Post on 02-Mar-2019
139
BAB VII
KONSTRIBUSI ADAT KEBIASAAN TERHADAP PENGEMBANGAN DAKWAH ISLAMIYAH
Dakwah mengandung makna melakukan upaya sistematis untuk
mengusahakan perubahan dalam segala aspek kehidupan guna disesuaikan dengan
ideal-moral Islam (Amrullah, 1996:25). Kegiatan dakwah diarahkan minimal ke
dalam tiga hal, pertama mensosialisasikan nilai-nilai ideal masyarakat (dakwah
ilal-khair). Kedua memajukan tatanan masyarakat yang sudah baik menjadi lebih
baik (amar ma’ruf). Ketiga merubah tatanan masyarakat yang dianggap destruktif
(nahi munkar). Ketiga fokus tersebut tidak bisa dipisah-pisahkan, apalagi diambil
salah satu saja. Sebab jika yang pertama diambil tanpa kedua dan ketiga, maka
dakwah yang dilakukan hanya bersifat normatif, tidak realistis, sehingga tidak ada
efek berarti secara sosial. Jika yang kedua saja tanpa yang pertama dan ketiga,
seorang da’i atau muballigh akan terlalu pragmatis, tidak menjamin keselamatan
kebijaksanaannya. Yang paling kurang tepat jika hanya mengambil bagian ketiga
saja, tanpa pertama dan kedua. Akibatnya dakwah hanya berisi melarang tanpa
memberi jalan keluar, bahkan mungkin hanya berisi maki-makian dan kutukan-
kutukan (Madjid, 1993:200-201).
Enjang (2009: 53-62) mengklasifikasikan bentuk kegiatan dakwah sesuai
dengan karakteristiknya baik pola, teknik, pendekatan media atau sasaran
dakwahnya:
1) Tabligh al-Islam
Tabligh al-Islam merupakan aktivitas dakwah yang dilakukan dengan cara
menyampaikan/menyebarluaskan (transmisi) ajaran Islam melalui media
140
mimbar atau media massa dengan sasaran orang banyak atau khalayak. Dari
segi metode (ushlub), tabligh bisa dilakukan secara lisan (khitabah) dan tabligh
melalui tulisan (kitabah).
2) Irsyad al-Islam
Proses dakwah yang dilakukan dengan menyampaikan dan
menginternalisasikan ajaran Islam melalui kegiatan bimbingan, penyuluhan
dan psikoterapi Islami dengan sasaran individu atau kelompok kecil. Irsyad
dilihat dari prosesnya lebih bersifat kontinyu, simultan dan intensif. Contoh
seorang kyai yang membimbing para santrinya di pesantren, perawat rohani
Islam yang ikut membantu pasien di rumah sakit, termasuk bimbingan orang
tua kepada putra-putrinya. Dari segi materi irsyad dilaksanakan atas dasar
masalah khusus (kasuistik) dalam sebuah aspek kehidupan yang
berdampaknpada kehidupan individu atau kelompok kecil.
3) Tadbir Islam
Kegiatan dakwah dengan mentransformasikan ajaran Islam melalui kegiatan
aksi amal shaleh berupa penataan lembaga-lembaga dakwah dan kelembagaan
Islam lainnya. Fungsi-fungsi manajemen merupakan karakteristik menonjol
dalam dakwah tadbir.
4) Tathwir al-Islam
Kegiatan dakwah dengan mentransformasikan ajaran Islam melalui aksi amal
shaleh berupa pemberdayaan (taghyir, tamkin) sumber daya manusia dan
sumber daya lingkungan dan ekonomi umat dengan mengembangkan pranata-
pranata sosial, ekonomi dan lingkungan atau pengembangan kehidupan muslim
dalam aspek-aspek kultur universal. Dakwah tathwir antara lain dapat
141
dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, pendampingan, pengadaan sarana-
prasarana dan lain sebagainya.
Umat Islam di Desa Krajankulon, sebagaimana telah dijelaskan pada bab
sebelumnya, secara umum tidak pernah kering dari sentuhan dakwah. Dakwah
yang dilakukan saat ini adalah dakwah bil lisan atau tabligh melalui majlis taklim
dengan berbagai kajian kitab kuning sebagai acuan materinya. Selain itu
keteladanan para ulama juga mewarnai proses dakwah.
Krajankulon sebagai Kota Santri memiliki kekayaan adat kebiasaan islam
(tradisi islam) yang masih dilakukan secara kontinyu. Meskipun tradisi dimaksud
telah mengalami perubahan, sebagai bagian dari adaptasi para pelakunya dengan
perkembangan jaman. Secara substantif dapat dipertahankan, sehingga pelaksanaan
setiap tradisi akan memberikan pengaruh positif dalam pengembangan dakwah
Islam kepada para pelakunya khususnya sejumlah umat Islam yang berpartisipasi
dalam kegiatan tersebut. Misalnya tradisi weh-wehan, dahulu makanan yang
disajikan dalam tradisi itu berupa sumpil berbentuk limas, dan ketan. Sekarang
makanan itu diganti dengan jajanan lain yang disukai anak-anak di Desa
Krajankulon. Tradisi bubur suran, jika dahulu makanan itu berbentuk bubur
dengan dicampur tahu, tempe, telur, srundeng, saat ini ada yang mengganti bubur
dengan nasi kuning. Tradisi syawalan juga mengalami perubahan, jika dahulu
dilaksanakan secara sederhana oleh masyarakat. Tetapi seiring dengan kemudahan
transportasi, dan komunikasi, sehingga tradisi itu dihadiri tidak hanya oleh
masyarakat setempat, juga dihadiri oleh masyararakat di luar daerah. Kegiatan
menjadi lebih semarak, dengan adanya pasar dadakan selama kegiatan syawalan
berlangsung.
142
Tradisi pertunjukan seni kentrungan, dan wayang kulit tidak ditampilkan
secara rutin sebagaimana pada jaman dulu. Pada event-event tertentu saja kesenian
itu dipentaskan, misalnya pada acara Festival Al-Muttaqin dan Pekan Maulid.
Keengganan masyarakat Desa Krajakulon itu, dapat dipahami mengingat
pengaruh-pengaruh dari luar terutama globalisasi telah mengancam keberadaan,
legitimasi, dan keberlanjutan budaya lokal. Maka munculnya kekuatan atau lebih
tepatnya revitalisasi kearifan lokal dapat difungsikan untuk memperkokoh jatidiri
suatu bangsa atau masyarakat, meliputi kesadaran sejarah memegang peranan
penting dalam menumbuhkembangkan jati diri dan identitas. Sehingga
penghayatan kebersamaan di masa lampau dapat membangkitkan rasa kepemilikan
terhadap kearifan lokal. Selain itu persatuan dan kesatuan akan terus terpelihara
dalam mempersiapkan masa datang tanpa meninggalkan nilai-nilai luhur yang
diwariskan para pendahulu (Darwan Sari, 2011: 19-20)
Dalam konteks ini adat kebiasaan atau tradisi islam di masyarakat
Krajankulon, sebenarnya telah memberikan konstribusi untuk pengembangan
dakwah. Artinya nilai-nilai dan hasil-hasil dari kebudayaan lokal masyarakat yang
nota benenya bersumber dari ajaran Islam, secara terus-menerus tersosialisasikan
kepada para pemegang kebudayaan tersebut (da’i dan mad’u). Sehingga selalu ada
momentum yang mendorong masyarakat untuk mengaktualisasikan nilai-nilai
luhur (kearifan lokal) dalam kehidupan sehari-hari, untuk menangkal segala
macam pengaruh dari luar yang dibawa oleh globalisasi. Secara ringkas konstribusi
adat-istiadat atau tradisi Islam dalam konteks pengembangan dakwah di
Krajankulon dapat digambarkan dalam tabel berikut:
143
Tabel 11
Kontribusi Tradisi Islam untuk Pengembangan Dakwah
No Tradisi Islam
Kontribusi Untuk Pengembangan Dakwah Da’i Mad’u Maddatut
Da’wah Thariqatut Da’wah
Wasilatut Da’wah
1. Bari’an Dzikir dan sholawat, kebersamaan dengan mad’u
Dzikir dan sholawat, kebersamaan dengan da’i
Dzikir dan sholawat
Mauidzah, bershodaqoh
buku
2. Wayang kulit
Mengingatkan kepada sifat-sifat yang harus dimiliki da’i
Mengenalkan kepada mad’u sifat-sifat baik yang harus dimiliki mad’u
Tauhid dan akhlak
Infiltrasi karyaseni
3.
Rebo pungkasan Mauludan, Festival, Pekan Maulid
Dzikir dan sholawat
Dzikir dan sholawat
Dzikir dan sholawat
Mauidzah, infiltrasi
buku
Dzikir dan sholawat
Dzikir dan sholawat
Dzikir dan sholawat
Mauidzah buku
Solidaritas sosial, silaturahim, meneladani sifat2 nabi saw
Solidaritas sosial, silaturahim, meneladani sifat2 nabi saw
Dzikir, sholawat, akhlaq, shodaqoh
Mauidzah, home visit, keteladanan, infiltrasi, mujadalah
Buku,
Nuansa psikologis jaman nabi
Nuansa psikologis jaman nabi
Infiltrasi Karya seni lampu hias
5. Ujung-Ujung/Halal Bihalal, syawalan
Silaturahim, meneladani nilai perjuangan kyai guru, menjaga peninggalan kyai guru
Silaturahim, meneladani nilai perjuangan kyai guru, menjaga peninggalan kyai guru
Taubat, silaturahim, birrul walidain
Home visit, mauidzah, infiltrasi, mujadalah
Tatap muka, buku, pameran, pementasan tradisi keIslaman
6. Dugderan dan ramadhan
senang menyambut ramadhan, dzikir, solidaritas
senang menyambut ramadhan, dzikir, solidaritas
Puasa, nuzulul qur’an,lailatul qadr,zis,
Infiltrasi, mauidzah, mujadalah
Karya seni, shodaqoh
7. Bubur Suran Refleksi sejarah perjuangan umat Islam, silaturahim
Refleksi sejarah perjuangan umat Islam, silaturahim
Bulan muharram, kisah para nabi
Bershodaqoh dan keteladanan
shodaqoh
144
A. Kontribusi Pengembangan Da’i dan Mad’u
Da’i adalah individu, sekelompok orang, lembaga yang menginisiasi
terjadinya proses dakwah. Idealnya setiap da’i memenuhi persyaratan tertentu,
sebagai pejuang moral da’i harus menjadi rujukan moral, sekaligus ilmu bagi
masyarakatnya. Untuk itu, Syekh Ali Mahfudz (1961) dalam kitabnya Hidayatul
Mursyidin menenkankan perluanya persiapan ilmu agama (diniyah) maupun
ilmu kemasyarakatan (wadhiyyah). Abu A’la al-Maududi (1984: 36-54) dalam
bukunya Tadzkiratud Dua’atil Islam seorang da’i harus memiliki sifat-sifat
sebagai berikut :
a) Sanggup memerangi musuh dalam dirinya agar terus berada dalam ketaatan
kepada Allah SWt dan rasul-Nya.
b) Sanggup berhijrah dari hal-hal yang maksiat yang dapat merendahkan
dirinya di hadapan Allah SWT dan dihadapan masyarakat.
c) Mampu menjadi uswatun hasanah bagi mad’unya.
d) Memiliki persiapan mental dengan berbagai turunannya seperti : sabar,
teguh pendirian, welas-asih, semangat dan rela berkorban.
Desa Krajankulon sebagai pusat Kota Santri di Kecamatan Kaliwungu,
terdapat sejumlah da’i yang memiliki kompetensi yang tidak diragukan dalam
hal penguasaan ilmu agama Islam. Karena mereka sekaligus sebagai pengasuh
pondok pesantrennya sendiri, baik sebagai pendiri maupun sebagai pewaris dari
orang tuanya. Para penyuluh agama di Kecamatan Kaliwungu sampai tidak
mendapatkan tempat untuk melaksanakan tugas-tugas kepenyuluhannya di Desa
Krajakulon (Wawancara Ibnu Fikri, 12 Mei 2013). Tetapi menurut Muhammad,
kegiatan penyuluh agama dari KUA Kecamatan Kaliwungu, terbatas pada
pengajian rutin di majlis ta’lim. Pak Sholahudin ba’da maghrib, Pak Zainuri
145
ba’da ashar setiap hari, Pak Kyai Nidhom ba’da subuh kecuali hari jum’at, Pak
Muhib Patean setiap selasa dan sabtu, semua waktu sudah terisi semua 7 hari full
terisi pengajian (Wawancara 28 Mei 2013).
Sebenarnya, Penyuluhan agama Islam merupakan salah satu bentuk
satuan kegiatan yang memiliki nilai strategis dalam memperlancar pelaksanaan
pembangunan di bidang keagamaan. Keputusan Menteri Agama (KMA)
Nomor 516 tahun 2003 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Penyuluh
Fungsional dinyatakan bahwa Fungsi utama penyuluh agama Islam adalah
melakukan dan mengembangkan kegiatan bimbingan atau penyuluhan agama
dan pembangunan melalui bahasa agama kepada masyarakat.
Penyuluh Agama Islam merupakan ujung tombak dari Kementerian
Agama dalam pelaksanaan tugas membimbing umat Islam dalam mencapai
kehidupan yang bermutu dan sejahtera lahir batin. Penyuluh agama Islam
memiliki peran dalam membina umat, paling sedikit penyuluh agama diwajibkan
memiliki empat kelompok warga binaan. Penyuluh agama memiliki tanggung
jawab untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, sebagai konselor untuk
mencari solusi permasalahan yang dihadapi masyarakat dan membina kehidupan
beragama untuk mewujudkan pembangunan manusia seutuhnya. Hasil akhir
yang ingin dicapai dari penyuluhan agama pada hakekatnya ialah terwujudnya
kehidupan masyarakat yang memiliki pemahaman mengenai ajaran agamanya,
ditunjukkan melaui pengamalannya dengan komitmen dan kosisten disertai
wawasan multicultural, untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang harmonis
dan saling menghargai satu sama lain (Marmiati, 2012,2).
Bahkan di Desa Krajankulon, jumlah da’inya paling banyak
dibandingkan dengan desa-desa lain se-Kecamatan Kaliwungu. Menurut data
146
dari KUA Kecamatan Kaliwungu tahun 2008, terdapat 55 orang yang berperan
sebagai da’i yaitu 23 ulama, 17 muballigh dan 15 khotib. Diantara nama-nama
da’i tersebut: KH. Khafidhin Ahmaddum, KH.Masduki Abdul Hamid, KH. Fauzi
Shodaqoh, KH.Muchsin Ghofur, KH. Ahmad Nur Fatoni, KH. Muhibudin Al-
Hafidz, K.Ahmad Khasan Aqib, KH. Ahmad Munib Abu Khair, KH.Sholahudin,
KH.Baduhun Badawi, KH. Najib Mubarok, K.Abdul Ghoni, KH. Muslim
Fauzan, Hamdani Mu’in, KH.Solekhan Al’Asyari, Zumrotuttaqiyah Ahz,
KH.Ridwan Amin, KH.Maghzunun Irja’, KH.Munawirudin Badawi, K.Shodiqin,
KH.Irfan Aziz, As’ad (RMI, 2008: 14-45).
Posisi da’i di Desa Krajankulon sekaligus sebagai ulama/kyai mempunyai
kekuatan yang lebih di hati masyarakat. Menurut Mudjahirin Thohir, orang-
orang yang disebut kyai itu (kecuali penyebutan yang direkayasa) adalah orang-
orang yang sudah lulus (sementara) dari seleksi secara alamiah dari masyarakat
yang bersangkutan. Mereka yang sudah terpilih itu, kemudian sering menerima
ungkapan perasaan masyarakat seperti: “Para kyai ingkang tansah kawula
dereaken sedoyo fatwa-fatwahipun” . Ini secara langsung menjelaskan adanya
legitimasi masyarakat akan peran kyai, dan juga kyai diberi kewenangan di
dalam kerangka memberi nasehat warganya. Kyai yang diberi otoritas dan
ditempatkan pada posisi tinggi dalam struktur atau susunan sosial masyarakat,
bukan saja terbatas pada masa “sugengnya” saja, tetapi pengakuan itu juga
diteruskan sampai pada masa sang kyai itu berada di alam barzah. Ini ditandai
oleh apa yang kita kenal dan rasakan dengan upacara khoul kyai (Mudjahirin,
2013). Otoritas yang dimiliki kyai, tidak hanya terbatas bidang agama. Tetapi
mencakup hampir seluruh bidang kehidupan seperti ekonomi, politik, keamanan,
147
kesehatan, pendidikan. Intensitas perhatian kyai dalam berbagai bidang
kehidupan di masyarakat telah mengantarkan tokoh agama Islam ini menjadi
satu-satunya elit pemegang otoritas kepemimpinan di masyarakat. Jika
menggunakan klasifikasi Max Weber, otoritas yang dimiliki kyai termasuk
otoritas kharismatik yaitu otoritas yang didasarkan pada kemampuan luar biasa
yang diberikan Tuhan. Kualitas seperti itu menarik para pengikut yang setia pada
pemimpin kharismatik secara pribadi dan memiliki komitmen terhadap
keteraturan normatif atau moral yang digambarkannya. Otoritas kharismatik
semakin meningkat sesuai dengan kesanggupan individu yang bersangkutan
untuk membuktikan manfaatnya bagi masyarakat dan pengikut-pengikutnya
(Faqih, 2003: 16-17).
Menurut Suzanne Keller (1984), selama suatu masyarakat masih kecil
dan beragam tunggal, maka pola kepemimpinannya cenderung berbentuk tunggal
dan meliputi semua bidang kehidupan masyarakat. Akan tetapi apabila
masyarakat bertambah besar karena bertambah jumlah penduduknya, lagipula
apabila terjadi diversifikasi dalam bidang ekonomi, politik dan sosial, maka pola
kepemimpinannya yang beragam tunggal sukar sekali dilestarikan. Apabila
struktur masyarakat menjadi beraneka ragam, maka dengan sendirinya polanya
beragam pula. Pada tiap-tiap bidang kehidupan masyarakat akan tumbuh suatu
golongan dengan suatu hirarkhi tersendiri, dimana setiap elit atau golongan kecil
memegang peranan yang paling berpengaruh dalam bidangnya. Misalnya elit
militer berpengaruh dalam bidang militer, elit ilmu berpengaruh dalam bidang
ilmu pengetahuan, elit kebudayaan berpengaruh dalam bidang kebudayaan, elit
politik berpengaruh dalam bidang politik.
148
Menurut Mudjahirin Thohir, otoritas kepemimpinan kyai di Krajankulon
saat ini, mulai ada pergeseran. Dalam arti otoritas yang dulunya mencakup
semua aspek kehidupan masyarakat, saat ini terbatas bidang agama dan politik.
Bidang ekonomi sudah diambil alih oleh elit ekonomi, bidang kesehatan sudah
diambil alih oleh elit kesehatan (Wawancara, 12 Juni 2013).
Dalam konteks dakwah, berbagai adat kebiasaan yang masih eksis
dengan berbagai macam modivikasi karena tuntutan perkembangan jaman, akan
mampu memberikan kontribusi bagi pengembangan kepribadian para da’i dan
mad’u. Dalam adat kebiasaan syawalan misalnya, da’i dan mad’u akan selalu
diingatkan dengan nilai-nilai perjuangan Kyai Asy’ari sebagai tokoh dakwah
yang menjadi tonggak awal Islam di Kaliwungu. Keikhlasan, kesabaran,
kesederhanaan, merupakan nilai-nilai yang seharusnya selalu dimiliki oleh para
da’i dan mad’u di Desa Krajankulon.
Di era globalisasi saat ini, ketiga nilai itu mendapat tantangan yang
sangat kuat dari nilai matrealisme, dan pragmatisme. Hubungan-hubungan sosial
yang mengikat antar manusia bersifat transaksional. Artinya hubungan ini
terjalin karena adanya kesepakatan imbalan tertentu terhadap setiap jasa yang
digunakan dan tujuan-tujuan praktis untuk kepentingannya. Fenomena “da’i
amplop” merupakan tanda kemerosotan nilai keikhlasan da’i dalam menyebarkan
Islam sebagai tugas suci. Ketulusan (ikhlas) merupakan salah satu prinsip moral
yang ditegaskan berulangkali di dalam al-Qur’an, sebagai sikap mental yang
harus terpancar pada setiap umat Islam maupun dalam aktivitas dakwah. Nilai
ketulusan telah menjadi sikap mental yang melekat pada diri para nabi dalam
menjalankan missi risalahnya (Safrodin, 2008: 221). Nabi Nuh as hingga
149
menegaskan ketulusan dirinya dalam berdakwah dengan menyatakan dirinya
tidak meminta dari mereka upah sedikitpun dari aktivitas dakwah yang
dilakukan, karena upahnya akan ditanggung oleh Allah swt. (Wahbah al-Zuhali,
1991: 56-57). Allah swt menegaskan dalam firmannya:
� ا��ي ا� �� هللا� � ا���ا ا��� ����ا و���م �اسء��� �����ردا� ! و� ا�
ر!�� و���' ارا&� %�� $#���ن
“Wahai kaumku saya tidak akan meminta harta benda kepada kamu sebagai upah bagi dakwahku. Upahku hanya dari Allah swt dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhannya, akan tetapi aku memandangmu suatu kaum yang tidak mengetahui” (QS.11: 29).
Diantara da’i dan mad’u juga ada yang terjebak pada kehidupan yang
bermegah-megahan, jauh dari kehidupan sederhana yang dicontohnya oleh umat
Islam jaman dahulu. Pelaksanaan adat kebiasaan syawalan diharapkan mampu
memberikan lecutan baru bagi para da’i dan mad’u di Desa Krajankulon untuk
menjaga nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh Kyai Asy’ari.
Dalam tradisi mauludan, pekan maulid, dan festival maulid, dengan
segala bentuk kegiatan yang ada di dalamnya, akan selalu memberikan dorongan
kepada para da’i dan mad’u untuk meneladani sifat-sifat Nabi Muhammad saw.
Shiddiq, amanah, tabligh, fathanah, adalah sifat-sifat dasar yang seharusnya
melekat pada diri setiap da’i dan mad’u di Krajankulon. Bagi da’i dan mad’u di
Krajankulon, keempat sifat dasar itu tidak mudah untuk diamalkan. Karena para
da’i dan tidak hanya memiliki satu peran dalam kehidupan sosialnya. Sebagian
da’i adalah pemimpin pondok pesantren, mereka juga sebagai pengurus partai
politik. Dari dua peran ini saja, cukup berat bagi mereka untuk benar-benar
150
mengamalkan sifat-sifat Nabi Muhammad saw. Pertentangan peran sosial yang
dimiliki, secara serius dapat menurunkan kredibilitas da’i di tengah-tengah
masyarakat. Pada akhirnya akan berpengaruh terhadap setiap kegiatan dakwah
yang dilaksanakan.
Nilai lain yang dapat digali dari tradisi itu adalah nilai silaturahmi dan
solidaritas sosial. Dalam tradisi weh-wehan sebagai bagian tradisi mauludan,
tradisi bubur suran, dan tradisi zakat infaq dan shodaqoh di bulan ramadhan,
akan melatih kepekaan sosial dan terjalinnya komunikasi antara da’i dengan
mad’u, antar sesama da’i dan antar sesama mad’u. Misalnya dalam tradisi weh-
wehan, masing-masing anggota keluarga akan berkunjung ke tetangga dan
saudara terdekat untuk bertukar menukar makanan khas atau jajanan tertentu. Hal
ini menjadi momentum kepada semua pihak untuk saling berkomunikasi, dan
meningkatkan tali silaturahim diantara mereka.
B. Kontribusi Pengembangan Maddatut Da’wah (Materi Dakwah)
Materi dakwah adalah ajaran Islam itu sendiri yang mecakup seluruh segi
kehidupan manusia tanpa kecuali bersumber pada kitab suci al-Qur’an, dan
Hadits. Menurut Hamka (1984: 236) materi dakwah atau topic dakwah harus
membawa mad’u untuk dekat dengan al-Qur’an, yang berfungsi sebagai
pengajaran, ilmu, tuntunan hidup, dan ideologi bernegara. Pesan dakwah yang
bersumber al-Qur’an harus dapat membangun pribadi muslim yang memiliki
identitas Islam. Akhirnya, pada diri seorang muslim aka nada nilai-nilai
sebagaimana terkandung dalam al-Qur’an. Pengembangan topik dakwah harus
mencakup semua aspek peradaban manusia. Ajaran Islam secara komprehensip
harus disosialisasikan kepada umat (Abdullah, 2012: 92).
151
Hampir sama denga pendapat Hamka, M.Natsir menjelaskan pesan
dakwah mencakup seluruh isi al-Qur’an. Tidak boleh ada yang ketinggalan atau
disembunyikan karena alasan tertentu sehingga tidak didahwahkan. Menurut
M.Natsir da’i harus menyampaikan ajaran Islam secara syumul, yaitu suatu
konsep dinamis Islam. Keduanya sependapat, bahwa perlu ada prioritas dalam
penyampaian pesan dakwah yaitu tentang keimanan. Sebab tauhid berperan
untuk memerdekakan manusia, yaitu merdeka dari kekuatan kepada selain Allah
dan hanya memperhambakan diri kepada-Nya. M. Natsir mengumpamakan
tauhid ibarat akar pada pohon. Bila akarnya kuat, maka pohon tersebut menjadi
kuat dan berbuah banyak. Pribadi muslim yang memiliki tauhid dan keimanan
yang teguh, maka akan memancarkan sinar keimanannya dalam wujud ketaatan
kepada Allah dan akhlak mulia kepada sesama manusia dan lingkungan
(Abdullah, 2012: 94).
Sebagai basis Kota Santri, materi dakwah yang disampaikan kepada
mad’u dominan berasal dari tradisi pesantren yaitu pengajaran kitab kuning.
Kitab kuning adalah buku-buku berbahasa arab yang dikarang oleh ulama-ulama
klasik, berisi kajian tentang fiqh, ushul fiqh, hadits, tafsir, tauhid, tarikh, hadits,
adab, tasawuf, akhlak (Zamakhsyari Dhofier, 1994: 20).
Pada salah satu musholla di Jln. Sawahjati yaitu Mushollah Al-
Muwahiddin, setiap hari ada pengajian kitab yaitu tafsir al-Qur’an, bulughul
marom, fathul majid, siroh nabi, al-kabair, riyadhus solihin, dan mulakhos
(Observasi tanggal 12 Mei 2013). Demikian juga di musholla-musholla lain,
termasuk di Masjid Al-Muttaqin, setiap hari ba’da subuh ada kajian kitab klasik
yang diajar oleh pengasuh Pesantren APIP (Asrama Perguran Islam dan Pelajar).
Karena dominannya materi dakwah yang bersumber pada kitab-kitab klasik,
152
menyebabkan umat Islam Krajankulon seolah banyak diajari oleh kultur dan
fatwa yang bernostalgia dengan peninggalan masa lalu. Orientasi berfikir masa
lalu ini yang menjadikan umat Islam kesulitan diajak berfikir ke masa depan
(Muhammad Fadlullah, 2004: 22).
Di dalam tradisi Islam Desa Krajankulon, yang sudah berlangsung secara
turun-temurun dan terus-menerus, telah berkontribusi untuk pengembangan
materi dakwah yang disampaikan da’i. Materi dakwah yang dimaksud antara
lain: dzikir dan sholawat, akhlak, zakat, infaq, shodaqoh, birrul walidain, taubat,
silaturrahim, puasa, nuzulul qur’an, lailatul qadr, kisah para nabi, tahun baru
Islam. Beberapa materi ini tentunya membutuhkan pengembangan yang
disesuaikan dengan konteks perubahan yang terjadi akibat globalisasi yang
melanda utamanya di desa Krajankulon. Sehingga dengan materi dakwah yang
telah dikembangkan, dapat disampaikan kepada mad’u melalui metode dan
media dakwah yang cocok. Sehingga diharapkan hasil-hasil dakwahnya semakin
kelihatan nyata.
C. Kontribusi Pengembangan Thariqatut Da’wah (Metode Dakwah)
Metode dakwah adalah cara yang dipakai oleh juru dakwah (da’i) untuk
menyampaikan ajaran agama Islam. Kejelian dan kebijakan da’I dalam memakai
metode sangat mempengaruhi kelancaran dan keberhasilan dakwah (Azis, 2005:
123). Metode dakwah meliputi : metode hikmah, metode al-mauidhah al-
hasanah (nasehat yang baik), dan metode mujadalah (metode diskusi) (Awaludin
Pimay, 2006: 46).
a. Metode Hikmah
Hikmah adalah kalimat yang umum meliputi perkataan yang didalamnya
terdapat pembangkit jiwa, wasiat kebaikan dan motivasi untuk meraih
153
kebahagiaan serta merupakan dasar-dasar adab yang paripurna. Hikmah juga
merupakan pengetahuan yang menyelamatkan pemiliknya dari jurang kesalahan
dan kebodohan dalam mengajar manusia, mensucikan serta mengarahkan
mereka. Menurut Ibnu Zaid, hikmah adalah setiap perkataan yang merupakan
nasehat kepada kebaikan atau mengajak kepada kemuliaan dan mencegah dari
kejahatan.
b. Metode al-mauidhah al-hasanah (nasehat yang baik).
Adalah perkataan yang melunakkan jiwa orang yang diajak bicara agar
siap melakukan kebaikan dan menerima ajakan. Oleh karena itu al- mauidhah
mencakup motivasi, ancaman, peringatan dengan berita gembira. Menurut M.A.
Machfud al-mauidhah Al-hasanah adalah tutur kata yang minimal tidak
menyinggung ego dan melukai perasaan hati orang lain, maksimal memuaskan
perasaan hati orang lain, baik secara sengaja atau tidak. Sedangkan Sayyid
Quthub mengemukakan bahwa al-mauidhah al-hasanah berarti menyampaikan
dakwah yang mampu meresap ke dalam hati dengan halus dan merasuk ke dalam
perasaan mereka dengan lemah lembut, tidak bersikap menghardik, memarahi
dan membuka aib atas kesalahan mad’u. Sikap halus ini pada diharapkan
mendatangkan petunjuk bagi hati yang sesat dan menjinakkan hati yang benci
serta mendatangkan kebaikan, ketimbang hardikan, kemarahan dan ancaman.
c. Metode mujadalah (metode diskusi)
Adalah metode berdakwah dengan mengutamakan pemikiran, pertukaran
pemikiran,perdebatan perbedaan ide dalam rangka mencari kebenaran,
membahas kebenaran, membahas kebenaran dari suatu perkara. Metode ini
bersifat perbincangan dua pihak atau bersifat dialogis, dan dituntut kemampuan
kedua belah pihak untuk mengemukakan alasan rasioanl tentang suatu masalah
154
sesuai dengan pengetahuan dan pandangannya. Metode ini cocok digunakan
untuk mad’u yang memiliki keangkuhan. Tidak bisa ditundukkan dengan
pandangan yang saling menolak, kecuali dengan cara yang halus sehingga tidak
ada yang merasa kalah, merasa meggurui dan harus tetap ada penghargaan harga
diri agar tidak tersinggung.
Berdasarkan pengamatan peneliti di Desa Krajankulon, kegiatan dakwah
didominasi dakwah bil-lisan yaitu suatu kegiatan dakwah dengan menggunakan
metode al-mauidhah al-hasanah (nasehat yang baik). Dakwah bil-lisan di Desa
Krajankulon, dari segi waktu pelaksanaannya dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
a) Kegiatan dakwah harian
Kegiatan dakwah harian, ada yang dilaksanakan ba’da subuh, ba’da ashar, dan
ba’da isya’.
b) Kegiatan dakwah mingguan
Kegiatan dakwah mingguan dilaksanakan pada hari kamis malam jum’at, dan
minggu malam senin. Seperti pengajian yasinan dan barzanji.
c) Kegiatan dakwah bulanan
Kegiatan dakwah bulanan merupakan kegiatan khusus, biasanya melibatkan
lebih banyak jama’ah yang diikuti gabungan dari jama’ah beberapa musholla.
d) Kegiatan dakwah musiman
Kegiatan dakwah musiman diselenggarakan khusus untuk memperingati
peristiwa sejarah Islam seperti: Maulid Nabi Muhammad Saw, Tahun Baru
Islam/Muharram, Isro’ Mi’roj, dan Nuzulul Qur’an.
e) Kegiatan dakwah tahunan
155
Kegiatan dakwah tahunan misalnya khaul KH.Asy’ari pada setiap tanggal 8
Syawal. Kegiatan ini dikenal dengan sebutan Syawalan, yang menjadi
identitas umat Islam di Desa Krajankulon pada khususnya dan Kecamatan
Kaliwungu pada umumnya.
Metode dakwah bil-lisan yang dilakukan para da’i di Krajankulon
menggunakan kajian Islam tradisional (pengajaran pesantren). Mad’u diceramahi
tentang Islam yang seharusnya, bersumber dalam teks-teks agama dan
meninggalkan kajian Islam aktual. Misalnya mad’u diajari tentang hukum
pencurian, hukum perjudian, tetapi sangat jarang diberi penjelasan tentang
bagaimana modus-modus pencurian yang modern dan canggih merajalela di
negara-negara yang menamakan dirinya sebagai negara Islam, daerah-daerah
yang berpredikat kota santri (Muhammad Fadlullah, 2004: 34-36). Ada beberapa
kelemahan motode dakwah semacam ini:Pertama, mengimplikasikan sikap dan
pandangan hidup parsialistik dan dikotomis. Kedua, umat Islam kurang peka
terhadap persoalan-persoalan empiris dan actual. Ketiga, model normative
oriented akan berakibat pada pensakralan sejarah. Umat Islam semakin lama
akan terjerumus untuk memahami sejarah Islam sebagai “sejarah suci”. Pada
ujungnya, hal-hal yang merupakan tradisi Islam dianggap sebagai sebenar-
benarnya ajaran Islam.
Tradisi Islam di Krajankulon, dapat dipandang sebagai cara atau metode
berdakwah di masyarakat. Metode dakwah yang digunakan oleh da’i, sebenarnya
tidak hanya dengan ceramah, keteladanan dan diskusi, tetapi dapat
dikembangkan dari tradisi tersebut metode-metode seperti metode infiltrasi, dan
metode home visit. Metode infiltrasi adalah metode yang dilaksanakan dengan
cara menyisipkan misi dakwah secara tersembunyi. Sehingga mad’u tidak
156
merasa digurui, atau didoktrin secara terbuka. Metode home visit yang berarti
berkunjung ke rumah. Maksudnya seorang da’i sengaja mendatangi ke rumah
mad’u untuk melihat secara nyata tentang kondisi kehidupannya. Dengan
demikian da’i akan lebih memahami tentang karakteristik mad’u sebagai bahan
untuk menentukan aktivitas dakwah selanjutnya. Selain itu mad’u akan merasa
dihargai dengan berkunjungnya da’i mereka ke tempat tinggalnya. Ikatan batin
ini akan memberikan kontribusi yang positif untuk mencapai keberhasilan
dakwah. Karena model dakwah semacam ini, yang diteladankan Nabi
Muhammad saw dalam rangka membimbing, mendampingi mad’u untuk
menyelesaikan problematikanya. Berbeda dengan pola dakwah saat ini, dakwah
yang nota benenya disalurkan melalui media-media modern seperti televisi,
radio, koran, majalah, tabloid, VCD, dan internet. Hubungan antara da’i dan
mad’u seringkali bersifat transaksional, dimana hubungan itu dominan
berdasarkan tujuan-tujuan tertentu. Sehingga ketika tujuan itu sudah tercapai,
maka hubungan antara keduanya putus. Mungkin saja antara da’i dan mad’u
tidak saling mengenal, terutama jika metode dakwah yang digunakan disalurkan
melalui media massa. Akibatnya problem-problem yang muncul setelah mad’u
menerima pesan-pesan dakwah, tidak dapat dikomunikasikan secara langsung
kepada da’i.
D. Kontribusi Pengembangan Wasilatut Da’wah (Media Dakwah)
Media dakwah adalah alat atau saluran yang menghubungkan ide dengan
umat, misalnya: Koran, majalah, bulletin, buku, televisi, radio, internet,
handphone, wayang kulit, dan berbagai bentuk karya seni. Menurut Munir
157
(2006:1) media dakwah dapat dibagi menjadi 5 yaitu melalui lisan, tulisan,
lukisan, audio visual dan akhlak.
a) Lisan adalah media dakwah yang paling sederhana yang menggunakan lidah
dan suara, dakwah dengan media ini dapat berbentuk pidato, ceramah, kuliah,
bimbingan, penyuluhan dan lain-lain.
b) Tulisan adalah media dakwah melalui tulisan, buku, majalah, surat kabar dan
sebagainya.
c) Lukisan adalah media dakwah melalui gambar, karikatur dan sebagainya.
d) Audiovisual adalah media dakwah yang dapat merangsang indra
pendengaran, penglihatan atau keduanya seperti televisi, slide, OHP, internet
dan sebagainya.
e) Akhlak yaitu media dakwah melalui perbuatan-perbuatan nyata yang
mencerminkan ajaran Islam yang dapat dilihat dan didengarkan oleh mad’u.
Pelaksanaan dakwah di Desa Krajankulon, jika dilihat dari media dakwah
yang digunakan terdiri dari media lisan, tulisan, lukisan, dan akhlak. Media lisan,
digunakan da’i untuk menyebarluaskan ajaran Islam kepada masyarakat. Media
lisan ini digunakan pada kegiatan dakwah seperti ceramah, kultum, kuliah subuh.
Media tulisan, digunakan da’i untuk menyebarluaskan ajaran Islam yang berasal
dari kitab-kitab klasik sebagai acuan utama. Misalnya kuliah subuh, da’i sengaja
membaca dan mengulas kitab klasik tertentu sesuai dengan keinginan da’i, dan
atau da’i bersama dengan mad’u. Media lukisan, digunakan para da’i untuk
menyebarluaskan ajaran agama Islam dalam bentuk kaligrafi di masjid dan
musholla.
158
Media akhlak, digunakan para da’i di Krajankulon dengan memberi
contoh nyata pengamalan ajaran agama Islam yang tidak terpisahkan dari
kehidupan da’i sehari-hari. Tetapi ada kelemahan para kyai dalam memberikan
contoh menepati waktu, dimana mereka selalu datang terakhir atau terlambat.
Menurut penuturan Mudjahirin Thohir (2001: 2-3) diceritakan pada suatu
kesempatan para tamu undangan menunggu kedatangan kyai pada acara
walimatul arusy :
“Para kyai selalu datang terakhir. Para kyai tidak khawatir kalau ketinggalan sebab acara akan dimulai justru ketika mereka sudah datang. Ketika datang, mereka dipapak banyak orang. Para peserta undangan yang sudah datang lebih awal, sebagian berdiri, mengungkapkan rasa hormatnya. Mereka bersalaman dengan mencium tangannya. Kyai mencorongkan tangannya biar benar-benar dicium tangannya. Menikmati dan mengabadikan suatu tradisi yang menguntungkannya. Sebagian undangan yang lain acuh tak acuh. Tak berminta melakukan hal yang serupa. Malahan merasa agak sebal karena menunggu terlalu lama. Yang lain lagi nggedumel karena khawatir kalau sampai terlambat untuk berangkat kerja.”
Dalam berbagai event penyelenggaraan tradisi Islam di Krajankulon,
telah memberikan kontribusi bagi pengembangan media dakwah. Artinya
berdakwah pada masyarakat Krajankulon, dapat dilakukan dengan berbagai
macam media yang dapat dipilih da’i sesuai dengan tujuan dakwah yang telah
direncanakan. Misalnya pada tradisi Festival Al-Muttaqin, digelar berbagai
macam acara seperti lomba teng-tengan, Musabaqah Tilawatil Al-Qur’an
(MTQ), lomba rebana, lomba blantenan, lomba kaligrafi, pengajian dan pemeran
budaya Islami. Dalam berbagai acara itu, media dakwah bisa berbentuk lisan,
tulisan, seni musih, dan karya seni. Penggunaan media yang berbeda-beda, akan
memberikan pengalaman yang lebih berkesan bagi mad’u. Agama tidak selalu
diarahkan untuk menyentuh dimensi pengetahuannya saja, tetapi juga bisa
159
diarahkan untuk menyentuh dimensi-dimensi keagamaan yang lain yaitu dimensi
keyakinan, dimensi pengamalan, dimensi pengalaman, dan dimensi konsekuensi.
Karena dimensi-dimensi keagamaan itu hakekatnya merupakan pintu masuk bagi
seseorang untuk mengindahkan kebenaran agama yang dipeluknya.
E. Keterbatasan Penelitian
Topik kajian yang telah dilakukan oleh peneliti, disadari memiliki ruang
lingkup yang cukup luas. Sehingga dibutuhkan perangkat metodologis yang lebih
lengkap. Peneliti menyadari jenis penelitian kualitatif yang dipilih, kurang bisa
menangkap fenomena-fenomena yang bervariasi dan tersebar di kancah
penelitian. Pendekatan sosiologis, antropologis, dan dakwah belum cukup untuk
menggambarkan fenomena secara utuh dan sistematik. Seharusnya dilengkapi
dengan pendekatan sejarah, untuk menguji kebenaran data-data sejarah yang
saling bertentangan, termasuk dapat mendeskripsikan fenomena sosial sesuai
dengan alur atau proses terjadinya suatu fenemona tertentu.