Post on 17-Feb-2015
CASE
HIV+TOKSOPLASMOSIS
Ker
Pembimbing:
dr.Ruth Mariva, SpS
oleh:
Anastasia 11 2012 018
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF
RUMAH SAKIT IMMANUEL WAY HALIM BANDAR LAMPUNG
PERIODE
BAB I
PENDAHULUAN
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) pertama kali diidentifikasi pada tahun
1981 setelah muncul kasus-kasus pneumonia Pneumocystis carinii dan sarcoma Kaposi pada
laki-laki muda homoseks di berbagai wilayah Amerika Serikat. Sebelumnya kasus tersebut
sangat jarang terjadi, apabila terjadi biasanya disertai penurunan kekebalan imunitas tubuh. Pada
tahun 1983 Luc Montagnier mengidentifikasi virus penyebab AIDS, yang telah diisolasi dari
pasien dengan limfadenopati dan pada waktu itu diberi nama LAV ( Lymphadenopathy virus ).
Sedangkan Robet Gallo menemukan virus penyebab AIDS pada tahun 1984 yang saat itu
dinamakan HTLV-III. (Djoerban Z dkk, 2006)
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak
Negara di seluruh dunia. Tidak ada satupun negara di dunia ini yang terbebas dari HIV
(Djoerban Z dkk, 2006).
Menurut UNAIDS di tahun 2009 jumlah odha mencapai 33,3 juta, dengan kasus baru
sebanyak 2,6 juta,dan per hari lebih dari 7000 orang telah terinfeksi HIV, 97 % dari Negara
berpenghasilan rendah dan menengah. Penderitanya sebagian besar adalah wanita sekitar 51 %,
usia produktif 41% ( 15-24 th) dan anak-anak ( WHO, 2010). HIV dan AIDS menyebabkan
krisis secara bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan Negara, krisis
ekonomi, pendidikan , dan juga krisis kemanusiaan. (Djoerban Z dkk, 2006).
Di Indonesia sendiri, jumlah odha terus meningkat. Data terakhir pada tahun 2008
menunjukkan bahwa jumlah odha di Indonesia telah mencapai 22.664 orang. (Depkes RI, 2008).
Menurut UNAIDS, Indonesia merupakan Negara dengan pertunbuhan epidemic tercepat di Asia.
Pada tahun 2007 menempati urutan ke-99 di dunia, namun karena pemahaman dari gejala
penyakit dan stigmata social masyarakat, hanya 5-10 % yang terdiagnosa dan dilakukan
pengobatan.(UNAIDS, 2010)
Pada era sebelumnya upaya penanggulangan HIV/AIDS diprioritaskan pada upaya
pencegahan. Dengan semakin meningkatnya pengidap HIV dan kasus AIDS yang memerlukan
terapi ARV, maka strstegi penanggulangan HIV/AIDS dilaksanakan dengan memadukan upaya
pencegahan dengan upaya perawatan, dukungan serta pengobatan. Dalam memberikan
kontribusi 3 by 5 initiative global yang direncanakan oleh WHO di UNAIDS, Indonesis secara 2
nasional telah memulai terapi antiretroviral (ART) pada tahun 2004. Hal ini dapat menurunkan
risiko infeksi oportunistik (IO) yang apabila berat dapat menimbulkan kematian pada odha. Pada
akhirnya, diharapkan kualitas hidup odha akan meningkat. . (Djauzi S dkk, 2002).
Ensefalitis toksoplasma biasanya terjadi pada pasien terinfeksi HIV dengan CD4 T-sel
yang <100/μL. Ensefalitis toksoplasma pada pasien AIDS di Amerika Serikat hampir selalu
disebabkan oleh reaktivasi dari infeksi kronis. Dengan demikian, angka kejadian penyakit ini
berkorelasi langsung dengan prevalensi anti Toxoplasma gondii antibodi. Antara 10% dan 40%
dari pasien terinfeksi HIV di Amerika Serikat memiliki antibodi terhadap Toxoplasma gondii.
Studi awal menunjukkan bahwa 24-47% dari pasien AIDS dengan Toxoplasma gondii -
seropositif akhirnya dikembangkan ensefalitis toksoplasma. Risiko toksoplasmosis menurun
setelah pengenalan profilaksis primer terhadap Toxoplasma gondii . Insiden di Amerika Serikat
ensefalitis toksoplasma di antara pasien yang didiagnosis dengan AIDS menurun dari 2.1/100
orang-tahun pada tahun 1992 untuk 0.7/100 orang-tahun pada tahun 1997.
3
BAB II
2.1 DEFINISI
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala atau penyakit yang
diakibatkan karena penurunan kekebalan tubuh akibat adanya infeksi oleh Human
Imunodeficiency Virus (HIV) yang termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir
dari infeksi HIV. (Djoerban Z dkk, 2006).
Toxoplasma gondii adalah protozoa obligat intraseluler yang menyebar di seluruh
dunia. Pengembangan diperantarai sel kekebalan setelah infeksi akut Toxoplasma gondii. Fase
kronis atau laten infeksi berikutnya ditandai dengan masih adanya organisme pada jaringan dari
individu yang terinfeksi (terutama otak , otot rangka, dan jantung). Memang, Toxoplasma gondii
merupakan salah satu penyebab paling umum infeksi kronis dengan organisme intraseluler pada
manusia. Seorang individu yang terinfeksi kronis yang terganggu imunitasnya diperantarai sel
yang berisiko me-reaktivasi infeksi. Toksoplasmosis memanifestasikan terutama sebagai
ensefalitis toksoplasma.
2.2 EPIDEMIOLOGI
Laporan UNAIDS-WHO menunjukkan bahwa AIDS telah merenggut lebih dari 25 juta
jiwa sejak pertama kali dilaporkan pada tahun 1981. Pada tahun 2009, jumlah odha diperkirakan
mencapai 33,3 juta orang, dengan sebangian besar penderitanya adalah usia produktif , 15,9 juta
penderita adalah perempuan dan 2,5 juta adalah anak-anak. Dengan jumlah kasus baru HIV
sebanyak 2.6 juta jiwa. Dari jumlah kasus baru tersebut, sekitar 370 ribu di antaranya terjadi
pada anak-anak. Pada tahun yang sama, lebih dari dua juta orang meninggal karena AIDS.
(WHO,2010 )
Peningkatan jumlah orang hidup dengan HIV sungguh mengesankan. Pada tahun 1990,
jumlah odha baru berkisar pada angka delapan juta sedangkan saat ini, jumlahnya sudah
mencapai 33,2 juta orang. Dari keseluruhan jumlah ini, 67% diantaranya disumbangkan oleh
odha di kawasan sub Sahara, Afrika. (WHO, 2010)
Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih jarang ditemukan di Indonesia.
Sebagian ODHA pada periode itu berasal dari kalangan homoseksual. Kemudian jumlah kasus
baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat
4
peningkatan tajam yang terutama disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik.
(Djoerban Z dkk, 2006)
Saat ini, perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia.
Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi
(dengan prevalensi > 5%) seperti pengguna narkotika suntik (penasun), wanita penjaja seks
(WPS), dan waria. Di beberapa propinsi seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jabar dan Jawa Timur
telah tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated level of
epidemic). Sedang tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas (generalized epidemic).
( Mustikawati DE dkk, 2009)
Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan, terjadi laju peningkatan kasus baru AIDS
yang semakin cepat terutama dalam 3 tahun terakhir dimana terjadi kenaikan tiga kali lipat
dibanding jumlah yang pernah dilaporkan pada 15 tahun pertama epidemi AIDS di Indonesia.
Dalam 10 tahun terakhir terjadi laju peningkatan jumlah kumulatif kasus AIDS dimana pada
tahun 1999 terdapat 352 kasus dan data tahun 2008 jumlah tersebut telah mencapai angka 16.110
kasus. (Mustikawati DE dkk, 2009 ).
Dari jumlah kumulatif 16.110 kasus AIDS yang dilaporkan pada Desember 2008, sekitar
74,9% adalah laki-laki dan 24,6% adalah perempuan. Berdasarkan cara penularan, dilaporkan
48% pada heteroseksual; 42,3% pada pengguna narkotika suntik; 3,8% pada homoseksual dan
2,2% pada transmisi perinatal. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran dari dominasi kelompok
homoseksual ke kelompok heteroseksual dan penasun. Jumlah kasus pada kelompok penasun
hingga akhir tahun 2008 mencapai 1.255 orang. Kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada
kelompok usia 20–29 tahun (50,82%), disusul kelompok usia 30–39 tahun. (Depkes RI, 2008)
Dari 33 propinsi seluruh Indonesia yang melaporkan, peringkat pertama jumlah kumulatif
kasus AIDS berasal dari propinsi Jawa Barat sebesar 2.888 kasus, disusul DKI Jakarta dengan
2.781 kasus, kemudian diikuti oleh Jawa Timur, Papua, dan Bali dengan masing-masing jumlah
kasus secara berurutan sebesar 2.591 kasus, 2.382 kasus, dan 1.177 kasus AIDS. (Depkes
RI,2008)
Rate kumulatif nasional kasus AIDS per 100.000 penduduk hingga akhir Desember 2008
adalah sebesar 7,12 per 100.000 penduduk (dengan jumlah penduduk Indonesia 227.132.350
jiwa berdasarkan data BPS tahun 2005). Proporsi kasus yang dilaporkan meninggal sebesar
20,89%. Lima infeksi oportunistik terbanyak yang dilaporkan adalah TBC sebanyak 8.986 kasus,
5
diare kronis 4.542 kasus, kandidiasis orofaringeal 4.479 kasus, dermatitis generalisata 1.146
kasus, dan limfadenopati generalisata sebanyak 603 kasus. (Depkes RI,2008).
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)
Jl. Terusan Arjuna No. 6 Kebon Jeruk – Jakarta Barat
KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
SMF ILMU PENYAKIT SARAF
RUMAH SAKIT: IMMANUEL WAY HALIM BANDAR LAMPUNG
Nama : Anastasia
NIM : 11 2012 018
Dokter pembimbing : dr. Ruth Mariva, SpS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. T
Umur : 56 thn 2 bl 24 hr
Jenis kelamin : Laki-Laki
Status perkawinan : Menikah
Pendidikan : -
Pekerjaan : -
Alamat : Perum Kota Karang Permai Lk 1 Kota Karang Teluk Betung
Dikirim oleh : Keluarga
No CM : 10 80 05
Dirawat di ruang : Kelas II (RID-2-106-02)
Tanggal masuk : 28 Februari 2013
PASIEN DATANG KE RS:
Sendiri/bisa jalan/tidak bisa jalan/dengan alat bantu
6
Dibawa oleh keluarga :ya/tidak
Dibawa oleh orang lain :ya/tidak
II. SUBJEKTIF
Anamnesis, Alloanamnesis (tanggal: 04 Maret 2012, pukul: 08.30)
1. Keluhan utama :
Demam
2. Riwayat penyakit sekarang
Sejak 1 minggu SMRS, Os mengeluh adanya demam. Demam tetap tinggi sepanjang
siang dan malam hari. Demam tidak disertai keringat di malam hari. Os mengaku badan terasa
seperti pegal-pegal dan sangat lemas ketika demam tetapi os mengaku tidak merasa menggigil
ketika demam. Os tidak pernah minum obat-obatan untuk menurunkan panas. Istri os mengaku
bahwa ia tidak pernah mengukur suhu tubuh os ketika demam. Os mengaku adanya rasa pusing
yang berputar sejak os demam. Os mengaku kepala terasa sangat berat terutama di kepala bagian
belakang. Pusing berputar dirasakan semakin bertambah ketika os sedang duduk. Os menyangkal
adanya pandangan mata double atau seperti tabir ketika pusing berlangsung. Os menyangkal
adanya rasa kesemutan di bibir, kaki dan tangan ketika pusing. Os mengaku kedua kaki terasa
sangat lemas bila hendak digerakan. Os tidak bisa jalan ke kamar mandi sehingga harus dipapah.
Os mengaku adanya mual yang disertai dengan muntah. Muntah sekitar 1-2x/sehari. Muntah
berisi air dan makanan. Os mengaku adanya penurunan nafsu makan semenjak demam. BAK
kurang lebih 1-2x/hari, urin berwarna kuning pekat. BAB 1x/hari, tinja padat, os tidak
mengetahui apa warna tinja.
3. Riwayat penyakit keluarga
Hipertensi: (-) DM: (-)
Asma: (-) TB: (-)
4. Riwayat penyakit dahulu
Tidak pernah menderita sakit seperti ini sebelumnya.
Hipertensi: (-) DM: (-)
Asma: (-) Dispepsia: (+)
7
5. Riwayat Sosial, Ekonomi,
Pribadi
Sosial : kurang
Ekonomi : cukup
Pribadi : kurang
kooperatif dan gelisah
III. OBJEKTIF
1. Status Presens
a. Kesadaran :
E4M6V4
(Somnolen)
b. TD :
130/80mmHg
c. Nadi :
80x/menit
d. Pernafasan : 20
x/menit
e. Suhu :
38,90C
f. Kepala : normocephali
g. Leher : pembesaran KGB dan thyroid (-)
h. Paru : vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
i. Jantung : BJ I&II reguler, murmur (-), gallop (-)
j. Perut : supel, nyeri tekan (-), BU (+)
k. Ekstremitas : akral hangat, edema − −
− −
l. Alat kelamin: tidak dilakukan
2. Status psikikus
a. Cara berpikir : kurang baik
8
b. Perasaan hati : kurang baik
c. Tingkah laku : kurang baik
d. Ingatan : baik
e. Kecerdasan : rata-rata
3. Status neurologikus
a. Kepala
i. Bentuk : normocephali
ii. Nyeri tekan : tidak dilakukan
iii. Simetris : simetris
iv. Pulsasi : tidak dilakukan
b. Leher
i. Sikap : simetris
ii. Pergerakan : tidak dapat dinilai
iii. Kaku kuduk : tidak ada
c. Nervus cranialis
i. N. I kanan kiri
Subjektif normosmia normosmia
Dengan bahan tidak dilakukan tidak dilakukan
ii. N. II kanan kiri
Tajam penglihatan tidak dilakukan tidak dilakukan
Lapangan penglihatan sesuai dengan pemeriksa sesuai dengan pemeriksa
Melihat warna sesuai dengan pemeriksa
Fundus okuli tidak dilakukan tidak dilakukan
iii. N. III kanan kiri
Pergerakan bulbus normal normal
Strabismus tidak ada tidak ada
Nistagmus tidak ada tidak ada
Exophtalmus tidak ada tidak ada
9
Pupil Besar 3 mm 3 mm
Bentuk bulat bulat
Refleks terhadap sinar (+) (+)
Refleks konversi (+) (+)
Refleks konsensuil (+) (+)
Melihat kembar tidak ada tidak ada
iv. N.IV kanan kiri
Pergerakan mata normal normal
(ke bawah-keluar)
Sikap bulbus normal normal
Melihat kembar tidak ada tidak ada
v. N.V kanan kiri
Membuka mulut simetris
Mengunyah tidak dilakukan tidak dilakukan
Mengigit tidak dilakukan tidak dilakukan
Refleks kornea tidak dilakukan tidak dilakukan
Sensibilitas baik baik
vi. N.VI kanan kiri
Pergerakan mata ke lateral normal normal
Sikap bulbus normal normal
Melihat kembar tidak ada tidak ada
vii. N.VII kanan kiri
Mengerutkan dahi simetris
Menutup mata simetris
Memperlihatkan gigi tidak dilakukan (os tidak kooperatif)
Bersiul tidak dilakukan
Perasaan lidah 2/3 anterior tidak dilakukan
viii. N.VIII kanan kiri
Detik arloji tidak dilakukan tidak dilakukan
Suara berisik dapat mendengar dapat mendengar
Weber tidak dilakukan tidak dilakukan
Rinne tidak dilakukan tidak dilakukan
10
ix. N.IX kanan kiri
Perasaan lidah 1/3 posterior tidak dilakukan
Sensibilitas tidak dilakukan
Pharynx simetris
x. N.X kanan kiri
Arcus pharynx simetris
Bicara lancar
Menelan tidak ada disfagia
Nadi normal
xi. N.XI kanan kiri
Mengangkat bahu tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Memalingkan kepala dapat melakukan dapat melakukan
xii. N.XII kanan kiri
Pergerakan lidah simetris
Tremor lidah tidak ada
Artikulasi tidak ada disartia
d. Badan dan anggota gerak
1. Badan
a. Motorik
i. Respirasi : simetris, statis dan dinamis
ii. Duduk : tidak dapat dilakukan
iii. Bentuk columna verterbralis : tidak dapat dinilai
iv. Pergerakan columna vertebralis : tidak dapat dinilai
b. Sensibilitas
Taktil : baik
Nyeri : tidak ada
Thermi : tidak dilakukan
Diskriminasi : baik
Lokalisasi : baik
c. Refleks
11
Refleks kulit dinding perut : tidak dilakukan
2. Anggota gerak atas
a. Motorik kanan kiri
Pergerakan bebas bebas
Kekuatan 5,5,5,5 5,5,5,5
Tonus normotonus normotonus
Atrofi tidak ada tidak ada
b. Sensibilitas kanan kiri
Taktil baik baik
Nyeri tidak ada tidak ada
Thermi tidak dilakukan tidak dilakukan
Diskriminasi tidak dilakukan tidak dilakukan
Lokalisasi baik baik
c. Refleks kanan kiri
Biceps (++) (++)
Triceps (++) (++)
Radius (++) (++)
Ulna (++) (++)
Tromner-hoffman (-) (-)
3. Anggota gerak bawah
a. Motorik kanan kiri
Pergerakan terbatas terbatas
Kekuatan 3,3,3,3 3,3,3,3
Tonus normotonus normotonus
Atrofi tidak ada tidak ada
b. Sensibilitas kanan kiri
Taktil baik baik
Nyeri tidak ada tidak ada
Thermi tidak dilakukan tidak dilakukan
12
Diskriminasi baik baik
Lokalisasi baik baik
c. Refleks kanan kiri
Patella (+) (+)
Achilles (+) (+)
Babinski (+) (+)
Chaddock (-) (-)
Rossolimo (-) (-)
Mendel-Bechterev (-) (-)
Schaefer (-) (-)
Oppenheim (-) (-)
Tes Lasegue <700 <700
Tes Kernig <1350 <1350
e. Koordinasi, gait, dan keseimbangan
Cara berjalan : tidak dilakukan
Tes Romberg : tidak dilakukan
Disdiadokokinesia : tidak dilakukan
Ataksia : tidak ada
Rebound phenomenon: tidak ada
Dismetria : tidak ada
f. Gerakan-gerakan abnormal
Tremor : (-)
Miokloni : (-)
Khorea : (-)
g. Alat vegetatif
Miksi : baik
Defekasi : baik
h. Pemeriksaan tambahan
13
Tes Nafziger : tidak dilakukan
Tes Valsava : tidak dilakukan
Tes Patrick : tidak dilakukan
Tes Kontra Patrick : tidak dilakukan
IV. RINGKASAN
Subjektif :
Laki-laki 56 tahun, 1 minggu SMRS, adanya demam. Demam tetap tinggi sepanjang
siang dan malam hari. Demam tidak disertai keringat di malam hari. Badan terasa seperti pegal-
pegal dan sangat lemas ketika demam, tidak merasa menggigil ketika demam. Tidak pernah
minum obat-obatan untuk menurunkan panas. Tidak pernah mengukur suhu tubuh ketika
demam. Adanya rasa pusing yang berputar sejak os demam. Os mengaku kepala terasa sangat
berat terutama di kepala bagian belakang. Pusing berputar dirasakan semakin bertambah ketika
os sedang duduk. Os menyangkal adanya pandangan mata double atau seperti tabir ketika pusing
berlangsung. Os menyangkal adanya rasa kesemutan di bibir dan kaki ketika pusing. Os
mengaku kedua kaki terasa sangat lemas bila hendak digerakan. Os mengaku adanya mual yang
disertai dengan muntah. Muntah sekitar 1-2x/sehari. Muntah berisi air dan makanan. Os
mengaku adanya penurunan nafsu makan semenjak demam. BAK kurang lebih 1-2x/hari, urin
berwarna kuning pekat. BAB 1x/hari, tinja padat.
Objektif :
Status presens
a. Kesadaran : E4M6V4
b. TD : 130/80mmHg
c. Nadi : 80x/menit
d. Pernafasan : 20 x/menit
e. Suhu : 38,90C
f. Kepala : normocephali
g. Leher : pembesaran KGB dan thyroid (-)
h. Paru : vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
i. Jantung : BJ I&II reguler, murmur (-), gallop (-)
14
j. Perut : supel,
nyeri tekan (-), BU
(+)
k. Ekstremitas : akral
hangat, edema − −
− −
l. Alat kelamin: tidak dilakukan
Status neurologis
Nervus cranialis : dalam batas normal
Sensibilitas badan
Taktil : dalam batas normal
Nyeri : (-/-)
Extremitas inferior : Kedua extremitas inferior pergerakannya sedikit terbatas,
kekuatan motorik sedikit menurun, hipestesia, nyeri (-), refleks fisiologi normal, refleks Babinski
(+)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
CT SCAN TANPA KONTRAS
Tanggal : 01 Maret 2013
Dilakukan CT scan kepala potongan axial dengan ketebalan 5 & 10 mm. Scanning tanpa kontras
Sulci dan gyri corticalis tampak normal
Sistema ventrikel lateralis, III dan IV tampak normal
Tampak bayangan hypodens samar di cortical temporal dan subcortical parietal dextra
Tidak tampak klasifikasi patologis
Kesan : CT Scan tanpa kontras saat ini menunjukan gambaran oedema cerebro dextra, e.c massa
15
Pemeriksaan X-foto Thorax (28 Februari 2013)
Cor : CTR <50%, bentuk dan letak dalam batas normal
Pulmo : Tak tampak kesuraman pad paru
Corakan bronkovaskulat normal
Diafragma dan sinus kanan & kiri normal
Kesan :
Cor : Tak membesar
Pulmo : Tak tampak kelainan
16
Pemeriksaan Laboratorium (28 Februari 2013, 17:12)
Darah Rutin
Hemoglobin : 11,2 g/dL
Leukosit : 7800
Segment : 75
Limfosit : 13
Monosit : 12
MCV : 91 mikro m3
MCH : 31 pg
MCHC : 34 g/dL
MPV : 9
Hematokrit : 32 %
Trombosit : 330 ribu
Eritrosit : 3,56 juta
RDW : 14,6%
PDW : 11,3fL
MPV : 9,5 mikro m3
Gambaran Eritrosit : Normal
Gambaran Trombosit : Cukup
17
KIMIA
Gula Darah Sewaktu : 123 mg/dL
Sodium/Na : 129 mEq/L
Potasium/K : 3,46 mEq/L
SGOT : 43 U/I
SGPT : 46 U/I
Urea : 33 mg/dL
BUN : 15 mg/dL
Creatinin : 0,5 mg/dL
IMMUNOSEROLOGI
Anti HIV-Rapid : POSITIF
Pemeriksaan Laboratorium ( 04 Maret 2013, 18:00)
Darah Rutin
Hemoglobin : 10 g/dL
Leukosit : 3390/Ul
Segment : 53
Limfosit : 22
Monosit : 18
MCV : 89,3 mikro m3
MCH : 31,5 pg
MCHC : 35,3 g/dL
MPV : 8,9
Hematokrit : 28,3 %
Trombosit : 271 ribu
Eritrosit : 3,17 juta
Gambaran Eritrosit : Normal
Gambaran Trombosit : Cukup
Sodium/Na : 125 mEq/L
Potasium/K : 3,09 mEq/L
Urea : 17,8 mg/dL
BUN : 8,32 mg/dL
Creatinin : 0,41 mg/dL
18
IMMUNOSEROLOGI
CD4 : 18
Pemeriksaan Laboratorium (05 Maret 2013)
TORCH
Anti Toxoplasma IgG : POSITIF (KONS : 1,696)
Anti Toxoplasma IgM : NEGATIF
V. DIAGNOSIS
Diagnosis klinik : HIV + Toksoplasmosis
Diferential diagnosis : -
VI. PEMERIKSAAN ANJURAN
1. CT Scan Kepala dengan kontras
VI. RENCANA AWAL
1. Nonmedikamentosa :
i. Opname
ii. Diet lunak
iii. Cek lab CBC, Urine Lengkap, GDS, SGOT, SGPT
2. Medikamentosa :
i. Pasang infus Ringer Laktat 500 cc/8 jam
ii. Betaserc 2x20 mg
iii. Bartelium 5 mg/hr
iv. Cedantron 3x1/2 selama mual muntah
v. Pranza inj
vi. Inpepsa 3x10cc
vii. Kandistatin 3x 1 cc
viii. Brocud 1 gr/12 jam
ix. Coditam 3x1
19
x. Merislon 3x1
xi. Glindamisin 3x300
xii. Bactrim 2x1 tab
xiii. Solac 3x15 cc
xiv. KSR 2x600
VII. PROGNOSIS
Ad Vitam : Dubia ad malam
Ad Fungsionam : Dubia ad malam
Ad Sanasionam : Dubia ad malam
FOLLOW UP
01 Maret 2013
S: sakit kepala berputar saat duduk, pasien tidak kooperatif (mutism)
O:
TTV : TD:120/60mmHg RR: 20x/menit
N: 80x/menit S: 37,40C
GCS : E4M6V4
Keasadaran : CM
Mata : CA-/-, SI-/-, RC+/+, RCT+/+, pupil isokor ϕ3/3mm20
Cor : BJ I&II reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/-
Abdomen : supel, BU (+)
Ekstremitas : akral hangat, edema _ _
_ _
A:
P:
CT Scan kepala
Coditam 3x1
Merislon 3x1
02 Maret 2013
S: badan terasa lemas, kepala masih terasa pusing berputar
O:
TTV : TD:110/70mmHg RR: 20x/menit
N: 80x/menit S: 360C
GCS : E4M6V4
Keasadaran : CM
A:
P: Teruskan terapi, CT Scan dengan kontras, test CD 4
03 Maret 2013
S: Pasien tidak kooperatif, lambat mengerti dan sukar menjawab
O:
TTV : TD:110/70mmHg RR: 20x/menit
N: 80x/menit S: 36,30C
GCS : E4M6V4
Keasadaran : CM
A:
P: Terapi lanjutkan
21
04 Maret 2013
S: badan terasa semakin lemas, os mengaku adanya pusing, pusing berputar dan berat di kepala
belakang, os tidak kooperatif. Os tampak gelisah
O:
TTV : TD: 110/80mmHg RR: 18x/menit
N: 80x/menit S: 36,40C
GCS : E4M6V4
Kesadaran : CM
05 Maret 2013
S: OS mengaku badan terasa lemas, sakit kepala berputar masih belum berkurang
TTV : TD:120/60mmHg RR: 20x/menit
N: 80x/menit S: 37,40C
GCS : E4M6V4
Lab :
CD 4 : 18
Anti Toxoplasma IgG : POSITIF
06 Maret 2013
S : os mengaku badan terasa lemas, pusing sudah berkurang
O :
TD: 120/80 mmHg
N: 79 x/menit
T : 36,8
GCS : E4M6V4
P : saran untuk berobat jalan
22
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 ETIOLOGI
AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis yang termasuk
retrovirus dari famili Lentivirus. (Gambar 1). Strukturnya tersusun atas beberapa lapisan dimana
lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp41.
Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4 pada permukaan T-helper
lymphosit dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam terdiri dari protein p17.
23
Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua rantai RNA dan enzim
transkriptase reverse (reverse transcriptase enzyme). ( Merati TP dkk,2006)
Gambar 1: struktur virus HIV-1
Sumber : Fauci AS at al, 2005
Ada dua tipe HIV yang dikenal yakni HIV-1 dan HIV-2. Epidemi HIV global terutama
disebabkan oleh HIV-1 sedangkan tipe HIV-2 tidak terlalu luas penyebarannya. Tipe yang
terakhir ini hanya terdapat di Afrika Barat dan beberapa negara Eropa yang berhubungan erat
dengan Afrika Barat. (Merati TP dkk,2006)
3.2 MODE PENULARAN
Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi melalui mukosa genital
(hubungan seksual) transmisi langsung ke peredaran darah melalui jarum suntik yang
terkontaminasi atau melalui komponen darah yang terkontaminasi, dan transmisi vertikal dari ibu
ke janin. CDC pernah melaporkan adanya penularan HIV pada petugas kesehatan.
Tabel 1 : Risiko penularan HIV dari cairan tubuh .
Risiko tinggi Risiko masih sulit ditentukan
Risiko rendah selama tidak terkontaminasi darah
Darah, serumSemenSputumSekresi vagina
Cairan amnionCairan serebrospinalCairan pleuraCairan peritonealCairan perikardialCairan synovial
Mukosa seriksMuntahFesesSalivaKeringatAir mataUrin
Sumber : Djauzi S, 200224
Sebenarnya risiko penularan HIV melalui tusukan jarum maupun percikan cairan darah sangat
rendah. Risiko penularan melalui perlukaan kulit (misal akibat tusukan jarum atau luka karena
benda tajam yang tercemar HIV) hanya sekitar 0,3% sedangkan risiko penularan akibat terpercik
cairan tubuh yang tercemar HIV pada mukosa sebesar 0,09%. (Djauzi S dkk, 2002)
3.3PATOGENESIS
Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV karena virus
mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi
mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting sehingga bila terjadi kehilangan
fungsi tersebut maka dapat menyebabkan gangguan imun yang progresif. (Djoerban Z dkk,
2006)
Namun beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara in vitro dan
invivo adalah megakariosit, epidermal langerhans, peripheral dendritik, folikular dendritik,
mukosa rectal, mukosa saluran cerna, sel serviks, mikrogilia, astrosit, sel trofoblast, limfosit
CD8, sel retina dan epitel ginjal. (Merati TP dkk, 2006)
Infeksi HIV terjadi melalui molekul CD4 yang merupakan reseptor utama HIV dengan
bantuan ko-reseptor kemokin pada sel T atau monosit, atau melalui kompleks molekul adhesi
pada sel dendrit. Kompleks molekul adhesi ini dikenal sebagai dendritic-cell specific
intercellular adhesion molecule-grabbing nonintegrin (DC-SIGN). Akhir-akhir ini diketahui
bahwa selain molekul CD4 dan ko-reseptor kemokin, terdapat integrin 47 sebagai reseptor
penting lainnya untuk HIV. Antigen gp120 yang berada pada permukaan HIV akan berikatan
dengan CD4 serta ko-reseptor kemokin CXCR4 dan CCR5, dan dengan mediasi antigen gp41
virus, akan terjadi fusi dan internalisasi HIV. Di dalam sel CD4, sampul HIV akan terbuka dan
RNA yang muncul akan membuat salinan DNA dengan bantuan enzim transkriptase reversi.
Selanjutnya salinan DNA ini akan berintegrasi dengan DNA pejamu dengan bantuan enzim
integrase. DNA virus yang terintegrasi ini disebut sebagai provirus. Setelah terjadi integrasi,
provirus ini akan melakukan transkripsi dengan bantuan enzim polimerasi sel host menjadi
mRNA untuk selanjutnya mengadakan transkripsi dengan protein-protein struktur sampai
terbentuk protein. mRNA akan memproduksi semua protein virus. Genomik RNA dan protein
virus ini akan membentuk partikel virus yang nantinya akan menempel pada bagian luar sel.
Melalui proses budding pada permukaan membran sel, virion akan dikeluarkan dari sel inang
25
dalam keadaan matang. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di
peredaran darah tepi. (Djoerban Z dkk, 2006)
Siklus replikasi virus HIV digambarkan secara ringkas melalui gambar 2.
Gambar 2 : Visualisasi siklus HIV
Pada pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan untuk melihat defisiensi imun,
akan terlihat gambaran penurunan hitung sel CD4, inverse rasio CD4-CD8 dan
hipergammaglobulinemia. Respon imun humoral terhadap virus HIV dibentuk terhada berbagai
antigen HIV seperti antigen inti (p24) dan sampul virus (gp21, gp41). Antibodi muncul di
26
sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi. Secara umum dapat dideteksi pertama kali
sejak 2 minggu hingga 3 bulan setelah terinfeksi HIV. Masa tersebut disebut masa jendela.
Antigen gp120 dan bagian eksternal gp21 akan dikenal oleh sistem imun yang dapat membentuk
antibodi netralisasi terhadap HIV. Namun, aktivitas netralisasi antibodi tersebut tidak dapat
mematikan virus dan hanya berlangsung dalam masa yang pendek. Sedangkan respon imun
selular yang terjadi berupa reaksi cepat sel CTL (sel T sitolitik yang sebagian besar adalah sel T
CD8). Walaupun jumlah dan aktivitas sel T CD8 ini tinggi tapi ternyata tidak dapat menahan
terus laju replikasi HIV. (Djoerban Z dkk, 2006)
Perjalanan penyakit infeksi HIV disebabkan adanya gangguan fungsi dan kerusakan progresif
populasi sel T CD4. Hal ini meyebabkan terjadinya deplesi sel T CD4. Selain itu, terjadi juga
disregulasi repsons imun sel T CD4 dan proliferasi CD4 jarang terlihat pada pasien HIV yang
tidak mendapat pengobatan antiretrovirus. (Djoerban Z dkk, 2006)
2.6 PERJALANAN PENYAKIT
Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali
seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Sebagian berkembang masuk
tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun,
dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan
kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang
kronis, sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap. (Djoerban Z dkk,
2006)
Dari semua orang yang terinfeksi HIV, lebih dari separuh akan menunjukkan gejala
infeksi primer yang timbul beberapa hari setelah infeksi dan berlangsung selama 2-6 minggu.
Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam,
diare, atau batuk dan gejala-gejala ini akan membaik dengan atau tanpa pengobatan. (Djoerban Z
dkk, 2006)
Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik (tanpa gejala) yang berlangsung
selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan penyakitnya amat cepat,
dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula perjalanannya lambat (non-progessor). Sejalan dengan
memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi
oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah
bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes dan lain-lainnya.
27
Tabel 2. Gejala klinis infeksi primer HIV
Kelompok Gejala Kekerapan (%)
Umum Demam 90Nyeri otot 54
Nyeri sendi -
Rasa lemah -
Mukokutan Ruam kulit 70Ulkus di mulut 12
Limfadenopati
74
Neurologi Nyeri kepala 32Nyeri belakang mata -
Fotofobia -
Depresi -
Meningitis 12
Saluran cerna Anoreksia -Nausea -
Diare 32
Jamur di mulut 12
Sumber : (Djauzi S, 2002)
Tanpa pengobatan ARV, sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV akan
memburuk bertahap meski selama beberapa tahun tidak bergejala. Pada akhirnya, odha akan
menunjukkan gejala klinik yang makin berat. Hal ini berarti telah masuk ke tahap AIDS.
Terjadinya gejala-gejala AIDS biasanya didahului oleh akselerasi penurunan jumlah limfosit
CD4. Perubahan ini diikuti oleh gejala klinis menghilangnya gejala limfadenopati generalisata
yang disebabkan hilangnya kemampuan respon imun seluler untuk melawan turnover HIV dalam
kelenjar limfe Karena manifestasi awal kerusakan dari system imun tubuh adalah kerusakan
mikroarsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV meluas ke jaringan limfoid, yang
dapat diketahui dari pemeriksaan hibridasi insitu. Sebagian replikasi HIV terjadi di kelenjar
getah bening, bukan di peredaran darah tepi. (Djoerban Z dkk, 2006)
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak menunjukkan
gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap hari. Replikasi yang
cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi, muncul HIV yang resisten. Bersamaan dengan
replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa
mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar 10 miliar sel setiap hari. (Djoerban
Z dkk, 2006)28
Pejalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari 80% pengguna
narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung juga adalah penyakit yang
dijumpai pada ODHA pengguna narkotika dan biasanya tidak ditemukan pada ODHA yang
tertular dengan cara lain. Lamanya pengguna jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi
pneumonia dan tuberkulosis. Makin lama seseorang menggunkan narkotika suntikan, makin
mudah ia terkena pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi secara bersamaan ini akan menimbulkan
efek yang buruk. Infeksi oleh kuman penyakit lain akan menyebabkan virus HIV membelah
dengan lebih cepat sehingga jumlahnya akan meningkat pesat. Selain itu juga dapat
menyebabkan reaktivasi virus di dalam limfosit T. Akibatnya perjalanan penyakitnya biasanya
lebih progresif. (Djoerban Z dkk, 2006)
Secara ringkas, perjalanan alamiah penyakit HIV/AIDS dikaitkan dengan hubungan
antara jumlah RNA virus dalam plasma dan jumlah limfosit CD4+ ditampilkan dalam gambar 3.
Gambaran perjalanan alamiah infeksi HIV. Dalam periode infeksi primer, HIV menyebar
luas di dalam tubuh; menyebabkan deplesi sel T CD4 yang terlihat pada pemeriksaan darah tepi.
Reaksi imun terjadi sebagai respon terhadap HIV, ditandai dengan penurunan viremia.
Gambar 3: perjalanan alamiah infeksi HIV
sumber : http://www.aegis.org/factshts/NIAID/1995 Selanjutnya terjadi periode laten dan penurunan jumlah sel T CD4 terus terjadi hingga mencapai
di bawah batas kritis yang akan memungkinkan terjadinya infeksi oportunistik.
29
2.7 DIAGNOSIS
2.7.1. Anamnesis
Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV , pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap odha saat kunjungan pertama kali ke
sarana kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis, diperolehnya data dasar
mengenai pemeriksaan fisik dan laboratorium, memastikan pasien memahami tentang infeksi
HIV, dan untuk menentukan tata laksana selanjutnya.
Dari Anamnesis, perlu digali factor resiko HIV AIDS, Berikut ini mencantumkan, daftar tilik
riwayat penyakit pasien dengan tersangaka ODHA (table 3 dan table 4).
Tabel 3. Faktor risiko infeksi HIV
- Penjaja seks laki-laki atau perempuan
- Pengguna napza suntik (dahulu atau sekarang)
- Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki (LSL) dan transgender (waria)
- Pernah berhubungan seks tanpa pelindung dengan penjaja seks komersial
- Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)
- Pernah mendapatkan transfusi darah atau resipient produk darah
- Suntikan, tato, tindik, dengan menggunakan alat non steril.
Sumber : Depkes RI 2007
Table 4: Daftar tilik riwayat pasien
30
Sumber :Depkes RI 2007
2.7.2 Pemeriksaan fisik
Daftar tilik pemeriksaan fisik pada pasien dengan kecurigaan infeksi HIV dapat dilihat pada
tabel 6
31
Tabel 6 : Daftar tilik pemeriksaan fisik
Sumber :Depkes RI 2007
Gambaran klinis yang terjadi. umumnya akibat adanya infeksi oportunistik atau kanker yang
terkait dengan AIDS seperti sarkoma Kaposi, limfoma malignum dan karsinoma serviks invasif.
Daftar tilik pemeriksaan fisik pada pasien dengan kecurigaan infeksi HIV dapat dilihat pada
tabel 6. Di RS Dr. Cipto Mangkusumo (RSCM) Jakarta, gejala klinis yang sering ditemukan
32
pada odha umumnya berupa demam lama, batuk, adanya penurunan berat badan, sariawan, dan
diare, seperti pada tabel 5 .
Tabel 5. Gejala AIDS di RS. Dr. Cipto MangunkusumoGejala Frekuensi
Demam lama 100 %
Batuk 90,3 %
Penurunan berat badan 80,7 %
Sariawan dan nyeri menelan 78,8 %
Diare 69,2 %
Sesak napas 40,4 %
Pembesaran kelenjar getah bening
28,8 %
Penurunan kesadaran 17,3 %
Gangguan penglihatan 15,3 %
Neuropati 3,8 %
Ensefalopati 4,5 %
Sumber : Yunihastuti E dkk, 2005
2.7.3 Pemeriksaan penunjang
Untuk memastikan diagnosis terinfeksi HIV, dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium yang
tepat. Pemeriksaan dapat dilakukan antara lain dengan pemeriksaan antibodi terhadap HIV,
deteksi virus atau komponen virus HIV (umumnya DNA atau RNA virus) di dalam tubuh yakni
melalui pemeriksaan PCR untuk menentukan viral load, dan tes hitung jumlah limfosit
Sedangkan untuk kepentingan surveilans, diagnosis HIV ditegakkan apabila terdapat infeksi
oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3 (Tabel 7) . ( Depkes RI, 2007)
Tabel 7. Anjuran pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan pada odha
Tes antibodi terhadap HIV (AI);Tes Hitung jumlah sel T CD4 T (AI);HIV RNA plasma (viral load) (AI);Pemeriksaan darah perifer lengkap, profil kimia, SGOT, SGPT, BUN dan kreatinin, urinalisis, tes mantux, serologi hepatitis A, B, dan C, anti-Toxoplasma gondii IgG, dan pemeriksaan Pap-smear pada perempuan (AIII);Pemeriksaan kadar gula darah puasa dan profil lipid pada pasien dengan risiko penyakit kardiovaskular dan sebagai penilaian awal sebelum inisasi kombinasi terapi (AIII);
Sumber : Yayasan Spiritia 2006.
33
Pemeriksaan anti HIV dilakukan setelah dilakukan konseling pra-tes dan biasanya dilakukan jika
ada riwayat perilaku risiko (terutama hubungan seks yang tidak aman atau penggunaan narkotika
suntikan). Tes HIV juga dapat ditawarkan pada mereka dengan infeksi menular seksual, hamil,
mengalami tuberkulosis aktif, serta gejala dan tanda yang mengarah adanya infeksi HIV. Hasil
pemeriksaan pada akhirnya akan diberitahukan, untuk itu, konseling pasca tes juga diperlukan.
Jadi, pemeriksaan HIV sebaiknya dilakukan dengan memenuhi 3C yakni confidential (rahasia),
disertai dengan counselling (konseling), dan hanya dilakukan dengan informed consent.
(Djoerban Z dkk,2006)
Tes penyaring standar anti-HIV menggunakan metode ELISA yang memiliki sensitivitas
tinggi (> 99%). Jika pemeriksaan penyaring ini menyatakan hasil yang reaktif, maka
pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi untuk memastikan adanya infeksi
oleh HIV. Uji konfirmasi yang sering dilakukan saat ini adalah dengan teknik Western Blot
(WB). Hasil tes positif palsu dapat disebabkan adanya otoantibodi, penerima vaksin HIV, dan
kesalahan teknik pemeriksaan. Hasil tes positif pada bayi yang lahir dari ibu HIV positif belum
tentu berarti tertular mengingat adanya IgG terhadap HIV yang berasal dari darah ibu. IgG ini
dapat bertahan selama 18 bulan sehingga pada kondisi ini, tes perlu diulang pada usia anak > 18
bulan. (Djoerban Z dkk,2006)
Hasil tes dinyatakan positif bila tes penyaring dua kali positif ditambah dengan tes
konfirmasi dengan WB positif. Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, pemeriksaan
WB masih relatif mahal sehingga tidak mungkin dilakukan secara rutin. WHO menganjurkan
strategi pemeriksaan dengan kombinasi dari pemeriksaan penyaring yang tidak melibatkan
pemeriksaan WB sebagai konfirmasi. Di Indonesia, kombinasi yang digunakan adalah tiga kali
positif pemeriksaan penyaring dengan menggunakan strategi 3. Bila hasil tes tidak sama missal
hasil tes pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan yang ketiga non-reaktif atau apabila hasil tes
pertama reaktif, kedua dan ketiga non-reaktif, maka keadaan ini disebut sebagai indeterminate
dengan catatan orang tersebut memiliki riwayat pajanan atau berisiko tinggi tertular HIV. Bila
orang tersebut tanpa riwayat pajanan atau tidak memiliki risiko tertular, maka hasil pemeriksaan
dilaporkan sebagai non-reaktif. (Djoerban Z dkk,2006).
Table 8 : Alogaritma pemeriksaan HIV
34
Sumber : Depkes,2007
2.7.4 Penilaian Klinis
Penilaian klinis yang perlu dilakukan setelah diagnosis HIV ditegakkan meliputi penentuan
stadium klinis infeksi HIV, mengidentifikasi penyakit yang berhubungan dengan HIV di masa
lalu, mengidentifikasi penyakit yang terkait dengan HIV saat ini yang membutuhkan pengobatan,
mengidentifikasi kebutuhan terapi ARV dan infeksi oportunistik, serta mengidentifikasi
pengobatan lain yang sedang dijalani yang dapat mempengaruhi pemilihan terapi. (Djauzi S
dkk,2002)
2.7.5 Stadium Klinis
WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium klinis yakni stadium I (asimtomatik),
stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium IV (sakit berat atau AIDS), lihat
table 9. Bersama dengan hasil pemeriksaan jumlah sel T CD4, stadium klinis ini dapat dijadikan
sebagai panduan untuk memulai terapi profilaksis infeksi oportunistik dan memulai atau
mengubah terapi ARV.
AIDS merupakan manifestasi lanjutan HIV. Selama stadium individu bisa saja merasa sehat dan tidak curiga bahwa mereka penderita penyakit. Pada stadium lanjut, system imun individu tidak mampu lagi menghadapi infeksi Opportunistik dan mereka terus menerus menderita penyakit minor dan mayor Karen tubuhnya tidak mampu memberikan pelayanan.
35
Angka infeksi pada bayi sekitar 1 dalam 6 bayi. Pada awal terinfeksi, memang tidak memperlihatkan gejala-gejala khusus. Namun beberapa minggu kemudian orang tua yang terinfeksi HIV akan terserang penyakit ringan sehari-hari seperti flu dan diare. Penderita AIDS dari luar tampak sehat. Pada tahun ke 3-4 penderita tidak memperlihatkan gejala yang khas. Sesudah tahun ke 5-6 mulai timbul diare berulang, penurunan berat badan secara mendadak, sering sariawan di mulut dan terjadi pembengkakan didaerah kelenjar getah bening. Jika diuraikan tanpa penanganan medis, gejala PMS akan berakibat fatal.
Infeksi HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik dengan spectrum yang lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimtomatif) pada stadium awal sampai dengan gejala-gejala yang berat pada stadium yang lebih lanjut. Perjalanan penyakit lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah infeksi, bahkan dapat lebih lama lagi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya HIV menjadi AIDS belum diketahui jelas. Diperkirakan infeksi HIV yang berulang – ulang dan pemaparan terhadap infeksi-infeksi lain mempengaruhi perkembangan kearah AIDS. Menurunnya hitungan sel CDA di bawah 200/ml menunjukkan perkembangan yang semakin buruk. Keadaan yang buruk juga ditunjukkan oleh peningkatan B2 mikro globulin dan juga peningkatan I9A.
Perjalan klinik infeksi HIV telah ditemukan beberapa klasifikasi yaitu :a. Infeksi Akut : CD4 : 750 – 1000
Gejala infeksi akut biasanya timbul sedudah masa inkubasi selama 1-3 bulan. Gejala yang timbul umumnya seperti influenza, demam, atralgia, anereksia, malaise, gejala kulit (bercak-bercak merah, urtikarta), gejala syaraf (sakit kepada, nyeri retrobulber, gangguan kognitif danapektif), gangguan gas trointestinal (nausea, diare). Pada fase ini penyakit tersebut sangat menular karena terjadi viremia. Gejala tersebut diatas merupakan reaksi tubuh terhadap masuknya unis yang berlangsung kira-kira 1-2 minggu.
b. Infeksi Kronis Asimtomatik : CD4 > 500/mlSetelah infeksi akut berlalu maka selama bertahun-tahun kemudian, umumnya sekitar 5 tahun, keadaan penderita tampak baik saja, meskipun sebenarnya terjadi replikasi virus secara lambat di dalam tubuh. Beberapa penderita mengalami pembengkakan kelenjar lomfe menyeluruh, disebut limfa denopatio (LEP), meskipun ini bukanlah hal yang bersifat prognostic dan tidak terpengaruh bagi hidup penderita. Saat ini sudah mulai terjadi penurunan jumlah sel CD4 sebagai petunjuk menurunnya kekebalan tubuh penderita, tetapi masih pada tingkat 500/ml.
c. Infeksi Kronis SimtomatikFase ini dimulai rata-rata sesudah 5 tahun terkena infeksi HIV. Berbagai gejala penyakit ringan atau lebih berat timbul pada fase ini, tergantung pada tingkat imunitas pemderita.
36
1) Penurunan Imunitas sedang : CD4 200 – 500Pada awal sub-fase ini timbul penyakit-penyakit yang lebih ringan misalnya reaktivasi dari herpes zoster atau herpes simpleks. Namun dapat sembuh total atau hanya dengan pengobatan biasa. Keganasan juga dapat timbul pada fase yang lebih lanjut dari sub-fase ini dan dapat berlanjut ke sub fase berikutnya, demikian juga yang disebut AIDS-Related (ARC).
2) Penurunan Imunitas berat : CD4 < 200Pada sub fase ini terjadi infeksi oportunistik berat yang sering mengancam jiwa penderita. Keganasan juga timbul pada sub fase ini, meskipun sering pada fase yang lebih awal. Viremia terjadi untuk kedua kalinya dan telah dikatakan tubuh sudah dalam kehilangan kekebalannya.
Sindrom klinis stadium simptomatik yang utama:
• Limfadenopati Generalisata yang menetap• Gejala konstutional: Demam yang menetap > 1 bulan, penurunan BB involunter > 10%
dari nilai basal, dan diare >1 bulan tanpa penyebab jelas.• Kelainan neurologis: Ensefalopati HIV, limfoma SSP primer, meningitis aseptik,
mielopati, neuropati perifer, miopati.• Penyakit infeksiosa sekunder: pneumonia, Candida albicans, M. Tuberculosis,
Cryptococcus neoformans, Toxxoplasma gondii, Virus Herpes simpleks• Neoplasma Sekunder: Sarkoma Kaposi (kulit dan viseral), neoplasma limfoid• Kelainan lain: Sindrom spesifik organ sebagai manifestasi prmer penderita TB atau
komplikasi
Untuk memastikan apakah seseorang kemasukan virus HIV, ia harus memeriksakan darahnya dengan tes khusus dan berkonsultasi dengan dokter. Jika dia positif mengidap AIDS, maka akan timbul gejala-gejala yang disebut degnan ARC (AIDS Relative Complex) Adapun gejala-gejala yang biasa nampak pada penderita AIDS adalah:
a. Dicurigai AIDS pada orang dewasa bila ada paling sedikit dua gejala mayor dan satu gejala minor dan tidak ada sebab-sebab imunosupresi yang lain seperti kanker,malnutrisi berat atau pemakaian kortikosteroid yang lama.
1. Gejala Mayor Penurunan berat badan lebih dari 10%Diare kronik lebih dari satu bulanDemam lebih dari satu bulan
2. Gejala MinorBatuk lebih dari satu bulanDermatitis preuritik umumHerpes zoster recurrens
37
Kandidias orofaring Limfadenopati generalisataHerpes simplek diseminata yang kronik progresif
b. Dicurigai AIDS pada anak. Bila terdapat palinh sedikit dua gejala mayor dan dua gejala minor, dan tidak terdapat sebab – sebab imunosupresi yang lain seperti kanker, malnutrisi berat, pemakaian kortikosteroid yang lama atau etiologi lain.
1. Gejala Mayor Penurunan berat badan atau pertmbuhan yang lambat dan abnormal Diare kronik lebih dari 1bulan Demam lebih dari1bulan
2. Gejala minor Limfadenopati generalisata Kandidiasis oro-faring Infeksi umum yang berulang Batuk parsisten Dermatitis
2.7.6 Penilaian Imunologi
Tes hitung jumlah sel T CD4 merupakan cara yang terpercaya dalam menilai status imunitas
odha dan memudahkan kita untuk mengambil keputusan dalam memberikan pengobatan ARV.
Tes CD4 ini juga digunakan sebagai pemantau respon terapi ARV. Namun yang penting diingat
bahwa meski tes CD4 dianjurkan, bilamana tidak tersedia, hal ini tidak boleh menjadi
penghalang atau menunda pemberian terapi ARV. CD4 juga digunakan sebagai pemantau respon
terapi ARV. Pemeriksaan jumlah limfosit total (Total Lymphocyte Count – TLC) dapat
digunakan sebagai indikator fungsi imunitas jika tes CD4 tidak tersedia namun TLC tidak
dianjurkan untuk menilai respon terapi ARV atau sebagai dasar menentukan kegagalan terapi
ARV. (Depkes RI, 2007)
Tabel 9. Stadium klinis HIV
Stadium 1 AsimptomatikTidak ada penurunan berat badanTidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten
Stadium 2 Sakit ringan
38
Penurunan BB 5-10%ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitisHerpes zoster dalam 5 tahun terakhirLuka di sekitar bibir (keilitis angularis)Ulkus mulut berulangRuam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)Dermatitis seboroikInfeksi jamur kuku
Stadium 3 Sakit sedangPenurunan berat badan > 10%Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulanKandidosis oral atau vaginalOral hairy leukoplakiaTB Paru dalam 1 tahun terakhirInfeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)TB limfadenopatiGingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akutAnemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis (<50.000/ml)
Stadium 4 Sakit berat (AIDS)Sindroma wasting HIVPneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulangHerpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.Kandidosis esophagealTB Extraparu*Sarkoma kaposiRetinitis CMV*Abses otak Toksoplasmosis*Encefalopati HIVMeningitis Kriptokokus*Infeksi mikobakteria non-TB meluas
Sumber : Depkes RI, 2007
39