Post on 27-Oct-2015
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Keberadaan penyakit menular di masyarakat, sangat banyak
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, baik lingkungan fisik, biologi,
kimia, sosial-ekonomi, budaya (Lienhardt C.et al, 2005). Salah satu
penyakit menular di Indonesia masih belum dapat terberantas,masih
mempunyai potensi angka kejadian penurunannya sangat lamban
adalah Tuberkulosis.Angka Insidens, penderita baru di Indonesia per
tahun terdapat 583.000 kasus, secara nasional per tahun dapat
membunuh 140.000 orang, serta penyebab kematian ke – 2 setelah
penyakit jantung, juga setiap tahun selalu terdapat peningkatan
jumlah penderita ( PPTI Pusat, 2005).
Menurut data WHO, Insidens penyakit TB di Indonesia
menurun pada tahun 1990 sebanyak 626.867 dengan rate 343/100.000
penduduk, mortalitas 168.956 dan pada tahun 2007 sebanyak 528.063
dengan rate 228 per 100.000 penduduk , mortalitas 91.568. Untuk
prevalensi, TB tahun 1990 sebanyak 809.592 dengan rate 443, dan
tahun 2007 sebanyak 565.614 dengan rate 244 per 100.000 penduduk
(WHO, 2008) namun demikian diperkirakan, adanya laporan yang
belum sempurna, maka Insidens dan Prevalensi masih tinggi. Kondisi
yang cukup memerlukan perhatian bagi negara Indonesia adalah
keadaan sanitasi lingkungan, khususnya sanitasi perumahan yang
masih banyak yang tidak memenuhi syarat rumah sehat.
Salah satu faktor lingkungan, yaitu kondisi sanitasi rumah
mempunyai peran yang sangat potensial dalam kejadian penyakit
Tuberkulosis, khususnya jenis paru.(Stein LA, 1950). Variabel yang
1
penting dalam sanitasi perumahan adalah kelembaban, suhu udara
dan ventilasi, kepadatan penghuni.( Rosen G, 1958 )
Suatu penelitian terkait dengan sanitasi rumah secara fisik,
membuktikan adanya hubungan dengan kepadatan penghuni, ventilasi,
dan penerangan alami rumah yang dihuni , pada penyakit ISPA
( Infeksi Saluran pernapasan Atas) anak usia dibawah lima tahun
(Balita),yaitu di wilayah kota Surabaya (Yusuf NA dan Lilis
Sulistyorini,2005).Hasil tersebut, menunjukkan peran kondisi sanitasi
perumahan, terhadap kejadian penyakit infeksi saluran pernapasan,
walupun penyakit tersebut jenis saluran pernapasan atas, dan pada
balita, sangat dimungkinkan, bahwa pada penderita Turbekulosis paru,
kondisi tersebut juga terjadi.
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis serta
Mycobacyerium avium, tetapi lebih sering disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis (FKUI, 1998). Pada tahun 1993, WHO
telah mencanangkan kedaruratan global penyakit tuberkulosis, hal
ini dikarenakan pada sebagian besar negara di dunia, penyakit
tuberkulosis tidak terkendali. Di Indonesia sendiri, penyakit
tuberkulosis merupakan masalah kesehatan yang utama. Pada tahun
1995, hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT),
menunjukkan bahwa penyakit tuberkulosis merupakan penyebab
kematian nomor tiga (3) setelah penyakit kardiovaskuler dan
penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok umur.
Faktor resiko yang dapat menimbulkan penyakit
tuberkulosis adalah faktor genetik, malnutrisi, vaksinasi, kemiskinan
dan kepadatan penduduk (Beaglehole ,1997). Tuberkulosis terutama
2
banyak terjadi pada populasi yang mengalami stres, nutrisi jelek,
penuh sesak, ventilasi rumah yang tidak bersih, perawatan kesehatan
yang tidak cukup dan perpindahan tempat. Genetik berperan kecil,
tetapi faktor-faktor lingkungan berperan besar pada insidensi
kejadian tuberkulosis (Fletcher, 1992).
Lingkungan merupakan hal yang tidak terpisahkan dari
aktivitas kehidupan manusia. Lingkungan, baik secara fisik maupun
biologis, sangat berperan dalam proses terjadinya gangguan
kesehatan masyarakat, termasuk gangguan kesehatan berupa
penyakit tuberkulosis (Notoatmodjo, 2003). Lingkungan rumah juga
merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh besar
terhadap status kesehatan penghuninya (Notoatmodjo, 2003).
Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang
berperan dalam penyebaran kuman tuberkulosis. Kuman
tuberkulosis dapat hidup selama 1 – 2 jam bahkan sampai beberapa
hari hingga berminggu-minggu tergantung pada ada tidaknya sinar
ultraviolet, ventilasi yang baik, kelembaban, suhu rumah dan
kepadatan penghuni rumah.
Di Kecamatan Tanggulangin, saat ini angka kejadian
tuberkulosis cenderung tinggi. Hal ini dibuktikan dengan
meningkatnya jumlah pasien yang terdiagnosa menderita
tuberkulosis berdasarkan laporan tahunan pada bagian P2M di
Puskesmas Tanggulangin. Berdasarkan data tersebut diketahui
bahwa pada tahun 2008, jumlah pasien yang terdiagnosa menderita
tuberkulosis adalah sejumlah 50 orang.
Berdasarkan kenyataan di lapangan, tampak bahwa kondisi
rumah-rumah para penderita tuberkulosis di kecamatan
3
Tanggulangin pada umumnya kurang memenuhi persyaratan
kesehatan, yang ditandai dengan kurangnya ventilasi dan
pencahayaan alami rumah karena ukuran atau jumlah jendela yang
kurang memadai, serta adanya rumah-rumah yang jendelanya
ditutupi oleh triplek sehingga cahaya matahari tidak dapat masuk.
Selain itu sinar matahari yang tidak dapat masuk mengakibatkan
keadaan di dalam rumah cenderung lembab. Banyak rumah – rumah
penduduk yang dinding rumahnya tampak berlumut yang menjadi
tanda bahwa kelembaban di rumah tersebut cukup tinggi. Selain itu
didapatkan juga adanya rumah penduduk yang luas rumahnya yang
tidak sesuai dengan jumlah penghuni, hal ini sejalan dengan fakta di
lapangan bahwa sebagian besar penduduk yang menderita
tuberkulosis paru tinggal dengan keluarga besar (extended family);
jumlah penghuni rumah menjadi sangat banyak dan menyebabkan
perjubelan (overcrowded). Hal inilah yang membuat peneliti merasa
tertarik untuk meneliti tentang ”pengaruh karakteristik lingkungan
fisik rumah terhadap kejadian tuberkulosis paru di kecamatan
Tanggulangin kabupaten Sidoarjo”.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka rumusan
masalah adalah; ”Adakah pengaruh karakteristik lingkungan fisik
rumah penderita terhadap kejadian tuberkulosis paru di kecamatan
Tanggulangin Kabupaten Sidoarjo?”
1.3.TUJUAN PENELITIAN
(1). Tujuan Umum
4
Mengetahui pengaruh keadaan lingkungan fisik rumah
penderita tuberkulosis paru di Kecamatan Tanggulangin
Kabupaten Sidoarjo.
(2). Tujuan Khusus
a. Mengetahui pengaruh kepadatan penghuni rumah dengan
kejadian tuberkulosis paru di Kecamatan Tanggulangin
Kabupaten Sidoarjo.
b. Mengetahui pengaruh keadaan pencahayaan rumah dengan
kejadian tuberkulosis paru di Kecamatan Tanggulangin
Kabupaten Sidoarjo.
c. Mengetahui pengaruh keadaan ventilasi rumah dengan
kejadian tuberkulosis paru di Kecamatan Tanggulangin
Kabupaten Sidoarjo.
d. Mengetahui pengaruh keadaan kelembaban udara dalam
rumah dengan kejadian tuberkulosis paru di Kecamatan
Tanggulangin Kabupaten Sidoarjo.
e. Mengetahui pengaruh keadaan suhu dalam rumah dengan
kejadian tuberkulosis paru di Kecamatan Tanggulangin
Kabupaten Sidoarjo..
1.4.MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk :
(1).Masyarakat
a. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang tuberkulosis
paru, khususnya
dalam kaitannya dengan kondisi rumah penduduk.
5
b. Dapat digunakan sebagai informasi dalam memberikan
motivasi kepada b.
masyarakat guna meningkatkan kondisi rumah yang lebih
sehat
(2).Peneliti
a. Sebagai salah satu kewajiban Tri Dharma Perguruan Tinggi,
yaitu dalam bidang penelitian, disamping menambah
pengalaman dalam bidang penelitian terkait pengaruh
lingkunbgan terhadap kesehatan
b. Guna menambang angka kredit kumulatif, khususnya untuk
meningktan jabatan fungsional
c. Menambah referensi bidang pengetahuan kesehatan
masyarakat, khususnya bidang kesehatan lingkungan
(3).Instansi Terkait
a. Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kabuapten
Sdidoarjo, khususnya bagi Puskesmas Tanggulangin dalam
melakukan intervensi selanjutnya dalam program
pemberantasan penyakit tuberkulosis paru di kecamatan
Tanggulangin.
a. Sebagai tambahan data dasar untuk penelitian lebih lanjut,
khususnya yang berkaitan dengan penyakit tuberkulosis paru.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TUBERKULOSIS
2.1.1 Definisi
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang
disebabkan oleh kuman komplek Mycobacterium
tuberculosis yang bersifat tahan asam, komplek disini
termasuk M.tuberculosis dan M.africanum terutama
berasal dari manusia dan M. bovis yang berasal dari
sapi(Ditjen PP&PL, 2005) Mycobacteria lain basanya
mengakibatkan gejala klinis dengan perbedaan yang sulit
dengan tuberkulosis.
2.1.2 Etiologi
Etiologi penyakit dapat diindentifikasi dengan kultur,
dengan analisis genetic sequence menggunakan teknik
PCR yang akan memebanyu identifikasi non kultur.
Penyebab terjadinya penyakit tuberkulosis adalah basil
tuberkulosis tersebut yang termasuk dalam genus
Mycobacterium, suatu anggota dari famili
Mycobacteriaceae dan termasuk dalam ordo
Actinomycetalis. Mycobacterium tuberculosis
menyebabkan sejumlah penyakit berat pada manusia dan
menjadi penyebab infeksi tersering. Bakteri
Mycobacterium patogen lainnya misalnya Mycobacterium
leprae, Mycobacterium paratuberkulosis dan
7
Mycobacterium yang dianggap sebagai Mycobacterium
non tuberculosis atau tidak dapat terklasifikasikan (Heinz,
1993).
2.1.3 Karakteristik Kuman Tuberkulosis
Di luar tubuh manusia, kuman Mycobacterium
tuberculosis hidup baik pada lingkungan yang lembab akan
tetapi tidak tahan terhadap sinar matahari (Depkes
RI,2002; Notoatmodjo, 2003; Salvato, J dalam Lubis,
1989; Supraptini, dkk, 1999;Prohardi, 2002).
Mycobacterium tuberculosis mempunyai panjang 1-4
mikron dan lebar 0,2-0,8 mikron. Kuman ini melayang di
udara yang disebut droplet nuclei (Girsang,1999).
Kuman tuberkulosis dapat bertahan hidup pada tempat
yang sejuk, lembab, dan gelap tanpa sinar matahari sampai
bertahun-tahun lamanya (.Atmosukarto ,2000), Kuman
tuberkulosis akan mati bila terkena sinar matahari, sabun,
lisol, karbol dan panas api (Atmosukarto & Soewasti,
2000). Disamping hal tersebut, kuman tuberkulosis jika
terkena cahaya matahari akan mati dalam waktu 2 jam,
selain itu kuman tersebut akan mati oleh tinctura iodi
selama 5 menit dan juga oleh ethanol 80 % dalam waktu 2
sampai 10 menit serta oleh fenol 5 % dalam waktu 24 jam.(
Girsang, 1999)
Bakteri Mycobacterium tuberculosis seperti halnya
bakteri lain pada umumnya,akan tumbuh dengan subur
pada lingkungan dengan kelembaban yang tinggi. Air
8
membentuk lebih dari 80 % volume sel bakteri dan
merupakan hal esensial untuk pertumbuhan dan
kelangsungan hidup sel bakteri (Gould & Brooker, 2003).
Ternyata elembaban udara yang meningkat merupakan
media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen termasuk
tuberkulosis (Notoatmodjo , 2003).
Bakteri Mycobacterium tuberculosis memiliki rentang
suhu yang disukai. Mycobacterium tuberculosis merupakan
bakteri mesofilik yang tumbuh subur dalam rentang 25 –
40 C, tetapi akan tumbuh secara optimal pada suhu 31-37
C (Depkes RI, 1989; Gould & Brooker, 2003; Gibson,
1996; Girsang, 1999; Salvato dalam Lubis, 1989).
Dalam rantai penularan penyakit tuberkulosis paru,
manusia merupakan reservoar bagi penularan kuman
Mycobacterium tuberculosis (Gibson, 1996; Atmosukarto,
2000). Kuman tuberkulosis yang dapat menular melalui
droplet nuclei dapat ditularkan pada 10-15 orang (Depkes
RI, 2002). Penelitian Pusat Ekologi Kesehatan (1991),
menunjukkan tingkat penularan tuberkulosis paru di
lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, karena
seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3
orang di dalam rumahnya. Di dalam rumah dengan
ventilasi baik, kuman ini dapat hilang terbawa angin dan
akan lebih baik lagi jika ventilasi ruangannya
menggunakan pembersih udara yang bisa ”menangkap”
kuman tuberkulosis ini (Atmosukarto & Soeswati, 2000).
Beberapa kondisi dalam rumah seperti :
9
a. Rumah tangga yang penderitanya mempunyai kebiasaan
tidur dengan balita mempunyai resiko 2,8 kali menularkan
tuberkulosis paru kepada balita tersebut dibanding dengan
yang tidur terpisah.
b. Tingkat penularan tuberkulosis paru di lingkugan keluarga
penderita cukup tinggi, dimana seorang penderita rata-rata
dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya;
c. Besar resiko terjadinya penularan untuk rumah tangga
dengan penderita lebih dari 1 orang adalah 4 kali dibanding
rumah tangga dengan hanya 1 orang penderita tuberkulosis
paru. (Atmosukarto, 2000)
2.1.4 Reservoir
Pada umumnya, manusia sebagai reservoi, walaupun di
beberapa tempat terjadi infeksi ternak, sapi, babi dan mamalia
lain. Sangat jarang primata sebagai reservoir.
2.1.5 Cara Penyebaran
Udara merupakan media penularan, bila mengandung
percikan atau droplet
ludah yang dikeluarkan penderita TB paru atau TB laring
sewaktu batuk, bersin
atau aktifitas yang dapatgeluarkan sebaran ludah, seperti
menyanyi. Resiko
tenaga kesehatan tertulari dapat terjadi melalui otopsi,
bronkoskopi, atau
sewaktu melakukan intubasi.Khusus TB laring sangat
infeksious, menular.
10
Risiko tertulari, bila kontak lama dengan pendeita, bisa
melalui selaput
lendir atau kulit yang luja, walau relatif jarang.Bagi
pemeliuhara sapi dapat tertulari oleh sapi yang menderita TB,
bisa melalui minum susu yang terinfeksi tanpa pasteurisasi,
atau tak diolah sempurna. Disamping itu petani, peternak
dengan TB ekstra pulmoner non laring, walaupun jarang
menular, dan bisa tertular melalui sinus keluar
2.1.6 Masa Inkubasi
Mulai bibit penyakit sampai dengaan timbul adanya gejala
adanya lesi primer atau reaksi tes tuberkulosis positif
membutukan waktu 2 – 10 minggu. Terjadinya TB
ekstrapulmoner progresif setelah infeksi primer ke TB paru
memerlukan waktu tahun pertama dan kedua. Infeksi laten
akan berlangsung seumur hidup.
2.1.7 Cara Penularan
Sumber penularan adalah penderita tuberkulosis paru BTA
positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan
kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak).
Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan hidup di
udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat
terinfeksi bila droplet tersebut terhirup ke dalam saluran
pernafasan. Selama kuman tuberkulosis masuk ke dalam tubuh
manusia melalui pernafasan, kuman tersebut dapat menyebar
ke paru dan ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran
11
darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran
langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya (Depkes,2002).
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan dari
banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin
tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular
penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak
terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak
menular. Kemungkinan orang tertular infeksi tuberkulosis paru
ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya
menghirup udara tersebut (Depkes, 2002).
2.1.8 Gejala Penyakit
Gejala utama yang sering ditemukan pada tuberkulosis
paru biasanya berupa batuk yang terus menerus dan berdahak
selama 3 minggu atau lebih . Adapun gejala tambahan yang
sering dijumpai antara lain :
a. Adanya dahak bercampur darah
b. Batuk darah
c. Sesak nafas dan nyeri dada
d. Badan lemah
e. Malaise (rasa kurang enak badan)
f. Nafsu makan menurun
g. Berkeringat waktu malam walaupun tanpa kegiatan
h. Demam meriang lebih dari 1 bulan (PPTI, 2005)
2.2 PENGERTIAN LINGKUNGAN
Lingkungan adalah segala sesuatu baik fisik, biologis,
maupun sosial yang berada di sekitar manusia serta pengaruh-
pengaruh luar yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan
12
manusia (Lennihan dan Fletter, 1989). Lingkungan (hidup)
menurut Undang Undang R I Nomor 23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan lingkungan Hidup adalah merupakan kesatuan ruang
dan semuas benda, daya. Keadaan dan makhluk hidup, termasuk
manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan
perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup
lain. (UU RI No.23, 1997)
Unsur-unsur lingkungan dapat dibagi beberapa sudut,
umumnya terbagi dalam unsur sebagai berikut :
2.2.1 Lingkungan Fisik
Lingkungan temasuk adalah segala sesuatu yang berada di
sekitar manusia yang bersifat tidak bernyawa, misalnya air,
tanah, kelembaban udara, suhu, angin, rumah dan benda mati
lainnya.
2.2.2 Lingkungan Biologi
Lingkungan biologis adalah segala sesuatu yang
bersifat hidup seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, termasuk
mikroorganisme.
2.2.3 Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial adalah segala sesuatu tindakan yang
mengatur manusia dan usaha-usahanya untuk
mempertahankan kehidupan, seperti pendidikan pada tiap
individu, rasa tanggung jawab, pengetahuan keluarga, jenis
pekerjaan, jumlah penghuni dan keadaan ekonomi.
Kehidupan manusia lebih dari separo waktu dilakukan
di rumah, oleh sebab ituikeadaan rumah sangat
13
menentukan, bagi kehidupan penghuninya, mulai dari
asuhan anak, pergaulan sampai dengan
kesehatan..Lingkungan rumah adalah segala sesuatu yang
berada di dalam rumah (Walton,1991). Begitu pentingnya
maslah hubungan rumah maslah kesehatan, WHO
mempublikasikan suatu panduan untuk mendapatkan atau
menciptakan rumah yang sehat (WHO, 1988).
Lingkungan rumah yang sehat dapat diartikan sebagai
lingkungan yang dapat memberikan tempat untuk
berlindung atau bernaung dan tempat untuk beristirahat
serta dapat menumbuhkan kehidupan yang sempurna baik
fisik, psikologis maupun sosial (Lubis, 1989).
2.2.4 Persyaratan Lingkungan Rumah Sehat
Menurut APHA (American Public Health Assosiation),
lingkungan rumah yang sehat harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut (APHA, 1968) :
(1). Memenuhi kebutuhan fisiologis
a. Suhu ruangan, yaitu dalam pembuatan rumah harus
diusahakan agar kontruksinya sedemikian rupa
sehingga suhu ruangan tidak berubah banyak dan agar
kelembaban udara dapat dijaga jangan sampai terlalu
tinggi dan terlalu rendah. Untuk ini harus diusahakan
agar perbedaan suhu antara dinding, lantai, atap dan
permukaan jendela tidak terlalu banyak.
b. Harus cukup mendapatkan pencahayaan baik siang
maupun malam. Suatu ruangan mendapat penerangan
14
pagi dan siang hari yang cukup yaitu jika luas ventilasi
minimal 10 % dari jumlah luas lantai.
c. Ruangan harus segar dan tidak berbau, untuk ini
diperlukan ventilasi yang cukup untuk proses
pergantian udara
d. Harus cukup mempunyai isolasi suara sehingga tenang
dan tidak terganggu oleh suara-suara yang berasal dari
dalam maupun dari luar rumah.
e. Harus ada variasi ruangan, misalnya ruangan untuk
anak-anak bermain, ruang makan, ruang tidur, dll.
f. Jumlah kamar tidur dan pengaturannya disesuaikan
dengan umur dan jenis kelaminnya. Ukuran ruang tidur
anak yang berumur kurang dari lima tahun minimal 4,5
m³, artinya dalam satu ruangan anak yang berumur
lima tahun ke bawah diberi kebebasan menggunakan
volume ruangan 4,5 m³ (1,5 x 1 x3 m³) dan diatas lima
tahun menggunakan ruangan 9 m³ (3 x 1 x 3 m³)
(2). Memenuhi kebutuhan psikologis
Rumah harus menjamin ketenangan, ketentraman serta
kenyamanan secara psikologis, yang diantaranya menyangkut :
a. Menjamin privacy, dimana setiap anggota keluarga
terjamin ketenangan dan kebebasannya sehingga tidak
terganggu baik oleh anggota keluarga yang lain,
tetangga maupun orang yang lewat diluar.
b. Tersedianya ruang keluarga sebagai tempat untuk
melepaskan kerinduan ataupun masalah-masalah
psikologis yang lain.
15
c. Lingkungan pemukiman harus sesuai dengan keadaan
sosial penghuninya sehingga tidak menimbulkan
masalah secara psikologis.
d. Tersedia sarana yang sifatnya memerlukan “privacy”,
misalnya dalam hal kamar mandi atau kloset yang
harus dimiliki oleh setiap rumah.
e. Jumlah kamar tidur harus disesuaikan dengan usia
penghuninya. Usia dibawah 2 tahun diperbolehkan satu
kamar dengan orang tua. Anak diatas 10 tahun harus
dipisahkan antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan
anak umur 17 tahun keatas diberikan kamar tersendiri.
f. Mempunyai halaman yang dapat ditanami pepohonan
atau tumbuhan taman sehingga dapat menimbulkan
rasa keindahan, membersihkan udara serta membantu
melindungi udara dari pencemaran.
g. Hewan peliharaan (pet) yang membuat kotor lantai dan
menimbulkan suara ribut agar dibuatkan kandang
tersendiri, terpisah dari rumah.
(3).Perlindungan terhadap penularan penyakit
a. Harus ada sumber air yang memenuhi syarat, baik
secara kualitas maupun kuantitas, sehingga selain
kebutuhan untuk makan dan minum terpenuhi, juga
cukup tersedia air untuk memelihara kebersihan rumah,
pakaian dan penghuninya.
b. Harus ada tempat menyimpan sampah dan WC yang
baik dan memenuhi syarat, juga air pembuangan harus
bisa dialirkan dengan baik.
16
c. Pembuangan kotoran manusia dan limbah harus
memenuhi syarat kesehatan, yaitu harus dapat
mencegah agar limbah tidak meresap dan
mengkontaminasi permukaan sumber air bersih.
d. Tempat memasak dan tempat makan hendaknya bebas
dari pencemaran dan gangguan binatang serangga dan
debu.
e. Harus ada pencegahan agar vektor penyakit tidak bisa
hidup dan berkembang biak di dalam rumah, jadi
rumah dalam kontruksinya harus rat proof, fly fight,
mosquito fight.
f. Harus ada ruangan udara (air space) yang cukup.
g. Luas kamar tidur minimal 8,5 m³ per orang dan tinggi
langit-langit minimal 2,75 meter.
h. Fasilitas untuk pengolahan makanan/memasak dan
penyimpanan makanan yang terbebas dari pencemaran
maupun jangkauan vektor maupun binatang pengerat.
(4). Perlindungan terhadap kecelakaan
Beberapa hal untuk menghindari timbulnya kecelakaan :
a. Adanya ventilasi di dapur yang berfungsi untuk
mengeluarkan gas seandainya terjadi kebocoran gas.
b. Cukup intensitas cahaya, sehingga dapat
menghindarikecelakaan seperti tersandung,
teriris/tersayat, tertusuk jarum waktu menjahit, dan
lain sebagainya.
c. Bangunan rumah harus jauh dari pohon besar yang
mudah tumbang atau runtuh.
17
d. Jarak pagar dengan bangunan minimal ½ lebar jalan.
e. Lantai kamar mandi/kamar kecil yang selalu basah
tetapi tidak licin, baik karena konstruksinya maupun
karena pemeliharaannya.
f. Bagian bangunan yang dekat api atau listrik terbuat
dari bahan tahan api
g. .Pengaturan ruangan harus dapat memberikan
keleluasaan bergerak, terutama untuk keselamatan
anak.
h. Cara menyimpan barang beracun yang harus jauh dari
jangkauan anak-anak.
(5). Lingkungan Rumah Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian
Tuberkulosis Paru
Ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap
kejadian tuberkulosis paru, yaitu: immunisasi (BCG),
pendidikan, status gizi, pelayanan kesehatan, kontak
dengan penderita tuberkulosis paru lain, lingkungan
rumah atau tempat tinggal dan sosial ekonomi
keluarga.
Khusus untuk lingkungan rumah, pada umumnya
lingkungan rumah yang buruk (tidak memenuhi syarat
kesehatan) akan berpengaruh pada penyebaran
penyakit menular termasuk penyakit tuberkulosis paru.
a. Kelembaban Udara
Kelembaban udara adalah prosentase jumlah
kandungan air dalam udara (Depkes RI, 1989).
18
Kelembaban terdiri dari 2 jenis, yaitu 1) Kelembaban
absolut, yaitu berat uap air perunit volume udara; 2)
Kelembaban nisbi (relatif), yaitu banyaknya air dalam
udara pada suatu temperatur terhadap banyaknya uap air
pada saat udara jenuh dengan uap air pada temperatur
tersebut.
Secara umum penilaian kelembaban dalam rumah
dengan menggunakan Hygrometer. Menurut indikator
pengawasan perumahan, kelembaban udara yang
memenuhi syarat kesehatan dalam rumah adalah 40-60 %
dan kelembaban udara yang tidak memenuhi syarat
kesehatan adalah < 40 % atau > 60 % (Depkes RI, 1989).
Rumah yang tidak memiliki kelembaban yang
memenuhi syarat kesehatan membawa pengaruh bagi
penghuninya. Rumah yang lembab merupakan media
yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme, antara lain
bakteri, spiroket, ricketsia dan virus (Kriger J. Et al,
2002) Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam
tubuh melalui udara. Selain itu kelembaban yang tinggi
dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi
kering sehingga kurang efektif dalam menghadang
mikroorganisme.
Bakteri Mycobacterium tuberculosis seperti halnya
bakteri lain, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan
dengan kelembaban tinggi karena air membentuk lebih
dari 80 % volume sel bakteri dan merupakan hal yang
essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel
19
bakteri (Gould & Brooker, 2003). Kelembaban udara
yang meningkat juga merupakan media yang baik untuk
bakteri-bakteri patogen termasuk bakteri tuberkulosis.
( Notoatmodjo (2003),
b. Ventilasi Rumah
Ventilasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi
atmosfer yang menyenangkan dan menyehatkan manusia
(Lubis, 1989). Berdasarkan kejadiannya, maka ventilasi
dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu:
b.1 Ventilasi alam
Ventilasi alam berdasarkan pada tiga
kekuatan, yaitu daya difusi dari gas-gas, gerakan
angin dan gerakan massa di udara karena
perubahan temperatur. Ventilasi alam ini
mengandalkan pergerakan udara bebas (angin),
temperatur udara dan kelembabannya. Selain
melalui jendela, pintu dan lubang angin, maka
ventilasi pun dapat diperoleh dari pergerakan udara
sebagai hasil sifat porous dinding ruangan, atap dan
lantai.
b.2 Ventilasi buatan
Pada suatu waktu, diperlukan juga ventilasi
buatan dengan menggunakan alat mekanis maupun
elektrik. Alat-alat tersebut diantaranya adalah kipas
angin, exhauster dan AC (air conditioner).
Persyaratan ventilasi yang baik adalah sebagai
berikut :
20
1) Luas lubang ventilasi tetap minimal 5 % dari
luas lantai ruangan, sedangkan luas lubang
ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup)
minimal 5 % dari luas lantai. Jumlah keduanya
menjadi 10% dari luas lantai ruangan. Secara
umum, penilaian ventilasi rumah adalah dengan
cara membandingkan antara luas ventilasi dan
luas lantai rumah, dengan menggunakan Role
meter. Dan seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, sebagai indikator pengawasan
rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat
kesehatan adalah ≥10% luas lantai rumah dan
luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat
kesehatan adalah < 10% luas lantai (depkes RI,
1989)
2) Udara yang masuk harus bersih, tidak dicemari
asap dari sampah atau pabrik, knalpot
kendaraan, debu dan lain-lain.
3) Aliran udara diusahakan cross ventilation
dengan menempatkan
lubang ventilasi berhadapan antar dua dinding.
Aliran udara ini jangan sampai terhalang oleh
barang-barang besar, misalnya lemari, dinding,
sekat dan lain-lain.
Rumah dengan luas ventilasi yang tidak
memenuhi syarat kesehatan akan membawa
21
pengaruh bagi penghuninya. Menurut Azwar
(1990) dan Notoatmodjo (2003), salah satu
fungsi ventilasi adalah menjaga aliran udara di
dalam rumah tersebut tetap segar. Luas ventilasi
rumah yang < 10 % dari luas lantai (tidak
memenuhi syarat kesehatan) akan
mengakibatkan berkurangnya konsentrasi
oksigen dan bertambahnya konsentrasi
karbondioksida yang bersifat racun bagi
penghuninya.
Peran ventilasi yang utama adalah
melakukan pengenceran udara dalam rumah,
yang mempunyai potensi banyak mengandung zat
yang dapat bersifat alergen, maupun
karsinogenik, dan bila terjadi banyak gangguan
kesehatan yang dialami penghuninya, seperti
asthma, dan yang lain (Krieger J,et al, 2002)
Disamping itu, tidak cukupnya ventilasi
akan menyebabkan peningkatan kelembaban
ruangan. Kelembaban ruangan yang tinggi akan
menjadi media yang baik untuk tumbuh dan
berkembang biaknya bakteri-bakteri patogen
termasuk kuman tuberkulosis.
Selain itu, fungsi kedua ventilasi adalah
untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-
22
bakteri, terutama bakteri patogen seperti
tuberkulosis, karena di situ selalu terjadi aliran
udara yang terus menerus sehingga bakteri akan
terbawa oleh udara yang selalu mengalir
(Notoatmodjo, 2003). Lubis (1989) mengatakan
bahwa luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat
kesehatan juga akan mengakibatkan terhalangnya
proses pertukaran aliran udara dan sinar matahari
yang masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman
tuberkulosis yang ada di dalam rumah tidak dapat
keluar dan ikut terhisap bersama udara
pernafasan.
c. Suhu Rumah
Suhu adalah panas atau dinginnya udara yang
dinyatakan dengan satuan derajat tertentu. Suhu udara
dibedakan menjadi :
1). Suhu kering, yaitu suhu yang ditunjukkan oleh
Thermometer suhu ruangan setelah diadaptasikan
selama kurang lebih sepuluh menit, umumnya suhu
kering antara 26-34 ºC.
2) Suhu basah, yaitu suhu yang menunjukkan bahwa
udara telah jenuh oleh uap air, umumnya lebih rendah
daripada suhu kering, yaitu antara 20-25 ºC.
Kondisi suhu udara dalam rumah sangat
mempengaruhi penghuni, dan selain terkait dengan
kehidupan mikroorganisme, juga gangguan
23
kesehatan,seperti terlalu panas, diakitkan dalam
memperberat penyakit jantung kardiovascular, dan
terlalu dingin dihubungkan dengan potensi rendahnya
status kesehatan penghuni ( Collins KJ, 1986, Evans
J,et al,2000, TECHO, 1981)
Secara umum, penilaian suhu rumah
menggunakan Thermometer ruangan. Dan berdasarkan
indikator pengawasan perumahan, suhu rumah yang
memenuhi syarat kesehatan adalah antara 20-25 ºC,
dan suhu rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan
adalah < 20 ºC atau > 25 ºC.
Suhu dalam rumah akan membawa pengaruh bagi
penghuninya. Walton (1991) mengatakan bahwa suhu
berperan penting dalam metabolisme tubuh, konsumsi
oksigen dan tekanan darah. Sedangkan Lennihan dan
Fletter (1989), mengemukakan bahwa suhu rumah
yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan
meningkatkan kehilangan panas tubuh dan tubuh akan
berusaha menyeimbangkan dengan suhu lingkungan
melalui proses evaporasi. Kehilangan panas tubuh ini
akan menurunkan vitalitas tubuh dan merupakan
predisposisi untuk terkena infeksi terutama infeksi
saluran nafas oleh agen yang menular.
d. Pencahayaan Rumah
Pencahayaan alami ruangan rumah adalah
penerangan yang bersumber dari sinar matahari
24
(alami), yaitu semua jalan yang memungkinkan untuk
masuknya cahaya matahari alamiah, misalnya melalui
jendela atau genting kaca (Depkes RI, 1989;
Notoatmodjo, 2003).
Cahaya memang mempunyai faktor selain
fisiologis juga psikologis, seperti dapat menimbulkan
kecelakaan, dan terjadi psikologis penghuni (Dunn JR
and Hayes MV.2000).
Cahaya berdasarkan sumbernya dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu :
1) Cahaya Alamiah
Cahaya alamiah yakni matahari. Cahaya ini
sangat penting, karena dapat membunuh bakteri-
bakteri patogen di dalam rumah, misalnya kuman
tuberkulosis (Notoatmodjo, 2003). Oleh karena itu,
rumah yang cukup sehat seyogianya harus
mempunyai jalan masuk sinar yang cukup
(jendela), dengan luasnya sekurang-kurangnya 15
% - 20 %. Perlu diperhatikan agar sinar matahari
dapat masuk langsung ke dalam ruangan, tanpa
terhalang oleh bangunan lain. Jalan masuknya
cahaya alamiah juga dapat diusahakan dengan
genteng kaca.
2) Cahaya Buatan
Cahaya buatan yaitu cahaya yang
menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah,
seperti lampu minyak tanah, listrik, api dan lain-
25
lain. Kualitas dari cahaya buatan tergantung dari
terangnya sumber cahaya (brightness of the
source). Pencahayaan buatan bisa terjadi dengan 3
cara, yaitu direct, indirect, semi direct atau general
diffusing.
Secara umum pengukuran pencahayaan
terhadap sinar matahari adalah menggunakan Lux
Meter, yang diukur ditengah-tengah ruangan, pada
tempat < 84 cm dari lantai, dengan ketentuan tidak
memenuhi syarat kesehatan bila < 50 lux atau >
300 lux, dan memenuhi syarat kesehatan bila
pencahayaan rumah antara 50-300 lux.
Menurut Lubis dan Notoatmodjo (2003), cahaya
matahari mempunyai sifat membunuh bakteri,
terutama kuman Mycobacterium tuberculosis.
Menurut Depkes RI (2002), kuman tuberkulosa
hanya dapat mati oleh sinar matahari langsung.
Oleh sebab itu, rumah dengan standar pencahayaan
yang buruk sangat berpengaruh terhadap kejadian
tuberkulosis. Menurut Atmosukarto & Soeswati
(2000), rumah yang tidak masuk sinar matahari
mempunyai resiko menderita tuberkulosis 3-7 kali
dibandingkan dengan rumah yang dimasuki sinar
matahari.
e. Kepadatan Penghuni Rumah
Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara
luas lantai rumah dengan jumlah anggota keluarga
26
dalam satu rumah tinggal (Lubis, 1989). Persyaratan
kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa
dinyatakan dalam m² per orang. Luas minimum per
orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan
dan fasilitas yang tersedia. Untuk perumahan
sederhana, minimum 10 m²/orang. Untuk kamar tidur
diperlukan minimum 3 m²/orang. Kamar tidur
sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami
istri dan anak dibawah dua tahun. Apabila ada anggota
keluarga yang menjadi penderita penyakit tuberkulosis
sebaiknya tidak tidur dengan anggota keluarga lainnya.
Secara umum penilaian kepadatan penghuni
dengan menggunakan ketentuan standar minimum,
yaitu kepadatan penghuni yang memenuhi syarat
kesehatan diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai
dengan jumlah penghuni ≥ 10 m²/orang dan kepadatan
penghuni tidak memenuhi syarat kesehatan bila
diperoleh hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah
penghuni 10 m²/orang (Lubis, 1989).
Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal
akan memberikan pengaruh bagi penghuninya. Luas
rumah yang tidak sebanding dengan jumlah
penghuninya akan menyebabkan perjubelan
(overcrowded). Hal ini tidak sehat karena disamping
menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, juga bila
salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi,
terutama tuberkulosis akan mudah menular kepada
27
anggota keluarga yang lain (Lubis, 1989; Notoatmodjo,
2003). Menurut penelitian Atmosukarto (2000),
didapatkan data bahwa : 1) Rumah tangga yang
penderita mempunyai kebiasaan tidur lebih dari satu
orang dalam satu kamar mempunyai resiko terkena
tuberkulosis 2,8 kali dibanding dengan yang tidur
terpisah; 2) Tingkat Penularan tuberkulosis di
lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana
seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-
3 orang di dalam rumahnya; 3) Besar resiko terjadinya
penularan untuk rumah tangga dengan penderita lebih
dari 1 orang adalah 4 kali dibanding rumah tangga
dengan hanya 1 orang penderita tuberkulosis.
Kepadatan penghuni , khususnya bagi anak
sebagai penghuninya, mempunyai resiko dalam
mendapatkan penyakit infeksi saluran pernapasan akut
bawah, seperti ashtma, tentunya juga sangat
berpengaruh pada kejadian penyakit tuberkulosis
(Cardoso MRA,et al, 2004)
28
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 JENIS PENELITIAN
Pada penelitian ini peneliti menggunakan jenis penelitian
adalah Observasional - kasus-kontrol,-case-control- yaitu
untuk melihat bagaimana pengaruh antara keadaan lingkungan
fisik rumah penghuni kasus tuberkulosis paru dan yang bukan
kasus tuberculosis (kontrol) di Kecamatan Tanggulangin
Kabupaten Sidoarjo.
3.1.1 POPULASI
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita
tuberkulosis paru di kecamatan Tanggulangin kabupaten
Sidoarjo yang mendapat pengobatan di puskesmas Kecamatan
Tanggulangin berdasarkan data dari Puskesmas Tanggulangin
antara bulan Januari sampai bulan Desember 2008, yang
rumahnya tidak mengalami perubahan baik sebelum maupun
sesudah terdiagnosis tuberkulosis, yaitu sebanyak 50 orang.
3.1.2 SUBYEK PENELITIAN
Pada penelitian ini tidak ditarik sampel, subyek
penelitian meliputi seluruh populasi yaitu sebesar 50 orang
penderita kasus, dan ditambah 50 orang kontrol.(tidak
menderita tuberculosis paru)
Kontrol adalah penduduk yang tidak menderita
tuberkulosis pada Kecamatan Tanggulangin yang berkunjung
29
ke Puskesmas Tanggulangin, yang kondisi rumahnya tidak
mengalami perubahan antara bulan Januari – Desember 2008.
3.1.3 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas
Kecamatan Tanggulangin Kabupaten Sidoarjo pada bulan
Pebruari 2009 sampai dengan April 2009. Jadwal dalam
tahap-tahap perencanaan hingga pelaksanaan penelitian dimuat
dalam tabel III.1.
Tabel III.1
Susunan jadwal pelaksanaan proses penelitian tahap demi tahap
Tanggal Kegiatan
Januari 2009 Persiapan sampai dengan penulisan
Proposal
1- 15 Pebruari 2009 Pengajuan ijin lokasi
15-28 Pebruari
2009
Persiapan alat,kuesioner dan pelatihan
petugas
1-15 Maret Persiapan lapangan
15 Maret- 15 April
2009
Pelaksanaan dilapangan
15 – 30 April 2009 Penulisan Lapoiran
3.1.4 PENGUMPULAN, PENGOLAHAN DAN ANALISIS
DATA
30
(1) Pengumpulan Data
a. Data primer
Data primer dikumpulkan dengan metode
observasi dan wawancara. Rumah responden akan
langsung diperiksa secara visual untuk kepadatan kamar,
pencahayaan dan ventilasi. Untuk data kelembaban diukur
dengan Hygrometer, sedangkan suhu diukur menggunakan
Thermometer ruangan. Responden juga akan di wawancara
dengan acuan kuisioner.
Dalam penelitian ini, prosedur observasi dibantu
oleh Bagian Pemberantasan Penyakit Menular dan Bagian
Kesehatan Lingkungan Puskesmas Tanggulangin, serta
perangkat desa terkait.
b. Data sekunder
Data sekunder didapatkan dari data yang ada di
Puskesmas kecamatan Tanggulangin kabupaten Sidoarjo,
yaitu seluruh data tentang pasien yang menderita penyakit
TB paru selama tahun 2008, baik yang masih dalam
pengobatan, maupun yang sembuh dalam tahun 2008.
(2) Pengolahan Data
Data mentah yang didapat dari hasil wawancara
berdasarkan kuisioner yang diolah ke dalam bentuk tabel
distribusi frekuensi secara manual.
(3) Analisa Data
a. Data Kelayakan Hunian Berdasarkan Kepadatan Hunian, Pencahayaan Dan Ventilasi
31
Untuk kepadatan hunian, pencahayaan
dan ventilasi dikategorikan dalam skala
nominal yaitu tidak memenuhi syarat dan
memenuhi syarat (lihat tabel III.2), masing-
masing variabel diberikan nilai minimal 1 dan maksimal 2,
sehingga dari ketiga variabel (kepadatan, pencAhayaan,
dan suhu) diperoleh nilai tertinggi 6.
Penetapan skor kategori keadaan fisik rumah
subyek penelitian, sebagai berikut :
a. Memenuhi Syarat : skor 5 - 6
b. Tidak memenuhi syarat : skor 3 - 4
Tahap berikut data diuji hipotesa
mengunakan analisis komparatif dua sampel
independen data nominal dengan rumus
Kai Kuadrat dua sampel. Namun data
tersebut juga diberikan skoring yang dapat
diperingkatkan, maka data tersebut juga
sekaligus merupakan data ordinal. Oleh
karena itu data - data tersebut juga diuji
hipotesa menggunakan rumus Mann Whitney
Test dengan tujuan mendapatkan hasil yang
lebih akurat.
Tabel III.2
Kategori data nominal untuk kepadatan hunian, pencahayaan dan ventilasi
32
No Variabel Keadaan yang didapat Kategori Skor
1. Kepadatan
hunian
a. Jumlah kamar sesuai
dengan jumlah
penghuni
Memenuhi
syarat
2
b. Jumlah kamar tidak
sesuai dengan jumlah
penghuni
Tidak
memenuhi
syarat
1
2. Pencahayaan a. Cukup terang Memenuhi
syarat
2
b. Kurang terang /
cenderung gelap
Tidak
memenuhi
syarat
1
3. Ventilasi a. Ventilasi cukup (≥10%
dari luas lantai
ruangan)
Memenuhi
syarat
2
b. Ventilasi tidak cukup
(<10% dari luas lantai
ruangan)
Tidak
memenuhi
syarat
1
Sumber : Parameter Survey Kesehatan Nasional
2002 (modifikasi)
b. Data Kelembaban dan Suhu
Suhu dan kelembaban dikategorikan
dalam skala interval berdasarkan data mentah
kelembaban dalam satuan persen dan suhu
dalam satuan derajat Celcius, kemudian data
tersebut diuji hipotesa menggunakan analisis
33
Lanjutan tabel III.2
komparatif dua sampel independen data
interval dengan rumus t-test dua sampel.
c. Semua variabel yang dianalisa gabungan
(Kepadatan hunian, ventilasi,
pencahayaan alami) dinyatakan sebagai
faktor yang dikatagorikan dalam 2 resiko (+
atau-), dihitung Ratio Odds=RO, dengan,
ketentuan sebagai berikut: :
Bila RO =1, maka pajanan bukan sebagai faktor resiko. Bila RO >1, maka pajanan merupakan faktor resiko. Bila RO <1, maka pajanan merupakan faktor protektif.
RO =ad
bc
3.1.5 Variabel Penelitian
(1) Variabel Dependen
Sebagai variabel dependen dalam penelitian ini
adalah kejadian penyakit TB paru pada penduduk di
wilayah kerja Puskesmas Tanggulangin.
KASUSKONTROL RESIKO
+RESIKO
-
RESIKO + a b
RESIKO - c d
34
(2) Variabel independen
Sebagai variabel independen dalam penelitian ini
adalah sanitasi rumah, yang dilihat dari masing-masing
variabel sanitasi (ventilasi, suhu, kepadatan penghuni,
penerangan alami, kelembaban) .
3.2. DEFINISI OPERASIONAL
3.2.1 Kepadatan hunian
Merupakan jumlah kamar di dalam rumah
dibanding dengan jumlah penghuni rumah, dapat dilihat
dalam tabel III.3.
Tabel III.3
Jumlah kamar tidur dibanding jumlah penghuni, yang memenuhi syarat dengan skor
2
No Jumlah kamar
minimal
Jumlah penghuni
1. Satu 2 orang
2. Dua 3 orang
3. Tiga 5 orang
4. Empat 7 orang
5. Lima atau lebih 10 orang
Sumber : Sutopo Patria Jati; Rumah Sehat
Apabila jumlah kamar didalam rumah dibanding
dengan jumlah penghuni rumah tidak sesuai dengan tabel
tersebut di atas, maka dikatakan tidak memenuhi syarat
dan diberi skor 1.
35
3.2.2 Pencahayaan
Adalah kondisi pencahayaan alami yang masuk
kedalam rumah melalui jendela, atau genteng kaca, apakah
sudah cukup terang, atau kurang terang sehingga didalam
rumah cenderung tampak gelap. Dalam penelitian ini
peneliti tidak mengukur tiap rumah menggunakan Lux
Meter, sehingga data dikumpulkan hanya dari pengamatan
di lapangan dan wawancara.
3.2.3 Ventilasi
Ventilasi digunakan untuk pergantian udara, udara
perlu diganti agar mendapat kesegaran badan selain itu
agar kuman-kuman penyakit dalam udara antara lain
bakteri dan virus dapat keluar dari ruangan sehingga tidak
menjadikan penyakit.
Ventilasi yang baik, harus memenuhi syarat, yaitu
luas lubang ventilasi tetap minimal 5 % dari luas lantai
ruangan, sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat
dibuka dan ditutup) minimal 5 % dari luas lantai. Jumlah
keduanya menjadi 10% dari luas lantai ruangan.
Dalam penelitian ini selain melakukan pengamatan
langsung di lapangan, ventilasi dinyatakan memenuhi
syarat bila pada tiap kamar terdapat satu atau lebih jendela
yang menghadap langsung keluar. Bila pada kamar
terdapat jendela namun tidak berhubungan langsung
dengan luar atau bahkan tidak ada jendela sama sekali,
maka dikategorikan sebagai tidak memenuhi syarat.
36
3.2.4 Kelembaban Udara
Secara umum selain diukur dengan Hygrometer,
kelembaban udara dirumah penduduk dievaluasi dari
wawancara terhadap kondisi dinding rumah mereka,
apakah dinding rumah mereka tampak kering bersih, atau
seperti ada bekas rembesan air, atau bahkan berlumut.
Dinding rumah yang menunjukkan gambaran seperti bekas
rembesan air atau bahkan berlumut, menunjukkan rumah
tersebut memiliki kelembaban cenderung tinggi. Pada
survey dilapangan, pengukuran dengan Hygrometer akan
menjelaskan kelembaban udara rumah yang memenuhi syarat
kesehatan yaitu 40-60 % dan kelembaban udara yang tidak
memenuhi syarat kesehatan yaitu < 40 % atau > 60 %
(Depkes RI, 1989).
3.2.5 Suhu
Suhu yang dimaksud merupakan keadaan panas
atau dinginnya udara ada dalam rumah dievaluasi dari hasil
wawancara, apakah sering terasa panas, atau malah
cenderung terasa sejuk. Berdasarkan indikator pengawasan
perumahan, suhu rumah yang memenuhi syarat kesehatan
adalah antara 20-25 ºC, dan suhu rumah yang tidak
memenuhi syarat kesehatan adalah < 20 ºC atau > 25 ºC.
Pengamatan dilapangan akan mengukur suhu
kamar tiap rumah subyek penelitian dengan Thermometer
ruangan untuk nantinya dibandingkan apakah ada
perbedaan antara kasus dan kontrol.
3.3 KERANGKA KONSEP
37
Kerangka konseptual penelitian dapat dilihat pada
gambar 3.1 :
Yang Diteliti :
Gambar 3.1. Kerangka konsep penelitian
38
Penderita Positif TB Paru
Faktor yang mempengaruhi
Faktor Intrinsik-Usia-Jenis Kelamin-Imunitas
Faktor Ekstrinsik-Sosial ekonomi-Budaya-Pendidikan-Pekerjaanungan
Kepadatan hunian rumah
Ventilasi rumah Pencahayaan alami
rumah Kelembaban Suhu udara
Bukan Pendeita TB Paru(Kontrol)
Kepadatan hunian rumah
Ventilasi rumah Pencahayaan alami
rumah Kelembaban Suhu udara
KOMPERATIRATIF
Lingkungan
BAB IV
HASIL DAN ANALISIS
4.1 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan selama lebih satu bulan
mengambil tempat di wilayah kerja Puskesmas Tanggulangin
Kecamatan Tanggulangin Kabupaten Sidoarjo, yang secara
singkat mempunyai gambaran wilayah sebagai berikut :
4.1.1 Data Wilayah atau Geografis
(1) Kecamatan Tanggulangin 6 km dari pusat pemerintahan
Kabupaten Sidoarjo yang merupakan dataran rendah
yang subur dan luas 30,02 km2 yang terdiri dari :
Tanah tambak : 16,5%
Tanah sawah : 54,9%
Tanah pekarangan : 26,6%
(2) Wilayah kerja puskesmas Tanggulangin terdiri dari 19
desa dengan batas-batas sebagai berikut :
Sebelah utara : kecamatan Candi
Sebelah timur : laut Jawa
Sebelah selatan : kecamatan Porong
Sebelah barat : kecamatan Tulangan
4.1.2 Data Kependudukan atau Sosial Budaya
Jumlah penduduk kecamatan Tanggulangin tahun 2008
sebanyak 104.302 jiwa,.terdiri dari : Laki-laki
: 52.227 jiwa
Perempuan : 52.075
jiwa
Jumlah kepala keluarga : 32.976
jiwa
39
Mata pencaharian sebagian besar penduduk
Tanggulangin adalah swasta. Data lebih lengkap adalah
sebagai berikut :
PNS : 1.432 orang
ABRI : 1.021 orang
Swasta : 19.478 orang
Tambak : 5.950 orang
Petani : 3.756 orang
4.2 KARAKTERISTIK RESPONDEN
4.2.1 Kepadatan Penghuni Rumah
Tabel IV.1
Distribusi frekuensi kepadatan penghuni rumah responden di kecamatan Tanggulangin kabupaten Sidoarjo pada bulan
April 2009
Kategori
Kejadian Tuberkulosis
JumlahKasus TB Bukan TB
F % f %
Tidak Memenuhi Syarat 39 78 19 38 58
Memenuhi Syarat 11 22 31 62 42
Jumlah 50 100 50 100 100
Sumber : Hasil Survey
Gambar 4.1
40
Proporsi kepadatan rumah penderita TB paru
Gambar 4.2
Proporsi kepadatan rumah bukan penderita TB paru
Dari data hasil survey diatas maka didapatkan bahwa
rumah dengan kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat
lebih banyak terdapat pada rumah penderita TB paru (78%)
dibanding rumah bukan penderita TB paru (38%). Sehingga
sejauh ini dapat diambil kesimpulan sementara bahwa terdapat
perbedaan mengenai tingkat kepadatan hunian pada rumah
penderita TB paru dengan rumah bukan penderita TB paru .
4.2.2 Pencahayaan Rumah
Tabel IV.2
Distribusi frekuensi kondisi pencahayaan rumah responden di kecamatan Tanggulangin kabupaten
Sidoarjo pada bulan April 2009
Kategori
Kejadian Tuberkulosis
JumlahKasus TB Bukan TB
f % F %
Tidak Memenuhi Syarat 43 86 26 52 69
Memenuhi Syarat 7 14 24 48 31
Jumlah 50 100 50 100 100
Sumber : Hasil Survey
41
Gambar 4.3
Proporsi kondisi pencahayaan rumah
penderita TB paru
Gambar 4.4
Proporsi kondisi pencahayaan rumah bukan penderita TB paru
Dari data hasil survey diatas maka didapatkan
bahwa rumah kondisi pencahayaan rumah yang tidak
memenuhi syarat lebih banyak terdapat pada rumah
penderita TB paru (86%) dibanding rumah bukan
penderita TB paru (52%). Sehingga sejauh ini dapat
diambil kesimpulan sementara bahwa terdapat
perbedaan mengenai kondisi pencahayaan rumah
penderita TB paru dengan rumah bukan penderita TB
paru .
42
4.2.3. Ventilasi Rumah
Tabel IV.3
Distribusi frekuensi kondisi ventilasi rumah responden di kecamatan Tanggulangin kabupaten Sidoarjo pada bulan
April 2009
Kategori
Kejadian Tuberkulosis
JumlahKasus TB Bukan TB
f % F %
Tidak Memenuhi Syarat 34 68 10 20 44
Memenuhi Syarat 16 32 40 80 56
Jumlah 50 100 50 100 100
Sumber : Hasil Survey
Gambar 4.5
Proporsi kondisi ventilasi rumah di dalam rumah penderita TB paru
Gambar 4.6
Proporsi kondisi ventilasi rumah di dalam rumah bukan penderita TB paru
43
Dari data hasil survey diatas maka didapatkan bahwa
rumah kondisi ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat
lebih banyak terdapat pada rumah penderita TB paru (68%)
dibanding rumah bukan penderita TB paru (20%). Sehingga
sejauh ini dapat diambil kesimpulan sementara bahwa terdapat
perbedaan mengenai kondisi ventilasi rumah penderita TB
paru dengan rumah bukan penderita TB paru .
4.2.4 Perbedaan Kondisi Rumah Secara Keseluruhan
Berdasarkan Hasil Skoring kepadatan hunian, kondisi
pencahayaan dan ventilasi.
Tabel IV.4
Distribusi frekuensi kondisi rumah keseluruhan berdasarkan akumulasi skor kepadatan hunian, kondisi pencahayaan dan
ventilasi pada bulan April 2009
Kategori
Kejadian Tuberkulosis
JumlahKasus TB Bukan TB
f % F %
Tidak Memenuhi Syarat
(skor 3-4)
39 78 19 38 44
Memenuhi Syarat
(skor 5-6)
11 22 31 62 56
Jumlah 50 100 50 100 100
Sumber : Hasil Survey
44
Gambar 4.7
Proporsi kondisi rumah penderita TB paru dilihat dari kepadatan hunian, kondisi
pencahayaan dan ventilasi
Gambar 4.8
Proporsi kondisi rumah bukan penderita TB paru dilihat dari kepadatan hunian, kondisi
pencahayaan dan ventilasi
Dari data hasil survey diatas maka didapatkan bahwa
secara keseluruhan dari akumulasi hasil skoring kepadatan
hunian, kondisi pencahayaan dan ventilasi, tampak ada
perbedaan antara rumah penghuni TB paru (78 % tidak
memenuhi syarat kesehatan) dengan bukan penderita TB paru
(38% tidak memenuhi syarat kesehatan).
4.2.5. Kelembaban Rumah
Tabel IV.5
45
Distribusi frekuensi kondisi kelembaban rumah responden di kecamatan Tanggulangin kabupaten Sidoarjo pada bulan
April 2009
Kategori
Kejadian Tuberkulosis
JumlahKasus TB Bukan TB
f % f %
Kurang dari 40% 0 0 0 0 0
Antara 40% - 60% 38 76 13 26 51
Lebih dari 60 % 12 24 37 74 49
Jumlah 50 100 50 100 100
Sumber : Hasil Survey
Gambar 4.9
Proporsi kondisi kelembaban di dalam rumah
penderita TB paru
46
Gambar 4.10
Proporsi kondisi kelembaban di dalam rumah bukan penderita TB paru
Dari data mentah hasil pengukuran di lapangan,
untuk sementara dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan
mengenai kondisi kelembaban rumah penderita TB paru
dengan rumah bukan penderita TB paru, dimana rumah
penderita TB paru cenderung memiliki kelembaban tinggi
(>60%) , dan rumah bukan penderita TB paru memeiliki
kelembaban normal (40% - 60%).
4.2.6 Suhu Rumah
Tabel IV.6
Distribusi Frekuensi Kondisi Suhu Rumah Responden di kecamatan Tanggulangin Kabupaten Sidoarjo pada bulan
April 2009
Kategori
Kejadian Tuberkulosis
JumlahKasus TB Bukan TB
f % f %
Kurang dari 20% 0 0 0 0 0
Antara 20% - 25% 0 0 0 0 0
Lebih dari 25 % 50 100 50 100 100
47
Jumlah 50 100 50 100 100
Sumber : Hasil Survey
Gambar 4.11.
Proporsi kondisi suhu rumah penderita TB paru
Gambar 4.12.
Proporsi kondisi suhu rumah bukan penderita TB
paru
Dari data mentah hasil pengukuran di lapangan,
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara suhu
rumah penderita TB paru dan bukan penderita TB paru .
Karena baik rumah penderita TB paru maupun rumah bukan
penderita TB paru menujukan suhu diatas 25 oC.
4.3 ANALISA PENGARUH KARAKTERISTIK
LINGKUNGAN FISIK RUMAH TERHADAP
KEJADIAN TB PARU.
48
4.3.1 Analisa Kepadatan penghuni dengan perhitungan
Rasio Odd
Dari tabel IV.1, maka Rasio Odds dihitung sebagai berikut :
Rasio Odds= (39x31) : (19x11) = 5, 07, berarti >1, yaitu
kepadatan penghuni rumah merupakan faktor risiko
terjadinya kasus TB
4.3.2 Analisa Pencahayaan rumah dengan perhitungan Rasio
Odds
Dari tabel IV.2, maka Rasio Odds dihitung sebagai berikut:
Rasio Odds= (43x24 ) : (26x7) = 5, 06, berarti >1, yaitu
pencahayaan rumah merupakan faktor risiko terjadinya kasus
TB
4.3.3 Analisa ventilasi rumah dengan perhitungajn Rasio
Odds
Dari tabel IV.3, maka Rasio Odds dihitung sebagai berikut:
Rasio Odds= (34x40) : (10x16) = 8,05, berarti >1, yaitu
ventilasi rumah merupakan faktor risiko terjadinya kasus TB
4.3.4 Analisa Data Gabungan Kepadatan Hunian, Pencahayaan
dan Ventilasi
Rumah
49
.(1) Uji Kai Kuadrat Dua Sampel
Kai Kuadrat (X2) digunakan untuk menguji hipotesa
komparatif bila datanya berbentuk nominal dan sampelnya
besar. Data yang diambil berdasarkan tabel IV.4, menunjukkan
data tersebut data nominal. Dimana formulasi hipotesanya
adalah:
H0 = Tidak ada perbedaan antara rumah yang tidak
memenuhi syarat kesehatan dan memenuhi
syarat kesehatan terhadap timbulnya kejadian
TB paru.
H1 = Ada perbedaan antara rumah yang tidak
memenuhi syarat kesehatan dan memenuhi
syarat kesehatan terhadap timbulnya kejadian
TB paru.
Taraf nyata yang digunakan 5% (0,05), dengan nilai X2
memiliki derajat bebas (db) = 1 (n-1), sehingga
didapatkan = 3,481
Dengan kriteria pengujian :
H0 diterima (H1 ditolak) apabila ≤
H1 diterima (H0 ditolak) apabila >
Tabel IV.7
Data untuk uji kai kuadrat dua sampel
Kelompok Tidak memenuhi syarat
Skor (3-4)
Memenuhi syarat
Skor (5-6)
Jumlah
50
Kasus TB 39 = a 11 = b 50= a+b
Bukan TB 19 = c 31 = d 50 = c+d
Jumlah 58 = a+c 42= b+d 100 = n
= 14,82
Ternyata harga lebih besar dari harga
untuk taraf nyata 5%. Dengan demikian H1 diterima (H0
ditolak), jadi dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan
antara rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan dan
memenuhi syarat kesehatan terhadap timbulnya kejadian
TB paru.
(2) Uji Mann Whitney
Untuk menambah akurasi hasil analisa penelitian
ini, maka berdasarkan data rumah yang memenuhi syarat
dan yang tidak memenuhi syarat dari akumulasi skoring
kepadatan hunian, pencahayaan dan ventilasi, dilakukan uji
lagi menggunakan uji Mann Whitney.
Uji ini digunakan untuk menguji hipotesa
komparatif dua sampel yang independen bila datanya
berbentuk ordinal. Data dalam tabel IV.4 yang awalnya
51
merupakan data nominal, akhirnya diubah menjadi data
ordinal (lihat lampiran), berdasarkan peringkat skoring.
Data tersebut diolah secara otomatis
menggunakan program SPSS 12 for Windows, dimana
formulasi hipotesanya adalah :
H0 = Tidak ada perbedaan antara rumah yang tidak
memenuhi syarat kesehatan dan memenuhi
syarat kesehatan terhadap timbulnya kejadian
TB paru.
H1 = Ada perbedaan antara rumah yang tidak
memenuhi syarat kesehatan dan memenuhi
syarat kesehatan terhadap timbulnya kejadian
TB paru.
Taraf nyata yang digunakan 5% (0,05) sehingga
=0,05
Dengan kriteria pengujian :
H0 diterima (H1 ditolak) apabila Asymp Sig. ≥
H1 diterima (H0 ditolak) apabila Asymp Sig. <
Tabel IV.8
Tabel Hasil Uji Mann Whitney
52
RanksStatus Kasus N Mean Rank Sum of Ranks
Kondisi Rumah TBBkn TBTotal
5050
100
41.0060.00
2050.003000.00
Test StatisticsKondisi Rumah
Asymp Sig. (2tailed) .000
Dari hasil uji Mann Whitney menggunakan SPSS
12 for Windows ternyata didapatkan hasil Asymp = 0.000
< = 0,05. Dengan demikian H1 diterima (H0 ditolak),
sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan antara
rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan dan
memenuhi syarat kesehatan terhadap timbulnya kejadian
TB paru.
4.3.5. Analisa Data Kelembaban Rumah
Data mentah kelembaban rumah yang diukur dengan
Hygrometer, yang merupakan data interval diolah dengan uji
hipotesa menggunakan rumus t-test dua sampel secara
otomatis menggunakan program SPSS 12 for Windows, dimana
formulasi hipotesanya adalah :
H0 = Tidak ada perbedaan kelembaban pada rumah
penderita TB paru dan rumah bukan penderita TB
paru .
H1 = Ada perbedaan kelembaban pada rumah penderita
TB paru dan rumah bukan penderita TB paru .
53
Taraf nyata yang digunakan 5% (0,05) sehingga
=0,05
Dengan kriteria pengujian :
H0 diterima (H1ditolak) apabila Asymp Sig. ≥
H1 diterima (H0ditolak) apabila Asymp Sig. <
Tabel IV.9
Tabel hasil uji t-test untuk kelembaban rumah
Group Statistics
Status Kasus N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Kelembaban rumah (%) TBBkn TB
5050
63.400060.5200
2.62640.88617
.37143
.12532Independent Sample Test
t-test for Equality of Means
t df Sig. (2-tailed)Mean
DifferenceKelembaban rumah (%) Equal variances
assumedEqual variances not assumed
7.347
7.347
98
60.014
.000
.000
2.88000
2.88000
Dari hasil uji t-test menggunakan SPSS 12 for
Windows ternyata didapatkan hasil Asymp Sig = 0.000 < =
0,05. Dengan demikian H1 diterima (H0 ditolak), sehingga
dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan kelembaban pada
rumah penderita TB paru dan rumah bukan penderita TB paru .
4.3.6 Analisa Data Suhu Rumah
Data mentah suhu rumah yang diukur dengan
Thermometer yang merupakan data interval akan dianalisis
54
dengan uji hipotesa menggunakan rumus t-test dua sampel
secara otomatis menggunakan program SPSS 12 for Windows,
dimana formulasi hipotesanya adalah :
H0 = Tidak ada perbedaan suhu pada rumah penderita TB
paru dan rumah bukan penderita TB paru .
H1 = Ada perbedaan suhu pada rumah penderita TB paru
dan rumah bukan penderita TB paru .
Taraf nyata yang digunakan 5% (0,05) sehingga =0,05
Dengan kriteria pengujian :
H0 diterima (H1ditolak) apabila Asymp Sig. ≥
H1 diterima (H0ditolak) apabila Asymp Sig. <
Tabel IV.10
Tabel hasil uji t-test untuk suhu rumah
Group Statistics
Status Kasus N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Suhu rumah (oC) TBBkn TB
5050
30.160029.7000
1.447871.51523
.20476
.21429Independent Sample Test
t-test for Equality of Means
t df Sig. (2-tailed)Mean
DifferenceSuhu rumah (oC) Equal variances
assumedEqual variances not assumed
1.552
1.552
98
97.798
.124
.124
.46000
.46000
55
Dari hasil uji t-test menggunakan SPSS 12 for
Windows ternyata didapatkan hasil Asymp Sig = 0.124 > =
0,05. Dengan demikian H0 diterima (H1 ditolak), sehingga
dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan suhu pada
rumah penderita TB paru dan rumah bukan penderita TB paru .
BA B V
PEMBAHASAN
5.1 BAHASAN VARIABEL KEPADATAN
PENGHUNI,PENCAHAYAAN DAN
VENTILASI RUMAH
56
5.1.1 Pengaruh kepadatan penghuni terhadap kasus TB paru
Secara analisis variabel mandiri untuk kepadatan penghuni,
dilakukan dengan perhitungan Rasio Odds (RO) untuk mencari
adanya pengaruh faktor resiko(+), sebagai kepadatan
penghuni yang memenuhi syarat, dan kepadatan penghuni
yang tidak memenuhi syarat, sebagai faktor resiko (-).
Hasil perhitungan adalah RO adalah 5,07 , berarti >1,
yaitu kepadatan penghuni rumah yang tidak memenuhi syarat,
merupakan faktor risiko terjadinya kasus TB. Secara empiris
dari penelitian Michael Clark dkk, membuktikan bahwa daerah
dengan kepadatan penghuni per kamar semakin tinggi
menunjukkan angka kasus TB semakin tinggi pula (Clark M,et
al., 2002).
Atas pertimbangan tersebut, maka tentang kepadatan
penghuni di perumahan, pelu mendapat pula prioritas
perhatian . Bahkan di Amerika Serikat ada data menyebutkan
tidakmemenuhi syaratnya ventilasi dan kepadatan penghuni
per kamar menjadi epidemic tuberkulosis satu abad yang lalu
(Stein, 1950) dan memang oleh WHO dinyatakan kasus
tuberkulosis sebagai problem yang signifikan, dengan
menyebabkan angka kematian 2 juta tahun 2002 (WHO, 2004)
5.1.2 Pengaruh pencahayaan alami rumah terhadap kasus TB
paru
57
Dari analisis variabel mandiri untuk pencahayaan
rumah , dilakukan dengan perhitungan Rasio Odds (RO) untuk
mencari adanya pengaruh faktor resiko(+), sebagai
pencahayaan rumah yang memenuhi syarat, dan pencahayaan
rumah` yang tidak memenuhi syarat, sebagai faktor resiko (-).
Hasil perhitungan adalah RO adalah 5,06 , berarti >1,
pencahayaan rumah yang tidak memenuhi syarat faktor risiko
terjadinya kasus TB.Secara teoritis cahaya matahari yang
kurang, mempengaruhi perkembangan bakteri
M.tubercuolosis(
Dalam penelitian lain, yaitu penelitian hubungan
penerangan alami dengan kejadian ISPA pada balita, Yusuf NA dan
Lilis Sulistyorini, membuktikan bahwa dalam penelitiannya di
Surabaya, rumah yang kurang mendapat penerangan alami terdapat
sebagian besar r4esponden menderita ISPA (76,5 %) dan sebanyak
23,5 % tidak ISPA (Yusuf NA dan Lilis Sulistyorini,
2005).Pembuktian dengan uji Chi-Square secara signifikan ada
hubungan antara rumah dengan penerangan alami dengan kasus ISPA
pada balita. Dalam penelitian tersebut, walapun dari penyakit yang
berbeda, namun secara substansial peran penerangan alami sangat
58
potensial dalam perkembangan suatu kuman, tentunya termasuk
kuman tuberkulosis.
Atas pertimbangan tersebut, maka, penerangan alami di
rumah, khususnya bagi umah dengan penghuni ang ada
pendeita TB, perlu selalu mendapat penyuluhan yang
kontinyu.
5.1.3 Pengaruh ventilasi rumah terhadap kasus TB paru
Dari analisis variabel mandiri untuk venilasi rumah ,
dilakukan denganperhitungan Rasio Odds (RO) untuk mencari
adanya pengaruh faktor resiko(+), sebagai ventilasi rumah
yang memenuhi syarat, dan ventilasi rumah`yang tidak
memenuhi syarat, sebagai faktor resiko (-).
BHasil perhitungan adalah RO adalah 8,05, berarti >1,
ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat merupakan faktor
risiko terjadinya kasus TB. Suatu ventilasi yang tidak
memenuhi syarat, dampak yang timbul membuat perabot yang
ada di rumah menjadi lembab( Markus TA, 1993) Disamping
itu kelembaban tersebut mengakibatkan tumbuhnya subur
binatang seerti kecoak, virus penapasan, jamur, dan sangat
59
memegang peran dalam timbulnya penyakit patogenis saluran
pernapasan (Karim YG,et al, 1985)
5.2 BAHASAN PENGARUH PERSYARATAN RUMAH
BERDASAR ANALISA GABUNGAN KEPADATAN,
PENCAHAYAAN DAN VENTILASI RUMAH
Berdasarkan uji hipotesa data nominal dengan rumus
Kai kuadrat dan uji hipotesa data ordinal dengan rumus Mann
Whitney Test didapatkan data bahwa rumah yang memenuhi
syarat kesehatan rumah berdasarkan variabel kepadatan
hunian, kondisi pencahayaan dan ventilasi, memiliki pengaruh
yang bermakna dengan kejadian TB paru pada penduduk
kecamatan Tanggulangin kabupaten Sidoarjo.
Dapat dipahami, bahwa penyakit TB paru ditularkan
dari penderita TB paru BTA (+) melalui droplet nuclei yang
dibatukkan atau dibersinkan oleh seorang penderita kepada
orang lain, dan dapat menularkan pada 10-15 orang
disekitarnya, terutama anak-anak (Depkes RI, 2002). Oleh
karena itu, kepadatan penghuni yang berlebihan (overcrowded)
sangat berpengaruh dengan penularan infeksi TB paru ,seperti
yang disampaikan oleh Stein L (Stein L, 1950)
Menurut Puslit Ekologi Kesehatan (1991), tingkat
penularan TB paru di lingkungan rumah penderita cukup
tinggi, dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan
60
kepada 2-3 orang di dalam rumahnya. Oleh karena itu,
dapatlah dimengerti bahwa terjadinya TB paru dipengaruhi
oleh kepadatan penghuni yang tidak memenuhi syarat
kesehatan.
Keadaan ventilasi juga berpengaruh terhadap kejadian
TB paru di kecamatan Tanggulangin kabupaten Sidoarjo. Hal
tersebut dapat dipahami, karena ventilasi memiliki berbagai
fungsi, diantaranya adalah untuk membebaskan ruangan rumah
dari bakteri-bakteri patogen, terutama kuman tuberkulosis.
Kuman TB yang ditularkan melalui droplet nuclei, dapat
melayang di udara karena memliliki ukuran yang sangat kecil,
yaitu sekitar 50 mikron. Apabila ventilasi rumah memenuhi
syarat kesehatan, maka kuman TB dapat terbawa ke luar
ruangan rumah, tetapi apabila ventilasinya buruk makan
kuman TB akan tetap ada di dalam rumah. Selain itu ventilasi
yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan
terhalangnya sinar matahari masuk ke dalam rumah, padahal
kuman TB hanya dapat terbunuh oleh sinar matahari langsung
(Depkes RI, 2002;Notoatmodjo, 2003; Girsang, 1999; Salvato
dalam Lubis, 1989; Supraptini, 1999; Prihardi, 2002).
Agar cahaya matahari cukup pada pagi dan siang hari,
diperlukan luas ventilasi dan jendela yang memenuhi syarat
kesehatan. Kamar tidur sebaiknya berada di sebelah timur
untuk memberi kesempatan masuknya ultraviolet yang ada
didalam sinar matahari pagi.
Dari data mentah hasil pengukuran kelembaban di
lapangan ditemukan bahwa rumah penderita TB paru memiliki
61
kelembaban yang cenderung tinggi. Selanjutnya berdasarkan
uji hipotesa menggunakan rumus t-test untuk data kelembaban
tersebut yang dikategorikan sebagai data interval, juga
menujukkan adanya perbedaan antara kondisi kelembaban
pada rumah penderita TB paru dan rumah bukan penderita TB
paru .
Hal ini bisa dianggap sebagai faktor yang ikut
mendukung terjadinya TB paru pada penduduk di kecamatan
Tanggulangin kabupaten Sidoarjo, sebab dapat dipahami
bahwa kelembaban rumah yang tidak memenuhi syarat
kesehatan akan menjadi media yang baik bagi pertumbuhan
berbagai mikroorganisme seperti bakteri, spiroket, ricketsia,
virus dan mikroorganisme yang dapat masuk ke dalam tubuh
manusia melalui udara sehingga dapat menyebabkan terjadinya
infeksi pernafasan pada penghuninya.
Kuman Tuberkulosis dapat hidup baik pada lingkungan
yang lembab (Depkes RI, 2002; Notoatmodjo, 2003; Salvato
dalam Lubis, 1989; Supraptini, 1999; Prihardi, 2002). Selain
itu karena air membentuk lebih dari 80% volume sel bakteri
dan merupakan hal yang esensial untuk pertumbuhan dan
kelangsungan hidup sel bakteri, maka kuman TB dapat
bertahan hidup pada tempat sejuk, lembab dan gelap tanpa
sinar matahari sampai bertahun-tahun lamanya (Atmosukarto,
2000; Gould dan Brooker, 2003).
Berdasarkan hasil uji hipotesa menggunakan rumus t-
test, dalam penelitian ini didapatkan bahwa tidak ada
perbedaan suhu pada rumah penderita TB paru dan rumah
62
bukan penderita TB paru . Dari pengukuran di lapangan
didapatkan data bahwa rata-rata suhu rumah penderita TB paru
adalah 30,16 ºC dan rata-rata suhu rumah bukan penderita TB
paru adalah 29,70 ºC. Pada kisaran suhu ini sebenarnya
memungkinkan bakteri tuberkulosis untuk hidup. Menurut
Gould dan Brooker (2003), bakteri Mycobacterium
tuberculosis memiliki rentang suhu yang disukai, tetapi pada
rentang suhu ini terdapat suatu suhu optimum yang
memungkinkan mereka tumbuh pesat. Mycobacterium
tuberculosis merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh subur
dalam rentang 25 – 40º C, tetapi akan tumbuh secara optimal
pada suhu 31 – 37 º C (Depkes RI, 1989; Gould dan Brooker,
2002; Gibson, 1996; Girsang, 1999; Salvato dalam Lubis,
1989).
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dipahami bahwa
sebenarnya suhu rumah berpengaruh terhadap kemampuan
hidup kuman TB. Tetapi, variabel suhu rumah dalam
penelitian ini tidak berpengaruh terhadap kejadian TB paru di
kecamatan Tanggulangin kabupaten Sidoarjo karena tidak ada
perbedaan antara suhu rumah penderita TB paru dan bukan
penderita TB paru.
63
BAB VIKESIMPULAN DAN SARAN
6..1 KESIMPULAN
Secara umum, berdasarkan hasil penelitian, pengolahan
data, analisa data serta pembahasan yang ada, maka peneliti
mengambil kesimpulan bahwa :
(1) Terbukti ada pengaruh antara kepadatan penghuni rumah
dengan kejadian TB paru di Kecamatan Tanggulangin
Kabupaten Sidoarjo.
(2) Terbukti ada pengaruh antara keadaan pencahayaan rumah
dengan kejadian TB paru di Kecamatan Tanggulangin
Kabupaten Sidoarjo.
(3) Terbukti ada pengaruh antara keadaan ventilasi rumah dengan
kejadian TB paru di Kecamatan Tanggulangin Kabupaten
Sidoarjo.
(4) Terbukti ada pengaruh antara kelembaban udara dalam rumah
dengan kejadian TB paru di Kecamatan Tanggulangin
Kabupaten Sidoarjo.
(5) Untuk variabel suhu rumah, disimpulkan bahwa secara teoritis
suhu berpengaruh pada kemampuan hidup kuman TB paru,
namun dalam penelitian ini suhu rumah tidak berpengaruh
terhadap kejadian TB paru di Kecamatan Tanggulangin
Kabupaten Sidoarjo, sehingga masih perlu kajian lebih lanjut
6.2 SARAN
Dalam rangka peningkatan upaya Program Pemberantasan
Penyakit Menular (khususnya bagian penanggulangan
64
penyakit tuberkulosis) dan Program KesehatanLingkungan di
Puskesmas Tanggulangin kabupaten Sidoarjo, diharapkan
dalam setiap kegiatan penyuluhan lebih menekankan
pemberian materi penyuluhan tentang peran lingkungan rumah
yang sehat dan meliputi :
(1) Kepadatan penghuni rumah
a. Bagi penduduk yang ingin membangun rumah, hendaknya
jumlah kamar diseuaikan dengan jumlah penghuni rumah.
b. Untuk penderita TB yang tinggal dalam keluarga besar
dalam rumah yang padat penghuni, hendaknya diberikan
kamar tersendiri dan tidak tidur dalam satu kamar dengan
anggota keluarga yang sehat, untuk mengurangi resiko
penularan.
(2) Pencahayaan rumah
a. Untuk penduduk yang ingin membangun rumah,
hendaknya memperhatikan pencahayaan dari seluruh
ruangan agar memperoleh pencahayaan alami (sinar
matahari) yang cukup untuk menerangi rumah disiang hari.
b. Bagi rumah yang selama ini pencahayaannya kurang
hendaknya dibuat jendela baru atau setidaknya mengganti
gentingnya dengan genting kaca.
(3) Ventilasi rumah
a. Untuk penduduk yang ingin membangun rumah,
hendaknya di seluruh ruangan agar dibuat jendela dan
ventilasi dengan luas minimal 10 % dari luas lantai dan
diusahakan langsung berhubungan dengan udara luar agar
sirkulasi udara dapat mengalir dengan baik.
65
b. Menyarankan kepada penduduk agar memaksimalkan
penggunaan ventilasi rumahnya dengan cara selalu
membuka jendela dan ventilasi rumahnya, tidak menutupi
jendela rumahnya dengan triplek, lemari atau benda
lainnya.
(4) Memberikan penyuluhan kepada penduduk bahwa kelembaban
rumah yang tinggi akan dapat berkurang dengan adanya
ventilasi dan pencahayaan rumah yang baik.
Melalui pemberian materi penyuluhan di atas yang
dilakukan sebagai salah satu upaya pencegahan penularan TB
paru, maka diharapkan akan dapat menekan angka penularan
dan angka kesakitan akibat tuberkulosis paru di kecamatan
Tanggulangin kabupaten Sidoarjo.
(5). Bagi peneliti yang berminat dalam materi penelitian
ini, dapat melakukan penelitian tentang variabel pencahayaan,
ventilasi dengan alat ukur yang terukur.
-----
66
DAFTAR PUSTAKA
-----------------------.1989. Bakteriologi Klinik. Depkes RI. Jakarta.
----------------------- 1990. Buku Pegangan Kader Penyehatan Kesehatan Lingkungan. Depkes RI (Dirjen PPM dan PLP). Jakarta.
------------------.2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. DinasP2M. Jakarta
------------------.2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta
Aditama, T. 2000. Tuberkulosis: Diagnosis, Tatalaksana dan Masalahnya. UI Press.Jakarta.
APHA Program Area Comitte on Housing and Health.1968.Basic health principles of housing and its environmen6t.Am J Public Healthj;59:841-851
Ariati, J dan Boesri. 1998. Variabel Epidemiologi Penyakit Menular; Majalah Kesehatan Masyarakat No. 19 Thn. 1998, Depkes RI. Jakarta
Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi V. Rineka Cipta. Jakarta
Atmosukarto dan Sri Soewasti. 2000. Media Litbang Kesehatan, Vol. 9 ; Pengaruh Lingkungan Pemukiman dalamPenyebaran Tuberkulosis. Depkes RI. Jakarta
Azwar, A. 1990. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Mutiara SumberDaya. Jakarta.
Beaglehole, R dan Bonita, R. 1997. Dasar-dasar Epidemiologi. GadjahMada University Press. Yogyakarta
.
67
Catzel, P dan Robert, I. 1995. Kapita Selekta Pediatri. EGC. Jakarta.
Collins KJ.1986.Low indoor temperatures and morbidity in the eldery.Age Ageing ;15:212-220
Cordoso Maria Regina Alves, Simon Nicholas Cousens,Luiz Fermando de Goes Siqueira,Fatima Maria Alves and Luiz Antonio V D’Angelo.2004.Crowding:risk factor or protective factor for lower respiratory disease in young children.BMC Publiuc Health;4:1-8
Crofton, J, dkk. 1995. Tuberkulosis Klinik. Widya Medika. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 1989. Pengawasan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Depkes RI. Jakarta.
Dirjen Pengendalian Penyakit dan penyehatan Lingkungan.2005.Manual Pemberantasan Penyakit Menular.Departemen Kesehatan RI,Jakarta
Dunn JR,Hayes MV.2000.Social inequality, population health, and housing: a study of two Vancouver neighborhoods.Sos Sci Med; 51:563-587
Evans J,Hyndman S,Stewart-Brown S,Smith D, Petersen S.2000.An epidedemiological study of the relativeimportance of damp housing in relationm to adulth health.J Epidemiol Health;54:677-686
FKUI. 1998. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. FKUI. Jakarta.
Fletcher. 1992. Sari Epidemiologi Klinik. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Clark Michael, Peter Riben, and Earl Nowgesic.2002.The association of housinhg density, isolation and tuberculosis in Canadian First Nations communities. International Journal of Epidemiology;31:940-945
68
Gibson, J.M. 1996. Mikrobiologi dan Patologi Modern untuk Perawat. EGC.Jakarta
Girsang, M. 1999. Media Litbang Kesehatan Vo. IX No. 3 tahun 1999: Kesalahan-kesalahan dalam Pemeriksaan Sputum BTA pada Program Penanggulangan terhadap Beberapa Pemeriksaan dan Identifikasi Penyakit TBC. Depkes. Jakarta
Gould, D dan Brooker, C. 2003. Mikrobiologi Terapan untuk Perawat. EGC. Jakarta.
Hasan Iqbal. 2004. Analisis Data Penelitian Dengan Statistik. Bumi Aksara. Jakarta.
Jenkins. 1992. The Microbiology of Tuberculosis During 1990. Houston
Kartasasmita, C. 2002. Pencegahan Tuberkulisis pada Bayi dan Anak. Available at URL from : http//www.depkes.com on Maret 25, 2009
Karim YG, Ijaz MK, Sattar SA,Johnson Levussemburg CM.19/85.Eff ect of realtive humidity on the airborne survival of rhinovirus-14.Can J Microbiol 31:1058-1061
Krieger J, and Donna L.H. 2002. Housing and Health: Time Agaian for Public H~ealth Action.American Journal of Public Health, May 2002,Vol 92,No.5 :758-768
Lennihan dan Fletter. 1989. Health and Environment. Academic Press. San Fransisco
Lienhardt, K Fielding, JS Sillah, B Bah, P Gustafson, D Warndorff,M Papayew, I Lisse, S Donkor, S diallo, K Manneh, R Adegbola, P Aab6y, O BahSow, S Bennet and K McAdam, 2005.Investigation of the risk factors for tuberculosis: a case control study in three countries in West Africa.
Lubis, P. 1989. Perumahan Sehat. Jakarta: Depkes RI
69
Markus TA.1993 .Cold, condensation and housing poverty.In: Burridge %R, Ormandy D, eds.Unhealthy Housing: research,Remedies and Reform.New ork, NY:Spon Press;141-167
Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Prinsip-prinsip Dasar. Rineka Cipta. Jakarta
Prihardi, D. 2002. Ancaman Masa Depan Anak Indonesia. Available at URL from
http//www.depkes.com (cited on 2009, Maret 25).
Rosen G.1958.A History of Public Health.New York, NY:MD Publications
Rosmayudi, O. 2002. Diagnosis dan Pengobatan Tuberkulosis pada Bayi dan Anak. Available at URL from : http//www.depkes.com on 2009, Maret, 2009.
Sanropie, D. 1991. Pengawasan Penyeharan Lingkungan Pemukiman. Dirjen PPM dan PLP. Jakarta
Siegel, S. 1997. Statistik Non Parametrik: untuk Ilmu-ilmu Sosial. Gramedia. Jakarta.
Stanhope and Lancester. 1989. Community Health Nursing. Mosby Company. St. Louis, USA.
Starke, J.R. 1996. Tuberculosis in Nelson WE (Ed), Textbook of Pediatrics, 15th ed. WB Saunders. Philadelphia.
Stein L.1950.A Sstudy of respiratory turbeculosis in relation to housing condition in Edinburg;the pre war period.Br.J Soc Med; 4:143-169
Sudarso. 2007. Membuat Karya Tulis Ilmiah Bidang Kesehatan; Dengan Penjelasan Dasar Metodologi Penelitian dan Desain Penelitian Kesehatan. Perc. Dua Tujuh. Surabaya.
70
Sudjana. 1996. Metode Statistika. Tarsito. Bandung
Sugiyono. 2009. Statistik untuk Penelitian. Alfabeta. Bandung.
Supraptini, dkk. 1999. Pemeriksaan Bakteriologik Lingkungan Rumah Sakit Tuberculosa Pari Cisarua Bogor. Media litbang Kesehatan Vol. IX No.3 tahun 1999. Jakarta
TECHO,Thermal Environmental Conditions for Human Occupancy.1981.American Society of Heating,Refrigerating, and Air-Conditioning Engineers.ASHRAE Standard ANSI?ASHRAE 55
Walton, P. 1991. Environment Health. Academic Press. New York.
WHO.2008.Estmasted burden TB Insicidence and Prevalence 1990 – 2007. Avalaible at URL from : http://www.who.int/tb (cited 2009,March 15)
WHO,2004. Tuberculocis Fact Sheet.World Health Organization.Available at URL from : http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs104/en (accessed April 2008).
World Health Organization.1988.Guidelines for Healthy Housing.Health Seriesd 321.WHO:Regional Office for Europe.
Yusuf N A, Lilis Sulistyorini. 2005. Hubungan sanitasi rumah secara fisik dengan kejadian ISPA pada balita.Jurnal Kesehatan Lingkungan,Vol.I,No.2 Januari 2005
71
LAMPIRAN
72