Post on 09-Mar-2019
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Gambaran Umum Tempat penelitian
Rumah Sakit Jiwa Daerah Amino Gondo Hutomo –
Semarang, sebagai salah satu pusat rujukan klien dengan
gangguan Jiwa di Jawa Tengah. RSJD Amino Gondo Hutomo –
Semarang merupakan milik pemerintah provinsi Jawa Tengah,
dengan tugas pokok dan fungsinya memberikan pelayanan
kesehatan jiwa dengan visi “Rumah Sakit pusat rujukan
pelayanan dan pendidikan kesehatan Jiwa kebanggaan Jawa
Tengah” (Bidang keperawatan, RSJ Amino Gondo Hutomo –
Jateng 2011).
Upaya yang sudah dilakukan oleh pihak Rumah Sakit
Jiwa Daerah Amino Gondo Hutomo untuk pelayanan kesehatan
jiwa pada klien gangguan jiwa adalah pelayanan rawat jalan 6
hari kerja, UGD 24 jam x 7 hari kerja, pelayanan rawat inap
dengan VIP kelas 1, 2, dan 3, pelayanan rehabilitasi pada klien
gangguan jiwa, pelayanan family gathering, pelayanan rekreasi
pada klien gangguan jiwa, pelayanan integrasi ke Rumah Sakit
Umum (RSU) daerah pantura selatan dan Utara, dan pelayanan
di panti-panti sosial.
Dari data yang di dapat di RSJD Amino Gondo Hutomo –
Semarang, terdapat 362 klien skizofrenia yang kambuh selama
periode agustus sampai dengan September 2011, klien
skizofrenia yang kambuh dengan berbagai sebab, di antaranya
adalah karena tidak adanya biaya berobat, klien tersebut sudah
merasa sembuh, klien yang tidak mau minum obat, klien takut
ketergantungan dengan obat psikotik, ketidaktahuan klien dan
keluarga, jarak rumah klien dengan pelayanan kesehatan jiwa
yang cukup jauh, kurangnya support sistem dari keluarga klien.
RSJ Amino Gondohutomo Semarang pertama kali berdiri
pada tahun 1948 di jalan Sompok Semarang, sebagai tempat
penampungan klien psikotik akut (doorganshuizen). Pada tahun
1912 pindah ke kleedingmagazjin, sebuah gedung tua yang di
bangun pada tahun 1978 di jalan cendrawasih tawang, namanya
kemudian berubah menjadi doorganshuizen tawang. Sejak
tanggal 21 Januari 1928 berganti nama menjadi Rumah Sakit
JiwaPusat Semarang Kranzinnigenggestichten), dan mulai
menerima klien-klien psikotik gangguan jiwa mulai tanggal 2
Februari 1928. Tanggal 2 februari 1928 di tetapkan sebagai hari
jadi RSJ pusat Semarang.
Sejak tanggal 4 Oktober 1986, seluruh kegiatan RSJ
pusat Semarang pindah ke Jalan Brigjen Sudiarto no 347
Semarang. Tanggal 9 februari 2001, berganti nama menjadi RSJ
Dr. Amino Gondohutomo Semarang. Dr. Amino Gondohutomo
sendiri adalah seorang psikiater pertama di Indonesia yang lahir
di Surakarta – Jawa Tengah. Tangal 1 Januari 2002 RSJ pusat
Dr. Amino Gondohutomo berubah nama menjadi RSJ daerah
Dr.Amino Gondohutomo Semarang sesuai SK Gubernur Jawa
Tengah no 440/09/2002, Februari 2002.
4.1.2 Pelaksanaan Penelitian
Peneliti melakukan penelitian di RSJ Dr. Amino
Gondohutomo Semarang pada tanggal 15 April 2012 – 30 April
2012 dengan nonprobality sampling yaitu memberikan
kesempatan yang sama kepada semua populasi untuk menjadi
sampel penelitian. Selama 15 hari penelitian jumlah sampel yang
didapat mencapai 78 sampel penelitian.Sampel dalam penelitian
ini adalah klien skizofrenia yang mengalami kekambuhan dan
sudah cukup kooperatif dan bersedia menjadi riset partisipan
dari peneliti.
Penelitian di lakukan di 4 ruangan yaitu ruangan 1,2,3,
dan 4.Sebelum memberikan kuisioner kepada calon riset
partisipan, peneliti terlebih dahulu melakukan bina hubungan
saling percaya dengan calon riset partisipan. Peneliti juga
melakukan cross check kebenaran data demografi yang
diberikan oleh riset partisipan dari status klien yang ada di
masing-masing ruangan. Peneliti berada di masing-masing
ruangan rata-rata antara 3-4 hari per ruangan.
Selama melakukan penelitian, peneliti mengalami
beberapa kendala diantaranya adalah kesulitan melakukan bina
hubungan saling percaya (BHSP) dengan klien-klien di RSJ,
BHSP berlangsung sampai dua (2) hari untuk masing-masing
ruangan sebelum pada hari ke tiga (3) dan ke empat (4) peneliti
melakukan wawancara kepada klien-klien tersebut dengan
dibantu oleh perawat ruangan dan juga oleh teman-teman
praktikan dari institusi keperawatan lain yang sedang mengambil
program Ners (Ns) di RSJ tempat peneliti melakukan penelitian.
4.1.3 Distribusi Frekuensi Variabel Penelitian
4.1.3.1 Distribusi demografi
Dalam penelitian ini, riset partisipan penelitian adalah
klien skizofrenia yang mengalami kekambuhan yang menjalani
perawatan di RSJ Amino Gondohutomo Semarang.Jumlah riset
partisipan berjumlah 78 orang. Dengan usia yang beragam
antara 16 – 67 tahun, lebih dari 50% tidak bekerja dan hanya
mengecap pendidikan hanya sampai bangku SD. Untuk lebih
jelasnya bisa di lihat di tabel 4.1 di bawah ini.
Tabel 4.1 Distribusi frekuensi dan persentase
karakteristik riset partisipan (N=78)
Karakteristik Demografi Frekuensi Prosentase
(%)
Jenis
Kelamin
Laki-laki
Perempuan
41
37
52,6
47,4
Umur 13 – 19 tahun
20 – 34 tahun
35 – 65 tahun
> 65 tahun
8
47
22
1
10,3
60,3
28,2
1,3
Status Belum Menikah
Menikah
Duda
Janda
42
28
2
6
53,8
35,9
2,6
7,7
Tingkat
Pendidikan
Tidak Tamat Sekolah
SD
SMP
SMA
Perguruan Tinggi
3
34
27
13
1
3,8
43,6
34,6
16,7
1,3
Pekerjaan Buruh
Pegawai Swasta
Petani
Wiraswasta
Tidak bekerja
1
2
5
10
60
1,3
2,6
6,4
12,8
76,9
Lama
Menderita
Skizofrenia
< 1 tahun
> 1 tahun
11
67
14,1
85,9
Sumber data : hasil penelitian di 4 ruangan RSJD Dr. Amino
Gondohutomo Semarang per tanggal 15-30 april 2012
4.1.3.2 Distribusi Frekuensi Dukungan Keluarga
Untuk mengetahui tingkatan dukungan keluarga
partisipan penelitian dengan melakukan analisis data, kemudian
dibuat tabel distribusi untuk menentukan atau menggolongkan
tinggi rendahnya dukungan keluarga partisipan penelitian. Untuk
mengetahui pengkategorian dukungan keluarga dalam
pemenuhan kebutuhan afeksi digunakan rumus: statistik
menurut Sudjana (2002):
Panjang kelas (p) =
Rentang kelas
Banyak kelas
Dalam rumusan di atas, menjelaskan bahwa : p =
rentang/banyak kelas dan p merupakan panjang kelas, dengan
26 item maka, rentang kelas (nilai tertinggi dikurang nilai
terendah) yaitu 78-26 = 52 dan banyak kelas dibagi atas 3
kategori kelas untuk dukungan keluarga, maka akan diperoleh
panjang kelas sebesar 17. Dengan p = 17 dan nilai terendah 26
sebagai batas bawah kelas pertama, maka dukungan keluarga
dikategorikan atas kelas sebagai berikut :
Dukungan keluarga Rendah : 26 - 43
Dukungan keluarga Sedang : 44 - 61
Dukungan keluarga Tinggi : 62 – 68
Berikut ini akan disajikan mengenai data dukungan
keluarga pada klien Skizofrenia :
Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Dukungan Keluarga
No Kategori Jumlah
Partisipan
Prosentase (%)
1 Tinggi 22 28,2
2 Sedang 28 35,9
3 Rendah 28 35,9
Jumlah 78 100
Berdasarkan tabel Distribusi Frekuensi Dukungan
Keluarga diatas yang menunjukkan bahwa frekuensi dukungan
keluarga dari klien skizofrenia di RSJD dr. Amino Gondohutomo
Semarang yang mendapat dukungan keluarga yang tinggi
sebanyak 22 partisipan atau sebanyak 28,8% sedangkan
partisipan dengan dukungan keluarga sedang dan rendah
sebanyak 28 partisipan atau 35,9%.
Untuk kuisioner dukungan keluarga komponen emosional
(Item 1 - item 10), nilai tertinggi yang mungkin dicapai adalah 30
dan nilai terendah adalah 10. Dukungan keluarga untuk
komponen emosional tersebut dapat dikategorikan dengan
interval sebagai berikut :
Dukungan keluarga Rendah = 10-16
Dukungan keluarga Sedang =17-23
Dukungan keluarga Tinggi = 24-30
Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Dukungan Keluarga
komponen Emosional
No Kategori Jumlah
Partisipan
Prosentase (%)
1 Tinggi 30 38,5
2 Sedang 21 26,9
3 Rendah 27 34,6
Jumlah 78 100
Dukungan keluarga untuk komponen dukungan
emosional dalam penelitian ini untuk kategori tinggi berjumlah 30
partisipan (38,5%) atau yang tertinggi di banding kategori
sedang dan rendah yang berjumlah 21 partisipan (26,9%) untuk
kategori sedang dan 27 partisipan (34,6%) untuk kategori
rendah.
Untuk kuisioner dukungan keluarga komponen Informasi
(Item 11 - item 17), nilai tertinggi yang mungkin dicapai adalah
21 dan nilai terendah adalah 7. Dukungan keluarga untuk
komponen Emosional tersebut dapat dikategorikan dengan
interval sebagai berikut :
Dukungan keluarga Rendah = 7-11
Dukungan keluarga Sedang =12-16
Dukungan keluarga Tinggi = 17-21
Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Dukungan Keluarga
komponen Informasi
No Kategori Jumlah
Partisipan
Prosentase (%)
1 Tinggi 25 32,1
2 Sedang 25 32,1
3 Rendah 28 35,9
Jumlah 78 100
Berdasarkan tabel 4.4 di atas dukungan keluarga untuk
komponen dukungan informasi menunjukkan bahwa distribusi
dukungan keluarga komponen informasi dengan kategori tinggi
berjumlah 25 partisipan (32,1%), kategori sedang berjumlah 25
pastisipan (32,1%), dan kategori rendah berjumlah 28 partisipan
(35,9%).
Untuk kuisioner dukungan keluarga komponen
Instrumental (Item 18 - item 20), nilai tertinggi yang mungkin
dicapai adalah 9 dan nilai terendah adalah 3. Dukungan keluarga
untuk komponen Instrumental tersebut dapat dikategorikan
dengan interval sebagai berikut :
Dukungan keluarga Rendah = 3-5
Dukungan keluarga Sedang =6-7
Dukungan keluarga Tinggi = 8-9
Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Dukungan Keluarga
komponen Instrumental
No Kategori Jumlah
Partisipan
Prosentase (%)
1 Tinggi 13 16,7
2 Sedang 30 38,5
3 Rendah 35 44,9
Jumlah 78 100
Berdasarkan tabel 4.5 di atas dapat dilihat bahwa untuk
distribusi dukungan keluarga komponen instrumental dengan
kategori tinggi berjumlah 13 partisipan (16,7%), untuk kategori
sedang sebanyak 30 partisipan (38,5%), dan untuk kategori
rendah sebanyak 35 partisipan (44,9%).
Untuk kuisioner dukungan keluarga komponen
Penghargaan (Item 21 - item 26), nilai tertinggi yang mungkin
dicapai adalah 18 dan nilai terendah adalah 6. Dukungan
keluarga untuk komponen Penghargaan tersebut dapat
dikategorikan dengan interval sebagai berikut :
Dukungan keluarga Rendah = 6-10
Dukungan keluarga Sedang =11-14
Dukungan keluarga Tinggi = 15-18
Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi Dukungan Keluarga
komponen Penghargaan
No Kategori Jumlah
Partisipan
Prosentase (%)
1 Tinggi 15 19,2
2 Sedang 26 33,3
3 Rendah 37 47,4
Jumlah 78 100
Berdasarkan tabel 4.6 di atas dukungan keluarga untuk
komponen dukungan penghargaan menunjukkan bahwa
distribusi dukungan keluarga komponen Penghargaan dengan
kategori tinggi berjumlah 15 partisipan (19,2%), kategori sedang
berjumlah 26 pastisipan (33,3%), dan kategori rendah berjumlah
37 partisipan (47,4%).
4.1.3.3 Frekuensi Kekambuhan Skizofrenia
Untuk mengetahui frekuensi kekambuhan skizofrenia
partisipan penelitian dengan melakukan analisis data, kemudian
dibuat tabel distribusi untuk menentukan atau menggolongkan
tinggi rendahnya resiko bunuh diri partisipan penelitian. Penilaian
frekuensi kekambuhan skizofrenia dinilai berdasarkan kejadian
kekambuhan skizofrenia (Nurdiana, 2007).. Frekuensi
Kekambuhan klien skizofrenia
Tinggi : Bila klien dalam satu tahun kambuh lebih dari
atau sama dengan 2 kali,
Sedang : Bila kurang dalam satu tahun kambuh satu
kali, dan
Rendah : Bila dalam satu tahun tidak pernah kambuh.
Tabel 4.7 Frekuensi kekambuhan Klien Skizofrenia
No Kategori Jumlah
Partisipan
Prosentase (%)
1 Tinggi 48 61,5
2 Sedang 23 29,5
3 Rendah 7 9,0
Jumlah 78 100
Berdasarkan tabel 4.7 diatas, dapat di lihat bahwa
frekuensi kekambuhan klien skizofrenia di RSJD dr. Amino
Gondohutomo Semarang dengan kategori tinggi mencapai 48
partisipan (61,5%), untuk kategori sedang berjumlah 23
partisipan (29,5%) , dan untuk frekuensi kekambuhan dengan
kategori rendah berjumlah 7 partisipan (9,0%).
4.1.4 Hasil Penelitian Uji Bivariat
4.1.4.1 Uji Normalitas
Sebelum dilakukan pengujian hipotesis, maka terlebih
dahulu persyaratan analisis data penelitian yang akan di uji.
Pengujian normalitas dilakukan untuk mengetahui normal atau
tidaknya suatu distribusi atau penyebaran data.Untuk menguji
normalitas data, pada penelitian ini menggunakan Statistical
Program for Social Science (SPSS) 16. Dasar pengambilan
keputusan adalah :
Jika nilai sig > 0,05 maka data distribusi dikatakan normal,
dan
Jika nilai sig < 0,05 maka data distribusi dikatakan tidak
normal.
Tabel 4.8 Uji Normalitas
Variabel Peneliitian Sig. Kolmogorov-
Smirnova
Sig. Shapiro-
Wilk
Dukungan keluarga .000 .003
Frekuensi
kekambuhan .000 .000
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa setelah di lakukan
uji normalitas dengan menggunakan uji Kolmogorov Smirnov
untuk mengetahui normal atau tidaknya distribusi data dukungan
keluarga. Dari hasil tes di atas menunjukkan nila sig 0,000 < 0,05
yang berarti bahwa data dukungan keluarga tidak berdistribusi
normal. Uji Kolmogorov Smirnov juga dilakukan pada data
frekuensi kekambuhan yang hasilnya menunjukkan bahwa nilai
sig 0,000 < 0,05 yang berarti bahwa data tidak berdistribusi
normal. Oleh karena itu, maka peneliti menggunakan uji alternatif
yaitu uji Rank Spearman.
4.1.4.2 Hubungan Dukungan keluarga dengan Frekuensi
kekambuhan klien Skizofrenia
Setelah seluruh data-data terkumpul, kemudian peneliti
melakukan pengolahan data dengan menggunakan korelasi
Spearman dengan bantuan program komputer program SPSS
16 (Statistical Program for Social Science 16). Dari hasil
pengolahan data secara statistik diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 4.9 Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Frekuensi
Kekambuhan Klien Skizofrenia
Dukuangan
Keluarga
Frekuensi
Kekambuhan
Dukungan
keluarga
Correlation
Coefficient
1.000 .385**
Sig. (2-
tailed)
. .001
N 78 78
Frekuensi
Kekambuhan
Correlation
Coefficient
.385** 1.000
Sig. (2-
tailed)
.000 .
N 78 78
Berdasarkan tabel 4.9 menunjukkan bahwa nilai
signifikansi (p) 0,01< 0,05 yang berarti terdapat hubungan yang
bermakna antara dukungan keluarga terhadap frekuensi
kekambuhan klien skizofrenia di RSJD dr. Amino Gondohutomo.
Nilai koefesien korelasi (ρ) 0,385 yang berarti terdapat derajat
hubungan yang lemah antara dukungan keluarga terhadap
frekuensi kekambuhan klien skizofrenia di RSJD dr. Amino
Gondohutomo Semarang.
Pada tabel 4.9 dapat dilihat juga bahwa koefisien korelasi
antara dukungan keluarga dengan frekuensi kekambuhan klien
skizofrenia yaitu (p) = 0,01 pada penilaian <(0.05) sehingga
dapat dikatakan bahwa Hipotesis (H1) diterima yaitu ada
hubungan dukungan keluarga terhadap frekuensi kekambuhan
klien skizofrenia di RSJD dr. Amino Gondohutomo Semarang.
Tabel 4.10 Hubungan Dukungan Keluarga komponen
Emosional frekuensi kekambuhan klien skizofrenia
Dukuangan Keluarga
Frekuensi Kekambuhan
Dukungan keluarga
Correlation Coefficient
1.000 .301
Sig. (2-tailed) . .007
N 78 78
Frekuensi Kekambuhan
Correlation Coefficient
.301 1.000
Sig. (2-tailed) .007 .
N 78 78
Berdasarkan tabel 4.10 menunjukkan nilai signifikansi (p)
0,007(p>0,05) dan koefesien korelasi (ρ) dengan nilai 0,301 yang
berarti terdapat hubungan antara dukungan keluarga komponen
emosional dengan frekuensi kekambuhan klien skizofrenia di
RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang.
Tabel 4.11 Hubungan Dukungan Keluarga komponen
Informasi frekuensi kekambuhan klien skizofrenia
Dukuangan Frekuensi
Keluarga Kekambuhan
Dukungan
keluarga
Correlation
Coefficient
1.000 .453
Sig. (2-tailed) . .001
N 78 78
Frekuensi
Kekambuhan
Correlation
Coefficient
.453 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 78 78
Berdasarkan tabel 4.11menunjukkan bahwa nilai
signifikansi (p) 0,01 < 0,05 yang berarti terdapat hubungan yang
bermakna antara dukungan keluarga komponen
informasidengan frekuensi kekambuhan klien skizofrenia di
RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang.
Tabel 4.12 Hubungan Dukungan Keluarga komponen
Instrumental dengan frekuensi kekambuhan klien
skizofrenia
Dukuangan
Keluarga
Frekuensi
Kekambuhan
Dukungan
keluarga
Correlation
Coefficient
1.000 .279
Sig. (2-tailed) . .013
N 78 78
Frekuensi
Kekambuhan
Correlation
Coefficient
.279 1.000
Sig. (2-tailed) .013 .
N 78 78
Berdasarkan tabel 4.11menunjukkan bahwa nilai
signifikansi (p) 0,013 < 0,05 yang berarti terdapat hubungan
yang bermakna antara dukungan keluarga komponen
instrumentaldengan frekuensi kekambuhan klien skizofrenia di
RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang.
Tabel 4.13 Hubungan Dukungan Keluarga komponen
penghargaan dengan frekuensi kekambuhan klien
skizofrenia
Dukuangan
Keluarga
Frekuensi
Kekambuhan
Dukungan
keluarga
Correlation
Coefficient
1.000 .351
Sig. (2-tailed) . .002
N 78 78
Frekuensi
Kekambuhan
Correlation
Coefficient
.351 1.000
Sig. (2-tailed) .002 .
N 78 78
Berdasarkan tabel 4.12menunjukkan bahwa nilai
signifikansi (p) 0,02 < 0,05 yang berarti terdapat hubungan yang
bermakna antara dukungan keluarga komponen penghargaan di
RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Data demografi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kliean gangguan jiwa
skizofrenia yang mengalami kekambuhan di RSJ Dr.
Aminogondohutomo Semarang berusia antara 20-34 tahun
sebanyak 47 riset partisipan (60,3%), dengan frekuensi 78 riset
partisipan berada pada rentang usia dewasa muda. Sedangkan
pada usia dewasa tengah pada rentang usia 35-65 tahun
terdapat sebanyak 22 riset partisipan (22,8%), riset partisipan
dengan usia dewasa lanjut terdapat 1 riset partisipan (1,3%).
Dari data tersebut mayoritas riset partisipan dari penelitian ini
terdapat pada rentang usia dewasa muda.
Pada usia dewasa muda indivisu mempertahankan
hubungannya dengan orang tua dan teman sebaya, individu
belajar mengambil keputusan dan memperhatikan saran dan
pendapat orang lain seperti memilih pekerjaan, karir, dan
melangsungkan pernikahan. Namun pada tahap usia dewasa
muda inilah ketika individu mengalami kegagalan misalnya
dalam melanjutkan sekolah, pekerjaan dan pernikahan akan
mengakibatkan individu menghindari hubungan intim, menjauhi
orang lain dan putus asa akan pekerjaan (Dalami, 2009)
Individu yang mengalami kegagalan dalam melanjutkan
pendidikan juga menjadi salah satu faktor penyebab gangguan
jiwa hasil penelitian menunjukkan bahwa riset partisipan yang
tidak tamat sekolah dan tidak bersekolah sebanyak 3 riset
partisipan (3,8%), sedangkan prosentase terbesar adalah riset
partisipan yang hanya mengeyam pendidikan sampai tingkat SD
yaitu sebanyak 34 riset partisipan (43,6%), untuk tingkat SMP
terdapat 27 riset partisipan (34,6%), SMA sebanyak 13 riset
partisipan (16,7%), dan perguruan tinggi 1 riset partisipan
(1,3%). Berarti hampir separuh dari total riset partisipan memiliki
tingkat pendidikan yang tergolong rendah. Hal ini di pertegas
oleh Santoso (2010) bahwa pendidikan berpengaruh terhadap
proses perkembangan intelek dan sosial yang sudah dimulai dari
rumah.Hal ini makin dipertegas oleh Yosep (2009), yang
menyatakan bahwa ketidakmampuan mengatasi kehidupan dan
tekanan hidup karena kurangnya tingkat pengetahuan dapat
menyebabkan gangguan jiwa.
Peneliti sendiri berpendapat bahwa tingkat pendidikan yang
rendah membuat seorang individu kesulitan untuk mengatasi
setiap masalah yang datang, sehingga semakin lama individu
tersebut tidak tahu cara mengatasi masalah yang ada, akan
membuat individu mengalami stress yang berkepanjangan dan
akan berujung pada gangguan jiwa.
Dalam Yosep (2009), dia berpendapat bahwa masalah
ekonomi merupakan masalah yang paling dominan sebagai
pencetus gangguan jiwa di Indonesia. Hal ini terlihat dalam
penelitian ini di mana terdapat 60 riset partisipan (76,9%) dari
total 78 riset partisipan tidak bekerja atau pengangguran.
Sehingga masalah pengangguran merupakan salah satu faktor
pencetus masalah gangguan jiwa di Indonesia. Hal ini terjadi
sebagai akibat dari rendahnya tingkat pendidikan sehingga
terjadi tingkat pengangguran yang cukup tinggi yang akhirnya
menyebabkan stress berkepanjangan dan berujung pada
gangguan jiwa. Dalam Yosep (2009) juga mengatakan bahwa
masalah kemiskinan seperi pengangguran dan atau tidak
bekerja di Indonesia yang mencapai 40 juta rakyat di Indonesia
telah menyebabkan rakyat mengalami keterpurukan, tingkat
pendidikan rendah, daya beli lemah, gizi buruk, lingkungan yang
buruk telah menyebabkan banyak rakyat Indonesia mengalami
gangguan jiwa.
Peneliti juga memiliki pendapat bahwa kehilangan pasangan
hidup, atau tidak ada pasangan hidup dalam hal ini, riset
partisipan yang belum menikah dan janda/duda, seperti
kehilangan faktor pelindung atau pendukung yang mendukung
atau membantu menanggulangi masalah dan tekanan kehidupan
yang ada, dapat membuat seorang individu mengalami stress
bahkan sampai mengalami gangguan jiwa. dari hasil penelitian di
temukan bahwa lebih dari separuh riset partisipan belum
menikah 42 (53,8%), meskipun hampir semua riset partisipan
berada pada usia subur atau usia produktif yang siap menikah.
Hal ini kembali dipertegas oleh Yosep (2009) bahwa kondisi
keluarga yang tidak mendukung seperti perpisahan orang tua
atau perceraian, komunikasi yang kurang baik antara orang tua
dan anak, pada akhirnya menyebabkan seseorang mengalami
perubahan dalam kehidupan sehingga ketika tidak mampu
melakukan adaptasi dan tidak mampu mengatasi masalah-
masalahnya maka timbul keluhan-keluhan kejiwaan yang
menyebabkan seseorang mengalami gangguan jiwa.
Data hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sebanyak 48
riset partisipan (61,5%) bukan merupakan klien baru, atau sudah
dirawat lebih dari 2 (dua) kali dalam kurun waktu 1 tahun,
sedangkan yang baru 1 (satu) kali di rawat dalam kurun 1 tahun
terdapat 23 riset partisipan (29,5%). Berdasarkan pengamatan
dan pengalaman klien selama praktek dan selama melakukan
penelitian di RSJD Amino Gondohutomo Semarang, peneliti
berpendapat bahwa klien di RSJ sering kambuh karena berbagai
faktor, di antaranya adalah kurangnya dukungan keluarga
kepada klien jiwa yang di rawat di RSJ, seperti mengingatkan
untuk menkonsumsi obat secara teratur setelah pulang ke
rumah, dan juga jarang mengantar klien jiwa kontrol secara
teratur setelah klien pulang ke rumah. Dalam bukunya Dalami
(2009), mengatakan bahwa masalah komunikasi dalam keluarga
dapat menjadi kontribusi untuk mengembangkan gangguan
tingkah laku. Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian
Manungkalit (2009) yang menyatakan bahwa kurang adanya
perhatian dan perawatan keluarga selama proses penyembuhan
menyebabkan tingkat kekambuhan yang tinggi, serta kurangnya
mendapat kunjungan dari anggota keluarga selama di rawat di
RSJ akan memperlambat proses penyembuhan klien.
4.2.2 Hubungan Dukungan keluarga dengan Frekuensi
kekambuhan
Hasil hubungan menunjukkan bahwa nilai signifikansi (p)
0,00<0,05 dan Nilai koefesien korelasi (ρ) 0,385 yang berarti
terdapat hubungan dengan derajat hubungan yang lemah antara
dukungan keluarga terhadap frekuensi kekambuhan klien
skizofrenia di RSJD dr. Amino Gomdohutomo.
Hasil penelitian Dukungan Keluarga menunjukkan bahwa
klien skizofrenia di RSJD dr. Amino Gondohutomo semarang
yang mendapatkan dukungan keluarga yang tinggi sebanyak 22
partisipan (28,8%) sedangkan sisanya mendapatkan dukungan
keluarga yang rendah dan sedang berjumlah 28 (35,9%).
Karena rendahnya dukungan keluarga terhadap klien
skizofrenia (28,8%) maka mengakibatkan tingginya frekuensi
kekambuhan. Hal ini di dukung oleh Mcfarlane (1995) dalam
Buku ajar keperawatan jiwa, yang menyatakan bahwa
penyuluhan dan terapi keluarga diketahui mengurangi efek
negatif skizofrenia sehingga mengurangi angka relaps (kambuh).
Frekuensi kekambuhan klien skizofrenia di RSJD dr. Amino
Gondohutomo Semarang dengan kategori tinggi mencapai 48
partisipan (61,5%), untuk kategori sedang berjumlah 23
partisipan (29,5%) , dan untuk frekuensi kekambuhan dengan
kategori rendah berjumlah 7 partisipan (9,0%).
4.2.3 Hubungan Dukungan Keluarga komponen emosional
dengan frekuensi kekambuhan klien skizofrenia
Dukungan emosional dapat berupa dukungan yang
memberikan klien rasa nyaman, merasa dicintai, memberikan
dukungan dalam bentuk semangat, empati, rasa percaya,
perhatian, sehingga klien merasa berharga dan diterima.
Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dukungan
keluarga untuk komponen dukungan emosional dalam penelitian
ini untuk kategori tinggi berjumlah 30 partisipan (38,5%) atau
yang tertinggi di banding kategori sedang dan rendah yang
berjumlah 21 partisipan (26,9%) untuk kategori sedang dan 27
partisipan (34,6%) untuk kategori rendah. Hal ini juga
menunjukkan bahwa klien skizofrenia tidak cukup mendapatkan
dukungan emosional yang membuat mereka merasa dicintai
meskipun saat mengalami suatu masalah, klien skizofrenia
kurang mendapatkan empati dan perhatian dari keluarga
sehingga menjadi salah satu penyebab klien skizofrenia mudah
kambuh. Hal ini pun didukung oleh hasil penelitian Manungkalit
(2009), yang menyatakan bahwa kurang adanya perhatian dan
perawatan keluarga selama proses penyembuhan
mengakibatkan kekambuhan yang tinggi. Dari pengalaman
peneliti selama berada di RSJ, klien skizofrenia kurang
mendapatkan dukungan emosional dari keluarga selama di
rawat di RSJ, karena keluarga jarang mengunjungi klien di RSJ.
4.2.4 Hubungan Dukungan Keluarga komponen Informasi dengan
frekuensi kekambuhan klien skizofrenia
Dukungan Informasi, keluarga yang berperan dalam
menghimpun dan memberikan informasi kepada anggota
keluarga yang mengalami skizofrenia, memberikan informasi
tempat, dokter dan terapi yang baik bagi klien. Dukungan ini
termasuk di dalamnya memberikan pangarahan dan solusi
terhadap masalah yang dialami penderita.
Dukungan keluarga untuk komponen dukungan informasi
menunjukkan bahwa distribusi dukungan keluarga komponen
informasi dengan kategori tinggi berjumlah 25 partisipan
(32,1%), kategori sedang berjumlah 25 pastisipan (32,1%), dan
kategori rendah berjumlah 28 partisipan (35,9%). Dari data hasil
penelitian di atas, dapat dilihat bahwa sebanyak 28 partisipan
dari total 78 partisipan mendapatkan dukungan informasi yang
rendah. Hal ini menunjukkan bahwa peran keluarga dalam
memberikan informasi kepada klien masih rendah, sehingga
menjadi salah satu faktor rentan dalam kekambuhan klien
skizofrenia. Hasil penelitian Sianipar (2008), yang menyatakan
41,32% keluarga tidak tahu cara merawat penderita skizofrenia
karena keterbatasan informasi yang diterima tentang cara
perawatannya.
4.2.5 Hubungan Dukungan Keluarga komponen Instrumental
dengan frekuensi kekambuhan klien skizofrenia
Dukungan Instrumental atau dukungan nyata, dapat
berupa bantuan pengobatan biaya perawatan penderita anggota
keluarga yang mengalami skizofrenia. Bentuk dukungan ini juga
dapat berupa perawatan saat penderita mengalami sakit
jasmani.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan keluarga
komponen instrumental dengan kategori tinggi berjumlah 13
partisipan (16,7%), untuk kategori sedang sebanyak 30
partisipan (38,5%), dan untuk kategori rendah sebanyak 35
partisipan (44,9%). Sebanyak 35 partisipan dari total 78
partisipan mendapatkan dukungan instrumental yang rendah,
dan sebanyak 30 partisipan mendapatkan dukungan yang cukup
dari keluarga. Dari pengalaman peneliti sendiri selama
melakukan penelitian di RSJ, mayoritas klien dibiayai oleh
pemerintah dengan menggunakan jasa Jamkesmas, bahkan ada
yang di biayai oleh dinas sosial dari kota tempat klien tersebut
tinggal, hal ini menunjukkan bahwa masih kurangnya bantuan
dana dari keluarga terhadap klien skizofrenia. Menurut (Andri,
2008) Keluarga merasa malu mempunyai anggota keluarga
menderita skizofrenia sehingga tidak membawa untuk berobat ke
rumah sakit secara teratur. Menurut Mubin, dkk (2008) keluarga
yang memiliki klien gangguan jiwa mengalami stigma yang buruk
dari masyarakat dan lingkungan tempat tinggal serta aib bagi
keluarga sehingga keluarga merasa malu mempunyai anggota
keluarga yang menderita gangguan jiwa.
4.2.6 Hubungan Dukungan Keluarga komponen penghargaan
dengan frekuensi kekambuhan klien skizofrenia
Dukungan penghargaan, dukungan ini berupa dorongan
dan motivasi yang diberikan keluarga kepada klien. Dalam
dukungan penghargaan, kelompok dukungan dapat berupa
memepengaruhi persepsi akanancaman. Dukungan keluarga
dapat membantu klien mengatasi masalah dan keluarga
bertindak sebagai pembimbing klien dalam menghadapi masalah
klien.
Dari data penelitian menunjukkan bahwa dukungan
keluarga untuk komponen dukungan penghargaan dengan
kategori tinggi berjumlah 15 partisipan (19,2%), kategori sedang
berjumlah 26 pastisipan (33,3%), dan kategori rendah berjumlah
37 partisipan (47,4%).
Hal ini menunjukkan bahwa keluarga masih kurang
memberikan motivasi secara optimal kepada klien sehingga klien
sering dikucilkan dan tidak diajak melakukan aktivitas sehari-
hari.Klien skizofrenia kurang mendapatkan dukungan dari
keluarga untuk mengatasi masalah dan keluarga kurang
memainkan perannya dengan bertindak sebagai pembimbing
klien dalam menghadapi masalah klien. Hal ini dipertegas oleh
(Cohen,1984) Dukungan keluarga dapat membantu klien
mengatasi masalah dan mendefinisikan kembali situasi tersebut
sebagai ancaman kecil dan keluarga bertindak sebagai
pembimbing dengan memberikan umpan balik dan mampu
membangun harga diri klien. Sebenarnya tempat terbaik bagi
klien skizofrenia adalah berada di tengah-tengah keluarga yang
mau memperhatikan dan membimbing klien skizofrenia menuju
kehidupan yang lebih baik.Yang sangat dibutuhkan klien
skizofrenia adalah dukungan dari keluarga dalam bentuk cinta,
kasih sayang dan perhatian dari keluarga.