Post on 10-Jun-2019
MEKANISME PEMBIAYAAN MUDHARABAH BAGI USAHA KECIL
DAN MENENGAH PADA BMT AL-KARIM CIPULIR
Oleh
ARIF SYARIFUDDIN
NIM. 203046101781
KONSENTRASI PERBANKAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1430 H/2009 M
MEKANISME PEMBIAYAAN MUDHARABAH BAGI USAHA KECIL
DAN MENENGAH PADA BMT AL-KARIM CIPULIR
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum
Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Ekonomi Islam (S.E.I)
Oleh
Arif Syarifuddin
NIM. 203046101781
Dibawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH, MH Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., MA
KONSENTRASI PERBANKAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1430 H/2009 M
i
KATA PENGANTAR
Puja dan puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas
selesainya penyusunan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
pendidikan pada Program Studi Muamalat Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Tema skripsi ini penulis pilih atas
pertimbangan pentingnya mekanisme pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan
menengah dalam upaya meningkatkan ekonomi kerakyatan. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat bermanfaat untuk kemajuan dan perkembangan BMT Al-Karim
dalam meningkatkan ekonomi usaha kecil dan menengah.
Penyusunan skripsi ini dapat penulis selesaikan berkat bantuan dan
dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu sangatlah wajar bila penulis
menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan mengucapkan terima kasih
yang setulus-tulusnya, khususnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA, MM, Dekan Fakultas
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta
staf yang telah memberikan tugas kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
2. Ibu Dr. Euis Amalia, M.Ag, Ketua Program Studi Muamalat Ekonomi Islam yang
telah meluangkan waktunya bagi penulis, sehingga sangat membantu penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak Dr. H. Mukri Adji, MA Dosen Pembimbing Akademik yang telah
membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
ii
4. Bapak Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH, MH, sebagai Pembimbing I dan
Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, MA, sebagai Pembimbing II yang telah banyak
meluangkan waktunya demi membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah
memberikan ilmu kepada penulis selama belajar di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Bapak Pimpinan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta
staf yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk memanfaatkan dan
meminjam buku-buku yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini.
7. Bapak Andrie, Staf HRD dan Administrasi Pembiayaan BMT Al-Karim dan
seluruh jajaran karyawan BMT Al-Karim yang telah memberikan data dan
kontribusinya dalam rangka penyelesaian skripsi ini.
8. Ayah dan Ibunda serta adik dan kakakku yang senantiasa berusaha dan berdo’a
serta mendidik penulis dengan penuh tanggung jawab dan selalu memberikan
bantuan baik moril maupun materil. Semoga ilmu yang penulis peroleh dapat
menjadi bekal untuk membalas budi dan pengorbanan yang telah mereka berikan.
9. Sanak famili dan handai taulan serta rekan-rekan mahasiswa angkatan 2003
Program Studi Mu’alamat khusus Perbankan Syari’ah A Program Non Reguler
Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta dan semua pihak yang telah memberikan bantuan dengan sukarela dalam
penyelesaian skripsi ini.
iii
10. Sahabat dekatku Vini Oktaviani yang telah memberikan saran dan dukungannya
kepada penulis, sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
11. Keluarga Besar LMC yang telah banyak memberikan dorongan dan motivasi,
sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan.
12. Teman sejawat dan karib kerabat serta rekan guru-guru yang telah banyak
memberikan bantuan baik moril maupun materil, sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Semoga semua yang telah mereka berikan baik berupa bimbingan dan
bantuan maupun pengorbanan dalam rangka penyusunan skripsi ini, mendapat
imbalan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amin ya rabbal ‘alamin.
Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari kekurangan
dan kelemahan. Oleh karenanya sumbangsih dan pemikiran, kritik dan saran yang
konstruktif dari semua pihak sangat penulis harapkan untuk perbaikan pada kajian-
kajian dengan tema yang sama pada masa yang akan datang.
1 Agustus 2009 M
Jakarta,
10 Sya’ban 1430 H
Penulis
iv
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................................................ i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ......................................... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 10
D. Review Studi Terdahulu .............................................................. 11
E. Metode Penelitian ....................................................................... 13
F. Sistematika Penyusunan .............................................................. 15
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBIAYAAN
MUDHARABAH DAN USAHA KECIL MENENGAH
A. Pembiayaan Mudharabah ......................................................... 17
1. Pengertian Pembiayaan Mudharabah .................................... 17
2. Landasan Hukum Pembiayaan Mudharabah ......................... 22
3. Jenis-Jenis Pembiayaan Mudharabah .................................... 26
4. Tujuan dan Fungsi Pembiayaan Mudharabah ....................... 29
5. Rukun dan Syarat Pembiayaan Mudharabah ........................ 35
v
B. Usaha Kecil dan Menengah ...................................................... 38
1. Pengertian Usaha Kecil dan Menengah ................................ 38
2. Manajemen Usaha Kecil dan Menengah ............................... 42
3. Jenis-Jenis Usaha Kecil dan Menengah ................................ 44
4. Kendala Bagi Usaha Kecil dan Menengah ............................ 47
5. Solusi Bagi Usaha Kecil dan Menengah ............................... 49
BAB III : GAMBARAN UMUM BMT Al-KARIM
A. Sejarah Singkat BMT Al-Karim .................................................. 54
B. Visi dan Misi BMT Al-Karim ..................................................... 55
C. Prinsip Operasional BMT Al-Karim ........................................... 56
D. Produk Pembiayaan BMT Al-Karim ........................................... 57
E. Struktur Organisasi BMT Al-Karim ............................................ 58
BAB IV : PROSEDUR PEMBIAYAAN MUDHARABAH BAGI USAHA
KECIL DAN MENENGAH PADA BMT AL-KARIM
A. Praktek Pembiayaan Mudharabah Bagi Usaha Kecil dan
Menengah Pada BMT Al-Karim ................................................. 62
B. Distribusi Pembiayaan Mudharabah Bagi Usaha Kecil dan
Menengah Pada BMT Al-Karim ................................................. 66
C. Proses Pembiayaan Mudharabah Bagi Usaha Kecil dan
Menengah Pada BMT Al-Karim ................................................. 71
D. Kendala BMT Al-Karim Dalam Memberlakukan Pembiayaan
Mudharabah Bagi Usaha Kecil dan Menengah ........................... 75
vi
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................. 78
B. Saran-saran .................................................................................. 80
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 82
LAMPIRAN-LAMPIRAN ...................................................................................
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tantangan berat yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini adalah tidak
hanya menanggulangi krisis ekonomi, tetapi juga mengubah paradigma ekonomi
konglomerasi menjadi ekonomi kerakyatan. Ekonomi kerakyatan itu sendiri adalah
sistem ekonomi yang mencakup konsep, kebijaksanaan dan strategi
pengembangannya. Ekonomi rakyat merupakan pelaku ekonomi yakni rakyat itu
sendiri baik dalam bentuk koperasi, usaha menengah, usaha kecil maupun usaha
gurem. Perekonomian rakyat merupakan gambaran kondisi atau keadaan ekonomi
rakyat.1
Dalam rangka membangun ekonomi rakyat, maka sektor yang diharapkan
mampu memberikan pembiayaan adalah sektor perbankan. Namun permasalahannya
sekarang ini adalah praktek pembiayaan pada perbankan belum berhasil menyentuh
kebutuhan para pengusaha kecil dan menengah karena dilihat dari banyaknya
persyaratan yang diajukan oleh bank untuk memperoleh pembiayaan tersebut.
Kondisi ini mengakibatkan sektor usaha kecil dan menengah lemah yang seharusnya
menjadi tulang punggung ekonomi yang kuat meskipun usaha kecil dan menengah
atau ekonomi rakyat memang tidak diandalkan sebagai penggerak utama
1Baihaqi Abdul Madjid, et.al., Paradigma Baru Ekonomi Kerakyatan Sistem Syari’ah;
Perjalanan Gagasan dan Gerakan BMT di Indonesia, (Jakarta: PINBUK, 2000), Cet. ke-1, h. 51
2
pertumbuhan ekonomi dan tumpuan untuk keluar dari krisis ekonomi yang
berkepanjangan. Tanpa disadari ekonomi rakyat dapat meningkatkan distribusi
pendapatan yang lebih merata dan kemampuan daya beli masyarakat lebih meningkat.
Jika kesulitan mendapatkan permodalan untuk meningkatkan usahanya,
sehingga yang terjadi adalah adanya ketidakadilan dalam pendistribusian modal.
Pemberi pinjaman modal menginginkan keuntungan tanpa terlibat resiko bisnis
adalah irrasional baginya. Untuk memberikan pinjaman kepada orang-orang miskin
sama banyaknya dengan yang diberikan kepada orang-orang kaya dengan persyaratan
yang sama. Untuk itu, praktek perbankan konvensional pada umumnya hanya
memberikan pinjaman kepada individu-individu dan perusahaan-perusahaan yang
memiliki jaminan kolateral dan memiliki jumlah tabungan internal yang besar, tanpa
memperhatikan apakah mereka menghasilkan keuntungan di atas rata-rata investasi
modal mereka.2
Bahkan Morgan Guarantee Trust Company, bank terbesar ke-6 di Amerika
Serikat, mengakui bahwa sistem perbankan telah gagal membiayai perusahaan-
perusahaan kecil yang sedang berkembang atau para kapitalis venture. Meskipun
kebanjiran dana, sistem ini tidak berniat untuk menyalurkan dana dengan harga
kompetitif, kecuali kepada perusahaan-perusahaan besar dan berkantong tebal.3
Kondisi seperti ini menggambarkan bahwa para pengusaha kecil dan menengah tidak
diberi kesempatan untuk memperoleh pembiayaan guna mempertahankan usahanya.
2Ikhwan Abidin Basri, Islam dan Tantangan Ekonomi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 326
3Ikhwan Abidin Basri, Islam dan Tantangan Ekonomi, h. 326
3
Melihat permasalahan yang terjadi, maka dirasakan perlu adanya lembaga
keuangan non bank yang dapat menjangkau kebutuhan masyarakat pada skala mikro.
Dalam kondisi seperti ini, suatu paradigma baru bagi pengembangan usaha kecil dan
menengah sangat diperlukan. Pemberdayaan ekonomi rakyat perlu dilaksanakan lebih
konsisten dan lebih berpihak pada rakyat kecil yang nota bene merupakan sumber
nafkah bagi mayoritas rakyat Indonesia dapat terselamatkan dari kondisi krisis
ekonomi akibat tidak diberikannya kesempatan oleh lembaga keuangan tertentu pada
usaha kecil dan menengah.
Di antara lembaga alternatif pengembangan usaha kecil dan menengah adalah
Baitul Maâl Wattamwil (BMT) yang merupakan lembaga keuangan non bank dengan
prinsip-prinsip syari’ah. Cita-cita lembaga ini adalah membantu masyarakat ekonomi
lemah serta pengusaha kecil dan menengah dalam memberikan modal atau
pembiayaan agar usaha yang mereka tekuni dapat berkembang dan menjadi produktif
tanpa membebani masyarakat yang menggunakan jasa BMT.
BMT merupakan lembaga keuangan syari’ah yang tumbuh seiring dengan
perkembangan lembaga keuangan maupun non keuangan syari’ah di Indonesia. BMT
didefinisikan sebagai lembaga pendukung kegiatan ekonomi masyarakat kecil dengan
berlandaskan syari’ah.4 Peran umum BMT adalah melakukan pembinaan dan
pendanaan berdasarkan sistem syari’ah. Peran ini menegaskan arti penting prinsip-
prinsip syari’ah dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Sebagai lembaga keuangan
syari’ah yang bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat kecil yang serba
4M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, (Jakarta: LSAF, 1999), h. 430
4
cukup baik ilmu pengetahuan maupun materi, maka BMT mempunyai tugas penting
dalam mengemban misi ke-Islaman dalam segala aspek kehidupan masyarakat.5
Pada dasarnya BMT adalah lembaga swadaya masyarakat. Artinya lembaga
ini didirikan dan dikembangkan oleh masyarakat. Terutama pada awal berdiri,
biasanya dilakukan dengan menggunakan sumber daya termasuk dana atau modal
dari masyarakat setempat itu sendiri.6 Pendirian BMT memang cukup banyak yang
dibantu oleh pihak luar masyarakat lokal, namun hal itu lebih bersifat bantuan teknis.
Bantuan dari luar sering bersifat konsepsional atau stimulan, umumnya dari lembaga
atau asosiasi yang peduli pada BMT atau masalah pemberdayaan ekonomi rakyat.7
Sejak awal berdirinya, BMT dirancang sebagai lembaga ekonomi. Dapat
dikatakan bahwa BMT merupakan suatu lembaga ekonomi rakyat yang secara
konsepsi dan secara nyata memang lebih fokus kepada masyarakat bawah yang
miskin dan nyaris miskin. BMT berupaya membantu mengembangkan usaha mikro
dan usaha kecil, terutama melalui bantuan permodalan. Untuk melancarkan usaha
membantu permodalan tersebut yang dalam khazanah keuangan modern dikenal
dengan istilah pembiayaan, maka BMT juga berupaya menghimpun dana, terutama
yang berasal dari masyarakat lokal di sekitarnya. Dengan kata lain, BMT pada
5Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah; Deskripsi dan Ilustrasi,
(Yogyakarta: Ekonosia, 2003), Cet. ke-2, h. 96 6M. Amin Azis, Pedoman Pendirian BMT, (Jakarta: PINBUK Press, 2006), h. 1
7Sejauh pengetahuan penulis, Pusat Inkubasi Bisnis Kecil (PINBUK) merupakan salah satu
lembaga yang paling aktif mendorong pendirian BMT. Organisasi-organisasi atau kepengurusan di
tingkat kecamatan dan kabupaten dan organisasi semacam Muhammadiyah juga banyak berperan
dalam pendirian BMT.
5
prinsipnya berupaya mengorganisasi usaha saling tolong menolong antar warga
masyarakat suatu komunitas dalam masalah ekonomi.8
Salah satu bentuk tolong menolong antar warga masyarakat dalam masalah
ekonomi adalah terwujudnya lebih dari sekitar tiga juta orang telah mendapatkan
layanan dari BMT. Sebagian besar dari mereka adalah orang yang bergerak pada
bidang usaha kecil, bahkan usaha mikro atau usaha sangat kecil. Cakupan bidang
usaha dan profesi dari mereka yang dilayani sangat luas mulai dari pedagang sayur,
penarik becak, pedagang asongan, pedagang kelontongan, penjahit rumahan,
pengrajin kecil, tukang batu, petani, peternak sampai dengan kontraktor dan usaha
jasa yang relatif modern.9 Semua cakupan bidang usaha dan profesi merupakan salah
satu jenis layanan dari BMT.
Sesuai dengan pengertian terminologisnya, BMT melaksanakan dua jenis
kegiatan yaitu Baitul Maâl dan Baitut Tamwil. Sebagai Baitul Maal, BMT menerima
titipan zakat, infaq dan shadaqah serta menyalurkannya sesuai dengan peraturan dan
amanahnya. Sedangkan sebagai Baitut Tamwil, kegiatan BMT mengembangkan
uaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan pengusaha
kecil dan sangat kecil dengan mendorong kegiatan menabung dan menunjang
pembiayaan ekonomi.10
8Awalil Rizky, Fakta dan Prospek Baitul Maal Wattamwil, (Yogyakarta: UCY Press, 2007),
Cet. ke-1, h. 4 9Awalil Rizky, Fakta dan Prospek Baitul Maal Wattamwil, h. 2
10Hartono Widodo, et.al., Panduan Praktis Operasional BMT, (Bandung: Mizan, 1999), h.
81- 82. Lihat juga Saifuddin A. Rasyid, Konsep Dasar BMT, dalam Republika Online, Edisi 14
Desember 2001, h. 7
6
Sebagai Baitul Maâl, beberapa kegiatan dari BMT dijalankan tanpa orientasi
mencari keuntungan. BMT berfungsi sebagai pengemban amanah yang serupa
dengan amil zakat yaitu menyalurkan bantuan dana secara langsung kepada pihak
yang berhak dan membutuhkan. Sumber dana kebanyakan berasal dari zakat, infaq
dan shadaqah serta dari bagian laba BMT yang disisihkan untuk tujuan ini. Adapun
bentuk penyaluran dana atau bantuan yang diberikan beragam. Ada yang murni
bersifat hibah dan ada pula yang merupakan pinjaman bergulir tanpa dibebani biaya
dalam pengembaliannya. Pinjaman yang bersifat hibah sering berupa bantuan
langsung untuk kebutuhan hidup yang mendesak atau darurat dan diperuntukkan bagi
mereka yang memang sangat membutuhkan, di antaranya adalah bantuan untuk
berobat, biaya sekolah, sumbangan bagi korban bencana, dan lain sebagainya.11
Sedangkan sebagai Baitut Tamwil, BMT terutama berfungsi sebagai suatu
lembaga keuangan syari’ah. lembaga keuangan syari’ah yang melakukan upaya
penghimpunan dan penyaluran dana berdasarkan prinsip syari’ah. Prinsip syari’ah
yang paling mendasar dan yang sering digunakan adalah sistem mudharabah atau
bagi hasil.12
Sistem bagi hasil menjadi karakteristik tersendiri yang memiliki
keunggulan dibanding bunga. Keunggulan ini tidak hanya karena telah sesuai dengan
aqidah Islam, tetapi secara ekonomi juga memiliki keunggulan. Oleh karenanya,
lembaga keuangan syari’ah semestinya tidak hanya menjadi lembaga keuangan
alternatif, melainkan menjadi suatu keharusan sebagaimana keharusan umat Islam
11
Awalil Rizky, Fakta dan Prospek Baitul Maal Wattamwil, h. 6 12
Awalil Rizky, Fakta dan Prospek Baitul Maal Wattamwil, h. 6 - 7
7
terhadap pilihan barang konsumsi yang harus halal, memakan makanan yang baik-
baik, cara mencari rizki harus benar, dan lain-lain.13
Dalam mekanisme keuangan syari’ah, model bagi hasil ini berhubungan
dengan usaha pengumpulan dana dan pembiayaan, terutama yang berkaitan dengan
produk penyertaan atau kerja sama usaha. Dalam pengembangan produknya, dikenal
dengan istilah shâhib al-maâl dan mudhârib. Shâhib al-maâl merupakan pemilik dana
yang mempercayakan dananya pada lembaga keuangan syari’ah seperti BMT untuk
dikelola sesuai dengan perjanjian. Sedangkan mudhârib merupakan kelompok orang
atau badan yang memperoleh dana untuk dijadikan modal usaha atau investasi.14
Kerja sama seperti dalam Islam dikenal dengan istilah mudhârabah.
Pembiayaan mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh lembaga
keuangan syari’ah kepada pihak lain untuk sesuatu usaha yang produktif.15
Menurut
Muhammad, pembiayaan mudharabah adalah pernjanjian antara penanam dana
dengan pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian
keuntungan antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati
sebelumnya.16
Dari sekian banyaknya lembaga keuangan syari’ah yang melakukan
upaya penghimpunan dan penyaluran dana berdasarkan prinsip syari’ah dengan
sistem mudharabah adalah BMT.
13
Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wattamwil, (Yogyakarta: UII Press, 2004),
Cet. ke-1, h. 119 14
Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wattamwil, h. 120 15
Karnaen Perwaatmadja, et.al., Apa dan Bagaimana Bank Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti
Primayasa, 1992), Cet. ke-1, h. 89 16
Muhammad, Manajemen Dana Bank Syari’ah, (Yogyakarta: Ekonosia, 2005), Cet. ke-2, h. 201
8
Salah satu BMT yang menyalurkan pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil
dan menengah adalah BMT Al-Karim Cipulir – Kebayoran Lama – Jakarta Selatan.
Sistem yang digunakan BMT Al-Karim adalah sistem mudharabah. Dengan sistem
ini, para pengusaha kecil dan menengah tidak dipusingkan dengan bentuk setoran tiap
bulan, sebagaimana lembaga keuangan konvensional yang besarnya sudah ditentukan
berapa persen oleh lembaga keuangan yang bersangkutan. Untuk itu, kehadiran BMT
Al-Karim sangat dinantikan oleh masyarakat sekitarnya.
Masyarakat Cipulir khususnya para pengusaha kecil dan menengah dalam
menggunakan jasa BMT ini tidak terbebani perasaan takut ataupun cemas untuk tidak
bisa mengembalikan pinjamannya, karena model yang digunakan adalah sistem
mudharabah. Masyarakat Cipulir tidak merasa ngeri dengan debt collector yang biasa
dipakai oleh lembaga keuangan konvensional terhadap para debitur yang tidak lancar
dalam menunaikan setorannya. Hal ini tentu sangat berbeda dengan BMT Al-Karim.
Dalam perjalanannya, BMT Al-Karim ini sangat berperan dalam
menumbuhkembangkan ekonomi umat, agar umat tidak terjerat oleh lembaga
keuangan konvensional yang bisa menjerat debitur disebabkan usahanya macet.
Kehadiran BMT Al-Karim dirasakan memberi angin segar bagi pengusaha kecil dan
menengah yang ingin mengembangkan usahanya. Pembiayaan mudharabah yang
diberikan BMT Al-Karim sudah barang tentu menggunakan mekanisme agar kedua
belah pihak tidak merasa saling dirugikan terutama pihak BMT Al-Karim.
Keberadaan BMT Al-Karim semakin diakui oleh masyarakat pengguna jasa
BMT tersebut baik yang menitipkan uangnya ataupun yang meminjam untuk modal
9
usaha. Masyarakat mengakui bahwa BMT Al-Karim di samping alasan ideologis,
juga karena manfaat nyata yang telah dilakukan oleh BMT Al-Karim.
Berdasarkan ilustrasi di atas, maka penulis merasa tertarik untuk menuangkan
sebuah obsesi yang terdapat dalam diri penulis yang kemudian diwujudkan dalam
bentuk skripsi yang diberi judul : “MEKANISME PEMBIAYAAN MUDHARABAH
BAGI USAHA KECIL DAN MENENGAH PADA BMT AL-KARIM CIPULIR”.
Topik ini menarik untuk dikaji, karena implikasinya sangat luas sehingga dapat
menjadi gambaran bagi bank konvensional untuk tidak menjerat debitur terutama
pengusaha kecil dan menengah.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Beragam jenis pembiayaan yang disalurkan oleh lembaga-lembaga keuangan
syari’ah banyak menarik perhatian masyarakat, terutama para pengusaha kecil dan
menengah. Hal ini disebabkan di samping model yang digunakan adalah sistem
mudharabah, persyaratan untuk memperoleh jenis-jenis pembiayaan ini juga dianggap
relatif mudah. Untuk itu, banyak hal yang dapat diangkat dalam persoalan
pembiayaan seperti pembiayaan musyarakah, muzara’ah, musaqah, dan lain
sebagainya.
Agar dapat memberikan fokus masalah, maka pembahasan skripsi ini dibatasi
hanya pada mekanisme pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah
pada BMT Al-Karim. Dalam hal ini, penulis merumuskan permasalahannya yaitu :
Seberapa jauh kiprah nyata yang telah dilakukan pihak BMT Al-Karim dalam
10
konteks penyaluran pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah, dengan
rumusan pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana mekanisme pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah
pada BMT Al-Karim ?
2. Bagaimana praktek pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah pada
BMT Al-Karim ?
3. Kendala apa saja yang dihadapi BMT Al-Karim dalam memberikan pembiayaan
mudharabah pada usaha kecil dan menengah ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sejalan dengan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah,
maka penelitian skripsi ini memiliki tujuan di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Memperoleh gambaran tentang mekanisme pembiayaan mudharabah bagi usaha
kecil dan menengah pada BMT Al-Karim.
2. Memperoleh gambaran tentang strategi yang dapat dilakukan BMT Al-Karim
dalam hal pemberian pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah.
3. Mengetahui solusi dari kendala yang dihadapi BMT Al-Karim dalam memberikan
pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah.
Adapun manfaat dari penelitian skripsi ini di antaranya adalah sebagai
berikut :
11
1. Manfaat akademis
Penelitian skripsi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa
buku bacaan perpustakaan di lingkungan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, khususnya di Fakultas Syari’ah dan Hukum Program Studi
Perbankan Syari’ah.
2. Manfaat praktis
Penelitian skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan
yang berarti bagi lembaga-lembaga non bank, khususnya BMT dan sekaligus
dapat memberikan penjelasan tentang mekanisme pembiayaan mudharabah bagi
usaha kecil dan menengah.
3. Masyarakat umum
Penelitian skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan penjelasan bagi
masyarakat umum, khususnya para pengusaha kecil dan menengah untuk selalu
memiliki rasa tanggung jawab dalam hal mengembalikan pembiayaan yang telah
disalurkan oleh pihak BMT sesuai dengan kesepakatan bersama.
D. Review Studi Terdahulu
Secara umum, penelitian tentang pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil
dan menengah telah dilakukan oleh banyak peneliti sebelumnya. Adapun di antara
para peneliti tersebut adalah sebagai berikut :
1. Ferliatin Julianto, 0046119571, Peran Permodalan Nasional Madani (Persero)
Dalam Pembiayaan Usaha Kecil dan Menengah Melalui Lembaga Keuangan
12
Syari’ah, Jakarta: Program Studi Ekonomi Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006.
Skripsi ini membahas tentang beragam jenis pembiayaan bagi usaha kecil
dan menengah, namun tidak membahas tentang mekanisme pembiayaan
mudharabah bagi usaha kecil dan menengah.
2. Ria Julianti, 103046128350, Kebijakan Bank Muamalat Indonesia Dalam
Pembiayaan Kepada UKM Tahun 2003 – 2007, Jakarta: Program Studi Ekonomi
Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2008.
Skripsi ini hanya membahas tentang kebijakan Bank Muamalat Indonesia
dalam pemberian pembiayaan kepada usaha kecil dan menengah, namun
kajiannya tidak difokuskan pada pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan
menengah.
3. Andi Irmansyah, 203046101670, Strategi Koperasi Industri Kayu dan Meubel
Jakarta Timur Dalam Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah Perspektif
Ekonomi Islam, Jakarta: Program Studi Ekonomi Islam Fakultas Syari’ah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
Kajian skripsi ini hanya membahas tentang tata cara koperasi industri
kayu dan meubel dalam rangka memberdayakan usaha kecil dan menengah
menurut ekonomi Islam dan sama sekali tidak bersentuhan dengan masalah
pembiayaan mudharabah.
13
Berdasarkan penelitian penulis, secara khusus sampai saat ini belum ada yang
membahas tentang mekanisme pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan
menengah pada suatu lembaga keuangan seperti BMT. Atas dasar itu, penulis tertarik
untuk melakukan penelitian tentang mekanisme pembiayaan mudharabah bagi usaha
kecil dan menengah pada suatu lembaga keuangan mikro syari’ah seperti BMT.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yakni penelitian tentang hubungan
fenomena sosial tertentu dengan menganalisa dan menginterpretasikan data yang
ada.17
Metode deskriptif adalah upaya untuk mengetahui hal-hal yang berhubungan
dengan keadaan sesuatu, digambarkan dengan kalimat atau kata-kata yang dipisah-
pisahkan menurut kategori tertentu agar memperoleh kesimpulan.18
Sedangkan jenis
penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah jenis penelitian
kualitatif.19
Penelitian ini menggabungkan studi lapangan dan studi kepustakaan.
Untuk memperoleh data lapangan ini, penulis mengadakan pendekatan secara
langsung dengan cara mengunjungi obyek yang diteliti seperti gambaran umum
lokasi penelitian pada BMT Al-Karim Cipulir – Kebayoran Lama – Jakarta Selatan.
17
Penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu pertama untuk pengukuran yang cermat terhadap
fenomena sosial tertentu dengan mengembangkan konsep dan menghimpun fakta, tetapi tidak
melakukan pengujian hipotesa. Kedua untuk memprediksi fenomena sosial tertentu. Lihat Masri
Singarimbun, et.al., Metodologi Penelitian Survey, (Jakarta: LP3ES, 1999), Cet. ke-1, h. 4 - 5 18
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1998), h. 254 19
Lexy J. Maleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998), Cet.
ke-2, h. 3
14
Adapun instrumen yang digunakan dalam penelitian ini di antaranya adalah
sebagai berikut :
1. Observasi, penulis mengadakan pengamatan langsung ke BMT Al-Karim untuk
memperoleh data yang akurat tentang gejala, peristiwa dan kondisi aktual lainnya
yang terjadi pada masa kini.
2. Wawancara, penulis mengadakan tanya jawab langsung dengan Personalia BMT
Al-Karim.
3. Dokumenter, yaitu melengkapi data-data yang telah ada yang kemudian
dipublikasikan.
Sementara itu, data yang diperoleh melalui studi kepustakaan adalah berupa
informasi yang diperoleh dengan cara mempelajari, menela’ah dan mengkaji buku-
buku yang erat kaitannya dengan masalah yang akan dikaji. Sedangkan teknik yang
digunakan dalam pengolahan data adalah teknik context analysis, yaitu dengan cara
menganalisis teori yang ada pada literatur kepustakaan terutama yang berkaitan erat
dengan masalah pembiayaan mudahrabah. Data-data yang telah diperoleh kemudian
disinkronkan dengan teori-teori yang berkaitan dengan pembiayaan mudharabah
tersebut.
Adapun teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta” yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta Tahun
2007 Cet. ke-1, akan mewarnai seluruh bentuk penulisan skripsi ini.
15
F. Sistematika Penyusunan
Untuk memudahkan pembahasan skripsi ini secara keseluruhan, maka
diperlukan suatu sistematika penyusunan. Adapun sistematika penyusunan yang
dimaksud adalah seperti yang akan diuraikan di bawah ini.
Bab I menguraikan tentang pokok-pokok pikiran yang tertuang dalam
pembahasan skripsi ini yang terdiri atas latar belakang masalah yang bertujuan untuk
memberikan alasan yang jelas tentang pemilihan judul, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian
dipergunakan dalam rangka memudahkan penulisan dan sistematika penyusunan
dipergunakan untuk memberikan penjelasan secara garis besar tentang pembahasan
yang akan diuraikan dalam skripsi ini.
Bab II berisikan tentang tinjauan literatur yang pembahasannya meliputi
pembiayaan mudahrabah serta usaha kecil dan menengah. Ruang lingkup dari
pembiayaan mudharabah terdiri atas pengertian pembiayaan mudharabah, landasan
hukum pembiayaan mudharabah, jenis-jenis pembiayaan mudharabah, tujuan dan
fungsi pembiayaan mudharabah dan rukun serta syarat pembiayaan mudharabah.
Sedangkan ruang lingkup dari usaha kecil dan menengah terdiri atas pengertian usaha
kecil dan menengah, manajemen usaha kecil dan menengah, jenis-jenis usaha kecil
dan menengah, kendala bagi usaha kecil dan menengah serta solusi bagi usaha kecil
dan menengah.
Bab III menguraikan tentang gambaran umum BMT Al-Karim yang
pembahasannya meliputi sejarah singkat BMT Al-Karim, visi dan misi BMT Al-
16
Karim, prinsip operasional BMT Al-Karim, produk pembiayaan BMT Al-Karim dan
struktur organisasi BMT Al-Karim.
Bab IV membahas inti persoalan yang diperbincangkan dalam skripsi ini,
yaitu prosedur pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah pada BMT
Al-Karim yang pembahasannya meliputi praktek pembiayaan mudharabah bagi usaha
kecil dan menengah pada BMT Al-Karim, distribusi pembiayaan mudharabah bagi
usaha kecil dan menengah pada BMT Al-Karim, proses pembiayaan mudharabah
bagi usaha kecil dan menengah pada BMT Al-Karim dan kendala BMT Al-Karim
dalam memberlakukan pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah.
Bab V merupakan bab penutup dari skripsi ini yang di dalamnya memuat
beberapa kesimpulan dan saran-saran yang kemudian diakhiri dengan daftar
kepustakaan dan lampiran-lampiran.
17
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBIAYAAN MUDHARABAH DAN
USAHA KECIL MENENGAH
A. Pembiayaan Mudharabah
1. Pengertian Pembiayaan Mudharabah
Pembiayaan mudharabah terdiri atas dua kata yaitu pembiayaan dan
mudharabah. Secara luas, pembiayaan berarti financing atau pembelanjaan,
yaitu pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah
direncanakan baik dilakukan sendiri maupun dijalankan oleh orang lain.
Dalam arti sempit, pembiayaan dipakai untuk mendefinisikan pendanaan yang
dilakukan oleh lembaga pembiayaan seperti bank syari‟ah kepada nasabah.
Dalam kondisi ini, arti pembiayaan menjadi sempit dan pasif. Tetapi bisa jadi
penyempitan arti ini juga disebabkan keterbatasan pemahaman para pelaku
bisnisnya.1
Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 pasal 1 ayat 12 tentang
perbankan dinyatakan bahwa pembiayaan adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang
dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka
1Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002), Cet. ke-1,
h. 304
18
waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.2 Menurut Antonio,
pembiayaan adalah pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi
kebutuhan pihak-pihak yang merupakan definisit unit.3
Menurut ketentuan Bank Indonesia, pembiayaan adalah penanaman
dana bank syari‟ah baik dalam rupiah maupun valuta asing dalam bentuk
pembiayaan, piutang, qardh, surat berharga syari‟ah, penempatan, penyertaan
modal sementara, komitmen dan kontinjensi pada rekening administratif serta
sertifikat wadi‟ah Bank Indonesia.4 Muhammad mendefinisikan bahwa
pembiayaan adalah penyediaan dana dan/atau tagihan berdasarkan aqad
mudharabah dan/atau musyarakah dan/atau pembiayaan lainnya berdasarkan
prinsip bagi hasil.5 Dengan demikian, pembiayaan adalah pendapatan atau
memberi biaya terhadap suatu aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh orang
atau perusahaan.
Dari uraian-uraian di atas, dapat dipahami bahwa pembiayaan dapat
berupa uang atau tagihan yang nilainya diukur dengan uang misalnya bank
membiayai pembelian rumah atau mobil. Kemudian adanya kesepakatan
antara bank dengan nasabah penerima pembiayaan dengan perjanjian yang
telah disepakati bersama. Dalam perjanjian pembiayaan tercakup hak dan
kewajiban masing-masing pihak, termasuk jangka waktu serta perolehan
2Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), Cet. ke-1, h. 10
3Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syari’ah; Dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001), Cet. ke-1, h. 160 4Peraturan Bank Indonesia No. 5/7/PBI/2003, tanggal 19 Mei 2003
5Muhammad, Manajemen Dana Bank Syari’ah, (Yogyakarta: Ekonosia, 2005), Cet. ke-2, h. 201
19
keuntungan yang ditetapkan bersama berdasarkan kesepakatan kedua belah
pihak. Demikian pula dengan masalah sanksi, jika debitur ingkar janji
terhadap perjanjian yang telah dibuat bersama pada saat aqad kredit.
Pada dasarnya konsep kredit pada bank konvensional dan pembiayaan
pada bank syari‟ah tidak jauh berbeda. Namun yang menjadi perbedaan antara
kredit yang diberikan oleh bank konvensional dengan pembiayaan yang
diberikan oleh bank syari‟ah adalah terletak pada keuntungan yang
diharapkan. Bagi bank konvensional keuntungan diperoleh melalui bunga,
sedangkan bagi bank syari‟ah keuntungan dapat berupa imbalan atau bagi
hasil6 yang dalam bahasa agama dikenal dengan istilah mudharabah.
Secara etimologis, mudharabah berasal dari kata adharbu fil ardhi,
yaitu berpergian untuk urusan dagang. Istilah mudharabah juga bisa disebut
dengan qiradh yang berasal dari kata al-qardhu yang berarti al-qath’u yang
bermakna potongan, karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk
diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungan.7 Dalam kamus A
Modern Arabic-English Dictionary, idiom kata mudharabah adalah bisahmin
wa nasubin yang berarti to participate in share or take part in.8 Dengan
demikian, secara etimologis kata mudharabah dapat dipahami sebagai
aktivitas keikutsertaan atau partisipasi dalam suatu usaha atau kegiatan bisnis.
6Kasmir, Manajemen Perbankan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 73
7Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1987), Juz XII, h. 31
8Rosi Balbaki Al-Maurid, A Modern Arabic-English Dictionary, (Mesir: Daar Al-Maliyiin,
1993), Edisi IV, h. 10
20
Jadi partisipasi seseorang dalam melakukan bisnis secara bersamaan dapat
dikatakan mudharabah.
Sedangkan secara terminologis, mudharabah adalah salah satu jenis
transaksi musyarakah di mana pihak yang bersyirkah adalah pemilik dana atau
shohibul maal dan pemilik tenaga atau mudharib.9 Para ulama mendefinisikan
mudharabah atau qiradh dengan pemilik modal yang menyertakan modalnya
kepada pengusaha untuk diinvestasikan, sedangkan keuntungan yang
diperoleh menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan bersama.10
Secara teknis, mudharabah adalah aqad kerja sama usaha antara dua
pihak di mana pihak pertama atau shohibul maal menyediakan seluruh modal,
sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola.11
Keuntungan usaha secara
mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak,
sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu
bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan
karena kekurangan atau kelalaian si pengelola, maka ia harus bertanggung
jawab atas kerugian tersebut.12
9Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syari’ah, (Jakarta: Zikrul Hakim,
2007), Cet. ke-3, h. 56 10
Azharuddin Lathif, Fiqh Mu’amalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), Cet. ke-1, h. 134 11
Perbedaan yang esensial dari musyarakah dan mudharabah terletak pada besarnya
kontribusi atas manajemen dan keuangan atau salah satu di antara itu. Dalam mudharabah, modal
hanya berasal dari satu pihak sedangkan dalam musyarakah modal berasal dari dua pihak atau lebih.
Musyarakah dan mudharabah dalam literatur fiqh berbentuk perjanjian kepercayaan yang menuntut
tingkat kejujuran yang tinggi dan menjunjung keadilan. Untuk itu, masing-masing pihak harus
menjaga kejujuran untuk kepentingan bersama. 12
Ahmad Al-Syarbasi, Al-Mu’jam Al-Iqtishad Al-Islam, (Beirut: Daar Al-„Alamil Kutub,
1987) dalam Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syari’ah; Dari Teori ke Praktek, h. 95. Lihat juga
Nejatullah Siddiqi, Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil Dalam Hukum Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti
Prima Yasa, 1996), h. 15 - 18
21
Dalam literatur fiqh, istilah mudharabah digunakan oleh mazhab
Hanafiyah, Hanabilah dan Zaidiyah. Sedangkan dalam mazhab Syafi‟iyah dan
Malikiyah, mudharabah dikenal dengan istilah qirad.13
Menurut Lathif,
mudharabah termasuk dalam kategori salah satu bentuk kerja sama dalam
perdagangan. Beliau menyebut mudharabah sebagai bentuk kerja sama antara
pemilik modal dengan seseorang yang pakar dalam perdagangan.14
Bila ditinjau dari aspek hukum, maka mudharabah dapat
didefinisikan sebagai suatu kontrak di mana suatu kekayaan atau persediaan
tertentu ditawarkan oleh pemiliknya atau pengurusnya kepada pihak lain
untuk membentuk suatu kemitraan yang di antara kedua belah pihak dalam
kemitraan itu akan berbagi keuntungan dengan pihak lain yang berhak
mendapatkan keuntungan karena terjadinya pengelolaan kekayaan itu.
Perjanjian seperti ini disebut sebagai contract of copartner ship.15
13
M. Umar Chapra, Toward a Just Monetary System, (London: The Islamic Foundation,
1985), h. 248 14
Menurut ulama Hanabilah, mudharabah termasuk salah satu bentuk perserikatan (syirkah
al-uqud) yang mereka bagi ke dalam lima bentuk yaitu (1) syirkah al-‘inan, (2) syirkah al-
mufawadhah, (3) syirkah al-abdan, (4) syirkah al-wujuh dan (5) syirkah mudharabah. Hal ini
disebabkan menurut mereka, mudharabah termasuk ke dalam syarat-syarat itu adalah (a) pihak-pihak
yang berserikat cakap bertindak sebagai wakil; (b) modalnya berbentuk uang tunai; (c) jumlah modal
jelas; (d) diserahkan langsung kepada pengelola dagang itu setelah aqad disetujui; (e) pembagian
keuntungan diambil dari hasil perserikatan itu, bukan dari harta lain. Akan tetapi Jumhur Ulama seperti
Malikiyah, Hanafiyah, Syafi‟iyah, Zahiriyah dan Syi‟ah Imamiyah, tidak memasukkan transaksi
mudharabah sebagai salah satu bentuk syirkah, karena menurut mereka, mudharabah merupakan aqad
tersendiri dalam bentuk kerja sama lain, dan tidak dinamakan dengan perserikatan. Dalam buku
karangan Nasrun Haroen dapat dilihat tentang definisi mudharabah. Menurut hemat penulis, beliau
cenderung memasukannya ke dalam bentuk syirkah walaupun ia memisahkan pembahasan
mudharabah dengan pembahasan syirkah. Lihat Azharuddin Lathif, Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2005), h. 135 15
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Indonesia,
(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999), h. 29
22
Dari beberapa definisi baik ditinjau dari aspek etimologis maupun
terminologis seperti dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
mudharabah adalah kerja sama antara kedua belah pihak yang memiliki dan
menyediakan modal guna membiayai suatu usaha, pihak penyedia modal
disebut shohibul maal dan pihak pengelola yang usahanya dibiayai disebut
sebagai mudharib. Dengan demikian, pembiayaan mudharabah adalah
perjanjian antara penanam dana dan pengelola dana untuk melakukan kegiatan
usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan antara kedua belah pihak
berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.
2. Landasan Hukum Pembiayaan Mudharabah
Mudharabah16
adalah aqad yang telah dikenal oleh umat muslim sejak
zaman Nabi, bahkan telah dipraktekkan oleh bangsa Arab sebelum turunnya
Islam. Ketika Rasulullah SAW berprofesi sebagai pedagang,17
ia melakukan
aqad mudharabah dengan Khadijah. Dengan demikian ditinjau dari aspek
hukum Islam, maka praktek mudharabah ini dibolehkan baik menurut Al-
Qur‟an, hadits maupun ijma‟ ulama.18
16
Mudharabah disebut juga qiradh atau muqaradhah dan makna dari keduanya adalah sama.
Mudharabah adalah istilah yang digunakan di Irak, sedangkan istilah qiradh digunakan oleh
masyarakat Hijaz. Lihat Azharuddin Lathif, Fiqh Mu’amalat, h. 134 17
Saat itu Rasulullah SAW berusia kira-kira 25 tahun, dan belum menjadi nabi. Lihat M.
Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Bandung: Mizan, 1997), h. 75 18
M. Anwar Ibrahim, Konsep Profit and Loss Sharing System Menurut Empat Mazhab,
makalah tidak diterbitkan, h. 1 – 2. Menurut Al-Qur‟an, lihat misalnya dalam surat Al-Mujammil ayat
20. Menurut Hadits, di antaranya adalah hadits Ibnu Abbas ra bahwa Nabi mengakui syarat-syarat
mudharabah yang ditetapkan Al-„Abbas bin Abdul Muthalib kepada mudharib. Menurut ijma‟ ulama,
karena sistem ini sudah dikenal sejak zaman nabi dan zaman sesudahnya para sahabat banyak yang
mempraktekkannya dan tidak ada yang mengingkarinya.
23
Adapun landasan hukum dari pembiayaan mudharabah adalah firman
Allah SWT sebagai berikut :
(البكسة : .)
Artinya : “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia dari Tuhanmu,
maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, ingatlah kepada
Allah di Masy'arilharam, dan ingatlah kepada Allah sebagaimana
yang ditunjukkan-Nya kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum
itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat” (QS. Al-
Baqarah : 198).
Dalam ayat lain yang masih berkaitan dengan landasan hukum
pembiayaan mudharabah adalah firman Allah SWT sebagai berikut :
(اجلنعة : .)
Artinya : “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka
bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah kepada Allah
sebanyak-banyak agar kamu beruntung” (QS. Al-Jum‟ah : 10).
Ayat lainnya yang menjadi landasan hukum pembiayaan mudharabah
adalah firman Allah SWT sebagai berikut :
... (....املزمل : .)
Artinya : “… dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian
karunia Allah …” (QS. Al-Mujamil : 20)
24
Pembiayaan mudharabah tidak hanya diabadikan dalam Al-Qur‟an,
tetapi juga terdapat dalam hadits Rasulullah SAW sebagai berikut :
ع عباس اب صاحبه على اشتسط مضازبة النال دفع اذا : قال عيه اهلل زض يشلك ال ا
زطبة، كبد ذات دأبة به يصتسى وال واديا، به ييزل وال بحسا، به ، ذالك فعل فإ فبلغ ضن
19(.الطرباىى زواه )فصدقه وسله عله اهلل صلى اهلل زسىل شسطه
Artinya : “Dari Ibni ‘Abbas ra. berkata : Ibnu ‘Abbas pernah menyerahkan
harta sebagai mudharabah, namun ia mesnyaratkan kepada
mudharibnya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni
lembah serta tidak membeli binatang ternak. Jika persyaratan itu
dilanggar, maka mudharib harus menanggung resikonya. Ketika
persyaratan yang ditetapkan itu sampai kepada Rasulullah SAW,
beliau kemudian membenarkannya”. (HR. Thabrani).
Dalam hadits lain yang menjadi landasan hukum pembiayaan
mudharabah adalah sabda Rasulullah SAW sebagai berikut :
صهب ع عيه اهلل زض أ ثالث : قال وسله عله اهلل صلى اليب الى البع : البسكة فه
20(.ماجه اب زواه )للبع ال للبت بالصعس البس وخلط والنكازضة، آجل،
Artinya : “Dari Suhaeb ra. sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda :
Ada tiga hal yang mengandung berkah yaitu jual beli tidak secara
tunai, mudharabah dan mencampuri gandum dengan tepung untuk
keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual” (HR. Ibnu Majah).
Kemudian hadits lain yang erat kaitannya dengan masalah
pembiayaan mudharabah adalah sabda Rasulullah SAW sebagai berikut :
19
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Maktabah Al-Syiriyah, 1997), Jilid II, h. 753 20
Al-Shan‟any, Subul Al-Salaam, (Bandung: Dahlan Press, t.th), Juz III, h. 76
25
عنس ع عىف اب جائز الصلح : وسله عله اهلل صلى اهلل زسىل قال قال، عيه اهلل زض
ب حساما احل او حالال حسو صلحا اال النشلن حسو شسطا اال شسوطهه على والنشلنى
21(.الرتمرى زواه )حساما احل او
Artinya : “Dari Amr bin Auf ra. berkata, bersabda Rasulullah SAW :
Perdamaian itu dilakukan di antara kaum muslimin kecuali
perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan
yang haram, dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat
kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram” (HR. Turmudzi).
Beberapa ayat Al-Qur‟an an hadits Rasulullah SAW yang dijadikan
dalil pembiayaan mudharabah seperti yang telah dipaparkan di atas memang
sangat berkaitan dengan permasalahan mudharabah. Hal ini dapat dilihat pada
surah Al-Mujammil ayat 20 yang dalamnya terdapat kata يضسبى yang
dipahami sebagai usaha untuk mencari rizki. Demikian pula dalam salah
hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Thabrani terdapat kata مضازبة yang diartika bahwa Rasulullah SAW pernah menyerahkan harta sebagai
mudharabah. Dengan demikian, terdapat hubungan yang positif antara dalil-
dalil tersebut dengan permasalahan mudharabah.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa landasan hukum
pembiayaan mudharabah tidak hanya tertera dalam Al-Qur‟an, tetapi juga
terdapat dalam hadits Rasulullah SAW sebagai landasan yang kedua setelah
21
Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulug Al-Marram Min Adillatil Ahkam, (Beirut: Daar Al-
Ihya, 1973), h. 175 - 176
26
Al-Qur‟an serta ijma‟ para ulama. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
landasan hukum pembiayaan mudharabah adalah Al-Qur‟an dan hadits
Rasulullah SAW serta ijma‟ ulama.
3. Jenis-jenis Pembiayaan Mudharabah
Ditinjau dari aspek transaksi yang dilakukan pemilik modal dengan
pengelola, para ulama fiqh mengklasifikasikan aqad mudharabah ke dalam
dua jenis, yaitu mudharabah mutlaqah dan mudharabah muqayyadah.22
Mudharabah mutlaqah adalah salah satu jenis mudharabah di mana pemilik
usaha atau mudharib diberikan hak yang tidak terbatas untuk melakukan
investasi oleh pemilik modal atau shohibul maal. Sedangkan mudharabah
muqayyadah merupakan salah satu jenis mudharabah di mana pemilik usaha
dibatasi haknya oleh pemilik modal yang antara lain dalam hal jenis usaha,
waktu, tempat usaha, dan lain-lain.23
Penerapan mudharabah mutlaqah dapat berupa tabungan dan deposito
sehingga terdapat dua jenis himpunan dana yaitu tabungan mudharabah dan
deposito mudharabah. Berdasarkan prinsip ini tidak ada pembatasan bagi
BMT dalam menggunakan dana yang dihimpun.24
Dengan demikian, jenis-
jenis mudharabah itu terdiri atas mudharabah mutlaqah dan mudharabah
muqayyadah.
22
Azharuddin Lathif, Fiqh Mu’amalah, h. 137 23
Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syari’ah, h. 57 24
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah; Deskripsi dan Ilustrasi,
(Yogyakarta: Ekonosia, 2004), Cet. ke-2, h. 59
27
Mudharabah muqayyadah terbagi ke dalam dua bagian yaitu
mudharabah muqayyadah on balance-sheet dan mudharabah muqayyadah off
balance-sheet. Dalam mudharabah muqayyadah on balance-sheet, aliran dana
terjadi dalam satu nasabah investor ke sekelompok pelaksana usaha dalam
beberapa sektor terbatas misalnya pertanian, manufaktur dan jasa. Nasabah
investor lainnya mungkin mensyaratkan dananya hanya boleh dipakai untuk
pembiayaan di sektor pertimbangan, property dan pertanian. Selain
berdasarkan sektor, nasabah investor dapat saja mensyaratkan berdasarkan
jenis aqad yang digunakan misalnya hanya boleh digunakan berdasarkan aqad
penjualan cicilan, penyewaan cicilan saja atau kerja sama usaha saja. Skema
ini disebut on balance-sheet karena dicatat dalam neraca bank.25
Dalam mudharabah muqayyadah off balance-sheet, aliran dana
berasal dari suatu nasabah investor kepada satu nasabah pembiayaan dalam
bank konvensional disebut debitur. Di sini, bank syari‟ah bertindak hanya
sebagai arranger. Pencatatan transaksinya di bank syari‟ah dilakukan secara
off balance-sheet. Sedangkan bagi hasilnya hanya melibatkan nasabah
investor dan pelaksana usaha. Besarnya bagi hasil tergantung pada
kesepakatan antara nasabah investor dan nasabah pembiayaan. Bank hanya
memperoleh arranger fee. Skema ini disebut off balance-sheet karena
transaksi ini tidak dicatat dalam neraca bank, tetapi hanya dicatat dalam
25
Adiwarman Azwar Karim, Bank Islam; Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: IIIT
Indonesia, 2003), Cet. ke-1, 405
28
rekening administratif.26
Untuk lebih jelasnya tentang jenis-jenis mudharabah
ini dapat disajikan pada gambar berikut ini.
JENIS-JENIS MUDHARABAH
Dari gambaran di atas, dapat dipahami bahwa secara garis besar jenis-
jenis pembiayaan mudharabah dapat diklasifikasikan ke dalam dua bentuk
yakni mudharabah mutlaqah dan mudharabah muqayyadah. Mudharabah
mutlaqah bersifat mutlak di mana shohibul maal tidak menetapkan restriksi
atau syarat-syarat tertentu kepada mudharib.27
Namun demikian, jika
dipandang perlu, shohibul maal boleh menetapkan batasan-batasan atau
syarat-syarat tertentu guna menyelamatkan modalnya dari resiko kerugian,
dan syarat-syarat atau batasan ini harus dipenuhi oleh mudharib. Jika
mudharib melanggar batasan ini, maka ia harus bertanggung jawab atas
kerugian yang timbul. Jenis mudharabah seperti ini disebut mudharabah
muqayyadah.
26
Adiwarman Azwar Karim, Bank Islam; Analisis Fiqh dan Keuangan, h. 185 27
Adiwarman Azwar Karim, Bank Islam; Analisis Fiqh dan Keuangan, h. 184
Mudharabah
Off-Balance Sheet
On-Balance Sheet
Muqayyadah (RIA: Restricted
Investment Account)
Mutlaqah (URIA: Unrestricted
Investment Account)
29
4. Tujuan dan Fungsi Pembiayaan Mudharabah
Tujuan pembiayaan mudharabah yang dilaksanakan lembaga
keuangan syari‟ah terkait dengan stake holder salah satunya adalah pemilik.28
Dari sumber pendapatan di atas, para pemilik mengharapkan akan
memperoleh penghasilan atas dana yang ditanamkan pada bank tersebut.
Tujuan pembiayaan lainnya yang terkait dengan stake holder adalah pegawai.
Para pegawai mengharapkan dapat memperoleh kesejahteraan dari bank yang
dikelolanya.
Tujuan pembiayaan mudharabah selanjutnya yang terkait dengan
stake holder adalah masyarakat yang terdiri atas pemilik dana. Sebagaimana
pemilik, mereka mengharapkan dari dana yang diinvestasikan akan diperoleh
bagi hasil. Selain pemilik dana, maka hal yang berkaitan dengan ini adalah
debitur yang bersangkutan. Para debitur, dengan penyediaan dana baginya,
mereka terbantu guna menjalankan usahanya atau terbantu untuk pengadaan
barang yang diinginkannya. Kemudian hal lain yang berkaitan dengan tujuan
pembiayaan mudharabah yang masuk dalam kategori ini adalah konsumen.
Konsumen ini dapat memperoleh barang-barang yang dibutuhkannya.
Tujuan pembiayaan mudharabah yang dilaksanakan perbankan
syari‟ah terkait dengan stake holder berikutnya adalah pemerintah. Akibat
penyediaan pembiayaan mudharabah, pemerintah terbantu dalam pembiayaan
pembangunan negara, di samping itu akan diperoleh pajak yang berupa pajak
28
Muhammad, Manajemen Dana Bank Syari’ah, h. 196
30
penghasilan atas keuntungan yang diperoleh bank dan juga perusahaan-
perusahaan.
Tujuan pembiayaan mudharabah yang dilaksanakan perbankan
syari‟ah terkait dengan stake holder yang tidak kalah pentingnya adalah
lembaga bank itu sendiri. Bagi bank yang bersangkutan, hasil dari penyaluran
pembiayaan mudharabah, diharapkan bank dapat meneruskan dan
mengembangkan usahanya agar tetap survival dan meluas jaringan usahanya,
sehingga semakin banyak masyarakat yang dapat dilayaninya. Selain memiliki
tujuan pembiayaan mudharabah, bank syari‟ah juga harus menentukan fungsi
pembiayaan mudharabah itu sendiri.
Menurut Sinungan, ada beberapa fungsi dari pembiayaan mudharabah
yang diberikan oleh bank syari‟ah kepada masyarakat penerima yang salah
satu di antara fungsi pembiayaan mudharabah adalah meningkatkan daya
guna uang.29
Para penabung menyimpan uangnya di bank dalam bentuk giro,
tabungan dan deposito. Uang tersebut dalam prosentase tertentu ditingkatkan
kegunaannya oleh bank guna suatu usaha peningkatan produktivitas. Para
pengusaha menikmati pembiayaan mudharabah dari bank untuk memperluas
atau memperbesar usahanya bak untuk peningkatan produksi, perdagangan
maupun untuk usaha-usaha rehabilitasi ataupun memulai usaha baru. Pada
dasarnya melalui pembiayaan mudharabah terdapat suatu usaha peningkatan
29
Muchdarsyah Sinungan, Dasar-Dasar dan Teknik Manajemen Kredit, (Jakarta: Bina
Aksara, 1983), Cet. ke-1, h. 75
31
produktivitas secara menyeluruh. Dengan demikian dana yang mengendap di
bank tidaklah diam dan disalurkan untuk usaha-usaha yang bermanfaat baik
kemanfaatan bagi pengusaha maupun kemanfaatan bagi masyarakat.
Fungsi lainnya dari pembiayaan mudharabah adalah meningkatkan
daya guna barang. Produsen dengan bantuan pembiayaan mudharabah bank
dapat memproduksi bahan mentah menjadi bahan jadi sehingga utility dari
bahan tersebut meningkat, misalnya peningkatan utility kelapa menjadi kopra
dan selanjutnya menjadi minya kelapa atau minyak goreng, peningkatan
utility dari padi menjadi beras, benang menjadi tekstil, dan lain sebagainya.
Selain itu, produsen dengan bantuan pembiayaan mudharabah dapat
memindahkan barang dari suatu tempat yang kegunaannya kurang ke tempat
yang lebih bermanfaat. Seluruh barang-barang yang dipindahkan atau dikirim
dari suatu daerah ke daerah lain yang kemanfaatan barang itu lebih terasa,
pada dasarnya meningkatkan utility barang itu. Pemindahan barang-barang
tersebut tidaklah dapat diatasi oleh keuangan para distributor saja dan oleh
karenanya mereka memerlukan bantuan permodalan dari bank yang berupa
pembiayaan mudharabah.
Fungsi pembiayaan mudharabah selanjutnya adalah meningkatkan
peredaran uang. Pembiayaan mudharabah yang disalurkan melalui rekening-
rekening koran pengusaha menciptakan pertambahan peredaran uang giral dan
sejenisnya seperti cek, bilyet giro, wesel, promes, dan lain sebagainya.
Melalui pembiayaan mudharabah, peredaran uang kartal maupun giral akan
32
lebih berkembang oleh karena pembiayaan mudharabah menciptakan suatu
kegairahan berusaha sehingga penggunaan uang akan bertambah baik
kualitatif apalagi secara kuantitatif. Hal ini selaras dengan pengertian bank
selaku money creator. Penciptaan uang itu selain dengan cara substitusi;
penukaran uang kartal yang disimpan di giro dengan uang giral, maka ada
juga exchange of claim, yaitu bank memberikan pembiayaan mudharabah
dalam bentuk uang giral. Selain itu, dapat pula dilakukan dengan cara
transformasi yaitu bank membeli surat-surat berharga dan membayarnya
dengan uang giral.
Fungsi pembiayaan mudharabah berikutnya adalah menimbulkan
kegairahan berusaha. Setiap manusia adalah makhluk yang selalu melakukan
kegiatan ekonomi yaitu berusaha untuk memenuhi kebutuhannya. Kegiatan
usaha sesuai dengan dinamikanya akan selalu meningkat, akan tetapi
peningkatan usaha tidaklah selalu diimbangi dengan peningkatan
kemampuannya yang berhubungan dengan manusia lain yang mempunyai
kemampuan. Karena itu pula, maka pengusaha akan selalu berhubungan baik
untuk memperoleh bantuan permodalan guna peningkatan usahanya. Bantuan
pembiayaan mudharabah yang diterima pengusaha dari bank inilah kemudian
yang digunakan untuk memperbesar volume usaha dan produktivitasnya. Bila
ditinjau dari hukum permintaan dan penawaran, maka terhadap segala macam
dan ragamnya usaha, permintaan akan terus bertambah jika masyarakat telah
memulai melakukan penawaran. Timbullah kemudian efek kumulatif oleh
33
semakin besarnya permintaan sehingga secara berantai kemudian
menimbulkan kegairahan yang meluas di kalangan masyarakat untuk
sedemikian rupa meningkatkan produktivitas. Secara otomatis kemudian
timbul pula kesan bahwa setiap usaha untuk peningkatan produktivitas,
masyarakat tidak perlu khawatir kekurangan modal oleh karena masalahnya
dapat diatasi oleh bank dengan pembiayaan mudharabahnya.
Fungsi pembiayaan mudharabah berikutnya adalah adanya stabilitas
ekonomi. Dalam ekonomi yang kurang sehat, langkah-langkah stabilisasi pada
dasarnya diarahkan pada usaha-usaha antara lain untuk pengendalian inflansi,
peningkatan ekspor, rehabilitasi prasarana dan pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan pokok rakyat. Untuk menekan arus inflansi dan terlebih lagi untuk
usaha pembangunan ekonomi, maka pembiayaan mudharabah memegang
peranan yang sangat penting.
Selanjutnya fungsi pembiayaan mudharabah adalah sebagai jembatan
untuk meningkatkan pendapatan nasional. Para usahawan yang memperoleh
pembiayaan mudharabah tentu saja berusaha untuk meningkatkan usahanya.
Peningkatan usaha berarti peningkatan profit. Bila keuntungan ini secara
kumulatif dikembangkan lagi dalam arti kata dikembalikan lagi ke dalam
struktur permodalan, maka peningkatan akan berlangsung terus menerus.
Dengan pendapatan yang terus meningkat berarti pajak perusahaan pun akan
terus bertambah. Pada pihak lain, pembiayaan mudharabah yang disalurkan
untuk merangsang pertumbuhan kegiatan ekspor akan menghasilkan
34
pertambahan devisa negara. Selain itu dengan makin efektifnya kegiatan
swasembada kebutuhan-kebutuhan pokok, berarti akan dihemat devisa
keuangan negara dan akan dapat diarahkan pada usaha-usaha kesejahteraan
ataupun ke sektor-sektor lain yang lebih berguna. Jika rata-rata pengusaha,
pemilik tanah, pemilik modal dan karyawan mengalami peningkatan
pendapatan, maka pendapatan negara melalui pajak akan bertambah,
penghasilan devisa bertambah dan penggunaan devisa untuk urusan konsumsi
berkurang, sehingga langsung atau tidak melalui pembiayaan mudharabah,
pendapatan nasional akan bertambah.
Fungsi pembiayaan mudharabah yang tidak kalah pentingnya adalah
sebagai alat hubungan ekonomi internasional. Bank syari‟ah sebagai salah
satu lembaga pembiayaan mudharabah tidak hanya bergerak di dalam negeri,
tetapi juga bergerak di luar negeri. Amerika Serikat yang telah sedemikian
maju organisasi dan sistem perbankannya telah melebarkan sayap
perbankannya ke seluruh pelosok dunia. Demikian pula beberapa negara maju
lainnya. Negara-negara kaya atau yang kuat ekonominya, demi persahabatan
antar negara banyak memberikan bantuan kepada negara-negara yang sedang
berkembang atau sedang membangun. Bantuan-bantuan tersebut tercermin
dalam bentuk bantuan kredit dengan syarat-syarat yang ringan yaitu bunga
yang relatif murah dan jangka waktu penggunaan yang panjang. Melalui
bantuan kredit antar negara, maka hubungan antar negara pemberi dan
35
penerima kredit akan bertambah erat terutama yang menyangkut hubungan
perekonomian dan perdagangan.
Dari beberapa tujuan dan fungsi pembiayaan mudharabah seperti
yang telah dipaparkan di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tujuan
pembiayaan mudharabah adalah untuk menggabungkan masing-masing
potensi, yakni potensi modal yang tidak memiliki keahlian usaha dengan
pemilik proyek yang tidak memiliki modal untuk sama-sama mendapatkan
keuntungan.30
5. Rukun dan Syarat Pembiayaan Mudharabah
Menurut Zulkifli, rukun mudharabah terdiri atas pemilik modal,
pemilik usaha, proyek, modal, ijab dan qabul serta nisbah bagi hasil.31
Sedangkan menurut Adiwarman, rukun mudharabah itu terdiri atas pelaku,
objek, ijab dan qabul serta nisbah keuntungan.32
Ulama Hanafiyah
mengemukakan bahwa rukun mudharabah adalah ijab dan qabul. Sedangkan
menurut Jumhur rukun mudharabah itu terdiri atas shohibul maal dan
mudharib, modal dan pekerjaan serta keuntungan, ijab dan qabul.33
Adapun syarat-syarat mudharabah sesuai dengan rukun yang
dikemukakan Jumhur Ulama di atas adalah hal-hal yang berkaitan dengan
orang yang melakukan aqad, harus orang yang cakap hukum dan cakap
30
Warkum Sumitro, Azas-Azas Perbankan Islam dan Lembaga Terkait di Indonesia, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1997), h. 36 31
Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syari’ah, h. 57 32
Adiwarman Azwar Karim, Bank Islam; Analisis Fiqh dan Keuangan, h. 177 33
Azharuddin Lathif, Fiqh Mu’amalah, h. 135
36
diangkat sebagai wakil, karena pada satu sisi lain posisi orang yang akan
mengelola modal adalah wakil dari pemilik modal. Itulah sebabnya syarat-
syarat seorang wakil juga berlaku bagi pengelola modal dalam aqad
mudharabah.
Kemudian hal lain yang terkait dengan modal disyaratkan berbentuk
uang, jelas jumlahnya, tunai dan diserahkan sepenuhnya kepada pengelola
modal. Oleh karenanya, jika modal itu berbentuk barang, menurut mayoritas
ulama tidak dibolehkan karena sulit untuk menentukan keuntungannya dan
cenderung menimbulkan gharar.
Selanjutnya adalah yang terkait dengan keuntungan, disyaratkan
bahwa pembagian keuntungan harus jelas dan porsi masing-masing diambil
dari keuntungan dagang itu seperti setengah, sepertiga atau seperempat. Jika
pembagian keuntungan tidak jelas, maka menurut ulama Hanafiyah aqad itu
fasid atau rusak.
Berikutnya adalah yang terkait dengan ijab dan qabul, harus
diucapkan oleh kedua belah pihak guna menunjukkan kemauan mereka untuk
menyempurnakan kontrak. Shighat harus sesuai dengan hal-hal berikut seperti
secara eksplisit dan implicit menunjukkan tujuan kontrak serta shighat
dianggap tidak sah jika salah satu pihak menolak syarat-syarat yang diajukan
dalam penawaran atau salah satu pihak meninggalkan tempat berlangsungnya
negosiasi tersebut sebelum kontrak disempurnakan.34
34
Azharuddin Lathif, Fiqh Mu’amalah, h. 135 - 137
37
Syarat yang tidak kalah pentingnya dari pembiayaan mudharabah
adalah adanya aktivitas usaha. Sebagai pertimbangan modal yang disediakan
oleh pemilik modal, maka pengelola harus memperhatikan hal-hal berikut
seperti kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib tanpa campur tangan
pemilik modal, tetapi ia memiliki hak untuk melakukan pengawasan, pemilik
modal tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa,
sehingga dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah yaitu
memperoleh keuntungan dan pengelola tidak boleh menyalahi hukum syari‟ah
Islam dalam tindakan yang berhubungan dengan mudharabah serta harus
memenuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktivitas itu.35
Atas dasar syarat-syarat di atas, Ulama Hanafiyah membagi aqad
mudharabah ke dalam dua golongan yaitu mudharabah shohihah dan
mudharabah fasidah. Jika mudharabah yang dilakukan itu jatuh kepada fasid,
menurut ulama Hanafiyah, Syafi‟iyah dan Hanabilah, maka pekerja itu hanya
berhak menerima upah kerja sesuai dengan standar yang berlaku di daerah itu,
sementara seluruh keuntungan menjadi milik shohibul maal. Ulama Hanafiyah
menyatakan bahwa dalam mudharabah fasidah, status pekerja tetap seperti
dalam mudharabah shohihah. Artinya bahwa pengelola tetap mendapatkan
bagian dari keuntungan. Namun yang terpenting dan perlu dilihat adalah
35
Dewan Syari‟ah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah
Nasional No. 7/DSN-MUI/IV/2000, (Jakarta: MUI, 2001), h. 44 - 46
38
proses dan faktor-faktor yang menyebabkan adanya unsur ketidakjelasan
tersebut.36
B. Usaha Kecil dan Menengah
1. Pengertian Usaha Kecil dan Menengah
Menurut Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/I/UKK tanggal 29 Mei
199 perihal Kredit Usaha Kecil dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
usaha kecil adalah usaha yang memiliki total aset maksimum Rp.
600.000.000,- tidak termasuk tanah dan rumah yang ditempati.37
Muhammad
Ja‟far mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan usaha kecil adalah
kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memiliki kekayaan bersih
paling banyak Rp. 200.000.000,- tidak termasuk tanah dan bangunan tempat
usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp.
1.000.000.000,-38
Kamar Dagang dan Industri yang selanjutnya disebut KADIN
memberikan batasan tentang usaha kecil. Menurut KADIN, yang dimaksud
dengan usaha kecil adalah sektor industri dengan aset maksimal Rp.
250.000.000,- memiliki tenaga kerja paling banyak 300 orang dan nilai
penjualan di bawah Rp. 100.000.000,- Adapun batasan sektor perdagangan
36
Azharuddin Lathif, Fiqh Mu’amalah, h. 37 37
Indra Ismawan, Suskes di Era Ekonomi Liberal Bagi Koperasi Perusahaan Kecil
Menengah, (Jakarta: Grasindo, 2001), h. 5 38
Muhammad Ja‟far Hafsah, Kemitraan Usaha Kecil; Konsepsi dan Strategi, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2000), h. 10
39
adalah modal kerja maksimal Rp. 150.000.000,- memiliki tenaga kerja
maksimal 300 orang dan nilai penjualan maksimal Rp. 600.000.000,-39
Departemen Keuangan RI memberikan kriteria tentang batasan usaha
kecil. Usaha kecil menurut kriteria Departemen Keuangan adalah perusahaan
yang memiliki aset maksimal Rp. 600.000.000,- atau omset maksimal Rp.
600.000.000,- per tahun.40
Sedangkan menurut Bank Indonesia, yang
dimaksud dengan usaha kecil adalah perusahaan yang mempunyai aset
maksimal Rp. 600.000.000,-41
Menurut Undang-Undang Perbankan No. 9 Tahun 19995 tentang
usaha kecil, bahwa yang dimaksud dengan usaha kecil adalah kegiatan
ekonomi rakyat yang berskala kecil dan yang memenuhi kriteria kekayaan
bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan perusahaan. Kekayaan
perusahaan maksimal Rp. 200.000.000,- tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha.42
Departemen Keuangan menambahkan bahwa yang dimaksud
dengan usaha kecil adalah usaha dengan aset dan omset kurang dari Rp.
300.000.000,-43
Di tengah keragaman definisi tentang usaha kecil, menarik untuk
dicatat suatu fenomena yang tidak dapat dipisahkan begitu saja dari perjalanan
39
Muhammad Ja‟far Hafsah, Kemitraan Usaha Kecil; Konsepsi dan Strategi, h. 10 40
Lihat Keputusan Menteri Keuangan RI No. 316/1994 tanggal 27 Juni 1994 tentang
Pedoman Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi melalui dana dari bagian laba BUMN dan SKB
Direktorat Jenderal Pembinaan BUMN, Departemen Keuangan dan Direktorat Jenderal PPK,
Departemen Koperasi dan PPK tanggal 14 Oktober 1994 tentang Pedoman Pelaksanaan Usaha Kecil
dan Koperasi melalui dana dari bagian laba BUMN. 41
Pengertian usaha kecil dalam paket Januari 1990 yang mewajibkan perbankan
mengalokasikan 20% dari fortopolio kreditnya kepada usaha kecil. Lihat www.bi.com 42
Muhammad Ja‟far Hafsah, Kemitraan Usaha Kecil; Konsepsi dan Strategi, h. 11 43
www.bi.com, diakses pada tanggal 25 Juli 2001
40
pengembangan usaha kecil, yaitu suatu pengertian yang disusun oleh Biro
Pusat Statistik yang menyatakan bahwa usaha kecil difokuskan pada
penggunaan kriteria serapan tenaga kerja. Berdasarkan kriteria tersebut,
industri skala kecil dicatat sebagai perusahaan manufaktur yang
mempekerjakan tenaga kerja antara 5 – 19 orang. Biro ini juga
mengelompokkan jenis usaha ke dalam dua kelompok yaitu usaha besar dan
usaha sedang serta usaha kecil dan usaha rumah tangga yang tidak berbadan
hukum.
Berkaitan dengan itu, maka Departemen Perindustrian dan
Perdagangan mengklasifikasikan usaha kecil ke dalam dua kelompok yaitu
industri kecil dan perdagangan kecil. Industri kecil adalah usaha industri yang
memiliki investasi peralatan di bawah Rp. 700.000.000,- investasi per tenaga
kerja maksimal Rp. 625.000,- jumlah pekerja di bawah 20 orang serta
memiliki aset tidak lebih dari Rp. 100.000.000,- Sedangkan perdagangan kecil
merupakan perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan atau jasa
komersial yang memiliki modal kurang dari Rp. 80.000.000,- dan perusahaan
yang bergerak di bidang produksi atau industri yang memiliki modal
maksimal Rp. 200.000.000,-44
Dari uraian-uraian tentang definisi usaha kecil seperti diutarakan di
atas, dapat dipahami bahwa usaha kecil memiliki peran yang sangat strategis
dalam upaya mengembangkan dan menumbuhkan industri kecil dan
44
Keputusan Menteri Keuangan RI No. 316/1994 tanggal 27 Juni 1994 tentang Pedoman
Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi melalui dana dari BUMN.
41
menengah di Indonesia. Dengan demikian, usaha kecil merupakan bagian
integral dari usaha nasional yang mempunyai kedudukan dan peranan yang
strategis dalam mewujudkan pembangunan nasional.45
Oleh sebab itu,
pembangunan nasional tidak hanya diwujudkan dalam bentuk usaha kecil,
tetapi dapat pula diwujudkan dalam bentuk usaha menengah.
Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 9 Tahun 1995 tentang
usaha menengah, bahwa pengertian usaha menengah dapat digolongkan ke
dalam dua bagian yaitu sektor industri dan sektor non industri. Usaha
menengah dalam sektor industri memiliki total aset maksimal Rp.
5.000.000.000,- Sedangkan untuk sektor non industri, di samping memiliki
kekayaan bersih maksimal Rp. 600.000.000,- tidak termasuk tanah dan
bangunan, juga memiliki hasil penjualan maksimal Rp. 3.000.000.000,- per
tahun.46
Dalam Instruksi Presiden No. 10 Tahun 1999, bahwa yang dimaksud
dengan usaha menengah adalah unit kegiatan yang memiliki kekayaan lebih
besar dari Rp. 200.000.000,- sampai dengan maksimal Rp. 10.000.000.000,-
tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.47
Bila dilihat dari ciri-ciri
umum tentang kriteria usaha kecil dan menengah pada dasarnya dapat
dikatakan sama yaitu struktur organisasi yang sederhana, tanpa staf
45
Noer Soetrisno, Peranan Perbankan Sebagai Sumber Pembiayaan Usaha Golongan Lemah
dan dan Koperasi, (Jakarta: Badan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1998), h. 4 46
Direktorat Jenderal Fasilitas Pembiayaan dan Simpan Pinjam, Himpunan Ketentuan Skim
Kredit Program Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah, (Jakarta: Tpn, 1999), h. 49 47
Direktorat Jenderal Fasilitas Pembiayaan dan Simpan Pinjam, Himpunan Ketentuan Skim
Kredit Program Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah, h. 50
42
berlebihan, pembagian kerja yang kurang disiplin, memiliki hirarki manajerial
yang pendek, aktivitas sedikit formal dan sedikit yang menggunakan proses
perencanaan serta kurang membedakan aset pribadi dari perusahaan.48
2. Manajemen Usaha Kecil dan Menengah
Bagi seorang wirausahawan, fungsi manajemen yang terpenting
adalah untuk mengambil keputusan mengenai apa yang hendak dihasilkan.49
Dalam mengambil keputusan, diperlukan suatu seni dan ilmu pertimbangan
yang banyak ditentukan oleh pengalaman dalam hal pengambilan keputusan.
Untuk itu, diperlukan manajer yang mampu memadukan keterampilan teknis
dengan kemampuan manajerialnya dalam mengambil keputusan perusahaan
secara tepat.
Masalah manajemen yang dihadapi para pengusaha kecil dan
menengah adalah tentang bagaimana mereka mampu menyikapi kondisi
lingkungan yang berubah secara cepat. Meskipun demikian, sikap positif
pengusaha kecil dan menengah yang diikuti dengan tindakan-tindakan nyata
secara tepat guna, sering kali tidak mampu mengatasi permasalahannya. Hal
ini disebabkan faktor eksternal ternyata lebih besar pengaruhnya dari pada
faktor kemampuan manajemen pengusaha kecil dan menengah itu sendiri. Di
sinilah perlunya mempelajari masalah perusahaan ditinjau dari aspek ekologis,
yaitu cara melihat sosok perusahaan sebagai bagian dari ekosistem.
48
Titik Sartiko Partomo, et.al., Ekonomi Skala Kecil, Menengah dan Koperasi, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2002), Cet. ke-1, h. 15 49
Murti Sumarni, Marketing Perbankan, (Yogyakarta: Liberty, 1997), h. 55
43
Seorang pengusaha merupakan bagian dari lingkungan sosial tertentu
dengan sistem nilai yang tidak hanya mempengaruhi sistem tersebut, tetapi
juga dapat membentuk sikap dan tingkah laku sebagai pengusaha. Bahkan
dilihat dari aspek legal, sistem dan struktur perusahaan-perusahaan atau
industri merupakan bagian dari sistem hukum dan sistem politik yang berlaku.
Oleh sebab itu, masalah manajemen perusahaan tidak dapat dilepaskan atau
diceraikan dengan lingkungannya begitu saja.50
Seorang pengusaha juga dituntut untuk memiliki wawasan yang luas
dan peka terhadap ekologi dunia usaha. Untuk itu, para pengusaha harus dapat
menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan mereka dapat
bersentuhan langsung dengan informasi perubahan. Dengan demikian, dapat
dipahami bahwa persoalan manajemen pada dasarnya tidak hanya terbatas
pada lingkungan, tetapi para pengusaha juga dapat memecahkan persoalan ini
secara lebih efektif di luar perusahaan, terutama dalam hal manajemen
perusahaan.
Masalah manajemen usaha kecil dan menengah senantiasa
berhubungan dengan lingkungan yang kesemuanya itu nantinya dapat
membentuk suatu ekosistem. Ada beberapa hal yang mempengaruhi masalah
ini salah satu di antaranya adalah faktor lingkungan seperti permasalahan
psikologis dan tenaga kerja. Hal yang kedua adalah kemampuan teknis
pengelolaan usaha. Faktor-faktor tersebut terdiri atas kemampuan mengatur
50
M. Dawam Rahardjo, Pembangunan Ekonomi Nasional; Suatu Pendekatan Pemerataan,
Keadilan dan Ekonomi Kerakyatan, (Jakarta: PT. Internusa, 1997), Cet. ke-1, h. 151
44
keluar masuk uang, pembukuan dan administrasi perusahaan, teknik
pemasaran, menghitung biaya produksi, menentukan harga, dan lain
sebagainya.
Berikutnya faktor yang perlu diamati secara lebih spesifik adalah
sarana dan prasarana manajemen. Sarana dan prasarana ini di antaranya ada
yang menyangkut bidang manajemen. Kemudian yang perlu diperhatikan
dalam pengembangan manajemen adalah iklim perekonomian. Aspek
sosiologis dan antropologis merupakan catatan di sekitar ekologi dunia usaha.
Dari sudut pandangan ini, maka ditemukan pendekatan-pendekatan baru
dalam mengembangkan manajemen.
Beberapa permasalahan di atas menunjukkan bahwa secara ringkas
manajemen bukan merupakan persoalan yang sederhana. Hal ini disebabkan
oleh adanya pengaruh lingkungan. Dalam situasi yang sedang berubah secara
cepat seperti sekarang ini, perlu adanya perhatian usaha pemahaman
lingkungan di mana manajemen dikembangkan. Dengan demikian,
manajemen usaha kecil dan menengah merupakan upaya pengaturan
perusahaan agar perusahaan berkembang dari kecil menjadi besar, sehingga
mampu bersaing secara kompetitif.
3. Jenis-jenis Usaha Kecil dan Menengah
Salah satu ciri usaha kecil dan menengah adalah memiliki sifat
kewirausahaan, tetapi ada pula usaha kecil dan menengah yang tidak memiliki
45
sifat tersebut. Dengan menggunakan kriteria tersebut, maka usaha kecil dan
menengah dapat diklasifikasikan ke dalam empat golongan yang salah satunya
dikenal dengan istilah livelihood activities, yaitu usaha kecil dan menengah
yang bertujuan mencari kesempatan kerja guna mencari nafkah. Para pelaku
dalam kelompok ini tidak memiliki jiwa kewirausahaan. Kelompok ini sering
disebut sebagai sektor informal.51
Jenis golongan lainnya dari usaha kecil dan menengah adalah micro
enterprises. Kelompok ini lebih bersifat pengrajin dan tidak bersifat
wirausaha. Jenis golongan berikutnya dari usaha kecil dan menengah adalah
apa yang sering disebut dengan istilah small dynamic enterprises. Usaha kecil
dan menengah jenis ini cukup memiliki kewirausahaan. Jenis golongan lain
dari usaha kecil dan menengah yang tidak kalah pentingnya adalah apa yang
disebut dengan istilah fast moving enterprises. Kelompok ini asli memiliki
jiwa kewirausahaan. Jenis usaha kecil dan menengah ini mampu
menghasilkan usaha skala menengah dan besar.52
Berdasarkan laporan kelompok pakar usaha kecil dan menengah,
dapat diketahui bahwa usaha kecil dan menengah di Indonesia dapat
digolongkan ke dalam empat kelompok yang terdiri atas kelompok A,
kelompok B, kelompok C dan kelompok D.53
kelompok A adalah usaha kecil
51
Titik Sartika Partomo, et.al., Ekonomi Skala Kecil, Menengah dan Koperasi, h. 26 52
Titik Sartika Partomo, et.al., Ekonomi Skala Kecil, Menengah dan Koperasi, h. 27 53
Hasan Amin, Dasar-Dasar Ekonomi Perusahaan, (Jakarta: Pradya Utama, 1976), h. 17
46
dan menengah yang telah memiliki pasar global. Kelompok ini telah menjadi
sub kontrak dari perusahaan multi nasional terutama di sektor otomotif dan
elektronik. Jumlah mereka diperkirakan mencapai sekitar 3 – 4%.
Kelompok B adalah golongan usaha kecil dan menengah yang telah
memasuki pasar internasional. Kelompok ini sudah mengekspor, tetapi atas
dasar pesanan luar negeri dan bukan atas upaya pemasaran agresif. Hal ini
tentu berbeda dengan kelompok A dan kelompok tidak ada kelanjutan. Di
Indonesia, kelompok ini banyak terdapat di Bali di mana para importer asing
melaksanakan order bisnis yang cukup lumayan. Produk yang diekspor bukan
dari Jawa Barat dan Jawa Tengah. Jumlah mereka diperkirakan mencapai 5 –
7%.
Kelompok C adalah golongan usaha kecil dan menengah yang belum
pernah melakukan transaksi luar negeri, tetapi usahanya memiliki potensi
yang besar untuk dikembangkan. Jumlah mereka diperkirakan mencapai
sekitar 30%.
Kelompok D adalah usaha kecil dan menengah yang tidak
berorientasi ke pasar luar negeri. Mayoritas usaha kecil dan menengah di
Indonesia berada pada kelompok D. Saat ini jumlah mereka diperkirakan
mencapai 60%.
Dari beberapa uraian di atas tentang jenis-jenis usaha kecil dan
menengah, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa jenis-jenis usaha kecil dan
menengah adalah terdiri atas livelihood activities, micro enterprises, small
47
dynamic enterprises dan fast moving enterprises. Berdasarkan laporan
kelompok pakar usaha kecil dan menengah, maka usaha kecil dan menengah
ini terdiri atas kelompok A, kelompok B, kelompok C dan kelompok D.
4. Kendala Bagi Usaha Kecil dan Menengah
Dalam perkembangannya, usaha kecil dan menengah banyak
mengalami kendala dalam beberapa aspek yang berkaitan langsung dengan
aktivitas usahanya. Kendala-kendala tersebut antara lain adalah keterbatasan
pemasaran. Pemasaran sering dianggap sebagai salah satu kendala yang kritis
bagi pelembagaan usaha kecil dan menengah. Salah satu yang terkait dengan
aspek pemasaran yang umum dihadapi oleh usaha kecil dan menengah adalah
tekanan-tekanan persaingan baik di pasar besar maupun pasar ekspor. Selain
informasi terbatas, banyak usaha kecil dan menengah, khususnya mereka yang
kekurangan modal dan sumber daya manusia serta mereka yang berlokasi di
daerah-daerah pedalaman yang relatif terisolasi dari pusat-pusat informasi.
Komunikasi dan transportasi, juga mengalami kesulitan untuk memenuhi
standar internasional yang terkait dengan produksi dan perdagangan.54
Kendala lainnya bagi usaha kecil dan menengah yang berkaitan
langsung dengan aktivitas usahanya adalah keterbatasan finansial. Usaha kecil
dan menengah di Indonesia, khususnya usaha kecil selalu dihadapkan pada
dua masalah utama aspek finansial. Mobilitas modal awal dan akses ke modal
54
Tulus T.H. Tambunan, Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia; Beberapa Isu Penting,
(Jakarta: Salemba Empat, 2002), Edisi I, h. 73
48
kerja serta finansial jangka panjang untuk investasi yang sangat diperlukan
demi pertumbuhan out put jangka panjang. Hal ini disebabkan lokasi bank
relatif terisolasi, persyaratan terlalu berat, urusan administrasi terlalu rumit
dan kurangnya informasi mengenai skim-skim perkreditan yang ada serta
prosedurnya.55
Kendala berikutnya bagi usaha kecil dan menengah yang berkaitan
langsung dengan aktivitas usahanya adalah keterbatasan sumber daya
manusia. Keterbatasan sumber daya manusia di Indonesia, juga merupakan
salah satu kendala yang serius bagi usaha kecil dan menengah terutama dalam
aspek kewirausahaan, manajemen, teknik produksi, pengembangan produk,
engineering design, quality control, organisasi bisnis akuntansi, proses data,
teknik pemasaran dan penelitian pasar. Keterbatasan sumber daya manusia
merupakan salah satu ancaman bagi usaha kecil dan menengah di Indonesia
untuk dapat bersaing di pasar domestik maupun di pasar internasional.56
Kendala selanjutnya bagi usaha kecil dan menengah yang berkaitan
langsung dengan kegiatan usahanya adalah keterbatasan bahan baku.
Keterbatasan bahan baku juga menjadi salah satu kendala serius bagi
pertumbuhan out put atau kelangsungan produksi bagi banyak usaha kecil dan
menengah di Indonesia.57
55
Tulus T.H. Tambunan, Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia; Beberapa Isu Penting, h. 74 56
Tulus T.H. Tambunan, Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia; Beberapa Isu Penting, h. 79 57
Tulus T.H. Tambunan, Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia; Beberapa Isu Penting, h. 79
49
Kendala lain yang memang harus dicarikan solusinya bagi usaha kecil
dan menengah yang dianggap berkaitan langsung dengan kegiatan usahanya
adalah keterbatasan teknologi. Keterbatasan teknologi tidak hanya membuat
kualitas produksi dan tingkat efisiensi menjadi rendah, tetapi kualitas produk
yang dibuat juga menjadi rendah. Keterbatasan teknologi ini disebabkan oleh
banyak faktor yang di antaranya adalah keterbatasan modal investasi,
informasi tentang teknologi atau mesin-mesin dan alat-alat produksi serta
keterbatasan sumber daya manusia.
Demikian berbagai macam kendala yang dihadapi oleh usaha kecil
dan menengah di Indonesia dalam perkembangannya yang tingkat intensitas
dan sifatnya berbeda, namun masalah kendala yang sering disebut adalah
keterbatasan modal dan kesulitan dalam pemasaran.58
5. Solusi Bagi Usaha Kecil dan Menengah
Setelah mengetahui kendala dan hambatan bagi usaha kecil dan
menengah, maka perlu diatasi melalui pendekatan secara komprehensif
integral yakni secara menyeluruh dan serentak dilakukan melalui pembinaan
berbagai aspek antara lain pasar, modal, teknologi dan manajemen secara
menyeluruh mulai dari proses produksi hingga pemasaran dan dilakukan
secara terpadu antar instansi. Tujuan pembinaan adalah untuk perluasan
kesempatan berusaha.
58
Tulus T.H. Tambunan, Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia; Beberapa Isu Penting, h. 81
50
Pemerintah berusaha meningkatkan daya saing usaha kecil dan
menengah melalui kebijaksanaan-kebijaksanaan yang antara lain secara terus
menerus melaksanakan deregulasi di sektor riil yang membebaskan bea masuk
sejumlah barang atau produk, terutama produk yang merupakan input bagi
perindustrian.59
Usaha lainnya yang dilakukan pemerintah adalah melalui
peranan dan pemantapan kelembagaan baik secara vertikal maupun
horizontal. Upaya lainnya yang dapat dilakukan pemerintah adalah melalui
penelitian dan pengembangan. Peningkatan daya saing harus didukung oleh
kegiatan penelitian dan pengembangan yang mendukung.60
Selain kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap usaha kecil dan
menengah guna menumbuhkembangkannya, Presiden menginstruksikan
kepada para Menteri dan Menteri Negara, seluruh pimpinan lembaga
pemerintah non departemen, gubernur serta bupati atau walikota, sesuai
dengan ruang lingkup tugas, wewenang dan tanggung jawab masing-masing
secara bersama-sama atau sendiri-sendiri melaksanakan pemberdayaan usaha
kecil dan menengah meliputi beberapa bidang yang salah satunya adalah
bidang pembiayaan.
Pada bidang pembiayaan adalah melakukan fasilitas dan mendorong
peningkatan pembiayaan modal kerja dan investasi melalui perluasan sumber
dan pola pembiayaan, akses terhadap pasar, modal dan lembaga pembiayaan
59
Titik Sartika Partomo, et.al., Ekonomi Skala Kecil, Menengah dan Koperasi, h. 27 60
Titik Sartika Partomo, et.al., Ekonomi Skala Kecil, Menengah dan Koperasi, h. 28
51
lainnya,61
membentuk dan mengembangkan lembaga pinjaman kredit serta
meningkatkan fungsi lembaga ekspor dan menyediakan fasilitas
restrukturisasi uang atau kredit usaha kecil dan menengah yang bermasalah.
Selain bidang pembiayaan, pelaksanaan pemberdayaan usaha kecil
dan menengah juga meliputi bidang pemasaran yaitu dengan cara mendorong
peningkatan pangsa pasar melalui pengembangan saran, promosi, informasi,
penetrasi, jaringan pasar serta kemitraan usaha. Bidang pemasaran juga dapat
dilakukan dengan cara membantu meneliti pelaksanaan dan pengembangan
pemasaran, pemasyarakatan E-Commerce serta peningkatan rumah dagang.
Pelaksanaan pemberdayaan usaha kecil dan menengah juga meliputi
bidang teknologi yaitu dengan cara mendorong pelaksanaan alih teknologi
untuk pengembangan dan peningkatan mutu desain produk, proses produksi
dan pelayanan sehingga memenuhi standar mutu internasional.62
Pelaksanaan pemberdayaan usaha kecil dan menengah dapat pula
dilakukan melalui peningkatan sumber daya manusia yaitu dengan cara
mengggalakan lembaga-lembaga yang sudah ada dan yang akan
dikembangkan untuk melakukan pendidikan, pelatihan, bimbingan dan
konsultasi dalam rangka peningkatan kemampuan manajerial, teknik produksi,
mutu produk, pelayanan dan pemasaran.
61
Biro Hukum dan Organisasi Departemen Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah,
Instruksi Presiden No. 10 Tahun 1999, (Jakarta: Tpn, 1999), h. 7 62
Biro Hukum dan Organisasi Departemen Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah,
Instruksi Presiden No. 10 Tahun 1999, h. 8
52
Bidang lain yang tidak kalah pentingnya dalam upaya meningkatkan
pemberdayaan usaha kecil dan menengah adalah bidang perizinan yaitu
dengan cara menyederhanakan sistem dan prosedur perizinan terutama
pendirian, pembiayaan dan pengembangan.63
Selain kebijakan-kebijakan pemerintah dan Instruksi Presiden di atas
tentang pemberdayaan atau permodalan, pemerintah juga melalui bank-bank
pelaksana seperti BNI, BRI, BTN, BDN, BBD, Bank EXIM dan BAPINDO
memberikan kredit untuk pengembangan usaha kecil dan menengah yang
disebut Kredit Modal Kerja Usaha Kecil dan Menengah (KMK-UKM) adalah
kredit modal kerja yang diberikan pada usaha kecil dan menengah untuk
membiayai usaha, terutama yang bersifat padat karya yang berorientasi pada
ekspor dan usaha produktif lainnya.64
Bank-bank tersebut menerima dana 100% dari dana BUMN untuk
disimpan dalam bentuk deposito berjangka dan menyalurkan dana tersebut
bagi usaha kecil dan menengah dalam rangka pengembangan usaha padat
karya. Usaha yang dibiayai adalah usaha yang sedang berjalan dan tidak
memerlukan kredit investasi baru dan dapat digunakan retroaktif. Adapun
kredit yang diberikan maksimal Rp. 3.000.000.000,- dengan suku bunga 16%
per tahun.65
63
Biro Hukum dan Organisasi Departemen Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah,
Instruksi Presiden No. 10 Tahun 1999, h. 9 64
Direktorat Jenderal Fasilitas Pembiayaan dan Simpan Pinjam, Himpunan Ketentuan Skim
Kredit Program Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah, h. 48 65
Direktorat Jenderal Fasilitas Pembiayaan dan Simpan Pinjam, Himpunan Ketentuan Skim
Kredit Program Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah, h. 50
53
Namun demikian, hal ini kurang memberikan solusi bagi usaha kecil
dan menengah khususnya usaha kecil dan menengah yang tidak ingin repot
dengan prosedur-prosedur permohonan kredit tersebut dan merasa keberatan
dengan beban suku bunga yang harus dibayar. Oleh sebab itu, BMT
mengambil peran sebagai lembaga alternatif yang menyediakan pembiayaan
dengan prosedur yang relatif mudah tanpa membebankan suku bunga tertentu,
melainkan dengan sistem bagi hasil.
54
BAB III
GAMBARAN UMUM BMT AL-KARIM
A. Sejarah Singkat BMT Al-Karim
Berdirinya BMT Al-Karim berawal dari partisipasi para pendiri pendidikan
dan latihan manajemen zakat dan ekonomi syari’ah yang diadakan oleh Dhompet
Dhu’afa Republika pada tanggal 11 Januari sampai dengan 15 Januari 1995 di
Yogyakarta. Diklat ini juga dihadiri oleh beberapa peserta dari berbagai daerah.
Dalam acara tersebut hadir pula wakil dari remaja Pondok Indah. Setelah mengikuti
diklat tersebut kemudian mereka sepakat untuk mendirikan BMT di masjid raya
Pondok Indah dengan pertimbangan kondisi sosial masyarakat kecil di sekitarnya.
Sesudah itu mereka magang di BPR Syari’ah Bina Amwalul Hasanah dan
mengadakan kerja sama dengan remaja masjid lainnya. Dengan memperoleh
dukungan penuh dari pengurus masjid raya Pondok Indah, maka berdirilah BMT
yang diberi nama BMT Al-Karim pada tanggal 15 Juli 1995 di masjid raya Pondok
Indah.1
Pada tanggal 30 Desember 1996, BMT Al-Karim memperoleh legalitas dari
Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil dengan akta Pendirian
Koperasi Karyawan Yayasan Al-Karim dengan Surat Keputusan No.
534/BH/KDK.9/XII/1996 yang disahkan oleh Menteri Koperasi dan Pembinaan
Pengusaha Kecil.
1Andrie, Staf HRD dan Administrasi Pembiayaan BMT Al-Karim, Wawancara Pribadi,
Jakarta, 15 Juni 2009
55
Kemudian pada pertengahan Juni 1999, BMT Al-Karim yang semula
berlokasi di masjid raya Pondok Indah pindah ke pasar Jaya Pondok Indah karena
lahan yang semula digunakan oleh BMT Al-Karim difungsikan untuk kepentingan
masjid raya Pondok Indah. Selanjutnya pada tahun 2000, BMT Al-Karim yang
merupakan lembaga usaha berbentuk koperasi syari’ah disahkan oleh Menteri
Koperasi dengan SK Menteri Negara Koperasi dan Pembinaan Usaha Kecil dan
Menengah RI dengan No. 77/BH/KDK.9.4/X/2000.
Mengingat Pondok Indah merupakan kawasan bisnis yang perkembangannya
selalu meningkat tiap tahunnya, maka BMT Al-Karim mencari solusi alternatif yang
dianggap cukup strategis dalam mengembangkan usahanya. Oleh sebab itu pada
tanggal 2 Maret 2006, BMT Al-Karim kemudian menempati gedung baru di wilayah
Cipulir tepatnya di Cipulir Center Blok B-8 Jalan Ciledug Raya – Kebayoran Lama –
Jakarta Selatan 12230 Telp. (021) 7227204.
B. Visi dan Misi BMT Al-Karim
BMT Al-Karim sebagai lembaga keuangan yang Islami memiliki visi yaitu
terwujudnya lembaga keuangan Islam yang memiliki jaringan luas, berkomitmen
terhadap syari’ah serta berorientasi pada usaha mikro dan kecil serta ditunjang oleh
sumber daya insani yang profesional, cerdas, inovatif dan bertaqwa.2
BMT Al-Karim memiliki misi yang ingin dicapai dalam menjalankan
aktivitas usahanya. Adapun misi BMT Al-Karim adalah sebagai berikut :3
2Andrie, Staf HRD dan Administrasi Pembiayaan BMT Al-Karim, Wawancara Pribadi
3Andrie, Staf HRD dan Administrasi Pembiayaan BMT Al-Karim, Wawancara Pribadi
56
1. Mengembangkan lembaga keuangan Islam yang kuat, terpercaya dan memiliki
jaringan yang luas.
2. Memiliki sumber daya insani yang profesional, cerdas, inovatif dan bertaqwa.
3. Memiliki komitmen tinggi untuk menjadikan lembaga keuangan murni sesuai
dengan syari’ah yang berorientasi pada usaha mikro dan kecil.
4. Mensejahterakan masyarakat yang memiliki kepentingan.
C. Prinsip Operasional BMT Al-Karim
Sebagai lembaga non bank, BMT Al-Karim melakukan kegiatan
operasionalnya secara konsisten dengan mengacu kepada ketetapan-ketetapan syar’i
sebagaimana terkandung dalam Al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW secara ijma’
dan fatwa ulama. Sedangkan dalam menjalankan usahanya, BMT Al-Karim
menerapkan prinsip-prinsip syari’ah yang antara lain adalah sebagai berikut :4
1. Mudharabah, yaitu prinsip kerja sama antara dua pihak, di mana pihak pertama
(BMT Al-Karim) menyediakan dana penuh (100%) sebagai modal, sedangkan
pihak menjadi pengelola usahanya. Kerugian ditanggung oleh pihak BMT Al-
Karim selama kerugian itu bukan akibat kelalaian dari pihak pengelola, dan
keuntungan dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan.
2. Musyarakah, yaitu prinsip kerja sama antara kedua belah pihak atau lebih untuk
usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan
kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama.
4Andrie, Staf HRD dan Administrasi Pembiayaan BMT Al-Karim, Wawancara Pribadi
57
3. Murabahah, yaitu prinsip jual beli barang antara penjual dan pembeli dengan
harga asal yang diketahui bersama, kemudian ditambahkan keuntungan tertentu
untuk si penjual sesuai dengan kesepakatan.
4. Ba’i al-Istishna’, yaitu prinsip kontrak jual beli barang antara pembuat barang dan
pembeli. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli
dengan harga dan cara yang pembayarannya telah disepakati bersama.
5. Ijarah wa itiqna, yaitu prinsip atau aqad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan
barang di tangan si penyewa.
D. Produk Pembiayaan BMT Al-Karim
BMT Al-Karim mengklasifikasikan produk-produknya ke dalam tiga
golongan yaitu Baitut Tamwil, Baitul Maal dan sektor riil. Propduk Baitut Tamwil
yang terdapat pada BMT Al-Karim adalah produk simpanan. Produk ini terdiri atas
simapanan mudharabah, deposito mudharabah, simpanan pendidikan Al-Karim,
simpanan Idul Fitri dan simpanan qurban.5
Sedangkan produk Baitul Maal terdiri atas beasiswa, orang tua asuh,
pengobatan gratis dan lembaga amil zakat, infaq dan shadaqah. Adapun produk pada
sektor riil ini dapat dibuktikan dengan banyaknya anggota yang tersebar di berbagai
pasar dengan beragam jenis usaha merupakan potensi untuk pengembangan sektor riil
yang sangat potensi al dan menguntungkan. Aktivitas BMT Al-Karim pada sektor riil
ini dapat dilihat pada pendirian PT. Cipta Piranti Usaha, yaitu anak perusahaan BMT
5Andrie, Staf HRD dan Administrasi Pembiayaan BMT Al-Karim, Wawancara Pribadi
58
Al-Karim yang bergerak di bidang jasa teknologi informasi dan konsultan
manajemen. Sektor riil lainnya adalah Al-Karim Training Center, yaitu kegiatan yang
bergerak di bidang Pelatihan dan Pengelolaan BMT untuk mewujudkan keinginan
dalam membantu perekonomian umat sekaligus mensyi’arkan ekonomi syari’ah
melalui Pelatihan dan Pendidikan BMT.
Selain produk-produk tersebut, BMT Al-Karim masih memiliki produk lain
yang disebut dengan produk pembiayaan. Produk pembiayaan yang terdapat pada
BMT Al-Karim antara lain adalah pembiayaan mudharabah, musyarakah,
murabahah, ijarah dan rahn. Oleh sebab itu, dalam rangka meningkatkan peran BMT
bagi kehidupan masyarakat, maka BMT Al-Karim terbuka untuk menciptakan produk
baru. Tetapi produk tersebut harus memenuhi syarat-syarat antara lain adalah sesuai
dengan prinsip syari’ah dan disetujui oleh Dewan Syari’ah Nasional, dapat ditangani
oleh sistem operasi BMT yang bersangkutan dan yang terpenting adalah dapat
membawa kemaslahatan bagi masyarakat.
E. Struktur organisasi BMT Al-Karim
Struktur organisasi merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan
antara fungsi-fungsi yang terdapat dalam suatu organisasi. Organisasi dapat dipahami
sebagai suatu proses perencanaan yang meliputi penyusunan, pengembangan dan
pemeliharaan suatu struktur atau pola hubungan-hubungan kerja dari orang-orang
dalam suatu kelompok kerja. Dengan demikian, organisasi adalah suatu wadah dan
59
tempat orang-orang yang mempersatukan kecakapan-kecakapan dan usaha-usaha
mereka dalam mencapai perusahaan tak terkecuali BMT Al-Karim.
Untuk memperlancar tugas BMT Al-Karim, maka diperlukan struktur yang
mendeskripsikan alur kerja yang harus dilakukan oleh personil yang terdapat pada
BMT tersebut. Struktur organisasi BMT Al-Karim meliputi pembina dan pengarah
manajemen, pembina dan pengawas syari’ah, Dewan Pengawas, susunan pengurus
dan susunan pengelola.
Adapun tugas dari masing-masing struktur di atas adalah sebagai berikut :
1. Pembina dan pengarah manajemen merupakan pemegang kekuasaan tertinggi
dalam memutuskan kebijakan-kebijakan makro BMT Al-Karim.
2. Pembina dan pengawas syari’ah bertugas melakukan pembinaan dan melakukan
pengawasan serta menilai operasionalisasi BMT Al-Karim.
3. Dewan Pengawas bertugas melakukan koordinasi pengawasan dan melaporkan
tentang hasil pengawasan kepada pembina dan pengawas syari’ah.
4. Susunan pengurus bertugas menempatkan posisi karyawan yang sesuai dengan
kemampuannya.
5. Susunan pengelola bertugas menunjuk staf-staf yang memiliki sumber daya insani
yang potensi untuk ditempatkan pada masing-masing kemampuannya.
Susunan pengelola BMT Al-Karim terdiri atas direktur pembiayaan dan
funding, direktur pengawas dan pengembangan, direktur keuangan dan operasional,
manajemen pembiayaan, legal support, kepala bagian pembiayaan, kepala bagian
60
personalia, kepala bagian pembukuan dan keuangan, teller, office marketing,
remedial, administrasi pembiayaan, EDP, administrasi simpanan dan office boy.
Dalam struktur organisasi BMT Al-Karim, musyawarah anggota pemegang
simpanan pokok melakukan koordinasi dengan Dewan Pengawas Syari’ah dan
Pembina Manajemen dalam mengambil kebijakan-kebijakan yang akan dilakukan
oleh manajer. Manajer memimpin kesinambungan maal dan tamwil. Tamwil terdiri
atas pemasaran, kasir dan pembukuan. Sedangkan anggota dan nasabah berhubungan
secara koordinatif dengan maal, pemasaran, kasir dan pembukuan.
Namun pada kenyataannya, setiap BMT memiliki bentuk struktur organisasi
yang berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh ruang lingkup atau wilayah operasi
BMT, efektivitas dalam pengelolaan organisasi BMT, orientasi program kerja yang
akan direalisasikan dalam jangka pendek dan jangka panjang serta jumlah sumber
daya manusia yang diperlukan dalam menjalankan operasi BMT. Demikian pula
halnya dengan struktur organisasi BMT Al-Karim. Struktur organisasi BMT Al-
Karim tidak jauh berbeda dengan struktur-struktur organisasi BMT lainnya. Dengan
demikian, BMT Al-Karim memiliki struktur organisasi yang memang tidak jauh
berbeda dengan struktur organisasi yang terdapat pada BMT-BMT lainnya. Artinya
induk organisasi BMT Al-Karim selalu mengacu pada peraturan-peraturan BMT yang
sudah ada pada sebelumnya.
Untuk lebih jelasnya tentang struktur organisasi BMT Al-Karim ini dapat
diilustrasikan pada bagan sebagai berikut :
61
STRUKTUR ORGANISASI BMT AL-KARIM
MAT
PENGURUS
Pembina dan
Pengawas Syariah
Pembina dan
Pengawas Manajemen
DIREKTUR
Sektor
Riil
Manager
Operasional
Manager
Baitul Maal
Manager
Pembiayaan
Manager
Remedial
Kabag
Layanan
Operasi
Manager
Operasional
Kabag.
Accounting
Kabag.
ADM dan
Hukum
AO.
Group
Baitul
Maal
Teller 1 Adm Simp
& Deposito
Accounting EDP Legal
& CI
Adm Pemb.
& LN
Staff
62
BAB IV
PROSEDUR PEMBIAYAAN MUDHARABAH BAGI USAHA KECIL
DAN MENENGAH PADA BMT AL-KARIM
A. Praktek Pembiayaan Mudharabah Bagi Usaha Kecil dan Menengah Pada
BMT Al-Karim
Secara garis besar pembiayaan mudharabah dapat diklasifikasikan ke dalam
dua golongan yaitu mudharabah mutlaqah dan mudharabah muqayyadah.
Mudharabah mutlaqah adalah salah satu jenis mudharabah di mana pemilik usaha
atau mudharib diberikan hak yang tidak terbatas untuk melakukan investasi oleh
pemilik modal atau shohibul maal. Sedangkan mudharabah muqayyadah merupakan
salah satu jenis mudharabah di mana pemilik usaha dibatasi haknya oleh pemilik
modal yang antara lain dalam hal jenis usaha, waktu, tempat usaha, dan lain-lain.
Penerapan mudharabah mutlaqah dapat berupa tabungan dan deposito
sehingga terdapat dua jenis himpunan dana yaitu tabungan mudharabah dan deposito
mudharabah. Berdasarkan prinsip ini, tidak ada pembatasan bagi BMT Al-Karim
dalam menggunakan dana yang dihimpun.
Dalam prakteknya, BMT Al-Karim menerapkan jenis mudharabah mutlaqah
bagi usaha kecil dan sangat kecil. Artinya para pengusaha kecil dan sangat kecil
diberikan kebebasan untuk mengelola usahanya tanpa ikut campur pihak pemilik
dana. Dalam pemberian pembiayaan mudharabah mutlaqah kepada pengusaha kecil
63
dan sangat kecil, BMT Al-Karim tidak menetapkan retriksi atau syarat-syarat tertentu
kepada mudharib. Hal ini disebabkan pemberian pembiayaan mudharabah bagi usaha
kecil dan sangat kecil tergolong relatif kecil yaitu antara Rp. 100.000,- sampai dengan
Rp. 5.000.000,-1
Program pembiayaan mudharabah BMT Al-Karim mengacu kepada usaha
kecil dan sangat kecil dengan bantuan pembiayaan mudharabah sebesar Rp. 100.000,-
sampai dengan Rp. 5.000.000,- dengan batas maksimal pembiayaan mudharabah
selama 4 bulan atau 100 hari. Untuk pemberian pinjaman, BMT Al-Karim mengacu
kepada kuantitas peminjam bukan pada kualitas besarnya pinjaman. Hal ini dilakukan
untuk meghindari resiko serta demi pemerataan bantuan peminjaman. Untuk realisasi
pembiayaan mudharabah dilakukan dari tanggal 1 sampai dengan tanggal 20 dengan
batas maksimal per hari Rp. 5.000.000,- Dengan demikian, tanggal 20 sampai dengan
30 digunakan untuk menarik setoran, simpanan serta persiapan untuk nasabah yang
akan mengambil simpanannya. Dari segi likuiditas ini sangat membantu agar BMT
Al-Karim tiap bulannya selalu dalam keadaan likuid karena adanya pembiayaan
mudharabah.
Dalam produk pembiayaan mudharabah mutlaqah bagi usaha kecil dan sangat
kecil, BMT Al-Karim bertindak sebagai shohibul maal. Pembiayaan mudharabah
mutlaqah diakui saat pembayaran kas atau penyerahan aktiva non kas kepada
mudharib dan pembayaran dari mudharib akan mengurangi saldo pembiayaan
1Andrie, Staf HRD dan Administrasi Pembiayaan BMT Al-Karim, Wawancara Pribadi,
Jakarta, 15 Juni 2009
64
mudharabah mutlaqah. Pembayaran tersebut dapat dilaksanakan bersamaan dengan
distribusi bagi hasil atau pada saat jatuh tempo.
Penetapan nisbah bagi hasil pembiayaan mudharabah mutlaqah merupakan
hasil kesepakatan dengan nasabah, di sini BMT Al-Karim dapat menentukan expected
return untuk menetapkan nisbah dan nisbah ini sangat tergantung pada resiko dan
projected cash flow setiap bisnis. Pembiayaan mudharabah mutlaqah tidak terbatas
pada jumlah pembiayaan mudharabah kas dan non kas, kerugian atas penurunan
aktiva mudharabah jika ada dan prosentase dana pada investasi tidak terikat yang
signifikan berdasarkan kepemilikan perorangan dan atau badan hukum.
Untuk pengusaha menengah, maka BMT Al-Karim menggunakan jenis
mudharabah muqayyadah dalam memberikan pembiayaan. Sebab dalam pembiayaan
jenis mudharabah muqayyadah ini, BMT Al-Karim boleh menetapkan batasan-
batasan atau syarat-syarat tertentu guna menyelamatkan modalnya dari resiko
kerugian. Bila nasabah tidak mampu memenuhi syarat-syarat atau batasan-batasan
ini, maka ia harus bertanggung jawab atas kerugian yang timbul. Hal ini disebabkan
dana yang disalurkan oleh pihak BMT Al-Karim bagi usaha menengah minimal Rp.
50.000.000,- sampai dengan Rp. 600.000.000,-
Untuk memperoleh pembiayaan mudharabah muqayyadah yang berkisar
antara Rp. 50.000.000,- sampai dengan Rp. 600.000.000,- maka pihak BMT Al-
Karim berhak untuk meminta jaminan dari pengusaha menengah guna
menyelamatkan investasinya. Dana yang diberikan oleh pihak BMT Al-Karim bagi
usaha menengah biasanya digunakan untuk usaha dalam beberapa sektor terbatas
65
misalnya pertanian, manufaktur dan jasa. BMT Al-Karim juga boleh mensyaratkan
dananya hanya boleh digunakan untuk pembiayaan di sektor pertambangan, property
dan pertanian. Selain berdasarkan sektor, BMT Al-Karim juga dapat saja
mensyaratkan berdasarkan jenis aqad yang digunakan misalnya hanya boleh
digunakan berdasarkan aqad penjualan cicilan, penyewaan cicilan saja atau kerja
sama usaha saja.
Penetapan nisbah bagi hasil pembiayaan mudharabah muqayyadah tidak jauh
berbeda dengan nisbah bagi hasil pada pembiayaan mudharabah mutlaqah. Besarnya
bagi hasil tergantung pada kesepakatan antara pihak pengusaha menengah dengan
pihak BMT Al-Karim. Dengan demikian, praktek pembiayaan mudharabah bagi
usaha kecil dan menengah pada BMT Al-Karim terletak pada jenis mudharabah yang
digunakan. Untuk usaha kecil dan sangat kecil, BMT Al-Karim menggunakan jenis
mudharabah mutlaqah dalam hal pemberian pembiayaan. Sedangkan bagi usaha
menengah, BMT Al-Karim menggunakan jenis mudharabah muqayyadah dalam hal
pemberian pembiayaan, karena dalam mudharabah muqayyadah ini pihak BMT Al-
Karim yang bertindak sebagai shohibul maal boleh menetapkan restriksi atau syarat-
syarat dan batasan-batasan tertentu kepada mudharib guna menyelamatkan modalnya
dari resiko kerugian. Pembiayaan yang diberikan oleh pihak BMT Al-Karim bagi
usaha menengah tidaklah sedikit yakni berkisar antara Rp. 50.000.000,- sampai
dengan Rp. 600.000.000,- Oleh sebab itu, sangatlah wajar bila BMT Al-Karim
merasa khawatir akan modal yang telah diberikan atau disalurkannya bagi usaha
menengah.
66
Dari kedua jenis pembiayaan tersebut, dapat analisis bahwa perbedaan yang
sangat mencolok antara sistem mudharabah mudharabah mutlaqah dan mudharabah
muqayyadah adalah terletak pada jumlah pembiayaan. Bagi usaha kecil, pembiayaan
yang diberikan berkisar antara Rp. 100.000,- sampai dengan Rp. 5.000.000,-
Sedangkan bagi usaha menengah pembiayaan yang diberikan berkisar antara Rp.
50.000.000,- sampai dengan Rp. 600.000.000,- Hal ini disebabkan pengusaha kecil
diberikan kebebasan untuk mengelola modal tersebut, tetapi bagi pengusaha
menengah dituntut untuk menyerahkan jaminan guna menyelamatkan investasi
pemilik modal.
B. Distribusi Pembiayaan Mudharabah Bagi Usaha Kecil dan Menengah Pada
BMT Al-Karim
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pemerataan distribusi dan manfaat
pembiayaan mudharabah di kalangan para nasabah yang salah satu di antaranya
adalah keragaman status sosial ekonomi nasabah. Analisa kelayakan usaha yang
dilakukan pengelola BMT Al-Karim menunjukkan status sosial ekonomi nasabah
dalam mempengaruhi besarnya pembiayaan mudharabah yang mereka peroleh. Hal
ini sangat berkaitan dengan kemampuan mereka dalam pengembalian pembiayaan
mudharabah dalam bentuk bagi hasil.2
Faktor lain yang dapat mempengaruhi pemerataan distribusi dan manfaat
pembiayaan mudharabah di kalangan para nasabah adalah penetapan batas maksimal
2Andrie, Staf HRD dan Administrasi Pembiayaan BMT Al-Karim, Wawancara Pribadi
67
jumlah pembiayaan mudharabah. Pembiayaan mudharabah yang diberikan oleh BMT
Al-Karim bagi usaha kecil dan sangat kecil berkisar antara Rp. 100.000,- sampai
dengan Rp. 5.000.000,- Sedangkan bagi usaha menengah berkisar antara Rp.
50.000.000,- sampai dengan Rp. 600.000.000,- Dalam satu bulan, BMT Al-Karim
menetapkan seluruh pinjaman bagi usaha kecil dan sangat kecil sebesar Rp.
60.000.000,- Sedangkan bagi usaha menengah sebesar Rp. 150.000.000,- BMT Al-
Karim menyalurkan pembiayaan mudharabah antara tanggal 1 sampai dengan 15 tiap
bulannya dan setelah itu ada waktu penarikan angsuran. Penyaluran pembiayaan
mudharabah setiap harinya dibatasi oleh BMT Al-Karim sebesar Rp. 4.000.000,- bagi
usaha kecil dan sangat kecil, sedangkan bagi usaha menengah sebesar Rp. 50.000.000,-
Persetujuan tentang besarnya pembiayaan mudharabah dan prakteknya mau
tidak mau dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan pihak pengelola yang
sifatnya subyektif. Namun subyektivitas ini tidak selalu merugikan nasabah yang
status sosial ekonominya rendah atau miskin, sehingga terlihat bahwa ketentuan besar
kecilnya pembiayaan mudharabah yang diberikan antara nasabah diukur menurut
kemampuan ekonominya. Akan tetapi ada batas maksimum pembiayaan mudharabah
yang terhindar dari terjadinya peminjaman yang berlebihan oleh nasabah yang
termasuk dalam kategori mampu.
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya yang dapat mempengaruhi
pemerataan distribusi dan manfaat pembiayaa mudharabah di kalangan para nasabah
adalah batas frekuensi peminjaman. Frekuensi peminjaman nasabah ditentukan oleh
kecepatan nasabah dalam mengembalikan pinjaman dalam bentuk bagi hasil. Jika
68
nasabah melunasi pembiayaan mudharabah sebelum jatuh tempo, maka ia dibolehkan
mengajukan pembiayaan mudharabah. Hal ini memungkinkan nasabah yang lebih
mampu untuk meminjam lebih sering dari nasabah yang kurang mampu. Jika para
nasabah mampu mengembalikan pembiayaan mudharabah ini secara tepat waktu,
maka pihak BMT Al-Karim akan mudah menyalurkan pembiayaan mudharabah ini.
Penyaluran pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan sangat kecil tidak
memerlukan persyaratan yang relatif rumit, karena modal yang disalurkan juga relatif
kecil. Sedangkan penyaluran pembiayaan bagi usaha menengah diperlukan
persyaratan yang cukup lengkap dalam memperoleh pembiayaan mudharabah. Dalam
menyalurkan pembiayaan mudharabah bagi usaha menengah, pihak BMT Al-Karim
selalu berpedoman pada prinsip 5C yang diharapkan dapat memberikan informasi
tentang itikad baik dan kemampuan membayar nasabah untuk melunasi kembali
pinjaman. Salah satu dari prinsip 5C tersebut adalah karakter.
Karakter yaitu penilaian watak atau kepribadian calon debitur dimaksudkan
untuk mengetahui kejujuran dan itikad baik calon debitur untuk melunasi atau
mengembalikan pinjamannya. Selain karakter, prinsip dari 5C lainnya adalah
kapasitas, yaitu BMT Al-Karim harus meneliti tentang keahlian calon debitur dalam
bidang usahanya dan kemampuan manajerialnya, sehingga BMT Al-Karim yakin
bahwa usaha yang akan dibiayainya dikelola oleh orang-orang yang tepat, sehingga
calon debiturnya dalam jangka waktu tertentu mampu melunasi pinjamannya.
Prinsip 5C lainnya bagi usaha menengah yang berkaitan dengan penyaluran
pembiayaan mudharabah adalah capital atau modal. Dalam hal ini, pihak BMT Al-
69
Karim harus melakukan analisis terhadap posisi keuangan secara menyeluruh tentang
masa lalu dan yang akan datang, sehingga dapat diketahui kemampuan permodalan
calon debitur dalam menunjang pembiayaan proyek atau usaha calon debitur yang
bersangkutan. Persoalan lainnya yang harus diperhatikan oleh BMT Al-Karim dalam
prinsip 5C adalah kondisi.
Kondisi yang harus diperhatikan oleh BMT Al-Karim dalam memberikan
pembiayaan mudharabah bagi usaha menengah antara lain adalah kondisi ekonomi
yang akan mempengaruhi perkembangan usaha calon nasabah, kondisi calon nasabah
yang dibandingkan dengan usaha satu jenis dan lokasi di lingkungan usahanya,
keadaan pemasaran dari calon nasabah, prospek usaha di masa yang akan datang dan
kebijakan pemerintah yang mempengaruhi prospek industri di mana perusahaan calon
nasabah terkait di dalamnya.
Prinsip dari 5C yang tidak kalah pentingnya yang dijadikan pedoman oleh
pihak BMT Al-Karim dalam menyalurkan pembiayaan mudharabah bagi usaha
menengah adalah collateral atau jaminan. Jaminan merupakan barang yang harus
diberikan oleh calon nasabah kepada pihak BMT Al-Karim selaku shohibul maal.
Jaminan dapat berupa fisik dan non fisik. Jaminan dimaksud harus mampu
mengcover resiko bisnis calon nasabah.
Untuk mengantisipasi penyimpangan modal yang telah disalurkan oleh pihak
BMT Al-Karim kepada calon nasabah usaha menengah, maka BMT Al-Karim
menerapkan prinsip prudensial dalam manajemen pembiayaan mudharabah yang
dibagi menjadi dua tahap yaitu sebelum realisasi pembiayaan mudharabah dan
70
sesudah realisasi pembiayaan mudharabah. Sebelum realisasi pembiayaan
mudharabah ada beberapa tahap yang harus diperhatikan oleh pihak BMT Al-Karim.
Tahap-tahap tersebut adalah tahap permohonan pembiayaan mudharabah, tahap
analisa pembiayaan mudharabah, tahap persetujuan, tahap perjanjian dan tahap
pencairan.
Setelah realisasi pembiayaan, maka dana diarahkan kepada pembiayaan
sebagaimana yang diajukkan dalam persetujuan antara pihak BMT Al-Karim dengan
pihak nasabah. Untuk menghindari penyimpangan modal oleh pihak nasabah usaha
menengah, maka pihak BMT Al-Karim harus melakukan pemantauan atas aktivitas
bisnis nasabah, sehingga dapat diketahui secara dini apabila terjadi ketidaksesuaian
dengan tujuan pembiayaan mudharabah yang telah disepakati bersama. Tahap
pemantauan ini dimulai dari pencairan pembiayaan mudharabah dan berakhir setelah
kewajiban kepada BMT Al-Karim dilunasi nasabah.
Selain itu, tidak semua pembiayaan mudharabah yagn telah disalurkan BMT
Al-Karim bagi usaha menengah dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan
tujuannya, ada di antaranya yang tidak produktif dan mengalami kemacetan. Hal ini
dapat mengancam kehidupan BMT Al-Karim, karena dana pembiayaan mudharabah
yang disalurkan sebagian besar berasal dari simpanan masyarakat. Demikian pula
dengan penghasilan utama BMT Al-Karim berasal dari bagi hasil dan margin yang
ditentukan pada jenis-jenis pembiayaan yang disalurkan. Oleh sebab itu, BMT Al-
Karim sangat hati-hati dalam menentukan nasabah usaha menengah yang
menggunakan jenis pembiayaan mudharabah.
71
Selain menyalurkan pembiayaan mudharabah, BMT Al-Karim memiliki
produk-produk simpanan yang salah satunya adalah simpanan mudharabah.
Simpanan mudharabah adalah simpanan dana pihak ketiga yang dapat diinvestasikan
oleh BMT Al-Karim dan pihak nasabah akan mendapatkan bagi hasil dari pendapatan
atas dana tersebut. Simpanan ini dapat diambil setiap saat oleh pihak nasabah.
C. Proses Pembiayaan Mudharabah Bagi Usaha Kecil dan Menengah Pada
BMT Al-Karim
Proses pembiayaan adalah suatu gambaran sifat atau metode untuk
melaksanakan kegiatan pembiayaan. Setiap pejabat BMT Al-Karim yang
berhubungan dengan pembiayaan harus menempuh prosedur pembiayaan yang sehat
yang meliputi prosedur persetujuan, pembiayaan prosedur administrasi serta prosedur
pengawasan pembiayaan. Persetujuan pembiayaan kepada setiap nasabah harus
dilakukan melalui proses penilaian yang obyektif terhadap berbagai aspek yang
berhubungan dengan obyek pembiayaan, sehingga memberikan keyakinan kepada
semua pihak yang terkait, bahwa nasabah dapat memenuhi segala kewajibannya
sesuai dengan persyaratan dan jangka waktu yang telah disepakati. Apabila terjadi
suatu hal yang kemudian menyebabkan ketidakmampuan nasabah untuk memenuhi
kewajibannya, maka BMT Al-Karim benar-benar telah menguasai jaminan sebagai
solusinya.
Persetujuan pembiayaan hanya dilakukan oleh pejabat yang memiliki
wewenang untuk memutus pembiayaan. Keputusan pembiayaan harus didasarkan atas
72
penilaian terhadap seluruh pembiayaan yang sedang dan akan dinikmati oleh
pemohon secara bersamaan. Pengertian pemohon juga meliputi seluruh perusahaan
dan perorangan yang terkait dengan pemohon yang sedang dan akan menikmati
fasilitas pembiayaan dari pihak BMT Al-Karim.
Proses pembiayaan mudharabah baik bagi usaha kecil maupun bagi usaha
menengah pada BMT Al-Karim adalah sama. Dalam pemberian pembiayaan
mudharabah, nasabah harus memenuhi persyaratan-persyaratan antara lain photo
copy Kartu Tanda Penduduk, photo copy Kartu Keluarga, Surat Keterangan Domisili
dan adanya jaminan. Setelah nasabah melengkapi permohonan pembiayaan
mudharabah tersebut, maka untuk selanjutnya pihak BMT Al-Karim akan melakukan
analisa kelayakan usaha dengan berbagai pertimbangan melalui sirkulasi pembiayaan
mudharabah dan prosedur penyaluran pembiayaan mudharabah.
Adapun proses pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah pada
BMT Al-Karim adalah sebagai berikut :
1. Nasabah yang mengajukkan pembiayaan mudharabah melengkapi
permohonan pembiayaan yaitu berupa photo copy Kartu Tanda Penduduk,
photo copy Kartu Keluarga, Surat Keterangan Domisili dan menyerahkan
jaminan bagi usaha menengah.
2. Staf marketing memberikan permohonan pembiayaan yang diminta dari
administrasi pembiayaan kepada nasabah.
3. Calon nasabah mengisi permohonan pembiayaan dan menyerahkan
kelengkapan pengajuan pembiayaan kepada staf marketing.
4. Staf marketing memberikan permohonan pembiayaan yang telah diisi oleh
calon nasabah kepada bagian administrasi pembiayaan untuk dicatat di buku
realisasi pembiayaan.
5. Staf marketing melakukan analisa kelayakan usaha terhadap nasabah.
6. Staf marketing melaporkan pembiayaan tersebut kepada kepala bagian
marketing untuk mendapatkan persetujuan.
7. Apabila berdasarkan analisa kelayakan tersebut permohonan dikabulkan,
maka akan disusun penjadwalannya sesuai dengan kebutuhan. Selanjutnya
73
seluruh realisasi dilengkapi dengan surat perjanjian dan pengakuan harga,
kuitansi dan kartu pendukung seperti kartu angsuran. Namun jika permohonan
itu ditolak, maka data permohonan diserahkan kembali seluruhnya kepada
pemilik atau dikumpulkan sebagai arsip.
8. Seluruh surat perjanjian dan pengeluaran harga serta kuitansi yang sudah sah
harus dikumpulkan kepada bagian administrasi pembiayaan untuk dijadikan
arsip.
9. Seluruh data yang telah direalisasikan pembiayaannya oleh kepala bagian
keuangan, segera dikembalikan kepada bidang administrasi pembiayaan untuk
dicatat dalam data nasabah pada buku realisasi pembiayaan.3
Adapun pertimbangan utama yang digunakan BMT Al-Karim dalam
memberikan pembiayaan mudharabah adalah sebagai berikut : 4
1. Pertimbangan ekonomis, yaitu dengan cara melakukan analisa kelayakan usaha di
mana BMT Al-Karim dalam memberikan pembiayaan kepada nasabah didasarkan
pada kebutuhan modal para nasabah dan kemampuannya dalam mengembalikan
atau membayar angsuran pengembalian.
2. Karakter nasabah, hal ini diperoleh dari informasi nasabah yang lain jika ia
nasabah baru dan pengalaman angsuran jika ia nasabah lama.Analisa pasar, yaitu
pengelola dalam memberikan pembiayaan mudharabah kepada nasabah melihat
segment pasar, potensi pasar, pesaing nasabah dan lokasi atau tempat usaha
nasabah.
3. Pertimbangan kemanusiaan dan sosial, misalnya membantu pedagang dari jeratan
rentenir atau pinjaman dari lembaga perkreditan lain yang memberatkan para
pedagang kecil atau untuk membantu nasabah yang membutuhkan bantuan
3Andrie, Staf HRD dan Administrasi Pembiayaan BMT Al-Karim, Wawancara Pribadi
4Andrie, Staf HRD dan Administrasi Pembiayaan BMT Al-Karim, Wawancara Pribadi
74
meskipun bukan untk keperluan modal usaha dengan syarat ia mempunyai usaha
yang layak.
4. Sebagai sarana menjalin silaturahmi terhadap nasabah BMT Al-Karim. Hal ini
diperlukan untuk menjamin keamanan keberadaan BMT Al-Karim, sehingga
dengan pertimbangan ini mungkin pedagang yang diberikan pembiayaan
mudharabah tidak memerlukan modal lagi karena usahanya sudah meningkat atau
sudah maju. 5
Sementara tujuan yang ingin dicapai oleh BMT Al-Karim dalam memberikan
pembiayaan mudhrabah kepada nasabah adalah meningkatkan pemasukan usaha
nasabah, meningkatkan pendapatan nasabah daan meningkatkan kesejahteraan
nasabah.
Pada dasarnya pembiayaan mudharabah yang diberikan oleh BMT Al-Karim
difokuskan hanya untuk usaha kecil dan sangat kecil di pasar. Hal ini disebabkan
pasar adalah tempat berkumpulnya para pedagang kecil, sehingga dianggap lebih
efisien dan ekonomis dari jangkauan para staf marketing BMT Al-Karim. Selain itu,
pasar memiliki nilai ekonomi yang tinggi karena paar merupakan tempat yang sangat
strategis untuk menjual produk.
Namun baik bagi usaha kecil maupun usaha menengah, BMT Al-Karim tetap
saja memberlakukan beberapa prosedur untuk memperoleh pembiayaan mudharabah.
Adapun cara-cara dalam memperoleh pembiayaan mudharabah pada BMT Al-Karim
telah pada dasarnya adalah sama. Artinya proses pembiayaa baik bagi usaha kecil dan
5Andrie, Staf HRD dan Administrasi Pembiayaan BMT Al-Karim, Wawancara Pribadi
75
sangat sangat kecil maupun bagi usaha menengah diperlakukan sama oleh BMT Al-
Karim yaitu dengan cara melengkapi permohonan pembiayaan mudharabah yang
selanjutnya pihak BMT Al-Karim akan melakukan analisis kelayakan usaha baik bagi
usaha kecil dan sangat kecil maupun bagi usaha menengah. Untuk lebih jelasnya
tentang prosedur permohonan pembiayaan mudharabah pada BMT Al-Karim dapat
dilihat pada bagan berikut ini.
ALUR PENCAIRAN PEMBIAYAAN MUDHARABAH PADA
BMT AL-KARIM
Sumber : Laporan pembiayaan mudharabah pada BMT Al-Karim 2007
Nasabah Mengajukan Permohonan Pembiayaan
( Isi Surat Permohonan Pembiayaan dan Melengkapi
Data Administrasi )
Wawancara dengan Nasabah yang
kemudian dilanjutkan dengan melihat
data-data surat permohonan pembiayaan.
Kepala Bagian marketing mengutus account officer
untuk melakukan survey guna mengetahui layak atau
tidaknya nasabah mendapatkan pembiayaan
Data nasabah diajukan dalam rapat komite yang terdiri atas 4 orang dari
5 orang yang namanya tercantum dalam kepemilikan saham
BMT Al-Karim
Nasabah yang permohonan pembiayaannya
disetujui akan segera memperoleh dana
pembiayaan
76
D. Kendala BMT Al-Karim Dalam Memberlakukan Pembiayaan Mudharabah
Bagi Usaha Kecil dan Menengah
Dalam memberlakukan prosedur pembiayaan mudharabah, sejauh ini pihak
BMT Al-Karim belum menemukan kendala apapun karena dinilai oleh para pedagang
atau nasabah dapat memenuhi segala prosedur dan persyaratan yang ditetapkan oleh
pihak BMT Al-Karim untuk memperoleh pembiayaan mudharabah. Namun kendala
yang dihadapi oleh pihak BMT Al-Karim adalah rendahnya tingkat pendidikan dari
kebanyakan nasabah usaha kecil dan sangat kecil, BMT Al-Karim menemukan
sedikit kendala yaitu ketika bagian marketing menjelaskan bagaimana sistem
pembiayaan di BMT Al-Karim seperti halnya tentang penetapan bagi hasil, tabungan
maupun jaminan, sehingga terjadi kesalahan komunikasi antara marketing dan pihak
nasabah.6 Akan tetapi dengan penuh kesabaran, pihak marketing akhirnya dapat
menjelaskan secara rinci sehingga tidak ada lagi kesalahpahaman antara kedua belah
pihak.
Kemudian kendala lainnya yang dihadapi oleh pihak BMT Al-Karim dalam
memberlakukan pembiayaan mudharabah terutama bagi usaha menengah adalah
adanya nasabah yang kurang jujur dalam memberikan alasan untuk pengembalian
pembiayaan mudharabah dengan mengatakan bahwa dagangannya sepi atau
proyeknya tidak berjalan dan bahkan ada yang nasabah yang memohon untuk
ditangguhkan pembagian hasilnya. Namun kendala-kendala tersebut lambat laun
dapat diproses oleh BMT Al-Karim, sehingga BMT ini tidak terjebak dalam
permasalahan yang ada.
6Andrie, Staf HRD dan Administrasi Pembiayaan BMT Al-Karim, Wawancara Pribadi
77
Untuk mengantisipasi kendala-kendala tersebut, maka pihak BMT Al-Karim
membuat ketentuan pembiayaan mudharabah. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal
diserahkan secara tunai, dan dapat berupa uang atau barang yang dinyatakan
nilainya dalam satuan uang. Apabila modal diserahkan secara bertahap, maka
tahapannya harus jelas dan disepakati bersama.
2. Hasil dari pengelolaan modal pembiayaan mudharabah dapat diperhitungkan
dengan cara perhitungan dari pendapatan proyek dan perhitungan dari
keuntungan proyek.
3. Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam aqad, pada setiap bulan
atau waktu yang telah disepakati. BMT Al-Karim selaku pemilik modal
menanggung seluruh kerugian, kecuali akibat kelalaian dan penyimpangan
dari pihak nasabah.
4. BMT Al-Karim berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan nasabah,
namun tidak berhak mencampuri urusan pekerjaan atau usaha nasabah. Jika
nasabah tidak mau membayar kewajiban atau menunda kewajiban
pembayarannya, maka ia dapat dikenai sanksi administrasi. 7
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, maka diharapkan tidak ada lagi
kesalahpahaman dengan alasan-alasan lain yang menjadi kendala bagi BMT Al-
Karim. Bila hal ini terjadi, maka dapat mengancam kehidupan BMT Al-Karim,
karena modal pembiayaan mudharabah yang disalurkan sebagian besar berasal dari
simpanan masyarakat. Jika hal ini tidak segera diatasi, maka BMT Al-Karim dapat
dikatakan gagal dalam upaya menumbuhkembangkan ekonomi kerakyatan.
Kegagalan ini merupakan kendala dan sekaligus ancaman yang serius bagi BMT Al-
Karim dalam memberlakukan pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan
menengah.
7Andrie, Staf HRD dan Administrasi Pembiayaan BMT Al-Karim, Wawancara Pribadi
78
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian, penjelasan dan analisa di atas sebagai hasil penelitian yang
berkenaan dengan mekanisme pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan
menengah, maka sebagai upaya mengakhiri pembahasan skripsi ini, penulis
mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Mekanisme pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah pada BMT
Al-Karim adalah secara administrasi nasabah harus memenuhi persyaratan-
persyaratan antara lain photo copy Kartu Tanda Penduduk, photo copy Kartu
Keluarga, Surat Keterangan Domisili dan jaminan khusus bagi usaha menengah.
Setelah nasabah melengkapi permohonan pembiayaan mudharabah, maka
selanjutnya pihak BMT Al-Karim akan melakukan analisa usaha dengan berbagai
pertimbangan melalui sirkulasi pembiayaan dan prosedur penyaluran pembiayaan
mudharabah.
2. Dalam praktek pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah, BMT
Al-Karim berpedoman pada jenis-jenis pembiayaan mudharabah yang terdiri atas
mudharabah mutlaqah dan mudharabah muqayyadah. Mudharabah mutlaqah
merupakan salah satu jenis mudharabah yang digunakan BMT Al-Karim sebagai
pedoman untuk memberikan pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan
79
menengah. Sedangkan mudharabah muqayyadah adalah salah satu jenis
mudharabah yang digunakan BMT Al-Karim sebagai pedoman untuk
memberikan pembiayaan mudharabah bagi usaha menengah.
3. Secara umum, BMT Al-Karim belum menemukan kendala dalam memberlakukan
prosedur pembiayaan mudharabah. Namun ketika berhadapan dengan pengusaha
kecil dan sangat kecil, BMT Al-Karim menemukan kendala yaitu rendahnya
tingkat pendidikan nasabah terutama bagi usaha kecil dan sangat kecil. Hal ini
dapat dibuktikan pada saat bagian marketing menjelaskan bagaimana sistem
pembiayaan di BMT Al-Karim seperti halnya tentang penetapan bagi hasil,
tabungan dan jaminan, sehingga terjadi kesalahapahaman antara marketing
dengan pihak nasabah. Adapun kendala yang dihadapi BMT Al-Karim dalam
menyalurkan pembiayaan bagi usaha menengah adalah adanya nasabah yang
kurang jujur dalam memberikan alasan untuk pengembalian pembiayaan
mudharabah dengan mengatakan bahwa dagangannya sepi atau proyeknya tidak
berjalan, dan lain sebagainya.
4. Dalam prakteknya, BMT Al-Karim menerapkan jenis mudharabah mutlaqah bagi
usaha kecil dan mikro. Sedangkan bagi usaha menengah, BMT Al-Karim
menerapkan jenis mudharabah muqayyadah. Mudharabah mutlaqah merupakan
jenis pembiayaan yang diberikan BMT Al-Karim tanpa ada batasan untuk
melakukan investasi oleh pemilik modal. Sedangkan mudharabah muqayyadah
adalah jenis pembiayaan yang diberikan kepada pengusaha menengah dan haknya
80
dibatasi oleh pemilik modal antara lain dalam jenis usaha, waktu, tempat usaha,
dan lain-lain.
5. Penyaluran pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan mikro tidak
memerlukan persyaratan yang relatif rumit, karena modal yang disalurkan juga
relatif kecil. Sedangkan penyaluran pembiayaan bagi usaha menengah diperlukan
persyaratan yang cukup lengkap guna memperoleh pembiayaan mudharabah.
Dalam melakukan pembiayaan mudharabah bagi usaha menengah, pihak BMT
Al-Karim selalu berpedoman pada 5C yaitu character, capacity, capital, condition
dan collateral yang kesemuanya itu diharapkan dapat memberikan informasi
tentang i’tikad baik dan kemampuan membayar nasabah guna melunasi kembali
pinjaman.
B. Saran-saran
Dari hasil studi dan penela’ahan tentang observasi yang tertuang dalam
pembahasan skripsi ini, kiranya tidak berlebihan jika penulis mengemukakan saran-
saran sebagai berikut :
1. Salah satu jenis pembiayaan yang ada pada BMT Al-Karim adalah pembiayaan
mudharabah. Oleh sebab itu, BMT Al-Karim diharapkan agar lebih selektif dalam
pendistribusian pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah,
sehingga dana tersebut sampai kepada nasabah yang benar-benar membutuhkan
dan memiliki usaha yang produktif.
81
2. Kemampuan sumber daya manusia sangat dibutuhkan dalam pengelolaan BMT
Al-Karim. Oleh karena itu, BMT Al-Karim hendaknya meningkatkan
kemampuan pengelolaan sehingga pengelola terutama staf marketing mampu
menjadi katalisator bagi perkembangan nasabah BMT Al-Karim.
3. Dalam hal aktivitas pembiayaan, BMT Al-Karim memiliki kinerja yang baik dan
dapat dikatakan berhasil karena memiliki nasabah yang cukup banyak, akan tetapi
keberadaannya dinilai kurang dirasakan oleh masyarakat sekitar. Untuk itu, BMT
Al-Karim hendaknya banyak melakukan adaptasi dengan lingkungan sekitar demi
terlaksananya syi’ar dakwah melalui ekonomi syari’ah.
4. Modal yang disalurkan oleh BMT Al-Karim sebagian besar berasal dari simpanan
masyarakat. Oleh sebab itu, para nasabah hendaknya berusaha meningkatkan
sektor-sektor industri yang lebih potensial dengan cara memperluas ruang lingkup
usaha melalui penggunaan modal yang diberikan oleh BMT Al-Karim dan
bertanggung jawab atas pengembalian pembiayaan mudharabah yang telah
disalurkan oleh BMT Al-Karim.
5. Usaha kecil dan menengah merupakan urat nadi perekonomian bangsa yang
banyak memberikan kontribusi bagi bangsa dan negara. Oleh karena itu,
pemerintah hendaknya lebih memperhatikan para pengusaha kecil dan menengah
terutama dalam hal pemberian dana ataupun fasilitas dan pelayanan lainnya yang
mendukung perkembangan usaha kecil dan menengah.
82
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, (Jakarta:
Departemen Agama RI, 1984
A. Rasyid, Saefuddin, Konsep Dasar BMT dalam Republika On Line, Edisi 14
Desember 2001
Abdul Madjied, Baihaqi, et.al., Paradigma Baru Ekonomi Kerakyatan Sistem
Syari’ah; Perjalanan Gagasan dan Gerakan BMT di Indonesia, Jakarta:
PINBUK Press, 2000
Abidin Basri, Ikhwan, Islam dan Tantangan Ekonomi, Jakarta: Gema Insani Press,
2000
al-Shan’any, Subul Al-Salaam, Bandung: Dahlan Press, t.th., Juz II
al-Syarbasi, Ahmad, Al-Mu’jam Al-Iqtishad Al-Islam, Beirut: Daar Al-‘Alimil Kutub,
1987
Amin Azis, M., Pedoman Pendirian BMT, Jakarta: PINBUK Press, 2006
Amin, Hasan, Dasar-Dasar Ekonomi Perusahaan, Jakarta: Pradnya Utama, 1976
Andrie, Staf HRD dan Administrasi Pembiayaan BMT Al-Karim, Wawancara
Pribadi, Jakarta, 15 Juli 2009
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka
Cipta, 1998
Azwar Karim, Adiwarman, Bank Islam; Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta: IIIT
Indonesia, 2003, Cet. ke-1
Balbaki Al-Maurid, Rosi, A Modern Arabic-English Dictionary, Mesir: Daar Al-
Maliyiin, 1993, Edisi IV
Biro Hukum dan Organisasi Departemen Koperasi Pengusaha Kecil dan Menengah,
Instruksi Presiden No. 10 Tahun 1999, Jakarta: Tpn, 1999
Bukhari, Imam, Shahih Al-Bukhari, Beirut: Maktabah Al-Syiriyyah, 1997, Jilid II
Dawam Rahardjo, M., Islam dan Tranformasi Sosial Ekonomi, Jakarta: LSAF, 1999
83
-------------------------, Pembangunan Ekonomi Nasional; Suatu Pendekatan
Pemerataan, Keadilan dan Ekonomi Kerakyatan, Jakarta: PT. Internusa,
1997, Cet. ke-1
Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan
Syari’ah Nasional No. 07/DSN-MUI/IV/2000, Jakarta: MUI, 2000, Edisi I
Direktorat Jenderal Fasilitas Pembiayaan dan Simpan Pinjam, Himpunan Ketentuan Skim
Kerdit Program Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah, Jakarta: Tpn, 1999
Haikal, Muhammad, Sejarah Hidup Muhammad, Bandung: Mizan, 1997
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Hafidz, Bulug Al-Marram Min Adillatil Ahkam, Beirut:
Daar Al-Ihya, 1973
Ismawan, Indra, Sukses di Era Ekonomi Liberal Bagi Koperasi Perusahaan Kecil dan
Menengah, Jakarta: Grasindo, 2001
J. Maleong, Lexy, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998,
Cet. ke-2
Ja’far Hafsah, Muhammad, Kemitraan Usaha Kecil; Konsepsi dan Strategi, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2000
Kasmir, Manajemen Perbankan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001
Lathif, Azharuddin, Fiqh Mu’amalat, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005, Cet. ke-1
Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah, Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005
--------------, Manajemen Dana Bank Syari’ah, Yogyakarta: Ekonosia, 2005, Cet. ke-2
Peraturan Bank Indonesia No. 5/7/PBI/2003, tanggal 19 Mei 2003
Perwaatmadja, Karnaen, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta: Dana Bhakti
Primayasa, 1992, Cet. ke-1
Remy Sjahdeini, Sutan, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum
Indonesia, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999
Ridwan, Muhammad, Manajemen Baitul Maal Wattamwil, Yogyakarta: UII Press,
2004, Cet. ke-1
Rizky, Awalil, Fakta dan Prospek Baitul Maal Wattamwil, Yogyakarta: UCY Press,
2007, Cet. ke-1
84
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Bandung: Al-Ma’arif, 1987, Jilid XII
Sartiko Partomo, Titik, et.al., Ekonomi Skala Kecil, Menengah dan Koperasi, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2002, Cet. ke-1
Syafi’i Antonio, Muhammad, Bank Syari’ah; Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema
Insani Press, 2001, Cet. ke-1
Siddiqi, Nejatullah, Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil Dalam Hukum Islam,
Yogyakarta: Dana Bhakti Primayasa, 1996
Sinungan, Muchdarsyah, Dasar-Dasar dan Teknik Manajemen Kredit, Jakarta: Bina
Aksara, 1983, Cet. ke-1
Singarimbun, Masri, et.al., Metodologi Penelitian Survey, Jakarta: LP3ES, 1994, Cet.
ke-1
Soetrisno, Noer, Peranan Perbankan Sebagai Sumber Pembiayaan Usaha Golongan
Lemah dan Koperasi, Jakarta: Badan Hukum Nasional Departemen
Kehakiman, 1998
Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah; Deskripsi dan Ilustrasi,
Yogyakarta: Ekonosia, 2003, Cet. ke-2
Sumarni, Murti, Marketing Perbankan, Yogyakarta: Liberty, 1997
Sumitro, Warkum, Azas-Azas Perbankan Islam dan Lembaga Terkait di Indoensia,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997
T.H. Tambunan, Tulus, Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia; Beberapa Isu
Penting, Jakarta: Salemba Empat, 2002, Edisi I
Umar Chapra, M., Toward A Just Monetary System, London: The Islamic
Foundation, 1985
Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998, Jakarta: Sinar Grafika, 2001, Cet.
ke-1
Widodo, Hartono, et.al., Panduan Praktis Operasional Bank, Bandung: Mizan, 1999
www.bi.com, diakses pada tanggal 25 Juli 2003
Zulkifli, Sunarto, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syari’ah, Jakarta: Zikrul
Hakim, 2007, Cet. ke-3
LAMPIRAN-LAMPIRAN
HASIL WAWANCARA TENTANG MEKANISME PEMBIAYAAN MUDHARABAH BAGI USAHA KECIL
DAN MENENGAH PADA BMT AL-KARIM
Narasumber : Andrie
Jabatan : HDR dan Administrasi Pembiayaan
Hari/Tanggal : Selasa, 28 Juli 2009
Tempat : BMT Al-Karim
Cipulir Center Blok B-8 Jl. Ciledug Raya
Kebayoran Lama – Jakarta Selatan 12230
Telp. (021) 7227204
Pertanyaan dan jawaban
Tanya : Mohon bapak jelaskan tentang sejarah singkat berdirinya BMT Al-
Karim ?
Jawab : BMT Al-Karim berdiri pada tanggal 15 Juli 1995 di masjid raya Pondok
Indah – Pondok Pinang – Kebayoran Lama – Jakarta Selatan
Tanya : Apa yang melatarbelakangi didirikannya BMT Al-Karim ?
Jawab : Berdirinya BMT Al-Karim dilatarbelakangi oleh semakin banyaknya
lembaga keuangan konvensional yang menerapkan sistem bunga. Untuk
mengantisipasi permasalahan itu, maka didirikanlah BMT Al-Karim.
Berdirinya BMT ini berawal dari partisipasi para pendidikan dan
pelatihan zakat dan ekonomi syari’ah yang diadakan oleh Dhompet
Dhu’afa Republika pada tanggal 11 Januari sampai dengan 15 Januari
1995 di Yogyakarta. Diklat ini juga dihadiri oleh beberapa peserta dari
berbagai daerah. Dalam acara tersebut hadir pula wakil dari remaja
masjid raya Pondok Indah. Setelah mengikuti diklat tersebut kemudian
mereka sepakat untuk mendirikan BMT di masjid raya Pondok Indah
yang kemudian diberi nama BMT Al-Karim.
Tanya : Apa tujuan didirikannya BMT Al-Karim ?
Jawab : Adapun tujuan dari pendirian BMT Al-Karim ini untuk membantu dan
mengembangkan ekonomi masyarakat sekitar, terutama bagi
masyarakat yang berekonomi lemah dengan cara memberikan
pembiayaan-pembiayaan seperti mudharabah, musyarakah, muzara’ah,
dan lain sebagainya.
Tanya : Apa visi dan misi dari BMT Al-Karim ?
Jawab : Sebagai lembaga keuangan yang Islami, maka BMT Al-Karim memiliki
visi yaitu terwujudnya lembaga keuangan Islam yang memilii jaringan
luas, berkomitmen terhadap syari’ah serta berorientasi pada usaha
mikro dan kecil serta ditunjang oleh sumber daya insani yang
profesional, cerdas, inovatif dan bertaqwa. BMT Al-Karim juga
memiliki beberapa misi dalam rangka melakukan aktivitas usahanya.
Salah satu misi dari BMT Al-Karim adalah mengembangkan lembaga
keuangan Islam yang kuat, terpercaya dan memiliki jaringan yang luas.
Tanya : Bagaimana prinsip operasional BMT Al-Karim ?
Jawab : Sebagai lembaga non bank, BMT Al-Karim melakukan kegiatan
operasionalnya secara konsisten dengan mengacu kepada ketetapan-
ketetapan syari’i sebagaimana terkandung dalam Al-Qur’an dan hadits
Rasulullah SAW secara ijma’ dan fatwa ulama. Sedangkan dalam
menjalankan aktivitas usahanya, BMT Al-Karim menerapkan prinsip-
prinsip syari’ah yang antara lain adalah mudharabah, musyarakah,
murabahah, ba’i al-istishna’ dan ijarah wa itiqna.
Tanya : Produk-produk apa saja yang ada pada BMT Al-Karim ?
Jawab : BMT Al-Karim mengklasifikasikan produk-produknya ke dalam tiga
golongan yaitu Baitut Tamwil, Baitul Maal dan sektor riil. Produk
Baitut Tamwil yang ada pada BMT Al-Karim adalah produk simpanan.
Produk ini terdiri atas simpanan mudharabah, deposito mudharabah,
simpanan pendidikan Al-Karim, simpanan Idul Fitri dan simpanan
qurban. Sedangan produk Baitul Maal terdiri atas beasiswa, orang tua
asuh dan pengobatan gratis. Adapun produk pada sektor riil adalah
banyaknya para nasabah yang melakukan beragam jenis usaha yang
merupakan potensi bagi pengembangan usaha pada sektor riil.
Tanya : Bagaimana proses pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan
menengah pada BMT Al-Karim ?
Jawab : Dalam menyalurkan pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan
menengah, nasabah BMT Al-Karim mendapatkan perlakuan yang sama.
Ada beberapa tahapan yang harus dilakukan nasabah mendapatkan
pembiayaan mudharabah yang salah satunya adalah nasabah yang
mengajukan pembiayaan mudharabah melengkapi permohonan
pembiayaan yaitu berupa photo copy Kartu Tanda Penduduk, photo
copy Kartu Keluarga, Surat Keterangan Domisili dan menyerahkan
jaminan bagi usaha menengah. Sedangkan pertimbangan utama yang
digunakan BMT Al-Karim dalam memberikan pembiayaan mudharabah
salah satunya adalah pertimbangan ekonomis, yaitu dengan cara
melakukan analisa kelayakan usaha dalam memberikan pembiayaan
mudharabah kepada nasabah yang didasarkan pada kebutuhan modal
para nasabah dalam mengembalikan atau membayar angsuran
pengembalian.
Tanya : Bagaimana praktek pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan
menengah pada BMT Al-Karim ?
Jawab : Dalam prakteknya, BMT Al-Karim menerapkan jenis mudharabah
mutalaqah bagi usaha kecil dan sangat kecil. Artinya para pengusaha
kecil dan sangat kecil diberikan kebebasan untuk mengelola usahanya
tanpa ikut campur pihak pemilik dana. Sedangkan bagi usaha
menengah, BMT Al-Karim menggunakan jenis mudharabah
muqayyadah dalam memberikan pembiayaan. Sebab dalam pembiayaan
jenis mudharabah muqayyadah ini, BMT Al-Karim boleh menetapkan
syarat-syarat atau batasan-batasan tertentu guna menyelamatkan
modalnya dari resiko kerugian. Bila nasabah tidak mampu memenuhi
syarat-syarat atau batasan-batasan itu, maka ia harus bertanggung jawab
atas resiko kerugian yang timbul.
Tanya : Bagaimana ketentuan umum pembiayaan mudharabah pada BMT Al-
Karim ?
Jawab : Dalam pembiayaan mudharabah, BMT Al-Karim menetapkan beberapa
ketentuan umum dalam pembiayaan tersebut. Salah satu ketentuan
umum pembiayaan mudharabah pada BMT Al-Karim adalah hasil dari
pengelolaan modal pembiayaan mudharabah dapat diperhitungkan
dengan cara penghitungan dari pendapatan proyek dan penghitungan
dari keuntungan proyek.
Tanya : Bagaimana sistem pendistribusian pembiayaan mudharabah bagi usaha
kecil dan menengah pada BMT Al-Karim ?
Jawab : Penyaluran pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan sangat kecil
tidak memerlukan persyaratan yang relatif rumit, karena modal yang
disalurkan juga relatif kecil. Sedangkan penyaluran pembiayaan bagi
usaha menengah, pihak BMT Al-Karim selalu berpedoman pada prinsip
5C yang diharapkan dapat memberikan informasi tentang niat baik dan
kemampuan nasabah untuk melunasi kembali pinjamannya.
Tanya : Bagaimana sikap masyarakat sekitar BMT Al-Karim terhadap
penyaluran pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah ?
Jawab : Masyarakat sekitar BMT Al-Karim sudah barang tentu merasa gembira
dengan adanya penyaluran pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil
dan menengah. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya nasabah yang
mengajukan permohonan pembiayaan mudharabah baik usaha kecil
maupun menengah kepada BMT Al-Karim.
Tanya : Metode apa yang digunakan BMT Al-Karim dalam menghadapi
nasabah yang tidak menepati janji ?
Jawab : Sebagai lembaga keuangan yang berpedoman kepada syari’ah Islam,
maka metode yang digunakan BMT Al-Karim apabila nasabah tidak
menepati janji adalah melalui tindakan persuasive dan kebijakan
keringanan yaitu dengan cara memperpanjang angsuran dan bagi hasil
diperkecil dengan membuat surat penawaran baru atau aqad baru yang
dibuat oleh nasabah.
Tanya : Upaya apa saja yang dapat dilakukan BMT Al-Karim untuk
mengantisipasi nasabah yang tidak menepati janji ?
Jawab : Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan pihak BMT Al-Karim dalam
mengantisipasi nasabah yang tidak menepati janji yang salah satu di
antaranya adalah mempertimbangkan permohonan pembiayaan
mudharabah bila nasabah yang bersangkutan melakukan aqad baru.
Tanya : Sejauh mana pengaruh pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan
menengah pada BMT Al-Karim ?
Jawab : Pembiayaan mudharabah yang disalurkan oleh pihak BMT Al-Karim
sangat berpengaruh bagi usaha kecil dan menengah. Hal ini
mengindikasikan bahwa BMT Al-Karim memegang peranan penting
dalam upaya meningkatkan ekonomi masyarakat terutama bagi usaha
kecil dan menengah yang benar-benar menggantungkan harapannya
pada pembiayaan mudharabah yang disalurkan oleh pihak BMT Al-
Karim.
Tanya : Kendala apa saja yang dihadapi pihak BMT Al-Karim dalam
memberlakukan pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan
menengah ?
Jawab : Secara umum, BMT Al-Karim tidak memiliki kendala yang berarti
dalam memberlakukan pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan
menengah. Namun kendala yang ditemukan BMT Al-Karim di
lapangan yaitu rendahnya tingkat pendidikan dari kebanyakan nasabah
usaha kecil dan sangat kecil, sehingga terasa sulit menjelaskan tentang
penetapan bagi hasil, tabungan maupun jaminan. Sedangkan kendala
yang dihadapi pihak BMT Al-Karim dalam memberlakukan
pembiayaan mudharabah bagi usaha menengah adalah adanya nasabah
yang kurang jujur dalam memberikan alasan untuk pengembalian
pembiayaan mudharabah.
Tanya : Apa yang bapak harapkan dari pembiayaan mudharabah bagi usaha
kecil dan menengah pada BMT Al-Karim ?
Jawab : Secara pribadi, saya sangat mengharapkan dari hasil pembiayaan
mudharabah bagi usaha kecil dan menengah pada BMT Al-Karim ini
adalah dapat membangun ekonomi kerakyatan yang bersifat makro,
sehingga tidak ada masyarakat miskin seperti sekarang, karena
kemiskinan menurut saya sangat mendekati kepada kekafiran.
Tanya : Bagaimana prospek BMT Al-Karim pada masa yang akan datang,
terutama bagi usaha kecil dan menengah ?
Jawab : BMT Al-Karim memiliki prospek yang cukup cerah pada masa yang
akan datang. Hal ini disebabkan banyaknya nasabah yang tidak hanya
melakukan transaksi peminjaman, akan tetapi banyak juga di kalangan
masyarakat yang menyimpan dananya di BMT Al-Karim. Dengan
demikian, BMT Al-Karim dipercaya oleh masyarakat dan diberikan
kebebasan untuk mengelola dana masyarakat. Untuk itu, BMT Al-
Karim menyalurkan pembiayaan mudharabah ini bagi usaha kecil dan
sangat kecil serta usaha menengah.
Tanya : Usaha apa yang dapat dilakukan BMT Al-Karim dalam menarik minat
nasabah ?
Jawab : Banyak cara yang dapat dilakukan BMT Al-Karim dalam upaya
menarik minat nasabah yang salah satu di antaranya adalah
menyalurkan pembiayaan mudharabah. Penyaluran pembiayaan
mudharabah ini cukup menarik minat nasabah, karena pihak BMT Al-
Karim menyediakan dana 100% untuk dikelola tanpa harus
mengembalikan modal tersebut jika terjadi kerugian yang diakibatkan
bukan kelalaian dari pihak mudharib. Jika kerugian itu disebabkan oleh
kelalaian pihak mudharib, maka ia harus bertanggung jawab atas
kerugian yang timbul. Berdasarkan ketentuan ini, maka masyarakat
banyak yang tertarik untuk menjadi nasabah BMT Al-Karim.
Tanya : Bagaimana analisa bapak tentang pembiayaan mudharabah bagi usaha
kecil dan menengah pada BMT Al-Karim ?
Jawab : Saya memandang bahwa pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan
menengah pada BMT Al-Karim terkesan sangat mendalam terutama
bagi para nasabah. Salah satu nasabah BMT Al-Karim ada yang
mengatakan bahwa pembiayaan mudharabah yang disalurkan pihak
BMT Al-Karim mampu mengurangi ketergantungan para nasabah
terhadap pemberi kredit lain seperti bank keliling dan rentenir. Hal ini
dapat dilihat dari kurangnya dan bahkan tidak adanya rentenir di pasar-
pasar yang pedagangnya adalah nasabah BMT Al-Karim.
Tanya : Apa saran bapak untuk BMT Al-Karim yang menyalurkan pembiayaan
mudharabah bagi usaha kecil dan menengah ?
Jawab : Bagi BMT Al-Karim, saya hanya menghimbau agar selalu berhati-hati
dalam menyalurkan pembiayaan mudharabah, terutama bagi usaha kecil
dan menengah. Dalam menyalurkan pembiayaan mudharabah bagi
usaha kecil dan menengah ini, pihak BMT Al-Karim wajib melakukan
uji kelayakan terhadap usaha calon nasabah termasuk silsilah
keluarganya, agar modal yang disalurkan tidak sia-sia.
Jakarta, 3 Agustus 2009
Yang mewawancarai Yang diwawancarai
ARIF SYARIFUDDIN A N D R I E Mahasiswa Staf HRD dan Administrasi Pembiayaan