Post on 01-Oct-2021
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Konsep Dasar Gagal Ginjal Kronik
1. Pengertian
Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap akhir (ESRD)
adalah kondisi menurunnya fungsi ginjal secara progresif dan
irreversible yang menyebabkan gangguan kemampuan tubuh untuk
mempertahankan keseimbangan metabolik, cairan dan elektrolit,
sebagai akibat dari uremia atau azotemia akibat retensi urea dan sampah
nitrogen lain dalam darah (Smeltzer dan Bare, 2012).
Gagal Ginjal Kronik adalah penyakit gagal ginjal yang ditandai
dengan adanyakkerusakan ginjalsselama tiga bulan atauulebih, yang
pada akhirnyaaginjal tidak dapatmmengekskresikan sisa metabolik dan
mengatur keseimbanganncairan dan elektrolit secara adekuat (Lemone,
Burke dan Bauldoff, 2017).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa gagal ginjal kronik terjadi
ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah metabolik tubuh atau
melakukan fungsi regulernya. Suatu bahan yang biasanya dieliminasi
diurin menumpuk dalam cairan tubuh akibat gangguan ekskresi renal
dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin dan metabolik, cairan,
elektrolit serta asam basa.
2. Penyebab
Penyebab gagal ginjal kronik diantaranya adalah penyakit
peradangan, gangguan jaringan ikat, penyakitvvaskuler hipertensif,
gangguan kongenital dan herediter, penyakit metabolik, nefropati toksik
dan nefropati obsruktif. Ada beberapa contoh dari golongan penyakit
tersebut menurut Price dan Wilson, (2010), yaitu:
a. Penyakittinfeksi tubulo interstinal meliputi pielo nefritis
kronikkdan refluks nefropati.
b. Penyakittperadangan yaitu glomerulonefritis.
c. Hipertensi, nefrosklerosissbenigna, nefrosklerosis maligna, dan
stenosis arteria renalis.
d. Gangguannjaringannikat meliputi lupusseritematosusssistemik,
poliarteritis nodosa, dan seklerosisssistemik progresif.
e. Gangguannkongenital dannherediter meliputi penyakittginjal
polikistik, dan asidosisstubulussginjal.
f. Penyakittmetabolik meliputi diabetes militus, gout, dan
hiperparatiroidisme, sertaaamiloidosis.
g. Nefropati toksik meliputi penyalahgunaannanalgetik, dan nefropati
timah.
h. Nefropatiiobstruktif seperti traktussurinarius bagian atas yang
terdiri dari batu, neoplasma, fibrosissretroperitoneal.
Menurut Black & Hawks (2014), penyebab gagal ginjal secara
umum dibedakan menjadi gagal ginjal pimer yang terjadi akibat
kerusakan pada ginjal secara langsung dan gagal ginjal yang terjadi
secara sekunder akibat penyakit sistemik lainnya. Pada gagal ginjal
kronik stadium akhir penyebabnya sangatlah beragam, glomerulo
nephritis kronis, acute rena failure, penyakit ginjal polikistik, obstruksi,
pielonefritis berulang, dan nefrotoksin.
3. Klasifikasi
a. Gagal ginjal kronik / Cronic Renal Failure (CRF) dibagi 3 stadium
(Suharyanto, 2009) :
1) Stadium I: Penurunan cadangan ginjal
a) Kreatinin serum dan kadar BUN normal
b) Asimptomatik
c) Tes beban kerja padagginjal: pemekatannkemih, tes GFR
2) Stadium II: Insufisiensi ginjal
a) Kadar BUNmmeningkat (tergantung padakkadar protein
dalam diet)
b) Kadarkkreatinin serummmeningkat
c) Nokturiaddan poliuri (karenaakegagalannpemekatan)
Terdapat tiga derajattinsufisiensi ginjal, yaitu:
a) Ringan
40%-80% fungsi ginjal dalammkeadaannnormal
b) Sedang
15%-40% fungsi ginjallnormal
c) Kondisibberat
2%-20% fungsigginjal normal
3) Stadium III: Gagalgginjal stadiummakhir atauuuremia
a) Kadaruureum dankkreatinin sangatmmeningkat
b) Ginjal sudahhtidak dapat menjagaahomeostasisscairan dan
elektrolit
c) Airkkemih/urin isoosmotisgdengan plasma, dengannBJ
1,010
b. Kidney Disease Outcome Quality Initiative (KDOQI)
merekomendasikannpembagian CKD berdasarkannstadium dari
tingkatppenurunannLFG (Levy, J.,Morgan, J. & Brown, E, 2004
dalam Smeltzer & Bare, 2012) :
1) Stadium 1: kelainannginjal yang ditandaiddengan albuminaria
persisten dan LFG yangmmasihnnormal ( > 90 ml / menit / 1,73
m2)
2) Stadium 2: Kelainan ginjalddengan albuminaria persistenndan
LFG antara 60 -89 mL/menit/1,73 m2)
3) Stadium 3: kelainannginjal dengan LFGGantara 30-59
ml/menit/1,73m2)
4) Stadium 4: kelainan ginjal dengan LF antara 15-29
ml/menit/1,73 m2)
5) Stadium 5: kelainan ginjalDdengan LFG < 15 ml/menit/1,73m2
atau gagal ginjal terminal.
4. Patofisiologi
Patofisiologiigagal ginjalKkronik tergantunggpada penyakityyang
mendasarinya, sehingga perkembangannselanjutnya proses yang terjadi
sama. Pengurangannmassa ginjal mengakibatkannhipertrofi struktural
dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons)
sebagaiiupaya kompensasi diperantarai oleh molekul vasoaktif yaitu
sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya
hiperfiltrasi, diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah
glomerulus. Proses adaptasiiini berlangsung singkat, akhirnyaadiikuti
oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron. Proses ini diikuti
dengan penurunannfungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit
dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatannaktivitas aksis
renin angiotensin-aldosteron intrarenal memberikan kontribusi
terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosissdan progresifitas tersebut.
Aktivasiijangka panjanggaksis renin-angiotensin-aldosteron,
sebagianndiperantarai olehhgrowth factor seperti transforming growth
factor β (TGF β). Hal-hal yang juga dianggap berperannterhadap
terjadinya progresifitas penyakit gagal ginjal kronik yaitu albuminuria,
hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.
Berdasarkan proses perjalanan penyakit dari berbagai penyebab
pada akhirnya akan terjadi kerusakan nefron. Bila nefron rusak akan
terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus sampai 30% mulai terjadi
keluhan dalam fungsi ekskresi dan fungsi non ekskresi. Penurunan
sekresi eritropoetin sebagai faktor penting dalam stimulasi produksi sel
darah merah oleh sumsum tulang sehingga produk hemoglobin
berkurang dan terjadi anemia maka terjadi peningkatan oksigen oleh
hemoglobin (oksihemoglobin) berkurang, tubuh akan mengalami
keadaan lemas dan tidak bertenaga. Akibat produksi eritropoetin yang
tidak memadai, memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi
dan kecenderungan untuk mngalami perdarahan akibat status uremik
pasien terutama saluran pencernaan maka terjadi anemia. Eritropoetin
yang diproduksi oleh ginjal menstimulasi sumsum tulang untuk
menghasilkan sel darah merah dan produksi eritropoetin menurun
sehingga mengakibatkan anemia berat yang disertai dengan keluhan
kelelahan atau fatigue, badan lemas, mual, tidak nafsu makan dan sesak
nafas (Sudoyo, 2014)
5. Tanda dan Gejala
a. Kelainan hemopoesis, dimanifestasikan dengan anemia
(Suharyanto , 2009)
1) Retensiitoksik uremia menyebabkannhemolisis sel eritrosit,
ulserasi mukosaasaluran cerna, gangguannpembekuan, masa
hidup eritrosit memendek, bilirubuin serum meningkat/normal,
uji comb’s negative dan jumlahhretikulositnnormal.
2) Defisiensiihormoneeeritropoetin. Ginjal sumber ESF
(Eritropoetic Stimulating Factor) menyebabkan defisiensi
hormon eritropoetinnsehingga terjadi depresissumsum
tulangmakaasumsum tulanggtidak mampuubereaksi terhadap
proses hemolisis atau perdarahan maka terjadilah anemia
normokrom normositer.
b. Kelainannsaluranncerna (Suharyanto, 2009)
1) Mual, muntah, hicthcup dikompensasi oleh flora normal usus →
ammonia (NH3) → iritasi/rangsang mukosa lambung dan usus.
2) Stomatitis uremia. Mukosa kering, lesi ulserasi luas, karena
sekresi cairan saliva banyak mengandung urea dan kurang
menjaga kebersihan mulut.
3) Pankreatitis berhubungan dengan gangguan ekskresi enzim
amylase.
c. Kardiovaskuler : Mencakup hipertensi (akibatrretensi cairanndan
natriummdari aktivasi sistemmrenin-angiotensin-aldosteron), pitting
edema (kaki, tangan, sakrum), pembesarannvena leher (Smeltzer dan
Bare, 2012).
d. Kelainan kulit (Suharyanto, 2009)
1) Gatal. Terutama pada pasien dengan dialisis rutin karena:
a) Toksik uremia yang kurang terdialisis
b) Peningkatan kadar kalium phosphor
c) Alergi bahan-bahan dalam proses HD
2) Kering bersisik. Karena ureum meningkat menimbulkan
penimbunan kristal urea di bawah kulit, kulit mudah memar,
rambut tipis dan kasar (Smeltzer dan Bare, 2012)
e. Neurologi : Kelemahan dannkeletihan, konfusi, disorientasi, kejang,
kelemahan padaatungkai, rasaspanas di telapak kaki, dan terjadi
perubahannperilaku.( Smeltzer dan Bare, 2012)
f. Kardiomegali. Terdapat dua kelompok gejala klinis (Suharyanto,
2009) :
1) Gangguan fungsi pengaturan dan ekskresi; kelainan volume
cairan dan elektrolit, ketidakseimbangan asam basa, retensi
metabolit nitrogen dan metabolit lainnya, serta anemia akibat
defisiensi sekresi ginjal.
2) Gangguan kelainan kardiovaskuler, neuromuscular, saluran cerna
dan kelainan lainnya
6. Komplikasi
Komplikasi dari gagal ginjal kronik menurut Suwitra (2015) antara
lain adalah :
a. Hiperkalemi sebagaiaakibat penurunannsekresi asidosissmetabolik,
katabolisme dannmasukan diit berlebih.
b. Perikarditis, efusipperikardial dan tamponade jantung sebagai akibat
retensi produkksampah uremikkdan dialisissyang tidak adekuat.
c. Hipertensi sebagai akibat retensiccairan dan nnatrium serta
malfungsi sistem reninnangiotensin aldosteron.
d. Anemiaasebagai akibat penurunanneritropoitin.
e. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik sebagai akibat retensi
fosfat, kadarkkalsiummserum yang rendah, metabolismeevitamin D
yang abnormal dan peningkatan kadar alumunium akibat
peningkatan nitrogenndan ionaanorganik.
f. Uremiaasebagaiaakibattpeningkatannkadar ureumddalam tubuh.
g. Gagalljantung sebagai akibatppeningkatan kerja jantunggyang
berlebihan.
h. Malnutrisi karenaaanoreksia, mual dannmuntah.
i. Hiperparatiroid, hiperkalemia dannhiperfosfatemia.
Komplikasi gagal ginjal kronik (Lemon, 2017)
a. Efek Cairan dan Elektrolit
Hilangnya jaringangginjal fungsional merusakkkemampuannya
untuk mengaturkkeseimbangan cairan, elektrolit, danaasam basa.
Pada tahapaawal gagal ginjalkkronik, kerusakannfiltrasi dan
reabsorpsimmenyebabkanpproteinuria, hematuria, danppenurunan
kemampuannmemekatkan urin. Garamddan airttidakddapat
disimpanndengan baikksehingga risiko terjadinyaddehidrasi,
poliuria,nnokturia, dannberatjjenisttetap 1,008 – 1,012 bisaaterjadi.
KetikaGGFR turunndannfungsi ginjalmmenurun lebihhlanjut,
retensinnatrium dannairbbiasa terjadi yangmmembutuhkan
batasan air dan garam. Ekskresi fosfat jugaarusak,
menyebabkanhhipofosfatemia dan hipokalsemia. Penurunan
penyerapan kalsiummakibat kerusakan aktifasi vitamin D
jugammenyebabkan hipokalsemia.
b. Efek Kardiovaskular
Hipertensi sistemikaadalah manifestasi umumggagal ginjal kronik.
Hipertensitterjadi akibat kelebihannvolume cairan, peningkatan
aktifitassrenin angiotensin, peningkatannresistensi vaskular dan
penurunan prostaglandin. Peningkatanvvolume cairan ekstraselular
dapatmmenyebabkannedema danngagal jantung,Eedemapparu
terjadiaakibatggagaljjantungddan peningkatan permeabelitas
membrane kapileraalveolus.TToksin metabolikyyangt tertahan
mengiritasi kantongpperikardium,mmenyebabkan adanyar respon
inflamasi dan tandapperikarditis. Tamponadejjantung,nkomplikasi
perikarditis, terjadi bila cairan inflamasi dalam kantong
perikardiummmengganggu pengisiannventrikel danccurahjjantung.
Perikarditis jarang terjadi bila dialisis cepat dilakukan.
c. Efek Hematologi
Anemia dapat muncul pada gagal ginjal kronik, karena banyak
faktor. Pada gagal ginjal kronik, produksi eritropoetinmmenurun.
Toksinnmetabolik yanggtertahan lebihhlanjut menekannproduksissel
darahmmerah danmmeyebabkanppemendekanmmasahhidup sel
darahmmerah. Gagal ginjal kronik merusakkfungsittrombosit,
meningkatkan resiko gangguannperdarahannseperti epsitaksis
dannperdarahan gastrointestinal.
d. Efek Sistem Imun
Uremiammeningkatkannresiko infeksi. Kadarrtinggi ureaddan
sisammetabolik tertahanmmerusak semuaaaspekkinflamasiddan
fungsi imun.PPenurunan sel darah putih,iimunitas hantarannsel
dannhumoral rusak, serta fungsi fagosit rusak.
e. Efek Gastrointestinal
Gejala awal uremia adalah anoreksia, mual, muntah. Gastroenteritis
seringmmuncul, ulserasi menyebabkannpeningkatan risiko
perdarahan gastro intestinal. Penyakit ulkus peptikum terjadi
umumppadappasienuuremik. Faktor uremik menyebabkan bau napas
sepertiuurinesseringkali dikaitkan dengannrasa logammdalam mulut.
f. Efek Neurologis
Uremia mempengaruhiffungsissistem syarafppusat (SSP)
danpperifer. Manisfestasi SSP terjadi lebihhawal dannmencakup
perubahan mental, kesulitannberkonsentrasi, keletihan, insomnia.
Ketika uremia memburuk, fungsimmotorik juga rusak,
menyebabkannkelemahan otot, penurunannrefleks tendon
dalammdan gangguannberjalan.
g. Efek Muskuloskeletal
Hiperfosfatemiaddan hipokalsemiaayang terkaitddenganuuremia
mensimulasissekresihhormon paratiroid. Hormonpparatiroid
menyebabkanppeningkatannresorbsi kalsiummdari tulang. Selain itu,
aktifitas sel osteoblast (pembentukktulang) dan osteoklast
(penghancurrtulang) terkena. Reabsorpsiddannremodelinggtulang
bersamaan dengannpenurunan sintesisvvitaminDD dan penurunan
penyerapan kalsiummdari saluranngastro intestinal,mmenyebabkan
osteodistrofigginjal atau disebutjjugaariketsia ginjal. Manifestasi
osteodistrofi mencakuppnyerittekannpadaatulang, dannkelemahan
otot sehingga resiko tinggi terjadinya fraktur spontan.
h. Efek Endokrin dan metabolik
Faktoruutamayyanggterlibat padaaefek danmmanifestasiuuremia
adalah akumulasi produksi sel metabolisme protein.
Kadar kreatinin serum danBBUN naik secaraasignifikan.KKadar
asammuratmmeningkat,mmenyebabkanppeningkatan resikoggout.
Jaringanmmenjadi resistennterhadappefek insulin pada uremia,
menyebabkannintoleransi glukosa. Kadarrtrigliserida darahHtinggi
dannkadar lipoproteinNdensitas tinggi (HDL) rendah dibanding
normal mengakibatkan percepatanpproses aterosklerosis.
i. Efek Dermatologi
Sisammetabolik yanggtidak dieliminasi oleh ginjal
dapatmmenumpukddikulit,yyang menyebabkanngatal atau pruritus.
Pada uremia lanjut, kadar urea tinggi pada keringattdapat
menyebabkannbekuanuuremic,ddepositkkristaluurea dikkulit.
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penyakit gagal ginjal kronik (Sudoyo, dkk,
2014), meliputi :
a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
b. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid
condition)
c. Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
d. Pencegahan dan terapi untu mencegah komplikasi
e. Terapi dialisis atau transplantasi ginjal
Tabel 2.1 Rencana Tatalaksana Penyakit gagal ginjal kronik sesuai
dengan Derajatnya
Derajat
LFG (ml/mnt/1,73m2
Rencana Tata Laksana
1 ≥90 Terapiipenyakittdasar,
kondisiikomorbid, evaluasi
pemburukan (progression)
fungsi ginjal, memperkecil
resikookardiovaskuler
2 60-89 Menghambattperburukan
(progression) fungsiiginjal
3 30-59 Evaluasiidannterapiikomplikasi
4 15-29 Persiapannuntukkterapi
penggantiiginjal
5 <15 Terapiipenggantiiginjal
B. Hemodialisis
1. Definisi
Hemodialisis adalah suatupproses pengubahannkomposisi
soluteddarahooleh larutannlain (cairanndialisat) melaluimmembran semi
permeabel (membranndialisis). Hemodialisisaadalah suatuuproses
pemisahann ataup penyaringan dan pembersihann darah melalui
suatum membrans semipermeabel pada pasienndenganggangguan
fungsigginjal baik akut maupunnkronik (Suhardjono,22014).
Hemodialisis yaitu salahssatu terapi pengganti ginjal untuk
pasien gagal ginjal kronik. Terapi ini dilakukan untuk menggantikan
fungsi ginjal yang rusak (Smeltzer, 2012)
2. Prinsip
Hemodialisissmerupakan gabungan dari proses difusi dan
ultrafiltrasi. Difusiaadalah perpindahannzat terlarut melalui membran
semipermeabel. Laju difusi terbesar terjadi pada perbedaannkonsentrasi
molekul terbesar. Mekanisme utama ini untuk mengeluarkan molekul
kecil seperti urea, kreatinin, elektrolit untuk menambahkan serum
bikarbonat. Zattterlarut yanggterikat dengannprotein tidakkdapat dibuang
melaluiidifusi karenaaprotein yang terikatttidak dapatmmenembus
membran (Suhardjono, 2014). Sedangkannultrafiltrasi merupakan aliran
konveksi (airddanzzat tterlarut) yanggterjadi karenaaadanyapperbedaan
tekanannhidrostatik maupunntekanannosmotik. Ultrafiltrasitterjadi
karenapperbedaanppositifppadakkompartemenddarahddengan tekanan
negatif yanggterbentuk pada kompartemen dialisat yang dihasilkan oleh
pompa dialisat (Transmembran Pressure). Pada proseshhemodialisis,
prosesddifusi dan filtrasibberjalannsecara bersamaan serta dapat
diprogram sesuai dengan keadaan klinis pasien. Dalam proses
hemodialisis, cairan dialisat mengalir berlawanannarah denganddarah,
sehingga tetap mempertahankannkecepatanndifusi yang optimal
(Suhardjono, 2014).
Hemofiltrasiiserupa dengan filtrasiiglomerulus. Jika darah
dipompa pada tekanan hidrostatik yang lebih tinggi dari pada cairan
disisi lain membran, maka air dalammdarah akanndipaksabbergerak
melewatimmembran denganncarauultrafiltrasi, denganmmembawasserta
elektrolitddannzat terlarut lainnya menurut O’Callaghan (2012). Berbeda
dengan hemodialisis (HD), Hemofiltrasi (HF) memakai prinsip
konveksi dengan tekananhhidrostatik danmmembran high flux,
sehinggauultrafiltrat yang berupa larutan (air dan zat terlarut) dapat
banyakkkeluar melalui membran dialiser. Plasmauultrafiltrat
digantikanndengan elektrolit atau cairan yang diproduksi oleh mesin
dialisis sendiri secara on-line. Hemodiafiltrasi (HDF) menggabungkan
manfaat dari hemodialisis dan hemofiltrasi. Pada pasien gagal ginjal
kronik tahap akhir, hemodiafiltrasiddigunakannsebagai terapippengganti
intermitennuntukkkeadaan-keadaan khusus. Manfaat HDF memberikan
dalam optimalisasi koreksi anemia, mengurangi ataummengatasi
inflamasi, stress oksidatif, profilllipid, dan produk kalsium-fosfat pasien
gagal ginjal kronik tahap akhir (Suhardjono, 2014).
3. Indikasi dan Kontraindikasi
KidneyDDiseaseOOutcomeQQuality (KDOQI) tahun 2015
merekomendasikan untukmmempertimbangkanmmanfaat serta resiko
memulai terapi pengganti ginjal pada pasien dengan LFG
<30ml/menit/1.73m2 (Tahap 4). Edukasi mengenai Penyakit gagal ginjal
kronik dan pilihan terapi dialisissmulai diberikannkepada pasien dengan
Penyakit gagal ginjal kronik tahap 4, termasuk pasien yang memiliki
kebutuhan segera untuk dialisis. Keputusannuntuk memulai perawatan
dialisis pada pasiennharus didasarkan pada penilaian tanda dan gejala
uremiaapada pasien, tandaakekurangan energi-protein, bukan pada pasien
dengan stadiummtertentu tanpa adanya tanda tanda atau gejala tersebut
(Rocco et al., 2015). Pada pasien dengan penyakit gagal ginjal kronik
tahap 55inisiasi hemodialisis dimulai dengannindikasi yaitu sebagai
berikut :
a. Sulit dikendalikannkelebihan (Overload) cairan ekstraseluler dan
hipertensi.
b. Hiperkalemiaayanggrefrakterrterhadap restriksi diittdan terapi
farmakologis.
c. Asidosissmetabolik yang refrakterrterhadap pemberian terapi
bikarbonat.
d. Hiperfosfatemiaayang refrakterrterhadap restriksi diet dan terapi
pengikat fosfat.
e. Anemia yanggrefrakterrterhadap pemberianneritropoetin dan besi.
f. Adanyaapenurunannkapasitassfungsionallatau kualitas hidup tanpa
sebabbyang jelas.
g. Penurunannberattbadannataummalnutrisi,tterutamaaapabila terdapat
gejala mual, muntah, atau adanya gastroduodenitis.
h. Gangguan neurologis (neuropati ensefalopati, gangguan
psikiatri),ppleuritis ataupperikarditis yang tidak disebabkan oleh
penyebab lain, serta diatesishhemoragik dengan pemanjangan waktu
perdarahan.
Kontraindikasiidilakukannyaahemodialisis dibagi menjadi 2
meliputi, kontraindikasiiabsolut dan kontraindikasi relatif. Kontra
indikasi absoluttadalahhapabila tidak didapatkannya akses vascular.
Sedangkan untukkkontra indikasiirelatif adalahhapabilaaditemukannya
kesulitan akses vaskular, fobia terhadap jarum, gagalljantung,
dannkoagulopati (Suhardjono, 2014).
4. Dosis dan Adekuasi
Kecukupanndialisis ditentukan berdasarkannkriteria klinis, dan
atasddasarfformula Kxt/V, seperti yangddirekomendasikan olehhKDOQI
(Kidney Disease Outcome Quality). K adalah klirens urea dari dialiser, t
adalahhlamaddialisis, dan V adalahvvolume distribusi urea (Rocco et al.,
2015). Dosisshemodialisissmerupakan jumlahhbersihan fraksi urea dalam
satu sesi dialisis yanggdipengaruhi olehhukuran tubuhppasien, fungsi
ginjalssisa, asupannproteinndalammmakanan, derajattanabolisme dan
katabolisme, adanya komorbid. Kecukupan (adequacy) dialisismmenjadi
target dosis dialisis Saat ini dipakai juga URR (% Urea Reduction Rate)
atau besarnyaapenurunan ureum dalam persen. URR =100% x (1-(ureum
sebelum/ureum sesudah dialisis)). Pada hemodialisis yang ddilakukan 3
kalisseminggu dianjurkan target URR setiap kali hemodialisis diatas 65%
(Suhardjono, 2014).
5. Komplikasi
Menurut Suharyanto (2009), komplikasi yang ditimbulkan dari
hemodialisis adalah :
a. Dapat terjadi hipotensi selama terapi dialisis ketika cairan
dikeluarkan.
b. komplikasi Emboli udara yang jarang tetapi dapattterjadi jika udara
memasuki sistem vaskuler pasien
c. Dapat terjadi nyeri dada karena penurunan PCO2 bersamaanndengan
terjadinya sirkulasiidarah diluar tubuh.
d. Selama terapi dialisis dapat terjadi pruritus ketika produk akhir
metabolisme meninggalkan kulit
e. Gangguannkeseimbangan dialisis, terjadi karena perpindahan cairan
cerebral dan muncul sebagai serang kejang, komplikasi ini
kemungkinan terjadi akan lebih besar jika gejala uremia yang berat.
f. Krammotot, terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat
meninggalkan ruang ekstrasel
g. Malnutrisi, akibat kontrol diet dan kehilangan nutrien selama
hemodialisis, 60% pasien dengan ERSD yang menjalani
hemodialisis menderita malnutrisi.
h. Mual muntah, merupakan peristiwa yang sering terjadi
i. Fatigue, pasien ESRD yang menjalani hemodialisis sudah
mengalami fatigue akibat hipoksia yang disebabkan oleh edema
pulmoner.
6. Lama Terapi Hemodialisis
KDOQI (Kidney Disease Outcome Quality) merekomendasikan
bahwa pasien denganrresidual kidney function rendah (kurang dari 2
ml/menit) menjalani hemodialisis 3 kali seminggu dengan durasi 3 jam
setiap kali hemodialisis (Rocco et al., 2015). lama terapihhenodialisis
dibagi menjadi 3 yaitu, kuranggdari 12 bulan, 12-24 bulan, dan lebih dari
24 bulan (Pranoto, 2010). MenuruttCampbell Walsh (2012) pasien yang
menjalani hemodialisissselama lebih dari 10 tahun kemudiannmelakukan
transplantasigginjal memilikiooutcome yang lebih buruk dibandingkan
dengan pasien yang melakukan transplantasi ginjal yang sebelumnya
melakukan terapi hemodialisis dalam waktu yang lebih singkat.
C. Fatigue
1. Definisi Fatigue
Fatigueedikategorikannmenjadi fatigue fisik dan fatigue mental.
Fatigue fisik adalah kurangnya kekuatan fisik dan energi yang membuat
mereka merasa hidup berkurang dan tidak bersemangat, seperti dicuci,
lemah, dan seperti dikuras. Fatigue mental adalah kelelahan mental yang
mempengaruhi kemampuan mereka untuk mengingat percakapan, nama
dan tempat. Bagaimanapun fatigue adalah gejala non-spesifik dan tak
terlihat, dan merupakan fenomena yang kurang dipahami oleh para
profesional kesehatan (Horigan, 2012).
Fatigue dapat diartikan sebagai keadaan kontinue antara
kelelahanndan kepenatannyang pada akhirnyaaberujunggdengan
penurunan vitalitas dan energi (Mollaoglu, 2009). Konsekuensi dari
fatigue yanggdialami oleh pasien yanggmenjalani hemodialisis adalah
menghambat sosialisasi, merasaaterisolasi, kehilangan waktu bersama
keluarga dan kesulitanndalammberaktifitas (Horigan, 2012). Lebih lanjut
dampakkfatigue dapat menyebabkannpenurunan fungsi fisik dan
kemampuan untukk melakukan aktivitas sehari-hari, kualitas hidup yang
lebih buruk, dan mengurangi kelangsungannhidup (Bonner, Wellard, &
Caltabiano, 2010).
2. Klasifikasi Fatigue
Fatigue umumnya berdasarkan tingkatannya (Priyanto, 2010)
a. Terjadi ketika seseorang mulai mengurangi kemampuan fisik yang
digunakan dari biasanya karena jenis pekerjaan yang sangat banyak
pada setiap jam kerjanya (Physical Fatigue).
b. Ditandai denyut nadi yang lemah, pelan atau cepat (Circadian
Fatigue)
c. Terjadi pada suatu aktifitas tubuh/otot terutama dikarenakan banyak
menggunakan otot, gangguan kebisingan dan sebagainya (Acute
Fatigue).
d. Yang disebabkan fisik atau mental yang terjadi pada periode waktu
tertentu, salah satu penyebabnya adalah kurangnya waktu istirahat
(Commulative Fatigue).
D. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya Fatigue pada
Pasien Hemodialisis
1. Faktor Demografi
Faktor demografiiyang terdiriidari usia, jenisskelamin,
pendidikan, pekerjaan, jenis dukungan (Jhamb, at al., 2011). Mollaoglu
(2009) menyatakannadaahubungan yang signifikan antara usia, jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan, jenis dukungan dengan terjadinya
fatigue pada pasien yang menjalani hemodialisis. Penelitian Jhamb, et al.
(2011) menghasilkannpendapat yang samaabahwa ada hubungan antara
fatigue dengan jenis kelamin, sedangkannjenis dukunganntidak ada
hubungan yanggsignifikan. Hasil penelitian Sodikin dan Sri Suparti
(2015) bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelaminndengan
terjadinya fatigue (P= 0.92). Hasil penelitain ini juga sejalan dengan
penelitian Sulistiani (2012), bahwa tidak ada hubungan antara usia
dengan tingkat fatigue.Berbeda dengan penelitian Mollaglu (2009) yang
menemukan ada hubungan antara usia dengan tingkat fatigue. Hal
tersebut sesuai dengan Report of Indonesian Renal Registry, usia pasien
hemodialisissterbanyak adalahhkelompok usia 45-64 tahun, baik pasien
baruumaupun pasiennaktif (Report of Indonesian Renal Registry, 2012).
Menurut Smeltzer & Bare (2012), seseoranggdengan usia sesudah 40
tahunnakan terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus secara progresif
hingga usia 70 tahunnsebanyak kurang lebih 50% dariinormalnya.
PenelitianMMollaoglu (2009) dalam hasil penelitiannya
menyatakan bahwa jenis kelamin perempuan lebih fatigue dibandingkan
laki–laki. Menurut Ganong (2009) bahwa laki-laki jauh lebih beresiko
terkena penyakit gagal ginjal kronik daripadaaperempuan, dikarenakan
perempuannmempunyai hormonnestrogen lebih banyak. Hormon
estrogennberfungsi untuk menghambat pembentukan cytokin tertentu
untuk menghambat osteoklas agarrtidak berlebihan menyerap
tulang, sehingga kadar kalsium seimbang. Kalsiummmemiliki efek
protektik dengannmencegah penyerapanooksalatyyang bisammembentuk
batugginjal sebagai salah satuupenyebabbterjadinya gagal ginjal kronik.
Pasien dengan tingkatppendidikan tinggimmemiliki kesadaran
yang baik untuk memeriksakannkesehatannya sedangkan pendidikan
yang rendah kemungkinannketerbatasan pengetahuan, sehinggga mereka
takut untuk dilakukan hemodialisis. Pasien dengan pendidikan rendah
tidak mampuumemperlihatkannkoping adaptif dalammmengatasi fatigue
sementara orang yanggberpendidikanntinggi mampu mengelolaafatigue
yanggdialaminya (Mollaoglu, 2009).
Statusspekerjaannmempengaruhi tingkat fatigue padaapenelitian
Shapiro (2008) menggambarkannbahwa pasien dialisis yanggbekerja
lebih kelihatan sehat dan lebih energi dari pada pasien hemodialisissyang
tidak bekerja karena dengan bekerja membuat mereka merasa lebih baik.
Jenis dukungan menurut Travallaii (2009), menyatakannbahwa
yanggmengalami kelelahan secara psikologisssebenarnyaakarena
perubahan fungsiikeluarga denganppasanganEERSD. Perubahan fungsi
terjadibberhubungan denganndistress psikologissdan kegagalan
dalamppenyesuaian.HHal inilahh yang membuatt dukungan keluarga
dannpartisipasi aktif dari keluarga sangatlah penting untuk membantu
mengontrol kelelahan yang dialami pasien yang menjalani hemodialisis
2. Faktor Fisiologi
Salah satu faktor fisiologis pada pasien gagal ginjal kronis yang
menjalani hemodialisis adalah terjadinya anemia, berdasarkan parameter
klinik diketahui sebagian besar responden memiliki kadar hemoglobin 8-
10g/dl (95,1%), hal ini menujukan bahwa pasien-pasien yang menjalani
hemodialisis banyak mengalami kondisi anemia. Anemia adalahhkondisi
tubuhhtidakkmempunyai cukup sel darahhmerah atauueritrosit. Adanya
kerusakan fungsi ginjal menyebabkannpenurunannproduksi hormon
eritropoietin yang berperan dalam proses eritropoiesis atau pembentukan
eritrosit. Penurunan jumlah eritrosit menyebabkan anemia yang
menyebabkannpenurunan jumlahhsel darah yanggmengangkut oksigen
dan nutrisi ke seluruh tubuh. Penurunan suplai oksigen dan nutrisi ke
seluruh jaringan tubuh menyebabkan pasien mengalami kelelahan yang
ekstrem atau fatigue, anoreksia, gangguan tidur, dan penurunan toleransi
terhadap aktivitas (Sudoyo etal, 2014). Hasil penelitian Rumentalia
Sulistini, dkk, (2012), menunjukkan tingkat fatigue akan berkurang 0,04,
bila terjadi peningkatan hemoglobin 1 mg/dl. Hasil penelitian Mollaoglu
(2009), menyatakan adanya hubungan antara kadar hemoglobin yang
rendah dengan fatigue..
Hasil penelitian Sodikin dan Sri Suparti (2015) penelitian ini
walaupun nilai kadar hemoglobin sebagian besar (79.6%) kurang dari 10
g/dl namun tidak ditemukan hubungan anemia dengan terjadinya fatigue.
3. Faktor Situasional
Faktor situasional merupakan faktor yang berkaitan dengan lama
menjalani hemodialisis, riwayat penyakit. Terapi hemodialisis
dilakukan 2-3 kali seminggu dengan lama waktu 4-5 jam,
umumnyaaakan menimbulkan stres fisik pada pasien setelah
hemodialisis, pasien akannmerasakan kelelahan,ssakitkkepala dan
keluarrkeringat dingin sebagaiakibat tekanannmenurunnsehubungan
dengannefekhhemodialisis (Sulaiman, 2015).
Hasil penelitian Rumentalia Sulistini, dkk (2012) didapatkan
adanya hubungan antara lama menjalani hemodialisis dengan tingkat
fatigue. Penelitiannyang dilakukannSulistini (2012) didapatkannada
hubungan antara lama hemodialisis dengan fatigue. Akibatnya jumlah sel
darahhmerah menurun atau yang disebut anemia. Akibatnya pasiennakan
mengalami lelah, letih, lesu yang merupakanngejala fatigue (O’Sullivan,
2009).
Berdasarkan Indonesian Renal Registry (IRR) tahun 2012, riwayat
penyakit pasien yang menjalani hemodialisis yang menjadi penyebab
penyakit ginjal kronis yang dialami, penyebab terbesar adalah nefropati
diabetik 52%, hipertensi 24%, kelainan bawaan 6%, asam urat 1%,
penyakit lupus 1%.
E. Model Keperawatan Konsep Adaptasi Callista Roy pada Pasien
Hemodialisis yang Mengalami Fatigue
Teori adaptasi Roy pertama kali dikembangkan oleh sister Calista Ro
pada tahun 1968. Teori adaptasiiRoy memandang pasien sebagai suatu
sistem adaptasi. Tujuan keperawatan adalah membantuupasien beradaptasi
dan meningkatkannkesehatannya denganncara mempertahankan perilaku
adaptif serta merubah perilaku maladaptif. Dalammmemahamiikonseppmodel
ini, Roy menetapkan empat komponen elemen sentral paradigma keperawatan
dalam modelladaptasi tersebut yang terdiri dari manusia, lingkungan,
kesehatan dan keperawatan. Keempat elemen tersebut salinggmempengaruhi
satu samaalain karena merupakannsuatuusistem (Alligood & Tomey, 2014)
Person as an adaptive sistem.(From Roy, C.. [1984]. Introduction to nursing: An
adaptation model [2nd ed., p. 30]. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.)
Pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis salah satu
komplikasi yang dialami adalah terjadinya fatigue, sehingga pasien harus
mampu melakukan adaptasi. Teori adaptasi Calista Roy merupakan model
keperawatan yang menguraikan bagaimana individu mampu meningkatkan
kesehatan dengan caraamempertahankannperilaku adaptasi serta mampu
merubah perilaku yang inadaptif. Penerapannteori akan membantuuseseorang
untuk beradaptasi terhadap perubahan kebutuhan fisiologis, konsep diri,
fungsi peran, danninterdependensi selama sehat dannsakit (Tomey &
Alligood,2010). Teori adaptasi Roy menitikberatkan pendekatan pada tiga hal
meliputi stimulus fokal yaitu stimulus atau rangsangan yang berasal dari
dalam individu maupun dari luar individu dan harus dihadapi secara
langsung pada saat itu juga. Stimulus kontekstual adalah semua stimulus
Mekanisme
koping :
regulator
kognator
Mode adaptasi :
Physiological
function Self concept
Role function
interdependence
Tingkat adaptasi
Stimulus
Respons
Adaptive ineffective
SKEMA 2.1 MODEL ADAPTASI ROY
Input Proses
kontrol Efektor
Output
FEEDBACK
yang berpengaruh terhadap stimulus fokal berasal dari lingkungan
sekitar, sedangkan stimulus residual merupakan faktor yang berasal dari
lingkungan sekitar yang dapat berpengaruh secara tidak langsung pada
individu (Tomey & Alligood, 2010).
Faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya fatigue pada pasien
hemodialisis menurut Sulistini, dkk (2012) menyebutkan bahwa faktor yang
berhubungan dengan fatigue pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani
hemodialisis di Indonesia adalah faktor demografi (usia, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, jenis dukungan), faktor fisiologis (anemia), faktor
situasional (frekuensi, lama menjalani hemodialisis, dan riwayat penyakit).
Faktor-faktor tersebut yang menjadi stimulus terjadinya fatigue pada pasien
hemodialisis. Alligood (2014), mengkombinasikan teori Helson dengan
definisi tentang sistem untuk memandang manusia sebagai suatu sistem
adaptif. Model Roy berfokus pada konsep adaptasi manusia. Konsep-
konsepnya mengenai keperawatan manusia, kesehatan, dan lingkungan saling
berhubungan dengan adaptasi sebagai konsep sentralnya. Manusia mengalami
stimulus lingkungan secara terus-menerus. Pada akhirnya menberikan respons
dan adaptasi pun terjadi. Respons ini dapattberupa responssadaptif ataupun
respons inefektif. Respons adaptif meningkatkan integritas dan
membantuumanusia dalam mencapai tujuan adaptasi, yaitu untuk bertahan
hidup, tumbuh, berkembang biak, menguasai serta transformasi seseorang
dan lingkungannya. Respons inefektif gagal meraihhtujuan adaptasi tersebut
atau bahkannmengancam pencapaian tujuan. Keperawatannmempunyai
tujuannyang unik untuk membantuuupaya adaptasi seseorang dengan
mengelola lingkungannya. Hasilnya adalah pencapaian tingkat kesejahteraan
seseorang (Roy, dkk, Alligood, 2014).
Sebagai suatuusistemmterbuka, manusiaamenerima input baik dari
lingkungan atau dari dalam diri sendiri. Tingkat adaptasi ditentukan oleh efek
stimulus fokal, kontekstual, dan residual. Adaptasi terjadi pada saat seseorang
berespons secara positiffterhadap perubahan lingkungan. Respons adaptif ini
meningkatkan integritas seseorang, yang akan membawanya menuju sehat.
Disisi lain, respons inefektif akannmengarah padaagangguannintegritas
seseorang (Roy, dkk, Alligood, 2014).
Terdapat duaasubsistemmyang salinggberhubungan dalam Adaptasi
Roy. Subsistemmprosessprimer, fungsional, atau control terdiri dari regulator
dan kognator. Sedangkan subsistem sekunderrdan efektor terdiri dari empat
modeeadaptif berikut :
1. Kebutuhannfisiologis
2. Konseppdiri
3. Fungsiiperan
4. Interdependensi (Roy, dkk dalam Alligood, 2014)
Roy memandang regulator dan kognator sebagai metode koping.
Subsistem koping regulator, dengan mode adaptif fisiologis, berespons secara
otomatis melalui proses koping neurologis, kimiawi, dan endokrin
(Roy &Andrews dalam Alligood, 2014). Subsistem koping kognator, dengan
mode adaptif konsep diri, interdependensi dan fungsi peran, berespons
melalui empat saluran kognitif-emosi, yaitu pemerosesan informasi yang
diterima, pembelajaran, penilaian, dan emosi (Andrews & Roy dalam
alligood, 2014). Persepsi adalah interpretasi dari suatu stimulus. Persepsi
menghubungkan regulator dengan kognator dalam hal input terhadap
regulator diubah menjadi persepsi. Persepsi adalah proses dari kognator.
Respons-respons yang mengikuti suatu persepsi adalah umpan balik bagi
kognator maupun regulator (Galligan dalam alligood 2014).
Empat modeeadaptif dari duaasubsistemmdalam model Roy
memberikannbentuk atauumanifestasi dari aktivitas kognator dan regulator.
Respons terhadap stimulussdilakukan melalui empat modeeadaptif, mode
adaptif fisiologis-fisik keproses-proses fisiologis untukkmemenuhi kebutuhan
dasar oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat, serta perlindungan.
Mode adaptiffkonsep identitassdiri kelompok berhubunganndengan
kebutuhan untukkmengetahui siapa diri ini dan bagaimanaabertindak dalam
masyarakat. Konseppdiri individu didefinisikan oleh Royysebagai kumpulan
keyakinannatau perasaan yang dimiliki individu mengenai ia atau dirinya
pada waktu tertentu (Roy & Andrews dalam Alligood, 2014). Konsep diri
individu terdiri atas diri secara fisik (sensasi tubuh dan citra tubuh) serta diri
secara personal (konsistensi diri, ideal diri, dan moral-etik-spiritual diri).
Mode adaptifffungsi peranndigambarkannsebagaipperan primer, sekunder,
dan tersier yang ditampilkan individuddalam masyarakat. Suatu peran
merupakan harapanbbagaimanasseseorang berperilaku terhadap orang lain.
Mode adaptif interdependensi menggambarkan interaksi orang-orang dalam
masyarakat. Tugas utama mode adaptif interdependensi adalah sebagai
seseorang untuk memberi dan menerima cinta, rasa hormat, dan nilai.
Komponen yang paling penting dari mode adaptif adalah orang terdekat dari
individu tersebut (misalnya pasangan, anak, teman, atau Tuhan), serta
sistemppendukungssosial yang dimilikinya.MManfaat dari keempat mode
adaptif ini adalah untukmmencapai integritas fisiologis, psikososial, dan
sosial. Empat modeaadaptif ini saling berkaitan melalui persepsi (Roy
&Andrews dalam Alligood, 2014).
Manusia sebagai makhluk yang utuh terdiri dari enam subsistem.
Subsistem ini (regulator, kognator, dan empat mode adaptif) saling
berhubungan membentuk suatu sistem yang kompleks untuk tujuan adaptasi.
Hubungan antara empat mode adaptif terjadi ketika stimulus internal dan
eksternal mempengaruhi lebih dari satu mode. Ketika perilaku yang merusak
terjadi lebih dari satu mode, atau ketika satu mode menjadi stimulus fokal,
kontekstual atau residual bagi mode yang lainnya (Brower & Baker, dll,
dalam Alligood, 2014).
.
Skema 2.2 Kerangka Teori
Sumber : Suharyanto (2009), Mollaglu (2009), Smeltzer dan Bare (2012),
Sulistini, dkk (2012), Alligood, (2014)
Gagal Ginjal Kronik
ESRD
Terapi Hemodialisis
Dampak Hemodialisis adalah
Fatigue
Faktor-faktor Yang
berhubungan dengan
terjadinya Fatigue
pada pasien
Hemodialisis
- Faktor demografi
(usia, Jenis
kelamin,
pendidikan,
pekerjaan, Jenis
dukungan
- Faktor Fisiologis
(Anemia)
- Faktor Situasional
( Lama menjalani
hemodialisis,
riwayat penyakit)
Diperlukan Proses
Adaptasi
- Kebutuhan Fisiologis
- Konsep diri
- Fungsi Peran
- Interdependensi