenuhan tujuan atau target pelayanan yang telah

    ditentukan. Prinsip keadilan dalam pemberian pelayanan publik juga dilihat sebagai

    ukuran untuk menilai seberapa jauh suatu bentuk pelayanan telah memperhatikan

    aspek-aspek keadilan dan membuat publik memiliki akses yang sama terhadap sistem

    pelayanan yang ditawarkan.

    Selama ini, penilaian secara sistimatik terhadap kinerja pemerintah daerah belum

    menjadi sebuah tradisi. Akibatnya, seringkali muncul perdebatan yang tidak

    terselesaikan ketika terjadi hasil penilaian yang berbeda antara pihak yang satu

    dengan pihak yang lain. Oleh karena itu kemudian menjadi sangat sulit untuk

    mengatakan apakah kinerja pemerintah daerah itu buruk atau baik, rendah atau

    tinggi, menurun atau meningkat dan sebagainya.

    Dalam birokrasi pemerintahan Kabupaten Ngada, mekanisme yang digunakan dalam

    mengukur kinerja personil masih sebatas evaluasi berkala. Hal ini pun dilakukan

    setiap tiga bulan, enam bulan dan akhir tahun untuk mengetahui kinerja staf. Isi

    evaluasi adalah kegiatan-kegitan secara kongkrit dari setiap program. Hasil evaluasi

    diukur dengan selesai atau tidaknya suatu pekerjaan. Selanjutnya ada juga DP3

  • 8/18/2019 Determinasi Struktural Dan Kultural Birokrasi: Studi kasus di NTT

    40/83

    KARAKTER BIROKRASI LOKAL/SANLIMA40

    berkala yang berisikan penilaian terhadap aspek-aspek seperti kesetiaan, prestasi

    kerja, tanggung jawab, kerjasama dan lain sebagainya, dengan kriteria penilaian amat

    baik, baik dan cukup. DP3 ini adalah salah satu bahan yang digunakan dalam proses

    kenaikan pangkat dan jika hasil DP3 hanya mendapat nilai cukup maka orang tersebut

    kenaikan pangkatnya dapat ditunda. Penilaian terhadap aspek ini diberikan secara

    berjenjang oleh pimpinan terhadap bawahan.

    Menyangkut pengukuran kinerja lembaga, nampak juga bahwa birokrasi pemerintahan

    Kabupaten Ngada juga belum memiliki suatu mekanisme pengukuran kinerja lembaga

     yang dapat menjamin terukurnya kinerja sebuah instansi atau dinas secara tepat.

    Ada kecendrungan pemerintah dalam mengukur kinerjanya hanya difokuskan pada

    input  yaitu berapa banyak yang dikeluarkan, berapa orang yang dilayani dan di sisi

    lain pemerintah sedikit sekali atau secara intens memusatkan perhatian kepada

    outcome  atau hasil. Hal ini pada dasarnya selalu ada anggapan bahwa pemerintah

    dengan segala tugas dan fungsinya akan sul