Post on 04-Feb-2018
BAB III Dasar Teori
BAB III
DASAR TEORI
3.1 Analisa Log
Analisa log sumuran merupakan salah satu metoda yang sangat penting dan
berguna dalam karakterisasi suatu reservoir. Metoda ini sangat membantu dalam
penentuan litologi, porositas, saturasi air dan permeabilitas. Selain itu juga dapat
digunakan untuk menentukan zona produktif, menentukan jenis fluida dalam reservoir
serta untuk perhitungan cadangan hidrokarbon.
3.1.1 Log Gamma Ray
Log gamma ray mengukur radioaktivitas alami yang terdapat pada suatu lapisan.
Besar kecilnya radioaktivitas yang terukur menunjukkan jumlah kandungan shale pada
lapisan. Hal ini dikarenakan unsur-unsur radioaktif alami banyak terdapat pada shale.
Semakin besar kandungan shale pada suatu formasi atau batuan, maka akan memberikan
nilai pembacaan gamma ray yang semakin tinggi. Batupasir dan batugamping umumnya
memiliki radioaktivitas yang rendah, sehingga memberikan pembacaan gamma ray yang
rendah. Oleh karena itu log gamma ray ini bisa digunakan untuk menentukan jenis
litologi dari suatu lapisan.
Selain itu, log gamma ray juga bisa digunakan untuk menentukan zona permeabel
dan non permeabel berdasarkan volum shale (Vshale). Secara umum, zona permeabel
akan ditunjukkan oleh jumlah Vshale yang lebih sedikit dibandingkan zona non
permeabel. Volume shale dapat dihitung menggunakan rumus berikut :
…..………………(Persamaan 2.1)
Dimana :
Vsh = Volume shale
GRlog = Nilai gamma ray yang terbaca dari suatu formasi.
VVsshh == ((GGRRloglog –– GGRRminmin))//((GGRRmaxx –– GGRRminn)) ma mi
14
BAB III Dasar Teori
GRmin = Nilai gamma ray minimum.
GRmax = Nilai gamma ray maksimum.
Gambar 3.1 Respon gamma ray terhadap beberapa jenis litologi (Asquith dan Krygowski,
2004)
3.1.2 Log Densitas
Log densitas merupakan log yang mengukur densitas elektron suatu formasi. Log
densitas digunakan untuk menentukan porositas batuan, mengidentifikasi mineral
evaporit, zona gas-bearing, densitas hidrokarbon serta mengevaluasi reservoar batupasir
lempungan (shaly sand) dan litologi yang kompleks (Schlumberger, 1972 op cit. Asquith
dan Krygowski, 2004).
Penentuan porositas berdasarkan log densitas dapat dilakukan dengan menggunakan
persamaan berikut (Schlumberger, 1989):
………………….......(Persamaan 2.2) ΦD = (ρmaa m – ρbb ) / (ρmaa – ρff ) m
Dimana :
ΦD = Porositas berdasarkan log densitas.
15
BAB III Dasar Teori
ρma = Densitas matriks ( tabel 3. 1).
ρb = Densitas bulk dari formasi.
ρf f = Densitas fluida (1.1 untuk salt mud, 1.0 untuk fresh mud, 0.7 untuk gas)
Dalam penelitian ini, perhitungan porositas densitas menggunakan persamaan dari
Schlumberger, 1975 untuk batupasir yang lempungan (shaly sand), yaitu :
.........................................(Persamaan 2.3)
ΦD corr = ΦD - ⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡Φ45,0
*13,0* VshNclay
Dimana :
ΦD corr = Porositas densitas setelah dikoreksi terhadap shale.
ΦD = Porositas densitas sebelum dikoreksi terhadap shale.
ΦNclay = Porositas neutron dari shale
Vsh = Volume shale
Lithologi Densitas Matriks (g/cm3)
Batupasir 2.644
Batugamping 2.710
Dolomit 2.877
Anhydrit 2.960
Salt /garam 2.040
Tabel 3.1. Densitas matriks dari beberapa litologi
(Halliburton, 1991 op cit. Asquith dan Krygowski, 2004).
16
BAB III Dasar Teori
3.1.3 Log Neutron
Log neutron merupakan log porositas yang mengukur jumlah ion hidrogen pada
suatu formasi. Pada formasi yang bersih (clean formation) porositas yang terhitung oleh
log neutron adalah jumlah pori yang terisi oleh cairan / liquid-filled porosity (ΦN / NPHI
/ PHIN). Apabila pori yang ada terisi oleh gas, maka neutron porositas yang terhitung
akan lebih kecil. Hal ini terjadi karena gas memiliki jumlah ion hidrogen yang lebih
sedikit dibandingkan air maupun minyak. Gejala penurunan nilai porositas neutron ini
disebut gas effect.
Selain gas effect, ada juga shale effect yang dapat mempengaruhi nilai porositas
neutron. Shale effect adalah gejala penaikan nilai porositas neutron yang terjadi akibat
kandungan shale. Hal ini terjadi karena ion hidrogen pada struktur lempung dan air yang
terikat dalam lempung ikut terhitung sebagai ion hidrogen seperti dalam pori.
Shale effect ini bisa dikurangi dengan cara mengkoreksi log neutron yang terbaca
terhadap jumlah shale yang ada. Ini dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan
sebagai berikut (Schlumberger, 1975 op cit. Asquith dan Gibson, 1982):
..........................................(Persamaan 2.4)
ΦN corr = ΦN - ⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡Φ45,0
*3,0* VshNclay
Dimana :
ΦN corr = Porositas neutron terkoreksi terhadap shale.
ΦN = Porositas neutron sebelum dikoreksi terhadap shale.
ΦNclay = Porositas neutron dari shale.
Vsh = Volume shale.
Penentuan porositas efektif pada penelitian ini menggunakan kombinasi log
densitas dan neutron. Berikut ini adalah persamaan yang dapat digunakan untuk
menghitung porositas efektif (Schlumberger, 1975 op cit. Asquith dan Gibson, 1982) :
...............................................(Persamaan 2.5) ΦN-D = 2
22 DcorrNcorr Φ+Φ
17
BAB III Dasar Teori
3.1.4 Log Sonik
Log sonik merupakan log porositas yang mengukur lamanya waktu (interval
transit time / Δt) yang diperlukan gelombang suara kompresional untuk menempuh jarak
satu kaki dalam suatu formasi (Schlumberger, 1989). Lamanya waktu tempuh (Δt) ini
biasa disajikan dalam satuan microsecond per foot (µsec/ft).
Berikut ini adalah persamaan untuk menghitung porositas sonik (Wyllie dkk., 1958 op
cit. Asquith dan Krygowski, 2004) :
………………...(Persamaan 2.6) Φs = ( Δtlog – Δtma ) / (Δtf – Δtma )
Untuk suatu formasi dengan kandungan shale yang besar (shaly), pada
perhitungan porositas sonik perlu dilakukan koreksi terhadap shale yang ada. Ini dapat
dilakukan dengan persamaan sebagai berikut (Dresser Atlas, 1979 op cit. Asquith dan
Krygowski, 2004) :
............Persamaan 2.7 Φs corr = Φs – Vsh * ( Δtsh – Δtma ) / (Δtf – Δtma )
Dimana:
Φs = Porositas sonik
Φs corr = Porositas sonik setelah dikoreksi terhadap shale.
Δtma = Interval transit time matriks (table 3. 2).
Δtlog = Interval transit time formasi.
Δtsh = Interval transit time shale.
Δtf = Interval transit time fluida (fresh mud = 189; salt mud = 185).
18
BAB III Dasar Teori
Litologi Δtma (μsec/ft)
Batupasir 55.5 – 51.0
Batugamping 47.6
Dolomit 43.5
Anhidrit 50
Salt / garam 66.7
Casing (Iron) 57
Tabel 3. 2. Interval transit time untuk berbagai matriks
(Schlumberger, 1972 op cit. Asquith dan Krygowski, 2004).
Interval transit time suatu formasi akan bertambah seiring dengan keberadaan
hidrokarbon. Jika efek hidrokarbon ini tidak dikoreksi terlebih dahulu, porositas sonik
yang terhitung akan menjadi lebih besar. Koreksi efek hidrokarbon dapat dilakukan
dengan menggunakan persamaan berikut (Hilchie, 1978 op cit. Asquit dan Krygowski,
2004) :
Φ = Φsonic * 0.7 (gas)
Φ = Φsonic * 0.9 (minyak) …………….........………….(Persamaan 2.8)
3.1.5 Log Resistivitas
Log resistivitas adalah log yang mengukur resistivitas suatu formasi. Resistivitas
formasi dapat diukur menggunakan induksi maupun elektroda seperti laterolog, mikrolog
dan mikrolaterolog.
Kegunaan log resistivitas adalah untuk membedakan zona hidrokarbon dan air
(hydrocarbon-water bearing), menentukan zona yang permeabel dan menentukan
porositas resistivitas. Matriks dan butiran dalam batuan dianggap sebagai insulator atau
non konduktif (buruk dalam mengalirkan arus listrik), sehingga kemampuan suatu batuan
untuk mengalirkan listrik sangat berhubungan dengan jumlah air (konduktif) dalam pori.
Semakin banyak jumlah air yang terdapat dalam pori maka semakin kecil resistivitas
19
BAB III Dasar Teori
yang terhitung. Sebaliknya, semakin banyak jumlah hidrokarbon yang terdapat dalam
pori maka semakin besar resistivitas yang terhitung. Hal ini dikarenakan hidrokarbon
merupakan insulator atau non konduktif seperti halnya matriks dan butiran.
Dengan mengetahui resistivitas air formasi (Rw), porositas (Φ), dan faktor
tortuositas (a), saturasi / kejenuhan air (Sw) dapat diketahui dengan menggunakan rumus
Archie sebagai berikut :
...................................................(Persamaan 2.9) Sw = (F x Rw / Rt) 1/n
Dimana :
Sw = Saturasi air
Rw = Resistivitas air formasi
Rt = Resistivitas formasi (true resistivity)
n = Eksponen kejenuhan ( 1,8 - 2,5)
F = Faktor formasi = a / Φ m
a = Faktor tortuosity (1,0)
m = Faktor sementasi (2,0)
Nilai Rw bisa ditentukan menggunakan beberapa metode, seperti :
• Pickett Plot
• Rwa (apparent water resistivity)
• Log SP (Spontaneous Potential)
• Tes air formasi (formation water test)
Dalam penelitian ini, hanya metode Rwa dan Pickett plot saja yang dapat dilakukan. Ini
dikarenakan untuk log SP dan tes air formasi (formation water test) tidak tersedia.
20
BAB III Dasar Teori
3.1.6 Plot M-N dan MID (mineral identification)
Plot M-N dan MID bisa digunakan untuk mengetahui jenis litologi dan mineral dari
suatu formasi. Untuk membuat plot M-N dan MID ini diperlukan data-data dari log
sonik, neutron dan densitas.
Berikut ini adalah rumus (Schlumberger, 1989) yang dapat digunakan untuk menghitung
nilai M dan N :
...….(Persamaan 2.10)
Dimana :
Δtlog = Interval transit time formasi
Δtf = Interval transit time fluida (fresh mud = 189; salt mud = 185)
ρb = Densitas bulk dari formasi.
ρf f = Densitas fluida (1.1 untuk salt mud, 1.0 untuk fresh mud, 0.7 untuk gas)
ФNf = Porositas neutron dari fluida (1,0).
ФN = Porositas neutron dari formasi.
Sedangkan untuk membuat plot MID, digunakan persamaan (Schlumberger, 1989)
sebagai berikut :
........................................(Persamaan 2.11)
Dimana :
ρmaa = Apparent densitas. Δtmaa = Apparent transit time matriks.
NN == ((((ФФNfNf -- ФФNN)) // ((ρρbb –– ρρff))))
MM == ((((∆∆ttff -- ∆∆tt)) // ((ρρbb –– ρρff)))) 00..0011
ρmaa
Δtmaa = (Δtlog- Ф*Δtf)/(1- Ф)
maa == ((ρb - Ф*ρf)/(1- Ф)
21
BAB III Dasar Teori
Gambar 3.2 Identifikasi litologi menggunakan plot M-N.
(Schlumberger, 1989)
Gambar 3.3 Identifikasi mineral berdasarkan plot MID (Schlumberger, 1986).
22
BAB III Dasar Teori
3.2 Sekuen Stratigrafi
Berdasarkan Posamentier, 1988, sekuen stratigrafi dapat berarti sebuah studi
tentang hubungan antar batuan secara kronostratigrafi yang mengalami perulangan
(siklus), yang dibatasi oleh permukaan erosi, lapisan non-pengendapan (non deposition),
maupun oleh keselarasan.
Sebuah sekuen pengendapan yang lengkap memiliki sebuah siklus stratigrafi yang
terdiri dari tiga buah pola penumpukan (stacking patterns), yang menunjukkan adanya
siklus regresi dan transgresi (Posamentier dan Vail, 1988 op cit. Posamentier dan Allen,
1999 ). Stacking patterns ini didefinisikan sebagai system tracts, yang terdiri dari :
Lowstand system tracts, Transgressive system tract, dan Highstand s`ystem tracts
(Posamentier dan Vail, 1988).
3.2.1 Lowstand System Tracts (LST)
Lowstand system tracts (gambar 3.4) adalah satuan sistem pengendapan yang terjadi
selama penurunan permukaan air laut (sea level fall) atau pada saat permukaan air laut
naik dengan perlahan. Ini termasuk semua yang diendapkan pada saat akhir turunnya
permukaan air laut sampai saat kenaikan muka air laut (sea level rise) melebihi suplai
sedimen (Posamentier dan Allen, 1999).
Posamentier dan Allen, 1999 membagi LST menjadi LST Awal (Early) dan Akhir
(Late). LST Awal berkembang selama periode turunnya muka air laut, disebut juga
sebagai falling stage systems tract (Nummedal dan Plint, 1998 op cit. Posamentier dan
Allen, 1999) atau forced regressive wedge systems tract (Hunt dan Tucker, 1992 op cit.
Posamentier dan Allen, 1999). LST Akhir berkembang pada saat muka air laut mulai naik
dengan perlahan, ditandai oleh berubahnya forced regression menjadi normal regression
sehingga terbentuk pengendapan agradasional, yang terjadi karena adanya keseimbangan
antara ruang yang tersedia (accommodation space) dan suplai sedimen (sediment supply).
23
BAB III Dasar Teori
Gambar 3.4 Lowstand system tracts (Kendall, 2003)
3.2.2 Transgressive System Tracts (TST)
Transgressive system tracts (gambar 3.5) terbentuk pada saat kecepatan kenaikan
muka air laut melebihi suplai sedimen. Ini termasuk semua endapan yang terbentuk pada
saat muka air laut naik (sea level rise) sampai kepada saat terjadinya maximum flooding
surface (Posamentier dan Allen, 1999).
TST dicirikan oleh pola endapan retrogradasional, yang terjadi akibat ruang yang
tersedia (accommodation space) lebih besar daripada suplai sedimen. TST dibatasi oleh
permukaan transgresif (trangressive surface) di bagian bawahnya dan oleh maximum
flooding surface di bagian atasnya. Pola log gamma ray TST adalah bentuk lonceng (bell
shape), dengan suksesi vertikal menghalus dan menipis ke atas (fining & thinning
upward).
Gambar 3.5 Transgressive system tracts (Kendall, 2003)
24
BAB III Dasar Teori
3.2.3. Highstand System Tracts (HST)
Highstand system tracts (gambar 3.6) terbentuk selama fase regresif pada saat
suplai sedimen melebihi kecepatan penurunan muka air laut (Posamentier dan Allen,
1999). Ini mengakibatkan ruang yang tersedia (accommodation space) lebih kecil
dibandingkan jumlah suplai sedimen, sehingga membentuk pola pengendapan
progradasional.
HST dibatasi oleh maximum flooding surface di bawahnya, serta batas sekuen
(sekuen boundary) diatasnya (Posamentier dan Vail, 1988). HST dicirikan oleh pola log
gamma ray bentuk corong (funnel shape), dengan suksesi vertikal mengkasar dan
menebal ke atas (coarsening & thickening upward).
Gambar 3.6 Highstand system tracts (Kendall, 2003)
25
BAB III Dasar Teori
Gambar 3.7 Respon gamma ray terhadap berbagai ukuran butir.
(Emery 1996 op cit. Kendall, 2003)
26