Post on 23-Jul-2015
DIBALIK BHMN-isasi
TINJAUANRUU BHP
Badan Hukum Pendidikan
Dalam RUU BHPLembaga Pendidikan Akan Dikelola secara
KorporatifPengelolaan pendidikan diamanatkan
bersifat nirlaba namun dikelola secara korporatif atau seperti badan usaha.
Penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat, diharapkan berkembang pesat dengan kinerja bersaing.
Peran pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan secara perlahan akan digantikan oleh masyarakat.
Pemerintah akan bertindak sebagai fasilitator ketimbang sebagai regulator atau operator hukum.
Rancangan perundangan tersebut mengatur segala jenjang pendidikan formal, mulai dari tingkat pendidikan dasar (SD) hingga pendidikan tinggi (PT), baik negeri maupun swasta.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Dodi Nandika, Sabtu (19/2 ), pembicaraan terakhir RUU BHP di internal Balitbang belum final dan rancangan akan terus disempurnakan. Diperkirakan, awal Maret akan keluar revisi terbaru sesuai dengan perkembangan dan masukan masyarakat.
OPINI Seputar RUU BHP
Dodi Nandika mengatakan, kontroversi yang berkembang seputar RUU menjadi hangat karena mengatur hal sangat substansial, yakni pokok-pokok penyelenggaraan dan pengelolaan lembaga pendidikan. Pemerintah-dalam hal ini Depdiknas-yang sedang menyusun RUU BHP menginginkan agar rancangan tersebut memiliki nilai guna dan keterlaksanaan.
"Sampai sejauh ini masukan dari masyarakat cukup banyak. Pemerintah juga sangat terbuka dan masih menerima berbagai pendapat dan tidak keberatan jika ada pemrakarsa RUU BHP lain. Tetapi, sejauh ini draf yang ada setahu saya versi yang disusun Depdiknas," katanya.
RUU BHP, harus selesai sekitar Juli 2005.
RUU BHP mendorong kemandirian
Berdasarkan draf RUU BHP tanggal 1 Februari 2005-pasal-pasal dalam rancangan itu mengatur mulai dari anggaran, pendanaan, kekayaan, utang, pengelolaan akuntabilitas, dan pembubaran.
Adanya ketentuan preventif (pencegahan) terhadap kemungkinan terjadi kebangkrutan dengan persyaratan modal tertentu.
Lembaga pendidikan diharapkan kemampuannya secara mandiri dan bertanggung jawab memanfaatkan sumber daya pendidikan.
Dijelaskan, nirlaba berarti BHP sebagai legal entity yang berbadan hukum, lebih mengutamakan upaya peningkatan mutu daripada mencari keuntungan.
Jika ada hasil usaha, maka dana itu diinvestasikan untuk upaya peningkatan mutu dan tidak akan dikenai pajak.
Pengelolaan secara korporatif, dimaksudkan dalam rangka mendorong kemandirian lembaga pendidikan.
Prinsip kemandirian itu, misalnya, sebagai entitas legal, BHP dapat bertindak sebagai subyek hukum mandiri. Dengan demikian, BHP dapat mengikatkan diri melalui perjanjian dengan pihak lain yang berkonsekuensi kepada kekayaan, hak, utang atau kewajiban.
BHP harus pula membukukan kekayaan utang dan hasil operasinya dengan menerapkan standar akuntansi yang berlaku.
Mereka juga harus siap diaudit oleh lembaga independen atau akuntan publik atas biaya sendiri.
Pembiayaan Untuk sumber pemasukan, BHP dapat menerima
sumbangan dan membuat komitmen utang guna membiayai investasinya pada sarana dan prasarana pendidikan atau membiayai operasi satuan pendidikan.
BHP dapat menerima sumbangan dari pemerintah, pemerintah daerah, swasta, atau pihak lain.
Bantuan dari pemerintah sendiri bersifat hibah. Sumbangan yang diinvestasikan untuk
penyelenggaraan pendidikan dan bukan dari peserta didik, orangtua, atau wali murid itu tidak dikenai pajak.
Dalam Pasal 17 Ayat (2),tercantum, BHP dapat menambah kekayaan melalui kegiatan usaha yang sah sesuai anggaran dasarnya untuk meningkatkan kemampuan menyelenggarakan pelayanan pendidikan.
Dalam Pasal 17 Ayat (5) disebutkan Sisa hasil usaha BHP diakumulasikan ke dalam modal BHP dan tidak dikenakan pajak.
Kekayaan BHP juga tidak boleh dibagikan secara langsung atau tidak langsung.
Pasal 17 tersebut berkonsekuensi terhadap ketentuan sanksi seperti tercantum dalam, Pasal 29 Ayat (1) dan (2).
Anggota organ BHP atau perorangan lain yang melanggar ketentuan Pasal 17 dapat dipenjara paling lama lima tahun dan denda paling besar Rp 500 miliar.
Lembaga yang melanggar terancam penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp 1 triliun
Pasal 30 RUU BHP, misalnya, menetapkan bahwa penyesuaian dengan ketentuan dalam UU tersebut selambat-lambatnya 10 tahun ke depan untuk satuan pendidikan tinggi. Rumusan ini potensial melahirkan beberapa persoalan, termasuk ketidakpastian hukum serta perbedaan sistem penyelenggaraan pendidikan untuk jangka panjang
ANALISIS PAKAR PENDIDIKAN
RUU BHP yang dipersiapkan pemerintah berpotensi mengacaukan tugas utama rektor dalam mengembangkan Tri Darma Perguruan Tinggi.
RUU tersebut membuka ruang melekatnya Badan Hukum Pendidikan pada satuan pendidikan yang tak lain adalah institusi universitas.
Sekretaris Jenderal Asosiasi BP PTSI Chairuman Armia menambahkan, konsep pemikiran RUU BHP semata-mata didasarkan pada asumsi-asumsi hipotetik tanpa didukung studi empirik mendalam. Yang diperlukan adalah perbaikan tata laksana di badan penyelenggara maupun di unit pendidikan.
Thomas menyebutkan sejumlah contoh konsep RUU BHP yang tidak berpihak pada tataran realistis. Antara lain, dibukanya ruang untuk meletakkan BHP pada satuan pendidikan (universitas).
Menurut dia, hal itu keliru karena menggiring rektor memikul tanggung jawab yang tidak proporsional. Rektor diposisikan sebagai subyek hukum dalam urusan administrasi dan pengelola aset-aset lembaga perguruan.
Parahnya, jika, misalnya, seorang rektor dalam masa jabatannya menimbulkan utang, maka ia bisa lepas tangan ketika masa jabatannya berakhir. Utang tersebut terlimpahkan ke rektor penggantinya.
"Urusan utang jadi tanggung jawab rektor, padahal dalam Tri Darma Perguruan Tinggi saja tanggung jawab rektor sudah sangat berat," paparnya.
Perjalanan Pendidikan
Tinggi Menuju
Autonomi Kampus
Konsep Badan Hukum Pendidikan (BHP) diilhami oleh semangat mengembalikan dan melindungi fungsi institusi pendidikan sebagai alat untuk mentransformasikan nilai-nilai kemasyarakatan dan membebaskan pendidikan dari hegemoni kekuasaan, dan pendidikan harus dikembalikan kepada masyarakat dan dilaksanakan dari, oleh dan untuk masyarakat.
Dalam hal ini, peran pemerintah dalam mengkonstruksi pendidikan akan tergantikan oleh masyarakat dan pemerintah hanya akan berperan sebagai fasilitator.
UU No. 20/2003, Pasal 43. ayat (3) menyatakan bahwa Badan Hukum Pendidikan berprinsip nirlaba.
Pendidikan berbasis masyarakat juga mempersyaratkan adanya jaminan atas penyelenggaraan pendidikan yang transparan, partisipatif dan akuntabel oleh penyelenggaraan pendidikan. Bila tidak, maka peluang terjadinya penyimpangan oleh para pelaku pendidikan akan terjadi.
Pendidikan berbasis masyarakat bukan berarti tanggungjawab negara untuk menjamin hak warga negara atas pendidikan menjadi tereliminasi.
Negara tetap bertanggungjawab menyediakan anggaran, sarana dan prasarana agar seluruh warga negara dapat menikmati kesempatan atas pendidikan secara merata dan tanpa diskriminasi sesuai dengan konsideran huruf (c) UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Konsep Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) untuk pertama kali dipersiapkan bersamaan dengan RUU Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN).
Dalam konsep RUU tersebut diatur tentang badan hukum pendidikan dasar, menengah dan tinggi - baik swasta maupun negeri, namun khusus mengenai Perguruan Tinggi Negeri (PTN) diatur lebih lanjut dalam RUU PT BHMN.
Terdapat 2 (dua) opsi untuk PTN yang diatur dalam pasal peralihan RUU BHP; pertama, dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU)
yang kekayaannya tidak dipisahkan dari negara, kedua, dalam bentuk Badan Hukum Milik Negara
(BHMN) yang kekayaannya dipisahkan dari negara.
Dalam perkembangannya, konsep RUU tersebut telah banyak mengalami perubahan, ke arah yang lebih rigid dan lengkap mengatur tentang konsep pengelolaan institusi pendidikan berbentuk badan hukum. Meskipun banyak juga hal yang harus tetap dikritisi.
Dalam RUU BHP versi yang baru, semua bentuk pendidikan baik yang diselenggarakan oleh masyarakat, pemerintah daerah atau pemerintah harus berbentuk badan hukum yang sama yaitu badan hukum pendidikan.
Perubahan yang terjadi antara konsep RUU lama dan yang baru, dapat diamati dari bunyi pasal 1 ayat 7 (versi lama), yang mengatur bahwa ”Penyelenggara adalah satuan pendidikan berstatus Badan Hukum Pendidikan (BHP)” dan “Semua satuan pendidikan tinggi harus berstatus Badan Hukum Pendidikan Tinggi (BHPT) (Pasal 2 ayat (1)”. Selain itu, disebutkan juga bahwa “Satuan pendidikan dasar dan menengah dapat berstatus Badan Hukum Pendidikan Dasar Menengah (BHPDM)”.
Dalam versi perubahan, ketentuan tersebut lebih luwes, misalnya; “Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan tinggi didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk BHPT”, “Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan dasar dan menengah yang didirikan oleh masyarakat dapat berbentuk Badan Hukum Dasar Menengah (BHDM)”.
“Dalam hal BHPT didirikan oleh yayasan atau badan hukum yang sejenisnya bagi PT yang telah ada maka (a) yayasan atau badan hukum sejenis berkedudukan sebagai pendiri, sedangkan PT yang telah ada berubah menjadi BHPT, atau (b) yayasan atau badan hukum sejenis berubah menjadi BHPT, sedangkan PT yang telah ada merupakan organ BHPT”.
Yang menjadi persoalan, apakah RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) merupakan jawaban yang tepat bagi pengembangan pendidikan tinggi kedepan?
Bagaimana RUU ini meletakkan peran pemerintah dan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi serta bagaimana mengkonstruksi hubungan antara penyelenggara pendidikan (yayasan, perkumpulan, badan wakaf, pemerintah, dll) dengan satuan pendidikan?
Apakah RUU BHP memberikan jaminan bagi terwujudnya pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan dalam rangka menghadapi tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global?
Program Jangka PanjangPendidikan Tinggi
1975 - 2010
HELTS: Higher Education Longterm Strategy (Strategi Jangka Panjang Pendidikan Tinggi)
HELTS: Higher Education Longterm Strategy (Strategi Jangka Panjang Pendidikan Tinggi)
HELTS HELTS IVIV
’’03-’1003-’10
HELTS HELTS IVIV
’’03-’1003-’10Multi-Multi-Dimensional Dimensional CrisisCrisisIn ’97 until In ’97 until … ?… ?
Multi-Multi-Dimensional Dimensional CrisisCrisisIn ’97 until In ’97 until … ?… ?
HELTSHELTSII
’’75-’8575-’85
HELTSHELTSII
’’75-’8575-’85
HELTS HELTS IIII
’’86-’9586-’95
HELTS HELTS IIII
’’86-’9586-’95
HELTS HELTS IIIIII
’’96-’0596-’05
HELTS HELTS IIIIII
’’96-’0596-’05
Basic PoliciesBasic PoliciesBasic PoliciesBasic Policies
HELTS IHELTS I’’75-’8575-’85HELTS IHELTS I’’75-’8575-’85
•Emphasize on Relevance by Introducing:
•A Dual-System (Academic & Professional)
•3-Level Programs (Diploma, Bachelor–Master–Doctor)
•Attention to Organizational & Management Aspects
HELTS IIHELTS II’’86-’9586-’95
HELTS IIHELTS II’’86-’9586-’95
•Consolidate Previous Achievement
•Improvement of Quality
HELTS IIIHELTS III’’96-’0596-’05
HELTS IIIHELTS III’’96-’0596-’05
•New Paradigm in Higher Education Management
•Improvement of Relevance & Quality
•Geographical & Social Equity
HELTS IVHELTS IV’’03-’1003-’10
HELTS IVHELTS IV’’03-’1003-’10
•The Nation’s Competitiveness
•Organizational Health
•Autonomy
Source: HELTS IV, 2003-2010
HELTS I 1975-1985HELTS I 1975-1985
• Penekanan Program untuk Program Jangka Panjang (PJP) tahap I memperkenalkan :– Sistem akademik & Profesi (A Dual-
System Academic & Professional)– Membentuk 3 level program pendidikan :
• Diploma, Bachelor• Master• Doctor)
• Memberikan perhatian terhadap ke-Organisasian & Manajemen
HELTS II 1986-1995HELTS II 1986-1995
• Memperkuat hasil yg diperoleh pada PJP tahap I (Consolidate Previous Achievement)
• Melakukan peningkatan kualitas dari PJP tahap I (Improvement of Quality)
HELTS III 1996-2005HELTS III 1996-2005
• Membuat paradigma baru dalam Manajemen Pendidikan Tinggi (New Paradigm in Higher Education Management)
• Peningkatan kualitas terhadap hal-hal yang terkait dalam PJP III (Improvement of Relevance & Quality)
• Geographical & Social Equity
HELTS IV 2003-2010HELTS IV 2003-2010
• Menciptakan persaingan antar PT di dalam negeri (The Nation’s Competitiveness)
• Autonomy
• Penyehatan ke-Organisasian (Organizational Health)
Tahapan Untuk Sosialisasi Pembentukan Tahapan Untuk Sosialisasi Pembentukan Paradigma Baru Manajemen PTParadigma Baru Manajemen PT
Tahapan Untuk Sosialisasi Pembentukan Tahapan Untuk Sosialisasi Pembentukan Paradigma Baru Manajemen PTParadigma Baru Manajemen PT
DUE QUE DUE-like TPSDP
Objective Improving Undergraduate Education Management Capacity
Improving Undergraduate Education Quality
Improving Undergraduate Education Management Capacity
Undergraduate Technological & Professional Skill Development
Beneficiary Population
Developing State-Owned HEI
State-Owned & Private HEI
State-Owned HEI
State-Owned & Private HEI;except: UI, UGM, IPB, ITB, and Education & Art HEI
The ProjectsThe ProjectsThe ProjectsThe Projects
DUE QUE DUE-like TPSDP
Target Unit Study Program & ISS
Study Program
Study Program & ISS
Study Program, ISS & New Study Program
Type of Competition
Tiered Competition
Free Competition
Tiered Competition
Tiered Competition
Source of Fund
World Bank Loan
World Bank Loan
Government ADB Loan
Project DUEImplementasi Tahun 1999Didanai oleh Bank Dunia
Latar Belakang
• Mulai tahun 1999, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi mengimplementasikan Proyek "DUE-like" (Development for Undergraduate Education) yang dibiayai oleh Bank Dunia, mulai dari proses seleksi perguruan tinggi yang akan ikut dalam Proyek DUE-like sampai dengan proses monitoring dan evaluasinya.
• Proyek ini merupakan implementasi konsep baru Manajemen Pendidikan Tinggi yang disebut “ Paradigma Baru Pendidikan Tinggi” (Higher Education New Paradigm).
• Awalnya fokus dari proyek ini adalah untuk pengembangan pendidikan S-1 (undergraduate) pada Perguruan Tinggi Negeri, yang diseleksi berdasarkan komitmen yang ditunjukan oleh perguruan tinggi tersebut dan perkembangan yang telah dicapainya sampai saat ini (track record).
• Mulai tahun 2002, Proyek DUE-like diminta oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi untuk juga membantu Program D-2 Pendidikan Guru Sekolah Dasar (D-2 PGSD) yang dikaitkan dengan program pengembangan Program Studi Pendidikan Tenaga Kependidikan (PTK) yang ada di Perguruan Tinggi Negeri.
TUJUAN PROYEK DUE-like• Tujuan utama adalah membantu Perguruan
Tinggi untuk dapat (1) meningkatan kualitas pendidikan S-1 agar dapat menghasilkan lulusan S-1 berkualitas sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja dan (2) meningkatkan kapasitas perguruan tinggi tersebut untuk dapat melakukan upaya perbaikan yang berkesinambungan.
• Bantuan yang diberikan harus digunakan untuk meningkatkan kinerja perguruan tinggi, terutama dalam pelaksanaan program pendidikan S-1 dan perbaikan serta peningkatan fasilitas utama yang dikelola terpusat oleh perguruan tinggi yang dapat mendukung program pendidikan S-1 tersebut.
• Tujuan spesifik, yaitu peningkatan Relevansi (Relevance), Suasana Akademik (Academic Atmosphere), Pengelolaan Internal dan Pengorganisasian (Internal Management and Organization) termasuk komitmen intitusi, Keberlangsungan Institusi (Sustainability), dan juga Efisiensi dan Produktivitas (Efficiency and productivity), yang disingkat RAISE.
• Peran dari program studi dalam mengembangkan keahliannya dan menghasilkan lulusan yang lebih baik, merupakan salah satu kriteria utama dalam melakukan seleksi perguruan tinggi yang akan mendapat bantuan.
Daftar PTN
Mendapatkan dana hibah Project DUE
Batch 01 (1999-2005)1. Universitas Negeri Padang 2. Universitas Andalas 3. Universitas Jambi 4. Universitas Sriwijaya 5. Institut Teknologi Bandung 6. Universitas Pendidikan Indonesia 7. Universitas Jenderal Soedirman 8. Universitas Negeri Yogyakarta 9. Universitas Negeri Sebelas Maret 10.STSI Surakarta 11.Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya 12.Universitas Brawijaya 13.Universitas Negeri Malang 14.Universitas Mataram
Batch 02 (2001-2006)
1. Universitas Syiah Kuala 2. STSI Padang Panjang 3. Universitas Indonesia 4. Universitas Negeri Jakarta 5. Universitas Padjajaran 6. IKIP Singaraja 7. Universitas Lambung Mangkurat 8. Universitas Halu Oleo 9. Universitas Negeri Manado
Batch 03 (2002-2007)1. Insitut Pertanian Bogor 2. Universitas Diponegoro 3. Universitas Negeri Semarang 4. Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya 5. Universitas Airlangga 6. Universitas Negeri Malang 7. Universitas Udayana 8. Universitas Tanjung Pura 9. Universitas Palangka Raya 10.Universitas Tadulako 11.Universitas Papua 12.Universitas Cenderawasih
Batch 04 (2003-2008)
1. Universitas Gadjah Mada 2. Institut Seni Indonesia Yogyakarta 3. STSI Denpasar 4. Universitas Hasanuddin 5. Universitas Negeri Manado
Untuk D2-PGSD : 1. Universitas Bengkulu 2. Universitas Sriwijaya 3. Universitas Negeri Yogyakarta 4. Universitas Negeri Manado
Project QUE
Latar Belakang• Kebutuhan akan lulusan perguruan tinggi yang
berkualitas tinggi • Kompetisi yang semakin ketat untuk
mendapatkan pekerjaan di waktu mendatang• Era kompetisi global dan pasar terbuka, lulusan
S1 Indonesia harus berkompetisi dengan lulusan mancanegara
• Lulusan S1 Indonesia pada umumnya masih dibawah peringkat internasional, sehingga sulit untuk berkompetisi karena kurang kompetensi dalam bidangnya. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kualitas proses pendidikan yang dialami mahasiswa S1.
• Banyak program studi di beberapa perguruan tinggi yang berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut sehingga berkualitas internasional.
• Sumberdaya yang tersedia dan pengalaman yang dipunyai oleh program studi tidak cukup untuk menanggapi tantangan masa datang.
• Dukungan tambahan melalui program kompetisi yang menerapkan konsep “Paradigma Baru” bertujuan untuk menciptakan daya dorong dan insentif bagi program studi yang mengejar tujuan tersebut. Paradigma Baru sebagai sebuah mekanisme yang digunakan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi untuk perencanaan dalam mencapai perbaikan kualitas.
• Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi melakukan implementasi konsep “Paradigma Baru” melalui beberapa proyek yang didanai dengan sistem "Block Grant," salah satu diantaranya adalah proyek "Quality for Undergraduate Education (QUE)."
Paradigma Baru1. Hasil dan kinerja perguruan tinggi harus selalu
mengacu pada kualitas yang berkelanjutan. 2. Kualitas yang berkelanjutan, yang dilandasi
kreativitas, ingenuitas dan produktivitas pribadi sivitas akademika, dapat dirangsang oleh pola manajemen yang berasaskan otonomi.
3. Otonomi perguruan tinggi harus senapas dengan akuntabilitas/ pertanggungjawaban.
4. Hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang handal dan sahih mengenai penyelenggaraan, kinerja dan hasil perguruan tinggi, diaktualisasikan melalui proses akreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional.
5. Tindakan manajerial utama yang melandasi pengambilan keputusan dan perencanaan di perguruan tinggi adalah proses evaluasi.
Penerima Batch I 1. Jurusan Biologi, FMIPA - Institut Pertanian Bogor 2. Jurusan Kimia, FMIPA - Institut Teknologi Bandung 3. Jurusan Fisika, FMIPA - Institut Teknologi Bandung 4. Jurusan Teknik Elektro, FTI - Institut Teknologi Bandung 5. Jurusan Akuntansi, FE - Universitas Gadjah Mada 6. Jurusan Produksi Ternak, FAPET - Universitas Gadjah Mada 7. Fakultas Biologi - Universitas Gadjah Mada 8. Program Studi Geofisika, Jurusan Fisika, FMIPA - Universitas
Gadjah Mada 9. Jurusan Manajemen, FE - Universitas Gadjah Mada 10.Fakultas Kedokteran - Universitas Gadjah Mada 11.Jurusan Akuntansi, FE - Universitas Indonesia 12.Jurusan Teknik Sipil, FT - Universitas Indonesia 13.Fakultas Ilmu Komputer- Universitas Indonesia 14.Jurusan Ilmu Ekonomi & Studi Pembangunan, FE - Universitas
Indonesia 15.Jurusan Matematika, FMIPA- Universitas Indonesia 16.Jurusan Ilmu Komunikasi Massa, FISIP - Universitas Negeri
Sebelas Maret
Penerima Batch II1. Jurusan Teknologi Pangan, FATETA - Institut Pertanian Bogor 2. Program Studi Ilmu Tanah,FAPERTA - Institut Pertanian
Bogor 3. Jurusan Matematika, FMIPA - Institut Teknologi Bandung 4. Jurusan Teknik Fisika, FTI - Institut Teknologi Bandung 5. Jurusan Biologi, FMIPA - Institut Teknologi Bandung 6. Jurusan Kimia, FMIPA - Universitas Gadjah Mada 7. Jurusan Teknik Sipil, FT - Universitas Gadjah Mada 8. Jurusan Ilmu Ekonomi & Studi Pembangunan, FE -
Universitas Gadjah Mada 9. Jurusan Kimia, FMIPA - Universitas Padjadjaran 10. Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran 11. Jurusan Teknik Elektro, FT - Universitas Indonesia 12. Jurusan Teknik Arsitektur, FT - Universitas Indonesia 13. Jurusan Teknik Mesin, FTI - Institut Teknologi Sepuluh
Nopember 14. Program Studi Produksi Ternak, FAPET - Universitas Jendral
Soedirman
Penerima Batch III1. Jurusan Teknologi Industri Pertanian, FATETA - Institut Pertanian
Bogor 2. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, FAPERTA - Institut Pertanian
Bogor 3. Fakultas Kedokteran - Universitas Indonesia 4. Fakultas Sarjana Kedokteran Gigi - Universitas Indonesia 5. Jurusan Fisika, FMIPA - Universitas Indonesia 6. Jurusan Teknik Kimia, FT - Universitas Indonesia 7. Fakultas Psikologi - Universitas Indonesia 8. Jurusan Teknik Informatika, FTI - Institut Teknologi Bandung 9. Jurusan Teknik Kimia, FTI - Institut Teknologi Bandung 10. Jurusan Teknik Kimia, FT - Universitas Gadjah Mada 11. Jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian, FATETA - Universitas
Gadjah Mada 12. Fakultas Farmasi - Universitas Gadjah Mada 13. Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro 14. Jurusan Teknik Kimia, FTI - Institut Teknologi Sepuluh Nopember 15. Fakultas Farmasi - Universitas Airlangga 16. Jurusan Akuntansi, FE - Universitas Andalas
• Otonomi kampus akhirnya dilegalkan oleh pemerintah tahun 1999 : – PP no.60 mencakup perubahan administrasi
institusi Pendidikan Tinggi (DIKTI) – PP no.61 Pembentukan Perguruan Tinggi
sebagai badan hukum. • Januari 2000, ditunjuk 4 Perguruan Tinggi
untuk memulai proses otonomi kampus (secara akademik dan finansial), yaitu : ITB, UI, UGM dan IPB.
• Selanjutnya USU (Universitas Sumatera Utara) sebagai perintis otonomi kampus di luar Jawa.
• UPI tahun 2005• UNAIR, 14 September 2006
LANDASAN IMPLEMENTASI PTN SEBAGAI BHMN
Oleh: Satryo Soemantri
Brodjonegoro Dirjen Pendidikan Tinggi
MANFAAT SEBAGAI BHMN (1)
• Akan terjadinya Otonomi yang lebih luas (pemekaran Fakultas/Program Studi/Jurusan)
• Diperlukan pemahaman publik tentang BHMN
• Ada kekhawatiran penterjemahan BHMN secara bebas oleh setiap pihak, sesuai dengan kepentingan pribadi masing-masing
• Tanpa adanya konsensus nasional, dapat mengakibatkan kondisi yang tidak menentu
MANFAAT SEBAGAI BHMN (2)
• Masalah Otonomi keuangan mungkin diterjemahkan oleh dosen sebagai kenaikan gaji yang mungkin berakibat kepada kenaikan SPP
• Masalah Otonomi bagi mahasiswa mungkin diterjemahkan sebagai kebebasan untuk bertindak bebas, termasuk menolak SPP
• Bahkan Departemen Keuangan mungkin menterjemahkan otonomi sebagai lepasnya tanggung jawab pemerintah
MANFAAT SEBAGAI BHMN (3)
• PTN diberi kebebasan untuk merancang kurikulum, mengelola personil sesuai beban kerja, mengalokasikan sumber daya sesuai perubahan dan mengubah struktur manajemen
• Memiliki akuntabilitas lebih tinggi • Pemerintah dapat menerapkan
kebijakan untuk pendidikan tinggi
KEBERHASILAN OTONOMI
• Akan terjadi perubahan kebijakan pemerintah terhadap pendidikan tinggi
• Kerangka legislatif dan pengaturan tentang hakekat otonomi
• Kebutuhan akan akuntabilitas • Ada mekanisme pendanaan • Kesiapan PTN untuk mengemban
otonomi
KERANGKA LEGISLATIF DAN PERATURAN
• Aspek utama yang perlu pengaturan perubahan yaitu dalam aspek: masalah ketenagaan, keuangan dan akuntabilitas :– Ketenagaan: bagaimana perubahan
dari PNS ke non-PNS– Keuangan: penerimaan uang baik
dari pemerintah maupun dari masyarakat
– Akuntabilitas: kejelasan penggunaan uang pemerintah dan masyarakat
KEUANGAN BHMN
• BHMN mendapat dua sumber keuangan, dari pemerintah dan masyarakat
• BHMN melakukan dua macam kegiatan: pemerintah dan “swasta” – Untuk melakukan kegiatan “swasta”
harus memenuhi syarat: – (1) konsisten dan komplementer dengan
misi utama PT-BHMN; – (2) tidak mengganggu kegiatan yang
didanai pemerintah
DAMPAK NEGATIF JIKA PTN DIJADIKAN PTS
• Jika PTN dijadikan PTS, maka :– Terjadinya penurunan tingkat layanan
pendidikan oleh pemerintah kepada masyarakat
– Minimnya pendidikan sains dan teknologi karena mahalnya biaya investasi dan operasi
– Minimnya kegiatan penelitian – Terjadinya disparitas (kesenjangan)
sosial dan ekonomi antar daerah
ASPEK AKUNTABILITAS (1)
• Pemerintah berkepentingan bahwa dana pemerintah digunakan sepenuhnya sesuai dengan tujuannya, tidak digunakan untuk kegiatan lain misalnya program ekstensi, program pascasarjana dan lainnya yang memungut biaya yang cukup besar dari masyarakat
• Sejauh mana akuntabilitas dosen (komitmen sebagai dosen ?)—masih dalam perumusan.
AKUNTABILITAS (2)
• Ada 3 macam mekanisme yang diperlukan:
1. Perwakilan dalam keanggotaan MWA dan mekanisme MWA
2. Validasi independen terhadap keluaran PT
3. Pengaturan proses audit terhadap penggunaan dana publik untuk menghasilkan keluaran tersebut
MAJELIS WALI AMANAT
• Merupakan mekanisme utama untuk memperoleh akuntabilitas publik
• Merupakan lembaga tertinggi di PT, harus akuntabel
• MWA merepresentasikan stakeholders sehingga keanggotaannya seharusnya tidak didominasi oleh kalangan perguruan tinggi akan tetapi oleh kalangan luar PT
KEGAGALAN PROSES MENJADI BHMN
• Suatu PTN akan gagal menjadi BHMN ditandai dengan:– Perguruan tinggi menjadi bangkrut
secara teknis, dan jika demikian perlu ditetapkan bagaimana penanganannya
– Perguruan tinggi menjadi unit komersial yang menyimpang dari tugasnya dalam bidang pendidikan dan penelitian serta pengabdian pada masyarakat
BENTUK RANCANGAN PENDANAAN (1)
1. Berbentuk “block funding” dari pemerintah
2. Komponennya terdiri atas dana rutin dan dana pembangunan
3. Dana rutin terdiri atas dana dasar untuk penyelenggaraan program sarjana, dana tambahan/insentif untuk peningkatan mutu pendidikan, dan dana khusus untuk penugasan spesifik
RANCANGAN PENDANAAN (2)
4. Dana pembangunan terdiri atas dana investasi untuk perbaikan/penataan, dan dana pengembangan berdasarkan kompetisi/seleksi
5. Formula pendanaan perlu ditetapkan secara terukur
6. Biaya pendidikan tinggi seyogyanya dipikul bersama antara pemerintah dan masyarakat
BAGAIMANA PENETAPAN BESARAN SPP KAMPUS
BHMN1. Akses pemerataan, khususnya untuk
mahasiswa golongan ekonomi lemah 2. Penetapan SPP yang terlalu rendah
tidak akan memberikan pemerataan yang adil karena justru terjadi subsidi bagi yang kaya
3. Secara teoritis penetapan besaran SPP dapat diserahkan sepenuhnya kepada PT tanpa adanya batas maksimal, tetapi hal ini kurang bijaksana
APA YG TERJADI BILA PENETAPAN SPP OLEH PT TANPA BATAS
MAKSIMAL1. Perguruan tinggi favorit akan dapat
menerapkan SPP yang tinggi sehingga menutup akses bagi kelompok masyarakat yang kurang mampu (hanya diisi oleh orang kaya saja)
2. Pemerintah perlu mengetahui berapa kontribusi mahasiswa melalui SPP untuk menutupi kebutuhan biaya pendidikan sebenarnya sehingga tidak tumpang tindih (pendanaan ganda)
MEKANISME PENETAPAN BESARAN SPP
• Pemerintah tidak perlu menetapkan SPP secara rinci akan tetapi perlu adanya asumsi publik mengenai besaran yang memadai sehingga ada kontrol dari masyarakat
• Berapapun SPP ditetapkan, pasti ada mahasiswa yang tidak mampu, sehingga perlu beasiswa, Alternatif pendanaan bagi mahasiswa: kredit pendidikan tinggi ?
ASPEK PENGAWASAN
1. Terjadi perbedaan dalam konsep pengawasan yang terjadi di PTN selama ini
2. Pengawasan diarahkan kepada pemenuhan kewajiban sesuai peruntukan “block funding”
3. Termasuk pengawasan terhadap penyalahgunaan dana pemerintah yang digunakan untuk kegiatan “swasta’