Post on 03-Mar-2019
98
BAB IV
MASYARAKAT SIPIL DAN PENGELOLAAN KEBERAGAMAAN;
PERAN FSMD DALAM ANALISA NEGARA HUKUM, HAM DAN
CIVIL SOCIETY
Peran-peran serta upaya yang dilakukan FSMD dalam mempengaruhi
kebijakan penggunaan rumah ibadah di GITJ Dermolo, sebagaimana diuraikan
pada bab sebelumnya, menunjukkan bahwa dominasi FSMD begitu kuat dalam
usaha mengelola keberagamaan di Dermolo. Secara kasat mata, ini terlihat dari
begitu besarnya otoritas FSMD dalam menentukan nasib warga Kristen Dermolo
dalam pemenuhan hak-hak beragama mereka, yakni hak untuk dapat memiliki
tempat ibadah dan hak bebas dari ancaman agar dapat beribadah dengan tenang.
Dominasi sesungguhnya telah nampak dari semangat ataupun tujuan awal
dibentuknya FSMD, yakni sebagai alat kontrol terhadap proses pembangunan
GITJ Dermolo agar tidak menciderai ideologi mayoritas. Semangat ini kemudian
terealisasi dalam berbagai tindakan dan aksi-aksi intimidatif dan intoleran pada
warga jemaat Kristen Dermolo. Materi regulasi yang diskriminatif, serta
keberpihakan aparat Pemerintah yang selalu menggunakan opsi-opsi yang
diajukan FSMD dalam setiap pengambilan kebijakan telah menjadi alat justifikasi
untuk membatasi kebebasan beragama umat Kristen Dermolo.
Dengan dalih menjaga stabilitas kerukunan lintas agama, kebijakan yang
muncul justru lebih berorientasi pada kepentingan segelintir elit agama yang
mencatut nama mayoritas dari pada membela hak umat Kristen yang merupakan
99
korban dan minoritas lemah. Pihak Pemerintah dan Keamanan nampak tidak
bernyali ketika berhadapan dengan FSMD. Yang lebih memilukan, aparat
Pemerintah daerah kabupaten Jepara bahkan tidak dapat bertindak tegas meski
FSMD dalam aksi-aksi dan manuvernya telah bersikap otoriter, diskriminatif dan
mengarah pada kekerasan.
Dalam konteks di atas, bab ini akan menganalisis persoalan pengelolaan
keberagamaan di Dermolo yang mengakibatkan munculnya dominasi kelompok
masyarakat agama dalam perspektif negara hukum, HAM dan Civil Society.
Analisa pada bab empat ini akan menunjukkan bahwa sistem hukum yang tidak
menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila akan menyebabkan tidak berfungsinya
hukum dalam mengelola keberagamaan. Fokus analisis pada peran FSMD
memperlihatkan bahwa FSMD sebagai perkumpulan sekelompok elit agama
(agamawan) adalah perwujudan uncivil society dalam sebuah negara hukum
Pancasila karena berlawanan dengan prinsip hak asasi manusia serta mengancam
demokrasi di Indonesia.
A. Dilema Pengelolaan Keberagamaan di Negara Hukum Pancasila;
Studi Kasus GITJ Dermolo
Indonesia adalah negara hukum, para pendiri republik ini (founding
people) telah merumuskan sebuah konsep sebagaimana termaktub dalam UUD
NRI 1945 pra-amandemen, yakni penjelasan umum mengenai sistem
pemerintahan negara yang menyatakan bahwa ―Negara Indonesia ialah negara
yang berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan tidak berdasarkan kekuasaan
100
(machtsstaat).‖ Rumusan tersebut oleh Soepomo diartikan bahwa negara harus
tunduk pada hukum, peraturan-peraturan hukum dan berlaku bagi seluruh badan
serta alat-alat perlengkapan negara.1
Dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD 1945) Pasal 1 ayat (3) pasca amandemen hal tersebut ditegaskan kembali
dengan menyebutkan ―Negara Indonesia adalah negara hukum‖. Dalam sebuah
negara hukum, baik rechtsstaat maupun the rule of law menempatkan jaminan
perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta pembatasan
kekuasaan negara sebagai prasyarat utama. Karena prinsip negara hukum adalah
mengendalikan segala bentuk kekuasaan, baik kekuasaan rakyat maupun
kekuasaan negara. Maka menurut Sri Soemantri, jaminan perlindungan HAM
menjadi sebuah kewajiban dalam sebuah negara hukum agar penguasa tidak
bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya.2
Secara konsep, sistem hukum di Indonesia diadopsi dari tradisi politik di
Barat, yaitu freedom under the rule of law, namun konsep hukum di Indonesia
telah disesuaikan dengan struktur sosial masyarakat Indonesia dan bersesuaian
dengan semangat menuju Indonesia modern. Pada konteks inilah, Pancasila
diposisikan sebagai landasan identitas hukum yang berdasarkan pada nilai-nilai,
identitas dan karakteristik Pancasila, sebagaimana terdapat dalam lima sila dan
falsafah Pancasila. Maka, negara Indonesia adalah negara hukum Pancasila 3
1Teguh Prasetyo dan Arie Purnomisidi, Membangun Hukum Berdasarkan Pancasila
(Bandung: Nusa Media, 2014), 1. 2 Sri Soemantri, Bunga Rampai HukumTata Negara (Bandung: Alumni, 1992), 74.
3Prasetyo, Membangun Hukum...48.
101
Tujuan negara Indonesia sebagai negara hukum Pancasila mengandung
konsekuensi bahwa negara berkewajiban melindungi hak-hak asasi warganya,
dengan berlandaskan pada cita hukum (rechtsidee) Pancasila, seperti ketuhanan,
kekeluargaan, gotong-royong dan kerukunan. Para ahli mengidentifikasi, terdapat
dua belas prinsip atau unsur yang harus ada dalam negara hukum Pancasila,
dimana agama (ketuhanan) menjadi elemen yang sangat esensial, yang
membedakan dengan konsep negara hukum di tempat lain.4
Dalam negara hukum berdasarkan Pancasila, agama tidak diposisikan
sebagai dasar negara, melainkan negara mengambil nilai-nilai universal semua
agama dalam konstitusi, tanpa membedakan mayoritas maupun minoritas. Posisi
negara dalam hal ini adalah melayani agama bukan mencampuri urusan agama
atau keyakinan warga negaranya. Unsur atau prinsip Ketuhanan dalam negara
hukum Pancasila dimaksudkan bahwa semua agama adalah setara dihadapan
hukum dan dihadapan Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga semua warga negara
harus diperlakukan sama dihadapan hukum yang adil. Hal ini pula yang membawa
John Titaley pada suatu keyakinan bahwa Negara Pancasila adalah model terbaik
diantara bangsa-bangsa di dunia.
Dengan demikian, dalam negara hukum Pancasila, negara memiliki
kewajiban menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia sebagai
hak semua warga negara yang sah dan setara sebagai sebuah landasan yuridis
formal untuk keyakinan umat beriman. Sehingga, tugas dan fungsi negara juga
menjadi sangat jelas yakni untuk melindungi, menjamin, memfasilitasi serta
4Unsur-unsur dari negara hukum Pancasila merupakan nilai-nilai yang diramu dari
keseluruhan proses lahirnya negara Indonesia, dasar falsafah serta cita hukum negara Indonesia
102
memberi pelayanan kepada setiap warga negara untuk menjalankan setiap bentuk
praktik keagamaan secara adil dan netral. Sebagaimana diatur dalam UUD 1945,
UU No. 39/1999 tentang hak asasi manusia dan beberapa kovenan internasional
yang telah diratifikasi menjadi UU di Indonesia.
Apabila secara konseptual negara hukum Pancasila telah secara normatif
menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan warga negaranya, lalu adakah
yang salah dengan pengelolaan keberagamaan di bumi Pancasila?
Menurut Satjipto Rahardjo, dalam suatu negara hukum disyaratkan untuk
selalu menjunjung tinggi adanya sistem hukum yang menjamin kepastian hukum
dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.5 Oleh karena itu, diperlukan
suatu sistem hukum6 yang dapat menjamin dan melindungi hak-hak warga negara
termasuk di dalamnya hak kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Melihat sejauh mana sistem hukum Indonesia berjalan sesuai fungsinya,
teori sistem hukum Lawrence Meir Friedman akan digunakan dalam mengkaji
persoalan di Dermolo. Friedman mengemukakan, efektif dan tidaknya
pelaksanaan suatu hukum, tergantung pada tiga hal; pertama, substansi hukum
(legal substance); kedua, struktur hukum (legal structure); ketiga, budaya hukum
(legal culture). Struktur hukum berkaitan dengan aparat penegak hukum dan
lembaga-lembaga yang berwenang membuat dan melaksanakan undang-undang.
Substansi hukum meliputi perangkat perundang-undangan, materi dan isi regulasi.
Sedangkan budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living law) yang dianut
5Satjipto Rahardjo, Permasalahan Hukum di Indonesia (Bandung: Alumni, 1978), 11.
6Jika sistem merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari elemen yang saling berinteraksi,
maka hukum sebagai sebuah sistem merupakan suatu kesatuan utuh yang terdiri dari unsur-unsur
yang berkaitan erat satu dengan yang lain.
103
oleh masyarakat. Adapun budaya hukum menyangkut kepercayaan akan nilai,
pikiran dan harapan masyarakat.7
1. Substansi Hukum dan Problematika Regulasi Rumah Ibadah
Pada konteks kehidupan keagamaan, substansi hukum dapat diartikan
sebagai aturan-aturan yang secara teknis dan operasional mengikat semua
pemeluk agama. Apabila substansi hukum dapat mengakomodasi semua
kepentingan, maka peluang terjadinya konflik menjadi kecil. Sebaliknya, jika
substansi tersebut hanya mengakomodir kepentingan kelompok tertentu, di sinilah
konflik mendapatkan ruang persemaian.
Pada konteks polemik pendirian GITJ di Desa Dermolo, persoalan yang
ada tak bisa dilepaskan dari substansi hukum yang terkandung dalam PBM. Pada
Bab IV Pasal 13 ayat 1 disebutkan; ―Pendirian rumah ibadah didasarkan pada
keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk
bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa.‖
Selanjutnya, pada ayat 3 disebutkan; ―Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan
umat beragama di wilayah kelurahan/desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas
wilayah kecamatan atau kabupaten/kota atau provinsi.‖
Kedua ayat di atas lalu dijelaskan pada Pasal 14 ayat 2 bahwa pihak
pengusul harus memberikan daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) 90
orang pengusul rumah ibadah yang disahkan oleh pejabat sesuai dengan batas
7Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum: Pemikiran
Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan dan Bermartabat (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2012), 312.
104
wilayah setempat.8 Ketika aturan diatas dipahami dan ditafsiri oleh para pemeluk
agama secara ketat, terdapat multi-interpretasi dan tentunya kepentingan yang
berkelindan dibalik tiap interpretasi. Namun persoalan demikian tidak akan
muncul ketika aturan diatas dipahami dan ditafsiri dalam suasana pemeluk agama
yang toleran.
Dalam suasana yang tidak kondusif seperti Dermolo, dimana polemik
gereja telah ada empat tahun sebelum PBM nomor 8 dan 9 lahir, regulasi ini
justru membuat suasana semakin rumit karena baik GITJ maupun FSMD
memiliki tafsir dan kepentingan berbeda. Pihak Kristiani menyimpulkan bahwa
yang terpenting adalah sejumlah jemaat pengusul telah ber-KTP. Mereka
berargumen, bahwa dalam Kristen terdapat tradisi di mana jemaat bisa datang dari
luar daerah dan terhimpun dalam komunitas suatu gereja. Artinya, definisi jemaat
pengusul dalam tradisi Kristen adalah mereka yang terlibat secara rutin dalam
liturgi bersama meskipun dari luar daerah.
Penafsiran GITJ berbeda dengan FSMD. Ketua FSMD yang penulis temui
dikediamannya menyatakan, redaksi ber-KTP sebagaimana dimaksud di atas
adalah warga Desa Dermolo. Meskipun nama desa tidak tercantum secara
eksplisit, namun hal itu menjadi hal yang umum dan dimaklumi karena
pencantuman KTP ini berhubungan dengan tempat domisili di mana gereja itu
didirikan. Atas upaya yang dilakukan GITJ, ia menilai hal itu tak sesuai dengan
aturan yang berlaku. Ia selalu menyatakan, di luar idealitas regulasi yang ada,
terdapat serangkaian kejadian yang kemudian diduga bahwa pendirian GITJ ini
8 Peraturan Bersama Menteri Nomor 8 dan 9 tahun 2006.
105
tak semata-mata berbasis kebutuhan nyata, melainkan bagian dari misi yang
tersembunyi.
Ada dua hal paradoksal yang bisa dicatat. Pada satu sisi, GITJ membaca
PBM secara tekstual (law in books) bahwa apa yang dilakukan telah sesuai
dengan aturan yang berlaku, baik dari aspek pemenuhan jumlah tandatangan
maupun kebutuhan nyata akan gereja. Pada sisi yang lain, FSMD membaca dan
menafsiri PBM tersebut tak secara tekstual (law in action) bahwa KTP dimaksud
harus ber-KTP Dermolo. Ukuran yang dipakai ‗keumuman‘ dalam ukuran tradisi
Islam disana, bahwa anggota jamaah masjid berada dalam satu desa. Penafsiran
seperti ini muncul karena didasari oleh prasangka akan adanya isu kristenisasi.
Di sini jelas bahwa polemik terdapat pada aspek materi hukum yang
dinilai tak cukup memadai, seperti redaksi yang interpretable. Pada situasi ini,
siapakah yang paling sahih tafsirannya; apakah itu menjadi otoritas pemerintah?
Ataukah, pihak yang berpolemik juga diberi hak menafsiri? Jika yang pertama,
apakah menjamin dilakukan tanpa bias dan telah merepresentasikan kepentingan
semua kelompok? Jika yang kedua, tidakkah hal itu justru akan mengarah pada
konflik yang lebih besar? Jika dilihat, materi regulasi dalam SKB tahun 1969 dan
PBM tahun 2006 lebih banyak mengurusi hal administratif, seperti ijin pemerintah
daerah dan jumlah tandatangan. Bahkan, hal administratif ini jauh melampaui hal
lain yang lebih penting, misalnya tentang kealamiahan perbedaan agama,
kerukunan, toleransi, dan pendidikan multikulturalisme.
Premis penting dari uraian ini adalah bahwa PBM nomor 8 dan 9 tahun
2006 yang dijadikan sebagai pedoman pendirian rumah ibadah, belum menyentuh
106
ranah substantif, dan baru berkutat pada hal-hal administratif. Materi hukum lebih
didominasi oleh klausul tentang hal-hal teknis. Tingginya tingkat sensitifitas
dalam agama, menjadikan persoalan ini menjadi sulit mencapai titik temu.
Mengapa? Agama berangkat dari paradigma ideologis, sementara regulasi-
administratif bertolak dari paradigma normatif-idealis.
Evaluasi terhadap materi hukum dalam regulasi rumah ibadah baik SKB
maupun PBM adalah hal mendesak. Pluralitas agama yang sejak awal dimiliki
bangsa ini, adalah kekayaan. Maka, hal urgen yang dibutuhkan bangsa ini adalah
bagaimana keragaman agama ini dikelola. Jadi, tidak untuk menciptakan miliu
menjadi sama, tetapi menyamakan persepsi untuk membangun kebersamaan di
tengah keberagaman agama. Keberadaan regulasi yang secara komprehensif
menjamin terlaksananya hak beragama dan berkeyakinan menjadi semakin
penting. Regulasi yang dapat memberikan kepastian setiap warga negara dalam
melaksanakan haknya atas kebebasan untuk beragama dan berkeyakinan di negara
multireligi ini.
Dalam konteks negara hukum Pancasila, materi dalam regulasi harus
memuat nilai-nilai, identitas dan karakter Pancasila. Nilai-nilai dimaksud adalah
bahwa substansi hukum harus melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan
warga negara Indonesia dengan semangat egalitarianisme, toleransi, pluralisme,
kekeluargaan dan gotong royong.
Dengan landasan ini, segala bentuk kebijakan harus berpijak pada prinsip
bahwa seluruh warga negara adalah sama dan setara sehingga harus diperlakukan
secara adil dengan menegasikan tindakan diskriminasi dan kesewenang-wenangan
107
pada yang lemah. Ini juga mengandung pengertian bahwa tidak boleh ada agama
yang terlalu dominan. Karena dasar negara ini tidak berasal dari doktrin agama
tertentu, melainkan integrasi dari nilai-nilai universal dari agama-agama yang ada.
Indonesia tidak berdasar atas doktrin agama Islam, maka doktrin dan hegemoni
keislaman tak boleh mendominasi kelompok agama lain, dan seterusnya.
Regulasi rumah ibadah harus memiliki tingkat sensitifitas yang tinggi di
mana ia dirumuskan bukan untuk membela kelompok tertentu dan menindas
kelompok yang lain. Maka SKB Nomor 1 Tahun 1969 dan PBM Nomor 8 dan 9
Tahun 2006 harus disterilkan dari pasal atau ayat yang mendiskriminasikan
kelompok tertentu. Dengan semangat ini, pemerintah perlu mengevaluasi –
misalnya- persyaratan tanda tangan 90 jemaat pengusul dan 60 warga sekitar.
Pada konteks Dermolo, faktanya angka-angka ini membuka polemik baru yang
menghadap-hadapkan mayoritas dengan minoritas. Sehingga nilai-nilai
kemajemukan yang dimiliki oleh bangsa ini tak mendapatkan tempat yang
memadai.
2. Struktur Hukum dan Lemahnya Penegakan Hukum
Dalam negara hukum, pembatasan kekuasaan negara dan perlindungan
terhadap hak warga negara menjadi prasyarat yang tidak bisa ditawar. Menurut
Friedman, struktur hukum akan menentukan; bisa dan tidaknya hukum dapat
dilaksanakan dengan baik. Pada konteks GITJ Dermolo, pemerintah kabupaten
Jepara telah bertindak sewenang-wenang. Pemerintah belum mampu berdiri di
tengah memediasi pihak yang berpolemik secara berkeadilan untuk mengayomi
seluruh warganya.
108
Meskipun pihak GITJ telah memiliki IMB yang berketetapan hukum, hal
itu tak menjamin bahwa hukum ditegakkan. Bahkan, IMB kemudian dipaksa
untuk dianulir berdasarkan kesepakatan mayoritas peserta forum. Ketika pihak
Kristen mendapatkan perlakuan intimidatif dari sekelompok orang, pemerintah
tak melakukan tindakan riil untuk mencegah terjadinya kembali tindakan tersebut.
Pada akhirnya, pemerintah tak memberikan alternatif rumah ibadah selain
fungsionalisasi rumah tinggal untuk beribadah.
Hal sama juga dilakukan oleh aparat penegak hukum. Aparat kepolisian
tak berdaya menghadapi intervensi pemerintah dan FSMD. Sebagai contoh, ketika
warga Kristen hendak melaksanakan kebaktian di tengah polemik GITJ, pihaknya
minta agar aparat kepolisian bisa memberikan pengamanan. Pihak kepolisian
justru tak bersedia dengan alasan keamanan dan tekanan publik. Alasannya,
pemerintah mengeluarkan rekomendasi tentang pelarangan kebaktian di bangunan
yang masih berkonflik. Atas laporan berbagai tindakan intimidatif yang menimpa
jemaat Kristen, aparat juga tak melakukan langkah riil. Satu hal yang bisa dicatat,
ketika Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang diskriminatif, lembaga lain akan
mengikuti sebagaimana kebijakan yang telah digariskan.
Fenomena di atas menggambarkan kuatnya relasi antara ambiguitas
substansi hukum dengan problematika struktur hukum. Ketika hukum tak
menyediakan konsep yang memadai, maka struktur tak akan dapat berjalan
sebagaimana mestinya. Akibatnya, jemaat GITJ tak mendapatkan kepastian
hukum. Dengan kata lain, hukum yang problematis mendorong moralitas yang
tidak ideal. Inilah yang dimaksudkan oleh Friedman, bahwa struktur hukum tak
109
bisa menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya ketika tidak tersedia substansi
hukum yang memadai.
Pada kasus di Dermolo, ikatan emosional antara aparat pemerintah,
penegak hukum, FKUB, dan FSMD menjadi tak terelakkan. Ketika idealitas
konstitusi telah memberikan aturan meskipun tak sempurna, praktiknya hal itu tak
berjalan karena stigma-stigma terhadap kelompok tertentu muncul lebih dominan.
Di tengah perdebatan tentang PBM, isu Kristenisasi tak jarang dihembuskan di
tengah polemik GITJ. Secara alamiah, ikatan emosional sesama muslim
berkepentingan untuk bersama-sama mencegah hal itu. Di sinilah dilema yang
seringkali dirasakan aparat pemerintah dan penegak hukum antara menjalankan
konstitusi (menjamin hak beragama seluruh warga negara) atau menjaga ideologi
pribadi sebagai mayoritas (eksklusivisme).
Adanya relasi kuat antara ambiguitas substansi hukum dan psikologi
aparat Pemerintah maupun penegak hukum telah melahirkan mentalitas struktur
hukum yang tak memihak keadilan, melainkan memihak kepentingan primordial
agama. Dengan hadirnya regulasi pendirian rumah ibadah yang adil, netral dan
non diskriminatif akan dapat mencegah regulasi sosial yang diciptakan oleh
kelompok-kelompok masyarakat diluar institusi negara.
3. Budaya Hukum dan Ilusi Masyarakat Berkeadilan
Menurut Friedman, budaya hukum berhubungan dengan sikap manusia
terhadap hukum, dimana budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living
law) yang dianut oleh masyarakat. Budaya hukum menyangkut kepercayaan akan
nilai, pikiran dan harapan masyarakat. Hal ini diatribusikan pada suasana
110
pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan; bagaimana hukum
digunakan, dihindari, dan disalahgunakan.
Budaya hukum berhubungan dengan kesadaran hukum masyarakat.
Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat, maka akan tercipta budaya hukum
yang baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai pemberlakuan
hukum. Tinggi dan rendahnya kesadaran hukum masyarakat ditentukan oleh
tinggi rendahnya kewibawaan hukum itu sendiri. Kewibawaan di sini
berhubungan dengan tercipta dan tidaknya hukum yang berkeadilan. Semakin
masyarakat sadar akan tercapainya keadilan hukum, semakin tinggi pula
kepatuhannya terhadap hukum. Sebaliknya, semakin hukum tak mampu
menciptakan keadilan, maka masyarakat akan berapriori. Jadi, tingkat kepatuhan
masyarakat merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum.
Terdapat dua sikap yang berbeda dari GITJ dan FSMD yang
merefleksikan belum tercapainya keadilan hukum. Beberapa kali jemaat Kristen
menyelenggarakan kebaktian di bangunan yang masih menjadi sengketa. Salah
seorang tokoh agama Kristen Dermolo menyatakan,9 hal ini sebagai ekspresi
kejenuhan pemeluk Kristen yang tak kunjung mendapatkan kepastian hukum dari
pemerintah. Berbagai forum yang diselenggarakan, tak pernah secara serius
memberikan alternatif berkeadilan kepada pemeluk Kristen. Ketika pemerintah
mensyaratkan tandatangan dengan jumlah tertentu dan itu dipenuhi, pemerintah
tak bersikap. Alasannya, tak sesuai dengan aturan. Ketika kebaktian
9 Wawancara dengan tokoh umat Kristen Dermolo, tanggal 10 Juli 2014 di Dermolo.
111
diselenggarakan di kediaman salah satu pimpinan umat Kristiani di dukuh
Dombang, muncul larangan dengan alasan berada di sekitar wilayah konflik.
Pada sisi yang lain, sikap-sikap intimidatif dan inkonstitusional
sekelompok orang, yang membajak peran negara, tak disikapi secara arif oleh
Pemerintah. Ketika terjadi beberapa kasus insiden sebagai akibat penyikapan
FSMD secara sepihak kepada jemaat GITJ, salah satu tokoh FSMD berargumen
bahwa tindakan tersebut mereka ambil karena pemerintah dinilai lamban
melakukan penanganan. Ia menilai,10
pemerintah kurang peka dan selalu
menunggu informasi dan rekomendasi dari FSMD dalam setiap kasus yang
timbul.
Tindakan intimidatif FSMD ini sesungguhnya bertolak belakang dari
budaya hukum yang sebagian besar masyarakat anut. Masyarakat Dermolo pada
dasarnya adalah masyarakat toleran, yang terbiasa hidup dengan keseimbangan
dan harmoni meski dengan beragam perbedaan. Maka, sikap apriori yang dipilih
oleh sebagian besar masyarakat Dermolo (silent majority) menjadi bukti bahwa
budaya hukum belum ditegakkan.
Melalui perspektif Friedman di atas, polemik GITJ di Desa Dermolo
merefleksikan beberapa hal; pertama, rendahnya tingkat kepatuhan masyarakat
terhadap hukum; kedua, reduksi moralitas hukum; ketiga, apriori terhadap
pemenuhan hak bersama.
Pertama, berhubungan dengan ketidakmampuan mengartikulasikan pesan
hukum dan mengkonstekstualisasikannya dalam tataran praksis. UUD 1945 dan
10
Wawancara dengan pengurus FSMD, tanggal 13 Juli 2014 di Dermolo.
112
Pancasila telah menjamin kemerdekaan setiap warga untuk menganut agama dan
kepercayaan. Namun itu baru berlaku bagi sebagian dan tidak bagi sebagian yang
lain. Bukankah agama berhubungan dengan pilihan batiniah? Mengapa pula
agama selalu didekati dengan regulasi-regulasi administratif? Pada situasi ini,
masing-masing pihak pada posisi saling menjustifikasi pihak lain. Pihak Kristiani
menilai, pemerintah berikut pihak yang sepakat dengan kebijakannya, tidak
mentaati amanat konstitusional dalam hak jaminan beragama. Pada pihak FSMD,
pihak Kristiani dinilai bertindak inkonstitusional karena tak mematuhi aturan yang
berlaku. Ketidakpatuhan terhadap hukum ini lalu melahirkan kelompok
hegemonik dan kelompok marjinal. Pada satu sisi, kelompok FSMD dibiarkan
menghegemoni, sementara pada sisi yang lain, kelompok Kristen tak diperlakukan
secara adil, baik sebagai warga negara maupun umat beragama. Sebagai warga
negara mereka berhak dilindungi. Adapun sebagai umat beragama, mereka berhak
diberikan haknya menjalankan ibadah tanpa intimidasi.
Kedua, berhubungan dengan tidak tersedianya materi hukum yang
memadahi. Sebagaimana pada bahasan sebelumnya, penggunaan redaksi yang
interpretable dan tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila, telah membuka ruang
polemik baru. Hukum tidak hadir untuk memberikan keadilan, melainkan
mengadili. Pada situasi ini, sesungguhnya pemerintah memiliki kuasa untuk
melakukan hal tersebut. Pemaknaan inilah bentuk reduksi terhadap pesan hukum.
Jika kedua pihak tak saling menerima atas pemaknaan dan penafsiran pihak lain
tentang status pemilik KTP, siapakah yang akan menjadi mediator? Di sinilah
kewibawaan dan kekuatan hukum akan diuji.
113
Ketiga, diatribusikan kepada dampak laten dan manifes dari akumulasi
problem hukum yang ada. Ketika pihak Kristiani tak berdaya menghadapi
kekuatan pemerintah dan FSMD, tak ada pilihan bagi mereka selain menerima.
Pada sisi yang lain, pihak pemerintah tak bisa memberikan solusi efektif bagi
penyelesaian polemik ini. Inilah titik jenuh dalam pelaksanaan suatu hukum.
Pemerintah tak kunjung memberikan kepastian hukum atas pendirian gereja dan
alternatif peribadatan bagi pemeluk Kristiani. Disinilah lahir krisis kepercayaan
dari pihak Kristiani terhadap pemerintah dan penegak hukum.
4. Fungsi Hukum dan Internalisasi Pancasila
Uraian pada sub bab sebelumnya menegaskan pendapat Friedman bahwa
substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum saling berhubungan dan
mengikat. Ketika substansi hukum tak memadai untuk dijadikan sebagai landasan
pengelolaan keberagamaan, akan muncul polemik baru yang menggugat
keabsahan hukum tersebut. Dampaknya, ia tak lagi efektif menciptakan kehidupan
masyarakat yang berkeadilan karena ketiga subsistem hukum tidak berjalan.
Dengan demikian hukum harus diposisikan menurut fungsi-fungsi tertentu untuk
mencapai tujuannya agar hukum dapat berfungsi dengan baik.
Dalam konteks sosiologi hukum, fungsi hukum adalah untuk menertibkan
dan mengatur pergaulan serta menyelesaikan konflik yang terjadi dalam
masyarakat.11
Roscoe Pound berpandangan bahwa dalam hukum tercakup dua
fungsi. Pertama, hukum berfungsi sebagai rekayasa sosial (social engineering);
kedua, hukum berfungsi sebagai kontrol sosial (social control).
11
Soerdjono Soekamto, Suatu Tinjaun Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-masalah Sosial
(Bandung: PT Citra Aditya Bhakti, 1989), 274.
114
Fungsi hukum sebagai rekayasa sosial, mengandaikan bahwa hukum
sebagai sarana untuk mengadakan pembaruan agar perilaku seluruh elemen
bangsa, baik masyarakat maupun aparat negara diarahkan sesuai norma hukum
Pancasila, yakni menjunjung tinggi hak kebebasan beragama dan berkeyakinan
sebagai hak asasi manusia. Sedangkan fungsi hukum sebagai kontrol sosial adalah
hukum berfungsi sebagai sarana pemaksa khususnya bagi aparatus negara untuk
melindungi warga negara dari segala bentuk intimidasi, ancaman maupun
diskriminasi atas nama agama, karena Indonesia bukan negara agama.
Bagi Pound, kepekaan konstitusi hukum harus bertolak dari kebijakan
evaluatif terhadap hukum yang berlaku agar hukum bisa berfungsi sebagai sarana
rekayasa dan kontrol sosial. Hal ini dimulai dari kesadaran bahwa pluralitas
budaya, suku, etnis, dan agama adalah aset sekaligus kenyataan yang mendasari
pendirian Indonesia. Ini harus disadari oleh pemerintah, sehingga kebebasan
beragama dan berkeyakinan bisa diwujudkan dan semua pihak dapat diperlakukan
secara sama dihadapan hukum yang adil.
Apabila faktanya PBM No. 8 dan 9 Tahun 2006 tak lagi disemangati oleh
toleransi keberagamaan, maka harus dievaluasi. Jika terdapat kelompok-kelompok
yang melakukan tindakan intoleran dan kekerasan yang mengancam hak
kebebasan beragama dan berkeyakinan seperti FSMD, maka harus ditindak tegas.
Dengan hadirnya regulasi pendirian rumah ibadah yang adil, netral dan non
diskriminatif maka akan dapat mencegah regulasi sosial yang diciptakan oleh
kelompok-kelompok intoleran di luar institusi negara.
115
Polemik di Desa Dermolo adalah ―aquarium‖ yang menjadi gambaran
realitas umum situasi keberagamaan di Indonesia. FSMD vis a vis GITJ adalah
bukti kesalahan pendekatan yang dipilih oleh Pemerintah dalam mengelola
keberagamaan. Dilema Pemerintah untuk memilah dan memilih antara konstitusi
dan ideologi, telah mengantarkan pada tindakan sewenang-wenang, diskriminatif
dan melanggar hak asasi manusia. Pada situasi ini, dominasi kelompok elit Islam
berbendera mayoritas atas kelompok Kristiani minoritas semakin dinamis.
Dalam perspektif agama dan demokrasi, kompleksnya permasalahan di
atas merupakan sebuah ilustrasi dari ketidaktepatan memposisikan agama dalam
negara berbhineka, kurangnya kesadaran dari para pemegang kuasa bahwa
pluralitas bangsa adalah ‗nyawa‘ bagi keberlangsungan Indonesia, serta tidak
ditempatkannya hukum sebagai panglima sehingga demokrasi tidak dapat berjalan
sebagaimana mestinya. Pada konteks inilah, pada bagian selanjutnya akan dikaji
lebih dalam persoalan masyarakat sipil dan pengelolaan keberagamaan dalam
proses demokrasi di negara hukum Pancasila.
B. Masyarakat Sipil dan Pengelolaan Keberagamaan di Negara Hukum
Pancasila
Pembukaan UUD 1945 alenia ke empat, berbunyi ―melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia,
perdamaian abadi dan keadilan sosial‖. Pernyataan ini dapat dimaknai bahwa
negara hukum Pancasila, telah menjamin secara tegas terpeliharanya hak-hak
116
warga negara dalam segala aspek kehidupan. Hak-hak tersebut meliputi
terjaminnya keselamatan jiwa dan raga, kepemilikan, kebebasan berakidah,
berorganisasi, berpendapat dan lain sebagainya.
Pernyataan di atas juga menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara
dengan sistem demokrasi yang mensyaratkan adanya masyarakat sipil sebagai
wadah untuk berpartisipasi dalam mengawal, menjaga, dan mengawasi
pemerintah dengan segala kebijakannya. Dalam sebuah negara hukum yang
demokratis, negara dan warga negara harus memiliki ketundukan pada norma
hukum dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, sebagai prasyarat
terwujudnya demokrasi. Kebebasan beragama serta kebebasan berpendapat dan
berserikat adalah salah satu hak sipil yang tidak dapat diganggu gugat (non
derogable rights) oleh siapapun dan dalam keadaan bagaimanapun. Dengan
asumsi ini, dalam sebuah negara hukum Pancasila yang demokratis disyaratkan
pula sebuah masyarakat sipil yang demokratis.
Alexis de Tocqueville mencatat, dalam konteks demokrasi liberal
Amerika, masyarakat sipil adalah masyarakat yang menjunjung tinggi pluralitas,
kemandirian dan kapasitas politik. Konsep masyarakat sipil dalam pengertian ini
merupakan suatu entitas yang telah melampaui batas-batas kelas sebagai kekuatan
penyeimbang (balancing power) dalam meminimalisir kecenderungan
intervensionis negara, serta melahirkan kekuatan kritis reflektif (reflective power)
yang dapat mencegah atau mengurangi intensitas konflik di masyarakat.12
12
Alexis de Tocqueville, Democracy in America (New York: Alferd A Knopf, 1994).
117
Secara eklektik, AS Hikam –salah satu sarjana yang mempopulerkan
wacana masyarakat sipil di Indonesia- menggunakan paradigma Tocquevillian
dalam merumuskan karakteristik masyarakat sipil dalam konteks Indonesia.
Hasilnya, ia mendiskripsikan masyarakat sipil sebagai wilayah sosial
terorganisiryang berorientasi pada kepentingan publik, bersifat sukarela, otonom
dan kuat berhadapan dengan negara, berswasembada dan berswadaya namun tetap
memegang norma hukum yang berlaku sehingga tidak mengahalangi negara
dalam menjalankan peran dan fungsinya. Pada konteks ruang politik, masyarakat
sipil adalah wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan dan
refleksi mandiri, tidak terkungkung materialisme ataupun terserap dalam jaringan
politik resmi. Didalamnya tersirat pentingnya free public sphere, tempat warga
masyarakat dapat berkomunikasi dan berpublikasi secara bebas.13
Dengan merujuk pada ciri-ciri yang dikemukakan para sarjana dalam
mengkaji masyarakat sipil di Indonesia, penulis mengidentifikasi karakteristik
masyarakat sipil di negara hukum Pancasila, yang menghasilkan sepuluh prasyarat
utama yakni: 1) bersifat sukarela, swasembada dan swadaya; 2) otonom; 3)
terdapat ruang dan wacana publik yang bebas; 4) demokratis; 5) egaliter; 6)
toleran; 7) pluralisme; 8) keadilan Sosial; 9) pembatasan kekuasaan negara; 10)
terikat dengan norma hukum Pancasila.
Masyarakat sipil dalam konteks ini, dimaknai sebagai sebuah asosiasi,
organisasi, komunitas ataupun kelompok gerakan masyarakat yang mengacu pada
kepatuhan norma hukum Pancasila seperti egaliterianisme, pluralisme, toleransi,
13
M. AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society(Jakarta: LP3ES, 1997) 3-55.
118
dan tidak mencakup kelompok-kelompok yang berupaya memaksakan kehendak
melalui cara-cara kekerasan dan melanggar norma hukum. Dengan asumsi ini,
kelompok-kelompok agama yang seringkali bertindak anarki dan main hakim
sendiri tidak dapat disebut sebagai bagian dari masyarakat sipil karena
kecenderungan mereka untuk berperilaku uncivil (bertentangan dengan norma
hukum Pancasila).
1. Relasi Agama dan Demokrasi: Fenomena Masyarakat dan
Pemerintahan Tak Sipil di Dermolo
Dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia,
setiap individu dan kelompok masyarakat memiliki hak yang sama untuk
berekspresi, menyampaikan aspirasi ataupun ketidaksetujuan. Hal ini
sebagaimana tercantum dalam Pasal 28, yang menyebutkan bahwa negara
memiliki kewajiban untuk menjamin kebebasan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat bagi warganya. Akan tetapi tentunya hal itu harus
dilakukan dengan cara-cara beradab, tidak memaksakan kehendak, toleran dan
menghormati kepelbagian sebagai ciri masyarakat sipil yang demokratis.
Pada kasus Dermolo, munculnya FSMD sebagai asosiasi sosial-
keagamaan yang tujuan awalnya dibentuk sebagai wahana mengontrol kebijakan
penggunaan gereja atas dasar menjaga ideologi agama mayoritas, telah
bersebrangan dengan karakter masyarakat sipil, karena kecenderungan sikap
mereka yang otoriter, membatasi kebebasan beragama dan tidak mencerminkan
sebuah masyarakat demokratis yang beradab.
119
Ciri yang bertolak belakang ini dapat dilihat dari definisi yang diberikan
Tocqueville yang menyebutkan masyarakat sipil sebagai penyeimbang kekuasaan
negara, memperjuangkan hak-hak warga, serta mengontrol dan mengkritisi
kebijakan negara agar tidak hegemonik dan dapat melindungi kebebasan warga
negara yang sejatinya adalah pemilik negara, dan bukan justru bekerjasama
dengan negara untuk mendominasi kelompok lain demi kepentingan politisnya.
Sebagai kelompok gerakan masyarakat agama yang terlalu yakin dengan
ortodoksi pandangan keagamaanya, menjadikan FSMD bersifat eksklusif,
sektarian dan berkecenderungan memasung kebebasan beragama dan
berkeyakinan warga Kristen Dermolo dalam menikmati hak-hak sebagai warga
negara. Dan yang cukup mengkhawatirkan, dalam peran dan aksinya FSMD telah
bertindak intimidatif, sewenang-wenang, dan mengarah pada kekerasan baik
psikis maupun fisik.14
Laurence Whitehead secara lugas menyatakan bahwa berbagai bentuk
kelompok religius fundamental, tidak dapat disebut sebagai bagian dari
masyarakat sipil yang dalam terminologi modern memiliki kontribusi bagi
penegakan demokrasi. Karena bagi Whitehead, berbagai kelompok etno-religius
ekstrim serta organisasi-organisasi anti sosial lainnya termasuk dalam kategori
kelompok melawan hukum yang berada diantara masyarakat sipil dan masyarakat
14
Penolakan penggunaan gereja diiringi dengan hembusan isu dan prasangka yang
dilancarkan FSMD. Isu kristenisasi yang merupakan isu paling mewarnai dalam polemik di
Dermolo telah menjadi senjata ampuh bagi FSMD untuk mempengaruhi Pemerintah dan
masyarakat. Kecurigaan atas adanya kristenisasi menimbulkan ketegangan di masyarakat.
merenggangnya hubungan sosial antar warga Dermolo yang berbuntut pada sikap saling curiga,
bahkan konflik antaragama maupun intern agama.
120
politik.15
Dengan demikian, organisasi atau kelompok-kelompok agama semacam
FSMD masuk dalam kategori masyarakat tak sipil (uncivil society) karena tidak
bersesuaian dengan norma hukum dalam Pancasila dan prinsip-prinsip demokrasi.
Sidney Jones, menyebut kemunculan kelompok-kelompok semacam ini sebagai
―sisi gelap demokrasi‖ yang dijalankan di Indonesia.16
Dalam posisi ini, agama (truth claim) telah menjadi kekuatan yang
menghambat laju demokrasi dan bertanggung jawab terhadap munculnya
fundamentalisme yang penuh kekerasan di negara berbhineka. Akibatnya,
ketegangan (chaos) di masyarakat menjadi tak terelakkan, dikarenakan negara
tidak dapat menjadi mediator yang netral terhadap segala konflik yang ada, dan
tegas dalam melaksanakan kewajibannya untuk melindungi dan menjamin
keamanan warganya dari segala bentuk ancaman, dikriminasi, kekerasan demi
menegakkan supremasi hukum. Dalam konteks ini, otoritas negara digunakan
agamawan untuk melegitimasi dan membenarkan tindakan kesewenang-wenangan
yang absolut (despotism) dengan mengambil alih peran Pemerintah dalam
mengelola keberagamaan.
John Titaley menunjukkan bahwa agama (ekslusivisme agama) akan selalu
menjadi persoalan serius dalam menegakkan demokrasi. Selama eksklusivisme
15
Whitehead, Laurence, ―Bowling in the Bronx: The Uncivil Interstices Between Civil
and Political Society‖. Dalam P. Bunnel dan P. Calvert (ed). Civil Society and Democratization
(London: Fran Cass, 2004) 35. 16
Sidney Jones dalam penelitiannya tentang kekerasan dan terorisme di indonesia,
mengklasifikasi tiga varian kelompok agama yang ia sebut sebagai sisi gelap demokrasi. Pertama,
kelompok main hakim sendiri yang salah satunya direpresentasikan FPI, kedua, kelompok
advokasi tingkat akar rumput yang diwakili GARIS di Cianjur yang juga menjadi pendukung ISIS
di Indonesia, ketiga, kelompok transformatif yang ingin menggantikan sistem demokratik di
Indonesia dengan sistem khilafah seperti Hizbut Tahrir. Sidney Jones, Sisi Gelap Demokrasi:
Kekerasan Masyarakat Madani di Indonesia (ed.) Husni Mubarok dan Irsyad Rafsadi (Jakarta:
Pusad Paramadina, 2015), 8.
121
masih bersemayam dalam kehidupan beragama masyarakat, krisis kemanusiaan
masih akan terus terjadi di negara hukum Pancasila. Maka, mengatasi
eksklusivisme menjadi penting dalam hubungan antara agama, demokrasi dan hak
asasi manusia. Pembedahan terhadap akar eksklusivisme agama baginya
merupakan hal mendesak untuk mengetahui benar tidaknya pandangan agama--
yang eksklusif dan diskriminatif- berasal dari Tuhan seru sekalian alam (ajaran
otentik agama).17
Merujuk pada sejarah perkembangan demokrasi di Eropa, Titaley
berargumen demokrasi hanya bisa diwujudkan jika pengaruh agama dijauhkan
dari negara. Pada era konstantin yang menetapkan kekristenan sebagai agama
resmi, demokrasi mengalami kejumudan karena para raja yang berkuasa dikuasai
oleh para pemuka agama yang mendasarkan segala sesuatunya melalui legitimasi
ajaran-ajaran agama. Dan demokrasi baru berkembang secara signifikan ketika
Marhin Luther (1517) meruntuhkan kekuasaan dan kewenangan mutlak elit
agama atas negara, yang mengakibatkan berkurangnya dominasi agama terhadap
kehidupan masyarakat dan negara.18
Dengan ungkapan lain, pembedaan atau pemisahan antara otoritas negara
dengan otoritas keagamaan diperlukan agar negara tidak selalu dijadikan alat oleh
agama (agamawan), atau sebaliknya agama tidak direndahkan menjadi legitimasi
kepentingan politik dan pembenar bagi sebuah tindakan kejahatan yang
mencederai nilai-nilai kemanusiaan universal yang telah dijamin oleh DUHAM
1948. Berkaitan dengan ini, Khaled Abou el-Fadl berpendapat jika klaim bahwa
17
John A. Titaley Religiositas di Alenia Tiga, Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi
Agama-agama (Satya Wacana University Press, 2013) 18
Ibid, 11- 12.
122
wahyu Tuhan dalam teks kitab suci sebagai satu-satunya sumber hukum yang sah
dan anggapan bahwa kecerdasan manusia tidak memadai untuk mengetahui
kehendak Tuhan, hanya akan menjadikan agama sebagai alat bagi otoritarianisme
dan hambatan demokrasi. Yang itu justru merendahkan kedaulatan Tuhan.19
Hal
itu dapat dipahami karena pada posisi ini, agama akan menolak setiap pemecahan
masalah secara inklusifistik, mengabaikan realitas pluralistik serta mementingkan
dirinya sendiri (egois).
Relasi diametral antara agama dan demokrasi oleh Komarudin Hidayat,
dipaparkan dari sisi filosofis, teologis hingga sosio-historis. Secara filosofis,
keterikatan pada doktrin (klaim) agama secara total akan menggeser otonomi dan
kemerdekaan manusia, yang secara tidak langsung akan menggeser prinsip-
prinsip yang ada dalam demokrasi. Adapun secara teologis, agama bersifat
deduktif, metafisis dan selalu mencari rujukannya pada Tuhan—meski Tuhan
tidak hadir secara empiris- sementara demokrasi adalah persoalan konkrit dan
dinamis, sehingga agama tidak memiliki kompetensi dalam berbicara tentang
demokrasi. Hanya ketika agama disingkirkan, maka manusia akan lebih leluasa
dan mandiri dalam berdemokrasi.20
Dari sudut pandang historis-sosiologis, Hidayat mengamini pendapat
Titaley, jika sejarah agama memang tidak terbebaskan dari kenyataan bahwa
peran-peran agama seringkali hanya digunakan oleh para penguasa politik dan
tokoh atau pimpinan agama (mayoritas) tertentu untuk mendukung kepentingan
19
Khaled Abou el Fadl, Islam dan Tantangan Demokrasi (Jakarta: Ufuk Press, 2004), 18. 20
Komarudin Hidayat, Tiga Model Hubungan Agama dan Demokrasi dalam
―Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi‖ (ed.) Elza Peldi Taher (Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina, 1994), 192.
123
kelompoknya. Kehadiran agama selalu melahirkan pengelompokan sosial
sehingga pada gilirannya akan memunculkan paham dan gerakan sektarianisme.21
Dalam pandangan Titaley, proses demokrasi dalam negara terancam oleh
agama (eksklusivisme) karena persoalan keadilan dan penghargaan atas
keberadaan seorang manusia pada akhirnya selalu berpulang pada pemahaman
agama. Sekalipun telah dijamin konstitusi, praktik kehidupan bersama selalu
dipengaruhi oleh pandangan (klaim) agama yang konservatif ini. Akibatnya,
negara yang seharusnya bertugas menjalankan prinsip-prinsip demokrasi dan hak
asasi manusia tidak sanggup melaksanakan kewajibannya ketika berhadapan
dengan klaim tersebut, sehingga negara justru akan berkecenderungan menjadi
uncivil states.
Hal ini nampak nyata dalam rentang waktu 13 tahun terjadinya polemik di
Dermolo, eksklusivisme telah mengakibatkan Pemerintah daerah berada dalam
dilema mengelola keberagamaan di Dermolo. Pemerintah tidak memiliki
keberanian untuk menegakkan konstitusi dan menjamin implementasi hukum
karena terikat dengan doktrin dan hukum agama absolut yang disabdakan oleh
para pemuka agama (MUI, FKUB dan FSMD) yang dianggap sebagai ―wakil
Tuhan‖ di dunia. Kolaborasi antara Aparat Pemerintah tak sipil (uncivil states)
dan masyarakat tak sipil (uncivil societies) telah menyebabkan konflik
berkepanjangan. Selain menjadi alat justifikasi atas segala bentuk intimidasi dan
intoleransi, keberpihakan Pemerintah pada FSMD telah memposisikan GITJ yang
sesungguhnya adalah korban ketidakadilan, sebagai kriminal yang harus diganjar
21
Ibid.
124
dengan hukuman dan sanksi sosial atas hal yang tidak pernah terbukti dilakukan
(prasangka).
Fenomena di atas adalah potret berkelindannya otoritas negara dan otoritas
agama dalam mengatur kehidupan manusia. Agama memang tidak mungkin
terbebas dari persoalan-persoalan publik (masyarakat) dalam sebuah negara.
Agama yang dianut oleh warga negara akan berhubungan dengan sistem politik,
ekonomi dan budaya yang berkembang dalam sebuah negara. Namun, ketika
agama yang dianut dan dikembangkan adalah paham keagamaan yang eksklusif,
tidak bersedia melakukan diskusi atas realitas, maka yang terjadi adalah tragedi
kemanusiaan dan prahara. Agama kemudian justru menjadi sumber ketakutan,
keresahan dan kecemasan, khususnya bagi yang minoritas dan berbeda.
Dalam konteks masyarakat Dermolo, agama oleh para pemegang kuasa
memang lebih dimaknai sebagai organisasi sosial dari pada seperangkat nilai dan
spiritualitas. Agama bukan hanya urusan privat antara seseorang dengan
Tuhannya, tetapi juga landasan bagi sebuah tindakan sosial, budaya, ekonomi dan
politik. Konsekuensinya, terjadi tarik menarik antara agama dan kekuasaan, serta
kompetisi pada internal agama maupun antaragama. Hal ini nampak jelas terlihat
dari relasi konfliktual yang terjadi antara FSMD vs GITJ yang mengakibatkan
―mangkraknya‖ bangunan Gereja, serta konflik NU vs MD yang ditandai dengan
berakhirnya kebersamaan dalam menjalankan ibadah dalam bangunan masjid
yang sama, dengan dibangunnya masjid khusus bagi warga Muhammadiyah baru-
baru ini.
125
Kompetisi itu tentunya bertujuan untuk menghadirkan nilai-nilai dan
pandangan-pandangan keagamaanya ke ruang publik, mempengaruhi etika publik
dan untuk merebut ruang kekuasaan bagi kebesaran organisasi agamanya. Dalam
sebuah masyarakat yang demokratis, kompetisi sesungguhnya wajar dan tak
terhindarkan. Hanya saja, ketika kompetisi melebar ke arena politik kekuasaan,
yang terjadi kemudian adalah kontestasi merebut ruang publik dan pengaruh
politik yang berujung pada kekerasan oleh aktor negara (uncivil states) dan
masyarakat (uncivil society).
Dalam konteks inilah, sesungguhnya kehadiran sebuah kebijakan atau
regulasi yang adil dan dapat mempertahankan kemajemukan, menjadi sebuah
kebutuhan dalam sebuah negara hukum demokratis. Sebuah kebijakan yang tidak
saja diperuntukkan bagi perlindungan hak warga negara tetapi juga untuk
mengatur wewenang dan posisi negara ketika kompetisi berlangsung tidak
seimbang, diskriminatif dan mengakibatkan kerugian sosial bagi yang minoritas
dan menjadi korban. Pada sisi lain, diperlukan pula kesadaran para pemangku
negeri akan pentingnya menjaga dan melindungi kemajemukan bangsa yang
merupakan pondasi berdirinya republik ini, sehingga aparat Pemerintah tidak
bertindak otoriter, lebih fair dan netral dalam mengelola keberagamaan.
2. Reinterpretasi Ajaran Agama: Upaya Menumbuhkan Masyarakat Sipil
Menuju Agama Sipil
Sebagai institusi yang memiliki klaim kebenaran yang transenden dan
absolut, agama memang berpotensi menjadi faktor laten bagi bahaya disintegrasi
bangsa. Terlebih, dalam bangsa yang plural seperti Indonesia, kebenaran agama
126
yang tidak dapat menerima kehadiran agama lain sebagai kenyataan sosial telah
memunculkan undemocratic states dan undemocratic societies. Untuk
mengatasinya, yang dibutuhkkan bukan hanya demokrasi negara tetapi juga upaya
demokrasi agama.
Demokratisasi dalam kehidupan beragama menjadi sebuah keharusan yang
mutlak diperlukan, karena tanpa adanya demokrasi dalam kehidupan beragama
yang akan terjadi adalah kecurigaan kepada pemeluk agama lain sehingga
berdampak pada konflik, permusuhan bahkan perang. Upaya demokratisasi agama
dapat dilakukan dengan melakukan reinterpretasi, redefinisi dan revitalisasi dalam
konteks masa kini terhadap klaim kebenaran agama (truth laim) yang eksklusif,
mutlak dan dogmatis untuk mendapatkan makna terdalam dari kebenaran-
kebenaran tersebut dalam dunia yang plural dan terus berubah.
Reinterpretasi ajaran agama secara sungguh-sungguh akan memberikan
nuansa baru untuk menghasilkan pemahaman lebih baik dalam konteks
keberagamaan kehidupan manusia, khususnya umat beragama di zaman ini.
Kesadaran baru tersebut tidak lain adalah dunia dengan kebersamaan.
Inklusivisme yang merupakan lawan dari ekslusivisme adalah sikap kemanusiaan,
persaudaraan dan persahabatan. Ia menghendaki manusia semata-mata menjadi
manusia bukan menjadi Tuhan. Eksklusivisme mungkin saja dapat dibenarkan
jika tidak akan terjebak dalam anarkisme. Namun jaminan terhadap ini amat sulit
dikarenakan eksklusivisme lebih menekankan pada kebenaran diri sendiri dengan
berbagai cara bahkan dengan harus berbuat aniaya terhadap yang lain.
127
Secara otentik, semua agama mengajarkan nilai-nilai persamaan,
kedaulatan, keadilan dan nilai-nilai etika moral universal, Tuhan bersifat tak
terbatas, namun pemeluk agama yang memiliki pengetahuan yang terbatas
sehingga menjadikan agama dipahami secara parsial dan korup. Menurut Charles
Kimball, terdapat lima hal atau tanda yang harus diwaspadai karena bisa membuat
agama terlihat ―garang‖. Pertama, bila agama mengklaim kebenaran agamanya
sebagai kebenaran mutlak dan satu-satunya. Kedua, ketaatan buta kepada
peemimpin keagamaan mereka. Ketiga, agama ―gandrung‖ merindukan zaman
ideal. Keempat, agama membenarkan dan membiarkan terjadinya tujuan yang
membenarkan cara. Kelima, agama yang ―latah‖ memekikkan perang suci.22
Masyarakat sipil akan tumbuh dan berkembang ketika antar pemeluk
agama dengan keragaman ekspresinya masing-masing mampu mengembangkan
sikap saling percaya dan memiliki kesamaan visi dalam memberikan pelayanan
pada warga negara. Ini hanya bisa dilakukan jika agama tidak diekspresikan
dalam bentuk simbol-simbol yang formal, namun diekspresikan dalam wujudnya
yang substansial. Agama yang bergumul dengan problem kemanusiaan seperti
kemiskinan, kebodohan dan korupsi. Disinilah perlunya dasar integrasi bangsa,
yaitu suatu agama bagi seluruh rakyat Indonesia yang sifatnya umum, terbuka dan
menyatukan seluruh masyarakat Indonesia, yang oleh Robert N bellah
dipopulerkan dengan agama sipil.23
22
Charles Kimball, When Religion Becomes Evil (terj.) Kala Agama Jadi Bencana,
(Jakarta: Mizan, 2013) 23
Robert N. Bellah, Beyond Believe: Essays on Religion in a Post-Traditionalist World
(terj.) Beyond Believe: Esei-esei tentang Agama di Dunia Modern (Jakarta: Paramadina, 2000)
128
Oleh karena itu, perlu dirumuskan ―aturan main‖ atau etika di ruang publik
yang mengakomodasi semua kepentingan, mayoritas dan minoritas secara adil,
setara, terbuka dan demokratis. Ia bersifat multiagama, ras, etnik, dan budaya.
Disinilah momentum Pancasila dapat menjadi etika bersama di negara hukum
Pancasila. Sebab Pancasila meniscayakan pengakuan terhadap pluralisme dalam
semua dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam beragama.
Dengan tumbuhnya pemahaman pluralisme yang menempatkan kesetaraan dalam
kebenaran agama, akan terbangun saling percaya (mutual trust) antarumat
beragama.
Dengan demikian, dalam konteks Islam misalnya, gagasan
mereformulasikan kembali hubungan agama dan negara dalam masyarakat
pluralistik seperti Indonesia, merupakan gagasan yang berupaya mendialogkan
unsur-unsur esensial dari Syariah Islam secara kontekstual dalam tatanan
masyarakat sipil yang pluralis. Bangunan baru agama dan negara yang
berdasarkan pada pondasi yang kuat akan adanya penghormatan atas hak-hak
individu dan kelompok dalam masyarakat secara setara dihadapan hukum dan
dihadapan Tuhan Sang Maha Pencipta.