Post on 01-Apr-2019
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
65
BAB III
KEWENANGAN PERIZINAN USAHA PERTAMBANGAN DALAM
UNDANG-UNDANG NO.4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN
MINERAL DAN BATUBARA
A. Sejarah Perizinan Usaha Pertambangan di Indonesia
1. Perizinan Usaha Pertambangan Sebelum Era Reformasi
Pengusahaan pertambangan di nusantara pada dasarnya telah
berlangsung berabad-abad lamanya, bahkan sebelum kedatangan
Belanda. Pada masa Hindia Belanda, pengaturan hukum
pertambangan diatur dalam Indische Mijn Wet 1899 atau yang
disingkat dengan IMW. Salah satu ketentuannya adalah adanya
kontrak antara pemerintah Hindia Belanda dengan pihak swasta, yang
dikenal dengan sebutan 5 A contract.1
Ketentuan kontrak antara Pemerintah Hindia Belanda dan pihak
swasta didasarkan pada ketentuan Pasal 5A yang menyatakan :
a. Het gouvenement is bevoegd opsporingen en ont-ginningen te
doen plaats hebben, waat die niet in strijd komen met aans
opspoorders of consessionarisen verlende rehcten .
(Pemerintah berwenang untuk melakukan penyelidikan dan
eksploitasi selama hal itu tidak bertentangan dengan hak-hak
yang telah diberikan kepada penyelidik atau pemegang hak
konsesi).
1 Nanang Sudrajat, Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia Menurut Hukum, (Jakarta; Pustaka
Yustisia, 2010), 32-33.
65
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
66
b. Het kan te dien einde of zelf opsporingen en onginningen
onderneme, of met personen of vennootsschappen die voldoen
aan het eerst lid van artikel 4 dezer wet, overeenkomsten
aangaan, waarbij zij zich verbinden tot het ondernemen van
opsporingen en ontnningen. ( Untuk hal tersebut, pemerintah
dapat melakukan sendiri penyelidikan dan eksploitasi atau
mengadakan perjanjian dengan perorangan atau perusahaan
yang memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum pada
Pasal 4 undang-undang ini. Dan sesuai perjanjian itu, mereka
wajib melaksanakan eksploitasi, ataupun penyelidikan dan
eksploitasi yang dimaksud).
c. Zoodanige overenkomsteen worden niet gesloten dan nadat
daartoc telkenmale bij de wet machtiging is verleed.
(Perjanjian demikian itu tidak akan dilaksanakan kecuali telah
disahkan dengan undang-undang).2
Konsesi yang berlaku sejak masa Hindia Belanda masih diakui
pada saat pengakuan kemerdekaan tahun 1945 sampai berakhirnya masa
konsesi tersebut. Pada masa awal kemerdekaan, keadaan Negara tidak
stabil karena kondisi politik yang masih bergejolak, untuk itu Pemerintah
mengeluarkan Undang-Undang No.78 Tahun 1958 tentang Penanaman
Modal Asing. Dalam kondisi politik yang bersistem demokrasi terpimpin,
undang-undang ini tidak memberikan kepada penanam modal asing
2 Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, (Yogyakarta; UII Press, 2004), 65
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
67
untuk melakukan investasi langsung terhadap bahan galian yang bersifat
vital, tetapi hanya dapat berkontribusi melalui bentuk pinjaman luar
negeri.3
Pada tahun 1960, Pemerintah mengundangkan Undang-Undang
No.37 Tahun 1960 tentang Pertambangan. dalam undang-undang ini,
investor mendapatkan kesempatan pengelolaan dalam bentuk pinjaman
luar negeri, dimana pinjaman luar negeri itu akan dikembalikan dari hasil
produksi bahan galian sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
No.20 Tahun 1963. Dampak dari pengaturan ini, investasi asing menjadi
turun drastis.4
Pengalaman sejarah sejak kurun waktu 1950-1965, telah
menunjukkan adanya kesulitan untuk mengembangkan potensi mineral di
Indonesia apabila hanya mengandalkan modal nasional saja. Oleh karena
itu, Tap MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan
Kebijaksanaan Landasan Ekonomi Keuangan dan Pembangunan
menyatakan perlunya pemanfaatan modal dari luar negeri, serta
membuka kemungkinan investasi asing di bidang pertambangan.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka disusunlan Undang-Undang No.11
Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dengan memberikan
pengaturan bahwa penanaman modal asing di bidang pertambangan
didasarkan pada suatu kerjasama dengan pemerintah dalam bentuk
3 Sutaryo Sigit, Sepenggal Sejarah Pertambangan Indonesia, ( Jakarta; Yayasan Minergi
Informasi Indonesia, 2004), 91. 4 Ibid. 101.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
68
Kontrak Karya atau bentuk lain sesuai peraturan perundan-undangan yang
berlaku.5
Pada perkembangan selanjutnya, untuk mendukung
berkembangnya iklim investasi agar lebih kondusif, maka Pemerintah
mengesahkan Undang-Undang No.11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pertambangan – yang selanjutnya disingkat dengan UU
No.11/1967-. Tujuan dari pengesahan undang-undang ketentuan-
ketentuan pokok pertambangan ini adalah agar segala bahan galian yang
terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia adalah kekayaan
alam nasional bangsa Indonesia yang dikuasai dan digunakan oleh Negara
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 6
Secara umum, prinsip-prinsip pokok yang terkandung dalam
undang-undang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan adalah :
1. Penguasaan sumber daya alam oleh Negara sesuai dengan Pasal 33
UUD 1945 , dimana Negara menguasai semua sumber daya alam
sepenuhnya untuk kepentingan Negara dan kemakmuran rakyat;
2. Penggolongan bahan-bahan galian menjadi bahan galian strategis,
vital dan bahan galian bukan strategis maupun vital;
3. Konsesi ditiadakan, sedangkan wewenang untuk melakukan usaha
pertambangan diberikan melalui kuasa pertambangan, sebab konsesi
5 Sajuti Thalib, Hukum Pertambangan Indonesia, ( Bandung; Akademi Geologi dan
Pertambangan, 1977), 99. 6 Sutaryo Sigit, Sepenggal Sejarah Pertambangan Indonesia, 21-22.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
69
dianggap memberikan hak yang terlalu luas dan terlalu kuat bagi
pemegang konsesi.7
Berdasarkan Undang-Undang No.11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, bahan galian digolongkan
menjadi tiga golongan, yaitu : bahan galian strategis, bahan galian vital
dan bahan galian bukan strategis maupun vital.8
Bahwa yang dimaksud dengan bahan galian strategis adalah bahan
galian yang digunakan untuk kepentingan pertahanan keamanan serta
perekonomian Negara. Bahan galian strategis ini selanjutnya disebut
dengan bahan galian A.9 Termasuk bahan galian jenis ini adalah : Minyak
bumi, bitumen cair, lilin bumi, gas alam; Bitumen padat, aspal; Antrasit,
batubara, batubara muda; Uranium, radium, thorium dan bahan-bahan
galian radioaktif lainnya; Nikel, kobalt, dan Timah.10
Sementara itu, yang dimaksud dengan bahan galian vital adalah
bahan galian yang dapat menjamin hajat hidup masyarakat. Yang
selanjutnya disebut dengan bahan galian B. Termasuk jenis bahan galian
ini yaitu : besi, mangaan, molibden, khrom, wolfram, vanadium, titan;
bauksit, tembaga, timbal, seng; emas, platina, perak, air raksa, intan;
arsin, antimony, bismuth; yettrium, ruthenium, cerium, logam-logam
7 Undang-Undang No.11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan
8 Ibid.
9 Ibid. Pasal 1 huruf a.
10 Ibid. Pasal 1 huruf a.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
70
langka lainnya; beryllium, korundum, zircon, Kristal kwarsa; kriolit,
fluorspars, barit; yodium, brom, khlor, dan belerang.11
Sedangkan bahan galian yang tidak termasuk bahan galian
strategis maupun bahan galian vital dinamakan dengan bahan galian C.
Adapun yang tergolong jenis bahan galian C ini adalah : nitrat, pospat,
garam batu; asbes, talk, mikam grafit, magnesit; yarosit, leusit, tawas,
oker; pasir kwarsa, kaolin, feldspar, gips, bentonit; batu apung, trams
absidian, perlit, tanah diatome, tanah serap, marmer, batu tulis; batu
kapur, dolomite, kalsit; granit, andesit, basal, trakhit, tanah liat dan tanah
pasir.12
Pasal 4 Undang-Undang No.11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pertambangan menyebutkan tentang kewenangan
perizinan pertambangan berdasarkan penggolongan bahan galian, yakni13
:
a) Pelaksanaan penguasaan Negara dan pengaturan usaha
pertambangan untuk bahan galian golongan a dan b dilakukan oleh
Menteri;
b) Pelaksanaan penguasaan Negara dan pengaturan usaha
pertambangan untuk bahan galian golongan c dilakukan
Pemerintah Daerah Tingkat I tempat terdapatnya bahan galian
tersebut.
11
Ibid. Pasal 1 huruf b. 12
Ibid. Pasal 1 huruf c. 13
Ibid. Pasal 4.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
71
c) Dengan memperhatikan kepentingan pembangunan Daerah
khususnya dan Negara pada umumnya, Menteri dapat
menyerahkan pengaturan usaha pertambangan bahan-bahan galian
tertentu diantara bahan galian golongan b kepada Pemerintah
Daerah Tingkat I tempat terdapatnya bahan galian tersebut.
Adapun bentuk-bentuk legalitas kewenangan pengelolaan bidang
pertambangan dapat dilakukan oleh pihak swasta, baik asing maupun
domestik. Dalam undang-undang ketentuan-ketentuan pokok
pertambangan menyebutkan adanya beberapa bentuk izin, yaitu :
1) Kontrak Karya (KK) diperuntukkanbagi perusahaan yang
berstatus sebagai Penanaman Modal Asing –selanjutnya disingkat
PMA-. Ruang lingkup kewenangan Kontrak Karya dapat
mengusahakan seluruh jenis bahan galian kecuali minyak, gas
bumi dan batubara yang diatur dalam aturan tersendiri.
2) Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B),
diperuntukkan bagi perusahaan yang berstatus sebagai Penanaman
Modal dalam Negeri (PMDN) dan PMA yang khusus
mengusahakan batubara.14
3) Kuasa Pertambangan (KP), jenis ini diperuntukkan bagi
perusahaan nasional, baik Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Kewenangan
14
Bambang Yunianto, Rachman Saifudin dan Ijang Suherman, Kebijakan Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral dan Implikasinya terhadap Pertambangan Emas dalam Penambangan dan Pengolahan Emas di Indonesia, (Bandung; Rosdakarya, 2004), 19.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
72
bagi perusahaan pemegang Kuasa Pertambangan adalah
mengusahakan seluruh bahan galian kecuali migas dan bahan
galian industri yang terdiri dari bahan galian langka.
4) Surat Izin Pertambangan Daerah (SIPD), diperuntukkan bagi
perusahaan nasional dan koperasi dengan kewenangan khusus
mengusahakan bahan galian industri.
5) Surat Izin Pertambangan Rakyat (SIPR) diperuntukkan bagi
pertambangan yang dikelola oleh rakyat dan berada di Wilayah
Pertambangan Rakyat.15
Sistem perizinan usaha pertambangan sebelum adanya otonomi
daerah dengan didasarkan pada undang-undang ketentuan-ketentuan
pokok pertambangan adalah dalam bentuk “Kuasa Pertambangan”
melalui Kontrak Karya. Berdasarkan Pasal 7 Peraturan Pemerintah
No.32 Tahun 1969 ditentukan bahwa pemegang Kuasa Pertambangan
mempunyai wewenang untuk melakukan satu atau lebih usaha
pertambangan yang ditentukan dalam Kuasa Pertambangan yang
bersangkutan. Kuasa Pertambangan ini berisikan izin untuk melakukan
usaha pertambangan. Pemberian Kuasa Pertambangan ini hanya
memberikan kekuasaan untuk melakukan usaha pertambangan dan tidak
memberikan kepemilikan hasil pertambangan kepada pemegang Kuasa
15
Undang-Undang No.11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
73
Pertambangan, sebab, pemilik bahan galian di dalam perut bumi tetaplah
bangsa Indonesia.16
Pelaksanaan pengusahaan pertambangan berdasarkan Pasal 5 UU
No.11/1967 disebutkan bahwa, sebab Negara/pemerintah tidak dapat
menjalankannya sendiri, maka pelaksanaan pengusahaan pertambangan
dapat diberikan kepada : (a) instansi pemerintah; (b) perusahaan Negara;
(c) perusahaan daerah; (d) perusahaan dengan modal bersama antara
pemerintah dan daerah; (e) koperasi; (f ) Badan atau perseorangan swasta;
(g) perusahaan dengan modal bersama antara Negara atau daerah dengan
koperasi atau badan/perseorangan; (h) masyarakat dalam bentuk
pertambangan rakyat.17
Peluang pemberian kontrak publik kepada perusahaan swasta
awalnya didahului oleh izin publik dari Menteri ESDM, dapat
dilaksanakan bila instansi pemerintah tidak dapat melaksanakan sendiri,
maka Menteri dapat memberikan izin untuk dilakukan kontrak dengan
pihak lain. Begitu pula untuk bahan galian golongan c, bila terdapat di
lepas pantai dan diusahakan oleh perusahaan asing, maka dilakukan dalam
bentuk Kontrak Karya.18
Pengusahaan bahan galian golongan a, dilakukan
oleh Instansi Pemerintah dan Perusahaan Negara. Selanjutnya, untuk
bahan galian golongan b, dilakukan oleh siapa saja asalkan memenuhi
16
Jogi Tjiptadi, Kebijakan Mineral dari Masa Kolonial Hingga Era Reformasi, ( Jakarta;
Indonesian Mining Association, 2008), 55. 17
Undang-Undang No.11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan 18
Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 1986 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan
di Bidang Pertambangan kepada Pemerintah Daerah Tingkat I. Pasal 4.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
74
syarat sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1 2 ayat (1) dalam undang-
undang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan.19
Sedangkan untuk
bahan galian golongan c, telah resmi dilimpahkan kepada Pemerintah
Daerah, yang dalam pelaksanaannya dikenal dengan sebutan SIPD (Surat
Izin Pertambangan Daerah).20
Peraturan ini berlaku sampai tahun 1998 sebelum era reformasi,
Kewenangan perizinan pengusahaan pertambangan diberikan berdasarkan
jenis bahan galiannya bukan berdasarkan wilayah territorial tempat
dimana bahan galian tersebut berada. Sebagai akibatnya, seringkali
daerah penghasil tidak juga lebih maju dibandingkan dengan daerah lain
yang bukan penghasil, sebab hasilnya menjadi wewenang Pemerintah
Pusat dan sebagian untuk Pemerintah Daerah Tingkat I. Daerah-Daerah
penghasil yang secara infrastruktur maupun budaya tetap tertinggal tidak
puas dengan kebijakan ini sehingga pada saat terjadi reformasi politik
yang bergejolak di Indonesia, mengharuskan adanya penggantian undang-
undang tentang pemerintahan daerah.
Perubahan sistem administrasi Negara dari yang sentralistik
menjadi desentralistik, mengharuskan pula adanya perubahan peraturan
yang mengatur tentang pertambangan, sebab berhubungan langsung
dengan daerah penghasil dan pembagian keuangan pusat dan daerah.
Sampai diundangkannya Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang
19
Undang-Undang No.11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan 20
Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 1986 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan
di Bidang Pertambangan kepada Pemerintah Daerah Tingkat I.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
75
Pertambangan Mineral dan Batubara, Undang-Undang No.11 Tahun
1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan tetap berlaku
dengan penyesuaian terhadap beberapa Peraturan Pemerintah yang
mengaturnya terkait dengan Pemerintah Daerah.
2. Perizinan Usaha Pertambangan Setelah Era Reformasi Sebelum
Berlakunya Undang-Undang No.4 Tahun 2009
Reformasi politik di Indonesia bergejolak pada tahun 1998,
sebagai konsekuensinya, terjadilah reformasi besar-besaran terhadap
ketatanegaraan dan urusan pemerintahan (administrasi Negara). Diawali
dengan lahirnya Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, terjadilah perubahan mendasar dalam kewenangan
urusan pemerintahan termasuk dalam bidang pertambangan. Berdasarkan
Undang-Undang No22 Tahun 1999 jo Peraturan Pemerintah No.25 Tahun
2000, pembagian kewenangan pemerintahan diatur sebagai berikut21
:
a. Bupati/Walikota memiliki kewenangan urusan pemerintahan yang
terletak dalam wilayah Kabupaten/Kota dan atau sampai wilayah laut
4 mil laut;
b. Gubernur memiliki kewenangan urusan pemerintahan yang terletak
dalam beberapa wilayah Kabupaten/Kota dan tidak dilakukan
kerjasama antar Kabupaten/Kota maupun antar Kabupaten/Kota
21
Undang-Undang No.22 Tahun 1999 jo Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2000 tentang
Pemerintahan Daerah
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
76
dengan Provinsi, atau di wilayah laut yang terletak antara 4 sampai
12 mil laut;
c. Menteri memiliki kewenangan urusan pemerintahan yang terletak
dalam beberapa wilayah provinsi dan tidak dilakukan kerjasama antar
provinsi, dan atau di wilayah laut di luar 12 mil laut.
Pengaturan tentang pembagian urusan pemerintahan dalam
Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah itu
selanjutnya ditindaklanjuti dengan dibentuknya Peraturan Pemerintah
No.75 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua PP No.32 Tahun 1967
sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang No.11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, yang menyebutkan bahwa :
1. Bupati/Walikota berwenang menerbitkan Surat Keputusan Kuasa
Pertambangan apabila Kuasa Pertambangannya terletak dalam
wilayah Kabupaten/Kota dan atau sampai wilayah laut 4 mil laut;
2. Gubernur berwenang menerbitkan Surat Keputusan Kuasa
Pertambangan apabila wilayah Kuasa Pertambangannya terletak
dalam beberapa wilayah Kabupaten/Kota dan tidak dilakukan
kerjasama antar Kabupaten/Kota maupun antar Kabupaten/Kota
dengan Provinsi, dan atau wilayah laut yang terletak antara 4 sampai
12 mil laut;
3. Menteri berwenangn menerbitkan Surat Keputusan Kuasa
Pertambangan apabila wilayah Kuasa Pertambangannya terletak
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
77
dalam beberapa wilayah Provinsi dan tidak dilakukan kerjasama antar
provinsi, dan atau di wilayah laut yang terletak di luar 12 mil laut.22
Pada Peraturan Pemerintah No.75 Tahun 2001 disebutkan bahwa
setiap usaha pertambangan yang termasuk dalam golongan bahan galian
strategis (golongan a) dan bahan galian vital (golongan b), baru dapat
dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapatkan Kuasa Pertambangan,
yang diberikan oleh Bupati, Walikota dan Gubernur sesuai kewenangan
masing-masing.23
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.75 Tahun 2001
ini, maka pemberian Kuasa Pertambangan kepada pengusaha
pertambangan tidak lagi berdasarkan golongan bahan galian mineral
sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.11 Tahun 1967
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan.
Selanjutnya terjadi perubahan Undang-Undang No.22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dengan digantikan oleh Undang-Undang
No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memberikan dampak
yang signifikan terhadap pengaturan pengusahaan pertambangan.
Pengusahaan pertambangan yang pada awalnya bersifat sentralistik
menjadi desentralistik. Terkait dengan pertambangan ini, dalam
pembagian kewenangan terhadap urusan pemerintahan, Undang-Undang
22
Peraturan Pemerintah No.75 Tahun 2001, Perubahan Kedua PP No.32 Tahun 1967 sebagai
pelaksanaan dari Undang-Undang No.11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan 23
Ibid. Pasal 1.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
78
No.32 Tahun 2004 menyebut pengusahaan mineral sebagai urusan
pemerintahan pilihan.24
Bahwa :
“Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah
Daerah yang diselenggarakan berdasarkan kriteria sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), terdiri atas urusan wajib dan urusan
pilihan.”25
Pada Pasal 13 ayat (2) disebutkan bahwa urusan pemerintahan
provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara
nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang
bersangkutan,26
Dalam hal ini termasuk sumber daya mineral. Sama
halnya dengan provinsi, urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan
berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tingkat
Kabupaten/Kota, menjadi urusan pemerintahan pilihan bagi Daerah
Tingkat II.27
Persoalan urusan pemerintahan pilihan tentang pengelolaan
mineral ini selanjutnya menyebabkan undang-undang tentang ketentuan-
ketentuan pokok pertambangan mengalami resesi. Undang-undang ini
dianggap tidak lagi mampu menghadapi kebutuhan dan tantangan
otonomi daerah. Perkembangan masyarakat yang menuntut adanya
kesejahteraan daerah menjadi hal utama yang mengantarkan pada opini
masyarakat bahwa undang-undang tentang ketentuan-ketentuan pokok
24
Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 25
Ibid. Pasal 11 ayat (3). 26
Ibid. Pasal 13 ayat (2) 27
Ibid. Pasal 14 ayat (2)
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
79
pertambangan layak direvisi. Di tahun 2009, Undang-Undang No.11
Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan telah
resmi diberhentikan pemberlakuannya dan digantikan oleh Undang-
Undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
B. Kewenangan Perizinan Usaha Pertambangan dalam Undang-Undang No.4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Otonomi daerah mempengaruhi secara besar-besaran terhadap
sistem pengusahaan pertambangan. Dari sistem perjanjian yang
sentralistik menjadi sistem yang desentralistik. Perundang-undangan yang
lebih khusus tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan tidak lagi
bisa disesuaikan dengan perundang-undangan yang lebih umum yang
mengatur perihal kewenangan, dalam hal ini adalah undang-undang
tentang pemerintahan daerah, sehingga undang-undang tentang
ketentuan-ketentuan pokok pertambangan harus direvisi.
Tahun 2009 dianggap sebagai babak baru bagi pertambangan
mineral dan batu bara di Indonesia. Dengan disahkannya Undang-Undang
No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, terjadi
perubahan mendasar terhadap sistem pengusahaan pertambangan, dari
sistem kontrak karya dan perjanjian menjadi sistem perizinan. Dengan
demikian, Pemerintah tidak lagi dalam posisi yang sejajar dengan pelaku
usaha, melainkan secara administratif, Pemerintah sebagai pihak yang
memberikan kewenangan izin.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
80
Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara –selanjutnya disebut UU Minerba- mengandung
pokok-pokok pikiran sebagai berikut :
1. Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan
dikuasai oleh Negara dan pengembangan serta pendayagunaannya
dilaksanakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah bersama
dengan pelaku usaha.
2. Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha
yang berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun
masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dan
batubara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi daerah,
diberikan oleh Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya masing-masing.
3. Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah,
pengelolaan pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan
berdasarkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang
melibatkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
4. Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang
sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
5. Usaha pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan
wilayah dan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha
kecil menengah serta mendorong tumbuhnya industri penunjang
pertambangan.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
81
6. Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan
usaha pertambangan harus dilaksanakan dengan memperhatikan
prinsip lingkungan hidup, transparansi dan partisipasi masyarakat.28
Mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang terbarukan
merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh Negara untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Penguasaan oleh Negara tersebut
diselenggarakan oleh Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah.29
Adapun
kewenangan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara berada di
tangan Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
sesuai kewenangannya masing-masing.
Pasal 37 Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara menyebutkan :
Izin diberikan oleh :
a. Bupati/Walikota apabila WIUP berada di dalam satu wilayah
Kabupaten/Kota;
b. Gubernur apabila WIUP berada pada lintas wilayah Kabupaten/Kota
dalam 1 (satu) provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari
Bupati/Walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, dan
28
Lembaran Penjelasan Umum Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara 29
Ibid. Pasal 4
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
82
c. Menteri apabila WIUP berada pada lintas wilayah provinsi setelah
mendapatkan rekomendasi dari Gubernur dan Bupati/Walikota
setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.30
Kewenangan Pemerintah dalam pengelolaan pertambangan
mineral dan batubara terdiri dari antara lain : penetapan kebijakan
nasional, pembuatan peraturan perundang-undangan, penetapan standar
nasional, pedoman dan kriteria, penetapan sistem perizinan pertambangan
mineral dan batubara, penetapan wilayah, pemberian IUP, pembinaan,
penyelesaian konflik masyarakat pada lintas wilayah provinsi dan atau
wilayah laut lebih dari 12 mil laut dari garis pantai, pemberian IUPK
eksplorasi dan IUPK operasi produksi, penetapan kebijakan produksi
pemasaran, pemanfaatan dan konservasi, penetapan kebijakan kerjasama,
kemitraan dan pemberdayaan masyarakat, perumusan dan penetapan
penerimaan Negara bukan pajak dari hasil pertambangan mineral dan
batubara.31
Sedangkan kewenangan Pemerintah Provinsi antara lain :
pembuatan peraturan perundang-undangan, pemberian IUP, pembinaan,
penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan
pada lintas wilayah kabupaten/Kota dan atau wilayah laut dari 4 mil
sampai 12 mil laut, pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik
masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan yang berdampak
30
Ibid. Pasal 37. 31
Ibid. Pasal 6
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
83
langsung pada lintas wilayah Kabupaten/Kota dan atau wilayah laut 4
mil sampai dengan 12 mil.32
Adapun kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota, terdiri dari
antara lain : pembuatan perundang-undangan, pemberian IUP, IPR,
pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha
pertambangan di wilayah Kabupaten/Kota dan atau wilayah laut sampai 4
mil laut.33
Penentuan wilayah pertambangan menurut Pasal 9 UU
Minerba merupakan bagian dari tata ruang nasional yang ditetapkan oleh
Pemerintah setelah berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah dan
berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.34
Wilayah pertambangan menurut UU Minerba terdiri dari :
a. Wilayah usaha pertambangan (WUP) yang ditetapkan oleh
pemerintah setelah berkoordinasi dengan Pemda dan disampaikan
secara tertulis kepada DPR dalam satu wilayah usaha pertambangan
terdiri dari satu atau beberapa wilayah izin usaha pertambangan;
b. Wilayah pertambangan rakyat (WPR) yang ditetapkan oleh
Bupati/Walikota setelah berkonsultasi dengan DPRD;
c. Wilayah pencadangan Negara (WPN) yang ditetapkan Pemerintah
untuk kepentingan strategis nasional yang dicadangkan untuk
32
Ibid. Pasal 7. 33
Ibid. Pasal 8. 34
Ibid. Pasal 9.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
84
komoditas tertentu dan daerah konservasi dalam rangka menjaga
keseimbangan dan lingkungan.35
Sementara itu, jenis usaha pertambangan dikelompokan atas : a)
Pertambangan Mineral yang meliputi; pertambangan mineral radioaktif,
pertambangan mineral logam, pertambangan mineral bukan logam dan
pertambangan batuan; b) Pertambangan Batubara.36
Mengenai perizinan usaha pertambangan, dalam Undang-Undang
No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
menyebutkan mengenai beberapa bentuk perizinan yaitu :
1. Izin Usaha Pertambangan (IUP) adalah izin usaha melakukan
pertambangan yang dilakukan oleh Menteri, Gubernur, Bupati, sesuai
kewenangannya, yang mencakup : (a) IUP eksplorasi adalah izin
usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan
umum, eksplorasi dan studi kelayakan; (b) IUP operasi produksi
adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUP
eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi. IUP
operasi produksi terdiri atas kegiatan konstruksi, penambangan,
pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.37
2. Izin Pertambangan Rakyat (IPR) adalah izin untuk melaksanakan
pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas
35
Lembaran Penjelasan Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara, Pasal 13. 36
Ibid. Pasal 34. 37
Ibid. Pasal 35 dan Pasal 37
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
85
wilayah dan investasi terbatas yang dilakukan oleh Menteri,
Gubernur, Bupati sesuai kewenangannya. Bupati/Walikota
memberikan IPR terutama kepada penduduk setempat baik
perorangan dengan luas maksimum 1 hektare maupun kepada
kelompok masyarakat dengan luas minimum 5 hektare dan atau
koperasi dengan luas maksimum 10 hektare. 38
3. Izin usaha pertambangan khusus (IUPK) adalah izin untuk
melaksanakan usaha pertambangan di wilayah izin usaha
pertambangan khusus. Izin usaha pertambangan khusus terdiri dari
dua tahap, yaitu :
a. IUPK untuk tahap eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan
untuk melakukan kegiatan tahapan penyelidikan umum,
eksplorasi dan studi kelayakan di wilayah izin usaha
pertambangan khusus.39
b. IUPK tahan operasi produksi adalah izin usaha yang diberikan
setelah selesai pelaksanaan IUPK eksplorasi untuk melakukan
tahapan kegiatan operasi produksi di wilayah izin usaha
pertambangan khusus.40
Dalam UU minerba disebutkan, bahwa :
38
Ibid. Pasal 66, 67, dan 68. 39
Ibid. Pasal 1 angka 12 40
Ibid. Pasal 1 angka 13
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
86
“ IUP diberikan kepada : a) Badan Usaha; b) Koperasi, dan c)
Perseorangan.” 41
Badan Usaha ini dapat berupa Badan Usaha Swasta, Badan Usaha
Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah. Sedangkan Perseorangan,
merupakan perseorangan warga Negara Indonesia, firma maupun
perusahaan komanditer. Sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan
Pemerintah No.77 Tahun 2014 tentag Perubahan Ketiga atas Peraturan
Pemerintah No.23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara, bahwa Badan Usaha, Koperasi atau
Perseorangan yang telah mendapatkan peta WIUP beserta batas dan
koordinat dalam jangka waktu paling lambat lima hari kerja setelah
penerbitan peta WIUP mineral bukan logam dan/atau batuan harus
menyampaikan IUP Eskplorasi kepada Menteri, Gubernur, atau
Bupati/Walikota sesuai kewenangannya.
Apabila Badan Usaha, Koperasi maupun Perseorangan tersebut
dalam jangka waktu lima hari kerja tidak menyampaikan permohonan
IUP, dianggap mengundurkan diri dan uang pencadangan wilayah menjadi
milik Negara.42
Dalam hal Badan Usaha, Koperasi maupun Perseorangan
telah dianggap mengundurkan diri, maka WIUP menjadi wilayah
terbuka.43
41
Ibid. Pasal 38 42
PP No.77 Tahun 2014 perubahan ketiga atas PP.No.23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. 43
Ibid.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
87
Dalam satu IUP, hanya diperbolehkan untuk satu jenis mineral
atau batubara saja, apabila ditemukan kandungan mineral lain dalam
wilayahnya, maka pemegang IUP tersebut mendapat prioritas untuk
mengusahakannya dengan mengajukan permohonan IUP baru kepada
Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai kewenangannya.44
Jika
pemegang IUP tersebut tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain
yang ditemukannya, maka kewajibannya adalah menjaga mineral
tersebut agar tidak dimanfaatkan oleh pihak lain.45
Untuk mengusahakan
mineral lain yang terdapat di wilayah yang sama, maka pemerintah dapat
memberikannya pada pihak lain.46
IUP sendiri terdiri dari dua tahap,
yaitu:
1. IUP eksplorasi. Adapun kegiatan dalam IUP eksplorasi meliputi
kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi dan studi kelayakan. Pasal
42 menyebutkan bahwa izin eksplorasi untuk pertambangan mineral
logam diberikan selama delapan tahun. Sedangkan untuk mineral
bukan logam diberikan paling lama 3 tahun, untuk mineral bukan
logam diberikan paling lama 7 tahun. Untuk jenis batuan selama 3
tahun dan untuk batubara diberikan selama 7 tahun.
2. IUP operasi produksi. Kegiatan dalam IUP Operasi Produksi meliputi
kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian serta
pengangkutan dan penjualan. Tahap operasi produksi ini disebut
44
Ibid. Pasal 40. 45
Ibid. Pasal 40 ayat 5 46
Ibid. Pasal 40 ayat 6
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
88
sebagai eksplorasi. IUP Operasi Produksi diberikan kepada pemenang
hasil lelang WIUP mineral logam atau batubara. Jangka waktu yang
diberikan untuk pemegang IUP operasi produksi adalah 47
:
a. Pertambangan mineral logam selama 20 tahun dan dapat
diperpanjang sebanyak dua kali, masing-masing selama 10 tahun.
b. Pertambangan mineral bukan logam selama 10 tahun dan dapat
diperpanjang sebanyak dua kali, masing-masing selama 5 tahun.
c. Pertambangan mineral bukan logam jenis tertentu selama 20 tahun
dan dapat diperpanjang sebanyak dua kali, masing-masing selama
10 tahun.
d. Pertambangan batuan selama 5 tahun dan dapat diperpanjang
sebanyak dua kali, masing-masing selama 5 tahun.
e. Pertambangan batubara selama 20 tahun dan dapat diperpanjang
sebanyak dua kali, masing-masing selama 10 tahun.
IUP diberikan melalui tahapan:
a. pemberian WIUP; dan
b. pemberian IUP48
Untuk memperoleh Izin Usaha Pertambangan, Pemerintah
memberikan Izin Usaha Pertambangan kepada Badan Usaha,
Koperasi maupun Perorangan melalui lelang. Peraturan Pemerintah
47
Ibid. Pasal 47 48
PP.No.23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan kegiatan usaha Pertmabangan Mineral dan Batubara, Pasal 7.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
89
Nomor 23 Tahun 2010 memberikan penjelasan mengenai prosedur
lelang, yaitu : 1) pengumuman prakualifikasi; 2) pengambilan
dokumen prakualifikasi; 3) pemasukan dokumen prakualifikasi; 4)
evaluasi prakualifikasi; 5) klarifikasi dan konfirmasi terhadap
dokumen prakualifikasi; 6) penetapan hasil prakualifikasi; 7)
pengumuman hasil prakualifikasi ;8) undangan kepada peserta yang
lulus prakualifikasi; 9) pengambilan dokumen lelang; 10) penjelasan
lelang; 11) pemasukan penawaran harga; 12) pembukaan sampul; 13)
penetapan peringkat; 14) penetapan/pengumuman pemenang lelang
yang dilakukan berdasarkan penawaran harga dan pertimbangan
teknis; dan 15) memberi kesempatan adanya sanggahan atas
keputusan lelang. 49
Sebelum dilakukan pelelangan WIUP mineral logam atau
batubara, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya mengumumkan secara terbuka WIUP yang akan
dilelang kepada badan usaha, koperasi, atau perseorangan dalam
jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum pelaksanaan
lelang.50
Selanjutnya, IUP terdiri atas:
a. IUP Eksplorasi; meliputi mineral logam, batubara, mineral
bukan logam; dan/atau batuan.
49
Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara, Pasal 14 ayat (1). 50
Ibid, Pasal 10.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
90
b. IUP Operasi Produksi, meliputi : mineral logam, batubara,
mineral bukan logam; dan/atau batuan.51
Persyaratan IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi
meliputi persyaratan: 52
a. Administratif
1. Persyaratan administratif untuk badan usaha meliputi:
a. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral
logam dan batubara:
1. surat permohonan;
2. susunan direksi dan daftar pemegang saham; dan
3. surat keterangan domisili.
b. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral
bukan logam dan batuan:
1. surat permohonan;
2. profil badan usaha;
3. akte pendirian badan usaha yang bergerak di bidang
usaha pertambangan yang telah disahkan oleh pejabat yang
berwenang;
4. nomor pokok wajib pajak;
5. susunan direksi dan daftar pemegang saham; dan
51
Ibid. 52
Ibid. pasal 24.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
91
6. surat keterangan domisili.
2. Persyaratan administratif untuk koperasi meliputi:
a. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral
logam dan batubara:
1. surat permohonan;
2. susunan pengurus; dan
3. surat keterangan domisili.
b. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral
bukan logam dan batuan:
1. surat permohonan;
2. profil koperasi;
3. akte pendirian koperasi yang bergerak di bidang usaha
pertambangan yang telah disahkan oleh pejabat yang
berwenang;
4. nomor pokok wajib pajak;
5. susunan pengurus; dan
6. surat keterangan domisili.
3. Persyaratan administratif untuk perseorangan meliputi:
a. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral
logam dan batubara:
1. surat permohonan; dan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
92
2. surat keterangan domisili.
b. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral
bukan logam dan batuan:
1. surat permohonan;
2. kartu tanda penduduk;
3. nomor pokok wajib pajak; dan
4. surat keterangan domisili.
4. Persyaratan administratif untuk perusahaan firma dan
perusahaan komanditer meliputi:
a. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral
logam dan batubara:
1. surat permohonan;
2. susunan pengurus dan daftar pemegang saham; dan
3. surat keterangan domisili.
b. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral
bukan logam dan batuan:
1. surat permohonan;
2. profil perusahaan;
3. akte pendirian perusahaan yang bergerak di bidang
usaha pertambangan;
4. nomor pokok wajib pajak;
5. susunan pengurus dan daftar pemegang saham; dan
6. surat keterangan domisili.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
93
b. Teknis
1. IUP Eksplorasi, meliputi:
a. Daftar riwayat hidup dan surat pernyataan tenaga ahli
pertambangan dan/atau geologi yang berpengalaman paling sedikit
3 (tiga) tahun;
b. peta WIUP yang dilengkapi dengan batas koordinat geografis
lintang dan bujur sesuai dengan ketentuan sistem informasi
geografi yang berlaku secara nasional.
2. IUP Operasi Produksi, meliputi:
a. Peta wilayah dilengkapi dengan batas koordinat geografis
lintang dan bujur sesuai dengan ketentuan sistem informasi
geografi yang berlaku secara nasional;
b.Laporan lengkap eksplorasi;
c.Laporan studi kelayakan;
d.Rencana reklamasi dan pascatambang;
e. Rencana kerja dan anggaran biaya;
f. Rencana pembangunan sarana dan prasarana penunjang kegiatan
operasi produksi; dan
g. Tersedianya tenaga ahli pertambangan dan/atau geologi
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
94
yang berpengalaman paling sedikit 3 (tiga) tahun.53
c. Lingkungan
Persyaratan lingkungan meliputi:
a. Untuk IUP Eksplorasi meliputi pernyataan untuk mematuhi
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
b. Untuk IUP Operasi Produksi meliputi:
1. Pernyataan kesanggupan untuk mematuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup; dan
2. Persetujuan dokumen lingkungan hidup sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.54
d. Finansial.
Persyaratan financial untuk:
a. IUP Eksplorasi, meliputi:
1. Bukti penempatan jaminan kesungguhan pelaksanaan
kegiatan eksplorasi; dan
2. Bukti pembayaran harga nilai kompensasi data informasi hasil
lelang WIUP mineral logam atau batubara sesuai dengan nilai
penawaran lelang atau bukti pembayaran biaya pencadangan
53
Ibid. Pasal 25. 54
Ibid.pasal 26.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
95
wilayah dan pembayaran pencetakan peta WIUP mineral bukan
logam atau batuan atas permohonan wilayah.
b. IUP Operasi Produksi, meliputi:
1. Laporan keuangan tahun terakhir yang telah diaudit oleh
akuntan publik;
2. Bukti pembayaran iuran tetap 3 (tiga) tahun terakhir; dan
3. Bukti pembayaran pengganti investasi sesuai dengan nilai
penawaran lelang bagi pemenang lelang WIUP yang telah
berakhir.55
Selanjutnya, Pemenang lelang WIUP mineral logam atau
batubara harus menyampaikan permohonan IUP Eksplorasi kepada
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja
setelah penetapan pengumuman pemenang lelang WIUP.56
Apabila
pemenang lelang WIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
jangka waktu 5 (lima) hari kerja tidak menyampaikan permohonan
IUP, dianggap mengundurkan diri dan uang jaminan kesungguhan
lelang menjadi milik Pemerintah atau milik pemerintah daerah.57
Dalam hal pemenang lelang WIUP telah dianggap mengundurkan diri,
55
Ibid. Pasal 27. 56
Ibid. Pasal 30 57
Ibid.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
96
WIUP ditawarkan kepada peserta lelang urutan berikutnya secara
berjenjang dengan syarat nilai harga kompensasi data informasi sama
dengan harga yang ditawarkan oleh pemenang pertama.
Dalam hal pemegang IUP Produksi tidak melakukan kegiatan
pengangkutan dan penjualan, kegiatan pengangkutan dan penjualan
dapat dilakukan oleh pihak lain yang memiliki IUP Operasi Produksi
khusus untuk melakukan pengangkutan dan penjualan. Jika tidak
melakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian, maka kegiatan
tersebut dapat dilakukan oleh pihak lain yang memiliki IUP Operasi
Produksi yang memiliki fasilitas pengolahan dan pemurnian atau IUP
Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan pemurnian.58
Bagi pemegang IUP Operasi Produksi yang telah memperoleh
perpanjangan IUP Operasi Produksi sebanyak dua kali, dalam jangka
waktu 3 tahun sebelum jangka waktu masa berlakunya IUP Operasi
Produksi itu berakhir, maka harus menyampaikan kepada Menteri,
Gubernur, atau Bupati/Walikota seseuai dengan kewenangannya
mengenai keberadaan potensi dan cadangan mineral atau batubara
pada WIUP-nya.59
Sedangkan IUPK yang telah memperoleh
perpanjangan untuk IUP Operasi Produksi sebanyak dua kali,
58
PP No.77 Tahun 2014 perubahan ketiga atas PP No.23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 36. 59
Ibid. Pasal 46.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
97
sebelum masa berlakunya berakhir, harus menyampaikan kepada
Menteri mengenai keberadaan potensi dan cadangan mineral atau
batubara pada WIUPK-nya.60
IUP Operasi Produksi yang habis masa berlakunya setelah
mendapatkan dua kali perpanjangan, WIUP produksinya dikembalikan
kepada Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangannya setelah menyampaikan keberadaan potensi dan
cadangan mineral dan batubara pada WIUP-nya. Sedangkan IUPK
Operasi Produksi yang habis masa berlakunya setelah mendapatkan
dua kali perpanjangan, maka WIUPK produksinya dikembalikan
kepada Menteri setelah menyampaikan keberadaan potensi dan
cadangan mineral dan batubara pada WIUPK-nya.61
Sementara itu, Pasal 169 ketentuan Peralihan UU Minerba,
menyebutkan :
“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan
batubara yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap
diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian.
b. Ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan
perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara sebagaimana
dimaksud pada huruf a disesuaikan selambatlambatnya 1 (satu) tahun
sejak Undang-Undang ini diundangkan kecuali mengenai penerimaan
negara. Pengecualian terhadap penerimaan negara sebagaimana
dimaksud pada huruf b adalah upaya peningkatan penerimaan negara.“
60
Ibid. Pasal 73. 61
Ibid.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
98
Pasal 169 huruf a dengan jelas menentukan bahwa kontrak karya
dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah ada
sebelum berlakunya UU Minerba tetap diberlakukan sampai jangka waktu
berakhirnya kontrak atau perjanjian. Setelah berakhirnya kontrak atau
perjanjian tersebut, maka selanjutnya harus mengikuti ketentuan yang
diatur dalam UU Minerba dan tidak dapat diperpanjang lagi. Sebab,
hanya ada satu ketentuan perizinan dalam UU Minerba. Akan tetapi
dalam huruf b dalam Pasal 169 tersebut menyatakan bahwa paling lambat
dalam waktu satu tahun, maka ketentuan yang terdapat dalam Kontrak
Karya dan Perjanjian Karya sebagaimana dalam huruf a, harus
disesuaikan.
Bagan alur perizinan usaha pertambangan :
Dengan mekanisme sebagai berikut :
Pemerintah Pelelangan WIUP
Badan Usaha,
Koperasi, atau
Perseorangan Permohonan
IUP
Pemohon
Bupati atau
Walikota
Menteri
atau
Gubernur
Masa berakhirnya :