Post on 06-Feb-2018
61
BAB III
PEMIKIRAN DANIEL GOLEMAN TENTANG KONSEP EMOSIONAL
QUOTIENT (EQ)
3.1 Biografi dan Karir Intelektual
Daniel Goleman sering mengajar kelompok-kelompok peserta bisnis,
kaum profesional dan juga mengajar di kampus-kampus universitas, seorang
psikolog, yang telah menulis banyak pengetahuan mengenai kecerdasan dan
prilaku di majalah “New York Times” selama bertahun-tahun, Dr. Goleman
dulunya adalah salah seorang anggota pengunjung fakultas di Hardvard, dan ia
seorang wartawan di surat kabar “New York Times”
Goleman, Ph.D., meliput ilmu-ilmu prilaku dan otak pada The New York
Times dan artikel-artikelnya dimuat di seluruh dunia dalam sindikasi surat kabar
ini. Ia pernah mengajar di Hardvard (tempat ia meraih gelar Ph.D.-nya) dan
pernah menjadi editor senior di Psychology Today. Buku-bukunya telah
diterbitkan adalah Vital Lies, Simple Truth; The Meditative Mind; Emotional
Intelligence, Working With Emotional Intelligence; dan menjadi penulis
pendamping buku The Creative Spirit, dan buku terbarunya adalah Primal
Leadership—Realizing The Power of Emotional Intelligence menelaah masalah
peran penting kecerdasan emosi dalam kepemimpinan. Karya-karyanya termasuk
menjadi salah satu penjualan terlaris dalam satu daftar “New York Times”
selama 1,5 tahun dengan lebih dari 5 juta cetakan eksemplar di seluruh dunia.
Buku-buku tersebut telah menduduki peringkat penjualan terlaris hampir seluruh
62
benua Eropa, Asia dan Amerika Latin, dan telah diterjemahkan kedalam kurang
lebih 30 bahasa.
Dr. Goleman termasuk salah seorang pendiri pembelajaran Collaborative
untuk kampus. Pembelajaran Sosial dan Emosi di Universitas Yale Pusat Studi
Anak (sekarang di Universitas Illionis Chicago); dengan misi untuk membantu
sekolah-sekolah memperkenalkan pelajaran-pelajaran literasi emosi. Satu
kelebihan dari dampak pembelajaran Collaborative adalah bahwasannya ribuan
sekolah di seluruh dunia telah mulai mengaplikasikan program-program tersebut.
Goleman adalah mantan ketua suatu perkumpulan penelitian mengenai
kecerdasan emosi dalam organisasi-organisasi, yang sesuai dengan sekolah-
sekolah lulusan psikologi penerapan dan profesional di Universitas Rutgers yang
merekomendasikan praktek-praktek terbaik dalam mengembangkan kompetensi
emosi. Pada tahun 2003 ia menerbitkan Destructive Emotins (emosi-emosi yang
merusak), yaitu sejumlah dialog ilmiah antara Dalai Lama dan Kelompok
Psikolog, ahli saraf dan para filosof. Ia adalah salah seorang anggota dewan
komisaris Institut “Mind and Life” yang mensponsori serial yang sedang
berlangsung dalam dialog-dialog tersebut dan membantu penelitian yang relevan.
Goleman telah menerima banyak penghargaan jurnalistik untuk karya-
karya tulisan, termasuk 2 nominasi penghargaan “Pulitzer” untuk artikel-
artikelnya di majalah “Times” dan sebuah penghargaan “Career Achievement”
(prestasi karir) untuk jurnalistik dari Asosiasi Psikologi Amerika. Dalam
pengenalan terhadap usaha-usahanya untuk mengkomunikasikan ilmu-ilmu
63
pengetahuan sikap kepada publik, ia telah terpilih menjadi seorang anggota
persekutuan Amerika untuk ilmu pengetahuan yang tinggi.
Goleman lahir di Stockton California, Dr. Goleman masuk di Universitas
Amherst, dimana ia menjadi sarjana Alfred P. Sloan, dan ia lulus dengan
predikat cum laude. Pendidikan S2 dan S3-nya diperoleh di Hardvard, dimana ia
menjadi seorang anggota “Ford”, dan ia mendapat gelar MA dan Ph.D untuk
mengembangkan klinik psikologi dan personaliti. Sekarang Dr. Goleman tinggal
di Berkshires Massachusetts bersama istrinya Tara Bennet Goleman, seorang
ahli psikoterapi. Ia mempunyai dua anak yang sudah dewasa.
3.2 Karya Pemikiran Daniel Goleman
3.2.1 Working With Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosi Untuk
Mencapai Puncak Prestasi)
Dalam karya ini mengubah kerangka pikir untuk mengenal
karier—dan bagiamana bisnis memahami prioritas krusial-nya—
Goleman mendefinisikan kembali ukuran berhasil dalam pekerjaan.
Dengan akses yang tak terbatas ke para pelaku bisnis utama di
seluruh dunia, dan juga penelitian yang dilakukan di lebih dari 500
perusahaan, Goleman mendapatkan gambaran mengenai ketrampilan
yang dimiliki oleh para bintang kinerja di segala bidang, yang membuat
mereka berbeda dari yang lainnya. Dari pekerjaan tingkat bawah sampai
posisi eksekutif, faktor satu-satunya yang paling penting bukanlah IQ,
64
pendidikan tinggi, atau ketrampilan teknis. Yang paling penting adalah
kecerdasan emosi.
Kesadaran diri, kepercayaan diri, dan pengendalian diri;
komitmen dan integritas; kemampuan berkomunikasi dan mempengaruhi;
berinisiatif dan meneima perubahan. Goleman memperlihatkan bahwa
kemampuan-kemampuan ini dinilai paling tinggi dalam pasar kerja masa
kini. Semakin tinggi anak tangga kepemimpinan yang Anda daki,
semakin penting semua aspek kecerdasan emosi, dan sering menentukan
siapa dipekerjakan dan siapa dipecat, siapa ditinggalkan dan siapa
dipromosikan.
Bintang kinerja menonjol bukan hanya karena prestasi
kepribadiannya sendiri tetapi juga karena mampu bekerja sama dengan
dengan baik dalam tim dan dengan masyarakat. Mereka
memaksimumkan produktivitas kelompok. Mereka yang tak dapat
bekerja sama atau gampang meledak tak mampu mengelola perubahan
atau konflik dan dapat meracuni seluruh perusahaan.
Kabar baiknya adalah, seperti yang dibuktikan oleh penelitian
mengenai ilmu-ilmu otak dan tingkah laku manusia, kita semua memiliki
potensi untuk memperbaiki kecerdasan emosi pada setiap jenjang karier
kita. Goleman memberikan petunjuk yang spesifik dan ilmiah untuk
menumbuhkan kemampuan yang sangat berharga ini—dan juga
65
menerangkan mengapa begitu banyak pelatihan perusahaan yang
konvensional hanya buang-buang waktu.
3.2.2 Emotional Intelligence (Keceradasan Emosional, Mengapa EI Lebih
Penting Daripada IQ)
Dengan memanfaatkan penelitian yang menggemparkan tentang
otak dan perilaku, Goleman memperlihatkan faktor-faktor yang terkait
mengapa orang yang ber–IQ tinggi gagal dan ber-IQ sedang-sedang
menjadi sangat sukses. Faktor-faktor ini mengacu pada suatu cara lain
untuk menjadi cerdas—cara yang disebutnya “kecerdasan emosional”.
Kecerdasan emosional mencakup kesadaran diri dan kendali dorongan
hati, ketekunan, semangat dan motivasi diri, empati dan kecakapan sosial.
Ini merupakan ciri-ciri yang menandai orang-orang yang
menonjol dalam kehidupan nyata: yang memiliki hubungan dekat yang
hangat, yang menjadi bintang di tempat kerjanya. Ini juga merupakan
ciri-ciri utama karakter dan disiplin diri, altruisme dan belas kasih—
kemampuan-kemampuan dasar yang dibutuhkan apabila kita
mengharapkan terciptanya masyarakat yang sejahtera.
Sebagaimana yang dianjurkan oleh Goleman, kerugian pribadi
akibat rendahnya kecerdasan emosional dapat berkisar mulai dari
kesulitan perkawinan dan mendidik anak hingga ke buruknya kesehatan
jasmani. (Penelitian baru memperlihatkan bahwa resiko besar bagi
66
kesehatan seperti halnya merokok berantai). Rendahnya kecerdasan
emosional dapat menghambat pertimbangan intelektual dan
menghancurkan karier. Barangkali kerugian terbesar diderita oleh oleh
anak-anak, yang mungkin dapat terjerumus dalam resiko terserang
depresi, gangguan makan dan kehamilan yang tak diinginkan, agresivitas
serta kejahatan dengan kekerasan.
Tetapi, yang menggembirakan adalah bahwa kecerdasan
emosional tidaklah ditentukan sejak lahir. Argumen Goleman didasarkan
pada sintesis yang benar-benar orisinal dari penelitian terbaru, termasuk
pengetahuan baru mengenai arsitektur otak yang melandasi emosi dan
rasionalitas. Dengan cermat ia memperlihatkan bagaimana kecerdasan
emosional dapat dipupuk dan diperkuat dalam diri kita semua. Dan,
karena pelajaran-pelajaran emosional yang diperoleh seorang anak akan
membentuk sirkuit otaknya, Goleman memberikan pedoman mendetail
tentang bagaimana orang tua dan sekolah-sekolah dapat memanfaatkan
kesempatan emas masa kanak-kanak itu dengan sebaik-baiknya. Pesan
buku yang membuka persepektif baru ini yang harus kita camkan dalam
hati: “kehidupan normal” yang sejati bagi sebuah masyarakat harus
mengukur kecerdasan emosional. Daniel Goleman menawarkan suatu
pandangan baru terhadap keunggulan dan kurikulum baru yang penting
bagi kehidupan yang dapat mengubah masa depan kita dan anak-anak
kita.
67
3.2.3 Primal Leadership—Realizing The Power of Emotional Intelligence
Dalam buku ini Menelaah masalah peran penting kecerdasan
emosi dalam kepemimpinan. Karya-karyanya termasuk menjadi salah
satu penjualan terlaris dalam satu daftar “New York Times” selama 1,5
tahun dengan lebih dari 5 juta cetakan eksemplar di seluruh dunia. Buku-
buku tersebut telah menduduki peringkat penjualan terlaris hampir
seluruh benua Eropa, Asia dan Amerika Latin, dan telah diterjemahkan
kedalam kurang lebih 30 bahasa.
3.3 Konsep Daniel Goleman Tentang Emosional Quotient (EQ)
3.3.1 Pengertian EQ Menurut Daniel Goleman
Kata yang selalu merujuk dalam pembahasan ini adalah emosi,
istilah yang makna tepatnya masih membingungkan baik para ahli
psikologi maupun ahli filsafat selama lebih dari sau abad. Dalam makna
paling harfiah, oxford English Dictionary mendefinisikan emosi sebagai
“setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu; setiap keadaan
mental yang hebat atau meluap-luap”. Saya menganggap emosi merujuk
pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis
dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Ada
ratusan emosi, bersama dengan campuran, variasi, mutasi, dan
nuansanya. Sungguh, terdapat lebih banyak penghalusan emosi daripada
kata yang kita miliki untuk itu.
68
“Kecerdasan emosi” atau Emotional Intelligence merujuk kepada
kemampuan menganali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain,
kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi
dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.
Kemampuan-kemampuan yang berbeda, tetapi saling melengkapi,
dengan kecerdasan akademik (academic intelligence), yaitu kemampuan-
kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ. Banyak orang yang
cerdas, dalam arti terpelajar, tetapi tidak mempunyai kecerdasan emosi,
ternyata bekerja menjadi bawahan orang ber-IQ lebih rendah tetapi
unggul dalam ketrampilan kecerdasan emosi. (Goleman, 2003: 512)
Dua macam kecerdasan yang berbeda ini—intelektual dan
emosi—mengungkapkan aktivitas bagian-bagian yang berbeda dalam
otak. Kecerdasan intelektual terutama didasarkan pada kerja neokorteks,
lapisan yang dalam evolusi berkembang paling akhir di bagian atas otak.
Sedangkan pusat-pusat emosi berada di bagian otak yang lebih dalam,
dalam subkorteks yang secara evolusi lebih kuno; kecerdasan emosi
dipengaruhi oleh kerja pusat-pusat emosi ini, tetapi dalam keselarasan
dengan kerja pusat-pusat intelektual.
Semua emosi pada dasarnya, adalah dorongan untuk bertindak,
rencana seketika untuk mengatasi masalah yang telah ditanamkan secara
berangsur-angsur oleh evolusi. Akar kata emosi adalah movere, kata kerja
Bahasa Latin yang berarti “menggerakkan, bergerak”, ditambah awalan
69
“e-” untuk memberi arti “bergerak menjauh”, menyiratkan bahwa
kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi.
Bahwasanya emosi memancing tindakan, tampak jelas bila kita
mengamati binatang atau anak-anak; hanya pada orang-orang dewasa
yang “beradab” kita begitu sering menemukan perkecualian besar dalam
dunia makhluk hidup, emosi—akar dorongan untuk bertindak—terpisah
dari reaksi-reaksi yang tampak di mata.
Emotional Intelligence / EQ (Kecerdasan Emosional) menurut
Goleman, adalah kemampuan merasakan, memahami, dan dengan efektif
menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi,
dan pengaruh yang manusiawi. Menurut organisasi leadership non profit
(6 seconds), Emotional Intelligence is the capacity to create positive
outcomes in your relationship with yourself and with others. Positive
outcomes include joy, optimism, and success at work, school, and life.
Daniel Goleman berpendapat bahwa IQ dan EQ merupakan dua
sahabat yang saling melengkapi, namun memiliki perbedaan. IQ tidak
berubah sepanjang waktu, IQ pada saat masuk sekolah sampai dengan IQ
pada saat lulus tidak akan mengalami perubahan. EQ berubah sejalan
dengan pengalaman dan keinginan belajar. Ibaratnya tanpa EQ, IQ hanya
merupakan pengetahuan tanpa tenaga dan gairah.
Daniel Goleman dalam bukunya Workking With Emotional
Intelligence menjelaskan bahwa ada beberapa konsepsi keliru yang lazim
70
tentang kecerdasan emosional, yaitu : Pertama, kecerdasan emosi tidak
hanya berarti “bersikap ramah”. Pada saat-saat tertentu yang diperlukan
mungkin bukan “sikap ramah”, melainkan, misalnya, sikap tegas yang
barangkali memang tidak menyenangkan, tetapi mengungkapkan
kebenaran yang selama ini dihindari.
Kedua, kecerdasan emosi bukan berarti memberikan kebebasan
kepada parasaan untuk berkuasa—“memanjakan perasaan”—melainkan
mengelola perasaan sedemikian sehingga terekspresi secara tepat dan
efektif, yang memungkinkan orang bekerja sama dengan baik.
Begitu pula, wanita tidak “lebih hebat” daripada pria dalam hal
kecerdasan emosi, pria pun tidak lebih hebat daripada wanita. Kita
masing-masing mempunyai profil pribadi mengenai kekuatan dan
kelemahan dalam kemampuan ini: kita mungkin hebat dalam berempati,
tetapi mempunyai beberapa kekurangan dalam hal mengenai kesedihan
diri sendiri, atau kita mungkin peka sekali terhadap perubahan sekecil apa
pun dalam suasana hati kita, tetapi kurang luwes dalam pergaulan.
Memang benar bahwasannya pria dan wanita sebagai kelompok
cenderug sama-sama mempunyai profil khas gender dengan kekuatan dan
kelemahan masing-masing. Sebuah analisis tentang kecerdasan emosi
terhadap ribuan pria dan wanita menemukan bahwa wanita, rata-rata,
lebih sadar tentang emosi mereka, lebih mudah bersikap empati, dan
lebih terampil dalam hubungan antar pribadi. Pria sebaliknya, lebih
71
percaya diri dan optimis, mudah beradaptasi, dan lebih baik dalam
menangani stres. (Bar-On, 1997)
Namun, secara umum, kemiripan di antara kedua kelompok ini
jauh lebih banyak ketimbang perbedaan, sebagian pria sama empatiknya
dengan kebanyakan wanita yang sangat peka dalam pergaulan, sedangkan
sebagian wanita mempunyai kemampuan yang sama dalam menahan
stres dengan kebanyakan pria yang tangguh secara emosi, memang secara
rata-rata, bila kita melihat peringkat keseluruhan untuk pria dan wanita,
kekuatan dan kelemahan saling menghilangkan, sehingga dalam kaitan
dengan kecerdasan emosi keseluruhan, perbedaan berdasarkan jenis
kelamin tidak ada. (Goleman, 2003: 9)
Akhirnya, tingkat kecerdasan emosi kita tidak terikat dengan faktor
genetis, tidak juga hanya dapat berkembang selama masa anak-anak.
Tidak seperti IQ, yang berubah hanya sedikit sesudah melewati usia
remaja, tampaknya kecerdasan emosi lebih banyak diperoleh lewat
belajar, dan terus berkembang sepanjang hidup sambil belajar dari
pengalaman sendiri—kecakapan kita dalam hal ini dapat terus tumbuh.
Sesungguhnya, studi-studi yang telah menelusuri tingkat kecerdasan
emosi orang selama bertahun-tahun menunjukkan bahwa orang makin
lama makin baik dan kemampuannya sejalan dengan makin terampilnya
mereka dalam menangani emosi dan implusnya sendiri, dalam memotivasi
72
diri, dan dalam mengasah empati kecakapan sosial. Ada istilah untuk
perkembangan kecerdasan emosi ini: kedewasaan Anak.
3.3.2 Fungsi EQ Menurut Daniel Goleman
Dasawarsa terakhir ini telah mencatat rentetan laporan tentang
kejahatan yang dilakukan oleh para remaja dan orang dewasa,
mencerminkan meningkatnya ketidakseimbangan emosi, keputusasaan,
dan rapuhnya moral di dalam keluarga kita, masyarakat, dan kehidupan
kita bersama. Tahun-tahun ini telah merekam meningkatnya tindak
kekerasan dan kekecewaan, entah dalam kesepian anak-anak yang
terpaksa ditinggal sendiri atau diasuh babysister dan televisi, atau dalam
kepahitan anak-anak yang disingkirkan, disia-siakan, atau diperlakukan
dengan kejam, atau dalam keintiman tak lazim dari tindak kekerasan
dalam perkawinan. Meluasnya penyimpangan emosional terlihat dari
melonjaknya angka tingkat depresi di seluruh dunia dan pada tanda-tanda
tumbuhnya gelombang agresivitas—pemuda berumur belasan
bersenjatakan senapan di sekolah-sekolah, kecelakaan di jalan bebas
hambatan yang berakhir dengan tembak-menembak, mantan karyawan
yang membantai bekas rekan-rekan sekerja. Penganiayaan emosi,
penembakan di jalan-jalan, dan stres pasca trauma semuanya masuk
dalam kosa kata lumrah selama dasawarsa terakhir ini, ketika selogan
73
zaman ini beralih dari seruan gembira “Selamat bersenang-senang”
menjadi “Mari bersenang-senang” dengan nada tak sabaran.
Sepuluh tahun terakhir ini, selain berita-berita buruk, juga ditandai
dengan lonjakan drastis dalam kajian ilmiah di bidang emosi. Yang paling
dramatis adalah terkuaknya cara kerja otak, yang dimungkinkan oleh
metode-metode terbaru seperti teknologi penyamaran otak. Teknologi ini,
untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, memungkinkan orang dapat
mengamati sesuatu yang senantiasa menjadi sumber rahasia paling gelap:
bagaimana kelompok rumit sel-sel bekerja sementara kita berpikir dan
merasa, berimajinasi dan bermimpi. Bertumpuknya data biologi saraf
membuka kemungkinan bagi kita untuk lebih memahami bagiamana pusat
emosi otak mengatur kita untuk marah atau menangis, dan bagaimana
bagian-bagian otak yang lebih primitif—yang mengarahkan kita berperang
atau bercinta—disalurkan menjadi lebih ataupun lebih buruk. Pemahaman
mengenai cara kerja emosi dan kelemahan emosi yang tidak pernah terjadi
sebelumnya ini membawa kita ke suatu fokus mengenai pola
penaggulangan baru bagi krisis emosi masyarakat kita.
Sementara itu secara emosional menurut Freud ada empat
kepribadian dasar manusia, yaitu :
1) Melankolis
a. dalam mengurus perincian dan pemikiran secara mendalam
b. dalam memelihara catatan, bagan dan grafik
74
c. dalam menganalisis masalah yang terlalu sulit bagi orang lain
Orang bertipe kepribadian melankolis, biasanya tidak ingin
menonjolkan dirinya. Dia tidak pernah mau menyinggung perasaan
siapapun, dan ia tidak ingin orang lain mencelanya. Orang melankolis
sulit untuk menerima pujian.
Orang melankolis akan menghargai cara pendekatan seseorang yang
serius dan tulus. Orang melankolis tidak menyukai komentar yang
keras, dan tidak akan menyukai kalau orang lain bicara kalau dapat
menarik perhatian dirinya. Dia lebih suka melakukan percakapan
yang cerdik daripada harus melakukan percakapan pada orang-orang
yang tidak mengetahui permasalahannya. (Littauer, 1996: 293)
2) Phlegmatis
a. dalam posisi penengahan dan persatuan
b. dalam badai yang perlu diredakan
c. dalam rutinitas yang membosankan bagi orang lain
Orang Phlegmatis cenderung suka berkelompok antara sesamanya.
Ada kesenangan tertentu dalam mengetahui bahwa mereka tidak
mengharapkan apapun antara satu dan lainnya, dan bahwa mereka
bisa sama-sama menikmati penerimaan atas status quo dari
sesamanya.
75
3) Sanguinis
a. dalam berurusan dengan orang lain secara antusias
b. dalam menyatakan pemikiran dengan penuh gairah
c. dalam memperlihatkan perhatian
Sanguinis yang populer bicara sangat ekstrim dan bersemangat tanpa
perlu ada hubungannya dengan kebenaran. Sanguinis yang populer
merasa bahwa kalau dia mendengar cerita yang membosankan yang
harus diteruskannya, merupakan hal yang logis baginya untuk sedikit
membesar-besarkannya, sehingga orang lain akan mendengarkan
kisah dalam bentuk yang lebih baik daripada ketika dia menerimanya.
Apapun yang dikatakan oleh sanguinis, itu akan dibesar-besarkan dan
menyenangkan, dan orang tidak akan mendapat kesulitan
mendengarkannya. Dan orang sanguinis ini tipe orang yang tidak
gampang rileks.
4) Koleris
a. dalam pekerjaan memerlukan keputusan cepat
b. dalam persoalan yang memerlukan tindakan dan dan pencapain
seketika
c. dalam bidang-bidang menuntut kontrol dan wewenang yang kuat
Orang koleris, seperti halnya orang sanguinis, dia tidak gampang
rileks, dan dia cenderung duduk ditepi kursi, menunggu suatu
76
tindakan. Begitu kita belajar pada orang koleris kita akan tahu
bagaimana cara berurusan dengan orang lain dalam situasi sosial.
(Littauer, 1996: 293-301)
Kini pada akhirnya, sains mampu mengutarakan pendapat tanpa
ragu-ragu mengenai masalah-masalah mendesak dan membingungkan
perihal segi kejiwaan yang paling tak rasional, untuk memetakan perasaan
manusia dengan cukup tepat. Pemetaan ini menimbulkan tantangan bagi
mereka yang menganut pandangan sempit tentang kecerdasan, dengan
mengatakan bahwa IQ merupakan fakta genetik yang tak mungkin diubah
oleh pengalaman hidup, dan bahwa takdir kita dalam kehidupan terutama
ditetapkan oleh faktor bawaan ini. Pendapat tersebut mengabaikan
masalah yang lebih menantang: apa yang bisa kita ubah untuk menolong
anak-anak kita memiliki nasib kehidupan yang lebih baik? Faktor-faktor
manakah yang lebih berperan, misalnya, kapan orang ber IQ tinggi gagal
dan orang ber-IQ rata-rata menjadi amat sukses? Goleman mengatakan
bahwa perbedaannya seringkali terletak pada kemampuan-kemampuan
yang di sini disebut kecerdasan emosional yang mencakup pengendalian
diri, semangat dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri
sendiri. Ketrampilan-ketrampilan ini, sebagaimana nanti akan kita lihat,
dapat diajarkan kepada anak-anak, untuk memberi mereka peluang yang
77
lebih baik dalam memanfaatkan potensi intelektual apapun yang
barangkali diberikan oleh permaianan judi genetik kepada mereka.
Dibalik kemungkinan ini muncul tekanan moral yang mendesak.
Yaitu saat-saat ketika jalinan masyarakat tampaknya terurai semakin
cepat, ketika sifat mementingkan diri sendiri, kekerasan, dan sifat jahat
tampaknya menggerogoti sisi baik kehidupan masyarakat kita. Di sini,
alasan untuk mendukung perlunya kecerdasan emosional betumpu pada
hubungan antara perasaan, watak, dan naluri moral. Semakin banyak bukti
bahwa sikap etik dasar dalam kehidupan berasal dari dasar kemampuan
emosional yang melandasinya. Misalnya, dorongan hati merupakan
medium emosi; benih semua dorongan hati adalah perasaan yang
memunculkan diri dalam bentuk tindakan. Orang-orang yang dikuasai
dorongan hati—yang kurang memiliki kendali diri—menderita
kekurangmampuan pengendalian moral: kemampuan untuk
mengendalikan dorongan hati merupakan basis kemauan (will) dan watak
(character). Dengan cara yang sama, akar cinta sesama terletak pada
empati, yaitu kemampuan membaca emosi orang lain; tanpa adanya
kepekaan terhadap kebutuhan atau penderitaan orang lain, tidak akan
timbul rasa kasih sayang. Apabila ada dua sikap moral yang dibutuhkan
oleh zaman sekarang, sikap yang paling tepat adalah kendali diri dan kasih
sayang. (Hermaya, 2003: xi-xiv)
78
Alasan bahwa ada beberapa emosi inti, sampai tahap tertentu,
bertumpu pada penemuan Paul Ekman dari University California di San
Francisco yang menyatakan bahwa ekspresi wajah tertentu untuk keempat
emosi (takut, marah, sedih, dan senang) dikenali oleh bangsa-bangsa di
seluruh dunia dengan adanya masing-masing, termasuk bangsa-bangsa
buta huruf yang dianggap tercemar film dan televisi—sehingga
menandakan adanya unversalitas perasaan tersebut. Ekman
memperlihatkan foto-foto wajah yang memperlihatkan ekspresi-ekspresi
dengan ketepatan teknis kepada orang-orang dengan budaya yang
terpencil seperti suku Fore di Papua Nugini, suku terpencil kebudayaan
zaman batu di dataran tinggi terasing, dan menemukan bahwa orang-orang
di mana pun mengenali emosi dasar yang sama itu. Universalitas ekspresi
wajah untuk emosi barangkali untuk pertama kalinya diamati oleh Darwin,
yang menganggapnya sebagai bukti bahwa daya evolusi telah mencapkan
isyarat-isyarat ini dalam sistem syaraf pusat kita.
Dalam mencari prinsip dasar, Goleman mengikuti pemikiran
Ekman yang lain-lainnya yang menganggap emosi berdasarkan kerangka
kelompok atau dimensi, dengan cara mengambil kelompok besar emosi—
marah, sedih, takut, bahagia, cinta, malu, dan sebagainya—sebagai titik
tolak bagi nuansa kehidupan emosional kita yang tak habis-habisnya.
Masing-masing kelompok ini mempunyai inti emosi dasar dari titik
pusatnya dengan kerabat-kerabatnya mengembang keluar dari titik pusat
79
tersebut dalam proses mutasi yang tak berujung. Tepi luar “lingkaran
emosi” diisi oleh suasana hati yang, secara teknis, lebih tersembunyi dan
dan berlangsung jauh lebih lama daripada emosi (meskipun agak langka
terus-menerus berada di puncak amarah sepanjang hari, misalnya, tidaklah
jarang seseorang berada dalam suasana hati yang mudah marah, mudah
tersinggung, sehingga serangan marah kecil-kecilan dapat dengan mudah
terpicu). Di luar suasana hati itu terdapat temperamen, yaitu kesiapan
untuk memunculkan emosi tertentu atau suasana hati tertentu yang
membuat orang menjadi murung, takut, atau bergembira. Dan, di luar
bakat emosional semacam itu, ada juga gangguan emosi seperti depresi
klinis atau kecemasan yang tidak berujung reda, yaitu ketika seseorang
merasa terus-menerus terjebak dalam keadaan memedihkan. (Goleman,
2003: 411-413).
Berikut adalah fungsi-fungsi Emosional Quotient (EQ):
a. Kesadaran diri : Mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat,
dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri
sendiri; memilik tolok ukur yang realistis atas kemampuan diri dan
kepercayaan diri yang kuat.
b. Pengaturan diri : Menangani emosi kita sedemikian sehingga
berdampak positif kepada pelaksanaan tugas; peka terhadap kata hati
dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran;
mampu pulih kembali dari tekanan emosi.
80
c. Motivasi : Menggunakan hasrat kita yang paling dalam untuk
menggerakkan dan menuntun kita menuju sasaran, membantu kita
mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif, dan untuk bertahan
menghadapi kegagalan dan frustasi.
d. Empati : Merasakan yang dirasakan oleh orang lain, mampu
memahami persepektif mereka, menumbuhkan hubungan dengan
bermacam-macam orang.
e. Ketrampilan sosial : Menangani emosi dengan baik ketika
berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi
dan jaringan sosial; berinteraksi dengan lancar; menggunakan
ketrampilan-ketrampilan ini untuk mempengaruhi dan memimpin,
bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan, dan untuk bekerja
sama dan bekerja dalam tim. (Goleman, 2003: 514)
3.3.3 Landasan Ilmiah dan Sistem Kerja EQ Menurut Daniel Goleman
Periode evolusi yang berlangsung sangat lama ketika respons-
respons emosional ini dibentuk jelas merupakan realitas yang lebih sulit
daripada yang harus ditanggung oleh sebagian besar manusia sebagai
suatu spesies setelah dimulainya sejarah tertulis. Zaman itu adalah masa
ketika hanya sedikit bayi yang bertahan sampai masa kanak-kanak dan
hanya sedikit orang dewasa yang mencapai usia 30 tahun, ketika hewan-
hewan pemangsa dapat menyerang di setiap saat, ketika pola musim
81
kering dan banjir menentukan terjadinya kelaparan dan keberlanjutan
hidup. Tetapi, dengan munculnya teknik pertanian dan kelompok-
masyarakat yang paling sederhana, peluang untuk hidup berubah secara
dramatis. Dalam sepuluh ribu tahun terakhir, ketika kemajuan-kemajuan
berlangsung di seluruh dunia, tekanan-tekanan kejam yang telah
menghambat populasi manusia dengan mantap dihapuskan.
a. Bagiamana Otak Manusia Tumbuh
Untuk memahami dengan lebih baik cengkeraman kuat emosi
terhadap otak yang berpikir—dan mengapa perasaan dan nalar selalu
siap menyerang—kita harus mempertimbangkan bagaimana otak
tumbuh. Otak manusia, dengan berat kurang lebih satu setengah
kilogram yang terdiri atas sel-sel dan cairan saraf, kurang lebih
berukuran tiga kali ukuran otak kerabat-kerabat paling dekat kita
dalam evolusi yaitu primata bukan manusia. Selama evolusi jutaan
tahun, otak telah tumbuh dari bawah ke atas, dengan pusat-pusat yang
lebih tinggi berkembang sebagai elaborasi bagian-bagian yang lebih
rendah, yang lebih primitif. (Pertumbuhan otak dalam embrio manusia
pada dasarnya melacak perjalanan evolusi ini).
Bagian otak paling primitif, yang dimiliki oleh semua spesies
yang mempunyai lebih daripada hanya sistem saraf paling sederhana,
adalah batang otak yang mengelilingi ujung atas sumsum tulang
belakang. Akar otak ini mengatur fungsi-fungsi dasar kehidupan
82
seperti bernapas dan metabolisme organ-organ lain, juga
mengendalikan reaksi dan gerakan berpikir atau belajar, tetapi
merupakan serangkaian regulator yang telah diprogram untuk menjaga
agar tubuh berfungsi sebagaimana mestinya dan bereaksi dengan cara
yang tidak membahayakan kelangsungan hidup. Otak ini sangat
berkuasa pada zaman replita: bayangkanlah seekor ular yang mendesis
untuk memberi isyarat ancaman menyerang.
Dari akar yang paling primitif ini, yaitu batang otak,
terbentuklah pusat emosi. Berjuta-juta tahun kemudian selama masa
evolusi, dari wilayah emosi ini berkembanglah otak-berpikir atau
“nekorteks”, yaitu bonggol besar jaringan berkerut-kerut yang
merupakan lapisan-lapisan paling atas. Fakta bahwa otak-berpikir
tumbuh dari wilayah otak emosional mengungkapkan banyak tentang
hubungan antara pikiran dengan perasaan; otak emosional sudah ada
jauh sebelum ada otak rasional.
Akar kehidupan emosional kita yang paling kuno adalah indra
penciuman, atau lebih tepatnya lobus olfaktori (bonggol olfaktori),
yaitu sel yang menerima dan menganalisis bau. Setiap benda hidup,
entah itu makanan, benda beracun, pasangan seksual, pemangsa atau
mangsa, mempunyai ciri molekuler sendiri-sendiri yang dapat terbawa
angin. Pada zaman primitif, bau dipercaya sebagai indra yang paling
penting untuk kelangsungan hidup.
83
Dari lobus olfaktori, mulailah berkembang pusat-pusat emosi
primitif yang pada akhirnya tumbuh cukup besar untuk melingkupi
bagian atas batang otak. Dalam tahap-tahap awalnya, pusat olfaktori
(indra penciuman) hanya terdiri atas lapisan-lapisan tipis neuro yang
berfungsi menganalisis bau-bauan. Satu lapisan sel bertugas menerima
bebauan dan memilah-milahnya menjadi kategori-kategori yang
cocok: bisa dimakan atau beracun, tersedia secara seksual, musuh atau
makanan. Lapisan-kedua sel mengirimkan pesan-pesan refleksif ke
seluruh sistem saraf untuk memberi tahu tubuh apa yang harus
dilakukan: menggigit, meludah, mendekati, lari, mengejar.(Joseph,
1990)
Dengan berkembangnya mamalia-mamalia pertama, muncul
lapisan-lapisan baru yang penting pada otak emosional. Lapisan-
lapisan itu, yang mengelilingi batang otak, secara garis besar mirip roti
bagel yang bagian bawahnya telah dimakan, di tempat inilah batang
otak berada. Karena bagian otak ini mengelilingi dan membatasi
batang otak, bagian tersebut disebut sistem “limbik”, dari kata Latin
“limbus” yang berarti “cincin”. Wilayah saraf baru ini menambahkan
emosi pada repertoar otak. Bila dikuasai oleh hasrat atau amarah,
sedang jatuh cinta atau mundur ketakutan maka sistem limbik itulah
yang mencengkeram kita.
84
Sewaktu sistem limbik itu tumbuh, sistem tersebut
mempertajam dua alat yang berdaya besar: pembelajaran dan ingatan.
Kedua kemajuan revolusioner itu memungkinkan seekor binatang
menjadi jauh lebih cerdas dalam memilih-milih demi kelangsungan
hidupnya, dan untuk memfokuskan repons-responsnya guna
menyesuaikan dengan tuntutan yang berubah-ubah bukan hanya
mempunyai reaksi outomatis dan tak bervariasi. Apabila suatu
makanan membuatnya sakit, makanan itu dapat dihindari di lain
waktu. Keputusan-keputusan seperti apa yang harus dimakan dan apa
yang harus ditolak masih ditentukan terutama melalui penciuman;
hubungan-hubungan antara lobus olfaktori dengan sistem limbik
sekarang berfungsi membeda-bedakan bau-bauan dan mengenalinya
dengan membandingkan bau-bau yang ada sekarang dengan bau-bau
yang ada di masa lalu, dengan demikian membedakan yang lebih baik
dengan yang buruk. Ini dilakukan oleh “rhinencphalon”, yang secara
harfiyah berarti “otak hidung”, yaitu bagian saluran limbik, dan dasar
rudimenter neokorteks, yakni otak yang berpikir.
Kurang lebih ratusan juta tahun yang lampau, otak mamalia
mengalami pertumbuhan luar biasa. Sejumlah lapisan sel-sel otak baru
ditambahkan ke atas dua lapisan tipis korteks—bagian yang
merencanakan, memahami apa yang diindra, dan mengatur gerakan—
untuk membentuk neokorteks. Berbeda dari korteks dua lapis pada
85
otak yang lebih kuno, neokorteks menyediakan keunggulan intelektual
yang luar biasa.
Neokorteks Homo Sapiens, yang jauh lebih besar daripada
spesies lain mana pun, telah menambahkan ciri khas manusia.
Neokorteks merupakan tempat pikiran; neokorteks memuat pusat yang
mengumpulkan dan memahami apa yang diserap oleh indra.
Neokorteks menambahkan pada parasaan apa yang kita pikirkan
tentang perasaan itu—dan memungkinkan kita untuk mempunyai
perasaan tentang ide-ide, seni, simbol-simbol, khayalan-khayalan.
Dalam evolusi, neokorteks memungkinkan penyesuaian yang
tepat sehingga tak diragukan lagi memberikan keunggulaln luar biasa
dalam segi kemampuan organisme untuk bertahan hidup melawan
keadaan tidak bersahabat, sehingga pada gilirannya dapat membuat
keturunannya memiliki kemungkinan lebih besar untuk mewariskan
gen-gen yang memuat jaringan saraf yang sama. Kemampuan untuk
mempertahankan kelangsungan hidup itu disebabkan oleh bakat
neokorteks untuk menyusun strategi, perencanaan jangka panjang, dan
kemampuan mental lainnya. Selain itu, karya-karya besar seni,
peradaban dan kebudayaan, semuanya merupakan hasil neokorteks.
Tambahan baru pada otak neokorteks memungkinkan
bertambahnya nuansa-nuansa pada kehidupan emosional. Ambillah
contoh cinta. Struktur limbik penghasilan perasaan nikmat dan hasrat
86
birahi—emosi-emosi yang mendorong nafsu seksual. Tetapi,
penambahan neokorteks dan sambungan-sambungannya ke sistem
limbik memungkinkan adanya ikatan ibu-anak yang merupakan dasar
unit keluarga dan keterlibatan jangka panjang untuk mengasuh anak
sehingga memungkinkan terjadinya perkembangan manusia. (Spesies
yang tidak mempunyai neokorteks, misalnya reptilia, tidak mempunyai
rasa kasih sayang seperti itu; bila anak mereka menetas, bayi-bayi
reptil yang baru lahir itu harus bersembunyi agar tidak dimakan
induknya.) Pada manusia, ikatan yang bersifat melindungi antara
orang tua dan anak memungkinkan keberlangsungan sebagian besar
proses pendewasaan sepanjang masa kanak-kanak—masa selama otak
terus tumbuh.
Bila kita amati perkembangan skala filogenetik mulai reptilia
sampai monyet hingga manusia, masa neokorteks itu saja terus
meningkat; bersama peningkatan tersebut secara geometris meningkat
pula sambungan-sambungan dalam jaringan otak. Semakin banyak
jumlah sambungan semacam itu, semakin besar rentang respons-
respons yang mungkin. Neokorteks memungkinkan adanya kepelikan
dan kematian kehidupan emosional, misalnya kemampuan untuk
memiliki perasaan mengenai perasaan kita. Sistem neokorteks-limbik
pada primata lebih banyak dibandingkan pada spesies-spesies lain—
dan pada manusia lebih banyak lagi—hal itu menunjukkan mengapa
87
kita mampu menampilkan rentang reaksi emosi yang jauh lebih lebar,
dan lebih bernuansa, bila kelinci atau monyet memiliki rangkaian
respons khas terhadap rasa takut yang terbatas, neokorteks manusia
yang lebih besar memungkinkan adanya reptoar respons yang jauh
lebih cerdik—termasuk menelepon polisi. Semakin rumit sistem
sosial, semakin penting fleksibelitas seperti ini—dan tidak ada dunia
sosial yang lebih rumit pada dunia kita sendiri.( Kalin, 1992)
Tetapi, pusat-pusat yang lebih tinggi ini tidak mengatur semua
kehidupan emosional; dalam perkara-perkara penting mengenai
perasaan—dan teristimewa dalam keadaan darurat emosional pusat-
pusat tersebut dapat dikatakan diatur oleh sistem limbik. Karena begitu
banyak pusat-pusat otak yang lebih tinggi muncul atau merupakan
perpanjangan ruang lingkup wilayah limbik, maka otak emosional
memainkan peran penting dalam arsitektur persarafan. Sewaktu akar
asal otak baru itu tumbuh, wilayah-wilayah emosi itu terjalin melalui
miliaran jaringan penghubung ke setiap bagian neokorteks. Hal ini
memberi pusat-pusat emosi kekuatan luar biasa untuk mempengaruhi
berfungsinya bagian lain otak—termasuk pusat-pusatnya untuk
pikiran.
Satu-satunya penemuan paling menghebohkan dari studi-studi
tentang otak ada orang-orang dalam kondisi stres—misalnya yang
harus berbicara di depan orang-orang penting—adalah bahwa kerja
88
bagian otak emosi sangat berpengaruh terhadap kerja pusat eksekusi
otak, lobus prefrontal, yang terletak di bagian belakang dahi.
(Goleman, 2003: 116)
Lobus prefrontal adalah tempat disimpannya “memori kerja”,
ketika otak sedang tenang, memori kerja befungsi paling baik. Namun,
dalam kedaan darurat, otak cenderung mengaktifkan modus
perlindungan diri, dengan mencuri sebagian daya dari bagian memori
kerja menghilangkan daya tersebut ke bagian otak lain yang
menjalankan fungsi pertahanan dan keamanan—kecenderungan yang
sengaja dirancang untuk bertahan hidup.
b. Letak Semua Nafsu
Pada manusia, amigdala (dari kata Yunani yang berarti buah
almond [buah badam]) adalah kelompok struktur yang saling
terkoneksi berbentuk buah badam yang bertumpu pada batang otak,
dekat alas cincin limbik. Ada dua amigdala, masing-masing di setiap
sisi otak, di sisi kepala. Amigdala manusia relatif besar bila
dibandingkan dengan amigdala pada kerabat-kerabat evolusi kita yang
paling dekat yaitu primata.
Hippocampus dan amigdala merupakan dua bagian penting
“otak hidung” primitif yang dalam evolusi memunculkan korteks serta
kemudian neokorteks. Hingga saat ini, kedua struktur limbik itu
89
melakukan sebagian besar atau banyak ingatan dan pembelajaran otak;
amigdala adalah spesialis masalah-masalah emosional. Apabila
amigdala dipisahkan dari bagian-bagian otak lainnya, hasilnya adalah
ketidakmampuan yang amat mencolok dalam menangkap makna
emosional suatu peristiwa; keadaan ini kadang-kadang disebut
“kebutaan efektif”.
Karena kehilangan bobot emosional, peristiwa-peristiwa tidak
mempunyai makna. Pemuda yang amigdala-nya dibuang untuk
mengendalikan penyakit epilepsinya menjadi sama sekali tidak
berminat kepada manusia, menarik diri dari hubungan manusia.
Meskipun ia mampu mengimbangi percakapan, ia tidak lagi mengenali
sahabat-sahabat, kerabat, atau bahkan ibunya, dan tetap pasif
meskipun menghadapi kecemasan mereka akan ketidakpeduliannya
itu. Tanpa amigdala, ia telah kehilangan semua pemahaman tentang
perasaan, juga setiap kemampuan merasakan perasaan. Amigdala
berfungsi sebagai semacam gudang ingatan emosional, dan dengan
demikian makna emosional itu sendiri; hidup tanpa amigdala
merupakan kehidupan tanpa makna pribadi sama sekali. (Ekman dan
Richard Davidson, 1994)
Bukanya perasaan kasih sayang yang terikat pada amigdala;
semua nafsu begantung padanya. Binatang-binatang yang amigdalanya
telah dibuang atau dipotong tidak mempunyai rasa takut dan amarah,
90
kehilangan dorongan untuk bersaing atau bekerja sama, dan tidak lagi
mempunyai kepekaan tentang kedudukan mereka dalam jenjang sosial
jenisnya; emosinya terhambat atau lenyap. Air mata, suatu tanda emosi
khas manusia, dirangsang oleh amigdala dan oleh struktur di dekatnya
yaitu gyrus cingulatus; digendong, dibelai-belai, atau dihibur dengan
cara lain akan menyenangkan wilayah-wilayah otak yang sama ini,
dan menghentikan isak tangis. Tanpa amigdala, tidak akan ada air
mata kesedihan yang perlu dihibur.
Josep LeDoux, seorang ahli saraf di Center for Neural Science
di New York University, adalah orang pertama yang menemukan
peran kunci amigdala dalam otak emosional. LeDoux adalah bagian
dari kelompok ilmuan-ilmuan saraf yang mau memanfaatkan metode
dan teknologi inovatif yang dapat memberi tingkat ketepatan yang
belum pernah dicapai sebelumnya untuk memetakan otak yang sedang
bekerja, dan dengan demikian mampu mengungkapkan misteri-misteri
pikiran yang tak mampu ditembus oleh generasi-generasi ilmuan
sebelumnya. Temuan-temuaun tentang jaringan otak emosional
menumbangkan gagasan lama tentang sistem limbik, dengan
menempatkan amigdala pada pusat tindakan dan menempatkan
struktur-struktur limbik lainnya pada peran yang amat berbeda.(Kagan,
1994)
91
c. Kabel Pemicu Nafsu
Hal yang paling menarik untuk memahami kekuatan emosi
dalam kehidupan mental adalah momen-momen tindakan penuh nafsu
yang belakangan kita sesali, bagitu deru nafsu mendera; masalahnya
adalah bagimana kita begitu mudahnya menjadi tidak rasional.
Contohnya, seorang wanita muda yang berkendaraan dua jam menuju
Boston untuk makan siang menghabiskan hari itu dengan kekasihnya.
Pada saat makan, si pemuda memberinya hadiah yang telah diharap-
harapkan si gadis selama berbulan-bulan, yaitu gambar seni langka
yang dibawa dari Spanyol. Tetapi, kebahagiaan gadis itu lenyap waktu
ia mengusulkan bahwa setelah makan mereka menonton film yang
sangat ingin dilihat si gadis dan si pemuda mengejutkannya karena
menyatakan bahwa ia tidak dapat menghabiskan siang itu bersama si
gadis karena harus berlatih Sofbol. Sakit hati dan tidak percaya, gadis
itu berdiri sambil menangis, meninggalkan kedai kopi, dan, mengikuti
dorongan hatinya melemparkan gambar seni itu ke keranjang sampah.
Berbulan-bulan kemudian, sewaktu mengisahkan kejadian itu, yang
disesalinya bukanlah kepergiannya meninggalkan si pemuda
melainkan hilangnya gambar seni tersebut.
Pada saat-saat seperti itu—ketika perasaan impulsif
mengalahkan nalar—tampaklah peran penting amigdala yang baru saja
ditemukan itu. Sinyal-datang dari indra-indra memungkinkan
92
amigdala untuk melarik setiap pengalaman yang dapat mengisyaratkan
tanda-tanda terjadi kesulitan. Ini membuat amigdala menempati pos
strategis dalam kehidupan mental, semacam penjaga psikologis,
menantang setiap situasi, setiap persepsi, dengan satu pertanyaan di
otak, yang paling primitif: “Apakah ini sesuatu yang dibenci? Yang
menyakitkanku? Yang menakutkan?” Jika demikian—bila momen
yang dihadapi entah bagaimana memberi jawaban “Ya”—amigdala
segera bereaksi, mirip kabel pemicu saraf, dengan memberi pesan
darurat secara telegrafis ke seluruh bagian otak.
Dalam arsitektur otak, amigdala berperan seperti perusahaan
sekuriti dengan operator-operator yang siap siaga mengirimkan
panggilan-panggilan darurat ke dinas pemadam kebakaran, polisi, dan
tetangga, kapan saja sistem pengamanan rumah memberi isyarat
bahaya.
Bila amigdala membunyikan, misalnya tanda bahaya rasa takut
organ itu mengirimkan pesan-pesan mendesak ke setiap bagian otak
yang penting: organ tersebut memicu diproduksinya hormon
bertempur-atau-kabur dalam tubuh, memobilisasi pusat-pusat gerak
dan mengaktifkan sistem pembuluh darah dan jantung, otot, serta isi
perut.(LeDoux, 1994). Sirkuit-sirkuit lain amigdala memberi isyarat
dikeluarkannya sejumlah kecil horman neropinefrin untuk
mempertinggi rektivitas wilayah-wilayah otak yang penting, termasuk
93
wilayah-wilayah yang membuat indra lebih waspada, pada pokoknya
membuat otak siap siaga. Tambahan sinyal dari amigdala
memerintahkan kepada batang otak untuk menampilkan ekspresi
wajah ketakutan, membekukan gerakan otot-otot yang tak ada
hubungannya, mempercepat detak jantung dan meningkatkan tekanan
darah, memperlambat pernapasan. Yang lain-lainnya memncangkan
perhatian ke arah sumber rasa takut itu, dan mempersiapkan otot-otot
untuk bereaksi sebagaimana layaknya. Secara serentak, sistem ingatak
korteks diaduk-aduk untuk mendapat berkas pengalaman yang cocok
dengan keadaan darurat yang sedang dihadapi, sambil menyingkirkan
jalur-jalur pemikiran lain.
Dan, hal tersebut cuma sebagian rangkaian perubahan-
perubahan yang terkoordinasi dengan seksama yang diatur oleh
amigdala sewaktu orang tersebut memerintahkan wilayah-wilayah di
seluruh otak. Jaringan sambungan pernafasan amigdala yang luas itu
memungkinkan amigdala, selama keadaan darurat emosional,
menangkap dan menggerakkan sebagian besar bagian otak lainnya—
termasuk otak rasional.
3.3.4 Penerapan EQ Menurut Daniel Goleman
Ketika Danile Goleman memasuki sebuah restoran pada suatu
petang seorang anak muda berjalan keluar pintu, wajahnya tampak kaku
94
sekaligus murung. Di belakangnya seorang gadis mengikutinya, tinjunya
dipukul-pukulkannya ke punggung si pemuda dengan putus asa seraya
berseru “Brengsek kau! Kembalilah dan bersikaplah baik!”. Permohonan
yang menyiratkan keputus asaan dan penuh kontradiksi yang diarahkan
pada sikap menarik diri itu melambangkan pola yang paling lazim terjadi
pada pasangan-pasangan yang hubungannya tengah dilanda kesulitan: si
gadis berusaha untuk mendekat , si pemuda menjauh. Ahli-ahli penasehat
perkawinan telah lama mengamati bahwa saat pasangan
mengkonsultasikan masalahnya, mereka berada pada pola mendekat-
menjauh ini, dengan suami mengeluhkan tuntutan-tuntutan dan ledakan-
ledakan istri yang terasa tak masuk akal, si istri menyesali ketidakpedulian
suami terhadap apa yang dipercakapkannya.
Ujung-ujungnya, problem rumah tangga ini mencerminkan fakta
bahwa sebetulnya ada dua realitas emosi pada suatu pasangan, milik suami
dan milik istri, akar perbedaan emosi ini, meskipun untuk sebagian
bersifat biologis, dapat pula dilacak dari kehidupan masa kanak-kanak,
dan dari dua emosi terpisah yang dihuni anak laki-laki dan yang dihuni
oleh anak perempuan ketika mereka tumbuh dewasa. Ada sejumlah besar
penelitian mengenai dua dunia yang terpisah ini, dinding-dinding
penghalang antara keduanya diperkuat bukan hanya oleh permainan yang
lebih dikuasai oleh masing-masing jenis, namun juga oleh takutnya anak-
anak kecil kalau diejek mempunyai “pacar”. Salah satu studi terhadap
95
persahabatan anak-anak menemukan bahwa anak-anak berumur tiga tahun
mengatakan bahwa kurang lebih separo sahabat-sahabatnya adalah dari
lawan jenis; dan pada umur lima tahun, angka itu kurang lebih 20 persen;
dan pada umur tujuh tahun hampir tidak ada anak laki-laki atau
perempuan yang mengatakan bahwa mereka mempunyai sahabat lain
jenis. Alam pergaulan terpisah ini hanya sedikit bersinggungan hingga
para remaja mulai berkencan. (Hernstein dan Charles Murray, 1994: 66)
Sementara itu, anak laki-laki dan anak perempuan dididik dengan
pola yang berbeda dalam menagani emosi. Pada umumnya, orang tua
membahas emosi—kecuali amarah—lebih banyak dengan anak
perempuannya daripada dengan anak laki-lakinya. Anak perempuan lebih
banyak mendapat informasi tentang emosi daripada anak laki-laki: bila
orang tua mengarang cerita untuk anak-anak mereka yang masih
bersekolah di TK, mereka lebih banyak menggunakan kata-kata bernuansa
emosi bila berbicara kepada anak perempuannya daripada bila dengan
anak laki-lakinya; bila seorang ibu bermain-main dengan bayinya, mereka
memperlihatkan rangkaian emosi yang lebih luas kepada bayi
perempuannya daripada kepada bayi laki-lakinya; bila seorang ibu
berbicara kepada anak perempuannya mengenai perasaan, mereka
membahas keadaan emosi itu sendiri secara lebih mendetail daripada
kepada anak laki-lakinya—meskipun dengan si anak laki-laki, ibu-ibu
96
membahas lebih mendetail tentang sebab dan akibat emosi seperti amarah
(barangkali untuk berjaga-jaga). (Vaillant, 1977)
Leslie Brody dan Judith Hall, yang meringkas penelitian tentang
perbedaan-perbedaan emosi antara pria dan wanita, menyebutkan bahwa
karena anak perempuan lebih cepat terampil berbahasa daripada anak laki-
laki, maka mereka lebih berpengalaman dalam mengutarakan perasaannya
dan lebih cakap daripada anak laki-laki dalam memanfaatkan kata-kata
untuk menjelajahi dan menggantikan reaksi-reaksi emosional seperti
perkelahian fisik. Sebaliknya, mereka mencatat, “anak laki-laki, yang
verbalisasi perasaannya ditumpulkan sebagian besar tampaknya kurang
peka akan keadaan emosinya, baik yang dalam dirinya sendiri maupun
dalam diri orang lain”. (Felsman dan G.E. Vaillant, 1977)
Pada umur sepuluh tahun, presentase jumlah anak perempuan dan
anak laki-laki yang secara lahiriah agresif—terdorong melakukan
konfrontasi terbuka kalau marah—kurang lebih sama. Tetapi, pada umur
tiga belas tahun, muncul perbedaan mencolok antara kedua jenis kelamin
ini: anak perempuan menjadi lebih pintar daripada anak laki-laki, pada
umumnya, cenderung tetap melakukan cara konfrontasi bila marah, lupa
akan adanya strategi-strategi yang lebih tertutup ini. Ini barulah salah satu
di antara banyak cara yang kurang dikuasai oleh anak laki-laki—dan
nantinya pria dewasa—daripada lawan jenisnya dalam bidang jalur-jalur
sampingan kehidupan emosional. (Karen Arnold, 1992)
97
Bila anak perempuan bermain bersama-sama, maka melakukannya
dalam kelompok-kelompok kecil yang rukun, dengan penekanan pada
minimalisasi permusuhan dan memaksimalisasi kerja sama, sementara
anak laki-laki cenderung membuat kelompok-kelompok yang lebih besar,
dengan tekanan pada perasaan saling bersaing. Salah satu perbedaan
utama dapat terlihat pada apa yang terjadi bila permainan yang dilakukan
anak laki-laki atau anak perempuan terganggu oleh seseorang yang
terluka. Apabila seorang anak laki-laki yang terluka marah-marah, ia
diharapkan minggir dan berhenti menangis agar permainan dapat terus
belangsung. Apabila hal yang sama terjadi pada kelampok anak
perempuan, permainan akan berhenti sementara semua anak berkumpul
untuk menolong si anak yang menangis. Perbedaan antara anak laki-laki
dan perempuan ketika bermain memperlihatkan apa yang diutarakan oleh
Caroll Gillingan dari Hardvard sebagai perbedaan kunci antara anak laki-
laki dengan perempuan: laki-laki bangga karena kemandirian dan
kemerdekaannya yang berpikir ulet dan mandiri, sementara perempuan
melihat dirinya sebagai bagian dari jaringan hubungan. Oleh karena itu,
laki-laki terancam bila ada apa-apa yang dapat menantang
kemandiriannya, sementara perempuan lebih terancam oleh terputusnya
hubungan yang mereka bina. Dan, sebagaimana telah diutarakan oleh
Deborah Tannen dalam bukunya You Just Don’t Understand, sudut
pandang yang berbeda ini berarti bahwa pria dan wanita menghendaki dan
98
menginginkan hal-hal yang amat berbeda untuk dipercakapkan, dimana
pria puas berbicara tentang “masalah-masalah”, sementara kaum wanita
mencari hubungan emosi.
Pendek kata, perbedaan dalam didikan emosi ini menghasilkan
ketrampilan-ketrampilan yang sangat berbeda, anak perempuan jadi
“mahir membaca sinyal emosi verbal maupun non verbal, mahir
mengungkapkan dan mengkomunikasikan perasaan-perasaannya”, dan
anak laki-laki menjad cakap dalam “meredam emosi yang berkaitan
dengan perasaan rentah, salah, takut, dan sakit”. Bukti untuk perbedaan
sikap mental ini sangat nyata dalam literatur ilmiah. Ratusan studi telah
menemukan, misalnya, bahwa secara rata-rata kaum wanita lebih mudah
berempati daripada kaum pria, setidak-tidaknya sebagaimana diukur
berdasarkan kemampuan untuk membaca perasaan orang lain yang tak
terucapkan dari ekspresi wajah, nada suara, dan isyarat-isyarat nonverbal
lainnya. Selain itu, pada umumnya lebih mudah membaca perasaan dari
wajah wanita daripada wajah pria; meskipun tidak ada perbedaan dalam
hal ungkapan ekspresi wajah pada anak laki-laki dan anak perempuan
yang masih kecil, sewaktu mereka mulai memasuki sekolah dasar, anak
laki menjadi kurang ekspresif. Untuk sebagian barangkali ini
mencerminkan perbedaan kunci lainnya: secara rata-rata kaum wanita
merasakan seluruh rangkaian emosi dengan intensitas lebih besar dan
99
lebih mudah berubah-ubah daripada kaum pria—dalam artian ini, kaum
wanita lebih “emosional” daripada kaum pria.
Karena langkah-langkah ini akan dibutuhkan selama panas-
panasnya pertengkaran, disaat-saat rangsangan emosional pasti sedang
tinggi, langkah-langkah itu harus sangat dikuasai apabila diharapkan dapat
diterapkan sewaktu amat dibutuhkan. Ini dikarenakan otak emosional
melibatkan langkah-langkah rutin respons yang dipelajari paling awal
dalam kehidupan selama berulangnya momen-momen amarah dan sakit
hati, dan demikian bersifat dominan. Karena ingatan dan tanggapan itu
khas emosinya, pada saat-saat semacam itu reaksi-reaksi yang berkaitan
dengan waktu yang lebih tenang agak sulit diingat dan dipraktekkan.
Apabila respons emosional yang lebih produktif kurang diakrabi atau tidak
dilatih dengan baik, amatlah sulit untuk mencoba melaksanakannya bila
diserang amarah. Tetapi, apabila suatu respons dilatih sedemikian rupa
sehingga menjadi automatis, maka respons tersebut mempunyai peluang
yang lebih baik untuk dapat diungkapkan selama keadaan darurat
emosional. Atas alasan-alasan ini, strategi-strategi di atas itu perlu dicoba
dan dilatih berulang-ulang selama terjadi benturan yang tidak
menegangkan, maupun di tengah-tengah panasnya pertengkaran, apabila
strategi-strategi tersebut diharapkan mempunyai peluang untuk menjadi
respons pertama yang muncul (atau sekurang-kurangnya menjadi respon
kedua yang tidak telalu terlambat) dalam reptoar jaringan sirkuit emosi.
100
Pendek kata, obat penawar terhadap hancurnya perkawinan itu adalah
perbaikan pendidikan dalam kecerdasan emosional. (Goleman, 2003:
209).
Dari hasil penelitian terbarunya, Dr. Goleman, yang mengupas
tentang otak dan ilmu perilaku di The New York Times, mengemukakan
fakta bahwa kita, sedikit banyak, memiliki dua otak: satu untuk berpikir
(otak berpikir) dan satu otak untuk merasakan (otak emosional). Informasi
ini memiliki implikas-implikasi yang sangat besar mengenai pentingnya
menyeimbangkan apa yang kita ketahui dengan apa yang kita rasakan
untuk mencapai tujuan baik profesional maupun pribadi. Selanjutnya, Dr.
Goleman melaporkan bahwa perkembangan otak emosional terjadi
sebelum otak berpikir. Kenyataan ini menunjukkan adanya kecenderungan
alamiah untuk mengatasi perasaan-perasaan sewaktu membuat keputusan.
Keseimbangan kecerdasan emosional adalah campuran yang
berhasil mengenai apa yang kita ketahui dengan apa yang yang kita
kerjakan pada saat-saat jiwa dalam keadaan bersemangat. Bila secara
emosinal hati tidak terlibat, sikap bisa cukup rasional, tapi jika nafsu
sedang menguasai diri, seringkali kita bersikap ceroboh dan melakukan
tindakan-tindakan yang tidak rasional. Orang-orang yang mempunyai
kecerdasan tinggi maupun mereka yang ketrampilan intelektualnya pas-
pasan sama-sama bisa berbuat seperti itu. Umpamanya, sewaktu
memberikan nasehat kepada seorang teman mengenai cara mengenai suatu
101
permasalahan, kita bisa menggunakan semua rasionalitas, namun bila
berhadapan sendiri dengan situasi yang sama, kita seringkali tidak
mengacuhkan nasehat itu. Jika emosi-emosi seperti marah, takut, gusar,
putus asa…menutup pintu logika, kita bisa mengambil tindakan yang
merugikan bagi kesuksesan pribadi dalam hidup. Dr. Goleman menyebut
kejadian ini dengan istilah “pembajakan emosinal”. Pembajakan
emosional terjadi apabila suatu pusat di otak limbik dinyatakan suatu
keadaan darurat dan mendapat bantuan dari bagian otak yang lain untuk
menghadapi masalah mendesak yang muncul. Keadaan ini terjadi sebelum
neokorteks (otak untuk berpikir) mempunyai kesempatan melihat
keseluruhan gambaran dan membuat suatu keputusan mengenai
bagaimana sebaiknya mengambil tanggapan paling tepat. Sebagian orang
yang mengalami ‘pembajakan emosional’ tidak sadar apa yang terjadi
kepada dirinya dan sulit memahami reaksinya yang kuat terhadap suatu
situasi khusus. (Patton, 2002: 6).
Intelligence Quotient (IQ) biasa dipandang sebagai indikator utama
kesuksesan. Sekarang, IQ ternyata tidak bisa dijadikan sebagai jaminan
seratus persen dalam menentukan kesuksesan hidup seseorang. Orang-
orang yang kecerdasannya sedang-sedang saja seringkali mampu
mencapai kesuksesan yang luar biasa. Bagi mereka yang kecerdasannya
(IQ) tinggi, kecerdasan emosional (EQ) adalah suatu aset yang sangat
berharga. Bila seseorang EQ-nya rendah, maka dia kurang bisa mencapai
102
kesuksesan pribadi. Bila kita hanya menggunakan pikiran rasional
sewaktu menghadapi tantangan-tantangan, kita cenderung bersikap analitis
dan lupa mempertimbangkan perasaan-perasaan orang lain. Kita
kehilangan gairah dan antisiasme jika memandang kehidupan dan orang-
orang dari dasar teoritis atau alamiah murni. Agar bisa menghasilkan
keputusan-keputusan yang tepat, ada beberapa profesi yang harus
menggunakan pikiran-pikiran rasional. Para dokter misalnya, harus
memahami tubuh manusia dan seringkali membuat keputusan-keputusan
untuk menyelamatkan jiwa seseorang yang harus didasarkan atas bukti-
bukti. Tetapi, sekarang kalangan medis menyadari bahwa bagaimana
seorang dokter berhubungan dengan si pasien ternyata sama pentingnya
dengan pengobatan yang mereka berikan. Kemampuan menyelaraskan
antara logika dan emosi akan meningkatkan pemberdayaan diri, dan
efektivitas. Sikap ini mewujudkan suatu manusia yang kompeten, bernilai,
profesional, dan bahagia. (Patton, 2002: 7-8)