Post on 13-Mar-2019
229
BAB IV
IMPLEMENTASI MANAJEMEN DALAM PENGELOLAAN WAKAF
ALKHAIRA>T PALU SULAWESI TENGAH
A. Implementasi Fungsi Manajemen
Bentuk lembaga pengelola wakaf Alkhaira>t dilihat dari aspek perundang-undangan
wakaf di Indonesia terdiri atas tiga bentuknya, yaitu: perseorangan, organisasi, dan
badan hukum. Artinya di Alkhaira>t secara formal ketiga bentuk itu dikembangkan
bersama-sama. Merujuk pada penjelasan di bab terdahulu, diketahui bahwa bentuk
lembaga pengelola wakafnya bukan berbentuk organisasi atau badan hukum,
melainkan perorangan; maka ini menjadi sesuatu yang tidak mungkin dijelaskan
dengan pendekatan manajemen. Tetapi dalam realitasnya Pengurus Besar Alkhaira>t
dan yayasannya selalu melaporkan hal-hal yang bertalian dengan harta wakaf. Ini
dapat dipahami kalau telah terjadi kesamaran dalam pengelolaan wakafnya.
Walaupun demikian, penelitian ini tetap mengungkap sejauh mana wakaf itu ada
dan dikelola oleh Alkhaira>t.
Berdasarkan aturan perundang-undangan pengelolaan wakaf harus dikelola
dalam sebuah organisasi atau badan hukum yang bergerak di bidang keagamaan dan
sosial masyarakat (UU. No. 41/2004, pasal 10 ayat (2-3)). Pengelolaan wakaf
Alkhaira>t Palu terlihat adanya pertentangan dengan pendelegasian kewenangan
mengelola aset wakaf yang diatur dalam peraturan organisasinya. Aturan organisasi
mendelegasikan kepada yayasan sebagai pengelola wakaf; tetapi secara
administratif bukan dilaksanakan oleh yayasan tetapi justru oleh Pengurus Besar.
230
Data administrasi dan hasil pengelolaannya serta pemanfaatannya dilakukan oleh
Pengurus Besar.
Sistem tersebut melahirkan sikap apatis dan saling mengharap terhadap
tanggungjawab pengelolaan. Berdasarkan ketentuan organisasi telah diatur tentang
mekanisme hubungan lintas lembaga; tetapi hal ini tolak ukur manajemen tampak
kesimpangsiuran. Pola manajemen yang baik melahirkan hasil yang baik dan
terukur. Wakaf Alkhaira>t masih banyak yang terbengkalai dalam pendataan dan
registrasinya. Proses pengelolaannya belum memperhatikan aspek-aspek yang
berhubungan dengan manajemen.
Mencermati dan mengikuti perkembangan pengelolaan wakaf di Alkhaira>t,
maka yang menjadi kendala; antara lain: a) kurang jelasnya penentuan nazir secara
kelembagaan yang memungkinkan diangkat oleh Pengurus Besar selanjutnya
didaftarkan ke Badan Wakaf Indonesia (BWI) melalui Kantor Urusan Agama
setempat, hal ini sebagaimana amanat dalam perundang-undangan wakaf di
Indonesia; b) mereka yang diangkat selama ini menduduki posisi pada bidang
perwakafan belum memiliki kualifikasi dan kemampuan yang cukup untuk
mengelola wakaf; c) sistem pengelolaan aset kekayaan yang belum dilakukan secara
terbuka dan transparansi; d) kepercayaan publik (abna’ Alkhaira>t) yang masih
bersifat sentralistik sehingga struktur kelembagaan kurang berjalan efektif; dan e)
tidak adanya pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan pengelolaan wakaf.
Di bawah ini dijelaskan bagaimana tiga fungsi manajemen diterapkan dalam
pengelolaan wakaf Alkhaira>t:
231
1. Perencanaan (planning)
Perencanaan adalah penentuan serangkaian tindakan untuk mencapai sesuatu
hasil yang diinginkan. Adanya rencana, maka memungkinkan sebuah organisasi
dapat memperoleh atau mengikat seluruh sumber daya yang dibutuhkan guna
mencapai tujuan organisasi. Rencana yang ada juga akan dapat menjadi acuan
bagi karyawan bekerja secara konsisten mencapai tujuan. Rencana itu juga
menjadi alat monitoring bagi pelaksanaan kegiatan organisasi. Rencana
merupakan langkah awal bagi sebuah organisasi untuk menata program-program
keorganisasian sehingga apa yang menjadi tujuan dapat tercapai. Perencanaan
sebuah organisasi dimulai dari penentuan visi, misi, tujuan, dan strategi. Dengan
demikian, tanpa ada rencana maka tidak ada dasar untuk melaksanakan kegiatan
dalam rangka usaha pencapaian tujuan organisasi (Noor, 2014: 123).
Perencanaan dalam perwakafan terdapat tiga hal yang mendasar yang
perlu diperhatikan oleh nazir, yaitu: a) dari sisi proses, perencanaan merupakan
proses dasar yang digunakan untuk menetapkan tujuan pengelolaan wakaf dan
menentukan bagaimana tujuan tersebut dapat terealisasi, menentukan sumber
daya yang diperlukan, menetapkan standar keberhasilan dalam pencapaian
tujuan; b) dari sisi fungsi manajemen, perencanaan akan memengaruhi dan
memberikan wewenang pada nazir untuk menentukan rencana kegiatan
organisasi; c) dari sisi pengambilan keputusan, perencanaan merupakan
pengambilan keputusan untuk jangka waktu yang panjang atau masa yang akan
datang mengenai apa yang akan dilakukan nazir, bagaimana melakukannya,
kapan, dan siapa yang akan melakukannya (Rozalinda, 2015: 76).
232
Secara kelembagaan, Alkhaira>t mempunyai visi yaitu: ‚wadah
pemberdayaan pendidikan, dakwah, dan usaha sosial atas dasar Islam
Ahlussunnah waljama’ah‛ (Tap Muktamar, 2008, Nomor: 04, Bab III). Visi ini
tidak memberikan gambaran adanya produk yang akan dicapai dalam kurun
beberapa tahun ke depan. Padahal visi merupakan pernyataan yang
menggambarkan organisasi di masa depan dalam kurun waktu yang lama (antara
20-30 tahunan). Komponen pernyataan visi menurut Juliansyah Noor (2013:
125) dapat mencakup: seberapa besar jangkauan pekerjaan, apa yang organisasi
lakukan dan perannya, organisasi terlihat seperti apa ke depan, siapa mitra
terbesar yang dijadikan patner organisasi, dan sumber pendanaannya. Jika visi
adalah awal dari sebuah pembuatan rencana organisasi, maka visi Alkhaira>t
belum memberikan kejelasan makna dan sasaran. Walaupun demikian, dari sisi
pembuatan rencana telah dibuat oleh perhimpunan Alkhaira>t.
Misi perhimpunan Alkhaira>t adalah ‚mewujudkan masyarakat yang
cerdas melalui sistem pendidikan yang bermutu dan professional; mewujudkan
masyarakat yang berakhlak karimah melalui sistem dakwah yang professional
dan mandiri; mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera demokratis dan
berkeadaban.‛ Perumusan misi dilihat dari aspek teori perencanaan dianggap
telah terpenuhi maksud dan tujuan yang hendak dicapai dengan sasaran yang
jelas serta menginformasikan cara pelaksanaannya.
Tujuan Alkhaira>t adalah membentuk insan yang beriman dan bertaqwa,
cerdas, arif, bijaksana, bertanggungjawab terhadap pembangunan agama, bangsa
dan Negara Kesatuan Republik Indonesia guna terwujudnya masyarakat yang
aman, adil dan makmur yang diridhai Allah swt. Tujuan tersebut dari sisi
233
fungsinya telah memberikan kejelasan makna. Tujuan yang jelas dapat dijadikan
landasan operasionalisasi bagi kegiatan organisasi dan menjadi tolak ukur dalam
menilai keberhasilan strategi organisasi (Nana, 2013: 59).
Sebagai upaya merealisasikan visi, misi, dan tujuan; maka perhimpunan
Alkhaira>t dalam kurun waktu lima tahunan telah membuat program kerja dan
juga menjadi rencana strategis yang akan ditargetkan dapat tercapai. Rencana
tersebut seperti yang tertuang dalam (Tap Muktamar, 2008, Nomor: 04, Bab
IV), antara lain:
a) Program pemberdayaan organisasi; dimaksudkan agar perhimpunan
Alkhaira>t dan perangkatnya dapat melaksanakan program yang sesuai
dengan peran dan fungsinya sehingga menghasilkan kinerja yang bermutu,
efektif, efisien, dan terbentuknya program terpadu yang dilaksanakan oleh
semua organisasi dan lembaga perangkat Alkhaira>t. Tercapainya agenda
tersebut, maka dibuatlah kegiatan-kegiatan yang bersifat praktis.
Pemberdayaan organisasi dianggap sesuatu yang penting oleh pengurus,
sehingga ini perlu untuk diprogramkan karena menjadi strategis dalam
upaya pencapaian misi dan tujuannya.
b) Penerapan teknologi informasi; program ini bertujuan untuk tercapainya
pemanfaatan teknologi informasi oleh seluruh jajaran pengurus dan warga
Alkhaira>t secara baik dan benar guna dapat mengakses informasi lokal
maupun global. Disadari bahwa peran teknologi begitu besar, maka perlu
diprogramkan karena dengan penguasaan teknologi informasi yang baik
akan mendorong tingkat komunikasi lebih cepat; dan ini menjadi strategis
bagi upaya membangun kerjasama dengan berbagai pihak.
234
c) Pemberdayaan ekonomi umat; dimaksudkan berlangsungnya distribusi
ekonomi secara adil dan merata dan meningkatnya kesejahteraan umat.
Masalah ekonomi dalam sebuah organisasi ataupun lembaga merupakan
sesuatu yang sensitive dan prinsipil. Oleh sebab itu, pengurus Alkhaira>t
menganggap ini harus ditata dan diberdayakan agar tidak terjadi
kesenjangan dalam sistem distribusi ekonomi di lingkungan organisasi dan
berusaha memantapkan perekonomian organisasi sehingga dapat
meningkatkan kesejahteraan pengurus dan juga kepada umat. Ahmad
Aljufri (wawancara, 2012) mengatakan bahwa kebutuhan belanja
perhimpunan Alkhaira>t sangat besar, sehingga perlu adanya penataan yang
menjadi sumber-sumber perekonomiannya.
d) Penataan dan peningkatan kualitas pendidikan; sebagai organisasi yang
mengelola pendidikan selalu diperhadapkan dengan beragam masalah
ataupun kondisi yang selalu berbeda-beda; jika pengelolaan pendidikan
tidak ditata sedemikian rupa sesuai dengan perkembangan yang terjadi,
maka organisasi ini lambat laun akan ditinggalkan oleh masyarakat.
Disinilah program penataan dan kualitas pendidikan dipandang sesuatu
yang strategis untuk tetap melahirkan simpati masyarakat terhadap input
dan output pendidikan yang dikelola Alkhaira>t. Salim D. Masuka
(wawancara, 2012) menjelaskan bahwa kemajuan pendidikan dewasa ini
sangat cepat, kondisi ini membutuhkan perhatian dan kecekatan segenap
pengurus Alkhaira>t untuk selalu memperbaiki sistem yang selama ini
digunakan sehingga pendidikan Alkhaira>t tetap eksis di tengah kemajuan
teknologi.
235
e) Mobilisasi dana dan pengelolaannya; untuk melahirkan kemampuan
menghilangkan kesenjangan distribusi ekonomi dan meningkatkan
kesejahteraan seperti dikemukakan sebelumnya, maka harus ada upaya
mobilisasi sumber dana yang dapat memberikan penerimaan pendapatan
organisasi. Usaha tersebut juga harus diikutkan dengan sistem pengelolaan
yang sesuai ketentuan pengelolaan keuangan. Kemapanan dana sebuah
organisasi akan menentukan keberlangsungan dan kualitas pengelolaan
organisasi. Karena itu, upaya mobilisasi dana menjadi strategis dan perlu
dijadikan landasan program kerja organisasi.
Rencana strategi yang telah diprogramkan oleh Alkhaira>t, nampaknya
belum secara utuh menunjukkan rencana yang baik disebabkan belum adanya
realisasi rencana operasional yang lebih menampilkan bagaimana setiap program
yang ada direalisasikan dalam bentuk kegiatan nyata. Operasionalisasi dimaksud
mengikutsertakan kebutuhan belanja pada setiap pelaksanaan kegiatan. Adanya
alokasi sumber daya yang mencakup anggaran (keuangan), manusianya, dan
teknologi yang digunakan untuk mendukung kelancaran jalannya program.
Dilihat dari aspek tahapan penyusunan rencana yang ideal; maka
perhimpunan Alkhaira>t telah menerapkannya yang tergambar melalui tujuan
organisasi, kemudian adanya analisis potensi dan ancaman secara internal dan
eksternal; yaitu:
1) mengangkat sumber-sumber yang menjadi kekuatan bagi perhimpunan dalam
mengembangkan organisasi, misalnya: Alkhaira>t memiliki jama’ah (abna’)
yang tersebar di seluruh pelosok tanah air bahkan di luar negeri; lembaga
pendidikannya yang berupa madrasah dan pondok pesantren menjadi basis
236
Alkhaira>t tetap eksis mempertahankan khasanah keilmuan; dan lain-lainnya.
Semua ini merupakan sumber kekuatan yang harus dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya agar Alkhaira>t mampu menunjukkan keberlangsungan
hidupnya.
2) mencermati kondisi yang menjadi kelemahan bagi perhimpunan Alkhaira>t,
sehingga melahirkan upaya antisipasi lebih awal, misalnya: mengakui masih
adanya kesenjangan antara program kerja dengan pelaksanaannya yang
diakibatkan karena lemahnya sikap profesionalitas dan manajemen
organisasi; lemahnya sistem rekruitmen dalam proses kaderisasi oleh
pengurus; dan sebagainya. Lahirnya kesadaran terhadap kelemahan itulah,
dibuat program yang dapat meminimalisir mencuatnya kelemahan tersebut
yang mengakibatkan rendahnya nilai aktifitas organisasi di hadapan
masyarakat (publik).
3) menampilkan hal-hal yang menjadi peluang bagi pengembangan
perhimpunan; misalnya: adanya kecenderungan dunia internasional
mendukung berkembangnya pengetahuan masyarakat sipil dan memberikan
peluang bagi Alkhaira>t untuk mengenbangkan berbagai disiplin ilmu dalam
pendidikannya; adanya kebebasan berpolitik bagi setiap warga negara untuk
menentukan pilihannya menempatkan Alkhaira>t pada posisi strategis dan
memiliki daya tawar yang tinggi; dan sebagainya.
4) mengungkap hal-hal yang dapat menjadi ancaman bagi keberlangsungan dan
pengembangan perhimpunan; misalnya: modernisasi dan globalisasi telah
membawa nilai-nilai baru yang mempengaruhi moralitas, perilaku dan
idiologi yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam ahlu al-sunnah wa al-
237
jama’ah; globalisasi pendidikan menyebabkan terbukanya peluang masuknya
lembaga pendidikan asing di dalam negeri; dan lain-lainnya (Tap Muktamar,
2008, Nomor: 04, Bab II).
Konsep inilah yang menjadi landasan atas perumusan rencana-rencana
organisasi. Inti dari tahapan penyusunan rencana adalah: menetapkan tujuan,
merumuskan kondisi yang terjadi, mengidentifikasi kemudahan dan hambatan,
serta mengembangkan rencana (Bangun, 2008: 78-79).
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Alkhaira>t telah membuat
perencanaan yang sesuai standar manajemen; yakni: telah menetapkan visi, misi,
tujuan; mendasarkan pada tahapan penyusuan rencana dengan memanfaatkan
potensi dan ancaman internal ataupun eksternal; dan telah berupaya
mengaplikasikan visi, misi, tujuan organisasi ke dalam rencana strategi. Hanya
saja, rencana dimaksud masih membutuhkan rencana operasional dan ini belum
disusun sedemikian rupa sesuai dengan program-program pengembangannya.
Akibatnya tidak diketahui lebih lanjut metode atau cara yang tepat untuk
melaksanakan rencana yang ada secara praktis; demikian juga anggaran
operasional pada setiap bagian dari rencana program organisasi.
Adapun yang berhubungan dengan pengelolaan wakaf, secara langsung
dapat dikatakan belum mengikuti kaidah atau ketentuan dalam pembuatan
perencanaan. Mungkin saja, karena wakaf tidak dikelola secara mandiri dalam
sebuah organisasi atau badan hukum; yang bertanggungjawab mengelola
wakafnya Alkhaira>t bukan pada organisasi atau badan hukumnya, tetapi berada
pada orang secara pribadi yang ditunjuk oleh wakif menjadi nazir; peran dan
kedudukan pengurus besar atau yayasan hanyalah administrator atas dokumen
238
wakafnya. Oleh sebab itu, uraian visi, misi, tujuan, dan sebagainya tidak
menyebutkan wakaf di dalamnya melainkan visi perhimpunan secara
keseluruhan. Walaupun demikian, dalam laporan-laporan Pengurus Besar dan
yayasan selalu memasukan masalah wakaf, maka hal itu mengindikasikan
adanya upaya memanfaatkan potensi wakaf untuk mendukung pengembangan
perhimpunan.
Wakaf telah menjadi agenda yang tidak pernah luput dari perencanaan
program perhimpunan. Perencanaan dimaksud mencakup: upaya meningkatkan
pelaksanaan inventarisasi wakaf; meningkatkan akta ikrar wakaf dan sertifikasi
tanah wakaf; menyusun sistem pengelolaan wakaf; melakukan pembinaan; dan
menyelesaikan wakaf-wakaf yang masih bermasalah. Program ini merupakan
perencanaan dalam pengelolaan wakaf Alkhaira>t, tetapi uraian tentang aset
wakaf sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya belum terealisasi sesuai dengan
yang direncanakan itu. Program dimaksud selalu ditampilkan pada setiap periode
kepengurusan. Program yang ada juga belum menyentuh dan menyebutkan
sistem penggalangan, meningkatkan jumlah harta wakaf, meningkatkan manfaat
hasil wakaf melalui kegiatan produktif, dan sebagainya.
Bila program kerja dalam bidang wakaf salah satunya adalah melakukan
pembinaan, maka ini program akan sulit dilaksanakan sebab yang ditugasi
mengurus wakaf hanya ada satu orang saja dan sistem kerjanya merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari bidang pembangunan, wakaf dan
perlengkapan di Sekretariat Jenderal Pengurus Besar. Sistem tata kerja pengelola
wakaf berada pada kendali Sekretariat Jenderal, sehingga proses pembinaan
menjadi sesuatu yang tidak efektif.
239
Konsep program kerja yang telah direncanakan oleh Pengurus Besar, jika
merujuk pada syarat kelayakan perencanaan yang dijelaskan oleh Syaifullah K
yang dikutip Nana Herdiana (2013: 57) baru memenuhi tiga syarat dan dua
syarat lainnya belum dapat terpenuhi. Syarat-syarat dimaksud adalah: 1) faktual
atau realistis artinya segala hal yang dirumuskan perusahaan sesuai dengan fakta
dan wajar untuk dicapai dalam kondisi tertentu yang dihadapi perusahaan; 2)
logis dan rasional artinya apa yang dirumuskan itu dapat diterima oleh akal
sehingga rencana memungkinkan untuk dilaksanakan; 3) fleksibel artinya
perencanaan tidak kaku dengan segala perubahan yang dapat saja terjadi; 4)
komitmen artinya seluruh anggota yang ada dalam organisasi itu secara
bersama-sama membangun keinginan mewujudkan apa yang menjadi tujuan
organisasi;1 5) komprehensif artinya program yang ada mengakomodasi secara
menyeluruh aspek-aspek yang dipandang mempunyai keterkaitan baik langsung
maupun tidak langsung. Tiga syarat dimaksud adalah syarat pertama sampai
ketiga, tetapi syarat keempat belum memberikan tanda adanya komitmen dari
seluruh unsur dalam perhimpunan; demikian juga pada syarat kelima
komprehensif ini belum tergambar yang mempunyai hubungan terhadap
pelaksanaan program tersebut dengan aspek lainnya. Lebih lanjut Nana Herdiana
(2013: 58) menulis pendapat Didin Hafidhuddin bahwa kelayakan (visibility)
perencanaan itu mencakup orang yang melakukan atau mengerjakan program
dan sesuatu yang hendak dikerjakan.
1 Komitmen dalam menjalankan program atau perencanaan secara bersama-sama merupakan
bagian dari konsep manajemen Henry Fayol seperti dikutip Handoko (2003: 46-47; Usman, 2010: 29)
yakni disiplin maksudnya harus ada respek dan ketaatan pada peranan masing-masing dan tujuan
organisasi; dan esprit de corps atau semangat korps yakni ‚kesatuan adalah kekuatan‛, melaksanakan
program organisasi perlu memiliki rasa bangga, setia, dan rasa memiliki terhadap organisasi dan
programnya.
240
Rencana yang baik apabila didasarkan pada keyakinan bahwa sesuatu
yang diprogramkan itu adalah baik. Baik dimaksud yaitu mengikuti konsep
ajaran agama; sesuai dengan apa yang diperintahkan atau dianjurkan, bukan
sesuatu yang dilarang itu yang dibuat dalam bentuk perencanaan kerja. Jika yang
diprogramkan itu adalah wakaf, maka kebaikan itu harus mendasarkan pada
ketentuan wakaf sebagaimana tercantum dalam hukum-hukum wakaf. Rencana
yang baik itu juga harus memberi manfaat yang banyak bagi pembuat rencana
dan masyarakat umum, bukan hanya semata-mata untuk kepentingan
perorangan; jadi prinsip meletakkan kepentingan pribadi di bawah kepentingan
umum menjadi prioritas2. Rencana yang baik pula adalah rencana yang disusun
berdasarkan pada ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan apa yang menjadi
program kerja nanti. Rencana yang baik juga didasarkan pada hasil studi
perbandingan dari kesuksesan organisasi lain yang sejenis mengelola program
yang sama; atau apa yang menjadi pengalaman pihak lain yang dianggap sukses
menjadi bagian dari proses pembuatan rencana. Rencana yang baik juga
dipikirkan bagaimana nanti prosesnya untuk dapat dilaksanakan seperti yang
telah diprogramkan itu (Nana Herdiana, 2013: 64-65).
Rencana dalam bidang pengelolaan wakaf belum dapat diukur sesuai
teori yang ada, disebabkan wakaf tidak dikelola oleh organisasi otonomnya
perhimpunan Alkhaira>t seperti badan-badan otonomnya yang lainnya. Badan
otonomnya mempunyai program tersendiri sesuai jenis organisasinya, demikian
juga memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya. Sementara wakaf
2 Meletakkan kepentingan perseorangan di atas kepentingan umum atau organisasi adalah salah
satu prinsip manajemen dalam mengelola organisasi; jadi kepentingan pribadi harus tunduk pada
kepentingan organisasi. Prinsip ini adalah konsep yang dibuat oleh Henry Fayol seperti dikutip Handoko
(2003 : 46).
241
masih berada di bawah sekretariat jenderal Pengurus Besar. Kondisi ini telah
memberikan implikasi negatif pada penerapan fungsi-fungsi manajemen lainnya.
2. Pengorganisasian
Di dalam teori manajemen, pengorganisasian itu merupakan suatu proses yang
dilakukan oleh manusia untuk merancang struktur formal sehingga melahirkan
struktur oraganiasi yang dapat melaksanakan kegiatan keorganisasian.
Pengorganisasian itu ditujukan agar adanya perincian pekerjaan yang harus
dikerjakan untuk mencapai tujuan organisasi; adanya pembagian kerja dan
wewenang; dan pengembangan mekanisme untuk dapat dikoordinasikan oleh
seluruh anggota dalam organisasi (Handoko, 2003: 168; Nana Herdiana, 2013:
76-77; Boone, 1984: 6)3. Pengorganisasian akan melihat bagaimana organisasi
itu mempunyai struktur pengurusnya, tugas pengurus, hubungan antara setiap
unit dalam organisasi.
Alkhaira>t merupakan sebuah perhimpunan besar yang terdiri atas
beberapa organisasi dan lembaga-lembaga. Ada organisasi induk yaitu Pengurus
Besar; ada badan hukumnya yaitu Yayasan Alkhaira>t; ada organisasi otonom
dan lembaga otonom. Hal ini telah diuraikan keseluruhan pada bab sebelumnya.
Dilihat dari aspek penetapan struktur keorganisasian, semua jenis organisasi dan
badan hukumnya telah tersusun struktur pengurusnya secara sempurna; di mulai
dari tingkat pusat sampai di tingkat ranting. Misalnya untuk struktur di
Pengurus Besar terdiri: 1) Ketua Umum dan unsur-unsur Ketua lainnya; 2)
Sekretaris Jenderal dan unsur wakil-wakilnya; 3) Bendahara Umum dan wakil-
3 Jika menggunakan pemikiran Hendry Fayol seperti yang dikutip oleh Handoko (2003: 46-47),
maka sistem pembagian kerja, adanya wewenang, kesatuan perintah dan pengarahan, serta garis
wewenang sebagai prinsip manajemen akan dapat diterapkan dalam pengelolaan organisasi.
242
wakilnya; 4) Majelis-majelis yang terdiri atas: majelis pendidikan, majelis
dakwah, dan majelis organisasi. Semuanya telah terisi yang menduduki tugas
dan jabatan tersebut (Tap. Muktamar, No. 08/2008). Kemudian pada organisasi
dan lembaga otonomnya perhimpunan Alkhaira>t juga telah tersusun seluruh
struktur sesuai hasil keputusan musyawarah masing-masing organisasi.
Selanjutnya, untuk pengurus tingkat wilayah (Komwil), tingkat daerah
(Komda), tingkat kecamatan (Pengcab), dan tingkat ranting (Pengrat) pun telah
tersusun sesuai formasi struktur pada masing-masing tingkatan pengurus. Uraian
yang ada dapat dikatakan bahwa Alkhaira>t sebagai organisasi telah
mengaplikasikan fungsi pengorganisasian dalam penentuan orang-orang yang
duduk dalam struktur keorganisasian. Penempatan orang sebagai penggerak
organisasi dalam sebuah struktur oganisasi Alkhaira>t telah terlaksana.
Adapun yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan aset
wakaf sebagaimana dijelaskan di atas; belum terbentuk dalam struktur pengurus
yang dapat dikatakan sebagai implementasi fungsi pengorganisasian. Alasannya
bahwa pengelolaan wakaf Alkhaira>t berada dalam kendali Sekretariat
Jenderalnya. Sekretariat Jenderal Pengurus Besar merupakan satuan pendukung
dan motor kegiatan PB. Alkhaira>t dalam melaksanakan kegiatan administrasi
keorganisasian. Susunan perangkat sekretariat jenderal terdiri atas: bidang
administrasi umum; bidang organisasi dan hubungan masyarakat; bidang
program, pendataan, dan pelaporan; dan bidang pembangunan, wakaf dan
perlengkapan (PO> No. 04/2009, pasal 21). Bidang-bidang ini mempunyai
struktur masing-masing yang berbeda jumlahnya antara satu dengan lainnya.
Khusus bidang pembangunan, wakaf dan perlengkapan susunan personilnya
243
terdiri atas 5 (lima) orang; ketua bidang, seksi pembangunan, seksi wakaf, seksi
perlengkapan, dan satu orang staf.
Dilihat dari aspek pembagian tugas dalam struktur organisasi; untuk
tingkat Pengurus Besar telah diuraikan melalui Peraturan Organisasi Nomor:
04/PO-PBA/2009, tentang Tata Kerja Pengurus Besar Alkhaira>t. Tugas
struktural di Pengurus Besar sebagai contoh dapat digambarkan pada Ketua
Umum dan Sekretaris Jenderal: 1) Ketua Umum mempunyai tugas: (a)
memimpin, mengatur dan mengkoordinasikan pelaksanaan kebijakan Pengurus
Besar Alkhaira>t khususnya yang menyangkut tugas-tugas harian PB. Alkhaira>t;
(b) mengatur dan mengkoordinasikan pembagian tugas di antara Pengurus Besar;
(c) memimpin rapat-rapat di tingkat Pengurus Besar. 2) Sekretaris Jenderal
mempunyai tugas: (a) membantu Ketua Umum dan unsur Ketua-ketua dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya masing-masing; (b) memimpin dan
mengkoordinasikan Sekretariat Jenderal; (c) bersama wakil-wakil sekretaris
jenderal, bendahara dan wakil-wakil bendahara mengusahakan dan melengkapi
perangkat pendukung Sekretariat Jenderal; (d) mengatur dan mengkoordinasikan
pembagian tugas di antara wakil-wakil sekretaris jenderal (PO. 04/2009, pasal: 8
& 10).
Seluruh pengurus, mulai dari tingkat pusat sampai tingkat ranting secara
struktural telah ditetapkan tugas masing-masing sesuai tingkatannya dalam
sebuah peraturan organisasi yang di keluarkan oleh Pengurus Besar dengan
Nomor: 04/PO-PBA/2009. Berdasarkan keputusan tersebut, maka fungsi
pengorganisasian dari manajemen telah direalisasikan di tingkat pengurus
244
perhimpunan. Oleh sebab itu, secara formal Alkhaira>t dalam menjalankan roda
organisasi telah memperhatikan pentingnya fungsi pengorganisasian.
Sementara yang berhubungan dengan sistem koordinasi juga telah diatur
dalam sebuah Peraturan Organisasi dengan Nomor: 03/PO-PBA/2009 tentang
Tata Hubungan Kerja Organisasi-organisasi dalam Perhimpunan Alkhaira>t.
Peraturan ini mengatur mekanisme hubungan antara pimpinan tertinggi (Ketua
Utama) dengan seluruh organisasi di lingkup perhimpunan; hubungan antara
organisasi satu dengan lainnya dalam lingkup perhimpunan. Tetapi secara formal
juga belum di atur mekanisme hubungan antara unit-unit kerja dalam satu
organisasi atau antara pegawai/karyawan dengan atasan atau sesamanya.
Simpulnya bahwa pembagian tugas kerja, pembentukan bagian atau unit-
unit kerja dalam organisasi, serta sistem koordinasi sebagai standar fungsi
organizing dalam manajemen untuk lingkup perhimpunan Alkhaira>t telah dibuat
dalam bentuk peraturan organisasi. Adanya ketentuan ini memberikan kejelasan
setiap orang dalam perhimpunan itu untuk melaksanakan tugasnya. Wilson
Bangun (2008: 85) menjelaskan bahwa kegiatan pengorganisasian merupakan
proses manajerial berkelanjutan. Yang dilaksanakan dengan empat tahap, yaitu:
adanya pembagian kerja (tugas), departementalisasi, rentang kendali, dan
koordinasi. Keempat tahap dimaksud, untuk tingkat pengurus Alkhaira>t pada
umumnya telah diterapkan.
Terkait dengan pengelolaan wakaf belum menunjukkan adanya sistem
yang diatur secara khusus dalam organisasi, misalnya adanya lembaga kenaziran;
padahal pengorganisasian itu termasuk aspek penting yang semestinya ada, agar
tujuan organisasi dapat dengan mudah dicapai. Pembentukan lembaga kenaziran
245
merupakan bagian dari perancangan dan pengembangan suatu organisasi atau
kelompok kerja yang dapat membawa ke arah tujuan yang diharapkan4.
Proses pengorganisasian pengelolaan wakaf Alkhaira>t jika mendasarkan
pada penyebaran madrasah dan wilayah kerjanya, maka menjadi sebuah program
yang harus dilakukan. Pengorganisasian itu merupakan penggabungan sumber
daya manusia dan bahan melalui struktur formal antara tugas dan kewenangan
(Steers, 1985: 30). Aset wakaf yang telah ada dan potensi pengembangannya
sangat besar serta adanya sumber daya manusia yang telah tersebar di berbagai
tempat menjadi dasar utama melahirkan struktur organisasi yang terpisah dari
struktur organisasi Pengurus Besar.
Hal ini bertujuan agar pengelola wakaf dapat menentukan aktifitas
kerjanya dan rencana dapat diimplementasikan mencapai tujuan; menyerahkan
sebagian kerja pada posisi sumber daya manusia yang sesuai spesifikasinya;
mengkoordinasikan aktifitas kerja dari setiap kelompok kerja; dan melakukan
evaluasi hasil dari proses pengorganisasian5
; tetapi kenyataan yang ada
menunjukkan bahwa sistem ini tidak dapat dilaksanakan disebabkan oleh
kewenangan pengelolaan wakaf bukan di lembaga nazirnya melainkan pada
struktur sekretariat jenderal Pengurus Besar6
. Di sisi lain, proses
pengorganisasian pengelolaan wakaf Alkhaira>t belum dapat terlaksana karena
nazirnya bukan pada organisasi Pengurus Besarnya melainkan pada orang
4 Alkhaira>t sebagai lembaga berbasis keagamaan, tentunya pembentukan organisasi dengan
berbagai konsekuensinya tidak sia-sia tetapi karena ada landasan yang berakar dari al-Qur’a>n surah al-
S{a>ff ayat (4): ‚Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang
teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh‛. 5
Handoko (2003: 168-169) menjelaskan bahwa proses pengorganisasian dilakukan dengan
prosedur yaitu: perincian seluruh pekerjaan yang harus dilaksanakan, melakukan pembagian kerja secara
logis, dan pengembangan suatu mekanisme untuk mengkoordinasikan pekerjaan anggota organisasi. 6 Lihat: Struktur perhimpunan Alkhaira>t pada bagan I, II, dan III di bab III
246
perorang yang ditunjuk secara langsung oleh wakif.7 Kondisi ini menjadi kurang
tepat ketika Pengurus Besar mengurus dan menempatkan pengelolaan wakaf
dalam sistem keorganisasiannya.
Tanpa melihat dan menggunakan pola manajemen yang mengelompokan
bentuk-bentuk organisasi yang terdiri atas: organisasi fungsional, organisasi
matriks, organisasi piramid, dan lain-lain; upaya pembentukan organisasi
pengelola wakaf bagi Alkhaira>t adalah bagian dari program yang seharusnya
direalisasikan, sehingga pengelolaan wakaf dapat terorganisir dengan baik. Oleh
karena itu, khusus pengelolaan wakaf belum dapat diukur penerapan fungsi
organizing dari manajemen. Jika organizing itu menentukan tugas kerja bagi
setiap orang dalam struktur organisasi, membagikan tugas-tugas ke dalam unit-
unit, membuat perhitungan berapa banyak tenaga yang dilibatkan, serta
membuat sistem koordinasi; maka sesuai hasil penemuan data di Sekretariat
Jenderal Pengurus Besar ternyata pengelolaan wakaf tidak terimplementasikan
fungsi organzing tersebut.
3. Pengawasan
Pengawasan dimaksud adalah penemuan dan penerapan cara serta peralatan
untuk menjamin bahwa rencana telah dilaksanakan sesuai dengan yang telah
ditetapkan. Pengawasan itu upaya yang dilakukan seseorang di berbagai bidang
berkaitan dengan administrasi dalam bentuk pengarahan kebijakan jalannya
organisasi (Depdikbud, 1995: 68). Pengawasan itu sesuatu yang penting
disebabkan untuk mengetahui perubahan yang terjadi di lingkungan organisasi;
peningkatan kompleksitas; mengetahui kesalahan yang terjadi; dan mengetahui
7 Lihat: Lampiran data buku catatan tanah wakaf Alkhaira>t Sulawesi Tengah.
247
kebutuhan manajer terhadap pendelegasian wewenang. Pengawasan itu
dilakukan agar lahir keseimbangan antara kepentingan organisasi dan
kepentingan pribadi dari personalia (Handoko, 2003: 366-367).
Pengawasan atau biasa juga disebut dengan pengendalian8 merupakan
upaya yang dilakukan oleh manajer atau pimpinan dalam rangka mengevaluasi
kegiatan-kegiatan organisasi apakah telah sesuai dengan yang direncanakan atau
belum. Pengawasan itu mencakup: perencanaan, pengorganisasian, penyusunan
personalia, pengarahan, dan pengawasan itu sendiri. Proses pengawasan melalui
beberapa tahap, yaitu: penetapan standar pelaksanaan (perencanaan); penentuan
pengukuran pelaksanaan kegiatan atau program; pengukuran penentuan hasil
kegiatan program, membandingkan antara pelaksanaan kegiatan program dengan
standar yang telah ditetapkan beserta analisis penyimpangan-penyimpangan; dan
membuat tindakan korektif jika ada yang dianggap perlu untuk diperbaiki.
Jika konsep pengawasan demikian itu dihubungkan dengan proses
pelaksanaan kegiatan di lingkungan Alkhaira>t, maka sesungguhnya berdasarkan
keputusan muktamar yang tercantum dalam anggaran rumah tangganya disebut
dengan ‚dewan pengawas‛ (ART, pasal 10). Dewan ini dipilih oleh muktamar
dengan wewenang: memonitoring dan mengevaluasi pelaksanaan tugas Pengurus
Besar; memberi pertimbangan kepada Pengurus Besar. Ketentuan dimaksud
dapat diketahui kalau proses pelaksanaan pengawasan terhadap kinerja
perhimpunan khususnya di Pengurus Besarnya telah ditetapkan secara sah dan
8 Ada yang membedakan antara pengawasan dengan pengendalian. Pengendalian lebih luas
cakupannya dibandingkan dengan pengawasan. Pengendalian memiliki wewenang turun tangan secara
langsung sedangkan pengawasan hanya sebatas memberi saran dan tindak lanjutnya bukan pengawas
melainkan pada pengendali (Usman, 2010: 503). Sebutan controlling lebih banyak digunakan sebab
mengandung konotasi yang mencakup penentuan standar, pengukuran kegiatan, dan pengambilan
tindakan korektif (Handoko, 2003: 359).
248
tercantum dalam Anggaran Rumah Tangganya. Ini berarti sistem
pengawasannya telah dilakukan oleh badan atau dewan secara formal
terstruktur; dan bentuk pengawasan seperti ini termasuk pengawasan eksternal9.
Selain itu, ada pengawasan internal yaitu yang muncul dari adanya
tanggungjawab seorang individu untuk bersikap amanah dan adil dalam setiap
pekerjaan yang diembannya (Rozalinda, 2015: 85).
Teknis pelaksanaan pengawasan untuk seluruh unit dan kegiatan dalam
perhimpunan belum diatur melalui pedoman atau panduan pengawasan.
Pengawasan terhadap pengelolaan wakaf Alkhaira>t belum sepenuhnya berjalan.
Pengawasan yang ada masih bersifat umum, belum mengkhususkan pada unit-
unit kegiatan perhimpunan. Pengawasan yang terjadi di lingkungan perhimpunan
bukan semata-mata dari dewan pengawas, tetapi juga kadang dilaksanakan
langsung oleh pimpinan (baik Ketua Utama, Ketua Umum, Ketua Yayasan,
maupun Sekretaris Jenderal). Mekanisme pengawasan dapat terjadi secara tiba-
tiba atau langsung dan kadang karena adanya laporan dari masyarakat atau antar
pengurus. Tapi pada dasarnya pengawasan atas kinerja organisasi telah
dilaksanakan dalam lingkungan Alkhaira>t. Walaupun demikian, belum ada data
yang dapat dijadikan sumber informasi bahwa dewan pengawas yang dibentuk
oleh hasil muktamar telah melaksanakan tugasnya.
Sistem dan fungsi-fungsi manajemen sebagaimana pada landasan teori di
atas, belum secara konsisten diterapkan oleh Alkhaira>t dalam upaya mengelola
aset wakafnya. Hal ini disebabkan oleh belum adanya lembaga yang secara
khusus menangani masalah-masalah wakaf. Jika Alkhaira>t membentuk lembaga
9 Adanya pengawasan yang bersifat eksternal telah disinyalir oleh Allah dalam al-Qur’an yang
tecantum pada surah Ali Imran (3): 104.
249
kenaziran dengan menetapkan personalia (SDM) yang tepat; maka dapat
dipastikan bahwa Alkhaira>t akan menjadi lembaga pendidikan yang dapat
mandiri dengan hasil usahanya sendiri, sebab potensi wakaf yang ada di
Alkhaira>t sangat besar, apalagi diakumulasikan secara keseluruhan aset wakaf
yang tersebar di berbagai wilayah kerjanya menjadi satu sistem pengelolaan
yang terpadu. Apabila ini dilakukan, wakaf akan memberi kontribusi paling
terbesar bagi pengelolaan lembaga pendidikan ini, bahkan dapat memberi
bantuan beasiswa bagi siswa dan mahasiswanya serta dapat meningkatkan
kesejahteraan para pegawai dan pengurus-pengurusnya.
Pengelolaan wakaf Alkhaira>t masih perlu ditingkatkan dan memerlukan
usaha kerja keras dari pengurusnya pada semua level dan tingkatan
perhimpunan. Wakaf yang penyebarannya hampir di seluruh daerah dan wilayah
yang ada Alkhaira>t dari aspek manajemen masih harus diakui lemah. Akhirnya
lokasi yang ratusan hectoare yang bersumber dari masyarakat belum
memberikan nilai produktifitas perekonomian Alkhaira>t10
. Jika wakaf Alkhaira>t
diklasifikasikan dalam model pengelolaan yang terdiri atas: pengelolaan
tradisional dan profesional (modern); maka kecenderungannya adalah masih
bersifat tradisional. Alasan yang menjadi pertimbangan yaitu: 1) memang masih
berkembang pemikiran dan paham kalau wakaf cenderung pada perbuatan
ibadah semata dan sebagian besar harta tanah wakaf hanya diperuntukan bagi
pembangunan madrasah; 2) pemanfaatan hasil atau pada harta wakafnya lebih
10
Lemahnya manajemen tersebut diakui oleh HS. Saqqaf Aljufri selaku Ketua Utama Alkhaira>t
pimpinan tertinggi Alkhaira>t seperti hasil wawancara dengan Gani Jumat (2012: 237), tanggal 24
Pebruari 2011 di Jakarta.
250
digunakan menutupi kebutuhan semata (konsumtif); 3) pola penggunaan fungsi
manajemen belum menjadi suatu acuan yang terintegrasi.11
Ketradisionalan pengelolaan wakaf dimaksud dikarenakan terjadinya
kebekuan dalam pemahaman tentang wakaf; nazir yang juga belum profesional;
peraturan perundangan wakaf yang belum memadai; dan harta yang dikelola
lebih banyak harta benda tidak bergerak. Kebekuan paham itu terlihat ketika
pendataan harta wakaf sangat sulit ditemukan adanya bukti-bukti tertulis
tentang penyerahan harta wakaf, ternyata ini dilakukan dengan mengandalkan
lisan semata. Akhirnya pihak perhimpunan Alkhaira>t merasakan kesulitan
mengurus surat-suratnya karena banyak di antara wakif yang sudah meninggal.
Abdurahman H. Halim (wawancara, 2012) mengatakan bahwa belum sempat
diurus dan diselesaikan harta wakaf sampai dikeluarkannya AIW, pewakifnya
sudah meninggal.
Apabila keterbengkalaian pengurusan akte lebih disebabkan faktor
meninggalnya wakif; maka masalah yang perlu diketahui adalah berapa lama
sejak harta wakaf itu diserahkan kepada Alkhaira>t kemudian sebelum adanya
akte sudah meninggal wakifnya. Hal ini tentunya menjadi dilema atas
kelambanan pihak pengelola menyelesaikan administrasinya harta wakaf
dimaksud. Alasan meninggalnya seseorang tidak dapat dijadikan dasar, sebab
jika memang sistem pengelolaan wakaf menggunakan manajemen; maka dapat
dipastikan status atas harta wakaf akan jelas dan kecil kemungkinan melahirkan
masalah di masa mendatang.
11
Pengelolaan wakaf yang sistem tradisional lebih mengandalkan kebiasaan (misalnya) akadnya
hanya disampaikan secara lisan; hanya jenis harta tidak bergerak; tidak boleh menukar harta wakaf;
nazirnya karena faktor ketokohannya; dan belum adanya tata hukum yang mengatur secara luas (Wadjdy,
2007: 61-62).
251
Aspek kenazirannya lebih cenderung diberikan pada seseorang karena ke-
tokohan atau sebagai ustaz, kiyai, ulama, tokoh masyarakat; bukan diberikan
karena memang memahami aspek pengelolaan wakaf yang sebenarnya.
Akibatnya harta wakaf tidak dapat dikelola dan memberikan hasil yang
maksimal. Jika dilihat dari data penerima wakaf Alkhaira>t nampak bahwa
nazirnya merupakan orang-orang yang dipercayakan ketokohannya di kalangan
perhimpunan Alkhaira>t.
Aspek regulasinya (peraturan tentang wakaf) belum memadai disebabkan
oleh tidak ditemukan aturan yang secara rinci mengatur pengelolaan wakaf
Alkhaira>t. Aturan yang ada masih bersifat umum dan tidak ada aturan
penjabaran dari setiap orang yang dipercayakan menjadi nazir agar dapat
mengetahui apa yang seharusnya dilakukan ketika menerima wakaf. Pengelolaan
wakaf Alkhaira>t dianggap masih menggunakan sistem tradisonal.
Bila pengelolaan wakaf Alkhaira>t dibandingkan dengan sistem yang
profesional (modern), akan nampak selisihnya; yakni: pengelolaan profesional
lebih mengedepankan aspek produktifitas harta wakaf (prosentase hasil menjadi
utama sehingga manfaatnya semakin besar). Hal ini dilakukan dengan
menerapkan pola: manajemen sebagai alat dan sarana; memperhatikan SDM
nazir; membangun kemitraan usaha; harta benda bergerak yang banyak
digalakan; membangun hubungan dengan political will; serta memanfaatkan
informasi teknologi12
.
12
Sistem pengelolaan wakaf di era modern saat ini lebih memperhatikan beberapa hal yang
dipandang sangat strategis seperti yang disampaikan oleh Thalhah Hasan (2010) ketika memberi kuliah di
Program Doktor PPs IAIN Walisongo angkatan 2008, yaitu: adanya upaya pemberdayaan nazir; perluasan
jenis barang yang diwakafkan, orientasi pengelolaan dan wakafnya adalah produktif, manajemen
wakafnya yang professional, adanya jaringan kerjasama antar lembaga, upaya merektrut sumber daya
manusia yang mempunyai potensi dan professional, dan adanya political will yang jelas.
252
Fungsi manajemen merupakan alat yang digunakan oleh setiap organisasi
untuk menjalankan aktifitas keorganisasiannya. Fungsi tersebut menjadi sesuatu
yang penting dibuat oleh organisasi agar rencana organisasi mencapai tujuannya
dapat dengan mudah dicapainya. Alkhaira>t sebagai sebuah organisasi yang
mengelola wakaf sudah selayaknya mengintrospeksi dan melakukan evaluasi
atas penerapan fungsi manajemen. Penerapan fungsi manajemen akan
mengantarkan perhimpunan Alkhaira>t menjadi kokoh dan kompetitif karena
seluruh rangkaian pengelolaan organisasi dapat dipertanggungjawabkan, baik di
internal organisasi maupun dengan pihak lain (eksternal) organisasi. Penggunaan
manajemen yang baik akan memberikan nilai manfaat yang baik pula bagi
organisasi itu di masa datang. Alkhaira>t tidak boleh lagi mengandalkan pola
kerja yang tidak berdasarkan pada standar pencapaian target dan tujuan
organisasi. Sebab bila ini terjadi, akan berdampak negatif pada tingkat
kompetisinya dengan organisasi lain yang mempunyai program yang sama.
Artinya lambat atau cepat Alkhaira>t akan tersingkir dalam percaturan arus
globalisasi.
B. Implementasi Manajemen Sumber Daya Manusia
a. Pentingnya manajemen SDM dalam pengelolaan wakaf Alkhaira>t
Pengelolaan organisasi, baik yang kecil maupun besar akan banyak ditentukan
oleh faktor sumber daya manusia. SDM dirasakan sangat strategis disebabkan
menjadi subyek dan sekaligus juga obyek dalam kegiatan organisasi. Manajemen
SDM dipandang sangat memberi pengaruh terhadap pengelolaan administrasi
(Fathani, 2006: 12). SDM sangat fundamental, sebab semua pengelolaan
organisasi akan bermuara pada manusianya. Manusia tidak mungkin
253
diperlakukan sama dengan alat produksi lainnya, melainkan harus diperlakukan
sesuai dengan harkat dan martabat manusia.13
Manusia mempunyai kebutuhan
yang sangat kompleks dibandingkan dengan makhluk lainnya. Kebutuhan itu
termasuk pengembangan dirinya dan ini harus dipenuhi dan dipuaskan.
Berdasarkan kondisi inilah maka semua teori motivasi menekankan perhatian
terhadap pengelolaan sumber daya manusia. Pengembangan sumber daya
manusia dapat dilihat dari beberapa sudut pandang; yaitu: a) manusia sebagai
administrator, 2) manausia sebagai manajer, 3) manusia sebagai pelaksana tugas.
Sementara manusia dalam konsep al-Qur’a>n terlalu dalam untuk didefinisikan;
sebab manusia memiliki keunggulan melebihi makhluk lainnya, dan dapat saja
kedudukannya lebih rendah dari binatang14
. Manusia adalah makhluk yang
memiliki cukup kekuatan untuk mengendalikan dunia.15
Manusialah yang
mengambil keputusan tentang dirinya sendiri dan yang menentukan nasibnya
(Muthahhari, 2006: 214). Dengan demikian manusia mempunyai peran strategis
untuk menempati dan mengelola organisasi sebagai wadah pengembangan
dirinya dan sekaligus juga untuk kepentingan hajat hidupnya. Manusia harus
mampu dimanej agar memberi nilai tambah bagi organisasi. Semakin baik
manusianya, maka akan meningkatkan kualitas organisasi.
13
Manusia memiliki harkat dan martabat yang terdepan dari semua makhluk yang mempunyai
kedudukan muhtaram. Bahkan kedudukan tersebut dalam QS. Al-Isra’ ayat 70 disebut ‚al-kara>mah al-insa>niyah‛(Yafie, 1996: 166). Al-Kara>mah dalam kajian tasawuf dipahami memiliki tiga makna; yakni:
al-ikram yang diartikan dengan kemuliaan atau kehormatan; al-taqdi>r yang diartikan dengan
penghargaan; dan al-wala>’ yang diartikan dengan persahabatan atau pertolongan (Azra, 2008: II/675). 14
Lihat: QS. Al-Ti>n (95):4-5, manusia memiliki keistimewaan dari makhluk lain karena: manusia
diciptakan sebaik-baik susunan; sebaik-baik bentuk; dan sebaik-baik keadaan. Selain itu, manusia juga
memiliki potensi spiritual dan ketika manusia tidak menggunakan potensi ini; maka derajatnya akan lebih
rendah dari binatang (Qutb, 2003: 13/460-461). 15
Lihat: QS. Al-Baqarah (2): 29 pesan ayat ini adalah bahwa tujuan Allah menciptakan seluruh
alam semesta ini adalah untuk menusia. Karena itu, hendaklah manusia memikirkan ciptaan itu,
mengolah dan menggunakannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah swt (Depag, 2009: I/73).
254
Apabila kita menempatkan manusia sedemikian rupa dalam organisasi,
maka ini dapat diberlakukan pada segala jenis organisasi. Di Alkhaira>t Palu
Sulawesi Tengah, dalam struktur keorganisasiannya nampak telah terbentuk
unsur manusia sebagai pengelola organisasi. Struktur pengurusnya telah
sempurna, karena di mulai dari tingkat pusat sampai di tingkat ranting; setiap
tingkatan itu telah tersusun secara rapi sesuai aturan organisasinya. Nampak
pemanfaatan sumber daya manusia untuk mengurus perhimpunan Alkhaira>t,
telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari penentuan masa depan
organisasi. T.S Atjat (wawancara, 2012) menjelaskan bahwa peran sentral
manusia dalam menggerakan jalannya organisasi sangat perlu untuk
diperhatikan. Alkhaira>t pun demikian, karena ini organisasi besar yang
mengelola banyak madrasah dan juga banyak manusia yang terlibat di dalamnya
tidak boleh dikesampingkan sumber daya manusianya. Program organisasi harus
ada yang mengarahkan pada upaya memperhatikan sumber daya manusia.
Alkhaira>t secara kelembagaan telah mempertimbangkan pentingnya
sumber daya manusia dan untuk melengkapi kepengurusan di setiap tingkatan
telah dilaksanakan musyawarah yang intinya membicarakan pengurus dan
program kerja. Setiap musyawarah menghasilkan pengurus atau adanya
penempatan orang-orang yang nantinya bertugas mengelola organisasi. Begitu
pentingnya sumber daya manusia, sehingga untuk menentukan siapa yang
mengisi job dalam struktur organisasi dilaksanakan melalui musyawarah.
Pengelolaan wakaf pun demikian, yang ditandai dengan adanya bagian
pembangunan, wakaf dan perlengkapan. Mereka yang berperan sebagai pengurus
terdiri atas 4 (empat) orang. Adanya manusia yang dipercayakan itu, berarti
255
kebutuhan sumber daya manusia oleh Alkhaira>t menjadi sesuatu yang mendasar.
Walaupun, penentuan sumber daya manusianya masih perlu dikoreksi dan
diperbaiki seiring dengan perbaikan dan pembentukan lembaga kenazirannya,
sehingga proses pengelolaan wakafnya dapat lebih berkembang dan
dipertanggungjawabkan. Koreksi itu antara lain: mengangkat dan menempatkan
manusia (pegawai) pada posisi pengelola wakaf belum memperhatikan jumlah
harta wakaf yang dikelola; antara jumlah aset dengan pengurusnya tidak
berimbang; penentuan pegawai yang ditempatkan pada tugas itu tidak dilatar
belakangi oleh studi kelayakan dengan fakta lapangan.
Untuk itu di Alkhaira>t masih perlu sosialisasikan peran dan keududukan
sumber daya manusia secara praktis. Padahal secara teoritis telah jelaskan bahwa
sumber daya manusia dalam manajemen sering disebut dengan human resource
(tenaga atau kekuatan manusia). Melalui sumber tenaga, manusia dapat menjadi
perencana, pelaksana, pengendali, dan evaluasi suatu pembangunan dan
mempunyai peran yang sangat menentukan (Fathani, 2006: 11-12). Manusia
memiliki kekuatan yang sebagiannya menjadi bawaan dari pilihannya. Manusia
berdaya untuk menentang kecenderungan dan dorongan naluriahnya dan berdaya
untuk tidak mengikuti kecenderungan dimaksud. Manusia mempunyai daya
untuk memilah-milah antar beragam kondisi dan sesuatu dihadapannya.
Kemampuan ini karena dalam dirinya juga terdapat daya yang disebut kehendak.
Kehendak ini bekerja sesuai arahan akal16
. Manusia memiliki dua potensi yang
16
Akal berasal dari bahasa Arab yang berarti mengikat atau menahan (Manzdur, t.th: 11/459).
Akal juga berarti mengetahui sesuatu pada hakikatnya (Ibrahim, t.th: 2/616). Konsep al-Qur’a>n tentang
akal bermakna pada ‚paham‛ yang ditujukan bukan di otak kepala tetapi yang berpusat di kalbu (Haq,
2007: 42). Arti asli dari kata ‘aqala’ adalah mengikat dan menahan. Orang yang ‘aqil di zaman jahiliyah
dikenal dengan sebutan hamiyyah atau darah panas yakni orang yang dapat menahan amarahnya
karenanya dapat mengambil sikap dan tindakan yang berisi kebijaksanaan dalam mengatasi masalah yang
256
berbeda dengan binatang, yaitu memiliki sejumlah kecenderungan spiritual yang
dapat memperluas aktifitasnya sampai ke cakrawala spiritualitas yang lebih
tinggi; dan memiliki daya kehendak. Daya inilah yang dapat menolak atau
menerima kecenderungan naluriahnya. Manusia dapat menentukan batas bagi
tiap kecenderungannya dan ini merupakan bentuk kemerdekaan yang paling
berharga (Muthahhari, 2006: 228).
Manusia dengan akal dan kehendaknya diharapkan dapat mengelola
bumi, memanfaatkannya dengan kekuatan yang dimilikinya. Kemampuan dan
daya itulah yang menyebabkan berlakunya hukum takli>f. 17 Tetapi perbuatan
manusia ada yang di luar dayanya dan ada yang berada dalam batas dayanya
(Haq, 2007:177-178). Asy-Syathibi (t.th: I/187-188) mengemukakan perbuatan
yang di luar dayanya dilakukan dalam keadaan terpaksa; sedangkan perbuatan
yang dalam batas dayanya dilakukan atas kesadaran yang dengannya menjadi
obyek hukum18
baik diperintahkan, dilarang, atau diizinkan demi terwujudnya
kemaslahatan. Jenis perbuatan ini masuk kategori hukum wadh’i 19 yang
wujudnya tergantung pada usaha manusia sendiri. Manusia dengan dayanya
menjadi mukallaf yang dituntut melaksanakan kemaslahatan yang dikehendaki
dihadapinya. Jadi orang yang berakal adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan
masalah, setiap kali ia dihadapkan dengan problem dan selanjutnya dapat melepaskan diri dari bahaya
yang dihadapinya (Harun, 1986: 6-7). 17
Hukum takli>f adalah hukum yang menjelaskan tentang perintah, larangan, dan pilihan untuk
menjalankan sesuatu atau meninggalkannya (Zahrah, 2010: 27). Adanya penamaan hukum takli>f karena
titah atau ketentuan dimaksud langsung mengenai perbuatan orang yang sudah mukallaf. Tuntutan itu
meliputi bagaimana mukallaf melaksanakan tuntutan atau meninggalkannya (Syarifuddin, 2008: 310). 18
Obyek hukum dalam hukum Islam dipahami sebagai sesuatu yang dikehendaki oleh Pembuat
hukum. Ahli Ushul Fiqh memahami ‚sesuatu yang berlaku padanya hukum syara’ yang mencakup: takli>f dan wadh’i (Syarifuddin, 2008: 383, Zahrah, 2010: 480, Djazuli, 2000: 61, Satria, 2005:73-74). Sementara
obyek hukum dalam ilmu hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum dan yang dapat
menjadi pokok suatu hubungan hukum agar dapat dikuasai oleh subyek hukum (Mudjiono, 1991: 48). 19
Hukum wadh’i adalah ketentuan syariat dalam bentuk menetapkan sesuatu sebagai sebab,
sebagai syarat, atau sebagai mani’. Hukum ini dimaksudkan titah Allah swt yang berhubungan dengan
sesuatu yang berkaitan dengan hukum-hukum takli>f (Syarifuddin, 2008: 362; Satria, 2005: 61; Zahrah,
2010: 69).
257
Allah. Kewajiban manusia adalah beribadah dan menjadi khalifah di muka bumi
untuk menegakkan kemaslahatan sesuai kemampuannya (Haq, 2007: 178).
Akal sebagai daya manusia menjadi tonggak kehidupannya dan dasar
kelanjutan wujudnya. Manusia harus menggunakan akalnya untuk berfikir dan
dalam al-Qur’an dilarang untuk bertaklid (Harun, 1987: 44-46). Berpikir dan
mempergunakan akal adalah ajaran yang jelas dan tegas; sehingga dengan akal,
manusia bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya (Harun, 1986: 48-49).
Daya pada manusia harus ada, sebab kemaslahatan tidak terwujud tanpa usaha
keras yang melelahkan. Kemampuan daya manusia dalam berbuat ditemukan
dalam tiga bentuk; yaitu: melalui kekuatan jasmani, akal, dan niat20
(Haq, 2007:
180-181).
Manusia dipahami sebagai pelaku pembangunan, dari aspek manajemen
mencakup aspek biologis, psikologis, sosiologis, spiritual, pengembangan diri,
dan keamanan. Semuanya merupakan potensi yang memberi pengaruh pada
kehidupannya dan terintegrasi secara fungsional dalam sebuah sistem menuju
perubahan dan peningkatan kualitas sumber dayanya. Pengelola wakaf atau nazir
sebagai manusia harus dipandang memiliki potensi atau sumber daya yang perlu
secara terus menerus dikelola agar mampu menampilkan dirinya sebagai
manusia yang mempunyai kewajiban spiritual dan sosial.
Kesimpulannya bahwa manusia salah satu makhluk yang mempunyai
sumber daya yang sangat potensial yang dengan potensi itu dapat meningkatkan
derajatnya, produktifitasnya, kelangsungan hidupnya, dan sebagainya (Alma &
Priansa, 2014: 311-316). Begitu kompleksnya sumber dayanya, sehingga perlu di
20
Lihat: Imam al-Nawawi (1994: 5) bab al-Ikhlash dalam Niat.
258
manfaatkan oleh dirinya sendiri atau digerakkan oleh pihak lain. Manusia yang
dapat mengembangkan dirinya sendiri berarti telah mampu mamanfaatkan
potensi sumber dayanya sendiri. Tetapi bagi yang belum sanggup, maka
kemungkinan dapat melalui orang lain. Pengurus Alkhaira>t tidak boleh lagi
membiarkan pegawai atau karyawannya mengatur cara kerjanya sendiri, padahal
ada organisasi yang secara formal mempunyai tanggungjawab mengelola dan
mengembangkan organisasi.
b. Perencanaan sumber daya manusia
Perhimpunan Alkhaira>t sebagaimana di atas telah dijelaskan bahwa dari aspek
struktur, tugas, personalia telah diterapkan dalam organisasinya. Melihat
struktur yang ada, dapat dikatakan bahwa perhimpunan ini membutuhkan
sumber daya manusia yang banyak. Di tingkat pusat saja, kebutuhan SDM untuk
mengisi posisi dalam struktur sangat banyak; apalagi sampai pada tingkat
ranting. Olehnya itu, agar organisasi tidak kesulitan dalam menempatkan orang
dalam strukturnya; perlu adanya program perencanaan sumber daya manusia. Di
Alkhaira>t perencanaan sumber daya manusia nampak belum terpola, sebab
sistem pengangkatan tergantung pada kebutuhan saat itu saja dan jika kebutuhan
telah terpenuhi dianggap selesai. Analisis kondisi organisasi yang sedang
berjalan dengan masa depannya kebutuhan dan keberlangsungan organisasi tidak
tergambar dalam program dan ketentuan yang berlaku di perhimpunan itu.
Kebutuhan akan sumber daya manusia dirasakan sesuatu yang mendasar,
tetapi usaha untuk mempersiapkan agar kebutuhan dimaksud selalu saja
terpenuhi belum ada langkah-langkah yang ditemukan. Kebutuhan SDM
organisasi untuk masa mendatang tidak dapat diprediksi. Akhirnya organisasi itu
259
nampak berjalan tetapi SDM-nya stagnan, kelambanan menjadi suatu kondisi
yang terjadi di lingkup perhimpunan. Rencana melahirkan sumber daya manusia
yang berkualitas sesuai perkembangan yang terjadi, dari beberapa sumber yang
ada belum ditemukan bukti pelaksanaannya. Sebagai contoh, saat ini kebutuhan
guru untuk memenuhi kekosongan di banyak madrasah dan pondok pesantren
masih menjadi kendala. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa belum
terpenuhinya kekosongan guru di madrasah dengan alasan sulitnya mendapatkan
tenaga pengajar yang siap di tempatkan di daerah-daerah. Hal ini jika mengikuti
penerapan manajemen sumber daya manusia dengan program membuat
perencanaan secara sistematis, maka alasan yang demikian tidak akan muncul
dalam realitas.
Perencanaan SDM adalah langkah yang ditempuh oleh manajemen guna
lebih menjamin bahwa dalam organisasi telah tersedia tenaga kerja yang siap
untuk digunakan pada tempat dan waktu yang tepat dalam rangka pencapaian
tujuan dan program yang telah ditetapkan (Siagian, 2010: 41). Setiap organisasi
mempunyai tujuan yang berfungsi; memberikan dan menyatukan arah organisasi
harus bergerak; penetapan tujuan akan mempengaruhi perencanaan; tujuan
berfungsi sebagai alat dan motivasi pada karyawan; menjadi alat evaluasi dan
pengendalian yang efektif (Hanafi, 2003: 118; Terry, 2010: 29). Penyusunan
perencanaan SDM harus secara kontekstual yang dikaitkan pada penunaian
kewajiban sosial organisasi; pencapaian tujuannya; dan pencapaian tujuan-tujuan
pribadi anggota organisasi yang bersangkutan (Fathani, 2006: 42). Pelaksanaan
perencanaan sumber daya manusia menurut Schuler (1997: 139-143) melalui 5
(lima) fase, yaitu: mengidentifikasi isu bisnis yang utama; menentukan implikasi
260
sumber daya manusia; mengembangkan tujuan dan sasaran sumber daya
manusia; merancang dan melaksanakan kebijakan, program, dan praktek sumber
daya manusia; dan mengevaluasi, merivisi, dan menfokuskan kembali sumber
daya manusia.
Perencanaan SDM perlu karena untuk mencapai protective benefits dan
positive benefits. Protective benefits dihasilkan dari pengurangan kemungkinan
terjadinya kesalahan dalam pembuatan keputusan. Positive benefits
meningkatnya sukses pencapaian tujuan organisasi (Handoko, 2003: 80).
Pencapaian tujuan membutuhkan langkah dan strategi, sehingga penggunaan
manajemen strategik merupakan bagian tidak terpisahkan21
. Penyusunan
perencanaan sumber daya manusia dapat memberi manfaat bagi organisasi,
yaitu: a) SDM yang sudah ada dapat dimanfaatkan secara lebih baik; b)
produktifitas kerja dari tenaga kerja yang ada dapat ditingkatkan; c) kebutuhan
tenaga kerja di masa depan dapat disiapkan; d) penanganan informasi
ketenagakerjaan yang komprehenshif di setiap satuan kerja (Herdiana, 2013: 67).
Ada enam pendekatan strategi dalam manajemen sumber daya manusia
menurut Mangkuprawira (2011: 14-15), yaitu: a) pemahaman tentang pengaruh
lingkungan luar; b) pemahaman pengaruh dinamika dan persaingan pasar kerja;
c) fokus jangka panjang, mengembangkan strategi yang taat asas untuk menuju
masa depan yang lebih baik dan sukses; d) fokus terhadap pilihan dan
pengambilan keputusan; e) pertumbuhan seluruh personil; dan f) integrasi
dengan strategi perusahaan.
21
Pandangan lain mengemukakan bahwa proses manajemen strategi dimulai dari perumusan
strategi, implementasi strategi, dan evaluasi pengendalian strategi (Hubeis, 2008: 21)
261
Pengembangan manajemen sumber daya manusia dimulai dari
perencanaan strategi tenaga kerja; ini diarahkan kepada tenaga kerja untuk
pengembangan di masa mendatang. Tujuannya adalah membantu dan
memastikan bahwa organisasi tersebut mempunyai tenaga kerja yang terampil,
ahli, dan memiliki pengetahuan yang diperlukan dalam organisasi untuk
mencapai tujuan (Fathani, 2006: 76).
Realitas yang terjadi di lingkungan Alkhaira>t untuk usaha membuat
rencana agar organisasi tersebut mempunyai sumber daya manusianya selalu
tersedia sesuai kebutuhannya masih jauh dari teori-teori yang dijelaskan di atas.
Padahal tujuan perencanaan dimaksud adalah untuk memberikan jaminan bahwa
organisasi tidak lagi mengalami kekurangan sumber daya manusia ketika
dibutuhkan. Tersedianya sumber daya manusia dalam organisasi akan
memberikan peningkatan produktifitas kerja. Implikasinya terjadi kesulitan
merekrut tenaga kerja yang mengisi kekurangan tenaga pengajar di madrasahnya
atau juga melaksanakan tugas sebagai pegawai di sekretariat pengurus.
c. Pengembangan sumber daya manusia
Pengembangan SDM bertujuan meningkatkan kemampuan melaksanakan tugas
baru di masa mendatang dan menjadi bagian dari program investasi jangka
panjang. Organisasi yang selalu melakukan pengembangan SDM, mendapatkan
manfaat; yaitu: lahirnya peningkatan produktifitas kerja organisasi; terwujudnya
hubungan yang serasi antara atasan dan bawahan serta saling memberi
kesempatan berpikir dan bertindak; terjadinya pengambilan keputusan yang
lebih cepat dan tepat disebabkan melibatkan pegawai secara keseluruhan;
meningkatnya semangat kerja dalam organisasi dengan komitmen operasional
262
yang lebih tinggi; mendorong sikap keterbukaan manajemen dengan gaya
manajerial partisipasif; memperlancar jalannya komunikasi efektif yang pada
gilirannya memperlancar proses perumusan kebijaksanaan organisasi dan
operasionalisasinya (Siagian, 2010: 183-184).
Mengembangkan tenaga kerja dalam sebuah organisasi adalah sesuatu
yang pokok; menjadi tiang dasar dari manajemen yang baik. Inilah yang akan
melahirkan usaha terencana untuk membuat program pengembangan.
Pengembangan dimaksud akan melahirkan kecakapan dalam berkerja.
Kecakapan tenaga kerja adalah kekayaan organisasi yang paling besar. Usaha
meningkatkan asset tenaga kerja akan menjadi investasi (Terry, 2010: 224)22
.
Termasuk dalam pengembangan pegawai adalah karir tenaga kerja.
Pengembangan karir ini mencakup dua hal; yaitu: career planning yakni
bagaimana pegawai (tenaga kerja) merencanakan dan mewujudkan tujuan-tujuan
karirnya sendiri; dan career management yakni bagaimana organisasi mendesain
dan melaksanakan program pengembangan karir tenaga kerja. Sasaran
pengembangan karir tenaga kerja meliputi empat karakteristik: kinerja tenaga
kerja, sikap tenaga kerja, adaptabilitas karir, dan identitas karir (Yuniarsih,
2009: 140; Mangkuprawira, 2011: 183-190).
Kaitan dengan pengurus organisasi dan juga masalah pengelolaan wakaf
Alkhaira>t; masih sangat sulit untuk mengukur adanya implementasi manajemen
sumber daya manusia; baik itu menyangkut perencanaan, rekruitmen tenaga
kerja atau personalia, pengembangan karir, produktifitas kerja, sistem
22
Yuniarsih (2009: 133) menambahkan bahwa pengembangan tenaga kerja dan pegawai
merupakan aktivitas memelihara dan meningkatkan kompetensi tenaga kerja guna mencapai efektivitas
organisasi. Sasaran pengembangan tenaga kerja dapat diwujudkan melalui pengembangan karir,
pendidikan dan pelatihan.
263
insentif/gaji atau honorarium; sebab belum nampak adanya kebijakan atau
aturan yang manunujkkan bahwa sumber daya manusia itu sesuatu yang perlu
secara terus-menerus dikembangkan. Masih dominan prinsip siapa saja yang mau
mengabdikan dirinya di Alkhaira>t akan diterima dengan harapan jangan selalu
mengharapkan imbalan atau gaji di Alkhaira>t. Melamar jadi pegawai atau datang
mengabdi harus memegang prinsip lillahi ta’ala pengabdian seutuhnya dengan
tidak mengutamakan insentif atau dalam istilah manajemen Fayol ‚balas jasa‛.
Sumber daya manusia yang dianggap sebagai pendorong lahirnya produktifitas
kerja, belum dijadikan sebagai prioritas utama yang harus dipersiapkan. Salim
D. Masuka (wawancara, 2012) mengemukakan bahwa memang secara organisasi
Alkhaira>t belum melakukan sistem seleksi penerimaan dan pengangkatan
pegawainya khususnya yang berkerja di Sekretariat Pengurus Besar; namun yang
dilakukan adalah menerima dan mengangkat mereka yang benar-benar
mempunyai keinginan mengabdikan dirinya di Alkhaira>t. Hal ini menunjukkan
bahwa sumber daya manusia sebagai penggerak utama atas jalannya organisasi
belum menjadi sesuatu yang fundamental.
Implikasi dalam program kerja perhimpunan tidak tergambar adanya
perencanaan dan pengembangan sumber daya manusia yang nyata. Manfaat dari
perencanaan dan pengembangan SDM pun tidak ditemukan dalam gerak
berkembangnya organisasi; justru yang ada hanyalah apa adanya dengan kondisi
karyawan yang tidak jelas orientasinya sebagai pekerja untuk peningkatan karir,
jabatan, dan bahkan finansialnya; apalagi mengukur masa depan yang lebih baik
sebagaimana manusia selalu menghendaki hidupnya lebih baik dari sebelumnya.
264
Wakaf Alkhaira>t baru ditemukan dalam bentuk data semata, itupun
belum secara keseluruhannya, sehingga mengukur penerapan manajemen
sebagaimana teori yang tergambar di atas masih dilematis. Alasan lain, yang
bertindak sebagai nazir itu bukanlah atas nama lembaga Alkhaira>t tetapi masih
sebagai individu. Nazir itu berlaku pada setiap jenis aset dan bersifat perorangan
tidak lebih dari satu sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Kalaupun ada yang atas nama yayasan atau Pengurus Besar tidak lebih
mendominasi jumlahnya.
Secara administratif urusan wakaf sudah ada yang mengelolanya,
walaupun jumlah mereka sebagaimana pernyataan Saiful Tompoh (wawancara,
2012) hanya ada empat orang, dan dari empat orang itu memiliki tugas yang
berbeda, sehingga untuk pengelolaan wakaf ditugaskan kepada satu orang saja
seperti telah dijelaskan sebelumnya. Jumlah ini sebenarnya tidak berimbang
dengan beban kerja ideal pengelolaan wakaf Alkhaira>t yang penyebarannya
sangat luas; padahal wakif dan nazir yang dimiliki oleh Alkhaira>t sebagai
manusia, tentu tidak terlepas pentingnya manajemen sumber daya manusia.
Kedua kelompok ini ditentukan memiliki standarisasi syarat. Syarat dimaksud
secara otomatis menuntut pengungkapan dan pengelolaan sumber dayanya.
Wakif dan nazir memiliki potensi dan potensi itu bagaimana dikelola sehingga
setiap wakif akan berusaha memberikan harta yang dimilikinya sesuai ketentuan
pemanfaatan harta; sedangkan nazir dituntut untuk amanah dan
bertanggungjawab mengelola harta yang diamanahkan kepadanya.
Merujuk pada kenyataan demikian itu, maka Pengurus Besar perlu
menata dan melakukan evaluasi dan kalau boleh studi banding pada lembaga-
265
lembaga pengelola wakaf di Indonesia agar melihat dan mempelajari kemajuan
lembaga pengelola wakaf kemudian dijadikan bahan perbandingan atau juga
contoh dalam merestrukturisasi kembali pengelola wakaf Alkhaira>t. Di
upayakan sedemikian rupa agar wakaf tidak berada dalam sistem kerja
sekretariat jenderal PB, tetapi harus diotonomisasikan. Keberhasilan suatu
organisasi akan banyak ditentukan oleh faktor manusianya. Semakin berkualitas
manusianya, akan memberikan harapan semakin baik pula lembaga dan
organisasi tersebut. Manusia sebagai penggerak utama jalannya organisasi harus
mendapat perhatian dari pimpinan organisasi. Manusia sebagai pelaksana juga
tidak boleh hanya dipandang sebagaimana makhluk lainnya, tetapi ditempatkan
sesuai harkat dan martabatnya, sehingga lahir dari dalam dirinya potensi
kemanusiaannya yang mendorong lahirnya kreatifitas dan produktifitasnya.
Inilah peran manajemen sumber daya manusia yang patut diperhatikan oleh
pengurus perhimpunan Alkhaira>t di seluruh tingkatan.
C. Implementasi Manajemen Investasi
Wakaf sebagai instrumen ekonomi Islam yang beragam jenisnya, menjadi salah satu
sumber investasi potensial. Sasaran investasi dimaksud adalah investasi yang
bernafaskan syari’at Islam. Pengembangan wakaf melalui kegiatan produktif sangat
terbuka luas dengan beragam program investasi (Abu>ziad, 2000: 14-22). Program
investasi dimaksud tergantung hasil pilihan pengguna. Salah satu jenis investasi
yang dikembangkan di Indonesia saat ini adalah bisnis dengan sistem syari’ah; dan
kegiatan jenis ini sangat pesat perkembangannya. Dibalik pesatnya, peluang yang
dihadapi oleh pelaku bisnis syari’ah Islam dalam mengembangkan sumber daya
masyarakat harus disosialisasikan mengenai mekanisme, transaksi dan
266
operasionalisasi pada dunia bisnis, sehingga sistemnya dapat berkembang dengan
maksimal. Inilah yang menjadi tantangan bisnis syari’ah Islam di Indonesia, di mana
mayoritas masyarakatnya adalah muslim, maka partisipasi dari masyarakat sangat
diperlukan.
Salah satu tantangan yang di hadapi dalam investasi syari’ah Islam adalah
konsep bagi hasil yang dianggap belum mampu memberikan patokan tingkat
penghasilan yang pasti. Disadari bahwa instrumen investasi syari’ah Islam masih
terbatas, sehingga kemampuan pengelola dana dalam mengatur portofolionya harus
piawai. Diversifikasi investasi yang terbatas jelas akan menyulitkan pengelola dana,
sehingga investasi syari’ah Islam mempunyai resiko yang lebih tinggi (Rivai,
2010:419) 23
.
Wakaf yang berpotensi diproduktifkan melalui kegiatan investasi menuntut
adanya kehati-hatian dengan mempertimbangkan dampak buruknya akibat investasi
tersebut. Bagaimana pun yang berhubungan dengan bisnis selalu diperhadapkan
dengan resiko. Kondisi seperti inilah perlunya lembaga pengelola investasi Islam
(termasuk lembaga wakaf) memperhatikan manajemen resiko. Manajemen resiko
adalah suatu bidang ilmu yang membahas tentang bagaimana suatu organisasi
menerapkan ukuran dalam memetakan berbagai permasalahan yang ada dengan
menempatkan beragam pendekatan manajemen secara komprehensif dan sistematis
(Fahmi, 2010: 2-3)24
. Upaya mengatasi resiko yang timbul dalam pengelolaan
23
Resiko (risk) dapat ditafsirkan sebagai bentuk keadaan ketidak pastian tentang suatu keadaan
yang akan terjadi nantinya dengan keputusan yang diambil berdasarkan berbagai pertimbangan pada saat
ini. Resiko memiliki arti: keadaan yang mengarah kepada sekumpulan hasil khusus dimana hasilnya dapat
diperoleh dengan kemungkinan yang telah diketahui oleh pengambil keputusan; variasi dalam
keuntungan, penjualan, atau jenis keuntungan lainnya; kemungkinan dari sebuah masalah keuangan yang
mempengaruhi kinerja operasi perusahaan atau posisi keuangan (Fahmi, 2010: 2; Francis, t.th: 202-203). 24
Pandangan lain tentang manajemen resiko merupakan suatu usaha untuk mengetahui,
menganlisis serta mengendalikan resiko dalam setiap kegiatan perusahaan dengan tujuan untuk
267
lembaga, ada empat cara mengelola resiko; yaitu: a) memperkecil resiko dengan cara
tidak memperbesar setiap keputusan yang mengandung resiko tinggi; b)
mengalihkan resiko ke tempat lain sebagian misalnya dengan mengasuransikan
perusahaan atau lembaga; c) mengontrol resiko, dengan cara melakukan kebijakan
antisipasi terhadap timbulnya resiko sebelum resiko itu terjadi; d) pendanaan resiko,
menyangkut penyediaan sejumlah dana sebagai cadangan guna mengantisipasi
timbulnya resiko kemudian (Fahmi, 2010: 7).
Secara umum, dapat dikatakan bahwa syari’ah Islam menghendaki kegiatan
ekonomi yang halal, baik produk yang menjadi obyek, cara perolehannya, maupun
cara penggunaannya. Selain itu, prinsip investasi syari’ah Islam juga harus
dilakukan tanpa paksaan, adil dan transaksinya berpijak pada kegiatan produksi dan
jasa yang tidak dilarang oleh Islam, termasuk bebas manipulasi dan spekulasi. Oleh
sebab itu, wakaf sebagai bagian dari sumber pendapatan umat dan organisasi agar
dapat berdayaguna maksimal, perlu dikembangkan dengan menggunakan
manajemen investasi.
Prinsipnya bahwa wakaf dapat disalurkan untuk proyek-proyek investasi
yang menguntungkan dengan tetap menjaga keutuhan hartanya. Bila ini dilakukan
oleh lembaga atau organisasi pengelola wakaf, maka perlu dilakukan dengan
menyusun langkah-langkah strategis yang tersusun rapi dengan menjadikan
manajemen sebagai alat, memperhitungkan secara matang resiko yang akan
dihadapi, dan memanfaatkan usaha-usaha lain yang dapat menunjang suksesnya
memperoleh efektifitas dan efisiensi yang lebih tinggi (Darmawi, 2002: 17). Manajemen resiko adalah
pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen dalam penanggulangan resiko oleh organisasi, perusahaan, keluarga
dan masyarakat (Soeisno, 1999: 4).
268
pengelolaan wakaf, sehingga keutuhan harta wakaf tetap terjamin (Nawawi, 2012:
247).
Wakaf Alkhaira>t berdasarkan data yang ada telah nampak dikelola dengan
menggunakan sistem investasi. Sistem ini sebagaimana terlihat dalam penanaman
modal dalam pembangunan ruko sebanyak 5 (lima) petak yang dananya diambil dari
dana abadi; penyertaan modal pembukaan KSU/Wartel; penyertaan modal usaha
tambak; kerjasama usaha agen motor; kerjasama usaha sawah; penyertaan modal
pengembangan swalayan (Yanggo, 2013: 267). Melihat kegiatan penanaman modal
yang telah dilakukan oleh Alkhaira>t; dilihat dari sisi manajemen investasi telah
sesuai dengan makna yang dikandung dari investasi itu sendiri.
Investasi berarti penundaan konsumsi saat ini untuk konsumsi di masa
datang. Pengertian ini dipahami bahwa investasi adalah menempatkan modal atau
dana suatu aset yang diharapkan akan memberikan hasil atau akan meningkatkan
nilainya di masa mendatang. Investasi berarti diawali dengan mengorbankan potensi
konsumsi saat ini untuk mendapatkan peluang yang lebih baik atau besar di masa
akan datang dengan karaktek: a) modal sebagai penentu keputusan; b) waktu yang
tepat untuk mengambil keputusan. Investasi juga diartikan dengan penanaman uang
atau modal dalam suatu perusahaan atau proyek untuk tujuan memperoleh
keuntungan (Huda, 2008: 7).
Pengertian tersebut memberikan penegasan bahwa investasi merupakan
bentuk usaha yang dapat dilakukan dengan menyertakan modal dalam usaha
bersama, kemudian dengan modal tersebut diharapkan dapat memberi keuntungan
bagi kedua pihak di masa yang akan datang, sesuai dengan hasil yang diperolehnya.
Jenis modal investasi dapat bermacam-macam yang dalam kajian wakaf bisa harta
269
benda bergerak dan harta benda tidak bergerak. Konsep ini secara langsung telah
membuka peluang bagi wakaf dijadikan modal investasi. Konsep ini dengan
kenyataan yang dikembangkan oleh Alkhaira>t telah sejalan dengan nilai-nilai
investasi. Alkhaira>t dari dana abadi yang telah diinvestasikan ditahan nilainya untuk
digunakan pada saat itu, tetapi ada harapan di masa mendatang yakni mendapatkan
keuntungan yang lebih. Ternyata apa yang menjadi harapan tersebut telah
memberikan indikasi dengan mendapatkan keuntungan seperti dalam laporan
penerimaan dari wartel/KSU dan tambak serta usaha bagi hasil lainnya senilai Rp.
289.418.431.-(Yanggo, 2013: 268).
Dilihat dari aspek pengembangan investasi yang berbasiskan syari’at Islam,
harta wakaf Alkhaira>t yang dimilikinya sangat memungkinkan untuk ditanamkan,
misalnya: pembangunan ruko yang dananya diambil sebagian dari dana abadi dan
pembelian lokasi/tanah di Jakarta yang juga bersumber dari dana abadi; selain itu
juga Alkhaira>t memiliki tanah seluas 34 ha; dan lain-lainnya. Jika digunakan prinsip
penanaman modal, maka selesainya ruko ini dapat dilakukan sistem sewa di mana
Alkhaira>t sebagai pemiliknya memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk
dipersewakan. Hal serupa juga dapat dibuat oleh Alkhaira>t dengan menyewakan
lokasi yang berada di Jakarta. Bila lokasi yang ada dipersewakan untuk
penggunaannya, berarti Alkhaira>t akan menerima hasilnya dan kemudian dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan perhimpunan. Oleh sebab itu, sistem sewa
menyewa sebagai bagian dari bentuk investasi, terbuka peluang yang sangat besar
bagi Alkhaira>t untuk menjadikan harta wakaf sebagai modal investasi. Peluang
pengembangan harta wakaf ke berbagai sektor pembiayaan sangat terbuka bagi
Alkhaira>t. Teori di bawah ini akan dijelaskan tentang sistem pengembangan aset
270
harta yang dapat diikuti oleh setiap orang atau lembaga melalui kegiatan
penanaman modal.
Pembiayaan dapat saja berasal dari perorangan atau lembaga. Namun,
dewasa ini orang yang berinvestasi selalu melirik ke dunia perbankan. Perbankan
telah menyediakan berbagai jenis pembiayaan, bentuk investasi dan jasa kepada
peminjam, investor dan para nasabahnya. Jenis-jenis pembiayaan investasi dan jasa
ini terbatas pada usia bank, tapi akan berkembang sesuai tuntutan zaman. Perbankan
menyediakan pembiayaan dan investasi untuk kegiatan pengeluaran ekonomi yang
tidak bertentangan dengan syari’ah. Bentuk pembiayaan dan investasi bank dapat
meliputi bidang, yaitu:
a) Membiayai atau investasi pada suatu proyek, misalnya: proyek pertanian,
konstruksi, pertambangan minyak, perniagaan dan jasa.
b) Membiayai nasabah untuk memperoleh harta tetap, baik yang bergerak maupun
tidak bergerak; seperti: tanah, tambang dan pabrik, bangunan termasuk rumah
serta alat transportasi dan pengangkutan.
c) Membiayai nasabah untuk memperoleh modal kerja, misalnya: memperoleh alat
ganti bahan-bahan mentah, dan barang setengah jadi.
Ketiga bidang dimaksud sangat terbuka pengembangannya dalam berbagai
bentuk kegiatan usaha yang memungkinkan akan terbangun kerjasama antara
lembaga usaha atau organisasi yang bergerak dalam bidang bisnis dan ekonomi.
Rivai (2010: 425-426) berpandangan bahwa realisasi bentuk pembiayaan bank
terhadap kegiatan investasi dilihat dari aspek hukum dapat digambarkan berikut ini:
a) Pembiayaan proyek berdasarkan hukum mudha>rabah.
271
Sistem ini dapat dilakukan oleh bank dalam pembiayaan suatu proyek dengan
syarat: bank sebagai pemilik modal menyediakan seluruh uang tunai untuk
membiayai proyek dan nasabah mengurus serta mengusahakannya; nisbah bagi
hasil antara kedua belah pihak disetujui dan dipastikan dalam perjanjian; bank
tidak mencampuri pengurusan proyek, tapi boleh mengawasi dan memberi usul;
dan jika ada kerugian, maka ditanggung oleh bank kecuali jika kerugian itu
disebabkan kelalaian atau ada unsur kesengajaan dari pengusaha (nasabah) (Iska,
2012: 186).
Syafi’i Antonio (2001: 137) memberikan gambaran jika sistem
mudharabah itu dikembangkan bersama bank, maka ada dua posisi bank yang
boleh dilakukan, yakni: sebagai mitra antara penabung maupun pengusaha yang
meminjam dana. Bersama penabung, bank bertindak sebagai mudha>rib atau
pengelola; sedangkan penabung bertindak sebagai sha>hib al-ma>l atau
penyandang dana. Antara kedua pihak mengadakan akad mudha>rabah yang akan
menyatakan keuntungan masing-masing pihak. Di sisi lain, bersama pengusaha
atau peminjam dana; bank akan bertindak sebagai shahib al-ma>l (penyandang
dana, baik yang berasal dari tabungan/deposito/giro maupun dana bank sendiri
berupa modal pemegang saham). Posisi pengusaha berfungsi sebagai mudha>rib
atau pengelola karena melakukan usaha dengan memutar dan mengelola dana
bank.25
25
Status hukum mudha>rabah telah disepakati oleh para fuqaha dibolehkan dengan alasan
memiliki tujuan untuk saling membantu antara pemilik modal dengan seorang yang ahli dalam memutar
modal. Kebolehan tersebut didasarkan pada firman Allah swt pada surah al-Muzammil ayat (20) (Lihat:
Abdul Aziz Dahlan, 1996:1196). Hasil yang diperoleh dari system kerjasama ini (laba yang diperoleh)
menjadi milik bersama, yang dibagi berdasarkan kesepakatan (Zuhaily, 2010: II/189, Taqiyuddin, t.th:
I/319).
272
b) Pembiayaan proyek berdasarkan sistem musya>rakah.
Jenis usaha ini dalam dunia modern disebut dengan joint-venture. Sistem ini
adalah percampuran antara sesuatu dengan yang lainnya sehingga sulit
dibedakan. Makna menurut istilah adalah keikutsertaan dua orang atau lebih
dalam suatu usaha tertentu dengan sejumlah modal yang ditetapkan berdasarkan
perjanjian bersama menjalankan suatu usaha dan pembagian keuntungan atau
kerugian sesuai ketentuan. Makna lain ‚akad kerjasama antara dua pihak atau
lebih untuk usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan kontribusi
dana (al-ma>l) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan
ditanggung bersama sesuai kesepakatan (Nawawi, 2012: 151). Sistem investasi
ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu: syirkah kepemilikan dan syirkah akad.
Syirkah kepemilikan terjadi karena warisan, wasiat, atau kondisi lain yang
mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Syirkah akad
terjadi karena kesepakatan dua orang atau lebih yang menyetujui bahwa tiap-
tiap orang dari mereka memberikan kontribusi dari modal kerjasama (Nawawi,
2012: 153; Iska, 2012: 198).
Jenis syirkah akad inilah yang dimaksud pada point ini dimana bank
bersama dengan orang yang berinvestasi dengan syarat: bank dan nasabah
bersama-sama menyumbang untuk pembiayaan suatu proyek secara usaha
bersama; nisbah bagi hasil antara kedua pihak disetujui dan dipastikan dalam
surat perjanjian dan nisbah ini tidak harus setara dengan jumlah sumbangan
masing-masing pihak; bank akan menyertai pengurusan proyek itu, kecuali jika
bank memberi izin kepada nasabah untuk mengurusnya sendiri; dan jika ada
273
kerugian maka ditanggung bersama oleh kedua pihak menurut nisbah sumbangan
masing-masing.
c) Pembiayaan perolehan barang berdasarkan hukum penjualan angsuran.
Jika nasabah ingin mengangsur pembayaran barang hingga batas waktu tertentu
dimana bank yang akan membiayai dengan syarat: bank membeli barang yang
diinginkan oleh nasabah; waktu pengangsuran dan cara pembayaran angsuran
disetujui kedua pihak; bank menjual harta itu kepada pelanggan dengan harga
yang disetujui kedua pihak yang meliputi: harga barang yang dibeli bank, dan
margin bank.
d) Pembiayaan peroleh barang berdasarkan hukum sewa.
Jenis ini dimaksudkan adalah transaksi pemindahan hak guna atas barang atau
jasa dalam batasan waktu tertentu melalui pembayaran upah sewa tanpa diikuti
dengan pemindahan hak pemilikan atas barang. Sistem ini bank dapat saja
meresponi dengan ketentuan: bank membeli barang yang diinginkan oleh
nasabah; bank menyewakan barang itu kepada nasabah menurut waktu, jumlah
sewaan, serta syarat-syarat lain yang disetujui oleh kedua pihak.
Berdasarkan teori manajemen investasi yang ada, maka harta wakaf
Alkhaira>t sangat memungkinkan dijadikan instrumen investasi. Sasaran
investasi dapat saja melalui bank-bank syari’ah atau bersama pihak lain yang
dianggap dapat memberikan keuntungan bersama. Alkhaira>t yang mempunyai
harta wakaf; mempunyai peluang memanfaatkan sistem investasi sebagai bagian
dari proses pengembangan dan peningkatan harta wakaf. Informasi yang
diterima dari Ahmad Aljufri (wawancara, 2012) bahwa wakaf dana abadi telah
diinvestasikan ke dalam beberapa jenis kegiatan, yaitu: pengembangan Swalayan
274
Alkhaira>t (SAL), pembangunan ruko, dan juga termasuk pendirian Koperasi
Pondok Pesantren seperti telah dijelaskan di atas. Keempat jenis pembiayaan
yang ada, Alkhaira>t baru memanfaatkan jenis pembiayaan mud}arabah
sebagaimana dana abadi yang telah dikembangkan dalam beberapa
pengembangan usaha Alkhaira>t. Namun, informasi menyangkut detail
penyaluran dan juga termasuk hasil investasi tidak dijelaskan lebih lanjut.
Sementara lokasi tanah yang mempunyai potensi ekonomi tinggi belum
ada informasi mengenai pengembangan melalui sistem investasi. Misalnya, di
desa Bulubute ada lokasi tanah seluas 34 ha tujuan wakifnya untuk keperluan
perkebunan anggur dan masih memungkinkan untuk dikembangkan lagi.
Olehnya itu, jika memang Alkhaira>t mau mendapatkan hasil yang baik dengan
keterbatasan tenaga pengelola; maka lokasi tersebut dari sisi manajemen dapat
dikembangkan dengan sistem investasi kepada pihak yang mempunyai
kemampuan mengelolanya. Apabila mengikuti pola kerjasama dengan bank,
maka investasi dengan sistem musyarakah dapat saja diterapkan antara
Alkhaira>t dengan bank, atau mungkin dengan pihak lain; tetapi ternyata aset-
aset yang ada belum ada informasi atau data yang menunjukkan kalau Alkhaira>t
telah mengelolanya dengan membangun kerjasama.
Oleh karena itu, aset harta wakaf berupa tanah kosong yang dianggap
potensial dan wakaf dana abadi sangat tepat membangun sistem kerjasama
dengan pihak perbankan atau pihak lainnya. Selama ketentuan kerjasama tetap
dibangun di atas pondasi syari’ah Islam, maka dapat dibenarkan dan tidak
terhalang untuk dimanfaatkan dan dikembangkan. Bentuk pembiayaan atau
275
investasi dengan sistem kerjasama yang telah dijelaskan di atas menjadi salah
satu langkah dan upaya meningkatkan produktifitas harta wakaf Alkhaira>t.
Selain yang digambarkan di atas tentang kemungkinan kerjasama dengan
perbankan pada beberapa jenis pembiayaan, maka penyebaran program investasi
di lapangan sangat terbuka bagi siapa saja yang ingin menanamkan modalnya;
baik bersifat perorangan maupun lembaga. Senduk (2004: 24) mengatakan
bahwa produk-produk investasi yang tersedia di pasaran yang dapat menjadi
pilihan bagi seseorang, antara lain: tabungan di bank, deposito, saham, properti,
emas, obligasi, dan lain-lain. Namun, semua itu dapat saja dilakukan oleh
seseorang atau lembaga pengelola wakaf (nazir) selama ketentuan yang ada di
dalamnya tidak mengandung unsur-unsur yang dilarang dalam prinsip umum jual
beli, atau mu’amalah pada umumnya.
Intisarinya bahwa peluang berinvestasi dari harta wakaf yang dimiliki
oleh setiap lembaga wakaf (nazir) khususnya bagi perhimpunan Alkhaira>t sangat
terbuka luas di pasaran; tergantung adanya komitmen dan upaya yang dilakukan
oleh Alkhaira>t. Kemampuan manajerial pengelola wakaf akan menjadi penentu
jalannya pengembangan harta melalui jalur investasi. Jika perhimpunan
Alkhaira>t mampu memanfaatkan sistem yang tersedia, maka hasil harta
wakafnya semakin bertambah. Implikasi positifnya dapat meningkatkan
perekonomian perhimpunan, meningkatkan daya saing perhimpunan, membuka
peluang dan kesempatan kerja, dan juga meningkatkan kesejahteraan pegawai
dan karyawannya. Namun apa yang terjadi, Alkhaira>t masih lamban
memanfaatkan peluang tersebut; sehingga harta wakafnya belum memberikan
korelasi perekonomian terhadap lembaga. Singkatnya teori manajemen investasi
276
sesungguhnya belum sepenuhnya diimplementasikan oleh Alkhaira>t dari aset
harta wakafnya yang mempunyai nilai produktifitas dan ekonomi tinggi.
Ruko yang telah digunakan, jika dilihat secara langsung telah
menunjukkan kemajuan yang harusnya memberi kontribusi bagi perhimpunan.
Ruko dimaksud yang terdiri atas lima petak telah terisi semuanya yang karena
itulah memberikan indikasi adanya penerimaan oleh Alkhaira>t. Hasil informasi
yang diterima di lapangan sistem pemanfaatannya adalah sewa. Investasi dengan
sistem sewa atas harta wakaf Alkhaira>t telah dipraktekkan, namun yang perlu
diperhatikan adalah proses penerimaan hasil dari sistem sewa tersebut. Laporan
penerimaan keuangan dan juga proses pengembangannya untuk penerimaan hasil
sistem sewa dari ruko belum ditemukan.26
Investasi merupakan bentuk aktif dari ekonomi syari’ah, sebab setiap
harta ada zakatnya, jika harta itu didiamkan maka lambat laun akan termakan
oleh kewajiban mengeluarkan zakatnya. Zakat menjadi kewajiban bagi umat
Islam. Diperintahkan mengeluarkan zakat karena ada sasaran yang wajib pula
untuk menerimanya. Tetapi dibalik kewajiban itu terkandung banyak hikmah.
Salah satu hikmah dari zakat adalah mendorong untuk setiap muslim
menginvestasikan hartanya. Harta yang diinvestasikan tidak akan termakan oleh
zakat, kecuali keuntungannya saja27
.
26
Lihat: uraian jenis penerimaan dan penggunaan dana di lingkungan Pengurus Besar seperti
diuraikan Huzaimah T. Yanggo (2013: 266-269). 27
Hikmah diwajibkannya zakat adalah: berbagai masalah sosial seperti kemiskinan, kebodohan,
gangguan kesehatan dan jenis penyakit sosial lainnya dalam masyarakat dapat tertanggulangi;
pertanggung jawaban sosial karena kekayaan yang diperoleh seseorang tidak terlepas dari andil orang
lain; orang yang mengeluarkan zakat menjadi sarana memantapkan hubungannya dengan Allah dan
akhirnya harta yang dikeluarkan zakatnya akan ditambah oleh Allah swt sebagaimana telah dinyatakan
dalam firman-Nya pada surah al-Baqarah ayat 261 (Qadir, 2001: 80-81; ash-Shiddiqy, 2009: 207).
277
Sistem investasi mengenal harga yakni nilai jual beli dari sesuatu yang
diperdagangkan. Selisih harga beli terhadap harga jual disebut profit margin.
Harga terbentuk setelah terjadinya mekanisme pasar28
. Imam al-Ghazali dalam
pernyataannya yang dikutip Yusuf al-Qardhawi (2002b: 539) menyatakan
keuntungan merupakan kompensasi dari kepayahan perjalanan, resiko bisnis dan
ancaman keselamatan diri pengusaha, sehingga sangat wajar seseorang
memperoleh keuntungan yang merupakan kompensasi dari resiko yang
ditanggungnya29
.
Ibnu Taimiyah seperti di kutip Muhammad Budi Setiawan30
berpendapat
bahwa penawaran bisa datang dari produk domestik dan impor. Perubahan dalam
penawaran digambarkan sebagai peningkatan atau penurunan dalam jumlah
barang yang ditawarkan, sedangkan permintaan sangat ditentukan harapan dan
pendapatan. Besar kecilnya kenaikan harga tergantung besarnya perubahan
penawaran atau permintaan. Bila seluruh transaksi sudah sesuai dengan aturan,
maka kenaikan harga yang terjadi itu adalah bagian dari kehendak Allah SWT,
dan manusia tidak dapat menjangkaunya.
Pelaksanaan investasi dimaksud bertujuan mendapatkan pendapatan dan
keuntungan yang digambarkan oleh Nurul Huda (2008: 8): a) untuk
mendapatkan kehidupan yang lebih layak, sehingga upaya-upaya untuk
28
Mekanisme pasar melahirkan hukum permintaan dan hukum penawaran. Tetapi di sisi lain juga
perlu memperhatikan bahwa di antara permintaan dan penawaran harus diberlakukan hukum
keseimbangan (equilibrium) (P3EI, 2008: 389). 29
Yusuf al-Qardhawi (2002: 539) memberikan keterangan bahwa untung dan rugi yang
didasarkan oleh investor bersama bank (misalnya) merupakan bentuk investasi yang adil dan inilah yang
dalam hukum Islam ‚bisnis yang dihalalkan‛, sementara keuntungan yang dijaminkan hanya dari satu
pihak ini termasuk kezaliman oleh karena itu ‚bisnis ini diharamkan‛. 30
Lihat: Muhammad Budi Setiawan, 2007, Pengantar Manajemen Investasi, (Manajemen Investasi Syari’ah), diunduh pada tanggal 5 Mei 2013, dari: http://cakwawan.wordpress.com/2007/
11/24/manajemen-investasi-syariah-bagian-1/
278
mencapai hal tersebut di masa depan selalu dilakukan; b) mengurangi tekanan
inflasi, faktor inflasi tidak pernah dapat dihindarkan dalam kehidupan ekonomi
namun harus ada usaha meminimalkan resiko akibat inflasi. Investasi termasuk
salah satu bisnis yang dikategorikan sebagai langkah yang efektif.31
Prinsip-prinsip Islam dalam bidang mu’amalah yang harus diperhatikan
oleh pelaku investasi syari’ah Islam (pihak terkait) adalah sebagai berikut: tidak
mencari rizki pada hal-hal yang diharamkan, baik dari segi zatnya maupun cara
mendapatkannya, serta tidak menggunakannya pada hal-hal yang diharamkan;
tidak menzalimi dan tidak dizalimi; keadilan dalam distribusi; transaksi
dilakukan atas dasar ridha sama ridha; tidak ada unsur riba, maysir, perjudian,
spekulasi, gharar (ketidakjelasan) atau samar-samar (Rivai, 2010: 423-424).
Qadri Azizy (2004: 191) yang mengutip hasil muktamar di al-Azhar Kairo dan
Rabithah Alam Islami bahwa prinsip pembiayaan Islam: tidak ada transaksi
keuangan berbasis bunga; pelarangan produksi barang dan jasa yang
bertentangan dengan sistem nilai Islam; menghindari aktivitas ekonomi yang
melibatkan maysir (judi) dan gharar (ketidakpastian).
Berdasarkan prinsip di atas, maka kegiatan di pasar modal atau di
lembaga pengelola investasi mengacu pada hukum syari’at yang berlaku.
Perputaran modal pada kegiatan pasar modal syari’ah Islam tidak boleh
disalurkan kepada jenis industri yang melaksanakan kegiatan yang diharamkan.
Semua transaksi yang terjadi di bursa efek harus atas dasar suka sama suka,
tidak ada unsur pemaksaan, tidak ada pihak yang dizalimi atau menzalimi, dan
sebagainya yang dapat merugikan antar kedua pihak yang berinvestasi.
31
Kamaruddin Ahmad (2004: 4) menambahkan sebagai pendorong untuk penghematan pajak.
279
Uraian tersebut memberi pemahaman bahwa Alkhaira>t dengan potensi
wakafnya yang tersebar di banyak tempat dan mempunyai nilai ekonomi baik;
sudah perlu menyikapi peluang kerjasa sama dalam upaya menginvestasikan
harta wakaf dengan harapan akan mendatangkan hasil yang meningkat, sehingga
memberi kemaslahatan dan kesejahteraan yang positif bagi anggota
perhimpunan dan masyarakat Islam pada umumnya. Pengurus Alkhaira>t di
semua tingkatan tidak boleh lagi bersikap apatis atau tidak pro aktif terhadap
keterbengkalainnya harta wakaf yang ada; tetapi harus merubah prinsip dan
sikap dalam melihat kondisi wakafnya yang demikian itu. Peluang investasi
terbuka luas dengan beragam jenisnya; yang menentukan itu adalah pengurus
oragnisasi. Pengurus harus berkomitmen bahwa semakin banyak harta wakaf
yang dikembangkan dengan sistem investasi dan produktif, maka peluang
mendapatkan hasil sebanyak-banyaknya akan tercapai. Bila kondisi ini terjadi di
lingkungan Alkhaira>t, maka secara tidak langsung kekurangan dan ketidak
cukupan biaya operasionalisasi pengelolaan pendidikan tidak lagi menjadi
hambatan. Inilah yang menjadi jalan menuju kemandirian perhimpunan. Mandiri
dari aspek kelembagaannya, manajemen, serta anggaran operasional.
Di sisi lain, sebagaimana dijelaskan di atas tentang hasil penerimaan
investasi pada beberapa jenis kegiatan; sesungguhnya belum memperhatikan
aspek transparansi pemanfaatan sebagai harta wakaf. Laporan pengelolaan yang
dikhususkan dari harta wakaf belum terjadi. Kondisi ini akan mengarahkan pada
lenyapnya pokok harta wakaf karena hasil penerimaan investasinya tidak
dikembangkan pada penambahan modal harta wakaf. Padahal wakaf harusnya
tetap modalnya dan hasilnya saja yang dimanfaatkan untuk kepentingan umat.
280
Singkatnya, manajemen investasi dalam pengelolaan wakaf Alkhaira>t
bila mendasarkan pada pola pikir yang dikemukakan dalam landasan teori belum
diperhatikan oleh pengurus Alkhaira>t. Pola pikir dimaksud seperti dikemukakan
oleh Rozalinda (2015: 140) yang mencakup dua hal, yaitu: pertama, usaha
menghimpun modal melalui kegiatan membentuk wakaf, mengembangkan,
memperbarui, melakukan penggantian terhadapnya demi memelihara
kemampuan produksinya, manfaat dan keuntungan. Maksud dari konsep ini,
bahwa seharusnya wakaf Alkhaira>t diinvestasikan merupakan uapay
pengembangan harta wakaf, sehingga jumlahnya atau nilainya akan bertambah
di kemudian hari, tetapi hal ini justru tidak jelas adanya penambahan nilai
wakafnya. Kedua, penggunaan modal untuk mendapatkan hasil atau pemasukan,
ini dimaksudkan pula bahwa setelah harta wakaf itu diinvestasikan harusnya
menambah hasil penerimaan organisasi tanpa mengurangi pokok hartanya dan
pemanfaatannya menjadi lebih banyak menyentuh kegiatan operasionalnya
organisasi dan kepentingan umat; tapi kenyataannya belum ada laporan yang
dapat dianggap akurat.
D. Hambatan dan Solusi Manajerial Pengelolaan Wakaf Alkhaira>t
1. Hambatan manajerial
a) Alkhaira>t belum memiliki sistem informasi yang baik.
Informasi merupakan media menghubungkan organisasi dengan pihak lain
untuk dijadikan relasi maupun sebagai data agar mengetahui secara
keseluruhan keadaan organisasi yang sesungguhnya. Informasi menjadi
penting bagi sebuah organisasi baik secara internal maupun eksternal dalam
281
memberikan gambaran mengenai berbagai masalah yang ada dalam
organisasi dan termasuk cara memecahkan masalah.
Salah satu sistem yang dapat digunakan dalam pengelolaan
organisasi adalah manajemen dengan pendekatan informasi. Manajemen ini
dimaksudkan bahwa pengelolaan organisasi yang berpusat pada peran
pentingnya informasi bagi kemajuan dan kinerja organisasi. Informasi bukan
hanya sekedar berita, melainkan materi tentang berbagai kondisi dan situasi
yang terjadi di dalam dan di luar organisasi. Organisasi yang mau
membangun kerjasama dengan pihak lain, memerlukan informasi yang detail
mengenai profil organisasi atau lembaga yang dituju dalam kerjasama. Profil
kelembagaan menjadi sangat penting dalam membangun kerjasama dengan
pihak yang dapat memberi keuntungan dan kemajuan bersama. Melalui profil
akan diketahui sistem yang digunakan dalam pengelolaan organisasinya;
termasuk sistem informasi.
Kemajuan teknologi dewasa ini telah mampu menyatukan kemajuan
komputerisasi, televisi, radio, dan telepon sebagai satu kesatuan yang
terintegrasi sekaligus merubah sistem informasi komunikasi. Teknologi
informasi dan komunikasi dapat membantu dan memberi perubahan besar
dibanyak negara. Era global sekarang tidak ada lagi sekat dalam akses
informasi, sehingga semua lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang
sama untuk mengembangkan diri dalam segala aspek kehidupannya (Sa’ud,
2010: 185-186).
Kebutuhan akan informasi bukan hanya dibutuhkan bagi organisasi
atau lembaga, tetapi setiap orang pun mempunyai kepentingan terhadap
282
informasi itu. Orang akan banyak mendapat pengetahuan hanya dengan
sering membuka informasi. Sumber informasi telah tersebar di banyak
tempat dan jenis barang serta teknologi. Apabila setiap orang dan organisasi
memilikinya akan mendorong percepatan peningkatan kemajuannya.
Sebaliknya, bila system informasinya tidak dimilikinya maka kemungkinan
orang atau organisasi itu lamban terhadap kemajuan. Akibatnya tingkat
kompetisinya sangat rendah dan bahkan dapat saja kalah bersaing.
Alkhaira>t memang telah memiliki media informasi, seperti: radio,
koran, dan jaringan komunikasi telepon; namun media tersebut belum dapat
digunakan secara maksimal berhubungan dengan pengembangan informasi
dalam tubuh organisasinya. Jaringan komunikasi antar sesama anggota
dalam satu pengurus, antar pengurus dengan pengurus, dan antar pengurus
dengan pihak lain; belum ada panduan dan tata aturan yang dapat dijadikan
sarana menghubungkan seluruh kegiatan keorganisasian. Sistem informasi
menjadi penghubung untuk menyampaikan kehendak atau sesuatu yang ingin
disampaikan. Ini sangat erat dengan sistem komunikasi. Komunikasi itu
merupakan saluran yang digunakan untuk meneruskan pesan atau informasi
dari satu pihak kepada pihak lain (Noor, 2013: 220).
Ketua Yayasan menyatakan bahwa Alkhaira>t masih mengalami
banyak kendala dalam pengelolaan wakaf disebabkan oleh karena belum
memiliki sistem informasi yang baik. Memang kita akan merencanakan ke
depan penataan organisasi lebih banyak menggunakan media informasi
sebagaimana era sekarang yang seluruh daerah dan bahkan sampai ke
pelosok telah terjangkau oleh media informasi. Jadi kendala dalam
283
pengelolaan wakaf Alkhaira>t termasuk disebabkan oleh sistem informasi di
Alkhaira>t yang belum baik (Fadel, wawancara, 2012).
Kesimpulannya, Alkhaira>t bukan belum memiliki sarana informasi
tetapi bagaimana memanfaatkan sarana informasi dalam pengelolaan
lembaga dan organisainya yang belum tertata dengan baik; sehingga terjadi
kelambanan dalam pengembangan organisasinya. Oleh karena itu, Alkhaira>t
harus melaksanakan kegiatan pelatihan yang berhubungan dengan
pemanfaatan teknologi informatika. Melalui kegiatan seperti itu diharapkan
seluruh pengurus memahami dan mengetahui pentingnya sistem informasi
serta mampu mengaplikasikan system tersebut ke dalam pengelolaan
organisai. Adanya kemajuan teknologi di bidang informatika dijadikan alat
percepatan pengembangan organisasi.
b) Pengelola wakaf yang tidak berbentuk organisasi atau badan hukum
Penjelasan di bab terdahulu telah diuraikan bahwa berdasarkan ketentuan
perundang-undangan, Alkhaira>t dianggap layak menjadi pengelola wakaf.
Alasannya karena telah berbentuk organisasi dan mempunyai badan hukum.
Namun, bila syarat sebagai organisasi dan badan hukum pengelola wakaf
dimaksud dalam peraturan yang ada menghendaki anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga khusus pengelolaan wakaf, maka Alkhaira>t tidak
mempunyai wewenang melaksanakan pengelolaan wakaf disebabkan
organisasi dan badan hukumnya bukan sebagai pengelola wakaf.
284
Pengelola wakaf berdasarkan ketentuan yang berlaku harus berada di
wilayah atau tempat dimana harta wakaf itu berada (Hamami, 2003: 101).32
Hal ini berlaku juga pengelola wakaf bersifat perorangan; sedangkan yang
kelompok atau badan hukum harus memiliki perwakilan dimana harta wakaf
itu berada. Ini memberikan makna bahwa sekalipun di tempat itu hanya ada
satu lokasi atau jenis harta wakaf, maka perwakilan atau anggota nazir harus
ada pula.
Agar wakaf dapat melahirkan hasil yang menguntungkan dengan cara
diproduktifkan, maka badan atau lembaga yang secara khusus mengelola
wakaf harus terbentuk secara mandiri. Di tingkat nasional, pemerintah telah
membentuk Badan Wakaf Indonesia yang diberi tugas mengembangkan
wakaf secara produktif, sebagai implikasinya diharapkan dapat
meningkatkan taraf hidup masyarakat. Lahirnya UU tentang wakaf yang
selanjutnya dijelaskan dengan Peraturan Pemerintahnya, telah membuka
kesempatan bagi berkembangnya organisasi dan badan hukum pengelola
wakaf dan bahkan peluang mendirikan badan hukum yang baru.
Perhimpunan Alkhaira>t yang sejak awal berdasarkan ketentuan
organisasinya telah menunjukkan adanya peran harta wakaf, berada pada
posisi strategis untuk melakukan proses reorganisasi. Diketahui selama ini
wakaf belum optimal cara pengelolaannya akan sangat bergantung pada
bentuk organisasinya. Terbentuknya organisasi pengelola wakaf inilah yang
nantinya diserahi tugas dan tanggung jawab secara penuh mengelola dan
mengembangkan harta wakaf yang ada.
32
Lihat: PP. Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf; pasal 4-12). PP. Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, pasal 6.
285
Peraturan organisasi Alkhaira>t memang tegas menjelaskan peran
Alkhaira>t dalam menerima, mengelola dan mengembangkan wakaf, tapi
berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, maka organisasi
dan yayasan Alkhaira>t seharusnya didaftarkan untuk menjadi nazir
organisasi dan badan hukum. Terdaftarnya sebagai nazir akan
memungkinkan sistem pengelolaan wakaf yang tersebar di daerah-daerah
dapat terkontrol disebabkan karena pengelolaan terpusat pada badan
dimaksud. Atau Pengurus Besar dan yayasan membentuk badan atau
lembaga baru yang mempunyai akte khusus sebagai lembaga pengelola
wakaf. Berdirinya organisasi dan badan hukum pengelola wakaf inilah yang
kemudian sistem manajerialnya dapat diterapkan.
Merujuk pada lembaga pendidikan di luar Alkhaira>t misalnya:
Muhammadiyah, Badan Wakaf Gontor, Dhampet Dhuafa, Yayasan Hasyim
Asy’ari PP Tobuireng, dan sebagainya (Fanani, 2010: 40-48; Djunaidi, 2006:
69-73) yang terbukti sukses mengelola dan mengembangkan wakafnya
karena ada badan atau lembaga otonomnya yang dipercayakan khusus
mengelola wakaf, maka sepatutnya Alkhaira>t menjadikan kemajuan dan
kesuksesan lembaga dimaksud untuk proses pembelajaran menuju
kemandirian institusi pendidikan dengan sumber ekonominya sendiri.
Sumber ekonomi itu antara lain adalah pengelolaan wakaf ke arah produktif
dengan manajemen profesional.
c) Pengelola wakaf belum memenuhi standarisasi nazir
Sebenarnya dari makna yang dikandung oleh wakaf telah memberikan kesan
adanya profesionalitas, yakni: wakaf perbuatan yang mulia dan
286
membutuhkan keikhlasan, karena ada tujuan yang diharapkan ‚mendekatkan
diri kepada Allah swt‛ 33
; wakaf menuntut ketelitian dalam mengeluarkan
harta milik karena harta yang diwakafkan harus memberi manfaat dan
nilai34
; wakaf juga harus dapat dijamin kelanggengannya; wakaf juga
menekankan aspek sasaran yang jelas serta ada yang menahan dan
mengelolanya; bahkan wakaf mengharuskan pengadministrasian. Kandungan
makna seperti itu menunjukkan lembaga wakaf merupakan lembaga
keagamaan yang orientasinya adalah produktifitas dan berkualitas.
Orientasinya dimaksud dapat dicapai jika personil yang mengurusnya
mempunyai kualitas pula. Jadi nazirnya secara langsung dituntut harus
profesional. Posisi nazir menjadi sangat penting dan strategis sebagai bagian
tak terpisahkan bagi keberhasilan wakaf dan realisasi pengelolaan harta
wakaf (Rafiq, 2004: 326, Munawar, 2004: 152).
Strategisnya nazir, menuntut adanya kualifikasi atau syarat (Rafiq,
2004: 326). Kualifikasi dimaksud menjadi kesepakatan imam mazhab yang
meliputi: berakal, dewasa, amanah, dan memiliki kemampuan untuk
mengelola segala yang bertalian dengan urusan wakaf (al-Baqy, 2006: 72).
Syarat yang umum yaitu: adil dan mampu. Adil adalah mengerjakan yang
diperintahkan dan menjauhkan yang dilarang menurut syari’at; dan mampu
mentasharrufkan apa yang dijaga (Djunaidi, 2008:51)35
. Kemampuan sebagai
syarat dimaksudkan adalah: mampu menggerakkan motivasi bawahan,
memberi tugas kepada bawahan sesuai dengan kompetensi mereka dan
33
Lihat: QS. Al-Bayyinah (97) ayat (5). 34
Lihat: QS. Al-Baqarah (2) ayat (177). 35
Lihat: Ayatullah Muhammad Ibrahim (2000: 34) dalam Thariq Abdullah, Jurnal Awqaf.
287
sekaligus mampu menempatkan orang pada posisi yang benar, memberikan
reward bagi bawahan berprestasi dan berani menghukum atau memberikan
punishment terhadap bawahan yang melanggar aturan dan mampu memberi
contoh yang baik.36
Ulama telah sepakat nazir sebagai wakil37
dari orang
yang mewakafkan hartanya menjadi penguasaan yang dikelola sebagai
amanat karena telah dipercaya (al-Kabisi, 2004: 523).
Bila standar di atas dikaitkan dengan pengelolaan wakaf Alkhaira>t,
maka masih membutuhkan analisis lebih lanjut. Pengelolaan wakaf Alkhaira>t
oleh pengurus saat ini belum memenuhi standarisasi nazir yang dapat
melahirkan kerja professional. Ada beberapa alasan yang perlu dikemukakan,
yaitu: 1) pegawai yang terbatas, artinya jumlah pegawai yang ditempatkan
mengurus wakaf yang tersebar di seluruh wilayah kerjanya hanya antara 1
(satu) sampai 3 (tiga) orang saja untuk setiap periode kepengurusan.38
2)
kemampuan, maksudnya sebagai nazir harus sanggup mengelola harta wakaf
sehingga harta wakaf tidak terlantar atau bahkan di ambil alih oleh ahli waris
dan lain-lainnya yang mengakibatkan harta wakaf tidak mendatangkan hasil.
Kemampuan memahami seluk beluk perwakafan dan mempunyai keahlian
manajerial. Wakaf Alkhaira>t nampaknya berdasarkan realitas lapangan
menunjukkan kurang mempunyai kemampuan terhadap pengelolanya. 3)
36
Dalam sebuah ayat disebutkan bahwa ‚Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan)
kebajikan sedangkan kamu sendiri melupakannya…...‛ (QS. Al-Baqarah: 44). 37
Nazir sebagai wakil, mewakili dua kelompok; pemilik dan mustahik. Selama wakif masih
hidup, tindakan nazir harus sesuai dengan petunjuk wakif. Wakif berhak memberhentikan dengan sebab
atau tanpa sebab. Nazir sebagai wakil dari mustahik, karena bekerja untuk kepentingan mereka dengan
membagikan manfaat darinya. Pengangkatan nazir, untuk menjaga dan membagikan harta manfaat wakaf
itu kepada yang berhak. Nazir adalah wakil mereka dan mengatasnamakan kepentingan mereka (al-
Kabisi, 2004: 518-522). 38
Jumlah tersebut dianalisis dari beberapa periode kepengurusan yang ada hasil penetapan
muktamar; sumber analisis Hasil Keputusan Rapat Kerja Nasional Alkhaira>t tahun 2009 dan buku Sayyid
Idrus bin Salim al-Jufri Pendiri Alkhaira>t dan Kontribusinya dalam Pembinaan Umat, oleh Huzaimah T.
Yanggo (Ketua Tim).
288
sistem, ini dimaksudkan bahwa pengelolaan wakaf seharusnya ditata dengan
baik dan tertib. Tata kelola yang baik dan tertib hanya akan tercapai bila ada
perangkat aturan atau pedoman yang secara formal digunakan oleh orang
yang mengelola. Nazir bekerja berdasarkan aturan yang jelas atau dengan
mekanisme yang memberikan jaminan atas lahirnya produktifitas kerja.
Wakaf Alkhaira>t yang penyebarannya meliputi wilayah kerjanya,
tidak didukung oleh jumlah pegawai yang mengelola. Abd. Rahman H.
Halim (wawancara, 2012) mengungkapkan bahwa sebenarnya seluruh wakaf
yang menjadi milik Alkhaira>t harusnya terdata di Sekretariat PB; namun hal
ini belum bisa terlaksana karena yang mengurus langsung hanya satu orang
saja, seluruh urusan yang berhubungan dengan wakaf dibebankan pada
seorang saja. Jumlah ini dapat dipastikan wakaf tidak terkelola dengan baik.
Selain itu, masalah kemampuan pegawai; setiap orang memiliki potensi dan
kemampuan tetapi wakaf yang mempunyai keunikan tersendiri dari bidang
ekonomi lainnya dalam Islam, menuntut adanya kemampuan yang handal.
Kemampuan dimaksud yaitu: a) kemampuan memahami tentang falsafah
wakaf; b) kemampuan memahami tentang institusi wakaf; c) kemampuan
memahami tentang administrasi; d) kemampuan memahami tentang
pembinaan dan pengawasan (Nasution, 2008: 39-43).
Standart ini mencerminkan bahwa nazir siap dibina dan diawasi dari
pihak mana pun (baik internal maupun eksternal). Pengawasan internal lahir
dari lembaga atau organisasi yang bersangkutan dengan membentuk badan
atau tim pengawasnya sendiri; sedangkan pengawasan eksternal datangnya
dari Kementerian Agama, Badan Wakaf Indonesia; dan lembaga-lembaga
289
pengawasan keuangan dan ekonomi. Pengawasan pengelolaan wakaf
dilakukan dengan cara menuntut tingginya kualitas kepemimpinan serta
kinerja seluruh unsur dalam lembaga kenaziran. Oleh sebab itu, untuk
mengelola wakaf secara professional, maka seorang nazir harus memiliki
banyak kemampuan. Kemampuan dimaksud juga meliputi kemampuan
teknis, kemampuan sosial, dan kemampuan konseptual (Heresy, 2004: 5).
Wakaf Alkhaira>t pada dasarnya belum terkelola dengan baik. Belum
terkelola dengan baik disebabkan oleh lembaga kenazirannya tidak
berbentuk organisasi atau badan hukum sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Alasan yang demikian itu mengakibatkan kurang jelasnya sistem perekrutan
tenaga kerja atau sumber daya manusia sebagai pelaksana. Sistem seleksi
tenaga kerja tidak dilakukan, sehingga tidak ada standar yang dapat
diterapkan guna mengukur kemampuan tenaga kerja. Pengangkatan pegawai
dalam bidang perwakafan hanya mengandalkan kesiapan mental personal dan
secara struktural semata, bukan mendasarkan pada kemampuan pengetahuan
dan manajerialnya. Padahal nazir diharapkan mempunyai kemampuan
mengelola wakaf sesuai standar manajemen. Nazir dituntut memiliki
kemampuan yang secara menyeluruh terhadap pengelolaan wakaf.
Kemampuan dimaksud juga menggerakan keterlibatan karyawan, fokus
kepada pelanggan (wakif dan mustahik), penentuan acuan (metode,
perencanaan, dsb), dan perbaikan terus menerus (Daft, 2006: 77).
Jika perhimpunan Alkhaira>t menginginkan harta wakafnya dapat
memberi kontribusi yang lebih besar, bukan hanya lokasi dapat digunakan
membangun madrasah atau pondok pesantren; tetapi juga mendatangkan
290
hasil keuangan atau hasil produktifitas lainnya yang bernilai ekonomis
tinggi, maka lembaga kenazirannya diperbaiki. Melalui lembaga kenaziran
inilah yang akan mengangkat sumber daya manusia berdasarkan kualifikasi
keilmuan dan skillnya. Skiil dimaksud adalah kemampuan
mengaktualisasikan potensi dirinya sebagai nazir sehingga dapat digunakan
untuk memecahkan problem yang sementara dihadapinya. Masalah wakaf
banyak meninggalkan problem, hal ini membutuhkan kecakapan khusus dari
pengelolanya. Harta wakaf tidak lagi diterima oleh nazir perseorangan tetapi
atas nama organisasi atau badan hukumnya. Standarisasi kemampuan nazir
akan sangat menentukan keberhasilan pengelolaan wakaf Alkhaira>t.
d) Tidak adanya dana operasionalisasi pengelolaan wakaf
Masalah dana biasanya menjadi sebab maju atau mundurnya sebuah
organisasi dan bahkan juga negara. Termasuk perhimpunan Alkhaira>t masih
sangat kekurangan pendanaan pada operasionalisasi seluruh jenis kegiatan
organisasi. Sebagai lembaga yang bergerak di bidang pendidikan masalah
pembiayaan menjadi kendala umum. Oleh karena itu, menurut Daulay (2004:
70) kendala umum yang sering terjadi di lembaga pendidikan perlu dicarikan
solusi dan salah satunya adalah otonomi pendidikan. Alkhaira>t secara
institusi sebenarnya termasuk salah satu lembaga pendidikan yang otonom;
tetapi nampaknya masalah pembiayaan masih dianggap menjadi kendala.
Kurangnya ketersediaan pembiayaan pendidikan kemungkinan adanya
kelemahan pengelolaan pendidikan itu sendiri. Sudarwan Danim (2006: 77-
78) menjelaskan bahwa kelemahan pengelolaan pendidikan Indonesia
291
mencakup: manajemen dan ketatalaksanaan sekolah; masalah pendanaan;
masalah kultur; dan masalah geografis. Khusus masalah pendanaan lembaga
pendidikan masih banyak mengharapkan bantuan Pemerintah sementara
sumbangan sukarela dari masyarakat masih dipandang sebagai penunjang.
Alkhaira>t sebagai lembaga yang bergerak di bidang pendidikan,
dakwah, dan sosial bila dikelola dengan pola manajemen; akan dapat
mendorong lahirnya sumber-sumber perekonomiannya. Di manapun lembaga
pendidikan itu bila maju dan berkembang baik telah memberi dampak positif
bagi perekonomian masyarakat. terbukanya unit-unit usaha di sekitar
lembaga pendidikan merupakan dampak pesatnya pendidikan tersebut. Unit-
unit usaha yang berdiri di sekitar lembaga pendidikan bila ini menjadi bagian
dari usaha lembaga pendidikan itu secara otomatis akan memberikan
penerimaan dana rutin. Kondisi ini akan mengurangi sikap mengharap dan
ketergantungan dengan pihak lain atau pemerintah. Di kompleks Alkhaira>t
yang saat ini telah terjadi perkembangan pesat; berbagai unit usaha telah
berdiri. Lingkungan seperti ini harusnya menjadi bagian dari penguasaan
lembaga. Akan tetapi, justru hal ini tidak dikendalikan oleh perhimpunan
Alkhaira>t.
Oleh sebab itu, peluang untuk mendapatkan anggaran dari lingkungan
yang telah terbentuk demikian itu tidak memberikan dampak perekonomian
terhadap lembaga. Akibatnya kekurangan anggaran dalam pengelolaan
pendidikannya menjadi sesuatu yang sulit diselesaikan. Implikasinya bukan
hanya pada aspek pendidikan dan dakwahnya tetapi juga pada pengelolaan
wakaf pun dijadikan alasan keterbatasan anggaran operasional. Tidak adanya
292
dana yang dikhususkan bagi pengelolaan wakaf menjadi hambatan
pelaksanaan tugas di bidang wakaf. Misalnya ada program inventarisasi aset
wakaf, namun tidak dapat terlaksana dengan baik disebabkan oleh tidak
didukung anggaran operasional. Hal ini bisa saja dapat tercapai jika sistem
informasi seperti diungkapkan di atas telah berjalan dengan baik pula.
Kondisi ini diakui oleh Wakil Sekretaris Jenderal Saiful Tompoh
(wawancara, 2012), bahwa memang ada beberapa program yang telah
dicanangkan oleh bidang pembangunan/wakaf seperti: inventarisasi, tabulasi,
sertifikasi; ini semua tidak dapat terlaksana. Di sisi lain, pihak Pengurus
Besar tetap mengharapkan bahwa dengan pengelolaan wakaf yang masih
sangat banyak masalah dapat memberi kontribusi bagi pemenuhan sebagian
kecil kebutuhan perhimpunan.
Kurangnya anggaran yang dimiliki oleh Pengurus Besar Alkhaira>t
terhadap pengelolaan wakaf, menyebabkan wakaf yang begitu banyak
penyebarannya dan bahkan ada beberapa tempat dan lokasi yang memiliki
potensi ekonomi tinggi tidak dapat tercapai. Manajemen wakaf tidak
terealisasi sesuai pesan dan makna yang dikandung oleh wakaf itu.
Dukungan anggaran bagi pemeliharaan dan pengembangan wakaf untuk
melanggengkan harta wakaf tidak terlepas adanya biaya dimaksud; untuk
menjamin kelanggengan harta wakaf agar terus menerus memberikan
pelayanan prima sesuai dengan tujuannya diperlukan dana pemeliharaan.
Bagaimana bisa tanah wakaf melahirkan produktifitas jika tidak ada
pengairan, pupuk, bibit, dan sebagainya; semua ini membutuhkan anggaran.
Mengusahakan dan mengeluarkan biaya untuk kepentingan seperti disebut di
293
atas, adalah bagian dari investasi atau penanaman modal terhadap harta
wakaf (Djunaidi, 2006: 112-113).
Alkhaira>t yang telah menjadikan kekurangan anggaran
operasionalisasi pengelolaan wakaf menjadi hambatan tidak terlaksananya
program, perlu mengoreksi kembali terhadap pemanfaatan sumber-sumber
daya yang ada di lingkungan perhimpunan. Atau memanfaatkan wakaf-
wakaf yang telah terisi di dalamnya berbagai jenis tumbuhan produktif
supaya dikelola sampai mendatangkan hasil kemudian disisihkan sebagian
untuk digunakan proses pengembangan harta wakaf yang ada. alasan
kurangnya anggaran operasional bagi pengelolaan wakaf merupakan
pandangan atau sikap yang bertentangan dengan esensi wakaf itu. Padahal
wakaf telah diakui sebagai salah satu sumber perekonomian umat dan
bahkan negara. Apabila ada aset wakaf yang tidak mempunyai pengelola,
maka negara dapat menjadi pengelolanya dan hasilnya diterima langsung
oleh negara, sehingga wakaf pun dipandang sebagai bagian dari sumber
pendapatan negara (Boedi Abdullah, 2010: 236).
e) Sistem kepemimpinan yang bersifat sentralistik
Kepemimpinan dalam ilmu menajemen dianggap sangat strategis.
Kepemimpinan merupakan variable pokok untuk memajukan sebuah
manajemen, dan memotivasi pegawai untuk melakukan pekerjaannya; jika
tidak ada kepemimpinan manajemen tidak akan berjalan efektif walaupun
ada faktor lain sebagai pendukung. Fungsi kepemimpinan jika dilihat dalam
manajemen Islam memiliki kekuatan keimanan serta tujuan yang jelas. Hal
inilah yang mendorong dan memotivasi setiap pegawai untuk menjalankan
294
tanggungjawabnya dengan harapan mendapatkan ridha Allah swt (Rozalinda,
2010: 41).39
Kepemimpinan dalam manajemen mengarahkan pada berfungsinya
tugas dan peran seorang manajer untuk mendorong kinerja pegawai
mencapai tujuan organisasi. Selain itu, kepemimpinan merupakan lambang
dan identitas organisasi/lembaga. Karena itulah peran dan kedudukan
pemimpin dalam sebuah organisasi sangat menentukan keberhasilan dan
kualitas organisasi. Di Alkhaira>t kepemimpinan adalah hal yang sangat
dihormati dan dijunjung tinggi. Kepemimpinan tertinggi Alkhaira>t dipegang
oleh ahli waris atau keturunan dari pendirinya yang diamanatkan memimpin
perhimpunan melalui penunjukan/bai’at pimpinan sebelumnya. Pemimpin
tertinggi diberikan hak prerogatif (AD, pasal 7; ART, pasal 8).
Kaitannya dengan sistem pengelolaan wakaf Alkhaira>t terhadap
peran kepemimpinan tersebut adalah masih kuatnya pemahaman dan
pemikiran bahwa keabsahan dan keberkatan wakaf itu hanya bisa terjadi jika
yang menerima wakaf adalah pimpinan tertinggi Alkhaira>t. Ini menjadi
kendala yang masih terus diupayakan untuk disosialisasikan agar
pemahaman ini tidak secara terus-menerus berkembang. Seseorang yang
sempat bertemu dengan pimpinan tertinggi merasakan sesuatu yang
istimewa. Sikap seperti ini dapat diterima dan sekaligus menunjukkan
kepercayaan abna’ Alkhaira>t kepada pimpinannya. Memang semua kalangan
di lingkungan Alkhaira>t masih mengakui akan peran pimpin tertinggi
39
Peran kepemimpinan dalam sebuah organisasi sangat penting, karena perannya yang meliputi:
peran interpersonal, informasional, dan human skill (keterampilan insani). Khusus peran interpersonal
menampakkan diri seorang pimpinan pada tiga bentuk, yaitu: selaku simbol keberadaan organisasi; selaku
pemimpin yang bertanggungjawab segala urusan organisasi; dan selaku penghubung dengan pihak di luar
organisasi (Herdiana, 2013: 99).
295
Alkhaira>t (karena dianggap memiliki kharismatik); tetapi berhubung wakaf
merupakan harta umat, sistem manajemen pengelolaan pun harus dapat
dibuktikan kembali kepada umat (Saiful Tompoh, wawancara, 2012).
Pernyataan ini memberikan harapan bahwa harta wakaf Alkhaira>t dalam
proses pengelolaannya tidak tergantung pada pengaruh kepemimpinan,
melainkan diarahkan pada upaya menerapkan manajemen; sehingga sistem
pertanggungjawabannya dan sebagainya selalu mendasarkan akuntabilitas
dan transparansi.
Oleh karena itu, mengalihkan kepercayaan abna’ Alkhaira>t dan
masyarakat terhadap pengaruh kepemimpinan menjadi bertumpu pada
organisasinya adalah bagian yang seharusnya dibudayakan. Strategi yang
dibuat dengan membentuk lembaga pengelola wakaf yang otonom, kemudian
melalui lembaga inilah yang berperan aktif menepis dan meluruskan
pemahaman warga dan masyarakat untuk berwakaf. Abna’ Alkhaira>t dan
masyarakat umumnya harus dibiasakan untuk mendermakan hartanya kepada
lembaga pendidikan dan lainnya; bukan karena ketokohan yang ada dalam
organisasi/lembaga itu, melainkan pada kepercayaannya terhadap sistem
yang ditunjukan oleh organisasi/lembaga tersebut. Walaupun demikian,
peran sentral kepemimpinan yang ada tidak mungkin dihilangkan dalam
struktur keorganisasian; sebab hal itu bagian dari ciri lembaga pendidikan
yang berbasis keagamaan.
Hambatan-hambatan bagi pengelolaan wakaf Alkhaira>t, sebenarnya
sudah termasuk bagian dari hambatan umum yang dirasakan dalam
pengembangan wakaf di Indonesia, yakni:
296
a. Masih kuatnya paham mayoritas umat Islam yang stagnan terhadap
persoalan wakaf.
Pengembangan wakaf ke arah yang lebih signifikan dalam mendorong
kesejahteraan masyarakat menemukan banyak kendala dan yang menonjol
adalah pengelolaan wakaf yang profesional. Pengelola dana wakaf
memainkan peran yang sangat signifikan, sehingga pengelola harus bersikap
profesional. Integritas amanah dan kepercayaan bagi pengelola menjadi
perhatian serius mengingat rendahnya kepercayaan terhadap birokrasi yang
ada. Tantangan lain, pemahaman masyarakat terhadap wakaf masih sangat
tradisional dimana wakaf hanya dipahami harta benda tidak bergerak dan
ruang lingkupnya pun masih sangat terbatas pada kuburan, masjid, mushallah
dan madrasah (Nawawi, 2012: 252-253).
b. Sumber daya manusia pengelola wakaf belum profesional
Merujuk pada tujuan wakaf yang ingin melestarikan manfaat dari hasil harta
wakaf, maka nazir profesional sangat dibutuhkan bahkan menempati posisi
sentral. Di pundak merekalah tanggungjawab dan kewajiban memelihara,
menjaga dan mengem-bangkan serta menyalurkan hasil atau manfaat dari
wakaf kepada sasaran wakaf. ini dapat terealisasi apabila sumber daya
manusia pengelola wakaf mempunyai keahlian sebagaimana syarat-syarat
yang melekat pada seorang nazir.
Pihak Kementerian Agama RI mengakui bahwa kemampuan nazir
mengelola wakaf sangat lemah sehingga harta wakaf tidak berfungsi secara
maksimal, bahkan sering membebani dan tidak memberi manfaat sama sekali
kepada sasaran wakaf. Kualifikasi nazir masih tergolong tradisional yang
297
kebanyakan mereka diangkat lebih karena faktor kepercayaan dari
masyarakat, sedangkan kemampuan manajerial dalam mengelola wakaf
masih lemah (Djunaidi, 2006: 48; Lubis, 2010: 176-178). Bahkan sulit
mendapatkan profesional pengelola wakaf kalau selama wakaf masih
dijadikan kerja sampingan oleh nazirnya. Nazirnya lebih mengutamakan
tugas pokoknya di luar dibandingkan mengurus wakaf (Najib, 2006: 97).
c. Pola manajemen pengelolaan wakaf yang masih tradisional-konsumtif.
Pola manajemen wakaf yang berkembang dihampir seluruh lembaga
pengelola wakaf di Indonesia diakui oleh pihak Kemenag RI masih tergolong
tradisional-konsumtif, hal ini dapat diketahui pada beberapa aspek, yaitu: 1)
corak kepemimpinan dalam lembaga ke-naziran masih bersifat sentralistik-
otoriter dan tidak ada sistem kontrol yang memadai; 2) rekuitmen SDM ke-
naziran hanya didasarkan pada aspek ketokohan bukan karena aspek
kemampuan mengelola wakaf sehingga banyak harta wakaf yang terkendala
dalam pengelolaannya; 3) tidak memiliki standar operasional pemberdayaan;
4) realisasi hasil wakaf masih banyak bersifat konsumtif-statis sehingga
kurang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat; 5) lemahnya sistem kontrol
dan pengawasan akibat dari tipe kepempinan yang sentralistik (Djunaidi,
2008: 105-106).
Wakaf Alkhaira>t sesuai data yang ada lebih banyak digunakan
pembangunan madrasah atau pondok pesantrennya. Hasil wawancara yang
ditemukan di lapangan memberikan informasi kalau wakaf yang dikelola
oleh pengurus atau nazir lebih banyak langsung di belanjakan pada
kebutuhan-kebutuhan konsumtif di madrasah tersebut. Sementara harta
298
wakaf yang memiliki luas dan potensi ekonomi tinggi belum diarahkan ke
program-program yang lebih bersifat produktif, sehingga hasilnya bertambah
banyak dan peluang pengembangan atas harta wakaf semakin terbuka luas.
Singkatnya harta wakaf hanya habis untuk digunakan menutupi kebutuhan
keseharian lembaga pendidikan.
d. Lemahnya kerjasama dan kemitraan.
Wakaf sebagai sumber ekonomi dari aspek manajemen membutuhkan sistem
investasi. Akan sangat merugi bila terdapat harta wakaf yang mempunyai
nilai ekonomis baik tetapi tidak menghasilkan. Oleh sebab itu, pengelolaan
wakaf membutuhkan adanya kemitraan dan kerja sama dengan stakeholders.
Sikap ini boleh dilakukan antar internal lembaga maupun dengan lembaga
eksternal (Lubis, 2010: 177).
Model ini belum banyak dipraktekan oleh lembaga-lembaga
pengelola wakaf. Alkhaira>t termasuk institusi yang punya wakaf tapi belum
membangun kemitraan dengan lembaga lain. Dilihat dari aspek hubungan
antara lembaga, Alkhaira>t memiliki peluang membangun kerjasama dengan
beberapa lembaga di Timur Tengah sebagaimana telah terbangun jaringan
dalam bidang pendidikan. Kondisi ini menunjukkan bahwa Alkhaira>t sangat
lemah dalam membangun kemitraan, padahal dengan sistem ini secara tidak
langsung telah membuka peluang investasi yang saling menguntungkan
antara kedua pihak.
2. Solusi Manajerial
Wakaf Alkhaira>>t dalam perjalanan sejarahnya terbentuk sejak perguruan ini
didirikan di tahun 1930, berarti usia perguruan ini telah mencapai 80 tahun lebih
299
atau beberapa tahun lagi akan genap berusia 1 abad. Usia tersebut jika
dimisalkan sebuah pohon, maka pohon dimaksud telah tumbuh dan berkembang
dengan kebesarannya serta memberi manfaat yang besar pula. Sisi
manajemennya pun dianggap telah memasuki masa dan waktu yang matang;
tetapi dalam tertib administrasinya sampai saat ini belum seperti yang telah
dilakukan oleh lembaga pendidikan lainnya. Tentu hal ini disebabkan oleh
adanya kendala dan masalah yang dapat saja terjadi dalam perhimpunan itu, atau
dalam pengelolaan wakafnya seperti telah dijelaskan di atas. Sebagai upaya
mencapai tujuan dalam pengelolaan wakaf dan jawaban atas kendala serta
masalah yang menjadi penyebab belum optimalnya wakaf Alkhaira>t, maka perlu
dirumuskan solusi menyelesaikannya sebagai berikut:
Mengikuti pola pikir dan gagasan yang disampaikan Munzir Qahaf
seperti dikutip Muhyar Fanani (2010: 211) manajemen yang dipergunakan untuk
mengelola wakaf adalah manajemen perusahaan yang tetap berbasis pada
kepentingan mauquf alaih (tujuan wakaf) dan komunitas setempat40
. Manajemen
seperti itu dapat diciptakan melalui skema: a) membentuk dewan pengawas yang
terdiri dari ahli waris, nazir, masyarakat setempat, LSM; b) menciptakan kriteria
dan efisiensi manajerial yang dapat diterapkan untuk semua jenis asset wakaf
dan tujuannya; c) melelang secara periodik pengelolaan wakaf berdasarkan
kompetisi; dan d) menciptakan lembaga pemerintah yang mendukung dan
memberikan bantuan teknis, fasilitas pembiayaan, regulasi yang dibutuhkan.
40
Uraian manajemen wakaf yang ideal juga menurut Sherafat Ali Hashmi yang dikutip oleh
Tuty A. Najib (2006: 139) menyerupai manajemen perusahaan yang berarti peranan kuncinya adalah pada
eksistensi nazir bersama tim kerja yang solid.
300
Lebih lanjut Muhyar Fanani (2010: 212) mengemukakan pendapat
Syafi’i Antonio bahwa ada tiga karakter pengelolaan wakaf professional, yaitu:
1) pola manajemen harus dalam bingkai proyek yang terintegrasi. Dana wakaf
akan dialokasikan untuk program pemberdayaan dengan segala macam biaya
yang terangkum di dalamnya. Termasuk kegiatan menggaji karyawan dan
keperluan lainnya yang masih bersentuhan dengan proyek dimaksud tanpa ada
kekhawatiran terhadap keharaman karena pengelola memberi upah dari dana
wakaf; 2) asas kesejahteraan nazir, agar mereka dapat bekerja maksimal
kesejahteraannya perlu diperhatikan. Setiap tenaga professional harusnya diupah
atau mendapat imbalan sesuai dengan hasil kerjanya; 3) asas transparansi dan
akuntabilitas, ini menjadi sangat penting dalam manajemen. Mencari wakif
tidak sulit jika lembaga pengelola wakafnya terpercaya, kepercayaan itu lahir
disebabkan adanya bukti yang ditunjukkan oleh pengelola dan dinikmati oleh
masyarakat. Asas ini sebagai sarana pengawasan bagi pengelola wakaf agar
tidak di salah gunakan amanah.41
Mencermati pola pengelolaan wakaf Alkhaira>t yang belum
memperhatikan aspek manajerial dan bahkan masih jauh dari profesionalitas,
maka hal-hal yang dijelaskan tersebut menjadi upaya melakukan pengembangan
harta wakaf. Secara sederhana sistem manajemen pengelolaan wakaf yang
mungkin dapat diterapkan di Alkhaira>t adalah mengikuti pola yang telah
dirancang oleh Kementerian Agama RI, yaitu:
a) Aspek kelembagaan
41
Pengawas pengelola harta wakaf berwenang melakukan perkara-perkara yang dapat
mendatangkan kebaikan harta wakaf dan mewujudkan keuntungan-keuntungan bagi tujuan wakaf dengan
selalu memperhatikan hal-hal yang ditentukan oleh si wakif (Nawawi, 2012: 253).
301
Jika selama ini wakaf Alkhaira>t hanya dikelola oleh satu orang saja dan
bukan pada organisasi atau badan hukumnya; maka kondisi ini perlu dirubah
dengan menjadikannya sebagai lembaga yang berdiri sendiri terlepas dari
organisasi Pengurus Besar. Terbentuknya lembaga yang diberi kepercayaan
khusus mengelola wakaf, akan memudahkan diterapkannya sistem
manajemen. Bila struktur organisasi terbentuk akan memberi peluang
seluruh potensi kelembagaan dapat berjalan dengan baik dan mekanisme
pengawasan pun dapat terkontrol. Adapun format kelembagaan wakaf
tergantung pada masing-masing institusi, tetapi yang terpenting
kepengurusan organisasi/lembaga dapat berjalan dan berfungsi. Jika
mengikuti pola beberapa lembaga lainnya, misalnya: 1) Yayasan Hasyim
Asy’ri yang diberi wewenang mengelola wakaf adalah badan wakaf. Badan
inilah yang mengelola secara penuh harta wakafnya. 2) Badan Wakaf
Gontor, untuk mengelola aset wakafnya dibentuklah badan hukum yang
diberi nama Yayasan Pemeliharaan dan Perluasan Wakaf Pondok Modern
(Fanani, 2009: 40-41). 3) Muhammadiyah yang secara mandiri memberikan
pengelolaan wakafnya kepada Majelis Wakaf dan Kehartabendaan.
Aspek ini menjadi sesuatu yang sangat penting bagi perhimpunan
Alkhaira>t. Struktur organisasi telah dimiliki bahkan sampai pada tingkat
ranting, tetapi organisasi atau lembaga kenazirannya belum terbentuk.
Pembentukan lembaga kenaziran akan membuka peluang mekanisme kerja
lembaga yang lebih terstruktur dan terorganisir dengan baik. Memang
peraturan organisasinya telah menetapkan bahwa semua pengurus sesuai
tingkatannya dapat saja menjadi nazir; tetapi legalitasnya sebagaimana
302
dijelaskan sebelumnya yang harus memenuhi syarat-syarat seperti tertuang
dalam peraturan perundang-undangan wakaf, maka status pengurus
dimaksud dilaporkan kepada Badan Wakaf Indonesia melalui Kantor Urusan
Agama setempat (PP. No. 42/2006, pasal: 4).
b) Aspek pengelolaan operasional
Mengelola wakaf memerlukan standar operasional yaitu batasan atau garis
kebijakan dalam mengelola wakaf agar menghasilkan sesuatu yang lebih
bermanfaat bagi kepentingan publik. Standar operasional merupakan
rangkaian program kerja yang dapat menghasilkan sebuah produk.
Operasionalisasi wakaf harus mendasarkan pada lima fungsi utama, yakni:
proses, kapasitas, sediaan, tenaga kerja, dan mutu.
Proses mengarahkan pada upaya mengadakan fasilitas yang akan
digunakan dalam memproduksi barang dan jasa. Alkhaira>t dari aspek ini
telah memiliki harta wakaf yang dengannya dapat digunakan untuk
memproduksi hasil. Olehnya itu, yang akan dilakukan oleh Alkhaira>t
bagaimana caranya memanfaatkan harta wakaf yang sudah ada dalam sebuah
sistem yang terencana dengan target melahirkan hasil. Kalau selama ini
wakaf hanya dibiarkan berkembang sendiri atau hanya diserahkan
sepenuhnya kepada perorangan dan dianggap kurang memberi hasil yang
banyak, maka perlu adanya upaya reorientasi pengelolaan.
Memang selama ini wakaf belum mendapat perhatian secara serius,
karena banyak harta wakaf yang diberikan ke Alkhaira>t bukan yang
mempunyai potensi pengembangan yang besar melainkan hanya untuk
kepentingan pembangunan madrasah, sehingga belum dikelola sesuai
303
ketentuan yang berlaku. Jika memang ada aset wakaf yang mempunyai
potensi ekonomi tinggi, itulah yang harus diupayakan dikelola supaya dapat
menghasilkan. Keterbatasan pemahaman dan sumber daya yang memahami
wakaf masih terbatas di lingkungan Alkhaira>t menjadi kendala, sehingga
nampaknya wakaf jadi terbengkalai (Salim, wawancara, 2012).
Kapasitas, ini menyangkut seberapa besar fasilitas yang telah tersedia
itu menghasilkan manfaat sesuai dengan rencana program. Wakaf yang
dikelola harus diupayakan mampu menghasilkan sesuai dengan target yang
direncanakan organisasi. Alkhaira>t yang mempunyai harta wakaf dimana ada
madrasahnya itu, sudah perlu memperhatikan kemampuan dan
kesanggupannya untuk: menertibkan, mengembangkan, memanfaatkan, harta
wakafnya bagi kepentingan dan kemaslahatan wakif serta umat. Mengelola
wakafnya harus memperhatikan keseimbangan antara jumlah harta yang
dikelola dengan sumber daya yang mengelolanya.
Sediaan, berkaitan dengan berapa banyak atau apa saja yang akan
dibutuhkan pada masa depan. Wakaf harusnya selalu melahirkan sesuatu
yang baru untuk dikembangkan pada masa berikutnya. Wakaf memang
menuntut adanya produktifitas; karena itulah perlu adanya terobosan yang
dibuat oleh pengelola untuk mempersiapkan sesuatu yang menjadi kebutuhan
dalam memproduktifkan harta wakaf.
Tenaga kerja, sebuah organisasi akan dapat berjalan lancar jika
mempunyai tenaga kerja. Lembaga wakaf pun tidak optimal menghasilkan
produk apabila sumber daya manusianya tidak mencukupi. Sumber daya
manusia sebagai penggerak utama jalannya organisasi harus mendapat
304
pertimbangan bagi lembaga pengelola wakaf. Alkhaira>t yang mempunyai
harta wakaf membutuhkan tenaga kerja yang jelas. Walaupun diakui
pengelolaannya bukan pada organisasinya tetapi di nazir perorangan
menuntut adanya tenaga kerja, sebab organisasinya (Pengurus Besar) sebagai
administrator terhadap seluruh aset harta wakafnya. Jumlah tenaga kerja di
bidang wakaf dengan jumlah harta yang ada tidak berimbang, sehingga
mengakibatkan tidak maksimalnya hasil pendataan aset. Siapapun yang akan
meminta informasi tetang aset wakaf Alkhaira>t tidak akan mendapatkan
sesuai dengan yang dikehendakinya. Keadaan kurangnya tenaga kerja telah
diakui oleh pegawai yang ditugaskan mengurus harta wakaf Alkhaira>t yaitu
Abdurrahman H. Halim (wawancara, 2012).
Mutu, ini dimaksudkan bahwa proses pengelolaan wakaf diharapkan
mampu menghasilkan sesuatu yang bermutu. Mutu akan menjadi ukuran
akhir kinerja kelembagaan. Hasil yang diperoleh memiliki kualitas, maka
lembaga tersebut semakin dipercaya dan selanjutnya semakin banyak wakif
yang mendermakan harta kekayaan mereka disebabkan oleh adanya output
yang berkualitas.42
Di atas telah jelaskan peran tenaga kerja, memang
diharapkan yang dapat melahirkan produktifitas tinggi dan bermutu. Setiap
organisasi selalu berupaya untuk melahirkan kualitas produk. Sebab itu yang
akan dinilai oleh pelanggan atau pihak-pihak yang berkepentingan terhadap
42
Memperhatikan pencapaian mutu merupakan bagian dari proses pengelolaan wakaf
menunjukkan akan pentingnya majamen mutu atau biasa dikenal dengan ‚Total Quality Manajemen
(TQM)‛.Total Quality Management memiliki arti ‚sistem manajemen yang mengangkat kualitas sebagai
strategi usaha dan berorientasi pada kepuasaan pelanggan dengan melibatkan seluruh anggota organisasi
(Tjiptono, 2003: 4); pengelolaan kualitas semua komponen (stakeholder) yang berkepentingan dengan
visi, misi organisasi (Ismanto, 2009: 69). Prinsip teori ini adalah kepuasan pelanggan, respek terhadap
setiap orang, manajemen berdasarkan fakta, dan perbaikan berkesinambungan, obsesi terhadap kualitas,
komitmen jangka panjang, kerja sama tim (team work), kesatuan tujuan, dan adanya keterlibatan dan
pemberdayaan karyawan (Tjiptono, 2003: 14-18)
305
organisai itu. Oleh sebab itu, dalam Islam usaha/amal seseorang tidak hanya
dilihat dari aspek kuantitasnya, tetapi lebih penting adalah mutu dari amalan
tersebut (Alma & Priansa, 2014: 329).
Berwakaf (misalnya) bukan hanya dilihat dari aspek banyaknya harta
yang diwakafkan itu, tetapi yang terpenting adalah apakah ada mutu atau
kualitas dari harta yang diwakafkan. Wakif seyogyanya tidak hanya tahu
mengeluarkan hartanya untuk di wakafkan tetapi harusnya mengetahui
bahwa harta yang disedekahkan itu merupakan harta yang mempunyai
kualitas, sehingga pengelola yang nantinya menerima harta itu dapat
mengembangkannya dengan baik dan mendatangkan hasil yang banyak.
Kondisi yang dialami di perhimpunan Alkhaira>t ternyata masih ditemukan
harta-harta wakaf yang sangat kecil potensi ekonominya bahkan ada yang
sulit untuk diproduktifkan.
Jika pengelolaan wakaf diibaratkan sebagai perusahaan, maka kunci
keberhasilannya perusahaan menurut Horngren (2008: 7-8) adalah: 1) biaya
dan efisiensi (cost and efficiency), dimaksudkan perusahaan harus selalu
memperhatikan kebutuhan biaya akibat adanya persaingan yang terjadi serta
biaya segala macam aktivitas di dalamnya; 2) kualitas (quality),
dimaksudkan setiap perusahaan mempunyai pelanggan yang harus menjadi
perhatian dalam pemberian pelayanan, secara filosofi menuntut perusahaan
untuk selalu meningkatkan operasi demi menghasilkan produk dan jasa yang
melebihi dari harapan pelanggan43
; 3) waktu (time)44
, dimaksudkan
43
Jika yang dimaksudkan kualitas oleh Horngren itu adalah mutu terhadap sesuatu yang
dihasilkan atau barang yang diolah, maka hal ini akan sangat dipengaruhi penggunaan TQM, seperti
dijelaskan di atas. Hal ini menekankan atas pentingnya manajemen kualitas itu.
306
kecepatan perusahaan menjawab segala yang menjadi tuntutan pelanggan
dan kebutuhan perusahaan; dan 4) inovasi dimaksudkan perusahaan harus
selalu melakukan inovasi atas produk dan sistem pelayanan yang menunjang
kemajuan perusahaan.
c) Aspek kehumasan
Aspek ini menekankan pada lembaga pengelola wakaf untuk melakukan
langkah memperkuat image bahwa harta benda wakaf yang telah
diamanatkan kepada lembaga dapat dikembangkan dengan sebaik-baiknya
dan hasilnya dimanfaatkan bagi kepentingan umat; memberi keyakinan
kepada para wakif jika wakafnya memang akan dikelola secara professional
dan termasuk mampu menarik orang lain untuk berwakaf; mendakwahkan
terhadap peran dan potensi ganda yang dimiliki oleh wakaf yaitu
mendapatkan pahala yang tak henti-hentinya (amal ja>riyah) dan telah
memberikan dukungan sosial kemanusiaan terutama bagi masyarakat kurang
mampu. Langkah dan upaya ini perlu dilakukan oleh perhimpunan Alkhaira>t
karena memang selama ini belum diterapkan dalam praktek pengelolaan
wakaf.
Faktor pendukung akan langkah tersebut di atas, diharapkan kepada
pengelola wakaf untuk selalu tampil dengan meyakinkan, membuat
pelayanan yang menyenangkan, melakukan komunikasi yang ramah dan
santun, mengupayakan adanya kepuasan orang yang berkepentingan
terhadap lembaga. Upaya semua ini dalam lingkup perhimpunan Alkhaira>t
44
Masalah waktu dalam kajian Islam banyak bersentuhan dengan motivasi lahirnya kerja keras
dan beramal shaleh (baik) (QS. Al-Ashr). Sebab mereka yang mampu memanfaatkan waktu dengan baik
saja yang dapat berhasil. Oleh sebab itu, Islam mengajarkan umatnya untuk mengisi hidupnya dengan
bekerja dan tidak membiarkan waktunya terbuang begitu saja (Alma & Priansa, 2014: 329).
307
tidaklah sulit disebabkan adanya ajaran dan metode dakwah yang
dikembangkan di dalamnya. Metode dakwahnya adalah memperhatikan
selalu sasaran dakwah dengan sistem tabsyi>r al-ummah dengan bil hikmah
wa al-mauizah al-hasanah (Sulaiman, 2008: 116; Kadir, 2012: 2).
d) Aspek sistem keuangan
Keuangan merupakan sesuatu yang dianggap paling pekah dan sensitif dalam
langkah gerak manusia. Keuangan telah memberi pengaruh besar dalam
perjalanan sebuah negara, komunitas, dan lembaga. Oleh sebab itu, proses
pengelolaan keuangan membutuhkan kehati-hatian dan ketelitian.
Melahirkan sikap kehati-hatian dan ketelitian diperlukan adanya sistem
pertanggungjawaban. Namun, mengatur keuangan yang begitu sensitif
biasanya hanya dengan menggunakan teori ‚akuntansi45
dan auditing.‛
Sistem akuntansi mencatat kejadian serta transaksi ekonomi,
misalnya penjualan dan pembelian bahan, memproses data dalam transaksi
tersebut menjadi informasi yang berguna bagi berbagai pihak (Horngren,
2008: 2). Akuntansi mengarahkan pada pertanggung jawaban yang dibentuk
dalam format laporan. Laporan itu diorientasikan pada neraca penerimaan
dan pengeluaran. Selanjutnya akan diketahui apakah perusahaan, organisasi,
lembaga pengelola harta kekayaan mempunyai keuntungan atau kerugian.
Aplikasi akuntansi ini dapat dilakukan pada: organisasi yang bermotifkan
45
Akuntansi dalam pandangan Horngren (2008: 2) dibagi menjadi tiga, yaitu: akuntansi
manajemen, akuntansi keuangan dan akuntansi biaya. Akuntansi manajemen mengukur, menganlisis dan
melaporkan informasi keuangan dan non keuangan yang membantu manajer membuat keputusan guna
mencapai tujuan organisasi. Akuntansi keuangan berfokus pada pelaporan kepada pihak eksternal; yang
mengukur dan mencatat transaksi-transaksi bisnis serta menyajikan laporan keuangan yang disusun
berdasarkan prinsip-prinsip yang diterima umum. Akuntansi biaya mengukur, menganalisis dan
melaporkan informasi keuangan yang terkait dengan biaya perolehan atau penggunaan sumber daya
dalam organisasi.
308
profit oriented dan organisasi yang bersifat nirlaba (non profit). Profit
oriented banyak dikembangkan di perusahaan komersial, sedangkan non
profit banyak digunakan oleh lembaga pemerintahan, pendidikan, organisasi
masyarakat, termasuk lembaga pengelola wakaf.
Isi laporan dalam kegiatan akuntansi di perusahaan atau organisasi
biasanya terdiri atas empat jenis laporan; yaitu: neraca yang memberi
informasi mengenai aktiva, utang dan modal yang dikelola organisasi dalam
waktu tertentu, dengan neraca ini organisasi atau perusahaan akan
mengetahui kekayaan perusahaan, kemampuan membayar kewajiban dan
kemampuan memperoleh tambahan pinjaman pihak luar; laba rugi ikhtisar
mengenai pendapatan dan beban organisasi atau perusahaan yang dengannya
diketahui laba dan rugi; perubahan modal untuk menunjukkan adanya
perubahan modal yang dikelola perusahaan atau organisasi; dan arus kas
yakni dapat mengevaluasi aktiva bersih organisasi atau perusahaan, struktur
keuangan dan kemampuan perusahaan menghasilkan keuntungan di masa
mendatang (Wikipedia.org, diakses tanggal 26 Januari 2013)46
.
Proses akuntansi merupakan sistem yang digunakan untuk
menganalisis dan merekam transaksi keuangan dalam perusahaan atau
organisasi melalui klasifikasi atau menyimpulkan informasi menyangkut
keuangan dan membuat interpretasi atas hasil yang diperoleh. Hal ini
dilaksanakan dengan beberapa cara, yaitu: membuat analisis, membuat
rekaman atau catatan, membuat klasifikasi, menarik kesimpulan, membuat
dalam laporan, dan menerjemahkan ke dalam pekerjaan (Carlson, 1982: 3-4).
46
Mengenai laporan rugi-laba dan perubahan modal suatu perusahaan dapat dilihat lebih lanjut
dalam Hadori Yunus dan Harnanto (1987: 24-27), dan demikian juga dalam buku-buku akuntansi lainnya.
309
Oleh karena itu, dengan sistem akuntansi, minimal sebuah organisasi
atau perusahaan akan mengetahui kekuatan modal, untung atau rugi,
kemampuan mengembangkan perusahaan di masa mendatang berdasarkan
kekuatan kas yang dimiliki perusahaan. Khusus bagi lembaga dan organisasi
pengelola wakaf perlu dikembangkan sistem ini untuk meningkatkan
kepercayaan wakif kepada nazir; dayaguna harta wakaf bagi kesejahteraan
umat; dan meningkatkan jumlah harta wakaf dari hasil yang diperoleh pada
masa yang akan datang. Tentu Alkhaira>t termasuk yang perlu untuk
melakukannya sehingga tidak ada keraguan dan kecemasan akan sulitnya
menghidupkan kegiatan pendidikan, dakwah, dan sosialnya yang menjadi
basis lembaga tersebut. Mengetahui perputaran keuangan akan memudahkan
organisasi bebas melakukan sesuatu yang positif bagi kemajuan organisasi.
Auditing adalah pihak pelaksana/pengelola yang diberi harta
membuat laporan secara terbuka sesuai dengan tugas dan amanah yang
diberikan kepadanya, kemudian pihak yang memberi amanah mendengarkan
atau pun memeriksa. Hal ini merupakan sistem pertanggung jawaban yang
bertujuan untuk mengetahui hasil yang dicapai, kemajuan, dan apakah tidak
ada penyelewengan atas pelaksanaan amanah. Proses auditing dilakukan oleh
pihak yang memiliki kompetensi untuk itu sesuai dengan kriteria yang telah
ditentukan. Sistem audit bisa dari dalam perusahaan atau dari luar; intinya
mengevaluasi manajemen keuangan yang tertuju pada: efisiensi dan
efektifitas operasional (Wallace, 1986: 3). Singkatnya sistem audit
merupakan sistem yang digunakan untuk mengetahui segala sesuatu yang
dikelola oleh organisasi menyangkut masalah penerimaan dan pengeluaran
310
biaya; sehingga diketahui apakah tidak ada penyelewengan atau memang
sesuai dengan ketentuan yang berlaku bagi organisasi tersebut. Hal ini
dianggap sangat rasional diterapkan dalam pengelolaan wakaf sebagai dana
umat dan tujuannya pula untuk kepentingan umat.
Kedua sistem aplikasi evaluasi keuangan belum ditemukan di
perhimpunan Alkhaira>t; mungkin pada unit-unit tertentu telah melakukan
sistem transparansi keuangan, tetapi pada tingkat Pengurus Besar nampak
belum adanya hal itu. Laporan pertanggungjawaban Pengurus Besar baru
menceritakan biaya-biaya yang digunakan untuk beberapa jenis kegiatan;
tetapi laporan menyangkut berapa besar dan banyaknya keuangan yang
diterima pertahun atau per periode kepengurusan tidak dicantumkan (Tap
Muktamar No. 2/2008). Oleh sebab itu, aspek keuangan perhimpunan belum
diketahui yang sebenarnya. Kondisi ini dapat menimbulkan tanggapan: a)
sistem keorganisasian yang belum berjalan sesuai aturan dan program kerja
perhimpunan; b) memang perhimpunan ini dikelola dengan mengandalkan
manajemen tradisional tertutup; c) bentuk keorganisasian bersifat publik
tetapi kepemilikan organisasi bersifat privat. Akuntabel dan transparansi
termasuk bagian dari ciri organisasi yang menganut sistem terbuka.
Melihat perkembangan Alkhaira>t yang begitu pesat, maka seluruh
asumsi lahirnya ketidak transparansinya pengelolaan keuangan organisasi
perlu dikoreksi kembali untuk mengantarkan sistem manajemen organisasi
yang profesional; yakni lebih mengedepankan aspek akuntabilitas
pengelolaan. Sistem pengelolaan keuangan mungkin bersifat sentralistik
tetapi laporan pertanggungjawaban harusnya dapat diketahui oleh pihak-
311
pihak yang berperan dalam organisasi tersebut. Termasuk wakaf memang
belum berada pada sebuah organisasi atau badan hukum independen, tetapi
aset harta wakaf dan hasilnya tetap bagian yang tidak terpisahkan dalam
sistem akuntabilitas. Wakaf yang masih berada dalam lingkup Pengurus
Besar secara bertahap harus mereformasi sistem tata kelola aset wakaf dan
hasilnya, karena wakaf merupakan harta umat yang menuntut
pertanggungjawaban langsung.
Alkhaira>t sebagai lembaga pendidikan, dakwah, dan sosial yang
mengelola wakaf di dalamnya tanpa dituntut atau dimintai oleh wakif atau
umat; memiliki kewajiban mempertangungjawabkan pengelolaan wakafnya.
Wakaf sebagai ajaran Islam yang mengandung dimensi ilahiyah dan
insa>niyah otomatis menuntut tanggungjawab. Tanggungjawab dimaksud
diarahkan kepada: Allah swt, 47
, kelembagaan, hukum, dan sosial (Djunaidi,
2008: 76-80).
e) Aspek Spiritualitas dan Moralitas
Alkhaira>t sebagai perhimpunan yang bergerak dalam bidang pendidikan,
dakwah, dan sosial yang bernafaskan pada nilai-nilai ajaran agama sangat
memberi pengaruh bagi perilaku sumber daya manusianya (SDM).
Penanaman nilai-nilai spiritualitas bagi manusia sebagai pelaku dan
penggerak utama di segala sektor kehidupan adalah bagian dari usaha
memberikan kesadaran bahwa apa yang dilakukannya memiliki dimensi
spiritual dan nilai-nilai keagamaan. Kesadaran inilah yang akhirnya akan
47
Allah swt menyatakan dalam al-Qur’an: ‚dan sesungguhnya mereka akan memikul beban-
beban mereka dan beberapa beban beserta pikulan-pikulan mereka, dan mereka akan ditanyai perihal
dusta yang mereka ada-adakan (QS. Al-Ankabut:13).
312
mendorong manusia siap mempertanggung jawabkan atas amanah yang
dititipkan kepadanya. Sikap amanah sangat penting dalam rangka
pencapaian tujuan pengelolaan wakaf.
Oleh sebab itu, dari makna yang tersirat dalam wakaf dituntut kepada
pengelola: agar mempunyai pengetahuan agama, sehingga dapat
menjabarkan nilai ajaran wakaf; memiliki integritas ibadah dan keshalehan
yang dengan sikap itu selalu dekat kepada Allah swt; mempunyai sikap
terpuji dan amanah, sebab wakaf yang dikelolanya adalah amanah yang
dititipkan kepadanya; mempunyai sikap tidak mengedepankan terhadap
kepentingan pribadi sebagai pengelola, kelompok, akan tetapi selalu
memperhatikan kepentingan publik sesuai tujuan perwakafan. Hal ini akan
menjadi kontrol terhadap penyelewengan hasil harta wakaf. Aspek
spiritualitas dan moral akan mengantarkan pengelola sadar
mempertanggungjawabkan atas kinerjanya.
Gambaran yang ada secara singkat menjadi solusi melakukan
perubahan dan perbaikan manajemen pengelolaan wakaf perhimpunan
Alkhaira>t. Kendala dan kelemahan yang dimiliki oleh perhimpunan ini
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya akan dapat terantisipasi jika lima
komponen yang dijelaskan dijadikan standarisasi awal bagi pengelolaan
wakaf. Kelima aspek dimaksud merupakan bagian dari kesatuan pelaksanaan
manajemen di semua jenis lembaga dan organisasi. Menuju profesionalisme
manajemen wakaf hanya dapat terwujud jika aspek-aspek yang berhubungan
dengan manajerial diterapkan dan dilaksanakan. Perhimpunan Alkhaira>t,
sudah selayaknya menerapkan aspek manajerial ketimbang menerapkan
313
aspek manajemen ‚ikhlas beramal, apa adanya, atau manajemen
kepercayaan, dan tradisional tanpa direkontruksi kepada makna yang
mengarahkan pada lahirnya produktifitas dan hasil kerja yang mampu
menjawab tantangan di masa mendatang‛.
Abdullah Latopada (wawancara, 2012) mengungkapkan bahwa
memang Alkhaira>t memiliki harta wakaf yang banyak, sebab dimana ada
madrasahnya di tempat itu ada wakafnya. Tetapi untuk mengetahuinya
dalam sistem administrasinya nampak kesulitan. Ini menunjukkan kelemahan
dalam pengelolaannya. Dilihat dari aspek manajemennya dapat dikatakan
belum profesional. Profesional dimaksud mulai dari sistem perencanaan
sampai pengembangannya mampu meningkatkan hasil perolehan
pengelolaan. Ukurannya mempunyai daya saing dan manfaat besar; baik bagi
internal Alkhaira>t maupun masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu,
langkah dan upaya yang dilakukan oleh perhimpunan Alkhaira>t adalah
membuat perencanaan yang matang dan membuat pola pengelolaan yang
profesional terhadap aset wakafnya,48
sehingga hasilnya memberi pengaruh
dan perkembangan lembaga serta masyarakat luas. Merubah pola manajerial
wakaf menjadi keharusan bagi Alkhaira>t.
Sebagai kesimpulannya bahwa memang diakui wakaf Alkhaira>t
tidaklah dikelola dalam sebuah organisasi atau badan hukum mandiri,
melainkan berada dalam struktur di Sekretariat Jenderal Pengurus Besar.
48
Pemahaman tentang professional bukan semata-mata ditujukan pada pekerjaan; tetapi dapat
berlaku juga pada sikap seseorang. Sikap itu dibuktikan misalnya, ketika pesan dari pelanggan yang tidak
merasa bahagia, ini harusnya dipahami sebagai bagian dari peluang untuk perbaikan dalam kebijakan
perusahaan (Manning, 2010: 5). Adanya keluhan, ketidak senangan dengan besar upah yang diterima,
kadang membuat pegawai melakukan protes kepada manajemen; sikap ini harusnya dijadikan sebagai
upaya memperbaiki sistem penggajian dan pemberian upah yang selama ini diterapkan. Sikap ini adalah
bagian dari sikap professional.
314
Solusi manajerial yang terpenting adalah kesadaran akan peran wakaf bagi
kemaslahatan dan kesejahteraan umat yang diaplikasikan dalam bentuk
tanggungjawab mengelolanya. Mengelola wakaf akan lebih baik bila
dibentuk dalam sebuah organisasi atau badan hukum. Melalui organisasi atau
badan hukum nantilah yang menata menurut ketentuan keorganisasian.
Disinilah peran dan arti pentingnya manajemen dapat diterapkan oleh
pengelola wakaf. Alkhaira>t secara perlahan-lahan menata tata kelola
wakafnya dengan memperhatikan kemampuan yang dimilikinya. Berusaha
memandirikan dan mengamanatkan secara penuh kepada organisasi
wakafnya.