Post on 04-Feb-2018
35
BAB V
PEMBENTUKAN NIKEL LATERIT
5.1. Genesa Lateritisasi
Proses lateritisasi mineral nikel disebabkan karena adanya proses pelapukan.
Pengertian pelapukan menurut Geological Society Engineering Group Working Party
(1955) adalah proses ubahan atau rusaknya material batuan dan mineral di/dekat
permukaan bumi oleh dekomposisi kimia (chemical decomposition) dan disintegrasi
fisik (physical disintegration). Batuan dan mineral yang terubah akan menyesuaikan
diri menjadi lebih stabil dengan kondisi lingkungan barunya (Birkeland, 1974).
Proses pelapukan dapat didefinisikan sebagai proses perubahan batuan yang
terjadi akibat pengaruh langsung atmosfer dan hidrosfer (Sounders and Fookes, 1970).
Proses pelapukan menyebabkan tiga perubahan pada batuan dan mineral yaitu :
1. Hilangnya atom atau senyawa tertentu dari permukaan yang lapuk.
2. Bertambahnya atom atau senyawa khas pada permukaan yang lapuk.
3. Terurainya satu massa menjadi dua massa atau lebih, tanpa perubahan dalam
mineral atau batuan secara kimia
Pelapukan kimia merupakan proses yang mengubah secara kimia mineral-
mineral asal (origin mineral) menjadi mineral-mineral hasil ubahan (secondary
mineral), dicirikan dengan adanya perubahan warna pada batuan. Proses yang bisa
menyertai pelapukan kimia antara lain :
1. Hidrolisis yaitu reaksi yang terjadi antar mineral dengan ion air (H- dan OH-).
Proses hidrolisis menghasilkan senyawa baru dan penambahan pH. Proses ini
sangat efektif terjadi dalam pelapukan mineral silikat dan alumina silikat.
2. Oksidasi yaitu reaksi antara mineral dengan oksigen. Proses ini umum
dijumpai pada mineral yang mengandung besi dan aluminium, akan memberi
warna merah atau kuning. Oksidasi efektif terjadi pada daerah tropik dengan
intensitas hujan dan suhu yang tinggi.
3. Hidrasi yaitu penyerapan molekul air ke dalam struktur kristal suatu mineral.
Proses ini berperan dalam mempercepat dekomposisi kimia dengan cara
memperbesar struktur suatu kristal.
36
4. Pelarutan (solution) adalah reaksi yang melibatkan banyak unsur air (H2O).
Reaksi ini membentuk senyawa asam dan basa yang sangat bervariasi.
Pelarutan cenderung bertambah efektif pada daerah beriklim panas dan basah.
Pelapukan kimia merupakan proses yang mengubah struktur dalam mineral
dengan pengurangan atau penambahan unsur pada mineral tersebut, jadi batuan yang
mengalami pelapukan kimia akan mengalami perubahan komposisi mineral. Dalam
proses pelapukan, air menjadi media yang sangat penting dalam mengubah komposisi
dalam mineral. Air murni merupakan bahan yang non reaktif, tetapi kandungan
material dalam air tersebut yang menjadi bahan reaktifnya. Kandungan oksigen dalam
air akan mengoksidasi mineral atau batuan yang dilaluinya. Bila batuan yang
mengandung mineral yang kaya Fe mengalami oksidasi akan menghasilkan mineral
yang berwarna kuning sampai coklat kemerahan dengan reaksi :
4Fe + 3O2 → 2Fe2O3
Selain oksidasi reaksi kimia yang terjadi dalam proses pelapukan adalah
subsitusi ion. Reaksi substitusi ion magnesium (Mg) oleh nikel (Ni) pada mineral
serpentin akibat aktivitas air tanah sebagai berikut :
2Mg2 SiO4 (s) + 4H+ + ½O2 → Mg3Si2O5 (s) + Mg2+ (ag)
Olivin Serpentin
Mg3Si2O5 (s) + 3Ni2+ (ag) → Ni3Si2O5 (OH)4 (s) + 3Mg2+ (ag)
Serpentin Ni-Serpentin
Sehingga kandungan nikel laterit diperoleh dari hasil pelapukan secara
langsung dari mineral olivin atau secara tidak langsung dari pelapukan serpentin yang
menggantikan olivin pada batuan yang terserpentinisasi.
Berdasarkan cara terjadinya endapan nikel digolongkan menjadi 2 macam,
yaitu endapan bijih primer (sulfida) dan endapan sekunder bijih nikel laterit. Endapan
sekunder bijih nikel laterit tersebut terdiri dari 2 tipe, yaitu nickelferous iron laterite
dan nickelferous silicate laterite.
Didaerah tropis yang beriklim panas dan basah terbentuk tanah laterit, proses
lateritisasi terjadi akibat proses pelapukan kimia pada kondisi iklim lembab dengan
perioda waktu yang lama dimana kondisi tektoniknya stabil (Butt dan Zeeger, 1992).
Pada Gambar….. terlihat skema pembentukan laterit nikel pada batuan beku
ultrabasa (Darijanto, Totok,1986), proses ini diawali dari air hujan yang mengandung
CO2 akan meresap secara vertikal dari permukaan tanah hingga ke batas muka air
37
tanah, setelah mencapai muka air tanah atau zona saturasi pergerakan air lebih bersifat
lateral.
Ketika air meresap kebawah permukaan tanah, air tersebut akan melindi
mineral-mineral primer yang tidak stabil seperti mineral olivin. Mineral-mineral
magnesium, silikon dan nikel pada bagian atas lapukan akan terlindi hingga hampir
seluruh unsur tersebut akan hilang terlindi. Zona ini dinamakan zona pelapukan lanjut
atau limonit. Pada zona ini akan terjadi penurunan konsentrasi MgO, SiO serta
Al2O3, tetapi terjadi peningkatan konsentrasi Fe-oksida (Fe2O3) dengan kadar antara
60-80%, sehingga zona ini dicirikan oleh tanah yang berwarna merah.
Setelah air hujan tersebut sampai ke muka air tanah, maka tidak ada lagi
pergerakan air secara vertikal melain bergerak secara lateral dan didominasi oleh
transportasi larutan secara horizontal (Valeton, 1967). Akibat desintegrasi pada batuan
dasar, air tanah akan masuk kedalam rekahan-rekahan yang terbentuk dan
menyebabkan penjenuhan dalam pengayaan unsur-unsur yang larut selama pelindihan
(Friedrich, et al 1984), sehingga zona ini disebut zona pengayaan atau saprolit. Pada
zona ini terjadi pengendapan kembali unsur-unsur nikel, magnesium dan silikon pada
rekahan sebagai mineral lain seperti garnierit (nikel-silikat). Secara teori, pengayaan
nikel dalam bentuk nikel silikat dapat mencapai 46,2% berat dan nikel talk dapat
mencapai 36,4% (Satsuma, 1975).
38
Gambar 5.1. Skema Pembentukan Endapan Nikel Laterit (Totok Darijanto, 1999)
5.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Endapan Nikel
Laterit
Proses dan kondisi yang mengendalikan proses lateritisasi sangat beragam
dengan ukuran yang berbeda sehingga membentuk sifat profil yang beragam antara
satu tempat ke tempat lain, dalam komposisi kimia dan mineral, dan dalam
perkembangan relatif tiap zona profil. Faktor yang mempengaruhi efisiensi dan
tingkat pelapukan kimia yang pada akhirnya mempengaruhi pembentukan endapan
adalah:
39
5.2.1. Topografi
Geometri relief dan lereng akan mempengaruhi proses pengaliran dan sirkulasi
air serta reagen-reagen lain. Secara teoritis, relief yang baik untuk pengendapan bijih
nikel adalah punggung-punggung bukit yang landai. Pada daerah yang curam, air
hujan yang jatuh ke permukaan lebih banyak yang mengalir (run-off) dari pada yang
meresap kedalam tanah, sehingga yang terjadi adalah pelapukan yang kurang intensif.
Pada daerah ini sedikit terjadi pelapukan kimia sehingga menghasilkan endapan nikel
yang tipis. Sedangkan pada daerah yang landai, air hujan bergerak perlahan-lahan
sehingga mempunyai kesempatan untuk mengadakan penetrasi lebih dalam melalui
rekahan-rekahan atau pori-pori batuan dan mengakibatkan terjadinya pelapukan
kimiawi secara intensif. Akumulasi endapan umumnya terdapat pada daerah-daerah
yang landai sampai kemiringan sedang, hal ini menerangkan bahwa ketebalan
pelapukan mengikuti bentuk topografi.
Di daerah punggungan lapisan limonit lebih tipis daripada daerah lembah atau
cekungan hal tersebut karena pola aliran air tanah di punggungan cenderung divergen,
dibandingkan di lembah yang relatif konvergen. Pola divergen cenderung punya
kecepatan penurunan air yang lamban dibanding yang bersifat konvergen. Kecepatan
penurunan muka air berpengaruh pada intensitas arah pergerakan-lateral air tanah,
makin intensif pergerakan-lateral air tanah, proses “leaching” makin intensif, makin
intensif proses “leaching”, memungkinkan proses pembentukan limonit yang makin
tebal
Gambar 5.2. Pola air tanah terhadap morfologi (Freeze & Cherry, 1979, op cit Darijanto, 1999)
40
Gambar 5.3. Variasi ketebalan laterit pada variasi morfologi
5.2.2. Tipe Batuan Asal
Adanya batuan asal merupakan syarat utama untuk terbentuknya endapan
nikel laterit. Batuan asalnya adalah jenis batuan ultrabasa dengan kadar Ni 0,2 - 0,3
%, merupakan batuan dengan elemen Ni yang paling banyak di antara batuan lainnya,
mempunyai mineral-mineral yang paling mudah lapuk atau tidak stabil (seperti Olivin
dan Piroksen), mempunyai komponen-komponen yang mudah larut, serta akan
memberikan lingkungan pengendapan yang baik untuk nikel. Mineralogi batuan asal
akan menentukan tingkat kerapuhan batuan terhadap pelapukan dan elemen yang
tersedia untuk penyusunan ulang mineral baru.
Gambar 5.4. Tanah hasil pelapukan dari batuan asalnya
41
5.2.3. Struktur
Struktur geologi yang penting dalam pembentukan endapan laterit adalah
rekahan (joint) dan patahan (fault). Adanya rekahan dan patahan ini akan
mempermudah rembesan air ke dalam tanah dan mempercepat proses pelapukan
terhadap batuan induk. Selain itu rekahan dan patahan akan dapat pula berfungsi
sebagai tempat pengendapan larutan-larutan yang mengandung Ni yang menyerupai
vein. Seperti diketahui bahwa jenis batuan beku mempunyai porositas dan
permeabilitas yang kecil sekali sehingga penetrasi air sangat sulit, maka dengan
adanya rekahan-rekahan tersebut lebih memudahkan masuknya air dan proses
pelapukan yang terjadi akan lebih intensif.
Gambar. 5.5 Mineral garnierit yang mengisi rekahan-rekahan
5.2.4. Iklim
Iklim yang sesuai untuk pembentukan endapan laterit adalah iklim tropis dan
sub tropis, di mana curah hujan dan sinar matahari memegang peranan penting dalam
proses pelapukan dan pelarutan unsur-unsur yang terdapat pada batuan asal. Sinar
matahari yang intensif dan curah hujan yang tinggi menimbulkan perubahan besar
yang menyebabkan batuan akan terpecah-pecah, disebut pelapukan mekanis, terutama
dialami oleh batuan yang dekat permukaan bumi. Secara spesifik, curah hujan akan
mempengaruhi jumlah air yang melewati tanah, yang mempengaruhi intensitas
pelarutan dan perpindahan komponen yang dapat dilarutkan. Sebagai tambahan,
keefektifan curah hujan juga penting. Suhu tanah (suhu permukaan udara) yang lebih
tinggi menambah energi kinetik proses pelapukan (Butt and Zeegers, 1992).
42
5.2.5. Reagen-reagen Kimia dan Vegetasi
Reagen-reagen kimia adalah unsur-unsur dan senyawa-senyawa yang
membantu mempercepat proses pelapukan. Air tanah yang mengandung CO2
memegang peranan paling penting di dalam proses pelapukan secara kimia. Asam-
asam humus (asam organik) yang berasal dari pembusukan sisa-sisa tumbuhan akan
menyebabkan dekomposisi batuan, merubah pH larutan, serta membantu proses
pelarutan beberapa unsur dari batuan induk. Asam-asam humus ini erat kaitannya
dengan kondisi vegetasi daerah. Dalam hal ini, vegetasi akan mengakibatkan penetrasi
air lebih dalam dan lebih mudah dengan mengikuti jalur akar pohon-pohonan,
meningkatkan akumulasi air hujan, serta menebalkan lapisan humus. Keadaan ini
merupakan suatu petunjuk, dimana kondisi hutan yang lebat pada lingkungan yang
baik akan membentuk endapan nikel yang lebih tebal dengan kadar yang lebih tinggi.
Selain itu, vegetasi juga dapat berfungsi untuk menjaga hasil pelapukan terhadap erosi
mekanis.
Gambar 5.6 Pembentukan laterit yang di pengaruhi oleh iklim dan reagen-reagen kimia dan vegetasi
5.2.6. Waktu
Waktu merupakan faktor yang sangat penting dalam proses pelapukan,
transportasi, dan konsentrasi endapan pada suatu tempat. Untuk terbentuknya endapan
nikel laterit membutuhkan waktu yang lama, mungkin ribuan atau jutaan tahun. Bila
waktu pelapukan terlalu muda maka terbentuk endapan yang tipis. Waktu yang cukup
lama akan mengakibatkan pelapukan yang cukup intensif karena akumulasi unsur
43
nikel cukup tinggi. Banyak dari faktor di atas yang saling berhubungan dan
karakteristik profil di satu tempat dapat digambarkan sebagai efek gabungan dari
semua faktor terpisah yang terjadi melewati waktu dibandingkan oleh dominasi
sebuah faktor saja. Ketebalan profil laterit ditentukan oleh keseimbangan kadar
pelapukan kimia di dasar profil dan pemindahan fisik ujung profil karena erosi.
Tingkat pelapukan kimia bervariasi antara 10 sampai 50 meter per juta tahun,
biasanya sesuai dengan jumlah air yang melalui profil, dan 2 - 3 kali lebih cepat
dalam batuan ultrabasa daripada batuan asam (Nahon, 1986). Disamping jenis batuan
asal, intensitas pelapukan, dan struktur batuan yang sangat mempengaruhi potensi
endapan nikel lateritik, maka informasi perilaku mobilitas unsur selama pelapukan
akan sangat membantu dalam menentukan zonasi bijih di lapangan (Totok Darijanto,
1986).