Post on 26-Dec-2015
description
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Dermatitis atopik (DA) adalah suatu penyakit kulit inflamasi yang kronis dan berulang,
dengan karakteristik rasa gatal yang hebat, kulit kering, inflamasi dan eksudasi. Kelainan kulit
berupa papul gatal, yang kemudian mengalami ekskoriasi dan likenifikasi, distribusinya di
lipatan (fleksural). Hal ini dapat disebabkan oleh stress fisik dan emosional. DA seringkali
berhubungan dengan peningkatan nilai serum IgE dan riwayat alergi tipe I, rhinitis alergika dan
asma pada penderita atau keluarga. 1,2,3
DA seringkali mengenai 10-15% anak diseluruh belahan dunia dan prevalensinya
meningkat dengan cepat. Gejala pertama biasanya dimulai saat bayi, dan sekitar 50% kasus
didiagnosis pada usia 1 tahun, dan DA bersifat jangka panjang dan menetap hingga dewasa pada
sepertiga pasienSekitar 70 persen kasus DA dimulai pada anak usia dibawah 5 tahun, meskipun
sebanyak 10 persen kasus yang dijumpai di rumah sakit dimulai saat usia dewasa. 3,4
Dermatitis atopik dicetuskan oleh sejumlah faktor pencetus. Meliputi bahan iritan (bahan
pakaian yang tidak cocok, air keras), mikroba (khususnya Staphylococcus aureus), psikologis
(khususnya keadaan stres) dan faktor alergi. Pasien DA seringkali mengalami peningkatan serum
IgE dan derajat sensitisasi yang tinggi terhadap alergen lingkungan, termasuk makanan. Polutan
dalam maupun luar ruangan seperti asam tembakau dapat mempengarugi produksi IgE.
Sebanyak sepertiga anak dengan DA memiliki alergi terhadap makanan.5
I.2 Definisi
1
Dermatitis atopik (DA) ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal,
yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan
peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga atau penderita (DA, rhinitis
alergik atau asma bronkhial). Kelainan kulit berupa papul gatal, yang kemudian mengalami
ekskoriasi dan likenifikasi, distribusinya di lipatan (fleksural).1
Kata "atopi" pertama diperkenalkan oleh Coca (1928), yaitu istilah yang dipakai untuk
sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam keluarganya,
misalnya : asma bronkial, rinitis alergik, dermatitis atopik, dan konjungtivitis alergik.2
I.3 Epidemiologi
Oleh karena definisi secara klinis tidak ada yang tepat, maka untuk menginterpretasikan
hasil penelitian epidemiologik harus berhati-hati. Berbagai penelitian menyatakan bahwa
prevalensi DA semakin meningkat sehingga merupakan salah satu masalah utama kesehatan
dunia, dengan prevalensi DA pada anak mencapai 10 sampai 20 persen di Amerika Serikat,
Eropa utara dan barat, Afrika, Jepang, Australia dan negara-negara industri lainnya. Prevalensi
DA pada orang dewasa berkisar antara 1-3%. Uniknya, prevalensi DA lebih rendah pada negara-
negara agraris, seperti Cina, Eropa barat, pedalaman Afrika dan Asia. Wanita lebih banyak
menderita DA daripada pria dengan rasio 1,3:1. Sekitar 60% pasien anak dengan DA tidak
menunjukkan gejala apapun pada masa remaja awal, meskipun sebanyak 50% terjadi rekurensi
pada saat dewasa. Onset dini penyakit, permulaan penyakit yang berat, penyakit yang bersamaan
dengan asma dan hay fever, serta riwayat keluarga DA merupakan suatu pertanda perjalanan
penyakit yang berlangsung terus-menerus. 2,4,6
2
Berbagai faktor lingkungan berpengaruh terhadap prevalensi DA, misalnya jumlah
keluarga kecil, pendidikan ibu makin tinggi, penghasilan meningkat, migrasi dari desa ke kota,
dan meningkatnya penggunaan antibiotik, berpotensi meningkatkan penderita DA.2
I.4 Etiologi
Penyebab dermatitis atopi belum diketahui. Sekitar 70% penderita ditemukan riwayat
stigmata atopi pada pasien atau anggota keluarga, yaitu berupa ; 7,8
1. Rhinitis alergika, asma bronkhiale, hay fever
2. Alergi terhadap berbagai alergen protein (polivalen)
3. Pada kulit : Dermatitis atopi, dermatografisme putih dan kecenderungan timbul
urtikaria.
4. Reaksi abnormal terhadap perubahan suhu (panas dan dingin) dan stress.
5. Resistensi menurun terhadap infeksi virus dan bakteri.
6. Lebih sensitif terhadap serum dan obat.
7. Kadang-kadang terdapat katarak juvenelis.
I.5 Patogenesis
Patogenesa dari terjadinya dermatitis atopi belum diketahui secara pasti. Pada sebagian
besar penderita (80%) penderita dermatitis atopi ditemukan peningkatan jumlah Ig E dalam
serum, terutama bila terjadi bersamaan dengan asma bronkhiale dan rhinitis alergika karena
defisiensi sel T supressor. 8
3
Pada temuan laboratorium penderita dermatitis atopi terdapat abnormalitas dari sel T
helper (TH2) yang menginduksi peningkatan produksi interleukin 4 (IL-4) dan berujung pada
peningkatan Ig E. Kelebihan produksi IL-4 mengakibatkan penurunan level interferon gamma.
Sel-sel dapat bereaksi dengan antigen lingkungan untuk memproduksi peningkatan level dari Ig
E. Histamin serum dan pengeluaran sel histamin meningkat, dimana dianggap menimbulkan
pengeluaran sel mast dari reaksi antigen-antibodi. 2,7
I.6 Faktor Pencetus5
Pemahaman dan pengaturan terhadap faktor-faktor pencetus diperlukan untuk
keberhasilan penanganan DA. Riwayat anamnesis yang lengkap sangat diperlukan karena tidak
ada pemeriksaan yang standar, seperti pada rhinitis dan asma untuk mengidentifikasi faktor
pencetus DA yang spesifik
Perubahan suhu dan berkeringat
Penderita atopi tidak tahan terhadap perubahan suhu mendadak. Berkeringat menimbulkan
rasa gatal, terutama pada daerah antecubiti dan fossa poplitea.
Penurunan kelembaban
Udara dingin tidak mampu memberikan kelembaban yang cukup. Uap yang terkandung
dalam lapisan kulit terluar mencapai titik keseimbangan (ekuilibrium) atmosfer dan secara
konsekuen akan mengurangi kelembaban. uapKulit kering menjadi kurang luwes, lebih rapuh
dan lebih mudah teriritasi.
Pencucian yang berlebihan
Pengulangan pencucian dan pengeringan mengurangi air yang mengikat lemak dari lapisan
pertama kulit. Mandi setiap hari masih bisa ditoleransi pada musim panas tetapi dapat
menyebabkan kekeringan kulit yang berlebihan pada musim gugur dan salju.
4
Kontak dengan bahan iritan
Wool, bahan kimia rumah tangga dan industri, kosmetik, dan beberapa sabun dan detergen
dapat menyebabkan iritasi dan inflamasi pada pasien atopi. Asap rokok mungkin menyebabkan
lesi ekszem pada kelopak mata. Inflamasi seringkali diartikan sebagai reaksi alergi oleh pasien,
sehingga mereka mengklaim bahwa mereka alergi terhadap sesuatu yang mereka sentuh.
Alergi kontak
Reaksi alergi kontak memerlukan sediaan topical, termasuk kortikosteroid dapat
dipertimbangkan pada pasien yang tidak memebrikan respon terhadap terapi. Uji temple dapat
membantu mengidentifikasi bahan pencetus.
Aeroallergen
Tungau debu rumah merupakan aeroalergen yang paling penting. Banyak pasien DA yang
memiliki antibodi anti-IgE terhadap antigen tungan debu rumah, tetapi peranan tungau debu
rumah dalam kekambuhan DA masih kontroversial. Inhalasi debu rumah dan penetrasi alergen
melalui kulit mungkin dapat terjadi. Aeroalergen lainnya seperti serbuk sari dan alergen dari
binatang peliharaan atau tembok dapat memperberat DA.
Agen mikroba
Staphylococus aureus merupakan mikroorganisme utama kulit pada lesi DA. Mikroba ini
secara signifikan meningkat pada kulit yang tidak terinfeksi. Normalnya, S. aureus mewakili
kurang dari 5% dari total mikroflora kulit pada orang tanpa DA. Antibiotik diberikan secara
sistemik atau topical secara dramatis dapat memperbaiki DA.
5
Makanan
Makanan diyakini dapat mencetuskan kekambuhan pada DA. Banyak pasien yang
menimbulkan reaksi terhadap makanan tidak mengetahui hipersensitivitas mereka. Makanan
dapat mencetuskan reaksi alergi dan non-alergi. Makan yang paling banyak menimbulkan reaksi
alergi adalah telur, kacang, susu, ikan, kedelai dan gandum. Urtikaria, ekszema, gejala saluran
napas atau cerna, atau reaksi anafilaksis mungkin sebagai tanda makanan yang menimbulkan
reaksi.
Stress emosional
I.7 Gambaran Klinis
Gejala utama dermatitis atopik ialah gatal (pruritus). Akibat garukan akan terjadi kelainan
kulit yang bermacam-macam, misalnya papul, likenifikasi dan lesi ekzematosa berupa eritema,
papulo- vesikel, erosi, ekskoriasi, dan krusta.2
Gambar 1. Predileksi Dermatitis Atopi 6
6
Karakteristik penyakit berbeda-beda berdasarkan usia. DA dapat dibagi menjadi tiga fase,
yaitu DA infantil (terjadi pada usia 2 bulan sampai usia 2 tahun); DA anak (2 sampai 12 tahun);
dan DA pada remaja dan dewasa. Pada DA tipe infantil lebih sering mengenai daerah wajah dan
badan, sedangkan pada DA pada remaja dan dewasa terutama pada daerah fleksural dan tangan.
Pola pewarisan DA sampai saat ini masih belum diketahui, namun beberapa data yang ada
menyebutkan bahwa pola pewarisannya bersifat poligenik. 2,5,9
DA infantil (2 bulan - 2 tahun)
Masa awitan paling sering pada usia 2-6 bulan. Lesi mulai di muka (pipi, dahi) dan skalp,
tetapi dapat pula mengenai tempat lain (badan, leher, lengan, dan tungkai). Bila anak mulai
merangkak, lesi ditemukan di lutut. Lesi berupa eritema dan papulovesikel miliar yang sangat
gatal; karena garukan terjadi erosi, ekskoriasi dan eksudasi atau krusta, tidak jarang mengalami
infeksi. Garukan dimulai setelah usia 2 bulan. Rasa gatal ini sangat mengganggu sehingga anak
gelisah, susah tidur, dan menangis. Lesi menjadi kronis dan residif. Sekitar usia 18 bulan, mulai
tampak likenifikasi di bagian fleksor. Pada usia 2 tahun sebagian besar penderita sembuh,
sebagian berlanjut menjadi bentuk anak. 2,5,6
Gambar 2. Dermatitis Atopi infantil 6
7
DA pada Anak (2-12 tahun)
Dapat merupakan kelanjutan bentuk infantil, atau timbul sendin (de novo). Lesi kering,
likenifikasi, batas tidak tegas karena garukan terlihat pula ekskoriasi memanjang dan krusta.
Tempat predileksi di lipat siku, lipat lutut, leher, pergelangan tangan dan kaki; jarang mengenai
muka. Tangan mungkin kering, likenifikasi atau eksudasi; bibir dan perioral dapat pula terkena;
kadang juga pada paha belakang dan bokong. Sering ditemukan lipatan Dennie Morgan, yaitu
lipatan kulit di bawah kelopak mata bawah. 2,5,6
Gambar 3. Dermatitis atopi Anak 6
DA pada remaja dan dewasa (12-40 tahun)
Tempat predileksi di muka (dahi, kelopak mata, perioral), leher, dada bagian atas, lipat
siku, lipat lutut, punggung tangan; biasanya simetris. Gejala utama adalah pruritus; kelainan kulit
berupa likenifikasi, papul, ekskoriasi dan krusta. Umumnya dermatitis atopik bentuk remaja dan
dewasa berlangsung lama, tetapi intensitasnya cenderung menurun setelah usia 30 tahun.
Sebagian kecil dapat terus berlangsung sampai tua. Dapat pula ditemukan kelainan setempat,
misalnya di bibir (kering, pecah, bersisik), vulva, puting susu, skalp. 2,5,6
Selain terdapat kelainan tersebut, kulit pendenta tampak kering dan sukar berkeringat.
Ambang rangsang gatal rendah, sehingga pendenta mudah gatal, apalagi bila berkeringat. 2,5,6
8
Berbagai kelainan dapat menyertainya ialah xerosis kutis, iktiosis, hiperlinearis palmaris
et plantaris, pomfoliks, pitiaris alba, keratosis pilaris, lipatan Dennie Morgan, penipisan alis
bagian luar (tanda Hertoghe), keilitis, katarak subkapsular anterior, lidah geografik, liken
spinularis (papulpapul tersusun numular), dan keratokonus (bentuk komea yang abnormal).
Selain itu, penderita dermatitis atopik cenderung mudah mengalami kontak urtikaria, reaksi
anafilaktik terhadap obat, gigitan atau sengatan serangga. 2,5,6
Gambar 4. dermatitis atopi dewasa 6
I.8 Pemeriksaan Penunjang 2,10
- Pada pemeriksaan darah perifer ditemukan eosinofilia dan peningkatan kadar Ig E
- Dermatografisme putih (+)
Pada kulit normal jika digores akan menimbulkan 3 respon yaitu ;
1. Garis merah pada tempat yang di gores selama 15 detik
2. Warna merah menjalar ke daerah sekitar garis selama beberapa detik
3. Timbul edem setelah beberapa detik
Pada pasien dengan dermatitis atopi penggoresan pada kulit tidak akan menimbulkan
kemerahan sekitar garis, melainkan kepucatan selama 2 detik sampai 5 menit dan edem tidak
timbul. Keadaan ini disebut dermatografisme putih
9
- Pada pemberian suntikan asetil kolin secara intra kutan 1/5000 akan menyebabkan hiperemia
pada orang normal. Pada pasien dermatitis atopi akan timbul vasokontriksi, terlihat kepucatan
selama 1 jam.
- Jika histamin fosfat disuntikkan pada lesi, eritem akan berkurang. Bila disuntikkan secara
parenteral tampak eritem bertambah pada kulit yang normal.
I.9 Diagnosis
Diagnosis DA biasanya didasarkan pada beberapa variabel, meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisik dan laboratorium. Namun, tidak ada gejala kelainan kulit yang spesifik,
gambaran histologis tidak diketahui dengan jelas, dan tidak ada pemeriksaan laboratorium yang
spesifik dalam menegakkan diagnosis DA. Terdapat beberapa karakteristik yang menyatakan
bahwa pasien tersebut menderita DA. Rajka merupakan orang pertama yang membuat daftar
diagnosis yang terdiri dari Kriteria mayor dan minor. Kriteria ini kemudian direvisi dan dikenal
sebagai kriteria Hanifin dan Rajka. Diagnosis DA ditegakkan bila pada pasien dijumpai tiga atau
lebih tanda mayor dan ditambah tiga atau lebih tanda minor. Setiap pasien dapat menunjukkan
Berdasarkan metode Hanifin dan Rajaka yang dimodifikasi oleh William (1994), kriteria
diagnostik D.A. sekurang-kurangnya harus memiliki 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor:
1. Kriteria Mayor
a. Pruritus
b. Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak
c. Dermatitis fleksura pada dewasa
d. Dermatitis kronis atau residif (Menahun dan kambuhan)
e. Riwayat atopic pada penderita atau keluarga
10
2. Kriteria Minor
a. Xerosis (kulit kering)
b. Infeksi kulit (S. aureus dan virus herpes simplek)
c. Dermatitis non sfesifik pada tangan dan kaki
d. Iktiosis
e. Ptiriasis alba
f. Keratosis pilaris (bintil keras di siku/ lutut)
g. Hiperliniar palmar (garis telapak tangan lebih jelas)
h. Dermatitis di papilla mamae
i. White dermografisme dan delayed blanch respon
j. Gatal bila berkeringat
k. Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau emosi
l. Tes kulit alergi tipe dadakan positif
m. Kadar IgE di dalam serum meingkat
n. Hipersensitif terhadap makanan
o. Intoleran terhadap wol dan pelarut lemak
p. Konjuntivitis berulang
q. Muka pucat atau eritem
r. Orbita menjadi gelap
s. Aksentuasi perifolikular
t. Kelitis
u. Keratokonus
Untuk D.A pada bayi kriteria dimodifikasi yaitu:
1. Kriteria Mayor
a. Riwayat atopi pada keluarga
b. Dermatitits di muka atau ekstensor
c. Pruritus
2. Kriteria minor
a. Xerosis/ Iktiosis/ Hiperliniaris Palmaris
b. Fisura belakang telinga
c. Skuama di scalp, kronis
11
Kriteria ini secara ilmiah dievaluasi dan ditemukan dapat digunakan secara wajar dengan
baik, meskipun tidak ada definisi yang tepat, beberapa tidak spesifik, dan beberapa tidak umum.
William et al mengembangkan daftar minimum kriteria yang dapat dipercaya untuk menegakkan
diagnosis DA yang dapat digunakan secara klinis pada studi epidemiologi.1
I.10 Diagnosis Banding
Diagnosis banding DA yang penting adalah dermatitis seboroik, psoriasis, scabies dan
dermatitis kontak.2
1 Dermatitis Kontak
2 Dermatitis Seboroik
3 Scabies
I.11 Penatalaksanaan
Tujuan terapi meliputi usaha untuk mengeliminasi inflamasi dan infeksi, memelihara dan
memperbaiki sawar stratum korneum dengan menggunakan pelembab, menggunakan bahan anti
gatal untuk mengurangi kerusakan kulit akibat perbuatan sendiri, dan mengontrol faktor-faktor
yang menyebabkan kekambuhan. Kebanyakan pasien masih bisa diawasi dibawah kontrol yang
baik hanya kurang dari 3 minggu. Beberapa kemungkinan alasan kegagalan respon : kesediaan
pasien yang jelek, dermatitis kontak alergika dengan pengobatan topikal, terjadi secara
bersamaan dengan asma dan hay fever, sedasi yang inadekuat, dan stres emosional yang
berkelanjutan. Terapi terutama fokus terhadap gambaran simptomatik (hidrasi kulit dan
mengurangi gatal). 1,5
Terapi dermatitis atopi dapat didefinisikan sebagai berikut : 1
Mengurangi tanda dan gejala
Mencegah atau mengurangi kekambuhan
12
Mempersiapkan penanganan jangka panjang dengan mencegah eksaserbasi
Memodifikasi perjalanan penyakit
Pengobatan topikal
Terapi dasar adjuvant
Sebagai sawar, fungsi pada kulit terganggu, terapi dasar adjuvant merupakan penanganan
dasar terhadap penyakit yang meliputi pemakaian rutin pelembab yang adekuat. Penentuan
pelembab pada tiap-tiap pasien berbeda tergantung pilihan tertentu, usia, dan tipe dermatitis.
Emolien menjaga hidrasi kulit dan mengurangi gatal. Emolien digunakan secara rutin dua kali
sehari, meskipun tidak ada gejala penyakit dan setelah berenang atau mandi. Untuk
membersihkan kulit jangan mernakai sabun alkali, tetapi memakai detergen dengan pH asam,
atau sabun nonalkali berlemak. 1
Kortikosteroid topikal
Pengobatan DA dengan kortikosteroid topikal adalah yang paling sering digunakan
sebagai anti-inflamasi lesi kulit. Namun, demikian harus waspada karena dapat terjadi efek
samping yang tidak diinginkan. 2
Potensi kortikosteroid topikal diklasifikasikan berdasarkan potensinya untuk
vasokonstriksi. Secara umum, hanya sediaan dengan kekuatan sangat lemah atau sedang yang
dapat digunakan di wajah atau daerah genital, sedangkan sediaan dengan kekuatan sedang dan
kuat digunakan untuk daerah lainnya diseluruh tubuh. DA dengan likenifikasi memerlukan
sediaan yang lebih kuat untuk waktu yang lebih lama. 3
Imunomodulator topical 2
Takrolimus
13
Takrolimus (FK-506), suatu penghambat calcineurin, dapat diberikan dalam bentuk salap
0,03% untuk anak usia 2-15 tahun; untuk dewasa 0,03% dan 0,1%. Takrolimus menghambat
aktivasi sel yang terlibat dalam DA, yaitu : sel Langerhans, sel T, sel mast, dan keratinosit.
Pimekrolimus
Dikenal juga dengan ASM 81, suatu senyawa askomisin yaitu imunomodulator golongan
makrolaktam, yang pertama ditemukan dari hasil permentasi Streptomyces hygroscopicus
var. ascomyceticus.
Preparat ter
Efek ter yang sebenarnya belum diketahui pasti; rupanya berkhasiat vasokonstriksi,
astringen, desinfektan, antipruritus, dan memperbaiki keratinisasi abnormal dengan cara
mengurangi proliferasi epidermal dan infiltrasi dermal. Pada penggunaan ter yang lama dapat
terjadi Efek samping ter yang lain ialah fotosensitisasi. Ter dapat pula dikombinasi dengan
kortikosteroid.
Antihistamin
Pengobatan DA dengan antihistamin topical tidak dianjurkan karena berpotensi kuat
menimbulkan sensitisasi pada kulit.
Pengobatan sistemik 2
Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk mengendalikan eksaserbasi akut, dalam
jangka pendek, dan dosis rendah, diberikan berselang-seling (alternate) atau diturunkan
bertahap (tapering), kemudian segera diganti dengan kortikosteroid topikal. Pemakaian
jangka panjang menimbulkan berbagai efek samping, dan bila dihentikan, lesi yang lebih
berat akan muncul kembali.
14
Antihistamin
Antihistamin digunakan untuk membantu mengurangi rasa gatal yang hebat, terutama
malam hari, sehingga mengganggu tidur. Oleh karena itu, antihistamin yang dipakai adalah
yang mempunyai efek sedative, misalnya hidroksisin atau difenhidramin.
Anti-infeksi
Pada DA ditemukan peningkatan koloni S. aureus. Untuk yang belum resisten dapat
diberikan eritromisin, asitromisin atau, klaritromisin, sedang untuk yang sudah resisten
diberikan diklosasilin, oksasilin, atau generasi pertama sefalosporin.
Interferon
IFN-γ diketahui menekan respon IgE dan menurunkan fungsi dan proliferasi sel TH2.
Pengobatan dengan IFN- γ rekombinan menghasilkan perbaikan klinis, karena dapat
menurunkan jumlah eosinofil total dalam sirkulasi.
Siklosporin
Pada pasien tanpa gangguan ginjal, dapat digunakan siklosporin dengan dosis yang
dimulai dari 5 mg/Kg BB/hari. Obat ini di indikasikan apabila semua pengobatan gagal,
tetapi harus di awasi secara ketat. Pengobatan ini hanya terbatas 3 sampai 6 bulan saja karena
potensi efek sampingnya termasuk hipertensi dan penurunan fungsi renal.
Terapi sinar (phototherapy)2
15
Untuk DA yang berat dan luas dapat digunakan PUVA (photochemotherapy) seperti yang
dipakai pada psoriasis. Kombinasi UVB dan UVA lebih baik daripada hanya UVB. UVA bekerja
pada sel langerhans, dan eosinofil, sedangkan UVB mempunyai efek imunosupresif dengan cara
memblokade fungsi sel langerhans, dan mengubah produksi sitokin keratinosit.
I.12 Prognosis 2,5
Prognosis penderita D.A. dilihat berdasarkan kondisi klinis dan penyebab dari timbulnya D.A itu
sendiri.
Quo Ad vitam : ad bonam
Quo Ad Sanationam : ad bonam
Quo Ad Functionam : Dubia ad bonam
Quo Ad Cosmeticam : Dubia ad bonam
16
BAB IILAPORAN KASUS
STATUS PENDERITA PENYAKIT KULITI. IDENTIFIKASI :
Nama : By. SUmur : 7 bulanJenis Kelamin : PerempuanBangsa/Suku : Indonesia/jawaAgama : IslamAlamat : Perum Griya B.T Asri Blok C3 No. 7
II. ANAMNESIS : Alloanamnesa dari ibu pasien
Keluhan utama : mengatakan terdapat bintik-bintik merah di kedua pipi, dan telinga pasien.
Keluhan tambahan : Tidak ada.
Riwayat perjalanan penyakit :III. Seorang anak dibawa oleh ibunya ke poli kulit dan kelamin RSUD EF dengan keluhan
terdapat bintik-bintik merah di kedua pipi, dan telinga, sebelumnya keluhan ini pernah terjadi saat pasien berumur 3 bulan namun masih di sebelah pipi kiri saja dan dibawa berobat ke bidan dan diberi salep dan antibiotic dan keluhan sudah berkurang namun belum sembuh total. berselang tiga bulan kemudian keluhan itu menjalar ke pipi sebelah kanan dan ketelinga karena keluhan bertambah parah akhirnya ibu pasien membawanya ke dokter spesialis kulit di RSUD EF.Riwayat pemakaian obat Salep dan antibiotikRiwayat penyakit keluarga Tidak adaRiwayat penyakit terdahulu Pernah mengalami hal yang sama seperti ini
IV. PEMERIKSAAN
Status generalisataKeadaan umumKesadaran : ComposmentisGizi : DBNSuhu badan : DBNTek darah : DBN
17
Pernafasan : DBNRasa sakit : Gatal.Status dermatologis : terdapat eritema berbatas tegas, papul/vesikel miliar sampai lentikular dan disertai erosi dan eksudasi besrta krusta.
Lokalisasai : pada kedua pipi dan telinga
V. TES-TES YANG DILAKUKAN
Tidak ada tes yang dilkukan.
VI. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tidak ada pemeriksaan yang dilakukan.
VII. DIAGNOSA BANDING
1. scabies
2. dermatitis seboroik infantil dan
3. dermatitis kontak
VIII. DIAGNOSIS SEMENTARA
Dermatitis Atopik
18
IX. PENATALAKSANAAN
Umum
1. Perbaiki keadaan umum, dan atasi faktor-faktor predisposisi :
a. Hindari hal yang dapat menyebabkan keluhan ini bertambah parah
b. Hindari pemakaian bahan yang merangsang seperti sabun dan bahan pakaian wol.
Khusus
1. Topikal
Mofacort cream 5mg 2x1( mometason furoate )
2. Sistemik
- Eritromisin 50 mg (pulv) 3x1
X. PEMERIKSAAN ANJURAN
Tidak ada pemeriksaan anjuran.
XI. PROGNOSIS
Ad Vitam : bonamAd Sanactionam : dubia ad bonamAd Fungsionam : bonam
BAB III
DISKUSI
19
Diagnosis Dermatitis atopik ditegakkan bedasarkan atas hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pada kasus ini Seorang anak dibawa oleh ibunya ke poli kulit dan kelamin RSUD EF dengan keluhan terdapat bintik-bintik merah di kedua pipi, dan telinga, sebelumnya keluhan ini pernah terjadi saat pasien berumur 3 bulan namun masih di sebelah pipi kiri saja dan dibawa berobat ke bidan dan diberi salep dan antibiotic dan keluhan sudah berkurang namun belum sembuh total. berselang tiga bulan kemudian keluhan itu menjalar ke pipi sebelah kanan dan ketelinga karena keluhan bertambah parah akhirnya ibu pasien membawanya ke dokter spesialis kulit di RSUD EF.
Dari identitas didapatkan bayi usia 7 bulan, dari usia menunjukkan kesesuaian dengan teori, dimana bedasarkan teori menunjukkan bahwa Dermatitis dapat menyerang semua umur, baik baik masih bayi, anak bahkan sampai dewasa.
Dari allo anamnesa ibu pasien mengatakan pasien mengeluh rasa gatal di bagian kedua pipi , dan telinga . Pada anamnesa tersebut kita sudah mendapatkan criteria yang mengarah ke Dermatitis Atopik yakni biasanya dermatitis pada Bayi menyerang pada daerah pipi,kepala, badan, lipatan siku dan lipatan lutut.
Pada kedua pipi terdapat terdapat erosi dan eritema, dan di telinga terdapat pustule disrtai dengan krusta dan dibagian perut hanya terdapat eritema miliar multiple. Gambaran lesi yang ditemukan ini sangat khas untuk penyakit yang disebabkan oleh alergi, yaitu dermatitis Atopik
Untuk mendiagnosis sebagai suatu Dermatitis Atopik diperlukan anamnesis, efloresensi, lokasi dan pemriksaan penunjang yang telah disebutkan diatas. Dari anamnesis, efloresensi dan lokasi saja harusnya sudah bisa mendiagnosis sebagai Dermatitis Atopik, akan tetapi ada beberapa penyulit dalam mendiagnosis sehingga muncul beberapa diagnosis banding untuk Dermatitis Atopik. Beberapa diagnosis banding Dermatitis Atopik adalah dermatitis seboroik infantil, scabies dan dermatitis kontak
Skabies Pada bayi gejala klinis DA terutama mulai dari pipi dan tidak mengenai telapak
tangan serta kaki. Tanda skabies pada bayi ditandai dengan papula yang relatif besar
(biasanya pada punggung atas), vesikel pada telapak tangan dan kaki, dan terdapat dennatilis
pruritus pada anggota keluarga. Tungau dan telur dapat dengan mudah ditemukan
dari scraping vesicle. Skabies memberi respons yang baik terhadap pengobatan dengan γ-
benzen heksaklorida.
Dermatitis seboroik infantil Penyakit ini dibedakan dari DA dengan: (1) pruritus ringan,
(2) onset invariabel pada daerah pantat halus, tidak bersisik, batas jelas, merah terang, dan
20
(3) sisik kuning gelap pada pipi, badan dan lengan. Dermatitis seboroik infantil sering
berhubungan dengan dermatitis atopik. Pada suatu penelitian, 37% bayi dengan dermatitis
seboroik akan menjadi DA 5-13 tahun kemudian.
Dermatitis kontak Anak yang lebih tua dengan DA dapat menjadi eksema kronik pada
kaki. Bentuk ini harus dibedakan dengan dermatitis kontak karena sepatu.
Dari alloanamnesis ibu pasien dapat disimpulkan bahwa By. Sofyah menderita penyakit Dermatitis Atopik.
Terapi :
Bedasarkan penatalaksanaan umum, hindari hal-hal yang dapat memperburuk keadaan. Dan hindari bahan yang dapat merangsang terjadinya keluhan seperti sabun dan pakaian berbahan dasar wol.:Khusus
Topikal : Mofacort cream 5mg 2x1( mometason furoate ) untuk mengatasi peradangan dan gatal
Sistemik : Eritromisin 50 mg (pulv) 3x1 untuk mengatasi infeksi sekunder
Prognosis pasien ini Umumnya baik tergantung dari gaya hidup yang diterapkan serta dapat
menghindari hal-hal yang dapat memperburuk penyakit atau menyebabkan penyakit tersebut
timbul kembali.
Secara umum, bila ada riwayat dermatitis atopik di keluarga, bersamaan dengan asma bronkial,
masa awitan lambat, atau dermatitisnya berat, maka penyakitnya lebih persisten.
DAFTAR PUSTAKA
21
1. C.Ellis, T. Luger, D.Abeck, R.Allen, R.A.C.Graham-Brown, Y.de Prost et al. International Consensus Conference on Atopic Dermatitis II (ICCAD II*): clinical update and current treatment strategies. British Journal of Dermatology 2003;148 (Suppl. 63):3–10
2. Djuanda Suria, Sri Adi S. Dermatitis. Dalam: Adhi Djuanda, Ed. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ke Tiga. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 2004;131-5
3. Hywel C. Williams, Ph.D.. Atopic Dermatitis. N Engl J Med 2005;352:2314-24.
4. B R Allen, M Lakhanpaul, A Morris, S Lateo, T Davies, G Scott et al. Systemic exposure, tolerability, and efficacy of pimecrolimus cream 1% in atopic dermatitis patients. Arch Dis Child 2003;88:969–73
5. Habif Thomas P. Atopic Dermatitis. Dalam: Clinical Dermatology: A Color Guide to Diagnosis and Therapy. Third Edition. St. Louis, Missouri: Mosby-Year Book Inc, 1996;5:345-7
6. Wolff Klaus, Richard Allen Johnson, Dick Suurmond. Atopic Dermatitis. Dalam : Fitzpatrick’s Color Atlas And Synopsis Of Clinical Dermatology. Jakarta : Salemba Medika, 2005;2:33-8
7. Lorraine M Wilson, Sylvia. Ekzema dan gangguan Vaskuler dalam Patofisiologi Penyakit. EGC. Jakarta, 2006
8. Mansjoer Arif. Dermatitis Atopi dalam Kapita Selekta Jilid 2 edisi III. Media Aesculaplus. FKUI, Jakarta, 2001
9. Jan Faergemann. Atopic Dermatitis and Fungi. Clinical Microbiology Reviews, 2002. p. 545–563
10. Hassan, Rusepno. Dermatitis Atopi dalam Buku Kuliah 1 Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Jakarta: Infomedika, 1998
22