CONTOH PENDAHULUAN

111
PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Keberadaan penyakit menular di masyarakat, sangat banyak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, baik lingkungan fisik, biologi, kimia, sosial-ekonomi, budaya (Lienhardt C.et al, 2005). Salah satu penyakit menular di Indonesia masih belum dapat terberantas,masih mempunyai potensi angka kejadian penurunannya sangat lamban adalah Tuberkulosis.Angka Insidens, penderita baru di Indonesia per tahun terdapat 583.000 kasus, secara nasional per tahun dapat membunuh 140.000 orang, serta penyebab kematian ke – 2 setelah penyakit jantung, juga setiap tahun selalu terdapat peningkatan jumlah penderita ( PPTI Pusat, 2005). Menurut data WHO, Insidens penyakit TB di Indonesia menurun pada tahun 1990 sebanyak 626.867 dengan rate 343/100.000 penduduk, mortalitas 168.956 dan pada tahun 2007 sebanyak 528.063 dengan rate 228 per 100.000 penduduk , 1

Transcript of CONTOH PENDAHULUAN

Page 1: CONTOH PENDAHULUAN

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Keberadaan penyakit menular di masyarakat, sangat banyak

dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, baik lingkungan fisik, biologi,

kimia, sosial-ekonomi, budaya (Lienhardt C.et al, 2005). Salah satu

penyakit menular di Indonesia masih belum dapat terberantas,masih

mempunyai potensi angka kejadian penurunannya sangat lamban

adalah Tuberkulosis.Angka Insidens, penderita baru di Indonesia per

tahun terdapat 583.000 kasus, secara nasional per tahun dapat

membunuh 140.000 orang, serta penyebab kematian ke – 2 setelah

penyakit jantung, juga setiap tahun selalu terdapat peningkatan

jumlah penderita ( PPTI Pusat, 2005).

Menurut data WHO, Insidens penyakit TB di Indonesia

menurun pada tahun 1990 sebanyak 626.867 dengan rate 343/100.000

penduduk, mortalitas 168.956 dan pada tahun 2007 sebanyak 528.063

dengan rate 228 per 100.000 penduduk , mortalitas 91.568. Untuk

prevalensi, TB tahun 1990 sebanyak 809.592 dengan rate 443, dan

tahun 2007 sebanyak 565.614 dengan rate 244 per 100.000 penduduk

(WHO, 2008) namun demikian diperkirakan, adanya laporan yang

belum sempurna, maka Insidens dan Prevalensi masih tinggi. Kondisi

yang cukup memerlukan perhatian bagi negara Indonesia adalah

keadaan sanitasi lingkungan, khususnya sanitasi perumahan yang

masih banyak yang tidak memenuhi syarat rumah sehat.

Salah satu faktor lingkungan, yaitu kondisi sanitasi rumah

mempunyai peran yang sangat potensial dalam kejadian penyakit

Tuberkulosis, khususnya jenis paru.(Stein LA, 1950). Variabel yang

1

Page 2: CONTOH PENDAHULUAN

penting dalam sanitasi perumahan adalah kelembaban, suhu udara

dan ventilasi, kepadatan penghuni.( Rosen G, 1958 )

Suatu penelitian terkait dengan sanitasi rumah secara fisik,

membuktikan adanya hubungan dengan kepadatan penghuni, ventilasi,

dan penerangan alami rumah yang dihuni , pada penyakit ISPA

( Infeksi Saluran pernapasan Atas) anak usia dibawah lima tahun

(Balita),yaitu di wilayah kota Surabaya (Yusuf NA dan Lilis

Sulistyorini,2005).Hasil tersebut, menunjukkan peran kondisi sanitasi

perumahan, terhadap kejadian penyakit infeksi saluran pernapasan,

walupun penyakit tersebut jenis saluran pernapasan atas, dan pada

balita, sangat dimungkinkan, bahwa pada penderita Turbekulosis paru,

kondisi tersebut juga terjadi.

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis serta

Mycobacyerium avium, tetapi lebih sering disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis (FKUI, 1998). Pada tahun 1993, WHO

telah mencanangkan kedaruratan global penyakit tuberkulosis, hal

ini dikarenakan pada sebagian besar negara di dunia, penyakit

tuberkulosis tidak terkendali. Di Indonesia sendiri, penyakit

tuberkulosis merupakan masalah kesehatan yang utama. Pada tahun

1995, hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT),

menunjukkan bahwa penyakit tuberkulosis merupakan penyebab

kematian nomor tiga (3) setelah penyakit kardiovaskuler dan

penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok umur.

Faktor resiko yang dapat menimbulkan penyakit

tuberkulosis adalah faktor genetik, malnutrisi, vaksinasi, kemiskinan

dan kepadatan penduduk (Beaglehole ,1997). Tuberkulosis terutama

2

Page 3: CONTOH PENDAHULUAN

banyak terjadi pada populasi yang mengalami stres, nutrisi jelek,

penuh sesak, ventilasi rumah yang tidak bersih, perawatan kesehatan

yang tidak cukup dan perpindahan tempat. Genetik berperan kecil,

tetapi faktor-faktor lingkungan berperan besar pada insidensi

kejadian tuberkulosis (Fletcher, 1992).

Lingkungan merupakan hal yang tidak terpisahkan dari

aktivitas kehidupan manusia. Lingkungan, baik secara fisik maupun

biologis, sangat berperan dalam proses terjadinya gangguan

kesehatan masyarakat, termasuk gangguan kesehatan berupa

penyakit tuberkulosis (Notoatmodjo, 2003). Lingkungan rumah juga

merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh besar

terhadap status kesehatan penghuninya (Notoatmodjo, 2003).

Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang

berperan dalam penyebaran kuman tuberkulosis. Kuman

tuberkulosis dapat hidup selama 1 – 2 jam bahkan sampai beberapa

hari hingga berminggu-minggu tergantung pada ada tidaknya sinar

ultraviolet, ventilasi yang baik, kelembaban, suhu rumah dan

kepadatan penghuni rumah.

Di Kecamatan Tanggulangin, saat ini angka kejadian

tuberkulosis cenderung tinggi. Hal ini dibuktikan dengan

meningkatnya jumlah pasien yang terdiagnosa menderita

tuberkulosis berdasarkan laporan tahunan pada bagian P2M di

Puskesmas Tanggulangin. Berdasarkan data tersebut diketahui

bahwa pada tahun 2008, jumlah pasien yang terdiagnosa menderita

tuberkulosis adalah sejumlah 50 orang.

Berdasarkan kenyataan di lapangan, tampak bahwa kondisi

rumah-rumah para penderita tuberkulosis di kecamatan

3

Page 4: CONTOH PENDAHULUAN

Tanggulangin pada umumnya kurang memenuhi persyaratan

kesehatan, yang ditandai dengan kurangnya ventilasi dan

pencahayaan alami rumah karena ukuran atau jumlah jendela yang

kurang memadai, serta adanya rumah-rumah yang jendelanya

ditutupi oleh triplek sehingga cahaya matahari tidak dapat masuk.

Selain itu sinar matahari yang tidak dapat masuk mengakibatkan

keadaan di dalam rumah cenderung lembab. Banyak rumah – rumah

penduduk yang dinding rumahnya tampak berlumut yang menjadi

tanda bahwa kelembaban di rumah tersebut cukup tinggi. Selain itu

didapatkan juga adanya rumah penduduk yang luas rumahnya yang

tidak sesuai dengan jumlah penghuni, hal ini sejalan dengan fakta di

lapangan bahwa sebagian besar penduduk yang menderita

tuberkulosis paru tinggal dengan keluarga besar (extended family);

jumlah penghuni rumah menjadi sangat banyak dan menyebabkan

perjubelan (overcrowded). Hal inilah yang membuat peneliti merasa

tertarik untuk meneliti tentang ”pengaruh karakteristik lingkungan

fisik rumah terhadap kejadian tuberkulosis paru di kecamatan

Tanggulangin kabupaten Sidoarjo”.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka rumusan

masalah adalah; ”Adakah pengaruh karakteristik lingkungan fisik

rumah penderita terhadap kejadian tuberkulosis paru di kecamatan

Tanggulangin Kabupaten Sidoarjo?”

1.3.TUJUAN PENELITIAN

(1). Tujuan Umum

4

Page 5: CONTOH PENDAHULUAN

Mengetahui pengaruh keadaan lingkungan fisik rumah

penderita tuberkulosis paru di Kecamatan Tanggulangin

Kabupaten Sidoarjo.

(2). Tujuan Khusus

a. Mengetahui pengaruh kepadatan penghuni rumah dengan

kejadian tuberkulosis paru di Kecamatan Tanggulangin

Kabupaten Sidoarjo.

b. Mengetahui pengaruh keadaan pencahayaan rumah dengan

kejadian tuberkulosis paru di Kecamatan Tanggulangin

Kabupaten Sidoarjo.

c. Mengetahui pengaruh keadaan ventilasi rumah dengan

kejadian tuberkulosis paru di Kecamatan Tanggulangin

Kabupaten Sidoarjo.

d. Mengetahui pengaruh keadaan kelembaban udara dalam

rumah dengan kejadian tuberkulosis paru di Kecamatan

Tanggulangin Kabupaten Sidoarjo.

e. Mengetahui pengaruh keadaan suhu dalam rumah dengan

kejadian tuberkulosis paru di Kecamatan Tanggulangin

Kabupaten Sidoarjo..

1.4.MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk :

(1).Masyarakat

a. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang tuberkulosis

paru, khususnya

dalam kaitannya dengan kondisi rumah penduduk.

5

Page 6: CONTOH PENDAHULUAN

b. Dapat digunakan sebagai informasi dalam memberikan

motivasi kepada b.

masyarakat guna meningkatkan kondisi rumah yang lebih

sehat

(2).Peneliti

a. Sebagai salah satu kewajiban Tri Dharma Perguruan Tinggi,

yaitu dalam bidang penelitian, disamping menambah

pengalaman dalam bidang penelitian terkait pengaruh

lingkunbgan terhadap kesehatan

b. Guna menambang angka kredit kumulatif, khususnya untuk

meningktan jabatan fungsional

c. Menambah referensi bidang pengetahuan kesehatan

masyarakat, khususnya bidang kesehatan lingkungan

(3).Instansi Terkait

a. Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kabuapten

Sdidoarjo, khususnya bagi Puskesmas Tanggulangin dalam

melakukan intervensi selanjutnya dalam program

pemberantasan penyakit tuberkulosis paru di kecamatan

Tanggulangin.

a. Sebagai tambahan data dasar untuk penelitian lebih lanjut,

khususnya yang berkaitan dengan penyakit tuberkulosis paru.

6

Page 7: CONTOH PENDAHULUAN

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TUBERKULOSIS

2.1.1 Definisi

Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang

disebabkan oleh kuman komplek Mycobacterium

tuberculosis yang bersifat tahan asam, komplek disini

termasuk M.tuberculosis dan M.africanum terutama

berasal dari manusia dan M. bovis yang berasal dari

sapi(Ditjen PP&PL, 2005) Mycobacteria lain basanya

mengakibatkan gejala klinis dengan perbedaan yang sulit

dengan tuberkulosis.

2.1.2 Etiologi

Etiologi penyakit dapat diindentifikasi dengan kultur,

dengan analisis genetic sequence menggunakan teknik

PCR yang akan memebanyu identifikasi non kultur.

Penyebab terjadinya penyakit tuberkulosis adalah basil

tuberkulosis tersebut yang termasuk dalam genus

Mycobacterium, suatu anggota dari famili

Mycobacteriaceae dan termasuk dalam ordo

Actinomycetalis. Mycobacterium tuberculosis

menyebabkan sejumlah penyakit berat pada manusia dan

menjadi penyebab infeksi tersering. Bakteri

Mycobacterium patogen lainnya misalnya Mycobacterium

leprae, Mycobacterium paratuberkulosis dan

7

Page 8: CONTOH PENDAHULUAN

Mycobacterium yang dianggap sebagai Mycobacterium

non tuberculosis atau tidak dapat terklasifikasikan (Heinz,

1993).

2.1.3 Karakteristik Kuman Tuberkulosis

Di luar tubuh manusia, kuman Mycobacterium

tuberculosis hidup baik pada lingkungan yang lembab akan

tetapi tidak tahan terhadap sinar matahari (Depkes

RI,2002; Notoatmodjo, 2003; Salvato, J dalam Lubis,

1989; Supraptini, dkk, 1999;Prohardi, 2002).

Mycobacterium tuberculosis mempunyai panjang 1-4

mikron dan lebar 0,2-0,8 mikron. Kuman ini melayang di

udara yang disebut droplet nuclei (Girsang,1999).

Kuman tuberkulosis dapat bertahan hidup pada tempat

yang sejuk, lembab, dan gelap tanpa sinar matahari sampai

bertahun-tahun lamanya (.Atmosukarto ,2000), Kuman

tuberkulosis akan mati bila terkena sinar matahari, sabun,

lisol, karbol dan panas api (Atmosukarto & Soewasti,

2000). Disamping hal tersebut, kuman tuberkulosis jika

terkena cahaya matahari akan mati dalam waktu 2 jam,

selain itu kuman tersebut akan mati oleh tinctura iodi

selama 5 menit dan juga oleh ethanol 80 % dalam waktu 2

sampai 10 menit serta oleh fenol 5 % dalam waktu 24 jam.(

Girsang, 1999)

Bakteri Mycobacterium tuberculosis seperti halnya

bakteri lain pada umumnya,akan tumbuh dengan subur

pada lingkungan dengan kelembaban yang tinggi. Air

8

Page 9: CONTOH PENDAHULUAN

membentuk lebih dari 80 % volume sel bakteri dan

merupakan hal esensial untuk pertumbuhan dan

kelangsungan hidup sel bakteri (Gould & Brooker, 2003).

Ternyata elembaban udara yang meningkat merupakan

media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen termasuk

tuberkulosis (Notoatmodjo , 2003).

Bakteri Mycobacterium tuberculosis memiliki rentang

suhu yang disukai. Mycobacterium tuberculosis merupakan

bakteri mesofilik yang tumbuh subur dalam rentang 25 –

40 C, tetapi akan tumbuh secara optimal pada suhu 31-37

C (Depkes RI, 1989; Gould & Brooker, 2003; Gibson,

1996; Girsang, 1999; Salvato dalam Lubis, 1989).

Dalam rantai penularan penyakit tuberkulosis paru,

manusia merupakan reservoar bagi penularan kuman

Mycobacterium tuberculosis (Gibson, 1996; Atmosukarto,

2000). Kuman tuberkulosis yang dapat menular melalui

droplet nuclei dapat ditularkan pada 10-15 orang (Depkes

RI, 2002). Penelitian Pusat Ekologi Kesehatan (1991),

menunjukkan tingkat penularan tuberkulosis paru di

lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, karena

seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3

orang di dalam rumahnya. Di dalam rumah dengan

ventilasi baik, kuman ini dapat hilang terbawa angin dan

akan lebih baik lagi jika ventilasi ruangannya

menggunakan pembersih udara yang bisa ”menangkap”

kuman tuberkulosis ini (Atmosukarto & Soeswati, 2000).

Beberapa kondisi dalam rumah seperti :

9

Page 10: CONTOH PENDAHULUAN

a. Rumah tangga yang penderitanya mempunyai kebiasaan

tidur dengan balita mempunyai resiko 2,8 kali menularkan

tuberkulosis paru kepada balita tersebut dibanding dengan

yang tidur terpisah.

b. Tingkat penularan tuberkulosis paru di lingkugan keluarga

penderita cukup tinggi, dimana seorang penderita rata-rata

dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya;

c. Besar resiko terjadinya penularan untuk rumah tangga

dengan penderita lebih dari 1 orang adalah 4 kali dibanding

rumah tangga dengan hanya 1 orang penderita tuberkulosis

paru. (Atmosukarto, 2000)

2.1.4 Reservoir

Pada umumnya, manusia sebagai reservoi, walaupun di

beberapa tempat terjadi infeksi ternak, sapi, babi dan mamalia

lain. Sangat jarang primata sebagai reservoir.

2.1.5 Cara Penyebaran

Udara merupakan media penularan, bila mengandung

percikan atau droplet

ludah yang dikeluarkan penderita TB paru atau TB laring

sewaktu batuk, bersin

atau aktifitas yang dapatgeluarkan sebaran ludah, seperti

menyanyi. Resiko

tenaga kesehatan tertulari dapat terjadi melalui otopsi,

bronkoskopi, atau

sewaktu melakukan intubasi.Khusus TB laring sangat

infeksious, menular.

10

Page 11: CONTOH PENDAHULUAN

Risiko tertulari, bila kontak lama dengan pendeita, bisa

melalui selaput

lendir atau kulit yang luja, walau relatif jarang.Bagi

pemeliuhara sapi dapat tertulari oleh sapi yang menderita TB,

bisa melalui minum susu yang terinfeksi tanpa pasteurisasi,

atau tak diolah sempurna. Disamping itu petani, peternak

dengan TB ekstra pulmoner non laring, walaupun jarang

menular, dan bisa tertular melalui sinus keluar

2.1.6 Masa Inkubasi

Mulai bibit penyakit sampai dengaan timbul adanya gejala

adanya lesi primer atau reaksi tes tuberkulosis positif

membutukan waktu 2 – 10 minggu. Terjadinya TB

ekstrapulmoner progresif setelah infeksi primer ke TB paru

memerlukan waktu tahun pertama dan kedua. Infeksi laten

akan berlangsung seumur hidup.

2.1.7 Cara Penularan

Sumber penularan adalah penderita tuberkulosis paru BTA

positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan

kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak).

Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan hidup di

udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat

terinfeksi bila droplet tersebut terhirup ke dalam saluran

pernafasan. Selama kuman tuberkulosis masuk ke dalam tubuh

manusia melalui pernafasan, kuman tersebut dapat menyebar

ke paru dan ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran

11

Page 12: CONTOH PENDAHULUAN

darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran

langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya (Depkes,2002).

Daya penularan dari seorang penderita ditentukan dari

banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin

tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular

penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak

terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak

menular. Kemungkinan orang tertular infeksi tuberkulosis paru

ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya

menghirup udara tersebut (Depkes, 2002).

2.1.8 Gejala Penyakit

Gejala utama yang sering ditemukan pada tuberkulosis

paru biasanya berupa batuk yang terus menerus dan berdahak

selama 3 minggu atau lebih . Adapun gejala tambahan yang

sering dijumpai antara lain :

a. Adanya dahak bercampur darah

b. Batuk darah

c. Sesak nafas dan nyeri dada

d. Badan lemah

e. Malaise (rasa kurang enak badan)

f. Nafsu makan menurun

g. Berkeringat waktu malam walaupun tanpa kegiatan

h. Demam meriang lebih dari 1 bulan (PPTI, 2005)

2.2 PENGERTIAN LINGKUNGAN

Lingkungan adalah segala sesuatu baik fisik, biologis,

maupun sosial yang berada di sekitar manusia serta pengaruh-

pengaruh luar yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan

12

Page 13: CONTOH PENDAHULUAN

manusia (Lennihan dan Fletter, 1989). Lingkungan (hidup)

menurut Undang Undang R I Nomor 23 tahun 1997 tentang

Pengelolaan lingkungan Hidup adalah merupakan kesatuan ruang

dan semuas benda, daya. Keadaan dan makhluk hidup, termasuk

manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan

perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup

lain. (UU RI No.23, 1997)

Unsur-unsur lingkungan dapat dibagi beberapa sudut,

umumnya terbagi dalam unsur sebagai berikut :

2.2.1 Lingkungan Fisik

Lingkungan temasuk adalah segala sesuatu yang berada di

sekitar manusia yang bersifat tidak bernyawa, misalnya air,

tanah, kelembaban udara, suhu, angin, rumah dan benda mati

lainnya.

2.2.2 Lingkungan Biologi

Lingkungan biologis adalah segala sesuatu yang

bersifat hidup seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, termasuk

mikroorganisme.

2.2.3 Lingkungan Sosial

Lingkungan sosial adalah segala sesuatu tindakan yang

mengatur manusia dan usaha-usahanya untuk

mempertahankan kehidupan, seperti pendidikan pada tiap

individu, rasa tanggung jawab, pengetahuan keluarga, jenis

pekerjaan, jumlah penghuni dan keadaan ekonomi.

Kehidupan manusia lebih dari separo waktu dilakukan

di rumah, oleh sebab ituikeadaan rumah sangat

13

Page 14: CONTOH PENDAHULUAN

menentukan, bagi kehidupan penghuninya, mulai dari

asuhan anak, pergaulan sampai dengan

kesehatan..Lingkungan rumah adalah segala sesuatu yang

berada di dalam rumah (Walton,1991). Begitu pentingnya

maslah hubungan rumah maslah kesehatan, WHO

mempublikasikan suatu panduan untuk mendapatkan atau

menciptakan rumah yang sehat (WHO, 1988).

Lingkungan rumah yang sehat dapat diartikan sebagai

lingkungan yang dapat memberikan tempat untuk

berlindung atau bernaung dan tempat untuk beristirahat

serta dapat menumbuhkan kehidupan yang sempurna baik

fisik, psikologis maupun sosial (Lubis, 1989).

2.2.4 Persyaratan Lingkungan Rumah Sehat

Menurut APHA (American Public Health Assosiation),

lingkungan rumah yang sehat harus memenuhi persyaratan

sebagai berikut (APHA, 1968) :

(1). Memenuhi kebutuhan fisiologis

a. Suhu ruangan, yaitu dalam pembuatan rumah harus

diusahakan agar kontruksinya sedemikian rupa

sehingga suhu ruangan tidak berubah banyak dan agar

kelembaban udara dapat dijaga jangan sampai terlalu

tinggi dan terlalu rendah. Untuk ini harus diusahakan

agar perbedaan suhu antara dinding, lantai, atap dan

permukaan jendela tidak terlalu banyak.

b. Harus cukup mendapatkan pencahayaan baik siang

maupun malam. Suatu ruangan mendapat penerangan

14

Page 15: CONTOH PENDAHULUAN

pagi dan siang hari yang cukup yaitu jika luas ventilasi

minimal 10 % dari jumlah luas lantai.

c. Ruangan harus segar dan tidak berbau, untuk ini

diperlukan ventilasi yang cukup untuk proses

pergantian udara

d. Harus cukup mempunyai isolasi suara sehingga tenang

dan tidak terganggu oleh suara-suara yang berasal dari

dalam maupun dari luar rumah.

e. Harus ada variasi ruangan, misalnya ruangan untuk

anak-anak bermain, ruang makan, ruang tidur, dll.

f. Jumlah kamar tidur dan pengaturannya disesuaikan

dengan umur dan jenis kelaminnya. Ukuran ruang tidur

anak yang berumur kurang dari lima tahun minimal 4,5

m³, artinya dalam satu ruangan anak yang berumur

lima tahun ke bawah diberi kebebasan menggunakan

volume ruangan 4,5 m³ (1,5 x 1 x3 m³) dan diatas lima

tahun menggunakan ruangan 9 m³ (3 x 1 x 3 m³)

(2). Memenuhi kebutuhan psikologis

Rumah harus menjamin ketenangan, ketentraman serta

kenyamanan secara psikologis, yang diantaranya menyangkut :

a. Menjamin privacy, dimana setiap anggota keluarga

terjamin ketenangan dan kebebasannya sehingga tidak

terganggu baik oleh anggota keluarga yang lain,

tetangga maupun orang yang lewat diluar.

b. Tersedianya ruang keluarga sebagai tempat untuk

melepaskan kerinduan ataupun masalah-masalah

psikologis yang lain.

15

Page 16: CONTOH PENDAHULUAN

c. Lingkungan pemukiman harus sesuai dengan keadaan

sosial penghuninya sehingga tidak menimbulkan

masalah secara psikologis.

d. Tersedia sarana yang sifatnya memerlukan “privacy”,

misalnya dalam hal kamar mandi atau kloset yang

harus dimiliki oleh setiap rumah.

e. Jumlah kamar tidur harus disesuaikan dengan usia

penghuninya. Usia dibawah 2 tahun diperbolehkan satu

kamar dengan orang tua. Anak diatas 10 tahun harus

dipisahkan antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan

anak umur 17 tahun keatas diberikan kamar tersendiri.

f. Mempunyai halaman yang dapat ditanami pepohonan

atau tumbuhan taman sehingga dapat menimbulkan

rasa keindahan, membersihkan udara serta membantu

melindungi udara dari pencemaran.

g. Hewan peliharaan (pet) yang membuat kotor lantai dan

menimbulkan suara ribut agar dibuatkan kandang

tersendiri, terpisah dari rumah.

(3).Perlindungan terhadap penularan penyakit

a. Harus ada sumber air yang memenuhi syarat, baik

secara kualitas maupun kuantitas, sehingga selain

kebutuhan untuk makan dan minum terpenuhi, juga

cukup tersedia air untuk memelihara kebersihan rumah,

pakaian dan penghuninya.

b. Harus ada tempat menyimpan sampah dan WC yang

baik dan memenuhi syarat, juga air pembuangan harus

bisa dialirkan dengan baik.

16

Page 17: CONTOH PENDAHULUAN

c. Pembuangan kotoran manusia dan limbah harus

memenuhi syarat kesehatan, yaitu harus dapat

mencegah agar limbah tidak meresap dan

mengkontaminasi permukaan sumber air bersih.

d. Tempat memasak dan tempat makan hendaknya bebas

dari pencemaran dan gangguan binatang serangga dan

debu.

e. Harus ada pencegahan agar vektor penyakit tidak bisa

hidup dan berkembang biak di dalam rumah, jadi

rumah dalam kontruksinya harus rat proof, fly fight,

mosquito fight.

f. Harus ada ruangan udara (air space) yang cukup.

g. Luas kamar tidur minimal 8,5 m³ per orang dan tinggi

langit-langit minimal 2,75 meter.

h. Fasilitas untuk pengolahan makanan/memasak dan

penyimpanan makanan yang terbebas dari pencemaran

maupun jangkauan vektor maupun binatang pengerat.

(4). Perlindungan terhadap kecelakaan

Beberapa hal untuk menghindari timbulnya kecelakaan :

a. Adanya ventilasi di dapur yang berfungsi untuk

mengeluarkan gas seandainya terjadi kebocoran gas.

b. Cukup intensitas cahaya, sehingga dapat

menghindarikecelakaan seperti tersandung,

teriris/tersayat, tertusuk jarum waktu menjahit, dan

lain sebagainya.

c. Bangunan rumah harus jauh dari pohon besar yang

mudah tumbang atau runtuh.

17

Page 18: CONTOH PENDAHULUAN

d. Jarak pagar dengan bangunan minimal ½ lebar jalan.

e. Lantai kamar mandi/kamar kecil yang selalu basah

tetapi tidak licin, baik karena konstruksinya maupun

karena pemeliharaannya.

f. Bagian bangunan yang dekat api atau listrik terbuat

dari bahan tahan api

g. .Pengaturan ruangan harus dapat memberikan

keleluasaan bergerak, terutama untuk keselamatan

anak.

h. Cara menyimpan barang beracun yang harus jauh dari

jangkauan anak-anak.

(5). Lingkungan Rumah Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian

Tuberkulosis Paru

Ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap

kejadian tuberkulosis paru, yaitu: immunisasi (BCG),

pendidikan, status gizi, pelayanan kesehatan, kontak

dengan penderita tuberkulosis paru lain, lingkungan

rumah atau tempat tinggal dan sosial ekonomi

keluarga.

Khusus untuk lingkungan rumah, pada umumnya

lingkungan rumah yang buruk (tidak memenuhi syarat

kesehatan) akan berpengaruh pada penyebaran

penyakit menular termasuk penyakit tuberkulosis paru.

a. Kelembaban Udara

Kelembaban udara adalah prosentase jumlah

kandungan air dalam udara (Depkes RI, 1989).

18

Page 19: CONTOH PENDAHULUAN

Kelembaban terdiri dari 2 jenis, yaitu 1) Kelembaban

absolut, yaitu berat uap air perunit volume udara; 2)

Kelembaban nisbi (relatif), yaitu banyaknya air dalam

udara pada suatu temperatur terhadap banyaknya uap air

pada saat udara jenuh dengan uap air pada temperatur

tersebut.

Secara umum penilaian kelembaban dalam rumah

dengan menggunakan Hygrometer. Menurut indikator

pengawasan perumahan, kelembaban udara yang

memenuhi syarat kesehatan dalam rumah adalah 40-60 %

dan kelembaban udara yang tidak memenuhi syarat

kesehatan adalah < 40 % atau > 60 % (Depkes RI, 1989).

Rumah yang tidak memiliki kelembaban yang

memenuhi syarat kesehatan membawa pengaruh bagi

penghuninya. Rumah yang lembab merupakan media

yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme, antara lain

bakteri, spiroket, ricketsia dan virus (Kriger J. Et al,

2002) Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam

tubuh melalui udara. Selain itu kelembaban yang tinggi

dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi

kering sehingga kurang efektif dalam menghadang

mikroorganisme.

Bakteri Mycobacterium tuberculosis seperti halnya

bakteri lain, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan

dengan kelembaban tinggi karena air membentuk lebih

dari 80 % volume sel bakteri dan merupakan hal yang

essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel

19

Page 20: CONTOH PENDAHULUAN

bakteri (Gould & Brooker, 2003). Kelembaban udara

yang meningkat juga merupakan media yang baik untuk

bakteri-bakteri patogen termasuk bakteri tuberkulosis.

( Notoatmodjo (2003),

b. Ventilasi Rumah

Ventilasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi

atmosfer yang menyenangkan dan menyehatkan manusia

(Lubis, 1989). Berdasarkan kejadiannya, maka ventilasi

dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu:

b.1 Ventilasi alam

Ventilasi alam berdasarkan pada tiga

kekuatan, yaitu daya difusi dari gas-gas, gerakan

angin dan gerakan massa di udara karena

perubahan temperatur. Ventilasi alam ini

mengandalkan pergerakan udara bebas (angin),

temperatur udara dan kelembabannya. Selain

melalui jendela, pintu dan lubang angin, maka

ventilasi pun dapat diperoleh dari pergerakan udara

sebagai hasil sifat porous dinding ruangan, atap dan

lantai.

b.2 Ventilasi buatan

Pada suatu waktu, diperlukan juga ventilasi

buatan dengan menggunakan alat mekanis maupun

elektrik. Alat-alat tersebut diantaranya adalah kipas

angin, exhauster dan AC (air conditioner).

Persyaratan ventilasi yang baik adalah sebagai

berikut :

20

Page 21: CONTOH PENDAHULUAN

1) Luas lubang ventilasi tetap minimal 5 % dari

luas lantai ruangan, sedangkan luas lubang

ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup)

minimal 5 % dari luas lantai. Jumlah keduanya

menjadi 10% dari luas lantai ruangan. Secara

umum, penilaian ventilasi rumah adalah dengan

cara membandingkan antara luas ventilasi dan

luas lantai rumah, dengan menggunakan Role

meter. Dan seperti yang telah dijelaskan

sebelumnya, sebagai indikator pengawasan

rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat

kesehatan adalah ≥10% luas lantai rumah dan

luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat

kesehatan adalah < 10% luas lantai (depkes RI,

1989)

2) Udara yang masuk harus bersih, tidak dicemari

asap dari sampah atau pabrik, knalpot

kendaraan, debu dan lain-lain.

3) Aliran udara diusahakan cross ventilation

dengan menempatkan

lubang ventilasi berhadapan antar dua dinding.

Aliran udara ini jangan sampai terhalang oleh

barang-barang besar, misalnya lemari, dinding,

sekat dan lain-lain.

Rumah dengan luas ventilasi yang tidak

memenuhi syarat kesehatan akan membawa

21

Page 22: CONTOH PENDAHULUAN

pengaruh bagi penghuninya. Menurut Azwar

(1990) dan Notoatmodjo (2003), salah satu

fungsi ventilasi adalah menjaga aliran udara di

dalam rumah tersebut tetap segar. Luas ventilasi

rumah yang < 10 % dari luas lantai (tidak

memenuhi syarat kesehatan) akan

mengakibatkan berkurangnya konsentrasi

oksigen dan bertambahnya konsentrasi

karbondioksida yang bersifat racun bagi

penghuninya.

Peran ventilasi yang utama adalah

melakukan pengenceran udara dalam rumah,

yang mempunyai potensi banyak mengandung zat

yang dapat bersifat alergen, maupun

karsinogenik, dan bila terjadi banyak gangguan

kesehatan yang dialami penghuninya, seperti

asthma, dan yang lain (Krieger J,et al, 2002)

Disamping itu, tidak cukupnya ventilasi

akan menyebabkan peningkatan kelembaban

ruangan. Kelembaban ruangan yang tinggi akan

menjadi media yang baik untuk tumbuh dan

berkembang biaknya bakteri-bakteri patogen

termasuk kuman tuberkulosis.

Selain itu, fungsi kedua ventilasi adalah

untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-

22

Page 23: CONTOH PENDAHULUAN

bakteri, terutama bakteri patogen seperti

tuberkulosis, karena di situ selalu terjadi aliran

udara yang terus menerus sehingga bakteri akan

terbawa oleh udara yang selalu mengalir

(Notoatmodjo, 2003). Lubis (1989) mengatakan

bahwa luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat

kesehatan juga akan mengakibatkan terhalangnya

proses pertukaran aliran udara dan sinar matahari

yang masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman

tuberkulosis yang ada di dalam rumah tidak dapat

keluar dan ikut terhisap bersama udara

pernafasan.

c. Suhu Rumah

Suhu adalah panas atau dinginnya udara yang

dinyatakan dengan satuan derajat tertentu. Suhu udara

dibedakan menjadi :

1). Suhu kering, yaitu suhu yang ditunjukkan oleh

Thermometer suhu ruangan setelah diadaptasikan

selama kurang lebih sepuluh menit, umumnya suhu

kering antara 26-34 ºC.

2) Suhu basah, yaitu suhu yang menunjukkan bahwa

udara telah jenuh oleh uap air, umumnya lebih rendah

daripada suhu kering, yaitu antara 20-25 ºC.

Kondisi suhu udara dalam rumah sangat

mempengaruhi penghuni, dan selain terkait dengan

kehidupan mikroorganisme, juga gangguan

23

Page 24: CONTOH PENDAHULUAN

kesehatan,seperti terlalu panas, diakitkan dalam

memperberat penyakit jantung kardiovascular, dan

terlalu dingin dihubungkan dengan potensi rendahnya

status kesehatan penghuni ( Collins KJ, 1986, Evans

J,et al,2000, TECHO, 1981)

Secara umum, penilaian suhu rumah

menggunakan Thermometer ruangan. Dan berdasarkan

indikator pengawasan perumahan, suhu rumah yang

memenuhi syarat kesehatan adalah antara 20-25 ºC,

dan suhu rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan

adalah < 20 ºC atau > 25 ºC.

Suhu dalam rumah akan membawa pengaruh bagi

penghuninya. Walton (1991) mengatakan bahwa suhu

berperan penting dalam metabolisme tubuh, konsumsi

oksigen dan tekanan darah. Sedangkan Lennihan dan

Fletter (1989), mengemukakan bahwa suhu rumah

yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan

meningkatkan kehilangan panas tubuh dan tubuh akan

berusaha menyeimbangkan dengan suhu lingkungan

melalui proses evaporasi. Kehilangan panas tubuh ini

akan menurunkan vitalitas tubuh dan merupakan

predisposisi untuk terkena infeksi terutama infeksi

saluran nafas oleh agen yang menular.

d. Pencahayaan Rumah

Pencahayaan alami ruangan rumah adalah

penerangan yang bersumber dari sinar matahari

24

Page 25: CONTOH PENDAHULUAN

(alami), yaitu semua jalan yang memungkinkan untuk

masuknya cahaya matahari alamiah, misalnya melalui

jendela atau genting kaca (Depkes RI, 1989;

Notoatmodjo, 2003).

Cahaya memang mempunyai faktor selain

fisiologis juga psikologis, seperti dapat menimbulkan

kecelakaan, dan terjadi psikologis penghuni (Dunn JR

and Hayes MV.2000).

Cahaya berdasarkan sumbernya dibedakan

menjadi dua jenis, yaitu :

1) Cahaya Alamiah

Cahaya alamiah yakni matahari. Cahaya ini

sangat penting, karena dapat membunuh bakteri-

bakteri patogen di dalam rumah, misalnya kuman

tuberkulosis (Notoatmodjo, 2003). Oleh karena itu,

rumah yang cukup sehat seyogianya harus

mempunyai jalan masuk sinar yang cukup

(jendela), dengan luasnya sekurang-kurangnya 15

% - 20 %. Perlu diperhatikan agar sinar matahari

dapat masuk langsung ke dalam ruangan, tanpa

terhalang oleh bangunan lain. Jalan masuknya

cahaya alamiah juga dapat diusahakan dengan

genteng kaca.

2) Cahaya Buatan

Cahaya buatan yaitu cahaya yang

menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah,

seperti lampu minyak tanah, listrik, api dan lain-

25

Page 26: CONTOH PENDAHULUAN

lain. Kualitas dari cahaya buatan tergantung dari

terangnya sumber cahaya (brightness of the

source). Pencahayaan buatan bisa terjadi dengan 3

cara, yaitu direct, indirect, semi direct atau general

diffusing.

Secara umum pengukuran pencahayaan

terhadap sinar matahari adalah menggunakan Lux

Meter, yang diukur ditengah-tengah ruangan, pada

tempat < 84 cm dari lantai, dengan ketentuan tidak

memenuhi syarat kesehatan bila < 50 lux atau >

300 lux, dan memenuhi syarat kesehatan bila

pencahayaan rumah antara 50-300 lux.

Menurut Lubis dan Notoatmodjo (2003), cahaya

matahari mempunyai sifat membunuh bakteri,

terutama kuman Mycobacterium tuberculosis.

Menurut Depkes RI (2002), kuman tuberkulosa

hanya dapat mati oleh sinar matahari langsung.

Oleh sebab itu, rumah dengan standar pencahayaan

yang buruk sangat berpengaruh terhadap kejadian

tuberkulosis. Menurut Atmosukarto & Soeswati

(2000), rumah yang tidak masuk sinar matahari

mempunyai resiko menderita tuberkulosis 3-7 kali

dibandingkan dengan rumah yang dimasuki sinar

matahari.

e. Kepadatan Penghuni Rumah

Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara

luas lantai rumah dengan jumlah anggota keluarga

26

Page 27: CONTOH PENDAHULUAN

dalam satu rumah tinggal (Lubis, 1989). Persyaratan

kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa

dinyatakan dalam m² per orang. Luas minimum per

orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan

dan fasilitas yang tersedia. Untuk perumahan

sederhana, minimum 10 m²/orang. Untuk kamar tidur

diperlukan minimum 3 m²/orang. Kamar tidur

sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami

istri dan anak dibawah dua tahun. Apabila ada anggota

keluarga yang menjadi penderita penyakit tuberkulosis

sebaiknya tidak tidur dengan anggota keluarga lainnya.

Secara umum penilaian kepadatan penghuni

dengan menggunakan ketentuan standar minimum,

yaitu kepadatan penghuni yang memenuhi syarat

kesehatan diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai

dengan jumlah penghuni ≥ 10 m²/orang dan kepadatan

penghuni tidak memenuhi syarat kesehatan bila

diperoleh hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah

penghuni 10 m²/orang (Lubis, 1989).

Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal

akan memberikan pengaruh bagi penghuninya. Luas

rumah yang tidak sebanding dengan jumlah

penghuninya akan menyebabkan perjubelan

(overcrowded). Hal ini tidak sehat karena disamping

menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, juga bila

salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi,

terutama tuberkulosis akan mudah menular kepada

27

Page 28: CONTOH PENDAHULUAN

anggota keluarga yang lain (Lubis, 1989; Notoatmodjo,

2003). Menurut penelitian Atmosukarto (2000),

didapatkan data bahwa : 1) Rumah tangga yang

penderita mempunyai kebiasaan tidur lebih dari satu

orang dalam satu kamar mempunyai resiko terkena

tuberkulosis 2,8 kali dibanding dengan yang tidur

terpisah; 2) Tingkat Penularan tuberkulosis di

lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana

seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-

3 orang di dalam rumahnya; 3) Besar resiko terjadinya

penularan untuk rumah tangga dengan penderita lebih

dari 1 orang adalah 4 kali dibanding rumah tangga

dengan hanya 1 orang penderita tuberkulosis.

Kepadatan penghuni , khususnya bagi anak

sebagai penghuninya, mempunyai resiko dalam

mendapatkan penyakit infeksi saluran pernapasan akut

bawah, seperti ashtma, tentunya juga sangat

berpengaruh pada kejadian penyakit tuberkulosis

(Cardoso MRA,et al, 2004)

28

Page 29: CONTOH PENDAHULUAN

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 JENIS PENELITIAN

Pada penelitian ini peneliti menggunakan jenis penelitian

adalah Observasional - kasus-kontrol,-case-control- yaitu

untuk melihat bagaimana pengaruh antara keadaan lingkungan

fisik rumah penghuni kasus tuberkulosis paru dan yang bukan

kasus tuberculosis (kontrol) di Kecamatan Tanggulangin

Kabupaten Sidoarjo.

3.1.1 POPULASI

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita

tuberkulosis paru di kecamatan Tanggulangin kabupaten

Sidoarjo yang mendapat pengobatan di puskesmas Kecamatan

Tanggulangin berdasarkan data dari Puskesmas Tanggulangin

antara bulan Januari sampai bulan Desember 2008, yang

rumahnya tidak mengalami perubahan baik sebelum maupun

sesudah terdiagnosis tuberkulosis, yaitu sebanyak 50 orang.

3.1.2 SUBYEK PENELITIAN

Pada penelitian ini tidak ditarik sampel, subyek

penelitian meliputi seluruh populasi yaitu sebesar 50 orang

penderita kasus, dan ditambah 50 orang kontrol.(tidak

menderita tuberculosis paru)

Kontrol adalah penduduk yang tidak menderita

tuberkulosis pada Kecamatan Tanggulangin yang berkunjung

29

Page 30: CONTOH PENDAHULUAN

ke Puskesmas Tanggulangin, yang kondisi rumahnya tidak

mengalami perubahan antara bulan Januari – Desember 2008.

3.1.3 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas

Kecamatan Tanggulangin Kabupaten Sidoarjo pada bulan

Pebruari 2009 sampai dengan April 2009. Jadwal dalam

tahap-tahap perencanaan hingga pelaksanaan penelitian dimuat

dalam tabel III.1.

Tabel III.1

Susunan jadwal pelaksanaan proses penelitian tahap demi tahap

Tanggal Kegiatan

Januari 2009 Persiapan sampai dengan penulisan

Proposal

1- 15 Pebruari 2009 Pengajuan ijin lokasi

15-28 Pebruari

2009

Persiapan alat,kuesioner dan pelatihan

petugas

1-15 Maret Persiapan lapangan

15 Maret- 15 April

2009

Pelaksanaan dilapangan

15 – 30 April 2009 Penulisan Lapoiran

3.1.4 PENGUMPULAN, PENGOLAHAN DAN ANALISIS

DATA

30

Page 31: CONTOH PENDAHULUAN

(1) Pengumpulan Data

a. Data primer

Data primer dikumpulkan dengan metode

observasi dan wawancara. Rumah responden akan

langsung diperiksa secara visual untuk kepadatan kamar,

pencahayaan dan ventilasi. Untuk data kelembaban diukur

dengan Hygrometer, sedangkan suhu diukur menggunakan

Thermometer ruangan. Responden juga akan di wawancara

dengan acuan kuisioner.

Dalam penelitian ini, prosedur observasi dibantu

oleh Bagian Pemberantasan Penyakit Menular dan Bagian

Kesehatan Lingkungan Puskesmas Tanggulangin, serta

perangkat desa terkait.

b. Data sekunder

Data sekunder didapatkan dari data yang ada di

Puskesmas kecamatan Tanggulangin kabupaten Sidoarjo,

yaitu seluruh data tentang pasien yang menderita penyakit

TB paru selama tahun 2008, baik yang masih dalam

pengobatan, maupun yang sembuh dalam tahun 2008.

(2) Pengolahan Data

Data mentah yang didapat dari hasil wawancara

berdasarkan kuisioner yang diolah ke dalam bentuk tabel

distribusi frekuensi secara manual.

(3) Analisa Data

a. Data Kelayakan Hunian Berdasarkan Kepadatan Hunian, Pencahayaan Dan Ventilasi

31

Page 32: CONTOH PENDAHULUAN

Untuk kepadatan hunian, pencahayaan

dan ventilasi dikategorikan dalam skala

nominal yaitu tidak memenuhi syarat dan

memenuhi syarat (lihat tabel III.2), masing-

masing variabel diberikan nilai minimal 1 dan maksimal 2,

sehingga dari ketiga variabel (kepadatan, pencAhayaan,

dan suhu) diperoleh nilai tertinggi 6.

Penetapan skor kategori keadaan fisik rumah

subyek penelitian, sebagai berikut :

a. Memenuhi Syarat : skor 5 - 6

b. Tidak memenuhi syarat : skor 3 - 4

Tahap berikut data diuji hipotesa

mengunakan analisis komparatif dua sampel

independen data nominal dengan rumus

Kai Kuadrat dua sampel. Namun data

tersebut juga diberikan skoring yang dapat

diperingkatkan, maka data tersebut juga

sekaligus merupakan data ordinal. Oleh

karena itu data - data tersebut juga diuji

hipotesa menggunakan rumus Mann Whitney

Test dengan tujuan mendapatkan hasil yang

lebih akurat.

Tabel III.2

Kategori data nominal untuk kepadatan hunian, pencahayaan dan ventilasi

32

Page 33: CONTOH PENDAHULUAN

No Variabel Keadaan yang didapat Kategori Skor

1. Kepadatan

hunian

a. Jumlah kamar sesuai

dengan jumlah

penghuni

Memenuhi

syarat

2

b. Jumlah kamar tidak

sesuai dengan jumlah

penghuni

Tidak

memenuhi

syarat

1

2. Pencahayaan a. Cukup terang Memenuhi

syarat

2

b. Kurang terang /

cenderung gelap

Tidak

memenuhi

syarat

1

3. Ventilasi a. Ventilasi cukup (≥10%

dari luas lantai

ruangan)

Memenuhi

syarat

2

b. Ventilasi tidak cukup

(<10% dari luas lantai

ruangan)

Tidak

memenuhi

syarat

1

Sumber : Parameter Survey Kesehatan Nasional

2002 (modifikasi)

b. Data Kelembaban dan Suhu

Suhu dan kelembaban dikategorikan

dalam skala interval berdasarkan data mentah

kelembaban dalam satuan persen dan suhu

dalam satuan derajat Celcius, kemudian data

tersebut diuji hipotesa menggunakan analisis

33

Lanjutan tabel III.2

Page 34: CONTOH PENDAHULUAN

komparatif dua sampel independen data

interval dengan rumus t-test dua sampel.

c. Semua variabel yang dianalisa gabungan

(Kepadatan hunian, ventilasi,

pencahayaan alami) dinyatakan sebagai

faktor yang dikatagorikan dalam 2 resiko (+

atau-), dihitung Ratio Odds=RO, dengan,

ketentuan sebagai berikut: :

Bila RO =1, maka pajanan bukan sebagai faktor resiko. Bila RO >1, maka pajanan merupakan faktor resiko. Bila RO <1, maka pajanan merupakan faktor protektif.

RO =ad

bc

3.1.5 Variabel Penelitian

(1) Variabel Dependen

Sebagai variabel dependen dalam penelitian ini

adalah kejadian penyakit TB paru pada penduduk di

wilayah kerja Puskesmas Tanggulangin.

KASUSKONTROL RESIKO

+RESIKO

-

RESIKO + a b

RESIKO - c d

34

Page 35: CONTOH PENDAHULUAN

(2) Variabel independen

Sebagai variabel independen dalam penelitian ini

adalah sanitasi rumah, yang dilihat dari masing-masing

variabel sanitasi (ventilasi, suhu, kepadatan penghuni,

penerangan alami, kelembaban) .

3.2. DEFINISI OPERASIONAL

3.2.1 Kepadatan hunian

Merupakan jumlah kamar di dalam rumah

dibanding dengan jumlah penghuni rumah, dapat dilihat

dalam tabel III.3.

Tabel III.3

Jumlah kamar tidur dibanding jumlah penghuni, yang memenuhi syarat dengan skor

2

No Jumlah kamar

minimal

Jumlah penghuni

1. Satu 2 orang

2. Dua 3 orang

3. Tiga 5 orang

4. Empat 7 orang

5. Lima atau lebih 10 orang

Sumber : Sutopo Patria Jati; Rumah Sehat

Apabila jumlah kamar didalam rumah dibanding

dengan jumlah penghuni rumah tidak sesuai dengan tabel

tersebut di atas, maka dikatakan tidak memenuhi syarat

dan diberi skor 1.

35

Page 36: CONTOH PENDAHULUAN

3.2.2 Pencahayaan

Adalah kondisi pencahayaan alami yang masuk

kedalam rumah melalui jendela, atau genteng kaca, apakah

sudah cukup terang, atau kurang terang sehingga didalam

rumah cenderung tampak gelap. Dalam penelitian ini

peneliti tidak mengukur tiap rumah menggunakan Lux

Meter, sehingga data dikumpulkan hanya dari pengamatan

di lapangan dan wawancara.

3.2.3 Ventilasi

Ventilasi digunakan untuk pergantian udara, udara

perlu diganti agar mendapat kesegaran badan selain itu

agar kuman-kuman penyakit dalam udara antara lain

bakteri dan virus dapat keluar dari ruangan sehingga tidak

menjadikan penyakit.

Ventilasi yang baik, harus memenuhi syarat, yaitu

luas lubang ventilasi tetap minimal 5 % dari luas lantai

ruangan, sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat

dibuka dan ditutup) minimal 5 % dari luas lantai. Jumlah

keduanya menjadi 10% dari luas lantai ruangan.

Dalam penelitian ini selain melakukan pengamatan

langsung di lapangan, ventilasi dinyatakan memenuhi

syarat bila pada tiap kamar terdapat satu atau lebih jendela

yang menghadap langsung keluar. Bila pada kamar

terdapat jendela namun tidak berhubungan langsung

dengan luar atau bahkan tidak ada jendela sama sekali,

maka dikategorikan sebagai tidak memenuhi syarat.

36

Page 37: CONTOH PENDAHULUAN

3.2.4 Kelembaban Udara

Secara umum selain diukur dengan Hygrometer,

kelembaban udara dirumah penduduk dievaluasi dari

wawancara terhadap kondisi dinding rumah mereka,

apakah dinding rumah mereka tampak kering bersih, atau

seperti ada bekas rembesan air, atau bahkan berlumut.

Dinding rumah yang menunjukkan gambaran seperti bekas

rembesan air atau bahkan berlumut, menunjukkan rumah

tersebut memiliki kelembaban cenderung tinggi. Pada

survey dilapangan, pengukuran dengan Hygrometer akan

menjelaskan kelembaban udara rumah yang memenuhi syarat

kesehatan yaitu 40-60 % dan kelembaban udara yang tidak

memenuhi syarat kesehatan yaitu < 40 % atau > 60 %

(Depkes RI, 1989).

3.2.5 Suhu

Suhu yang dimaksud merupakan keadaan panas

atau dinginnya udara ada dalam rumah dievaluasi dari hasil

wawancara, apakah sering terasa panas, atau malah

cenderung terasa sejuk. Berdasarkan indikator pengawasan

perumahan, suhu rumah yang memenuhi syarat kesehatan

adalah antara 20-25 ºC, dan suhu rumah yang tidak

memenuhi syarat kesehatan adalah < 20 ºC atau > 25 ºC.

Pengamatan dilapangan akan mengukur suhu

kamar tiap rumah subyek penelitian dengan Thermometer

ruangan untuk nantinya dibandingkan apakah ada

perbedaan antara kasus dan kontrol.

3.3 KERANGKA KONSEP

37

Page 38: CONTOH PENDAHULUAN

Kerangka konseptual penelitian dapat dilihat pada

gambar 3.1 :

Yang Diteliti :

Gambar 3.1. Kerangka konsep penelitian

38

Penderita Positif TB Paru

Faktor yang mempengaruhi

Faktor Intrinsik-Usia-Jenis Kelamin-Imunitas

Faktor Ekstrinsik-Sosial ekonomi-Budaya-Pendidikan-Pekerjaanungan

Kepadatan hunian rumah

Ventilasi rumah Pencahayaan alami

rumah Kelembaban Suhu udara

Bukan Pendeita TB Paru(Kontrol)

Kepadatan hunian rumah

Ventilasi rumah Pencahayaan alami

rumah Kelembaban Suhu udara

KOMPERATIRATIF

Lingkungan

Page 39: CONTOH PENDAHULUAN

BAB IV

HASIL DAN ANALISIS

4.1 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Penelitian yang dilakukan selama lebih satu bulan

mengambil tempat di wilayah kerja Puskesmas Tanggulangin

Kecamatan Tanggulangin Kabupaten Sidoarjo, yang secara

singkat mempunyai gambaran wilayah sebagai berikut :

4.1.1 Data Wilayah atau Geografis

(1) Kecamatan Tanggulangin 6 km dari pusat pemerintahan

Kabupaten Sidoarjo yang merupakan dataran rendah

yang subur dan luas 30,02 km2 yang terdiri dari :

Tanah tambak : 16,5%

Tanah sawah : 54,9%

Tanah pekarangan : 26,6%

(2) Wilayah kerja puskesmas Tanggulangin terdiri dari 19

desa dengan batas-batas sebagai berikut :

Sebelah utara : kecamatan Candi

Sebelah timur : laut Jawa

Sebelah selatan : kecamatan Porong

Sebelah barat : kecamatan Tulangan

4.1.2 Data Kependudukan atau Sosial Budaya

Jumlah penduduk kecamatan Tanggulangin tahun 2008

sebanyak 104.302 jiwa,.terdiri dari : Laki-laki

: 52.227 jiwa

Perempuan : 52.075

jiwa

Jumlah kepala keluarga : 32.976

jiwa

39

Page 40: CONTOH PENDAHULUAN

Mata pencaharian sebagian besar penduduk

Tanggulangin adalah swasta. Data lebih lengkap adalah

sebagai berikut :

PNS : 1.432 orang

ABRI : 1.021 orang

Swasta : 19.478 orang

Tambak : 5.950 orang

Petani : 3.756 orang

4.2 KARAKTERISTIK RESPONDEN

4.2.1 Kepadatan Penghuni Rumah

Tabel IV.1

Distribusi frekuensi kepadatan penghuni rumah responden di kecamatan Tanggulangin kabupaten Sidoarjo pada bulan

April 2009

Kategori

Kejadian Tuberkulosis

JumlahKasus TB Bukan TB

F % f %

Tidak Memenuhi Syarat 39 78 19 38 58

Memenuhi Syarat 11 22 31 62 42

Jumlah 50 100 50 100 100

Sumber : Hasil Survey

Gambar 4.1

40

Page 41: CONTOH PENDAHULUAN

Proporsi kepadatan rumah penderita TB paru

Gambar 4.2

Proporsi kepadatan rumah bukan penderita TB paru

Dari data hasil survey diatas maka didapatkan bahwa

rumah dengan kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat

lebih banyak terdapat pada rumah penderita TB paru (78%)

dibanding rumah bukan penderita TB paru (38%). Sehingga

sejauh ini dapat diambil kesimpulan sementara bahwa terdapat

perbedaan mengenai tingkat kepadatan hunian pada rumah

penderita TB paru dengan rumah bukan penderita TB paru .

4.2.2 Pencahayaan Rumah

Tabel IV.2

Distribusi frekuensi kondisi pencahayaan rumah responden di kecamatan Tanggulangin kabupaten

Sidoarjo pada bulan April 2009

Kategori

Kejadian Tuberkulosis

JumlahKasus TB Bukan TB

f % F %

Tidak Memenuhi Syarat 43 86 26 52 69

Memenuhi Syarat 7 14 24 48 31

Jumlah 50 100 50 100 100

Sumber : Hasil Survey

41

Page 42: CONTOH PENDAHULUAN

Gambar 4.3

Proporsi kondisi pencahayaan rumah

penderita TB paru

Gambar 4.4

Proporsi kondisi pencahayaan rumah bukan penderita TB paru

Dari data hasil survey diatas maka didapatkan

bahwa rumah kondisi pencahayaan rumah yang tidak

memenuhi syarat lebih banyak terdapat pada rumah

penderita TB paru (86%) dibanding rumah bukan

penderita TB paru (52%). Sehingga sejauh ini dapat

diambil kesimpulan sementara bahwa terdapat

perbedaan mengenai kondisi pencahayaan rumah

penderita TB paru dengan rumah bukan penderita TB

paru .

42

Page 43: CONTOH PENDAHULUAN

4.2.3. Ventilasi Rumah

Tabel IV.3

Distribusi frekuensi kondisi ventilasi rumah responden di kecamatan Tanggulangin kabupaten Sidoarjo pada bulan

April 2009

Kategori

Kejadian Tuberkulosis

JumlahKasus TB Bukan TB

f % F %

Tidak Memenuhi Syarat 34 68 10 20 44

Memenuhi Syarat 16 32 40 80 56

Jumlah 50 100 50 100 100

Sumber : Hasil Survey

Gambar 4.5

Proporsi kondisi ventilasi rumah di dalam rumah penderita TB paru

Gambar 4.6

Proporsi kondisi ventilasi rumah di dalam rumah bukan penderita TB paru

43

Page 44: CONTOH PENDAHULUAN

Dari data hasil survey diatas maka didapatkan bahwa

rumah kondisi ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat

lebih banyak terdapat pada rumah penderita TB paru (68%)

dibanding rumah bukan penderita TB paru (20%). Sehingga

sejauh ini dapat diambil kesimpulan sementara bahwa terdapat

perbedaan mengenai kondisi ventilasi rumah penderita TB

paru dengan rumah bukan penderita TB paru .

4.2.4 Perbedaan Kondisi Rumah Secara Keseluruhan

Berdasarkan Hasil Skoring kepadatan hunian, kondisi

pencahayaan dan ventilasi.

Tabel IV.4

Distribusi frekuensi kondisi rumah keseluruhan berdasarkan akumulasi skor kepadatan hunian, kondisi pencahayaan dan

ventilasi pada bulan April 2009

Kategori

Kejadian Tuberkulosis

JumlahKasus TB Bukan TB

f % F %

Tidak Memenuhi Syarat

(skor 3-4)

39 78 19 38 44

Memenuhi Syarat

(skor 5-6)

11 22 31 62 56

Jumlah 50 100 50 100 100

Sumber : Hasil Survey

44

Page 45: CONTOH PENDAHULUAN

Gambar 4.7

Proporsi kondisi rumah penderita TB paru dilihat dari kepadatan hunian, kondisi

pencahayaan dan ventilasi

Gambar 4.8

Proporsi kondisi rumah bukan penderita TB paru dilihat dari kepadatan hunian, kondisi

pencahayaan dan ventilasi

Dari data hasil survey diatas maka didapatkan bahwa

secara keseluruhan dari akumulasi hasil skoring kepadatan

hunian, kondisi pencahayaan dan ventilasi, tampak ada

perbedaan antara rumah penghuni TB paru (78 % tidak

memenuhi syarat kesehatan) dengan bukan penderita TB paru

(38% tidak memenuhi syarat kesehatan).

4.2.5. Kelembaban Rumah

Tabel IV.5

45

Page 46: CONTOH PENDAHULUAN

Distribusi frekuensi kondisi kelembaban rumah responden di kecamatan Tanggulangin kabupaten Sidoarjo pada bulan

April 2009

Kategori

Kejadian Tuberkulosis

JumlahKasus TB Bukan TB

f % f %

Kurang dari 40% 0 0 0 0 0

Antara 40% - 60% 38 76 13 26 51

Lebih dari 60 % 12 24 37 74 49

Jumlah 50 100 50 100 100

Sumber : Hasil Survey

Gambar 4.9

Proporsi kondisi kelembaban di dalam rumah

penderita TB paru

46

Page 47: CONTOH PENDAHULUAN

Gambar 4.10

Proporsi kondisi kelembaban di dalam rumah bukan penderita TB paru

Dari data mentah hasil pengukuran di lapangan,

untuk sementara dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan

mengenai kondisi kelembaban rumah penderita TB paru

dengan rumah bukan penderita TB paru, dimana rumah

penderita TB paru cenderung memiliki kelembaban tinggi

(>60%) , dan rumah bukan penderita TB paru memeiliki

kelembaban normal (40% - 60%).

4.2.6 Suhu Rumah

Tabel IV.6

Distribusi Frekuensi Kondisi Suhu Rumah Responden di kecamatan Tanggulangin Kabupaten Sidoarjo pada bulan

April 2009

Kategori

Kejadian Tuberkulosis

JumlahKasus TB Bukan TB

f % f %

Kurang dari 20% 0 0 0 0 0

Antara 20% - 25% 0 0 0 0 0

Lebih dari 25 % 50 100 50 100 100

47

Page 48: CONTOH PENDAHULUAN

Jumlah 50 100 50 100 100

Sumber : Hasil Survey

Gambar 4.11.

Proporsi kondisi suhu rumah penderita TB paru

Gambar 4.12.

Proporsi kondisi suhu rumah bukan penderita TB

paru

Dari data mentah hasil pengukuran di lapangan,

menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara suhu

rumah penderita TB paru dan bukan penderita TB paru .

Karena baik rumah penderita TB paru maupun rumah bukan

penderita TB paru menujukan suhu diatas 25 oC.

4.3 ANALISA PENGARUH KARAKTERISTIK

LINGKUNGAN FISIK RUMAH TERHADAP

KEJADIAN TB PARU.

48

Page 49: CONTOH PENDAHULUAN

4.3.1 Analisa Kepadatan penghuni dengan perhitungan

Rasio Odd

Dari tabel IV.1, maka Rasio Odds dihitung sebagai berikut :

Rasio Odds= (39x31) : (19x11) = 5, 07, berarti >1, yaitu

kepadatan penghuni rumah merupakan faktor risiko

terjadinya kasus TB

4.3.2 Analisa Pencahayaan rumah dengan perhitungan Rasio

Odds

Dari tabel IV.2, maka Rasio Odds dihitung sebagai berikut:

Rasio Odds= (43x24 ) : (26x7) = 5, 06, berarti >1, yaitu

pencahayaan rumah merupakan faktor risiko terjadinya kasus

TB

4.3.3 Analisa ventilasi rumah dengan perhitungajn Rasio

Odds

Dari tabel IV.3, maka Rasio Odds dihitung sebagai berikut:

Rasio Odds= (34x40) : (10x16) = 8,05, berarti >1, yaitu

ventilasi rumah merupakan faktor risiko terjadinya kasus TB

4.3.4 Analisa Data Gabungan Kepadatan Hunian, Pencahayaan

dan Ventilasi

Rumah

49

Page 50: CONTOH PENDAHULUAN

.(1) Uji Kai Kuadrat Dua Sampel

Kai Kuadrat (X2) digunakan untuk menguji hipotesa

komparatif bila datanya berbentuk nominal dan sampelnya

besar. Data yang diambil berdasarkan tabel IV.4, menunjukkan

data tersebut data nominal. Dimana formulasi hipotesanya

adalah:

H0 = Tidak ada perbedaan antara rumah yang tidak

memenuhi syarat kesehatan dan memenuhi

syarat kesehatan terhadap timbulnya kejadian

TB paru.

H1 = Ada perbedaan antara rumah yang tidak

memenuhi syarat kesehatan dan memenuhi

syarat kesehatan terhadap timbulnya kejadian

TB paru.

Taraf nyata yang digunakan 5% (0,05), dengan nilai X2

memiliki derajat bebas (db) = 1 (n-1), sehingga

didapatkan = 3,481

Dengan kriteria pengujian :

H0 diterima (H1 ditolak) apabila ≤

H1 diterima (H0 ditolak) apabila >

Tabel IV.7

Data untuk uji kai kuadrat dua sampel

Kelompok Tidak memenuhi syarat

Skor (3-4)

Memenuhi syarat

Skor (5-6)

Jumlah

50

Page 51: CONTOH PENDAHULUAN

Kasus TB 39 = a 11 = b 50= a+b

Bukan TB 19 = c 31 = d 50 = c+d

Jumlah 58 = a+c 42= b+d 100 = n

= 14,82

Ternyata harga lebih besar dari harga

untuk taraf nyata 5%. Dengan demikian H1 diterima (H0

ditolak), jadi dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan

antara rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan dan

memenuhi syarat kesehatan terhadap timbulnya kejadian

TB paru.

(2) Uji Mann Whitney

Untuk menambah akurasi hasil analisa penelitian

ini, maka berdasarkan data rumah yang memenuhi syarat

dan yang tidak memenuhi syarat dari akumulasi skoring

kepadatan hunian, pencahayaan dan ventilasi, dilakukan uji

lagi menggunakan uji Mann Whitney.

Uji ini digunakan untuk menguji hipotesa

komparatif dua sampel yang independen bila datanya

berbentuk ordinal. Data dalam tabel IV.4 yang awalnya

51

Page 52: CONTOH PENDAHULUAN

merupakan data nominal, akhirnya diubah menjadi data

ordinal (lihat lampiran), berdasarkan peringkat skoring.

Data tersebut diolah secara otomatis

menggunakan program SPSS 12 for Windows, dimana

formulasi hipotesanya adalah :

H0 = Tidak ada perbedaan antara rumah yang tidak

memenuhi syarat kesehatan dan memenuhi

syarat kesehatan terhadap timbulnya kejadian

TB paru.

H1 = Ada perbedaan antara rumah yang tidak

memenuhi syarat kesehatan dan memenuhi

syarat kesehatan terhadap timbulnya kejadian

TB paru.

Taraf nyata yang digunakan 5% (0,05) sehingga

=0,05

Dengan kriteria pengujian :

H0 diterima (H1 ditolak) apabila Asymp Sig. ≥

H1 diterima (H0 ditolak) apabila Asymp Sig. <

Tabel IV.8

Tabel Hasil Uji Mann Whitney

52

Page 53: CONTOH PENDAHULUAN

RanksStatus Kasus N Mean Rank Sum of Ranks

Kondisi Rumah TBBkn TBTotal

5050

100

41.0060.00

2050.003000.00

Test StatisticsKondisi Rumah

Asymp Sig. (2tailed) .000

Dari hasil uji Mann Whitney menggunakan SPSS

12 for Windows ternyata didapatkan hasil Asymp = 0.000

< = 0,05. Dengan demikian H1 diterima (H0 ditolak),

sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan antara

rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan dan

memenuhi syarat kesehatan terhadap timbulnya kejadian

TB paru.

4.3.5. Analisa Data Kelembaban Rumah

Data mentah kelembaban rumah yang diukur dengan

Hygrometer, yang merupakan data interval diolah dengan uji

hipotesa menggunakan rumus t-test dua sampel secara

otomatis menggunakan program SPSS 12 for Windows, dimana

formulasi hipotesanya adalah :

H0 = Tidak ada perbedaan kelembaban pada rumah

penderita TB paru dan rumah bukan penderita TB

paru .

H1 = Ada perbedaan kelembaban pada rumah penderita

TB paru dan rumah bukan penderita TB paru .

53

Page 54: CONTOH PENDAHULUAN

Taraf nyata yang digunakan 5% (0,05) sehingga

=0,05

Dengan kriteria pengujian :

H0 diterima (H1ditolak) apabila Asymp Sig. ≥

H1 diterima (H0ditolak) apabila Asymp Sig. <

Tabel IV.9

Tabel hasil uji t-test untuk kelembaban rumah

Group Statistics

Status Kasus N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Kelembaban rumah (%) TBBkn TB

5050

63.400060.5200

2.62640.88617

.37143

.12532Independent Sample Test

t-test for Equality of Means

t df Sig. (2-tailed)Mean

DifferenceKelembaban rumah (%) Equal variances

assumedEqual variances not assumed

7.347

7.347

98

60.014

.000

.000

2.88000

2.88000

Dari hasil uji t-test menggunakan SPSS 12 for

Windows ternyata didapatkan hasil Asymp Sig = 0.000 < =

0,05. Dengan demikian H1 diterima (H0 ditolak), sehingga

dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan kelembaban pada

rumah penderita TB paru dan rumah bukan penderita TB paru .

4.3.6 Analisa Data Suhu Rumah

Data mentah suhu rumah yang diukur dengan

Thermometer yang merupakan data interval akan dianalisis

54

Page 55: CONTOH PENDAHULUAN

dengan uji hipotesa menggunakan rumus t-test dua sampel

secara otomatis menggunakan program SPSS 12 for Windows,

dimana formulasi hipotesanya adalah :

H0 = Tidak ada perbedaan suhu pada rumah penderita TB

paru dan rumah bukan penderita TB paru .

H1 = Ada perbedaan suhu pada rumah penderita TB paru

dan rumah bukan penderita TB paru .

Taraf nyata yang digunakan 5% (0,05) sehingga =0,05

Dengan kriteria pengujian :

H0 diterima (H1ditolak) apabila Asymp Sig. ≥

H1 diterima (H0ditolak) apabila Asymp Sig. <

Tabel IV.10

Tabel hasil uji t-test untuk suhu rumah

Group Statistics

Status Kasus N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Suhu rumah (oC) TBBkn TB

5050

30.160029.7000

1.447871.51523

.20476

.21429Independent Sample Test

t-test for Equality of Means

t df Sig. (2-tailed)Mean

DifferenceSuhu rumah (oC) Equal variances

assumedEqual variances not assumed

1.552

1.552

98

97.798

.124

.124

.46000

.46000

55

Page 56: CONTOH PENDAHULUAN

Dari hasil uji t-test menggunakan SPSS 12 for

Windows ternyata didapatkan hasil Asymp Sig = 0.124 > =

0,05. Dengan demikian H0 diterima (H1 ditolak), sehingga

dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan suhu pada

rumah penderita TB paru dan rumah bukan penderita TB paru .

BA B V

PEMBAHASAN

5.1 BAHASAN VARIABEL KEPADATAN

PENGHUNI,PENCAHAYAAN DAN

VENTILASI RUMAH

56

Page 57: CONTOH PENDAHULUAN

5.1.1 Pengaruh kepadatan penghuni terhadap kasus TB paru

Secara analisis variabel mandiri untuk kepadatan penghuni,

dilakukan dengan perhitungan Rasio Odds (RO) untuk mencari

adanya pengaruh faktor resiko(+), sebagai kepadatan

penghuni yang memenuhi syarat, dan kepadatan penghuni

yang tidak memenuhi syarat, sebagai faktor resiko (-).

Hasil perhitungan adalah RO adalah 5,07 , berarti >1,

yaitu kepadatan penghuni rumah yang tidak memenuhi syarat,

merupakan faktor risiko terjadinya kasus TB. Secara empiris

dari penelitian Michael Clark dkk, membuktikan bahwa daerah

dengan kepadatan penghuni per kamar semakin tinggi

menunjukkan angka kasus TB semakin tinggi pula (Clark M,et

al., 2002).

Atas pertimbangan tersebut, maka tentang kepadatan

penghuni di perumahan, pelu mendapat pula prioritas

perhatian . Bahkan di Amerika Serikat ada data menyebutkan

tidakmemenuhi syaratnya ventilasi dan kepadatan penghuni

per kamar menjadi epidemic tuberkulosis satu abad yang lalu

(Stein, 1950) dan memang oleh WHO dinyatakan kasus

tuberkulosis sebagai problem yang signifikan, dengan

menyebabkan angka kematian 2 juta tahun 2002 (WHO, 2004)

5.1.2 Pengaruh pencahayaan alami rumah terhadap kasus TB

paru

57

Page 58: CONTOH PENDAHULUAN

Dari analisis variabel mandiri untuk pencahayaan

rumah , dilakukan dengan perhitungan Rasio Odds (RO) untuk

mencari adanya pengaruh faktor resiko(+), sebagai

pencahayaan rumah yang memenuhi syarat, dan pencahayaan

rumah` yang tidak memenuhi syarat, sebagai faktor resiko (-).

Hasil perhitungan adalah RO adalah 5,06 , berarti >1,

pencahayaan rumah yang tidak memenuhi syarat faktor risiko

terjadinya kasus TB.Secara teoritis cahaya matahari yang

kurang, mempengaruhi perkembangan bakteri

M.tubercuolosis(

Dalam penelitian lain, yaitu penelitian hubungan

penerangan alami dengan kejadian ISPA pada balita, Yusuf NA dan

Lilis Sulistyorini, membuktikan bahwa dalam penelitiannya di

Surabaya, rumah yang kurang mendapat penerangan alami terdapat

sebagian besar r4esponden menderita ISPA (76,5 %) dan sebanyak

23,5 % tidak ISPA (Yusuf NA dan Lilis Sulistyorini,

2005).Pembuktian dengan uji Chi-Square secara signifikan ada

hubungan antara rumah dengan penerangan alami dengan kasus ISPA

pada balita. Dalam penelitian tersebut, walapun dari penyakit yang

berbeda, namun secara substansial peran penerangan alami sangat

58

Page 59: CONTOH PENDAHULUAN

potensial dalam perkembangan suatu kuman, tentunya termasuk

kuman tuberkulosis.

Atas pertimbangan tersebut, maka, penerangan alami di

rumah, khususnya bagi umah dengan penghuni ang ada

pendeita TB, perlu selalu mendapat penyuluhan yang

kontinyu.

5.1.3 Pengaruh ventilasi rumah terhadap kasus TB paru

Dari analisis variabel mandiri untuk venilasi rumah ,

dilakukan denganperhitungan Rasio Odds (RO) untuk mencari

adanya pengaruh faktor resiko(+), sebagai ventilasi rumah

yang memenuhi syarat, dan ventilasi rumah`yang tidak

memenuhi syarat, sebagai faktor resiko (-).

BHasil perhitungan adalah RO adalah 8,05, berarti >1,

ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat merupakan faktor

risiko terjadinya kasus TB. Suatu ventilasi yang tidak

memenuhi syarat, dampak yang timbul membuat perabot yang

ada di rumah menjadi lembab( Markus TA, 1993) Disamping

itu kelembaban tersebut mengakibatkan tumbuhnya subur

binatang seerti kecoak, virus penapasan, jamur, dan sangat

59

Page 60: CONTOH PENDAHULUAN

memegang peran dalam timbulnya penyakit patogenis saluran

pernapasan (Karim YG,et al, 1985)

5.2 BAHASAN PENGARUH PERSYARATAN RUMAH

BERDASAR ANALISA GABUNGAN KEPADATAN,

PENCAHAYAAN DAN VENTILASI RUMAH

Berdasarkan uji hipotesa data nominal dengan rumus

Kai kuadrat dan uji hipotesa data ordinal dengan rumus Mann

Whitney Test didapatkan data bahwa rumah yang memenuhi

syarat kesehatan rumah berdasarkan variabel kepadatan

hunian, kondisi pencahayaan dan ventilasi, memiliki pengaruh

yang bermakna dengan kejadian TB paru pada penduduk

kecamatan Tanggulangin kabupaten Sidoarjo.

Dapat dipahami, bahwa penyakit TB paru ditularkan

dari penderita TB paru BTA (+) melalui droplet nuclei yang

dibatukkan atau dibersinkan oleh seorang penderita kepada

orang lain, dan dapat menularkan pada 10-15 orang

disekitarnya, terutama anak-anak (Depkes RI, 2002). Oleh

karena itu, kepadatan penghuni yang berlebihan (overcrowded)

sangat berpengaruh dengan penularan infeksi TB paru ,seperti

yang disampaikan oleh Stein L (Stein L, 1950)

Menurut Puslit Ekologi Kesehatan (1991), tingkat

penularan TB paru di lingkungan rumah penderita cukup

tinggi, dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan

60

Page 61: CONTOH PENDAHULUAN

kepada 2-3 orang di dalam rumahnya. Oleh karena itu,

dapatlah dimengerti bahwa terjadinya TB paru dipengaruhi

oleh kepadatan penghuni yang tidak memenuhi syarat

kesehatan.

Keadaan ventilasi juga berpengaruh terhadap kejadian

TB paru di kecamatan Tanggulangin kabupaten Sidoarjo. Hal

tersebut dapat dipahami, karena ventilasi memiliki berbagai

fungsi, diantaranya adalah untuk membebaskan ruangan rumah

dari bakteri-bakteri patogen, terutama kuman tuberkulosis.

Kuman TB yang ditularkan melalui droplet nuclei, dapat

melayang di udara karena memliliki ukuran yang sangat kecil,

yaitu sekitar 50 mikron. Apabila ventilasi rumah memenuhi

syarat kesehatan, maka kuman TB dapat terbawa ke luar

ruangan rumah, tetapi apabila ventilasinya buruk makan

kuman TB akan tetap ada di dalam rumah. Selain itu ventilasi

yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan

terhalangnya sinar matahari masuk ke dalam rumah, padahal

kuman TB hanya dapat terbunuh oleh sinar matahari langsung

(Depkes RI, 2002;Notoatmodjo, 2003; Girsang, 1999; Salvato

dalam Lubis, 1989; Supraptini, 1999; Prihardi, 2002).

Agar cahaya matahari cukup pada pagi dan siang hari,

diperlukan luas ventilasi dan jendela yang memenuhi syarat

kesehatan. Kamar tidur sebaiknya berada di sebelah timur

untuk memberi kesempatan masuknya ultraviolet yang ada

didalam sinar matahari pagi.

Dari data mentah hasil pengukuran kelembaban di

lapangan ditemukan bahwa rumah penderita TB paru memiliki

61

Page 62: CONTOH PENDAHULUAN

kelembaban yang cenderung tinggi. Selanjutnya berdasarkan

uji hipotesa menggunakan rumus t-test untuk data kelembaban

tersebut yang dikategorikan sebagai data interval, juga

menujukkan adanya perbedaan antara kondisi kelembaban

pada rumah penderita TB paru dan rumah bukan penderita TB

paru .

Hal ini bisa dianggap sebagai faktor yang ikut

mendukung terjadinya TB paru pada penduduk di kecamatan

Tanggulangin kabupaten Sidoarjo, sebab dapat dipahami

bahwa kelembaban rumah yang tidak memenuhi syarat

kesehatan akan menjadi media yang baik bagi pertumbuhan

berbagai mikroorganisme seperti bakteri, spiroket, ricketsia,

virus dan mikroorganisme yang dapat masuk ke dalam tubuh

manusia melalui udara sehingga dapat menyebabkan terjadinya

infeksi pernafasan pada penghuninya.

Kuman Tuberkulosis dapat hidup baik pada lingkungan

yang lembab (Depkes RI, 2002; Notoatmodjo, 2003; Salvato

dalam Lubis, 1989; Supraptini, 1999; Prihardi, 2002). Selain

itu karena air membentuk lebih dari 80% volume sel bakteri

dan merupakan hal yang esensial untuk pertumbuhan dan

kelangsungan hidup sel bakteri, maka kuman TB dapat

bertahan hidup pada tempat sejuk, lembab dan gelap tanpa

sinar matahari sampai bertahun-tahun lamanya (Atmosukarto,

2000; Gould dan Brooker, 2003).

Berdasarkan hasil uji hipotesa menggunakan rumus t-

test, dalam penelitian ini didapatkan bahwa tidak ada

perbedaan suhu pada rumah penderita TB paru dan rumah

62

Page 63: CONTOH PENDAHULUAN

bukan penderita TB paru . Dari pengukuran di lapangan

didapatkan data bahwa rata-rata suhu rumah penderita TB paru

adalah 30,16 ºC dan rata-rata suhu rumah bukan penderita TB

paru adalah 29,70 ºC. Pada kisaran suhu ini sebenarnya

memungkinkan bakteri tuberkulosis untuk hidup. Menurut

Gould dan Brooker (2003), bakteri Mycobacterium

tuberculosis memiliki rentang suhu yang disukai, tetapi pada

rentang suhu ini terdapat suatu suhu optimum yang

memungkinkan mereka tumbuh pesat. Mycobacterium

tuberculosis merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh subur

dalam rentang 25 – 40º C, tetapi akan tumbuh secara optimal

pada suhu 31 – 37 º C (Depkes RI, 1989; Gould dan Brooker,

2002; Gibson, 1996; Girsang, 1999; Salvato dalam Lubis,

1989).

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dipahami bahwa

sebenarnya suhu rumah berpengaruh terhadap kemampuan

hidup kuman TB. Tetapi, variabel suhu rumah dalam

penelitian ini tidak berpengaruh terhadap kejadian TB paru di

kecamatan Tanggulangin kabupaten Sidoarjo karena tidak ada

perbedaan antara suhu rumah penderita TB paru dan bukan

penderita TB paru.

63

Page 64: CONTOH PENDAHULUAN

BAB VIKESIMPULAN DAN SARAN

6..1 KESIMPULAN

Secara umum, berdasarkan hasil penelitian, pengolahan

data, analisa data serta pembahasan yang ada, maka peneliti

mengambil kesimpulan bahwa :

(1) Terbukti ada pengaruh antara kepadatan penghuni rumah

dengan kejadian TB paru di Kecamatan Tanggulangin

Kabupaten Sidoarjo.

(2) Terbukti ada pengaruh antara keadaan pencahayaan rumah

dengan kejadian TB paru di Kecamatan Tanggulangin

Kabupaten Sidoarjo.

(3) Terbukti ada pengaruh antara keadaan ventilasi rumah dengan

kejadian TB paru di Kecamatan Tanggulangin Kabupaten

Sidoarjo.

(4) Terbukti ada pengaruh antara kelembaban udara dalam rumah

dengan kejadian TB paru di Kecamatan Tanggulangin

Kabupaten Sidoarjo.

(5) Untuk variabel suhu rumah, disimpulkan bahwa secara teoritis

suhu berpengaruh pada kemampuan hidup kuman TB paru,

namun dalam penelitian ini suhu rumah tidak berpengaruh

terhadap kejadian TB paru di Kecamatan Tanggulangin

Kabupaten Sidoarjo, sehingga masih perlu kajian lebih lanjut

6.2 SARAN

Dalam rangka peningkatan upaya Program Pemberantasan

Penyakit Menular (khususnya bagian penanggulangan

64

Page 65: CONTOH PENDAHULUAN

penyakit tuberkulosis) dan Program KesehatanLingkungan di

Puskesmas Tanggulangin kabupaten Sidoarjo, diharapkan

dalam setiap kegiatan penyuluhan lebih menekankan

pemberian materi penyuluhan tentang peran lingkungan rumah

yang sehat dan meliputi :

(1) Kepadatan penghuni rumah

a. Bagi penduduk yang ingin membangun rumah, hendaknya

jumlah kamar diseuaikan dengan jumlah penghuni rumah.

b. Untuk penderita TB yang tinggal dalam keluarga besar

dalam rumah yang padat penghuni, hendaknya diberikan

kamar tersendiri dan tidak tidur dalam satu kamar dengan

anggota keluarga yang sehat, untuk mengurangi resiko

penularan.

(2) Pencahayaan rumah

a. Untuk penduduk yang ingin membangun rumah,

hendaknya memperhatikan pencahayaan dari seluruh

ruangan agar memperoleh pencahayaan alami (sinar

matahari) yang cukup untuk menerangi rumah disiang hari.

b. Bagi rumah yang selama ini pencahayaannya kurang

hendaknya dibuat jendela baru atau setidaknya mengganti

gentingnya dengan genting kaca.

(3) Ventilasi rumah

a. Untuk penduduk yang ingin membangun rumah,

hendaknya di seluruh ruangan agar dibuat jendela dan

ventilasi dengan luas minimal 10 % dari luas lantai dan

diusahakan langsung berhubungan dengan udara luar agar

sirkulasi udara dapat mengalir dengan baik.

65

Page 66: CONTOH PENDAHULUAN

b. Menyarankan kepada penduduk agar memaksimalkan

penggunaan ventilasi rumahnya dengan cara selalu

membuka jendela dan ventilasi rumahnya, tidak menutupi

jendela rumahnya dengan triplek, lemari atau benda

lainnya.

(4) Memberikan penyuluhan kepada penduduk bahwa kelembaban

rumah yang tinggi akan dapat berkurang dengan adanya

ventilasi dan pencahayaan rumah yang baik.

Melalui pemberian materi penyuluhan di atas yang

dilakukan sebagai salah satu upaya pencegahan penularan TB

paru, maka diharapkan akan dapat menekan angka penularan

dan angka kesakitan akibat tuberkulosis paru di kecamatan

Tanggulangin kabupaten Sidoarjo.

(5). Bagi peneliti yang berminat dalam materi penelitian

ini, dapat melakukan penelitian tentang variabel pencahayaan,

ventilasi dengan alat ukur yang terukur.

-----

66

Page 67: CONTOH PENDAHULUAN

DAFTAR PUSTAKA

-----------------------.1989. Bakteriologi Klinik. Depkes RI. Jakarta.

----------------------- 1990. Buku Pegangan Kader Penyehatan Kesehatan Lingkungan. Depkes RI (Dirjen PPM dan PLP). Jakarta.

------------------.2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. DinasP2M. Jakarta

------------------.2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta

Aditama, T. 2000. Tuberkulosis: Diagnosis, Tatalaksana dan Masalahnya. UI Press.Jakarta.

APHA Program Area Comitte on Housing and Health.1968.Basic health principles of housing and its environmen6t.Am J Public Healthj;59:841-851

Ariati, J dan Boesri. 1998. Variabel Epidemiologi Penyakit Menular; Majalah Kesehatan Masyarakat No. 19 Thn. 1998, Depkes RI. Jakarta

Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi V. Rineka Cipta. Jakarta

Atmosukarto dan Sri Soewasti. 2000. Media Litbang Kesehatan, Vol. 9 ; Pengaruh Lingkungan Pemukiman dalamPenyebaran Tuberkulosis. Depkes RI. Jakarta

Azwar, A. 1990. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Mutiara SumberDaya. Jakarta.

Beaglehole, R dan Bonita, R. 1997. Dasar-dasar Epidemiologi. GadjahMada University Press. Yogyakarta

.

67

Page 68: CONTOH PENDAHULUAN

Catzel, P dan Robert, I. 1995. Kapita Selekta Pediatri. EGC. Jakarta.

Collins KJ.1986.Low indoor temperatures and morbidity in the eldery.Age Ageing ;15:212-220

Cordoso Maria Regina Alves, Simon Nicholas Cousens,Luiz Fermando de Goes Siqueira,Fatima Maria Alves and Luiz Antonio V D’Angelo.2004.Crowding:risk factor or protective factor for lower respiratory disease in young children.BMC Publiuc Health;4:1-8

Crofton, J, dkk. 1995. Tuberkulosis Klinik. Widya Medika. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 1989. Pengawasan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Depkes RI. Jakarta.

Dirjen Pengendalian Penyakit dan penyehatan Lingkungan.2005.Manual Pemberantasan Penyakit Menular.Departemen Kesehatan RI,Jakarta

Dunn JR,Hayes MV.2000.Social inequality, population health, and housing: a study of two Vancouver neighborhoods.Sos Sci Med; 51:563-587

Evans J,Hyndman S,Stewart-Brown S,Smith D, Petersen S.2000.An epidedemiological study of the relativeimportance of damp housing in relationm to adulth health.J Epidemiol Health;54:677-686

FKUI. 1998. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. FKUI. Jakarta.

Fletcher. 1992. Sari Epidemiologi Klinik. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Clark Michael, Peter Riben, and Earl Nowgesic.2002.The association of housinhg density, isolation and tuberculosis in Canadian First Nations communities. International Journal of Epidemiology;31:940-945

68

Page 69: CONTOH PENDAHULUAN

Gibson, J.M. 1996. Mikrobiologi dan Patologi Modern untuk Perawat. EGC.Jakarta

Girsang, M. 1999. Media Litbang Kesehatan Vo. IX No. 3 tahun 1999: Kesalahan-kesalahan dalam Pemeriksaan Sputum BTA pada Program Penanggulangan terhadap Beberapa Pemeriksaan dan Identifikasi Penyakit TBC. Depkes. Jakarta

Gould, D dan Brooker, C. 2003. Mikrobiologi Terapan untuk Perawat. EGC. Jakarta.

Hasan Iqbal. 2004. Analisis Data Penelitian Dengan Statistik. Bumi Aksara. Jakarta.

Jenkins. 1992. The Microbiology of Tuberculosis During 1990. Houston

Kartasasmita, C. 2002. Pencegahan Tuberkulisis pada Bayi dan Anak. Available at URL from : http//www.depkes.com on Maret 25, 2009

Karim YG, Ijaz MK, Sattar SA,Johnson Levussemburg CM.19/85.Eff ect of realtive humidity on the airborne survival of rhinovirus-14.Can J Microbiol 31:1058-1061

Krieger J, and Donna L.H. 2002. Housing and Health: Time Agaian for Public H~ealth Action.American Journal of Public Health, May 2002,Vol 92,No.5 :758-768

Lennihan dan Fletter. 1989. Health and Environment. Academic Press. San Fransisco

Lienhardt, K Fielding, JS Sillah, B Bah, P Gustafson, D Warndorff,M Papayew, I Lisse, S Donkor, S diallo, K Manneh, R Adegbola, P Aab6y, O BahSow, S Bennet and K McAdam, 2005.Investigation of the risk factors for tuberculosis: a case control study in three countries in West Africa.

Lubis, P. 1989. Perumahan Sehat. Jakarta: Depkes RI

69

Page 70: CONTOH PENDAHULUAN

Markus TA.1993 .Cold, condensation and housing poverty.In: Burridge %R, Ormandy D, eds.Unhealthy Housing: research,Remedies and Reform.New ork, NY:Spon Press;141-167

Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Prinsip-prinsip Dasar. Rineka Cipta. Jakarta

Prihardi, D. 2002. Ancaman Masa Depan Anak Indonesia. Available at URL from

http//www.depkes.com (cited on 2009, Maret 25).

Rosen G.1958.A History of Public Health.New York, NY:MD Publications

Rosmayudi, O. 2002. Diagnosis dan Pengobatan Tuberkulosis pada Bayi dan Anak. Available at URL from : http//www.depkes.com on 2009, Maret, 2009.

Sanropie, D. 1991. Pengawasan Penyeharan Lingkungan Pemukiman. Dirjen PPM dan PLP. Jakarta

Siegel, S. 1997. Statistik Non Parametrik: untuk Ilmu-ilmu Sosial. Gramedia. Jakarta.

Stanhope and Lancester. 1989. Community Health Nursing. Mosby Company. St. Louis, USA.

Starke, J.R. 1996. Tuberculosis in Nelson WE (Ed), Textbook of Pediatrics, 15th ed. WB Saunders. Philadelphia.

Stein L.1950.A Sstudy of respiratory turbeculosis in relation to housing condition in Edinburg;the pre war period.Br.J Soc Med; 4:143-169

Sudarso. 2007. Membuat Karya Tulis Ilmiah Bidang Kesehatan; Dengan Penjelasan Dasar Metodologi Penelitian dan Desain Penelitian Kesehatan. Perc. Dua Tujuh. Surabaya.

70

Page 71: CONTOH PENDAHULUAN

Sudjana. 1996. Metode Statistika. Tarsito. Bandung

Sugiyono. 2009. Statistik untuk Penelitian. Alfabeta. Bandung.

Supraptini, dkk. 1999. Pemeriksaan Bakteriologik Lingkungan Rumah Sakit Tuberculosa Pari Cisarua Bogor. Media litbang Kesehatan Vol. IX No.3 tahun 1999. Jakarta

TECHO,Thermal Environmental Conditions for Human Occupancy.1981.American Society of Heating,Refrigerating, and Air-Conditioning Engineers.ASHRAE Standard ANSI?ASHRAE 55

Walton, P. 1991. Environment Health. Academic Press. New York.

WHO.2008.Estmasted burden TB Insicidence and Prevalence 1990 – 2007. Avalaible at URL from : http://www.who.int/tb (cited 2009,March 15)

WHO,2004. Tuberculocis Fact Sheet.World Health Organization.Available at URL from : http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs104/en (accessed April 2008).

World Health Organization.1988.Guidelines for Healthy Housing.Health Seriesd 321.WHO:Regional Office for Europe.

Yusuf N A, Lilis Sulistyorini. 2005. Hubungan sanitasi rumah secara fisik dengan kejadian ISPA pada balita.Jurnal Kesehatan Lingkungan,Vol.I,No.2 Januari 2005

71

Page 72: CONTOH PENDAHULUAN

LAMPIRAN

72