Post on 29-Jan-2016
description
a. Anatomi Neuromuscular Junction
Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang
tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat suatu
sambungan yang disebut neuromuscular junction atau sambungan neuromuskular.2
Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut
terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang
serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik
(membran otot) dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk
neuromuscular junction .2
Gambar 1. Somatic Neuromuscular Transmission1
Dapus
1. Burns et al. Myasthenia Gravis. In Netter`s Neurology2nd Edition. 2012; 73: 684-702.
2. Burmester GR, Pezzutto A. Color Atlas of Immunology. 1sted. Thieme. 2003: 239-238
3. Patofisiologi
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup
timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia
gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid,
dan lain-lain3.
Gambar 2. Perbandingan Neuromuscular junction normal dan pada Miastenia
Gravis4
Ketika sebuah potensial aksi bergerak ke motor neuron dan mencapai motor end
plate, molekul asetilkolin (Ach) dilepaskan dari vesikel presinaptik, melalui
neuromuscular junction dan kemudian akan berinteraksi dengan reseptor Ach (AchRs)
di membrane postsinaptik. Kanal-kanal di AchRs terbuka, memungkinkan Na + dan
kation lain untuk masuk ke dalam serat ototdan menimbulkan depolarisasi. Depolarisasi
yang terus menerus terjadi akan berkumpul menjadi satu, dan jika depolarisasi yang
terkumpul cukup besar, maka akan memicu timbulnya potensial aksi, yang bergerak
sepanjang serat otot untuk menghasilkan kontraksi. Pada miastenia gravis (MG), ada
pengurangan jumlah AchRs yang tersedia di motor endplate atau mendatarnya lipatan
pada membran postsinaptik yang menyebabkan pengurangan jumlah reseptor pada
motor endplates, sehingga depolarisasi yang terjadi pada motor endplate lebih sedikit
dan tidak terkumpul menjadi potensial aksi. Akhir. Hasilnya adalah sebuah transmisi
neuromuskuler tidak efisien. Tiga mekanisme yang didapatkan dari penelitian antara
lain: auto antibodi terhadap reseptor AChR dan menginduksi endositosis, sehingga
terjadi deplesi AChR pada membran postsinaptik, autoantibodi sendiri menyebabkan
gangguan fungsi AChR dengan memblokir situs-situs tempat terikatnya asetilkolin dan
autoantibodi menyebabkan kerusakan pada motor endplates sehingga menyebabkan
hilangnya sejumlah AChR.4
Gambar 3. Patofisiologi terjadinya Miastenia Gravis karena terjadi penghancuran autoantibodi
terhadap AchR5
Penyakit ini tidak mempengaruhi otot polos dan jantung karena mereka memiliki
antigenisitas reseptor kolinergik yang berbeda. Peran timus dalam pathogenesis myasthenia
gravis (MG) tidak sepenuhnya jelas, tetapi 75% dari pasien myasthenia gravis (MG) memiliki
beberapa derajat kelainan timus (misalnya, hiperplasia pada 85% kasus, thymoma dalam 15%
kasus). Mengingat fungsi kekebalan timus dan adanya perbaikan klinis setelah dilakukan
tindakan timektomi,timus diduga menjadi tempat pembentukan autoantibodi. Namun, stimulus
yang memulai proses autoimun belum teridentifikasi.2
Gambar 4.Salah satu penyebab timbulnya autoantibodi terhadap AchR5
Gambar 5. Mekanisme Patofisiologi Miastenia Gravis5
Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum
penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah
yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan miastenia
gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa antibodi pada reseptor nikotinik asetilkolin
merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis.
Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90%
pasien yang menderita acquired miastenia gravis generalisata.3
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor
asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti.
Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana antibodi yang
merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada
patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral
terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti
hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala
miastenik1,3.
Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai
subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik
utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan
antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya
transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain: ikatan silang reseptor
asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor
asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan
pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat
digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis.3
Dapus
1. Keesey, John. Clinical Evaluation and Management of Myasthenia Gravis. Muscle&
Nerve. 2004; 29:505-484.
2. Burns et al. Myasthenia Gravis. In Netter`s Neurology2nd Edition. 2012; 73: 684-702.
3. Drachman DB. Myasthenia Gravis and Other Diseases of The Neuromuscular Junction
Kasper. In: Braunwald, Fauci, Hauser, Longo, Jameson. Harrison’s : Principle of Internal
Medicine 18th ed. McGraw Hill. 2012; 366: 2523-2518.
4. Myasthenia Gravis &Neuromuscular Junction (NMJ) Disorders. Diunduh
darihttp://neuromuscular.wustl.edu/synmg.html#acquiredmg, 07 Juni 2012.
5. Murray, R.K, Granner, D.K, Mayes, P.A.2008. Biokimia Harper: Dasar Biokimia
Beberapa Kelainan Neuropsikiatri. Edisi 29. EGC. Jakarta.
mekanisme kerja otot
Mekanisme Kontraksi Otot1
Timbul dan berakhirnya kontraksi otot terjadi dalam urutan tahap-tahap berikut:
a. Suatu potensial aksi berjalan di sepanjang sebuah saraf motorik sampai ke ujungnya
pada serabut otot.
b. Di setiap ujung, saraf menyekresi substansi neuro transmiter, yaitu asetil kolin dalam
jumlah sedikit.
c. Asetil kolin bekerja pada area setempat pada membrane serabut otot untuk membuka
banyak kanal “bergerbang asetil kolin” melalui molekul-molekul protein yang terapung
pada membran.
d. Terbukanya kanal bergerbang asetil kolin memungkinkan sejumlah besar ion natrium
untuk berdifusi kebagian dalam membrane serabut otot. Peristiwa ini akan
menimbulkan suatu potensial aksi pada membrane.
e. Potensial aksi akan berjalan di sepanjang membrane serabut otot dengan cara yang
sama seperti potensial aksi akan berjalan di sepanjang membrane serabut saraf.
f. Potensial aksi akan menimbulkan depolarisasi membrane otot, dan banyak aliran listrik
potensial aksi mengalir melalui pusat serabut otot. Di sini, potensial aksi menyebabkan
reticulum sarkoplasma melepaskan sejumlah besar ion kalsium, yang telah tersimpan
di dalam reticulum ini.
g. Ion-ion kalsium menimbulkan kekuatan menarik antara filament aktin dan myosin, yang
menyebabkan kedua filament tersebut bergeser satu sama lain, dan menghasilkan
proses kontraksi.
h. Setelah kurang dari satu detik, ion kalsium dipompa kembali ke dalam reticulum
sarkoplasma oleh pompa membrane Ca++, dan ion-ion ini tetap disimpan dalam
reticulum sampai potensial aksi otot yang baru dating lagi; pengeluaran ion kalsium
dari myofibril akan menyebabkan kontraksi otot terhenti.1
Mekanisme kontraksi otot dimulai dengan adanya potensial aksi yang berjalan di
sepanjang saraf motorik sampai keujungnya pada serabut otot.Potensial aksi ini menyebabkan
terjadinya sekresi neurotransmitter berupa asetilkolin yang akan membuka kanal bergerbang
asetilkolin melalui reseptor aseitilkolin yang terdapat di membrane serabut otot. Terbukanya
kanal ini menyebabkan banyak ion Na+ masuk bersama sejumlah muatan positif.Peristiwa
tersebut menciptakan perubahan potensial positif setempat di dalam membrane serabut otot
yang disebut potensial end plate.1
Potensial end plate ini menimbulkan adanya suatu potensial aksi yang bergerak dari
membrane melewati tubulus T. Pada saat potensial aksi melewati tubulus T akan
mengakibatkan terbukanya kanal pada reticulum sarkoplasma sebagai tempat penyimpanan ion
Ca2+. Terbukanya kanal ini akan menyebabkan ion Ca2+ yang berada di reticulum sarkoplasma
terbebas ke daerah myofibril. Saat ion Ca2+ terbebas ke dalam myofibril maka akan terjadi
proses tumpang tindih antara filament aktin dan myosin atau terjadi suatu kontraksi otot. 1
Pada saat ion Ca2+ terbebaske myofibril maka ion ini akan mengikat troponin C dan
menggeser tropomiosin. Sehingga tempat lekat aktin dan miosin pun terbuka.Maka akan terjadi
mekanisme sliding filament. Kepala molekul myosin akan melekat pada suatu tempat di molekul
aktin kemudian membuat lekukan dan menarik molekul aktin. Setiap gerakan myosin menarik
aktin hanya akan menyebabkan pergerakan yang sedikit jaraknya, tetapi karena adanya
sejumlah gerakan menarik yang sangat cepat dari sejumlah besar molekul myosin, maka akan
terjadi pemendekan otot.1
Setelah kontraksi terjadi pompa kalsium akan menarik kembali sebagian besar ion Ca2+
di myofibril untuk di simpan kembali di dalam reticulum sarkoplasma. Penarikan ion Ca2+ ini
menyebabkan tropomiosin kembali menutup bagian aktif aktin sehingga proses kontraksi
terhenti.Bila sebuah otot berkontraksi, timbul suatu kerja dan energi yang diperlukan.Sejumlah
besar ATP dipecah menjadi ADP selama proses kontraksi. Semakin besar jumlah kerja yang
dilakukan oleh otot, semakin besar jumlah ATP yang dipecahkan, yang disebut efek Fenn.1
Dapus
1. Guyton, Arthur C dan Jhon E Hall. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 11.
Jakarta : EGC